BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada
kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya. Menurut Kusharto dan
Muljono (2010) dalam Maulana (2012), kualitas sumber daya manusia ditandai
dengan kondisi fisik dan mental yang kuat, kesehatan yang prima dan pendidikan
yang baik, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini. Mengingat
hal tersebut, dalam rangka mendukung pembangunan nasional, perlu dilakukan
upaya-upaya untuk menanggulangi permasalahan gizi dan kesehatan.
Masalah gizi adalah gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang,
kelompok orang atau masyarakat sebagai akibat adanya ketidakseimbangan antara
asupan (intake) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh interaksi penyakit (infeksi). Ketidakseimbangan ini dapat mengakibatkan gizi kurang
maupun gizi lebih (Cakrawati & Mustika 2012). Masalah gizi merupakan masalah
global yang terjadi di sebagian besar belahan dunia termasuk Indonesia. Pada saat
ini, Indonesia masih menghadapi masalah gizi ganda yaitu gizi kurang dan gizi
lebih. Masalah gizi kurang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan,
kurangnya persediaan pangan, kurangnya higiene sanitasi lingkungan, kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan. Sebaliknya,
masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat
tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang dan
Meningkatnya penyakit degeneratif antara lain akibat adanya perubahan
perilaku, gaya hidup, pola makan dan aktivitas yang tidak seimbang. Disebut juga
sebagai penyakit degeneratif karena kejadian bersangkutan dengan proses
degenerasi atau ketuaan sehingga penyakit degeneratif banyak ditemukan pada
usia lanjut (Bustan, 2007). Oleh karena itu, asupan makanan perlu diperhatikan
untuk mengurangi risiko penyakit degeneratif, terutama pada penderita atau orang
dengan risiko penyakit diabetes militus (DM), hipertensi, penyakit kardiovaskular,
dan lain-lain. Menurut Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa untuk
prevalensi angka gizi lebih diperoleh sebesar 13,5% dan obesitas sebesar 15,4%,
prevalensi diabetes militus yang terdiagnosa dokter dengan gejala adalah 2,1 %
dari jumlah penduduk usia > 15 tahun. Dan diperkirakan bahwa pada tahun 2030
mendatang prevalensi diabetes militus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang
(Diabetes care, 2004 dalam Depkes, 2009).
Usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, manusia berusaha
memenuhi kebutuhan primernya, salah satu kebutuhan primer tersebut adalah
makanan. Dalam sejarah kehidupan manusia dari tahun ke tahun mengalami
perubahan yang diikuti pula oleh perubahan kebutuhan makanan pokok. Hal ini
dapat terlihat pada beberapa daerah di Indonesia yang semula mengonsumsi
ketela, sagu ataupun jagung, akhirnya beralih mengonsumsi beras.
Pada penatalaksanaan permasalahan gizi, baik gizi lebih maupun gizi
kurang salah satu caranya adalah dengan cara pengaturan makan atau diet. Cara
ini dapat dilakukan melalui pemilihan jumlah dan jenis karbohidrat yang tepat
tingkatan pangan yang berpengaruh terhadap kadar gula darah dengan kisaran 0 –
100. Indeks ini merupakan ukuran seberapa banyak kenaikan kadar gula darah
seseorang dalam dua atau tiga jam sesudah makan (Rusilanti, 2008).
Makanan yang memiliki IG tinggi menyebabkan peningkatan besar
glukosa darah dengan cepat, sedangkan makanan yang memiliki IG rendah
membantu menjaga kadar glukosa darah tetap stabil (Shreeve, 2005). Menurut
Rimbawan & Siagian (2004) konsep IG menekankan pada pentingnya mengenal
karbohidrat berdasarkan kecepatannya menaikkan kadar glukosa darah setelah
mengonsumsi pangan. Memilih makanan dengan IG rendah secara tidak langsung
berarti mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam. Oleh karena itu,
pengaturan diet dan pemilihan makanan dengan konsep IG juga mendukung
upaya penganekaragaman makanan.
Konsep IG berguna untuk membina kesehatan, mencegah obesitas,
mengurangi resiko penyakit degeneratif dan memilih pangan untuk berolahraga.
Pangan yang memiliki indeks glikemik rendah bermanfaat bagi orang yang
sedang menurunkan berat badan dan bagi penyandang diabetes mellitus agar dapat
mengontrol kadar glukosa darah sehingga tidak meningkat secara drastis. Pangan
yang memiliki IG tinggi bermanfaat untuk menunjang penampilan dan daya tahan
atlet (Rimbawan & Siagian, 2004).
Menurut Miller, dkk. (1991) dalam Rimbawan dan Siagiaan (2004), studi
pemberian jangka menengah pangan dengan IG rendah pada penderita diabetes
menunjukkan bahwa pangan dengan IG rendah berhubungan dengan peningkatan
karbohidrat yang tinggi diduga sebagai penyebabnya. Konsep IG memperkuat
sebagian dugaan tersebut. Peningkatan kadar gula darah yang cepat akan
menaikkan kebutuhan insulin. Selama insulin masih bisa mengimbangi,
peningkatan kadar gula darah jangka pendek tidak masalah. Namun, apabila
peningkatan ini berlangsung lama, insulin tidak mampu lagi menjaga kadar gula
darah pada taraf normal maka akan timbul diabetes tipe 2 (Rimbawan, 2004 dalam
Maulana, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian yang difokuskan untuk meneliti indeks
glikemik yang dilakukan oleh Siagian (2006), pendertita obesitas cenderung lebih
cepat lapar dibandingkan dengan orang normal. Penderita obesitas disarankan
untuk mengonsumsi pangan yang memiliki IG rendah, karena pangan yang
memiliki IG rendah dapat menekan rasa lapar sehingga dapat mengontrol kadar
glukosa darah pada penderita obesitas dan juga menurunkan nafsu makan.
Konsumsi pangan tinggi karbohidrat-rendah lemak dan rendah karbohidrat-tinggi
lemak pada pagi hari juga dapat menurunkan nafsu makan pada siang hari
(komposisi berbeda tetapi IG sama).
Jarvi, dkk (1999) dalam Listiati (2011) mengatakan bahwa, pada penderita
diabetes, fakta dari penelitian jangka menengah menunjukkan bahwa penggantian
karbohidrat yang memiliki IG tinggi dengan pangan yang memiliki IG rendah
akan memperbaiki pengendalian gula darah.
Beraneka pangan lokal seperti umbi-umbian dapat dimanfaatkan sebagai
pangan alternatif yang relatif aman dalam penyediaan energi dan berpotensi
dalam penyediaan energi dari karbohidrat adalah ubi jalar. Selain sebagai bahan
pangan sumber karbohidrat, ubi jalar juga mengandung sejumlah vitamin dan
mineral sehingga semakin menempatkan ubi jalar pada posisi unggul
dibandingkan beras atau olahan terigu (Maulana, 2012). Menurut Ratnawati, dkk
(2012) sebagian penderita DM dan kelebihan berat badan sering berusaha
menghindari konsumsi nasi dan menggantinya dengan sumber karbohidrat lain
seperti umbi-umbian.
Beberapa hasil penelitian yang difokuskan untuk meneliti indeks glikemik
umbi-umbian, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Maulana
(2012) yang menyatakan bahwa umbi cilembu kukus memiliki nilai indeks
glikemik sebesar 58,22, lebih rendah dari umbi sukun kukus hasil penelitian
Rakhmawati (2011) yang memiliki nilai indeks glikemik sebesar 89. Menurut
Lukitaningsih (2012) dalam Sundari (2014), umbi walur memiliki nilai indeks
glikemik sangat rendah yaitu 16,9 kemudian diikuti umbi porang dengan nilai
indeks glikemik sebesar 20,6 dan umbi gayong sebesar 20,8 sedangkan nilai
indeks glikemik umbi uwi dan suweg masing-masing yaitu sebesar 23,1 dan 68,8.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, bahan pangan yang sama
memiliki indeks glikemik berbeda-beda. Hal ini dapat disebabkan oleh varietas
tanaman sumber pangan, pengolahan (misalnya penggilingan dan pemanasan),
dan pemilihan pangan acuan (roti atau glukosa) (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Perbedaan nilai indeks glikemik pada satu bahan pangan juga dapat terjadi karena
Beberapa jenis umbi-umbian yang ada di Indonesia, ubi jalar (Ipomoea batatas L) adalah jenis umbi yang pemanfaatannya masih terbatas. Pemanfaatan
ubi jalar di Indonesia pada umumnya masih relatif sedikit dan baru dikonsumsi
dalam bentuk olahan primer yaitu dibuat menjadi makanan kecil seperti ubi rebus,
ubi kukus, ubi panggang, keripik ubi dan kolak ubi. Hanya di beberapa daerah
seperti Irian Jaya dan Maluku ubi jalar dikonsumsi sebagai makanan pokok
(Lisnan, 2008).
Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang berasa manis dan indeks
glikemik lebih rendah dibanding beras, sehingga baik dikonsumsi sebagai
pengganti beras bagi penderita diabetes. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) dapat dikonsumsi sebagai makanan utama maupun kudapan. Sebagai makanan utama
ubi ini dapat diolah menajdi nasi, yaitu nasi yang dicampur dengan ubi jalar. Ubi
jalarnya dapat dicampurkan dalam bentuk pasta (Murdiati & Amaliah, 2013).
Menurut Sentra Informasi Iptek (2005) dalam Ginting (2010), kandungan energi
pada 100g ubi jalar yaitu 71,1 kal, protein 1,4g, lemak 0,17g, pati 22,4g, gula 2,4g
dan seratnya 1,6g. Ubi jalar juga mengandung vitamin A 0,01mg, vitamin B
0,09mg, vitamin C sebesar 24mg, fosfor 51g, besi 0,49g, dan kalsium 29mg.
Ubi jalar (Ipomoea batatas L) memiliki ukuran bentuk, warna kulit dan warna daging bermacam-macam tergantung pada varietasnya. Ukuran umbi
tanaman ubi jalar bervariasi, ada yang besar dan ada pula yang kecil. Bentuk umbi
tanaman ubi jalar ada yang bulat, bulat lonjong (oval) dan bulat panjang. Kulit
umbi ada yang berwarna putih, kuning, ungu, orange dan merah. Demikian juga
orange dan ungu. Struktur kulit tanaman ubi jalar juga bervariasi antara tipis
sampai tebal dan bergetah.
Menurut Murtiningsih dan Suyanti (2011) nilai indeks glikemik ubi jalar
orange tergolong tinggi yaitu sebesar 64. Ubi jalar orange boleh dikonsumsi oleh
masyarakat atau orang yang tidak menderita obesitas maupun diabetes mellitus),
namun porsi makanan ubi jalar orange tersebut harus tetap diperhatikan karena ubi
jalar orange termasuk pangan yang memiliki IG tinggi.
Beras (Oriza sp) merupakan makanan sumber energi yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi namun proteinnya rendah. Kandungan gizi beras per
100 gram bahan adalah 360 kkal energi, 6,6gr protein, 0,58gr lemak, dan 79,34gr
karbohidrat. Beras putih merupakan bahan makanan pokok sebagian besar
masyarakat Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi
beras putih berkaitan dengan peningkatan resiko diabetes tipe 2 (Larasati, 2013).
Beras merupakan kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya menyebabkan
peningkatan konsumsi beras masyarakat Indonesia. Jenis beras di Indonesia ada
banyak. Jenis beras orisinil Indonesia yang dapat dinikmati oleh masyarakat yaitu
beras pandan wangi, IR 64 atau beras setra ramos, rojolele, IR 42, IR 36, ciherang,
taj mahal, martapura, cisokan, margasari, logawa, beras merah. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Purwani, dkk (2007), nilai indeks glikemik IR 36 yaitu 45
dan tergolong rendah. Beras ciherang, taj mahal, martapura, IR 64 masing-masing
IR 36 baik dikonsumsi karena memiliki nilai indeks glikemik yang rendah, dan
baik juga dikonsumsi oleh penderita diabetes.
Pada artikel penelitian Isa (2014), penelitian yang dilakukan oleh Annisa
Sekar Latih yaitu indeks glikemik nasi beras putih sebesar 64, nasi beras hitam
42,3, nasi beras coklat 55 dan nasi beras merah 59. Hasil penelitian yang
dilakukan Setyo Harini yaitu nasi beras putih memiliki nilai indeks glikemik
97,58, nasi beras hitam 19,04, nasi beras merah 43,30. Proses pemasakan dapat
memengaruhi indeks glikemik suatu pangan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwani, dkk (2007)
mengenai IG beras, maka dalam penelitian ini menggunakan beras dengan jenis
IR 64 yang memiliki IG tinggi yaitu sebesar 70, kemudian dicampurkan dengan
ubi jalar orange yang memiliki IG sebesar 64. Pada penelitian eksperimen ini
digukanan perbandingan 1:1 yaitu, beras (oriza sp) 50% dan tepung ubi jalar 50%. Penelitian ini menggunakan perbandingan 1:1 untuk mengetahui indeks glikemik
pangan uji berupa nasi ubi jalar lebih mendekati indeks glikemik beras atau indeks
glikemik ubi jalar dan bagaimana kecepatan menaikkan kadar gula darah setelah
mengonsumsi pangan uji tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana nilai indeks glikemik nasi ubi jalar orange
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui nilai indeks glikemik bahan pangan olahan nasi ubi jalar
orange dengan penambahan 50% tepung ubi jalar orange.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui kandungan karbohidrat-amilosa, kadar abu, kadar lemak, kadar
serat kasar dan kadar protein nasi ubi jalar orange dengan penambahan 50%
tepung ubi jalar orange.
2. Mengetahui kecepatan pangan olahan nasi ubi jalar orange dalam
meningkatkan kadar glukosa darah setelah mengonsumsinya.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai salah satu cara mengoptimalkan pemanfaatan bahan pangan lokal
sebagai sumber pangan pokok.
2. Memberikan alternatif pengolahan ubi jalar sebagai bahan makanan pokok.
3. Memberikan informasi mengenai nilai indeks glikemik yang terkandung
dalam bahan pangan olahan nasi ubi jalar yang berasal dari produk olahan ubi
jalar orange.
4. Bahan pangan olahan berupa nasi ubi jalar orange jika memiliki indeks
glikemik rendah dapat dikonsumsi oleh penderita, obesitas, diabetes mellitus
(DM) sebagai upaya untuk mengontrol kadar glukosa darahnya dan juga