• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DESKRIPSI PROYEK - Redesain Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II DESKRIPSI PROYEK - Redesain Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

(2)

BAB II

DESKRIPSI PROYEK

2.1. Tinjauan Umum

2.1.1. Permukiman Desa

a. Pengertian Desa

Pengertian desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian village dan rural. Sering pula dibandingkan dengan kota (town/city) dan perkotaan (urban). Perdesaan (rural) menurut Wojowasito dan Poerwodarminto (1972)6 diartikan seperti desa atau seperti di desa dan perkotaan (urban) diartikan seperti kota atau seperti di kota.

Berdasarkan batasan tersebut, perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik masyarakat, sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau teritorial. Dalam kaitan ini suatu daerah perdesaan dapat mencakup beberapa desa. Beberapa pandangan dari para ahli sebagaimana yang dikemukakan berikut ini.

1. Boeke, desa merupakan suatu masyarakat yang religius yang diikat oleh tradisi bersama para warga penanam bahan makanan yang sedikit banyak mempunyai hubungan kebangsaan.

2. Soetardjo Kartohadikoesoemo, desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.

3. E.A. Mokodompit, desa merupakan suatu kesatuan teritorial, kekerabatan, nilai, dan aktivitas dari beberapa keluarga.

4. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat

(3)

setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Tipologi Desa

Tipologi desa ialah teknik untuk mengenal tipe-tipe desa berdasarkan ciri-ciri menonjol (tipikal) yang dimiliki dalam kaitan dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Sedangkan klasifikasi tingkat perkembangan desa berdasarkan kesamaan tingkat perkembangannya yaitu tahapan desa swadaya, desa swakarya dan desa swasembada. - Desa swadaya (tradisional) adalah desa yang belum mampu mandiri dalam

penyelenggaraan urusan rumah tangga sendiri, administrasi desa belum terselenggara dengan baik.

- Desa Swakarya (Transisional), adalah desa setingkat lebih tinggi dari desa swadaya.

Pada desa swakarya ini mulai mampu mandiri untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri, administrasi desa sudah terselenggaranya dengan cukup baik dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) cukup berfungsi dalam mengorganisasikan dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam pembangunan secara terpadu.

- Desa Swasembada (Berkembang), adalah desa setingkat lebih tinggi dari pada desa

Swakarya. Desa swasembada adalah desa yang telah mampu menyelenggrakan urusan rumah tangga sendiri, admnistrasi desa sudah terselenggara dengan baik, LKMD telah berfungsi dalam menorganisasikan dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam pembangunan desa secara terpadu.

c. Pola Pemukiman di Pedesaan

Soekandar Wiriaatmadja (1972) membagi pola pemukiman di pedesaan ke dalam empat pola, yakni:

1. Pola permukiman menyebar : Rumah-rumah para petani tersebar

(4)

2. Pola permukiman memanjang : Bentuk pemukiman yang terlentak di sepanjang jalan raya atau di sepanjang sungai, sedangkan tanah pertaniannya berada di belakang rumahnya masing - masing.

3. Pola permukiman berkumpul : Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah

penduduk berkumpul dalam sebuah kampung, sedangkan tanah pertaniannya berada di luar kampung.

4. Pola permukiman melingkar : Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah

penduduk melingkar mengikuti tepi jalan, sedangkan tanah pertaniannya berada di belakangnya.

Gambar 2. 1. Pola Permukiman Desa

Sumber : Sensa, M. S. Djarot, 1987 : 38

2.1.2. Hunian / Rumah

a. Pengertian Rumah

(5)

penghuninya dalam suatu kurun waktu. Yang terpenting dan rumah adalah dampak terhadap penghuni, bukan wujud atau standar fisiknya. Selanjutnya dikatakan bahwa interaksi antara rumah dan penghuni adalah apa yang diberikan rumah kepada penghuni serta apa yang dilakukan penghuni terhadap rumah” 7

.

b. Fungsi Rumah

Menurut Turner (1972:164-167), terdapat tiga fungsi yang terkandung dalam rumah:

1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga, yang diwujudkan dalam kualitas

hunian atau perlindungan yang diberian rumah. Kebutuhan tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni mempunyai tempat tinggal atau berteduh secukupnya untuk melindungi keluarga dari iklim setempat.

2. Rumah sebagai penunjang kesempatan keluarga untuk berkembang dalam

kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi atau fungsi pengembangan keluarga. Fungsi ini

diwudkan dalam lokasi tempat rumah itu didirikan. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna mendapatkan sumber penghasilan.

3. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya kehidupan keluarga di

masa depan setelah mendapatkan rumah, jaminan keamanan lingkungan perumahan yang ditempati serta jaminan keamanan berupa kepemilikan rumah dan lahan.

Namun ada pandangan yang berbeda dari Maslow. Berdasarkan hierarchy of need (Maslow, 1954:10), kebutuhan akan sebuah rumah dibagi menjadi:

1. Physiological needs (kebutuhan untuk fisik penghuni), merupakan kebutuhan

biologis yang hampir sama untuk setiap orang, yang juga merupakan kebutuhan terpenting selain rumah, sandang, dan pangan juga termasuk dalam tahap ini.

(6)

2. Safety or security needs (kebutuhan akan keamanan), merupakan tempat berlindung

bagi penghuni dari gangguan manusia dan lingkungan yang tidak diinginkan.

3. Social or afiliation needs (kebutuhan berinteraksi), sebagai tempat untuk

berinteraksi dengan keluarga dan teman.

4. Self actualiztion needs (kebutuhan akan ekspresi diri), rumah bukan hanya sebagai

tempat tinggal, tetapi menjadi tempat untuk mengaktualisasikan diri.

c. Elemen dalam Lingkungan Permukiman

Lingkungan permukiman merupakan suatu sistem yang terdiri dari lima elemen yang saling memperngaruhi, yaitu (K. Basset dan John R. Short, 1980, dalam Kurniasih)8 :

Nature (unsur alami), mencakup sumber-sumber daya alam seperti topografi,

hidrologi, tanah, iklim, maupun unsur hayati yaitu vegetasi dan fauna.

Man (manusia sebagai individu), mencakup segala kebutuhan pribadinya seperti

biologis, emosional, nilai-nilai moral, perasaan, dan perepsinya.

Society (masyarakat), adanya manusia sebagai kelompok masyarakat.

Shells (tempat), dimana mansia sebagai individu maupun kelompok melangsungkan

kegiatan atau melaksanakan kehidupan.

Network (jaringan), merupakan sistem alami maupun buatan manusia, yang

menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut seperti jalan, air bersih, listrik, dan sebagainya.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya suatu permukiman terdiri dari isi (contents) yaitu manusia, baik secara individual maupun dalam masyarakat dan wadah yaitu lingkungan fisik permukiman lingkungan fisik permukiman yang merupakan wadah bagi kehidupan manusia dan merupakan pengejawantahan dari tata nilai, sistem sosial, dan budaya masyarakat yang membentuk suatu komunitas sebagai bagian dari lingkungan permukiman tersebut.

8 Basset, Keith & Short, John. 1980. Housing and Residential Structure, Alternative Approaches. London:

(7)

2.1.3. Standar Pelayanan Minimal untuk Permukiman9

9 Keputusan Menteri Permukiman Wilayah No.534/KPTS/M/2001

N

- Tersedia rumah dalam satu kawasan bagi seluruh lapisan masyarakat

- Sederhana

- Adil

- Kompetisi

Dalam PP 80 tahun 1999 tentang Kasiba dan Lisiba BS disebutkan pola hunian berimbang 1 : 3 : 6

Dasar hukumnya adalah SKB Mendagri, Men.PU,

Lingkungan Hunian yang

Berimbang dengan

(8)

Lingkungan

- Dapat diakses mobil pemadam kebakaran

(9)

pembuangan

-Kuat penerangan < 500 lux dengan tinggi > 5 meter dari muka tanah

Bersih, Mudah dicapai, tidak bising, jauh dari sumber penyakit, sumber

bau/ sampah dan kecamatan, bersih, tenang, jauh dari sumber penyakit,

Bersih, mudah dicapai,

terawatt, indah dan

(10)
(11)

2.2. Tinjauan Khusus

2.2.1. Pengertian dan Penjelasan Singkat Proyek

Dalam proyek ini, penulis mendapat isu proyek yaitu relokasi masyarakat Gunung Sinabung dimana masyarakat harus direlokasi ke Hutan Siosar yang saat ini permukiman relokasi tersebut sedang dalam tahap proses konstruksi. Berdasarkan hal tersebut perancangan ditugaskan untuk mengkaji ulang dan merancang ulang konsep rumah dan permukiman yang tepat dan kontekstual terhadap permasalahan yang saat ini dihadapi, sehingga penulis mengangkat judul proyek yaitu “Redesain Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung”, yang mempunyai pengertian :

 Redesain : Merancang kembali10.

 Permukiman : Lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik kawasan perkotaan maupun perkotaan sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan11.

 Relokasi : Pemindahan tempat12.

 Masyarakat Gunung Sinabung : Masyarakat yang hidup di sekitar Gunung Sinabung

Berdasarkan penelaahan pengertian dari tiap kata-kata pada Judul Proyek tersebut, penulis menetapkan bahwa Redesain Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung adalah Rancangan ulang permukiman masyarakat yang akan direlokasi dari Gunung Sinabung.

Proyek ini tentunya memiliki fungsi sebagai suatu hunian, baik hunian satuan (single) hingga berbentuk kawasan permukiman secara luas. Pada tugas ini, lokasi proyek

10 American Heritage Dictionary (2006) 11 Undang-Undang No.4 tahun 1992

(12)

disesuaikan dengan lokasi permukiman relokasi yang sudah dijalankan oleh pemerintah, yaitu Hutan Siosar, Desa Kacinambun, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Untuk luasan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebesar 1120 Ha (penggunaan lahan skala besar yang ditujukan untuk lahan perkebunan dan proyeksi jangka panjang jika letusan gunung sinabung semakin parah), namun pada Batasan Proyek, perancangan menetapkan luasan lahan yang digunakan seminimal dan seefektif mungkin untuk keadaan saat ini yaitu sebesar 66 Ha. Desa yang akan direlokasi adalah Desa Sukameriah, Desa Simacem, dan Desa Bekerah. Jumlah Kelompok Keluarga yang akan direlokasi adalah sebanyak 389 KK, dengan rincian Desa Sukameriah (137 KK), Desa Simacem (137 KK), Desa Bekerah (115 KK). Dan Site memiliki karakteristik berkontur dimana disekitar site

terdapat banyak pohon pinus yang sudah tua. 2.2.2. Data-Data Kuantitatif13

a. Klasifikasi Desa

Tabel 2. 1. Tabel Klasifikasi Desa

(13)

b. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk

Tabel 2. 2. Tabel Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk

c. Perubahan Jumlah Penduduk

(14)

d. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Tabel 2. 4. Tabel Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin

e. Rata-rata anggota Rumah Tangga

Tabel 2. 5. Tabel Rata-rata anggota Rumah Tangga

f. Jumlah Tenaga Kerja tiap Lapangan Pekerjaan

(15)

g. Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SD

Tabel 2. 7. Tabel Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SD

h. Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SMP

Tabel 2. 8. Tabel Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SMP

i. Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SMA

(16)

j. Jumlah Rumah Menurut Jenisnya

Tabel 2. 10. Tabel Jumlah Rumah Menurut Jenisnya

k. Jumlah Tempat Ibadah

Tabel 2. 11. Tabel Jumlah Tempat Ibadah

l. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut

(17)

m. Luas Panen Tanaman Palawija

Tabel 2. 13. Tabel Luas Panen Tanaman Palawija

n. Luas Panen Tanaman Rakyat

Tabel 2. 14. Tabel Luas Panen Tanaman Rakyat

o. Fasilitas Kesehatan Desa

(18)

o. Populasi Ternak Desa

Tabel 2. 16. Tabel Populasi Ternak Desa

p. Populasi Unggas Desa

Tabel 2. 17. Tabel Populasi Unggas Desa

q. Jumlah Rumah Tangga Pelanggan Listrik dan PAM

(19)

r. Jumlah Kendaraan Bermotor

Tabel 2. 19. Tabel Jumlah Kendaraan Bermotor

2.2.3. Data Kualitatif

a. Kerja Tahun (Merdang Merdem)

Masyarakat Karo adalah masyarakat pedesaan yang sejak dahulu mengandalkan titik perekonomiannya pada bidang pertanian. Tanaman padi adalah salah satu tanaman penting, yang selain mengandung makna ekonomi juga memiliki keterkaitan terhadap unsur religi dan sosial. Selain sebagai bahan pangan pokok, kekuatan ekonomi juga merupakan lambang prestise bagi masyarakat. Ukuran dan volume lumbung padi berpengaruh terhadap tolak ukur keberadaan seseorang. Maka agar hasil yang diperoleh cukup memuaskan, semua proses penanaman dari awal hingga akhir harus diberikan penghargaan dan disyukuri dengan harapan mencapai hasil yang baik.

Pada masa lalu proses penanaman padi dilakukan setahun sekali. Proses awal hingga akhir membutuhkan upacara agar berhasil dengan baik. Hal ini sesuai dengan magis animistis pada masyarakat yang menganut ajaran Pemena. Upacara-upacara tersebutlah yang mendasari terselenggaranya kerja tahun pada masyarakat Karo.

(20)

untuk merayakannya. Ada yang merayakan di masa awal penanaman, pertengahan pertumbuhan, ataupun masa panen.

Gambar 2. 2. Pesta Kerja Tahun

Sumber : Karonews.com

Semua acara di atas dilakukan sesuai kepercayaan “pemena” dengan tata cara dan perlengkapan tertentu yang berbeda di setiap fase dan daerah. Selain hal di atas, kerja tahun juga memiliki fungsi lain yaitu mempererat ikatan kekerabatan.

Sejalan dengan perkembangan waktu, terjadi perubahan di tengah-tengah masyarakat. Perekonomian masyarakat yang bersifat pertanian subsistensi bergeser kepada tanaman yang berorientasi pada kebutuhan pasar. Tanaman padi sudah mulai jarang ditanam, digantikan dengan tanaman lain yang dianggap lebih menguntungkan. Selain itu terjadi sikap yang lebih rasional atas konsep-konsep yang bersifat supranatural. Hal ini dipengaruhi oleh penyebaran agama, pendidikan serta perkembangan teknologi di tengah kehidupan masyarakat. Kontak dengan masyarakat lain, seperti pendatang yang bermukim ke daerah-daerah komunitas Karo, maupun transformasi masyarakat Karo menuju luar daerahnya turut mempengaruhi hal tersebut, namun tradisi kerja tahun tetap berjalan. Pesta Kerja Tahun ini dirayakan sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda.

* Hari pertama, cikor-kor, merupakan kegiatan dimana penduduk pergi ke ladang untuk

(21)

* Hari kedua, cikurung, merupakan kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah. Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, yang biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.

* Hari ketiga, ndurung, merupakan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan dari sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan tersebut * Hari keempat, mantem atau motong, merupakan hari menjelang hari perayaan puncak,

dimana penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk. * Hari kelima, matana, Matana artinya hari puncak perayaan, dimana semua penduduk saling mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk bergembira.

Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai tempat perayaan pesta. Acara dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional.

* Hari keenam, nimpa, ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, dengan bahan dasar tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut. Cimpa tesebut biasanya dihidangan sebagai tambahan setelah makan.

* Hari ketujuh, rebu, merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya dan seperti halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung.

b. Guru (Tabib) dalam Masyarakat Karo

(22)

Bagi orang Karo, guru adalah sebutan untuk orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keahlian melakukan berbagai praktek dan kepercayaan tradisional, seperti: meramal, membuat upacara ritual, berhubungan dengan roh atau mahluk gaib, perawatan serta penyembuhan kesehatan dan lain-lain. Guru dianggap memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan.

Menurut keyakinan orang Karo hanya orang-orang pilihan saja yang dapat menjadi seorang guru. Peran sebagai guru dianggap telah ditentukan dari sejak lahirnya seseorang dengan memiliki tanda-tanda kelahiran tertentu. Bahkan peran sebagai guru telah dianggap dimiliki seseorang sejak dia berada dalam kandungan Ibunya berdasarkan kata Dibata si mada tenuang atau kehendak dari Tuhan sang pencipta. Dalam hal ini, peran sebagai guru sudah merupakan suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Pendapat umum termasuk para guru mengatakan bahwa seseorang jika proses kelahirannya tidak istimewa, tidak lain dari pada yang lain ataupun tidak memiliki ciri fisik tertetu, tidak akan dapat menjadi guru jenis apa pun juga.

c. Pola Hidup Masyarakat di Desa Eksisting

Secara budaya tradisional, masyarakat di beberapa esa terkait sebenarnya sudah banyak meninggalkan budaya-budaya tradisional karo, kecuali pesta Kerja Tahun yang masih tetap bertahan, hal ini semakin diperkuat oleh status desa dimana desa terkait merupakan desa Swakarya dan Swasembada (desa yang sedang meninggalkan adat istiadat dan sudah meninggalkan adat istiadat).

Untuk pola hidup sehari-hari, masyarakat di desa eksisting sama halnya dengan masyarakat yang bekerja sebagai petani kebun, sangat sensitif dan intuitif terhadap perubahan musim tanam. Sifat seperti ini bahkan turun temurun terhadap anak-anak mereka, dimana mereka juga sejak kecil diajarkan untuk bercocok tanam di kebun dan membantu orang tua seusai sekolah. Anak laki-laki dan perempuan umumnya sama-sama membantu orang tua dalam bercocok tanam.

(23)

Setelah selesai kegiatan berkebun, umumnya para bapak-bapak akan berkumpul untuk istirahat dan bercengkrama dengan petani lainnya di balai masyarakat. Setelah itu pulang ke rumah untuk istirahat, santai dengan keluarga, makan malam dan lainnya.

Untuk memanen, biasanya masyarakat memanen pada pagi atau siang hari. Hasil panen terkadang untuk konsumsi keluarga dan juga di jual. Untuk pendistribusian panen umumnya langsung ke pengumpul sayur yang akan didistribusikan ke kota Medan, biasanya dilakukan pada pukul 03.00 pagi.

2.2.4. Tinjauan Lokasi

Pada tahap ini perancang mencoba untuk mengidentidikasi lokasi perancangan dengan peta digital yang kemudian akan ditetapkan lokasi untuk survey lokasi. Selain itu, peta digital ini nantinya diukur luasan yang dibutuhkan, kontur lahan, konteks di sekitar site, jarak terhadap Gunung Sinabung, jarak terhadap Kabanjahe, arah mata angin, dan lainnya.

Lokasi perancangan yang dipilih adalah Hutan Siosar yang merupakan lokasi resmi dari pemerintah untuk merelokasi masyarakat Gunung Sinabung, lahan yang letaknya sangat terpencil ini sudah mendapat izin secara resmi dan merupakan satu-satunya alternatif lokasi perancangan untuk permukiman relokasi masyarakat Gunung Sinabung.

(24)
(25)

Gambar 2. 3. Peta Lokasi Perancangan - Hutan Siosar

(26)

1. Kondisi Aksesibilitas

Setelah perancang melakukan kegiatan survey langsung ke Hutan Siosar, hanya terdapat satu jalur, yakni jalur masuk dari Kabanjahe dengan jarak tempuh 5 Km. Kondisi site yang berkontur mengakibatkan jalan sedikit meliuk-liuk sebagai respon terhadap lahan berkontur. Kondisi Fisik jalan menurut perancangan masih dalam tahap pengerjaan dan memasuki tahap finishing perkerasan, karena berdasarkan pengamatan perancang, jalur aksesibilitas masih berupa tanah keras yang sudah dilapisi oleh agregat kasar, yang dimana karakteristik dari agregat kasar ini merupakan komposisi dari jalan Aspal. Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara dengan anggota TNI yang akan mengerjakan perkerasan jalan tersebut.

Gambar 2. 4. Kondisi Fisik permukaan jalan menuju hutan siosar

(27)

Gambar 2. 5. Kondisi jalan yang berliku-liku dan naik turun

Sumber : Data Penulis

2. Kondisi Lingkungan

(28)

Gambar 2. 6. Signage Entrance Perkampungan Siosar

Sumber : Data Penulis

Gambar 2. 7. Kondisi Lingkungan Perkampungan Siosar dalam tahap konstruksi

(29)

Gambar 2. 8. Hunian yang sedang dalam tahap konstruksi

Sumber : Data Penulis

Kondisi lingkungan binaan di hutan siosar pada saat ini masih belum dapat ditemukan dikarenakan pada saat ini lokasi hutan siosar masih dalam tahap pengerjaan. Perancang hanya dapat memastikan kondisi fisik hunian dan sirkulasi, namun penempatan fasilitas tidak dapat sepenuhnya diidentifikasi, namun berdasarkan wawancara pada area tengah perkampungan akan dibuat taman dan juga beberapa fasilitas umum.

Gambar 2. 9. Area tengah yang akan dijadikan daerah taman dan fasilitas umum

(30)

Pada sekitar site terdapat hutan pinus milik pemerintah, sehingga pohon pinus yang ditebang untuk pelebaran lahan, sepenuhnya milik pemerintah. Dalam hal ini, kayu pinus hasil tebangan digunakan untuk material proses kontruksi, seperti bekisting, papan jembatan sementara, bedeng material, dan sisanya diperuntukkan bagi pemerintah. Oleh karena itu pohon pinus menurut perancang bukan sebuah potensi yang harus diolah dan digunakan pada perancangan permukiman ini, dikarenakan kepemilikan kayu tebangan yang dimiliki oleh pemerintah.

Gambar 2. 10. Hutan Pinus disekitar kawasan permukiman

Sumber : Data Penulis

Gambar 2. 11. Papan Pinus yang digunakan untuk membantu proses konstruksi

(31)

3. Kondisi Fisik Hunian

Dari hasil survey yang kami lakukan di Perkampungan Siosar, dapat dilihat bahwa kondisi fisik rumah yang dibangun pada Perkampungan Siosar ini sangat baik, baik dari segi tampilan dan juga struktur rumah. Tipologi rumah yang dibangun di Perkampungan Siosar ini seperti tipologi rumah di perumahan yaitu memiliki orientasi rumah yang jelas, pola rumah secara grid, dan lainnya. Selain itu, rumah ini memiliki struktur dan konstruksi rumah yang konvensional seperti penggunaan batu bata, beton bertulang, pondasi batu kali, dan lainnya dengan mengacu aspek konstruksi yang aman.

Berdasarkan hasil pengamatan, perancang banyak mendapat pemikiran serta pertanyaan mendasar mengenai hunian yang sudah mulai dibangun di Perkampungan Siosar ini, mulai dari karakteristik fisik rumah yang tidak sama dengan rumah mereka di desa mereka yang lama, pola permukiman yang sangat berbeda, material rumah yang berbeda, karakteristik ruang, dan lainnya. Perbedaan yang mencolok inilah yang nantinya akan menjadi permasalahan kedepannya kelak, yaitu akan terjadinya pergeseran psikologis masyarakat sehingga masyarakat akan merasa tidak nyaman untuk tinggal di permukiman baru, bahkan yang lebih buruknya adalah meninggalkan permukiman Siosar tersebut.

Oleh karena itu, perlu adanya kajian terhadap tipologi hunian awal, orientasi permukiman, material terdahulu, karakateristik ruang, dan aspek-aspek rumah lainnya yang ada di ketiga desa.

Gambar 2. 12. Bentuk Hunian masyarakat Korban Gunung Sinabung

(32)

Gambar 2. 13. Hunian bagi masyarakat korban bencana Gunung Sinabung

Sumber : Data Penulis

Gambar 2. 14. Proses Konstruksi Perkampungan Siosar

(33)

2.2.5. Tinjauan 3 Desa Eksisting

Peninjauan Desa Bekerah, Desa Simacem, dan Desa Sukameriah tidak dilakukan secara peninjauan langsung, hal ini dikarenakan 3 desa tersebut sedang dalam zona merah yaitu zona yang tidak aman dan harus steril dari aktivitas manusia. Oleh karena itu, perancang melakukan peninjauan dari berbagai sumber media internet berupa peninjauan berita-berita online serta peninjauan media cetak berupa buku, koran, dan majalah.

Peninjauan Desa Bekerah, Desa Simacem, dan Desa Sukameriah dilakukan karena ada banyak aspek-aspek yang harus tetap dituangkan kedalam desain permukiman yang baru, sehingga masyarakat tidak perlu merasakan adaptasi yang mendalam pada permukiman yang baru.

1. Jenis Desa

Tabel 2. 20. Tabel Klasifikasi Desa

sumber : BPS Kab. Karo

(34)

Berdasarkan Data Statistik Kab. Karo, dapat dilihat bahwa Desa Bekerah dan Desa Simacem merupakan desa swakarya sedangkan Desa Sukameriah adalah desa swasembada.

2. Kondisi Permukiman

Saat ini kondisi permukiman di tiga desa sangat parah dikarenakan tertimbun oleh abu vulkanik, sehingga kondisi fisik permukiman pada ketiga desa sudah tidak memungkinkan lagi untuk dihuni kembali.

Gambar 2. 15. Kondisi Permukiman Desa Bekerah

sumber : Merdeka.com

(35)

Gambar 2. 16. Foto udara Desa Bekerah dan Sukameriah

sumber : http://terra-image.com/gambar-citra-satelit-letusan-gunung-sinabung/

Gambar 2. 17. Foto Udara Desa Simacem

(36)

Gambar 2. 18. Bentuk Desa Linear

Sumber : Sensa, M. S. Djarot, 1987 : 38

(37)

3. Hunian Fisik

Hunian fisik yang dapat dijumpai pada ketiga desa eksisting antara lain hunian panggung yang berupa rumah adat waluh jabu, kemudian rumah non panggung yang umumnya menggunakan papan kayu dan juga bambu, dan jenis yang terakhir yaitu rumah mixed used yang lebih sering digunakan sebagai kios. Saat sekarang ini kondisi permukiman, termasuk hunian mereka sudah rusak parah diakibatkan menahan beban dari abu vulkanik yang tertimbun pada atap rumah mereka.

Gambar 2. 19. Hunian Fisik Masyarakat sekitar Gunung Sinabung

(38)

4. Konteks Masyarakat

Gambar 2. 20. Skema masyarakat bagian 1

(39)

5. Kegiatan Ruang Dalam Masyarakat

(40)
(41)
(42)

5. Kegiatan Ruang Luar Masyarakat

Gambar 2. 25. Skema kegiatan ruang luar masyarakat di tiga desa

6. Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial

a. Balai Masyarakat

Balai masyarakat atau masyarakat umumnya menyebutnya sebagai jambur digunakan sebagai tempat untuk melakukan pertemuan masyarakat, bersosialisasi, bahkan acara-acara adat dapat dilakukan pada balai masyarakat ini.

Gambar 2. 26. Balai Masyarakat

(43)

b. Tempat Ibadah

Merupakan tempat kebutuhan rohaniah masyarakat desa. Umumnya keberadaan rumah ibadah di ketiga desa berpencar dari satu tempat ke tempat lainnya.

Gambar 2. 27. Tempat ibadah

Sumber : https://karonewsupdate.wordpress.com

c. Fasilitas Penididikan

Fasilitas pendidikan seperti SD dan SMP umumnya ada di beberapa desa, namun ada juga beberapa desa yang tidak memiliki SD ataupun SMP, sehingga perlu adanya antisipasi mengenai pemerataan fasilitas pendidikan. Namun, untuk SMA tidak dapat dijumpai di ketiga desa tersebut, oleh karena itu, tidak heran bahwa anak-anak SMA di tiga desa ini umumnya bersekolah di Kota Medan, bahkan ada yang langsung membantu orang tua dalam berladang (putus sekolah).

Gambar 2. 28. Kondisi Fisik Sekolah yang telah rusak

(44)

d. Fasilitas Kesehatan

Pada ketiga desa terdapat Pustu (puskesmas pembantu) yang melayani tiap desa. Namun untuk puskesmas hanya terdapat di desa tertentu.

2.4. Studi Banding Proyek Sejenis

2.4.1. Huntap Desa Karangkendal, Jogjakarta

Huntap Desa Karangkendal merupakan sebuah hunian tetap (huntap) yang ditujukan bagi warga yang tinggal di kaki Gunung Merapi yang menjadi korban bencana gunung meletus pada tahun 2010 di Jogjakarta. Masyarakat yang dulunya tinggal di kaki Gunung Merapi direlokasi ke Desa Karangkendal dikarenakan daerah tersebut relatif aman dan letusan merapi tidak mengarah pada desa tersebut.

Gambar 2. 29. Huntap Desa Karangkendal, Jogjakarta

Sumber : https://hellolope.wordpress.com/2013/01/03/di-bawah-langit-merapi/

(45)

adalah Masjid, Komposter, Kandang sapi Komunal, Taman Bermain, Monumen, dan Rumah Baca.

Gambar 2. 30. Beberapa fasilitas di Huntap Karangkendal, Jogjakarta

(46)

2.4.2. Kampung Kali Code

Gambar 2. 31. Kampung Kali Code

Sumber : merdeka.com

Perkampungan Code Di kawasan kelurahan Kota Baru, Kecamatan Gondokusuman, kota Yogyakartaini, berada di bawah jembatan Gondolayu dan di samping gedung-gedung besar sebagai simbol respon Jogja terhadap modernitas, berdiri sebuah komplek pemukiman kecil yang eksotik, perkampungan Code namanya. Perkampungan Code telah dikenal sebagai tempat hunian yang nyaman dan asri oleh seluruh masyarakat Jogja. Satu-satunya tempat hunian unik nan artistik yang terletak bukan di kawasan elit, akan tetapi di bantaran sebuah sungai kumuh yang membelah Jogja.

Perkampungan Code memiliki ciri khas sebagai perkampungan yang berhasil membangun harmoni dengan lingkungan sekitarnya. Rumah-rumah yang berdiri di kawasan ini berderet dengan penataan arsitektural yang bagus, warna-warni yang cerah, lingkungannya tertata dengan baik, menggambarkan perencanaan dan kematangan pengelola dan masyarakatnya.

(47)

Gambar

Gambar 2. 1. Pola Permukiman Desa
Tabel 2. 1. Tabel Klasifikasi Desa
Tabel 2. 3. Tabel Perubahan Jumlah Penduduk
Tabel 2. 13. Tabel Luas Panen Tanaman Palawija
+7

Referensi

Dokumen terkait