GUNUNG SINABUNG
LAPORAN AKHIR SKRIPSI
RTA 4231 - STUDIO PERANCANGAN ARSITEKTUR 6 SEMESTER B TAHUN AJARAN 2014 / 2015
Sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Arsitektur
Oleh :
ROBERT SIMBOLON 110406048
GUNUNG SINABUNG
Oleh :
ROBERT SIMBOLON 110406048
Medan, Juli 2015
Disetujui Oleh :
Ir. Morida Siagian, MURP, Ph.D Dosen Pembimbing
Ketua Departemen Arsitektur
GUNUNG SINABUNG
SKRIPSI
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik di Departemen Arsitektur
Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara
Oleh
ROBERT SIMBOLON
110406048
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT
GUNUNG SINABUNG
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yan pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juli 2015
Nama Mahasiswa : ROBERT SIMBOLON
Nomor Pokok : 110406048
Program Studi : Arsitektur
Koordinator Skripsi,
Ir. N Vinky Rahman, MT NIP. 196606221997021001
Ketua Departemen Arsitektur,
Ir. N Vinky Rahman, MT NIP. 196606221997021001 Menyetutui
Dosen Pembimbing,
Tanggal: Juli 2015
Panitia Penguji Skripsi
Nama : Robert Simbolon
NIM : 110406048
Judul Proyek Tugas Akhir : Redesain Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung
Tema : Modular Architecture
Rekapitulasi Nilai :
A
B+
B
C
C+
D
E
Dengan ini mahasiswa yang bersangkutan dinyatakan :
No. Status
3. Perbaikan Tanpa Sidang
4. Perbaikan Dengan
Sidang 5. Tidak Lulus
Segala puji dan syukur bagi-Mu, Allah, yang berahta dalam kerajaan Surga, Tuhan semesta alam dan pemilik segala ilmu. Atas rahmat dan karunia-Nya lah saya dapat menyelesaikan segala keseluruhan dari proses penyusunan Laporan Tugas Akhir ini yang mana sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Arsitektur di Departemen Arsitektur, Universitas Sumatera Utara, yang merupakan kampus tercinta.
Tugas Akhir yang memiliki judul “Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung” yang mengambil tema dan pendekatan “Sustainable Modular House”, baik dari konsep bangunannya hingga konsep metoda konstruksinya yang modular nan sederhana. Penggunaan teknologi modular dan sederhana ditujukan untuk mengkaitkan aspek partisipatif (masyarakat) sehingga setiap lapisan masyarakat yang direlokasi mampu secara partisipasi untuk membangun permukiman mereka di area yang baru.
Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan dan kedalaman hati, saya menyampaikan rasa hormat sebesar-besarnya kepada:
Dosen Pembimbing Tugas Akhir, Ibu Ir. Morida Siagian, MURP, Ph.D, yang mana atas kesediaannya untuk terus membantu, mendorong, memotivasi, pengarahan serta waktu yang terus diberikan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan Studio Perancangan Arsitektur 6 ini.
Tidak lupa saya ucapkan banyak terima kasih kepada para penguji bapak Ir. Samsul Bahri, MT dan bapak Devin Defriza,ST, MT yang memberikan komentar dan kritikan dengan tujuan untuk membangun tugas akhir ini semakin baik. Rasa hormat dan terima kasih juga saya haturkan kepada:
Bapak Ir. N. Vinky Rahman, M.T. sebagai Ketua Departemen Arsitektur, sosok yang selalu mendukung saya baik di bidang akademik, maupun bidang non akademik.
Bapak Ir. Rudolf Sitorus, M.L.A. Sekretaris Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, yang sudah saya anggap seperti sosok “Ayah Arsitek” saya sendiri. Saya sudah lulus, terima kasih banyak kepada Bapak, perjalanan panjang selama 4 tahun “kita” terukir dan terlihat dari prestasi anak akademismu ini, Pak! Semoga di lain waktu kita bisa “bersama” lagi, Pak!
Ibu Ir. Basaria Talarosha, M.T. sosok yang saya selalu hormati, sosok yang selalu mengayomi, sosok yang pertama kali membuat saya semakin tertarik dengan arsitektur, konstruksi, dan struktur. Dosen yang sangat profesional.
habisnya untuk memberi semangat, dukungan, dan doa untuk anaknya ini. Terima kasih atas pengorbanan kalian selama ini.
Medan, Juli 2015 Penulis
KATA PENGANTAR ... ii
1.2. Maksud dan Tujuan ... 5
1.3. Rumusan Masalah ... 6
1.4. Lingkup / Batasan Proyek ... 7
1.5. Pendekatan Perancangan ... 8
1.6. Kerangka Berfikir ... 9
BAB II DESKRIPSI PROYEK ... 10
2.1. Tinjauan Umum ... 10
2.1.1. Permukiman Desa ... 10
2.1.2. Hunian / Rumah ... 12
2.1.3. Standar Pelayanan Minimal untuk Permukiman ... 15
2.2. Tinjauan Khusus ... 19
2.2.1. Pengertian dan Penjelasan Singkat Proyek ... 19
2.2.2. Data-Data Kuantitatif ... 20
2.2.3. Data Kualitatif ... 27
2.2.4. Tinjauan Lokasi ... 31
2.2.5. Tinjauan 3 Desa Eksisting ... 41
2.4. Studi Banding Proyek Sejenis ... 52
2.4.1. Huntap Desa Karangkendal, Jogjakarta... 52
2.4.2. Kampung Kali Code ... 54
BAB III ELABORASI TEMA ... 57
3.1. Pengertian Tema ... 57
3.2. Penelaahan Tema berdasarkan isu dan permasalahan ... 58
4.1.4. Analisa Permukiman dan Hunian Eksisting ... 65
4.2. Analisa Permukiman dan Hunian di tiga desa eksisting ... 67
4.2.1. Pola Permukiman ... 67
4.2.2. Orientasi Bangunan (analisa secara makro)... 68
4.2.3. Orientasi Bangunan (analisa secara mikro) ... 71
4.2.4. Analisa Sirkulasi di tiga Desa ... 72
4.2.5. Analisa Ruang Sosial Permukiman Eksisting di tiga Desa ... 74
4.2.6. Analisa Pertumbuhan Penduduk ... 76
4.2.7. Analisa Pembagian Desa ... 78
4.2.8. Analisa Hunian Eksisting ... 81
4.2.9. Analisa Aktivitas Ruang Dalam ... 84
4.2.10. Analisa dan Program Ruang Hunian ... 85
4.3. Analisa Permasalahan Perancangan ... 86
4.3.1. Aspek Penting Rumah Yang Diperlukan ... 87
4.3.2. Kaitan aspek “Material” dan “Cost” ... 88
4.3.3. Kaitan aspek “Material” dan “Time” ... 88
4.3.4. Kaitan aspek “Cost” dan “Time” ... 88
4.3.5. Posisi Local Craftmanship Yaitu Sebagai Eksekutor ... 88
4.4. Analisa Goal, Constrain, dan Criteria... 89
BAB V KONSEP DESAIN ... 90
5.1. Konsep Permukiman ... 90
5.1.1. Konsep Makro Desa ... 90
5.1.2. Konsep Sirkulasi Desa ... 91
5.1.3. Konsep Pola Permukiman ... 92
5.1.3. Konsep Mitigasi Bencana ... 94
5.1.4. Konsep Street Furniture Permukiman ... 96
5.1.5. Konsep Manajemen Sampah... 97
5.3.2. Konsep Space ... 109
5.3.3. Konsep Eksplorasi Modul Ruang ... 110
5.3.4. Struktur Dan Konstruksi ... 112
5.3.5. Modul-modul Material dan Modul Bangunan ... 113
5.3.6. Konstruksi Permanen Bangunan ... 114
5.3.7. Konsep Rumah Tumbuh ... 116
5.3.8. Detail Fungsi Rumah ... 118
5.3.9. Output Desain Rumah ... 121
5.4. Konsep Fasilitas Umum dan Sosial ... 123
BAB VI KESIMPULAN ... 127
DAFTAR PUSTAKA ... 129
Gambar 1. 1. Diagram Kerangka Berfikir ... 9
Gambar 2. 1. Pola Permukiman Desa ... 12
Gambar 2. 2. Pesta Kerja Tahun ... 28
Gambar 2. 3. Peta Lokasi Perancangan - Hutan Siosar ... 33
Gambar 2. 4. Kondisi Fisik permukaan jalan menuju hutan siosar ... 34
Gambar 2. 5. Kondisi jalan yang berliku-liku dan naik turun ... 35
Gambar 2. 6. Signage Entrance Perkampungan Siosar ... 36
Gambar 2. 7. Kondisi Lingkungan Perkampungan Siosar dalam tahap konstruksi ... 36
Gambar 2. 8. Hunian yang sedang dalam tahap konstruksi ... 37
Gambar 2. 9. Area tengah yang akan dijadikan daerah taman dan fasilitas umum ... 37
Gambar 2. 10. Hutan Pinus disekitar kawasan permukiman ... 38
Gambar 2. 11. Papan Pinus yang digunakan untuk membantu proses konstruksi ... 38
Gambar 2. 12. Bentuk Hunian masyarakat Korban Gunung Sinabung ... 39
Gambar 2. 13. Hunian bagi masyarakat korban bencana Gunung Sinabung ... 40
Gambar 2. 14. Proses Konstruksi Perkampungan Siosar ... 40
Gambar 2. 15. Kondisi Permukiman Desa Bekerah ... 42
Gambar 2. 16. Foto udara Desa Bekerah dan Sukameriah... 43
Gambar 2. 17. Foto Udara Desa Simacem ... 43
Gambar 2. 18. Bentuk Desa Linear ... 44
Gambar 2. 19. Hunian Fisik Masyarakat sekitar Gunung Sinabung ... 45
Gambar 2. 20. Skema masyarakat bagian 1 ... 46
Gambar 2. 21. Skema masyarakat bagian 2 ... 46
Gambar 2. 22. Skema Kegiatan pria dewasa (ayah) di Rumah ... 47
Gambar 2. 23. Skema kegiatan wanita dewasa (ibu) di rumah ... 48
Gambar 2. 24. Skema Kegiatan anak laki-laki dan perempuan di rumah ... 49
Gambar 2. 25. Skema kegiatan ruang luar masyarakat di tiga desa ... 50
Gambar 2. 26. Balai Masyarakat ... 50
Gambar 2. 27. Tempat ibadah ... 51
Gambar 2. 28. Kondisi Fisik Sekolah yang telah rusak ... 51
Gambar 2. 29. Huntap Desa Karangkendal, Jogjakarta ... 52
Gambar 2. 30. Beberapa fasilitas di Huntap Karangkendal, Jogjakarta ... 53
Gambar 2. 31. Kampung Kali Code... 54
Gambar 3. 1. Rumah Ngibikan Bantul ... 59
Gambar 4. 7. Foto udara Desa Sukameriah dan hasil analisa grafis ... 68
Gambar 4. 8. Foto Udara Desa Simacem dan hasil analisa grafis ... 68
Gambar 4. 9. Letak Hunian Mixed Used ... 68
Gambar 4. 10. Ilustrasi Orientasi bangunan Mixed Used ... 69
Gambar 4. 11. Orientasi rumah mixed used / kios-kios ... 69
Gambar 4. 12. Letak Rumah Tinggal ... 70
Gambar 4. 13. Ilustrasi Orientasi bangunan Rumah Tinggal ... 70
Gambar 4. 14. Rumah masyarakat di Desa Sukameriah, Desa bekerah, dan Desa Simacem .. 71
Gambar 4. 15. Jalan Kolektor dan Jalan Lokal... 73
Gambar 4. 16. Gang Desa ... 74
Gambar 4. 17. Letak ruang sosial terhadap desa ... 74
Gambar 4. 18. Diagram pembagian ruang sosial ... 75
Gambar 4. 19. Ruang Sosial makro berupa balai masyarakat ... 75
Gambar 4. 20. Ruang sosial mikro berupa teras dan gang desa ... 76
Gambar 4. 21. Pembagian batas wilayah ... 79
Gambar 4. 22. Rumah Adat Waluh Jabu ... 82
Gambar 4. 23. Tipologi non-panggung yang umumnya digunakan untuk 1 keluarga ... 82
Gambar 4. 24. Tipologi Mixed Used ... 83
Gambar 4. 25. Analisa Aktivitas ruang dalam Ayah dan Ibu... 84
Gambar 4. 26. Analisa Aktivitas Ruang Dalam Anak Laki-laki dan Perempuan ... 85
Gambar 4. 27. Aspek Penting dalam rumah sebagai respon dari permasalahan perancangan 87 Gambar 5. 1. Pola Desa mengelilingi Fasilitas Umum ... 91
Gambar 5. 2.Penerapan Pola Desa berupa Sirkulasi ... 91
Gambar 5. 3. Jalan Kolektor ... 92
Gambar 5. 4. Jalan Lokal ... 92
Gambar 5. 5. Gang Desa ... 92
Gambar 5. 6. Skema Konsep Pola Permukiman ... 93
Gambar 5. 7. Penerapan Pola Permukiman pada Site ... 93
Gambar 5. 8. Pola Permukiman di desa eksisting ... 94
Gambar 5. 9. Pola Permukiman di lokasi yang baru ... 94
Gambar 5. 10. Area sirkulasi yang mengarah ke area evakuasi ... 95
Gambar 5. 11. Skema Evakuasi Antar-Kelompok Hunian ... 95
Gambar 5. 12. Area Evakuasi Skala Antar-Desa ... 96
Gambar 5. 13. Konsep Street Furniture ... 96
Gambar 5. 14. Diagram Manajemen Sampah secara Makro ... 97
Gambar 5. 15. Proses Manajemen Sampah Basah ... 97
Gambar 5. 16. Proses Manajemen Sampah Kering ... 97
Gambar 5. 17. Manajemen Limbah Hunian dan Kotoran Sapi ... 98
Gambar 5. 18.Aliran imbah Cair berupa saluran ... 98
Gambar 5. 19. Skema Wetland Irrigation ... 99
Gambar 5. 27. Transformasi Ruang ke Hunian ... 105
Gambar 5. 28. Communal Space ... 105
Gambar 5. 29. Transformasi Sirkulasi ... 106
Gambar 5. 30. Skema Konsep Koridor Usaha ... 107
Gambar 5. 31. Skema Koridor Usaha ... 107
Gambar 5. 32. Letak Koridor Usaha dan Perspektif suasana ... 108
Gambar 5. 33. Kaitan Aspek Cost, Material, Time dan Local Craftmanship ... 108
Gambar 5. 34. Konsep Modular House dan Elemen Modular House ... 109
Gambar 5. 35. Perhitungan Luas dan Modul Inti Bangunan ... 109
Gambar 5. 36. Transformasi Space ... 110
Gambar 5. 37. (Kiri) Lahan Hunian dan Jarak sirkulasi, (Kanan) Penambahan Ruang ... 111
Gambar 5. 38. Pengembangan Hunian terhadap alur sirkulasi permukiman ... 111
Gambar 5. 39. Skema Pengambilan Material ... 112
Gambar 5. 40. Skema Perencanaan dengan Melibatkan Masyarakat ... 113
Gambar 5. 41. ProsesPembentukan Modul Dinding ... 113
Gambar 5. 42. Modul Dinding dan Kolom serta pemasangannya ... 114
Gambar 5. 43. Proses dan Metoda Konstruksi Permanen ... 115
Gambar 5. 44. Skema Transformasi Ruang ... 116
Gambar 5. 45. Alternatif Pengembangan Rumah Tipe A ... 117
Gambar 5. 46. Alternatif Pengembangan Rumah Tipe B ... 117
Gambar 5. 47. Alternatif Pengembangan Rumah Tipe C ... 117
Gambar 5. 48. Lubang Cahaya + Penjemur Hasil Panen ... 118
Gambar 5. 49. Teras Depan + Shared Space ... 118
Gambar 5. 50. Rainwater Harvest ... 119
Gambar 5. 51. Urban Farming ... 119
Gambar 5. 52. Kolong Bangunan yang dapat dijadikan gudang alat pertanian ... 120
Gambar 5. 53. Balai Masyarakat ... 123
Gambar 5. 54. Kandang Ternak Komunal ... 123
Gambar 5. 55. Denah Balai Desa, Koperasi Desa, dan Klinik ... 124
Gambar 5. 56. Skema Vertical Housing... 125
Gambar 5. 57. Posisi dan Letak Vertical Housing terhadap lahan perkebunan ... 125
Tabel 2. 1. Tabel Klasifikasi Desa ... 20
Tabel 2. 2. Tabel Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk ... 21
Tabel 2. 3. Tabel Perubahan Jumlah Penduduk... 21
Tabel 2. 4. Tabel Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin ... 22
Tabel 2. 5. Tabel Rata-rata anggota Rumah Tangga ... 22
Tabel 2. 6. Tabel Jumlah Tenaga Kerja tiap Lapangan Pekerjaan ... 22
Tabel 2. 7. Tabel Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SD ... 23
Tabel 2. 8. Tabel Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SMP ... 23
Tabel 2. 9. Tabel Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SMA... 23
Tabel 2. 10. Tabel Jumlah Rumah Menurut Jenisnya ... 24
Tabel 2. 11. Tabel Jumlah Tempat Ibadah ... 24
Tabel 2. 12. Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut ... 24
Tabel 2. 13. Tabel Luas Panen Tanaman Palawija ... 25
Tabel 2. 14. Tabel Luas Panen Tanaman Rakyat ... 25
Tabel 2. 15. Tabel Jumlah Fasilitas Kesehatan ... 25
Tabel 2. 16. Tabel Populasi Ternak Desa... 26
Tabel 2. 17. Tabel Populasi Unggas Desa ... 26
Tabel 2. 18. Tabel Jumlah Rumah Tangga Pelanggan Listrik dan PAM... 26
Tabel 2. 19. Tabel Jumlah Kendaraan Bermotor ... 27
Tabel 2. 20. Tabel Klasifikasi Desa ... 41
Tabel 4. 1. Tabel Perubahan Jumlah Penduduk di tiga desa ... 77
Gunung Sinabung merupakan fokus utama permasalahan yang saat ini menjadi momok bagi masyarakat yang tinggal di kaki gunung tersebut. Letusan Gunung Sinabung yang hampir memasuki tahun kedua ini memaksa pemerintah pusat untuk merelokasi masyarakat ke daerah yang relatif lebih aman yaitu di Hutan Siosar yang kini dijadikan kawasan Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung.
Kawasan Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung yang sedang dalam tahapan konstruksi ini menurut saya dan tim Studio Perancangan Arsitektur 6 – Universitas Sumatera Utara ini sangat jauh dari konteks Urgency, sehingga tidak heran bahwasannya masyarakat yang akan direlokasi sudah sangat lama menunggu untuk resmi direlokasi secara keseluruhan dan seutuhnya. Isu Urgency dalam Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung tidak akan lepas dari aspek Cost (Biaya), Materials (bahan bangunan), Time
(waktu), Sustainability, serta adanya Local Craftmanship yang menjadi aspek penting dalam memecahkan permasalahan tersebut.
Jika dianalisis lebih lanjut, aspek Cost, Materials, Time, Sustainability, dan Local Craftmanship dapat membentuk simpul-simpul yang terkait satu sama lain, sehingga satu aspek pun tidak dapat lepas menjadi satu bagian lain. Hubungan antara aspek Cost, Materials, Time, Sustainability, dan Local Craftmanship dengan konteks Urgency dalam Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung dapat dipecahkan dengan suatu konsep Sustainable Modular House, dimana konsep ini mampu menyentuh aspek Cost, Materials, Time, Sustainability, dan Local Craftmanship secara bersamaan tanpa terlepas dari aspek lainnya. Sehingga diharapkan konsep ini mampu menjadi respon dari konteks urgency dalam Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung.
Gunung Sinabung merupakan fokus utama permasalahan yang saat ini menjadi momok bagi masyarakat yang tinggal di kaki gunung tersebut. Letusan Gunung Sinabung yang hampir memasuki tahun kedua ini memaksa pemerintah pusat untuk merelokasi masyarakat ke daerah yang relatif lebih aman yaitu di Hutan Siosar yang kini dijadikan kawasan Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung.
Kawasan Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung yang sedang dalam tahapan konstruksi ini menurut saya dan tim Studio Perancangan Arsitektur 6 – Universitas Sumatera Utara ini sangat jauh dari konteks Urgency, sehingga tidak heran bahwasannya masyarakat yang akan direlokasi sudah sangat lama menunggu untuk resmi direlokasi secara keseluruhan dan seutuhnya. Isu Urgency dalam Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung tidak akan lepas dari aspek Cost (Biaya), Materials (bahan bangunan), Time
(waktu), Sustainability, serta adanya Local Craftmanship yang menjadi aspek penting dalam memecahkan permasalahan tersebut.
Jika dianalisis lebih lanjut, aspek Cost, Materials, Time, Sustainability, dan Local Craftmanship dapat membentuk simpul-simpul yang terkait satu sama lain, sehingga satu aspek pun tidak dapat lepas menjadi satu bagian lain. Hubungan antara aspek Cost, Materials, Time, Sustainability, dan Local Craftmanship dengan konteks Urgency dalam Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung dapat dipecahkan dengan suatu konsep Sustainable Modular House, dimana konsep ini mampu menyentuh aspek Cost, Materials, Time, Sustainability, dan Local Craftmanship secara bersamaan tanpa terlepas dari aspek lainnya. Sehingga diharapkan konsep ini mampu menjadi respon dari konteks urgency dalam Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah suatu negara yang sering kali terjadi bencana alam, mulai dari gempa bumi, tsunami, banjir, hingga gunung meletus. Bencana alam didefinisikan sebagai suatu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor1. Memprediksi kedatangan bencana alam merupakan hal yang sangat sulit untuk dilakukan, walaupun sekarang banyak sekali teknologi tercanggih untuk mendeteksi keberadaan bencana alam, namun tidak semua bencana alam dapat dideteksi secara akurat, sehingga masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana alam harus tetap selalu waspada dalam menghadapi bencana alam yang selalu menghantui kehidupan mereka.
Jika menilik dan mengkaitkan lebih mendalam antar jenis bencana dan letak geografis, Indonesia adalah salah satu negara yang terletak di wilayah Cincin Api Pasifik
atau Lingkaran Api Pasifik (Ring of Fire). Zona Ring of Fire adalah daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan samudera pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km. Daerah ini disebut juga sabuk gempa Pasifik 2. Oleh karena keberadaan Indonesia yang terletak di Ring of Fire mengakibatkan geografi Indonesia didominasi oleh gunung-gunung berapi, dimana gunung-gunung ini terbentuk akibat zona subduksi (penekukan yang terjadi akibat adanya benturan antarlempeng yang mengakibatkan terjadinya palung laut) antara lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia. Di Indonesia sendiri, ada beberapa gunung api yang sangat terkenal akibat letusannya yang dahsyat, seperti Gunung Krakatau yang
berdampak secara global di tahun 1883 3, letusan supervulkan Danau Toba yang sangat melegenda yang diperkirakan terjadi 74.000 tahun yang lalu yang mengakibatkan terjadinya musim dingin vulkan selama enam tahun dan yang terakhir yang tidak kalah hebatnya adalah Gunung Tambora dengan letusan yang paling hebat yang pernah tercatat dalam sejarah pada tahun 1815.
Keberadaan Gunung Api yang mendominasi di beberapa daerah di Indonesia, negara yang terletak di area Ring of Fire, mengakibatkan aspek keamanan dan kenyamanan suatu permukiman di pedesaan (khususnya yang dekat terhadap gunung aktif) semakin menurun. Masyarakat selalu dihantui oleh bencana alam yang sulit diprediksi, bisa terjadi kapan saja sekehendak alam, dan mampu mengakibatkan kerugian yang sangat besar hingga memakan korban jiwa. Hunian masyarakat pedesaan yang letaknya berdekatan dengan gunung api merupakan sebuah permasalahan besar dan pekerjaan rumah bagi Kementrian Perumahan Rakyat Republik Indonesia, dimana Negara wajib menjamin hak bermukim masyarakat terhadap bencana alam yang mengancam dan/atau mengganggu kehidupan dan penghidupan, sehingga perlu memberikan kepastian hukum dalam merencanakan perumahan dan kawasan permukiman yang mempertimbangkan peningkatan sumber daya perkotaan atau perdesaan, mitigasi bencana, dan penyediaan atau peningkatan prasarana, sarana, dan utilitas umum 4. Mitigasi bencana perlu dilakukan dalam upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat menghadapi ancaman bencana alam. Namun pada kenyataanya perencanaan permukiman di desa yang berdekat dengan gunung berapi masih luput dari perencanaan perumahan dan permukiman dengan aspek mitigasi bencana, sehingga tidak heran banyak sekali kerugian yang dirasakan oleh masyarakat pedesaan akibat bencana alam tersebut, dalam hal ini adalah gunung meletus. Berdasarakan Pasal 16 UU Nomor 10 tahun 2014, Peraturan Menteri Perumahan Rakyat
tentang Pedoman Mitigasi Bencana Gunung Meletus terhadap perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa :
a. perencanaan perumahan dan kawasan permukiman menghindari kawasan rawan bencana gunung meletus terutama yang masih aktif serta lokasi yang cenderung dialiri lava;
b. desain rumah serta sarana dan utilitas umum yang tahan terhadap beban dan bahaya akibat letusan gunung; dan
c. menyediakan lokasi evakuasi dan pengungsian prasarana jalan yang memadai menuju lokasi pengungsian, serta alat transportasi5.
Namun, beberapa bencana gunung meletus yang telah terjadi selama 1,5 tahun di Gunung Sinabung, mengharuskan masyarakat untuk mengungsi di beberapa posko pengungsian selama 1,5 tahun pula. Beberapa desa yang terkena dampak yang sangat besar adalah desa Bekerah, desa Sukameriah, dan desa Simacem (radius 0-5 km), sehingga Pemerintah daerah dan Pusat mengharuskan masyarakat yang tinggal di desa tersebut harus direlokasi ke tempat yang lebih aman.
Pemerintah saat ini sudah menyediakan lokasi permukiman baru yaitu hutan siosar (jarak 27 km dari Gunung Sinabung dan sekarang bernama Perkampungan Siosar) yang cukup aman dan sudah dilakukan pembebasan lahan, bahkan lebih jauh lagi saat ini pemerintah sudah melakukan proses konstruksi hunian di lokasi tersebut. Namun proses konstruksi yang lambat membuat proses relokasi masyarakat juga terjadi sangat lambat, dan perencanaan yang tidak tepat sasaran (dalam hal kehidupan masyarakat di tempat yang baru), hingga menimbulkan konflik (umumnya masyarakat tidak mau direlokasi karena berbagai alasan, contohnya tidak ada area untuk bercocok tanam sebagai contoh kasus di Gunung Sinabung). Akan tetapi perencanaan permukiman yang bertitik tumpu pada Peraturan Pemerintah mengenai permukiman berbasis mitigasi bencana merupakan
5
undang-undang yang seharusnya sudah dilaksanakan demi kebaikan hidup masyarakat, namun pada kenyataannya, perencanaan yang terjadi sangatlah tidak tepat dan sangat lambat (dalam hal proses konstruksi), sehingga masyarakat enggan untuk direlokasi dan beberapa diantaranya terpaksa untuk hidup lebih lama di pengungsian, seperti halnya masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Sinabung yang sudah menunggu untuk direlokasi lebih dari setengah tahun.
Jadi, perlu adanya suatu konsep desain yang baru, yang menjadi pembanding dari desain permukiman yang saat ini sudah terjadi di Perkampungan Siosar. Desain ini diharapkan mampu mengakomodasi regulasi pemerintah mengenai perencanaan Perumahan dan Kawasan Permukiman yang berbasis mitigasi bencana, namun tidak hanya memikirikan keselamatan masyarakat saja, melainkan juga proses pembangunan yang murah, mudah, cepat, dan penggunaan material yang efektif sehingga masyarakat
dapat terlibat dalam proses konstruksi dan dapat direlokasi dengan secepatnya, kemudian memperhatikan kehidupan baru masyarakat di tempat tinggal mereka yang baru, karena “relokasi” bukan hanya tentang memindahkan masyarakat dari suatu tempat yang berbahaya ke ketempat yang lebih aman, namun lebih dari itu, relokasi juga memindahkan “kehidupan” mereka yang lama ke tempat yang baru. Dan yang terakhir yang tidak kalah penting adalah tetap mempertahankan dan mempertajam beberapa aspek yang ada di desa mereka masing-masing yang akan diterapkan kembali pada tempat mereka
1.2. Maksud dan Tujuan
Berdasarkan penjelasan-penjelasan pada Latar Belakang, proyek ini direncanakan dan dikonsepkan dengan maksud sebagai konsep pembangunan permukiman pedesaan bagi masyarakat yang dahulu hidup di Gunung Sinabung. Berdasarkan maksud tersebut, maka tujuan dari proyek ini adalah :
1. Untuk menciptakan konsep rumah bagi masyarakat Gunung Sinabung yang sesuai dengan kebutuhan mereka yang begitu mendesak,
2. Untuk menciptakan konsep perancangan permukiman pedesaan bagi masyarakat Gunung Sinabung yang tetap mempertahankan aspek positif “kehidupan lama” mereka ke suatu tempat yang baru,
3. Untuk merancang permukiman pedesaan bagi masyarakat relokasi Gunung Sinabung yang sesuai dengan kebutuhan dasar masyarakat, yang dapat dibangun dengan teknologi sederhana, dapat dikelola dan dirawat secara mandiri oleh masyarakat setempat,
4. Untuk merancang permukiman pedesaan bagi masyarakat relokasi Gunung Sinabung yang berwawasan berkelanjutan dengan pemanfaatan potensi lokal dalam perencanaan permukiman pedesaan tersebut, seperti local material, local craftmanship, dan local wisdom.
1.3. Rumusan Masalah
Dari penelaahan Latar Belakang dan penelusuran maksud dan tujuan dari proyek ini, adapun permasalahan-permasalahan dari berbagai aspek yang menyangkut proyek ini adalah sebagai berikut :
Aspek Fisik :
1. Bagaimana mensinergikan tema yang diangkat yaitu Sustainable Modular House
dengan permukiman masyarakat relokasi Gunung Sinabung, sebagai solusi yang tepat dalam perencanaan permukiman masyarakat relokasi Gunung Sinabung tersebut.
2. Bagaimana cara mempertahankan aspek positif “kehidupan lama” mereka ke suatu tempat yang baru,
3. Bagaimana merancang permukiman masyarakat relokasi Gunung Sinabung serta fasilitas sosial dan umum yang mendasar sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dulu tinggal Gunung Sinabung.
Aspek Lingkungan, Sosial, Psikologi, Budaya, dan Ekonomi
1. Lingkungan baru yang akan dijadikan kawasan permukiman pedesaan yang baru secara mendasar dapat merubah perilaku dan kebiasaan masyarakat.
1.4. Lingkup / Batasan Proyek
Permasalahan perancangan dan perencanaan Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung mempunyai lingkup dan pembahasan yang sangat luas, agar dapat ditangani dengan jelas, dalam pembahasan dan perencanaan ini diadakannya batasan-batasanan berikut:
1. Lokasi yang digunakan untuk merelokasi masyarakat Gunung Sinabung adalah lokasi yang digunakan pemerintah saat ini untuk merelokasi masyarakat Gunung Sinabung. Sehingga analisa keamanan lokasi, analisa pergerakan angin yang berimbas pada pergerakan asap gunung, analisa kesuburan tanah, analisa struktur tanah, keberadaan air bersih dan lainnya tidak menjadi bahasan penulis, karena lokasi site yang ditentukan saat ini sudah memenuhi standar kelayakan untuk sebuah permukiman
2. Luasan lahan yang dipakai merupakan luasan yang tidak mengacu pada lahan yang diberikan pemerintah yaitu sekitar 1120 Ha. Lahan yang digunakan pada perancangan ini digunakan secukupnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3. Aspek Perkebunan masyarakat tidak terlalu dibahas pada perancangan ini
4. Seluruh masyarakat (laki-laki dewasa) dianggap dapat berpartisipasi dalam pembangunan
5. Besaran ruang yang digunakan pada segala bentuk perancangan ini berdasarkan kebutuhan dasar penghuni, asumsi atau standar umum yang dipakai.
6. Untuk permasalahan di ketiga desa, penganalisaan data dilakukan secara analisa grafis, asumsi, dan juga wawancara terhadap pihak yang dianggap cukup mengerti akan permasalahn di ketiga desa. Hal ini dikarenakan tiga desa tersebut merupakan zona merah (bahaya) dimana penulis tidak dapat melakukan survey secara langsung.
1.5. Pendekatan Perancangan
Pendekatan yang ada dalam perancangan ini menggunakan berbagai metoda sebagai berikut:
a. Studi Literatur
Metoda yang digunakan dengan cara mempelajari permasalahan yang ada pada perancangan dengan menggunakan pemecahan masalah, pengambilan teori, penggunaan data berdasarkan referensi-referensi yang dianggap relevan, kontekstual, dan mendukung dalam proses perancangan.
b. Studi Banding
Metoda yang digunakan untuk melakukan perbandingan terhadap pendekatan masalah, pendekatan pemecahan masalah, dan perbandingan kasus yang memiliki kesamaan isu ataupun tema yang diambil dari berbagai sumber seperti buku, internet, majalah, dan lainnya.
c. Survey Lapangan
Metoda menganalisis dan survey lapangan secara langsung
d. Wawancara
Metoda diskusi dengan beberapa pihak yang terlibat dalam proses pembangunan rumah di hutan siosar
e. Analisis Grafis
1.6. Kerangka Berfikir
Gambar 1. 1. Diagram Kerangka Berfikir
BAB II
BAB II
DESKRIPSI PROYEK
2.1. Tinjauan Umum
2.1.1. Permukiman Desa
a. Pengertian Desa
Pengertian desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian village dan rural. Sering pula dibandingkan dengan kota (town/city) dan perkotaan (urban). Perdesaan (rural) menurut Wojowasito dan Poerwodarminto (1972)6 diartikan seperti desa atau seperti di desa dan perkotaan (urban) diartikan seperti kota atau seperti di kota.
Berdasarkan batasan tersebut, perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik masyarakat, sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau teritorial. Dalam kaitan ini suatu daerah perdesaan dapat mencakup beberapa desa. Beberapa pandangan dari para ahli sebagaimana yang dikemukakan berikut ini.
1. Boeke, desa merupakan suatu masyarakat yang religius yang diikat oleh tradisi bersama para warga penanam bahan makanan yang sedikit banyak mempunyai hubungan kebangsaan.
2. Soetardjo Kartohadikoesoemo, desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.
3. E.A. Mokodompit, desa merupakan suatu kesatuan teritorial, kekerabatan, nilai, dan aktivitas dari beberapa keluarga.
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Tipologi Desa
Tipologi desa ialah teknik untuk mengenal tipe-tipe desa berdasarkan ciri-ciri menonjol (tipikal) yang dimiliki dalam kaitan dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Sedangkan klasifikasi tingkat perkembangan desa berdasarkan kesamaan tingkat perkembangannya yaitu tahapan desa swadaya, desa swakarya dan desa swasembada.
- Desa swadaya (tradisional) adalah desa yang belum mampu mandiri dalam
penyelenggaraan urusan rumah tangga sendiri, administrasi desa belum terselenggara dengan baik.
- Desa Swakarya (Transisional), adalah desa setingkat lebih tinggi dari desa swadaya.
Pada desa swakarya ini mulai mampu mandiri untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri, administrasi desa sudah terselenggaranya dengan cukup baik dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) cukup berfungsi dalam mengorganisasikan dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam pembangunan secara terpadu.
- Desa Swasembada (Berkembang), adalah desa setingkat lebih tinggi dari pada desa
Swakarya. Desa swasembada adalah desa yang telah mampu menyelenggrakan urusan rumah tangga sendiri, admnistrasi desa sudah terselenggara dengan baik, LKMD telah berfungsi dalam menorganisasikan dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam pembangunan desa secara terpadu.
c. Pola Pemukiman di Pedesaan
Soekandar Wiriaatmadja (1972) membagi pola pemukiman di pedesaan ke dalam empat pola, yakni:
2. Pola permukiman memanjang : Bentuk pemukiman yang terlentak di sepanjang jalan raya atau di sepanjang sungai, sedangkan tanah pertaniannya berada di belakang rumahnya masing - masing.
3. Pola permukiman berkumpul : Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah penduduk berkumpul dalam sebuah kampung, sedangkan tanah pertaniannya berada di luar kampung.
4. Pola permukiman melingkar : Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah penduduk melingkar mengikuti tepi jalan, sedangkan tanah pertaniannya berada di belakangnya.
Gambar 2. 1. Pola Permukiman Desa
Sumber : Sensa, M. S. Djarot, 1987 : 38
2.1.2. Hunian / Rumah
a. Pengertian Rumah
penghuninya dalam suatu kurun waktu. Yang terpenting dan rumah adalah dampak terhadap penghuni, bukan wujud atau standar fisiknya. Selanjutnya dikatakan bahwa interaksi antara rumah dan penghuni adalah apa yang diberikan rumah kepada penghuni serta apa yang dilakukan penghuni terhadap rumah”7
.
b. Fungsi Rumah
Menurut Turner (1972:164-167), terdapat tiga fungsi yang terkandung dalam rumah:
1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga, yang diwujudkan dalam kualitas
hunian atau perlindungan yang diberian rumah. Kebutuhan tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni mempunyai tempat tinggal atau berteduh secukupnya untuk melindungi keluarga dari iklim setempat.
2. Rumah sebagai penunjang kesempatan keluarga untuk berkembang dalam
kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi atau fungsi pengembangan keluarga. Fungsi ini
diwudkan dalam lokasi tempat rumah itu didirikan. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna mendapatkan sumber penghasilan.
3. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya kehidupan keluarga di
masa depan setelah mendapatkan rumah, jaminan keamanan lingkungan perumahan yang ditempati serta jaminan keamanan berupa kepemilikan rumah dan lahan.
Namun ada pandangan yang berbeda dari Maslow. Berdasarkan hierarchy of need (Maslow, 1954:10), kebutuhan akan sebuah rumah dibagi menjadi:
1. Physiological needs (kebutuhan untuk fisik penghuni), merupakan kebutuhan
2. Safety or security needs (kebutuhan akan keamanan), merupakan tempat berlindung
bagi penghuni dari gangguan manusia dan lingkungan yang tidak diinginkan.
3. Social or afiliation needs (kebutuhan berinteraksi), sebagai tempat untuk
berinteraksi dengan keluarga dan teman.
4. Self actualiztion needs (kebutuhan akan ekspresi diri), rumah bukan hanya sebagai
tempat tinggal, tetapi menjadi tempat untuk mengaktualisasikan diri.
c. Elemen dalam Lingkungan Permukiman
Lingkungan permukiman merupakan suatu sistem yang terdiri dari lima elemen yang saling memperngaruhi, yaitu (K. Basset dan John R. Short, 1980, dalam Kurniasih)8 :
Nature (unsur alami), mencakup sumber-sumber daya alam seperti topografi,
hidrologi, tanah, iklim, maupun unsur hayati yaitu vegetasi dan fauna.
Man (manusia sebagai individu), mencakup segala kebutuhan pribadinya seperti
biologis, emosional, nilai-nilai moral, perasaan, dan perepsinya.
Society (masyarakat), adanya manusia sebagai kelompok masyarakat.
Shells (tempat), dimana mansia sebagai individu maupun kelompok melangsungkan
kegiatan atau melaksanakan kehidupan.
Network (jaringan), merupakan sistem alami maupun buatan manusia, yang
menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut seperti jalan, air bersih, listrik, dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya suatu permukiman terdiri dari isi (contents) yaitu manusia, baik secara individual maupun dalam masyarakat dan wadah yaitu lingkungan fisik permukiman lingkungan fisik permukiman yang merupakan wadah bagi kehidupan manusia dan merupakan pengejawantahan dari tata nilai, sistem sosial, dan budaya masyarakat yang membentuk suatu komunitas sebagai bagian dari lingkungan permukiman tersebut.
2.1.3. Standar Pelayanan Minimal untuk Permukiman9
pembuangan
-Kuat penerangan < 500 lux dengan tinggi > 5 meter dari muka tanah
Bersih, Mudah dicapai, tidak bising, jauh dari sumber penyakit, sumber
2.2. Tinjauan Khusus
2.2.1. Pengertian dan Penjelasan Singkat Proyek
Dalam proyek ini, penulis mendapat isu proyek yaitu relokasi masyarakat Gunung Sinabung dimana masyarakat harus direlokasi ke Hutan Siosar yang saat ini permukiman relokasi tersebut sedang dalam tahap proses konstruksi. Berdasarkan hal tersebut perancangan ditugaskan untuk mengkaji ulang dan merancang ulang konsep rumah dan permukiman yang tepat dan kontekstual terhadap permasalahan yang saat ini dihadapi, sehingga penulis mengangkat judul proyek yaitu “Redesain Permukiman Relokasi
Masyarakat Gunung Sinabung”, yang mempunyai pengertian :
Redesain : Merancang kembali10.
Permukiman : Lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik kawasan perkotaan maupun perkotaan sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan11.
Relokasi : Pemindahan tempat12.
Masyarakat Gunung Sinabung : Masyarakat yang hidup di sekitar Gunung Sinabung
Berdasarkan penelaahan pengertian dari tiap kata-kata pada Judul Proyek tersebut, penulis menetapkan bahwa Redesain Permukiman Relokasi Masyarakat Gunung Sinabung adalah Rancangan ulang permukiman masyarakat yang akan direlokasi dari Gunung Sinabung.
disesuaikan dengan lokasi permukiman relokasi yang sudah dijalankan oleh pemerintah, yaitu Hutan Siosar, Desa Kacinambun, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Untuk luasan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebesar 1120 Ha (penggunaan lahan skala besar yang ditujukan untuk lahan perkebunan dan proyeksi jangka panjang jika letusan gunung sinabung semakin parah), namun pada Batasan Proyek, perancangan menetapkan luasan lahan yang digunakan seminimal dan seefektif mungkin untuk keadaan saat ini yaitu sebesar 66 Ha. Desa yang akan direlokasi adalah Desa Sukameriah, Desa Simacem, dan Desa Bekerah. Jumlah Kelompok Keluarga yang akan direlokasi adalah sebanyak 389 KK, dengan rincian Desa Sukameriah (137 KK), Desa Simacem (137 KK),
Desa Bekerah (115 KK). Dan Site memiliki karakteristik berkontur dimana disekitar site
terdapat banyak pohon pinus yang sudah tua.
2.2.2. Data-Data Kuantitatif13
a. Klasifikasi Desa
Tabel 2. 1. Tabel Klasifikasi Desa
b. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk
Tabel 2. 2. Tabel Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk
d. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Tabel 2. 4. Tabel Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
e. Rata-rata anggota Rumah Tangga
Tabel 2. 5. Tabel Rata-rata anggota Rumah Tangga
g. Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SD
Tabel 2. 7. Tabel Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SD
h. Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SMP
Tabel 2. 8. Tabel Jumlah Sekolah, Murid, dan Guru SMP
j. Jumlah Rumah Menurut Jenisnya
Tabel 2. 10. Tabel Jumlah Rumah Menurut Jenisnya
k. Jumlah Tempat Ibadah
Tabel 2. 11. Tabel Jumlah Tempat Ibadah
l. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut
m. Luas Panen Tanaman Palawija
Tabel 2. 13. Tabel Luas Panen Tanaman Palawija
n. Luas Panen Tanaman Rakyat
Tabel 2. 14. Tabel Luas Panen Tanaman Rakyat
o. Populasi Ternak Desa
Tabel 2. 16. Tabel Populasi Ternak Desa
p. Populasi Unggas Desa
Tabel 2. 17. Tabel Populasi Unggas Desa
q. Jumlah Rumah Tangga Pelanggan Listrik dan PAM
r. Jumlah Kendaraan Bermotor
Tabel 2. 19. Tabel Jumlah Kendaraan Bermotor
2.2.3. Data Kualitatif
a. Kerja Tahun (Merdang Merdem)
Masyarakat Karo adalah masyarakat pedesaan yang sejak dahulu mengandalkan titik perekonomiannya pada bidang pertanian. Tanaman padi adalah salah satu tanaman penting, yang selain mengandung makna ekonomi juga memiliki keterkaitan terhadap unsur religi dan sosial. Selain sebagai bahan pangan pokok, kekuatan ekonomi juga merupakan lambang prestise bagi masyarakat. Ukuran dan volume lumbung padi berpengaruh terhadap tolak ukur keberadaan seseorang. Maka agar hasil yang diperoleh cukup memuaskan, semua proses penanaman dari awal hingga akhir harus diberikan penghargaan dan disyukuri dengan harapan mencapai hasil yang baik.
Pada masa lalu proses penanaman padi dilakukan setahun sekali. Proses awal hingga akhir membutuhkan upacara agar berhasil dengan baik. Hal ini sesuai dengan magis animistis pada masyarakat yang menganut ajaran Pemena. Upacara-upacara tersebutlah yang mendasari terselenggaranya kerja tahun pada masyarakat Karo.
untuk merayakannya. Ada yang merayakan di masa awal penanaman, pertengahan pertumbuhan, ataupun masa panen.
Gambar 2. 2. Pesta Kerja Tahun
Sumber : Karonews.com
Semua acara di atas dilakukan sesuai kepercayaan “pemena” dengan tata cara dan perlengkapan tertentu yang berbeda di setiap fase dan daerah. Selain hal di atas, kerja tahun juga memiliki fungsi lain yaitu mempererat ikatan kekerabatan.
Sejalan dengan perkembangan waktu, terjadi perubahan di tengah-tengah masyarakat. Perekonomian masyarakat yang bersifat pertanian subsistensi bergeser kepada tanaman yang berorientasi pada kebutuhan pasar. Tanaman padi sudah mulai jarang ditanam, digantikan dengan tanaman lain yang dianggap lebih menguntungkan. Selain itu terjadi sikap yang lebih rasional atas konsep-konsep yang bersifat supranatural. Hal ini dipengaruhi oleh penyebaran agama, pendidikan serta perkembangan teknologi di tengah kehidupan masyarakat. Kontak dengan masyarakat lain, seperti pendatang yang bermukim ke daerah-daerah komunitas Karo, maupun transformasi masyarakat Karo menuju luar daerahnya turut mempengaruhi hal tersebut, namun tradisi kerja tahun tetap berjalan. Pesta Kerja Tahun ini dirayakan sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda.
* Hari pertama, cikor-kor, merupakan kegiatan dimana penduduk pergi ke ladang untuk
* Hari kedua, cikurung, merupakan kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah. Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, yang biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.
* Hari ketiga, ndurung, merupakan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan dari
sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan tersebut
* Hari keempat, mantem atau motong, merupakan hari menjelang hari perayaan puncak,
dimana penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk.
* Hari kelima, matana, Matana artinya hari puncak perayaan, dimana semua penduduk
saling mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk bergembira.
Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai tempat perayaan pesta. Acara dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional.
* Hari keenam, nimpa, ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo,
dengan bahan dasar tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut. Cimpa tesebut biasanya dihidangan sebagai tambahan setelah makan.
* Hari ketujuh, rebu, merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari
sebelumnya dan seperti halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung.
b. Guru (Tabib) dalam Masyarakat Karo
Bagi orang Karo, guru adalah sebutan untuk orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keahlian melakukan berbagai praktek dan kepercayaan tradisional, seperti: meramal, membuat upacara ritual, berhubungan dengan roh atau mahluk gaib, perawatan serta penyembuhan kesehatan dan lain-lain. Guru dianggap memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan.
Menurut keyakinan orang Karo hanya orang-orang pilihan saja yang dapat menjadi seorang guru. Peran sebagai guru dianggap telah ditentukan dari sejak lahirnya seseorang dengan memiliki tanda-tanda kelahiran tertentu. Bahkan peran sebagai guru telah dianggap dimiliki seseorang sejak dia berada dalam kandungan Ibunya berdasarkan kata Dibata si mada tenuang atau kehendak dari Tuhan sang pencipta. Dalam hal ini, peran sebagai guru sudah merupakan suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Pendapat umum termasuk para guru mengatakan bahwa seseorang jika proses kelahirannya tidak istimewa, tidak lain dari pada yang lain ataupun tidak memiliki ciri fisik tertetu, tidak akan dapat menjadi guru jenis apa pun juga.
c. Pola Hidup Masyarakat di Desa Eksisting
Secara budaya tradisional, masyarakat di beberapa esa terkait sebenarnya sudah banyak meninggalkan budaya-budaya tradisional karo, kecuali pesta Kerja Tahun yang masih tetap bertahan, hal ini semakin diperkuat oleh status desa dimana desa terkait merupakan desa Swakarya dan Swasembada (desa yang sedang meninggalkan adat istiadat dan sudah meninggalkan adat istiadat).
Untuk pola hidup sehari-hari, masyarakat di desa eksisting sama halnya dengan masyarakat yang bekerja sebagai petani kebun, sangat sensitif dan intuitif terhadap perubahan musim tanam. Sifat seperti ini bahkan turun temurun terhadap anak-anak mereka, dimana mereka juga sejak kecil diajarkan untuk bercocok tanam di kebun dan membantu orang tua seusai sekolah. Anak laki-laki dan perempuan umumnya sama-sama membantu orang tua dalam bercocok tanam.
Setelah selesai kegiatan berkebun, umumnya para bapak-bapak akan berkumpul untuk istirahat dan bercengkrama dengan petani lainnya di balai masyarakat. Setelah itu pulang ke rumah untuk istirahat, santai dengan keluarga, makan malam dan lainnya.
Untuk memanen, biasanya masyarakat memanen pada pagi atau siang hari. Hasil panen terkadang untuk konsumsi keluarga dan juga di jual. Untuk pendistribusian panen umumnya langsung ke pengumpul sayur yang akan didistribusikan ke kota Medan, biasanya dilakukan pada pukul 03.00 pagi.
2.2.4. Tinjauan Lokasi
Pada tahap ini perancang mencoba untuk mengidentidikasi lokasi perancangan dengan peta digital yang kemudian akan ditetapkan lokasi untuk survey lokasi. Selain itu, peta digital ini nantinya diukur luasan yang dibutuhkan, kontur lahan, konteks di sekitar site, jarak terhadap Gunung Sinabung, jarak terhadap Kabanjahe, arah mata angin, dan lainnya.
Lokasi perancangan yang dipilih adalah Hutan Siosar yang merupakan lokasi resmi dari pemerintah untuk merelokasi masyarakat Gunung Sinabung, lahan yang letaknya sangat terpencil ini sudah mendapat izin secara resmi dan merupakan satu-satunya alternatif lokasi perancangan untuk permukiman relokasi masyarakat Gunung Sinabung.
Gambar 2. 3. Peta Lokasi Perancangan - Hutan Siosar
1. Kondisi Aksesibilitas
Setelah perancang melakukan kegiatan survey langsung ke Hutan Siosar, hanya terdapat satu jalur, yakni jalur masuk dari Kabanjahe dengan jarak tempuh 5 Km. Kondisi site yang berkontur mengakibatkan jalan sedikit meliuk-liuk sebagai respon terhadap lahan berkontur. Kondisi Fisik jalan menurut perancangan masih dalam tahap pengerjaan dan memasuki tahap finishing perkerasan, karena berdasarkan pengamatan perancang, jalur aksesibilitas masih berupa tanah keras yang sudah dilapisi oleh agregat kasar, yang dimana karakteristik dari agregat kasar ini merupakan komposisi dari jalan Aspal. Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara dengan anggota TNI yang akan mengerjakan perkerasan jalan tersebut.
Gambar 2. 4. Kondisi Fisik permukaan jalan menuju hutan siosar
Gambar 2. 5. Kondisi jalan yang berliku-liku dan naik turun
Sumber : Data Penulis
2. Kondisi Lingkungan
Gambar 2. 6. Signage Entrance Perkampungan Siosar
Sumber : Data Penulis
Gambar 2. 7. Kondisi Lingkungan Perkampungan Siosar dalam tahap konstruksi
Gambar 2. 8. Hunian yang sedang dalam tahap konstruksi
Sumber : Data Penulis
Pada sekitar site terdapat hutan pinus milik pemerintah, sehingga pohon pinus yang ditebang untuk pelebaran lahan, sepenuhnya milik pemerintah. Dalam hal ini, kayu pinus hasil tebangan digunakan untuk material proses kontruksi, seperti bekisting, papan jembatan sementara, bedeng material, dan sisanya diperuntukkan bagi pemerintah. Oleh karena itu pohon pinus menurut perancang bukan sebuah potensi yang harus diolah dan digunakan pada perancangan permukiman ini, dikarenakan kepemilikan kayu tebangan yang dimiliki oleh pemerintah.
Gambar 2. 10. Hutan Pinus disekitar kawasan permukiman
Sumber : Data Penulis
Gambar 2. 11. Papan Pinus yang digunakan untuk membantu proses konstruksi
3. Kondisi Fisik Hunian
Dari hasil survey yang kami lakukan di Perkampungan Siosar, dapat dilihat bahwa kondisi fisik rumah yang dibangun pada Perkampungan Siosar ini sangat baik, baik dari segi tampilan dan juga struktur rumah. Tipologi rumah yang dibangun di Perkampungan Siosar ini seperti tipologi rumah di perumahan yaitu memiliki orientasi rumah yang jelas, pola rumah secara grid, dan lainnya. Selain itu, rumah ini memiliki struktur dan konstruksi rumah yang konvensional seperti penggunaan batu bata, beton bertulang, pondasi batu kali, dan lainnya dengan mengacu aspek konstruksi yang aman.
Berdasarkan hasil pengamatan, perancang banyak mendapat pemikiran serta pertanyaan mendasar mengenai hunian yang sudah mulai dibangun di Perkampungan Siosar ini, mulai dari karakteristik fisik rumah yang tidak sama dengan rumah mereka di desa mereka yang lama, pola permukiman yang sangat berbeda, material rumah yang berbeda, karakteristik ruang, dan lainnya. Perbedaan yang mencolok inilah yang nantinya akan menjadi permasalahan kedepannya kelak, yaitu akan terjadinya pergeseran psikologis masyarakat sehingga masyarakat akan merasa tidak nyaman untuk tinggal di permukiman baru, bahkan yang lebih buruknya adalah meninggalkan permukiman Siosar tersebut.
Gambar 2. 13. Hunian bagi masyarakat korban bencana Gunung Sinabung
Sumber : Data Penulis
Gambar 2. 14. Proses Konstruksi Perkampungan Siosar
2.2.5. Tinjauan 3 Desa Eksisting
Peninjauan Desa Bekerah, Desa Simacem, dan Desa Sukameriah tidak dilakukan secara peninjauan langsung, hal ini dikarenakan 3 desa tersebut sedang dalam zona merah yaitu zona yang tidak aman dan harus steril dari aktivitas manusia. Oleh karena itu, perancang melakukan peninjauan dari berbagai sumber media internet berupa peninjauan berita-berita online serta peninjauan media cetak berupa buku, koran, dan majalah.
Peninjauan Desa Bekerah, Desa Simacem, dan Desa Sukameriah dilakukan karena ada banyak aspek-aspek yang harus tetap dituangkan kedalam desain permukiman yang baru, sehingga masyarakat tidak perlu merasakan adaptasi yang mendalam pada permukiman yang baru.
1. Jenis Desa
Tabel 2. 20. Tabel Klasifikasi Desa
sumber : BPS Kab. Karo
Berdasarkan Data Statistik Kab. Karo, dapat dilihat bahwa Desa Bekerah dan Desa Simacem merupakan desa swakarya sedangkan Desa Sukameriah adalah desa swasembada.
2. Kondisi Permukiman
Saat ini kondisi permukiman di tiga desa sangat parah dikarenakan tertimbun oleh abu vulkanik, sehingga kondisi fisik permukiman pada ketiga desa sudah tidak memungkinkan lagi untuk dihuni kembali.
Gambar 2. 15. Kondisi Permukiman Desa Bekerah
sumber : Merdeka.com
Gambar 2. 16. Foto udara Desa Bekerah dan Sukameriah
sumber : http://terra-image.com/gambar-citra-satelit-letusan-gunung-sinabung/
Gambar 2. 17. Foto Udara Desa Simacem
Gambar 2. 18. Bentuk Desa Linear
Sumber : Sensa, M. S. Djarot, 1987 : 38
3. Hunian Fisik
Hunian fisik yang dapat dijumpai pada ketiga desa eksisting antara lain hunian panggung yang berupa rumah adat waluh jabu, kemudian rumah non panggung yang umumnya menggunakan papan kayu dan juga bambu, dan jenis yang terakhir yaitu rumah mixed used yang lebih sering digunakan sebagai kios. Saat sekarang ini kondisi permukiman, termasuk hunian mereka sudah rusak parah diakibatkan menahan beban dari abu vulkanik yang tertimbun pada atap rumah mereka.
Gambar 2. 19. Hunian Fisik Masyarakat sekitar Gunung Sinabung
4. Konteks Masyarakat
Gambar 2. 20. Skema masyarakat bagian 1
5. Kegiatan Ruang Dalam Masyarakat
5. Kegiatan Ruang Luar Masyarakat
Gambar 2. 25. Skema kegiatan ruang luar masyarakat di tiga desa
6. Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial
a. Balai Masyarakat
Balai masyarakat atau masyarakat umumnya menyebutnya sebagai jambur digunakan sebagai tempat untuk melakukan pertemuan masyarakat, bersosialisasi, bahkan acara-acara adat dapat dilakukan pada balai masyarakat ini.
b. Tempat Ibadah
Merupakan tempat kebutuhan rohaniah masyarakat desa. Umumnya keberadaan rumah ibadah di ketiga desa berpencar dari satu tempat ke tempat lainnya.
Gambar 2. 27. Tempat ibadah
Sumber : https://karonewsupdate.wordpress.com
c. Fasilitas Penididikan
d. Fasilitas Kesehatan
Pada ketiga desa terdapat Pustu (puskesmas pembantu) yang melayani tiap desa. Namun untuk puskesmas hanya terdapat di desa tertentu.
2.4. Studi Banding Proyek Sejenis
2.4.1. Huntap Desa Karangkendal, Jogjakarta
Huntap Desa Karangkendal merupakan sebuah hunian tetap (huntap) yang ditujukan bagi warga yang tinggal di kaki Gunung Merapi yang menjadi korban bencana gunung meletus pada tahun 2010 di Jogjakarta. Masyarakat yang dulunya tinggal di kaki Gunung Merapi direlokasi ke Desa Karangkendal dikarenakan daerah tersebut relatif aman dan letusan merapi tidak mengarah pada desa tersebut.
Gambar 2. 29. Huntap Desa Karangkendal, Jogjakarta
Sumber : https://hellolope.wordpress.com/2013/01/03/di-bawah-langit-merapi/
adalah Masjid, Komposter, Kandang sapi Komunal, Taman Bermain, Monumen, dan Rumah Baca.
Gambar 2. 30. Beberapa fasilitas di Huntap Karangkendal, Jogjakarta
2.4.2. Kampung Kali Code
Gambar 2. 31. Kampung Kali Code
Sumber : merdeka.com
Perkampungan Code Di kawasan kelurahan Kota Baru, Kecamatan Gondokusuman, kota Yogyakartaini, berada di bawah jembatan Gondolayu dan di samping gedung-gedung besar sebagai simbol respon Jogja terhadap modernitas, berdiri sebuah komplek pemukiman kecil yang eksotik, perkampungan Code namanya. Perkampungan Code telah dikenal sebagai tempat hunian yang nyaman dan asri oleh seluruh masyarakat Jogja. Satu-satunya tempat hunian unik nan artistik yang terletak bukan di kawasan elit, akan tetapi di bantaran sebuah sungai kumuh yang membelah Jogja.
Perkampungan Code memiliki ciri khas sebagai perkampungan yang berhasil membangun harmoni dengan lingkungan sekitarnya. Rumah-rumah yang berdiri di kawasan ini berderet dengan penataan arsitektural yang bagus, warna-warni yang cerah, lingkungannya tertata dengan baik, menggambarkan perencanaan dan kematangan pengelola dan masyarakatnya.
BAB III
BAB III
ELABORASI TEMA
3.1. Pengertian Tema
Dalam Studio Perancangan Arsitektur 6 ini perancang mengambil tema “Sustainable Modular House” sebagai tema perancangan. Tema ini merupakan sebuah intepretasi dari 2 objek, yakni sustainable dan modular house. Bentuk kata dasar dari kata sustainable adalah to sustain. Sustain berasar dari kata sus- (under) + tenere (to hold), yang artinya menjaga eksistensi, merawat, atau membuat tahan lama14. Sustainable merupakan sebuah keharusan saat ini, sustainable juga saat ini merupakan patokan keberhasian sebuah bangunan atau lingkungan binaan. Sedangkan modular house merupakan sebuah rumah atau hunian yang terbentuk dari modul-modul terkecil, ataupun modul-modul struktur. Oleh karena itu, Sustainable modular house jika diartikan secara keseluruhan adalah sebuah rumah atau hunian yang terdiri dari modul-modul kecil dan juga modul struktur, dimana modul-modul yang digunakan merupakan material yang sustainable.
Pemilihan tema Sustainable Modular House bukan tanpa alasan yang mendasar. Pada hakikatnya pemilihan tema Sustainable Modular House merupakan sebuah nyawa dari perancangan ini, sehingga nyawa ini lah yang merupakan solusi dari hiruk-pikuknya permasalahan bencana meletusnya Gunung Sinabung yang meluluhlantakkan permukiman di tiga desa. Alasan pemilihan tema ini dilatarbelakangi oleh:
lebih 50 unit rumah, namun target relokasi masyarakat adalah sebanyak 389 kepala keluarga, terlebih lagi pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, serta pengolahan lahan.
Penggunaan teknologi modular dapat melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan dan proses pembuatan modul-modul rumah. Dengan melibatkan masyarakat, rasa kepemilikian dan rasa ingin melindungi akan semakin lebih tinggi.
Pemanfaatan material yang sustainable (alam dan lokal) merupakan material yang dapat diperbaharui sehingga impact ke lingkungan tidak terlalu besar dibanding dengan penggunaan material prefab, kemudian pengantaran material tidak menghasilkan emisi yang terlalu besar dan menggunakan energi terlalu besar dalam pengantaran material dan pemrosesan material.
3.2. Penelaahan Tema berdasarkan isu dan permasalahan
Modular House pada saat ini umumnya menggunakan material prefab atau material fabrikasi, namun ini menjadi permasalahan yang sangat mendasar bagi masyarakat dimana masyarakat tidak mampu bahkan tidak memiliki kemampuan untuk mengolah ataupun memproses material fabrikasi atau prefab. Sehingga keterlibatan masyarakat tidak akan terjalin. Selain itu, material fabrikasi atau prefab membutuhkan alat-alat pemasangan tertentu, sehingga ini akan mengakibatkan pengeluaran lebih untuk membeli alat pemasangan.
3.3. Studi Banding Tema Sejenis
a. Rekonstruksi Permukiman Korban Gempa Ngibikan, Bantul
Gambar 3. 1. Rumah Ngibikan Bantul
Sumber : ruang17.wordpress.com
Gambar 3. 2. Modul Struktur Rumah
sumber : konteks.org
Rumah yang dirancang oleh Eko Prawoto ini memiliki satu modul rumah yang juga merupakan modul struktur. Modul ini merupakan kesatuan antara kolom dan juga kuda-kuda atap. Modul ini harus dibentuk lebih dahulu sebelum membuat dinding, pondasi, dan penutup atap. Dengan menggunakan aspek modular house, pengerjaan rumah lebih terorganisir dan juga pengerjaan lebih cepat.
Gambar 3. 3. Modul Utama Rumah
BAB IV
BAB IV
ANALISA PERANCANGAN
Pada tahap Analisa Perancangan penulis menentukan 2 objek yang akan dianalisa, yang pertama adalah analisa 3 desa eksisting dengan berbagai aspek yang akan dianalisa untuk menjadi bahan acuan dalam perancangan, dan kemudian objek yang kedua adalah analisa site eksisting / perumahan yang sudah dibangun sebagai objek perbandingan antara desain yang akan dibangun dan desain yang sudah terbangun. Tujuan dari menentukan 2 objek yang dianalisa adalah menyelaraskan aspek desain permukiman yang baru dengan aspek permukiman masyarakat yang ada di desa mereka masing-masing sehingga masyarakat tidak terlalu beradaptasi secara masif dan tujuan lainnya adalah terciptanya parameter desain yang akan menjadi acuan untuk mendesain permukiman baru bagi masyarakat gunung sinabung yang lebih kontekstual dan responsibel.
4.1. Analisa Site Eksisting Hutan Siosar
4.1.1 Analisa Titik Potensi Material Lokal
Gambar 4. 1. Analisa Titik Potensi Material Lokal
Sumber : maps.google.com
Desa Lau Baleng (jarak 33 km dari site) merupakan produsen kayu kelapa yang digunakan untuk material bangunan.
Desa Tahura (jarak 25.7 km dari site) merupakan produsen bambu yang sangat besar di Kab. Karo. Bambu yang dijual umumnya digunakan untuk makanan dan juga material bangunan.
A
B
A
B
4.1.2 Analisa Sirkulasi Exsisting, Matahari, dan Vegetasi Site
4.1.4. Analisa Permukiman dan Hunian Eksisting
1. Pola Permukiman
Berdasarkan hasil analisa kelompok, kami menyimpulkan bahwasannya pola permukiman yang terjadi pada Perkampungan Siosar yang sedang dalam proses konstruksi ini adalah pola permukimam memusat. Hal ini dikarenakan hunian-hunian pribadi yang menghadap pada area tengah yang akan dijadikan pusat aktivitas masyarakat berupa taman. Selain itu, kami menemukan bahwasannya rumah tidak berpasangan atau tidak bergandengan dengan rumah yang ada di sebelahnya (rumah kopel), hal ini merupakan respon dari permukiman mitigasi bencana alam, dimana pola-pola permukiman yang terjadi sebisa mungkin memudahkan masyarakat untuk mengevakuasi diri. Selain itu, fasilitas umum diletakkan pada jarak aman dan posisi sentral dari perumahan sehingga mudah untuk dicapai. Disediakan sejumlah pusat-pusat fasilitas umum untuk sejumlah unit perumahan yang dilayaninya15.
Gambar 4. 2. Rencana Taman tengah dan hunian non kopel yang berorientasi ke tengah
Gambar 4. 3. Syarat Pola permukiman terhadap fasilitas umum.
Sumber: Sukawi, Menuju Kota Tanggap Bencana , 2008
15
2. Hunian Fisik
Gambar 4. 4. Hunian Fisik di Perkampungan Siosar
sumber : Data Penulis
Dari hasil survey yang dilakukan di Permukiman Siosar, penulis menemukan bahwasannya rumah yang dirancang pada Permukiman Siosar ini mengikuti perkembangan permukiman pada saat ini, dimana hunian secara “visual” sangat layak untuk dihuni. Konstruksi dan material yang digunakan sangat konvensional seperti pasangan bata, kolom beton bertulang, dan lainnya.
Gambar 4. 5. Proses pembangunan Rumah Pengungsi