• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 1. Pengertian Umum Perjanjian - Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak Tanggungan Yang Mengalami Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 1. Pengertian Umum Perjanjian - Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak Tanggungan Yang Mengalami Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN

A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian

1. Pengertian Umum Perjanjian

Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, dimana didalamnya juga

mengatur tentang perikatan. Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka,

artinya memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian

yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari kata “overeenkomst” dalam bahasa Belanda atau istilah ”agreement” dalam

bahasa Inggris. Di dalam Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu

persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Menurut Prof. Subekti, S.H., yang dimaksud dengan “Perjanjian” adalah

suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau di mana

dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini,

timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.

Menurut Prof. Subekti, S.H., yang dimaksud dengan “Perikatan” adalah

suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana

(2)

lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.12 Pihak-Pihak yang ada dalam suatu perjanjian disebut sebagai subyek perjanjian yang terdiri dari manusia dan

badan hukum.

Jadi, istilah “hukum perjanjian” berbeda dengan istilah “hukum perikatan”. Karena dengan istilah “perikatan” dimaksudkan sebagai semua ikatan yang diatur

dalam KUH Perdata, jadi termasuk juga baik perikatan yang terbit karena

undang-undang maupun perikatan yang terbit dari perjanjian. Dalam hal ini jika dengan

hukum perikatan, termasuk baik perikatan yang terbit dari undang-undang

maupun perikatan yang terbit karena undang-undang, maka dengan hukum

perjanjian, yang dimaksudkan hanya terhadap perikatan-perikatan yang terbit dari

perjanjian saja. Sedangkan hukum yang berlaku terhadap perjanjian pada

prinsipnya adalah KUH Perdata.13

Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang

membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan

yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa

perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan,

disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan

persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat

12 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 1.

(3)

dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama

artinya.14

Pihak-pihak yang ada dalam suatu perjanjian disebut sebagai subyek

perjanjian yang terdiri dari manusia dan badan hukum.

2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat15 :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Adalah suatu syarat yang menyangkut pada subyek perjanjian apabila

yang menyangkut pada subyek ini tidak dipenuhi, maka salah satu pihak

dapat meminta supaya perjanjian tersebut dibatalkan. Pihak yang dapat

meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang

memberiksan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Syarat

subyektif terdiri dari :

(4)

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Maksud dari kata sepakat adalah tercapainya persetujuan kehendak

antara para pihak mengenai pokok-pokok perjanjian yang dibuat itu.

Kata sepakat itu dinamakan juga perizinan, artinya bahwa kedua

belah pihak yang mengadakan suatu perjanjian harus bersepakat.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah

cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh

undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.

Berkaitan dengan hal ini, Pasal 1330 KUH Perdata menemukan tentang

orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian, yaitu :

- Orang-orang yang belum dewasa;

- Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

- Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang

dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang

membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi hal ini sudah

dihapuskan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963

tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan

Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia. Bahwa Mahkamah Agung

menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang

suatu isteri untuk melakukan suatu perbuatan hukum dan untuk

menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya

(5)

2. Syarat Obyektif

Adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian, yang meliputi

suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila syarat ini tidak

dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula

tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu

perikatan. Syarat obyektif terdiri dari :

a. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian. Obyek

perjanjian biasanya berupa barang atau benda. Menurut Pasal 1332

KUH Perdatan menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat

menjadi pokok persetujuan-persetujuan.

Selain itu dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan

bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu

barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Jadi penentuan obyek perjanjian sangatlah penting untuk

menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian

jika timbul perselisihan dalam pelaksanaannya.

b. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian. Menurut

pengertiannya, “sebab causa” adalah isi dan tujuan perjanjian,

dimana hal tersebut tidak boleh bertentangan dengan

(6)

Sedangkan dalam Pasal 1335 KUH Perdata menyebutkan bahwa

suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu

sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Berkaitan dengan hal ini, maka akibat yang timbul dari perjanjian

yang berisi sebab yang tidak halal adalah batal demi hukum. Dengan

demikian tidak dapat memenuhi pemenuhannya di depan hukum.17

3. Asas-Asas Perjanjian

Menurut Salim H.S. didalam Hukum Kontrak atau Hukum Perjanjian,

dikenal adanya 5 (lima) asas penting, yaitu18 :

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal

1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya.

Asas Kebebasan Berkontrak memberikan kebebasan kepada para

pihak untuk :

(a) membuat atau tidak membuat perjanjian,

(b) mengadakan perjanjian dengan siapapun,

(c) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya,

(d) menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis dan lisan.

17Ibid., hlm. 20

(7)

b. Asas Konsensualisme

Asas Konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)

KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat

sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas

Konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian

pada umumnya tidak diadakan secara formal tetapi cukup dengan

adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan

persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat kedua

belah pihak. Asas Konsesualisme yang dikenal dalam KUH Perdata

adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

c. Asas Kepastian Hukum (Asas Pacta Sunt Survanda)

Asas Pacta Sunt Servanda disebut juga dengan Asas Kepastian

Hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini

merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya

sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi

terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas Pacta

Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah

(8)

Namun dalam perkembangannya, Asas Pacta Sunt Servanda diberi

arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan

sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan nudus pactum

sudah cukup dengan sepakat saja.

d. Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)

Asas Iktikad Baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH

Perdata menyebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan

iktikad baik.

Asas Iktikad Baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditur

dan debitur, harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan

kepercayaan dan keyakinan teguh atau kemauan baik para pihak.

Asas ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :

(a) Iktikad Baik Nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku

yang nyata dari subjek perjanjian.

(b)Iktikad Baik Mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan

keadilan, dengan dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai

keadaan atau membuat penilaian yang tidak memihak menurut

norma-norma yang obyektif.

e. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas Kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa

(9)

perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal

1340 KUH Perdata.

Pasal 1315 menyebutkan bahwa pada umumnya seseorang tidak

dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya

sendiri.

Pasal 1340 menyebutkan bahwa perjanjian hanya berlaku antara

pihak yang membuatnya.

Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya sebagaimana diatur

dalam Pasal 1317 KUH Perdata menyebutkan bahwa dapat pula

perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu

perjanjian dibuat untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian kepada

orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.

Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata tidak hanya mengatur

perjanjian untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan ahli

warisnya atau orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Pasal 1317 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk kepentingan

pihak ketiga, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata mengatur

perjanjian untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli waris, dan

orang-orang yang memperoleh hak darinya.

3. Prestasi dan wanprestasi

Suatu perjanjian dapat menimbulkan prestasi dan kontra prestasi bagi para

pihak dari perjanjian tersebut. Prestasi (performance) dari suatu perjanjian adalah

(10)

dalam suatu perjanjian oleh kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri untuk

itu. Jadi, memenuhi prestasi dalam perjanjian adalah ketika para pihak memnuhi

janjinya.19

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, maka prestasi dari

suatu perjanjian terdiri dari :

1. Memberikan sesuatu;

2. Berbuat sesuatu;

3. Tidak berbuat sesuatu.

Suatu perjanjian dapat dikatakan dilaksanakan dengan baik apabila para

pihak telah memenuhi syarat yang telah diperjanjikan. Namun demikian pada

kenyataannya, sering dijumpai bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian tidak

dapat berjalan dengan baik karena salah satu pihak wanprestasi. Dapat pula

dikemukakan, bahwa ia lalai atau alpa atau ingkar janji atau bahkan melanggar

perjanjian dengan melakukan suatu hal yang tidak boleh dilakukan.

Pengertian wanprestasi, yang kadang-kadang disebut juga dengan istilah

“cidera janji” adalah kebalikan dari pengertian prestasi. Dalam bahasa Inggris disebut dengan “default” atau “nonfulfillment” atau “breach of contract”. Yang

dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban

sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama, seperti yang tersebut dalam

kontrak yang bersangkutan.20

19 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Rajawali Pers Jakarta, 2014, hlm. 207.

(11)

Menurut pendapat R. Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang

debitur dapat berupa21 :

a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

dijanjikan;

c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang wanprestasi ada 4 (empat)

macam, yaitu22 :

1. membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau membayar ganti

rugi;

2. pembatalan perjanjian;

3. peralihan risiko;

4. membayar biaya perkara jika sampai diperkarakan di pengadilan.

Debitur yang dituduh lalai atau wanprestasi oleh krediturnya dapat

melakukan pembelaan guna mencegah terjadinya eksekusi obyek jaminan atau

menghindari kewajiban membayar ganti rugi. Pembelaan debitur dapat meliputi 3

(12)

1. Debitur mengajukan alasan adanya keadaan memaksa (force

majeure/overmacht) sehingga debitur tidak dapat melaksanakan

kewajibannya.

2. Debitur mengajukan alasan bahwa pihak kreditur juga telah lalai

melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian, misalnya kreditur terlambat

mencairkan kredit.

3. Debitur mengajukan alasan bahwa pihak kreditur telah menetapkan

aturan kredit yang tidak wajar misalnya menetapkan bunga dan denda

yang terlalu tinggi atau menetapkan syarat agunan yang terlalu ketat.

B. Pengaturan Perjanjian Kredit Perbankan pada Umumnya

Yang dimaksud dengan perkreditan adalah suatu penyediaan uang atau

yang dipersamakan dengannya, yang didasari atas perjanjian pinjam-meminjam

antara pihak kreditur (bank, perusahaan atau perorangan) dengan pihak debitur

(peminjam), yang mewajibkan pihak debitur untuk melunasi hutangnya dalam

jangka waktu tertentu, di mana sebagai imbalan jasanya, kepada pihak kreditur

(pemberi pinjaman) diberikan hak untuk mendapatkan bunga, imbalan atau

pembagian hasil keuntungan selama masa kredit tersebut berlangsung.24

Istilah kredit dapat didefinisikan dalam beberapa golongan, yaitu :

1. Berdasarkan Etimologis

(13)

Kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu “credere” yang berarti

kepercayaan (trust atau faith). Dengan demikian istilah kredit memiliki arti

khusus, yaitu meminjamkan uang (atau penundaan pembayaran). Apabila

orang mengatakan membeli secara kredit maka hal itu berarti si pembeli

tidak harus membayarnya pada saat itu juga.25

2. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

a. Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain,

yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka

waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil

keuntungan.

b. Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain

yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunsai utangnya setelah

jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

(14)

c. Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005

tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (disebut PBI 7/2005)

menyebutkan bahwa penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak

peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu

dengan pemberian bunga, termasuk :

- Cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah

yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;

- Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;

- Pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.”

3. Berdasarkan Pendapat Ahli

Raymond P. Kent dalam bukunya Money and Banking mengatakan

bahwa kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atas kewajiban

untuk melakukan pembayaran pada waktu yang diminta atau pada waktu

yang akan datang karena penyerahan barang-barang sekarang.26

Menurut O.P. Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi

(misalnya uang, barang) dengan batas prestasi (kontra prestasi) akan

terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern

(15)

adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat

kredit yang menjadi pembahasan.27

Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima

kredit atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan

saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan

atas komponen-komponen kepercayaan risiko, dan pertukaran ekonomi

pada masa-masa mendatang.28

Peraturan tentang perkreditan atau regulasi perkreditan di sektor

perbankan secara nasional diatur dalam UU Perbankan dan Peraturan Bank

Indonesia. Di samping itu, pengaturan perkreditan juga diatur secara internal di

masing-masing bank dalam bentuk Pedoman Perkreditan atau Peraturan

Perkreditan.29

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan di dalam Pasal 8 ayat (2) secara

tegas meyebutkan bahwa Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan Pedoman

Perkreditan dan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan

(16)

a. Perjanjian kredit harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis;

b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan

nasabah debitur untuk melunasi utangnya. Keyakinan tersebut harus

berdasarkan hasil penilaian terhadap Prinsip 5-C (Character, Capacity,

Capital, Collateral, dan Condition of Economy);

c. Bank wajib menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau

Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

d. Bank wajib memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan

persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

e. Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur atau

pihak terafiliasi;

f. Bank wajib menetapkan aturan tentang cara-cara penyelesaian sengketa.

Regulasi Perkreditan di sektor Perbankan juga diatur oleh Bank Indonesia

yang berwenang untuk melakukan pengawasan bank di Indonesia. Berdasarkan

SK Direksi BI No. 27/162/KTP/DIR tanggal 31 Maret 1995 kepada setiap bank

diwajibkan untuk memiliki kebijakan perkreditan secara tertulis, yang

sekurang-kurangnya memuat atau mengatur prinsip kehati-hatian dalam perkreditan,

organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi

dan administrasi kredit, pengawasan, dan penyelesaian kredit bermasalah.30

(17)

Melalui ketentuan tersebut diharapkan bank mempunyai panduan yang

jelas sebagai pedoman pelaksanaan perkreditannya. Dengan demikian risiko yang

mungkin timbul sedini dapat dideteksi dan dikendalikan sedini mungkin,

sekaligus dapat menghindari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang

dalam pemberian kredit. Dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang

dengan sengaja melanggar pedoman perkreditan, sesuai Pasal 49 ayat (2) huruf b

UU No. 10/1998 dapat diancam pidana penjara 3 hingga 8 tahun serta denda Rp 5

miliar hingga Rp 10 miliar.31

Unsur kredit yang paling esensial adalah “Kepercayaan” dari bank/kreditur

terhadap nasabah peminjam/debitur. Kepercayaan tersebut timbul karena

dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh

debitur, antara lain : jelasnya tujuan peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau

agunan, dan lain-lain.32

Dalam buku “Dasar-Dasar Perkreditan” karya Drs. Thomas Suyatno

mengemukakan unsur-unsur kredit terdiri atas33 :

a. kepercayaan;

(18)

Menurut CH. Gatot Wardoyo, bahwa perjanjian kredit mempunyai

beberapa fungsi, yaitu34 :

1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian

kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya

perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan

barang jaminan;

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan hak

dan kewajiban di antara kreditur/bank dengan nasabah/debitur;

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring

kredit.

Dalam prakteknya saat ini, secara umum ada 2 (dua) jenis kredit yang

diberikan oleh bank kepada para nasabahnya, yaitu35 :

1. Kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaannya, berupa :

a. Kredit Produktif

Kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang

menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usahanya. Untuk

kredit jenis ini terdapat 2 (dua) kemungkinan, yaitu :

- Kredit modal kerja, yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai

kebutuhan usaha-usaha, termasuk guna menutupi biaya produksi

dalam rangka peningkatan produksi atau penjualan.

34 S. Mantayborbir, Aneka Hukum Perjanjian Sekitar Pengurusan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hlm. 89.

(19)

- Kredit investasi, yaitu kredit yang diberikan untuk pengadaan

barang modal maupun jasa yang dimaksudkan untuk menghasilkan

suatu barang ataupun jasa bagi usaha yang bersangkutan.

b. Kredit Konsumtif

Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang perorangan

untuk memenuhi kebutuhan konsumtif masyarakat umumnya (sumber

pengembaliannya dari fixed income debitur).

2. Kredit ditinjau dari segi jangka waktunya, berupa :

a. Kredit Jangka Pendek

Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang diberikan dengan tidak

melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun.

b. Kredit Jangka Menengah

Kredit jangka menengah, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka

waktu lebih dari 1 (satu) tahun tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.

c. Kredit Jangka Panjang

Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka

waktu 3 (tiga) tahun.

C. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Baku Antara Debitur dan Kreditur

Perjanjian kredit dari bank (selaku kreditur) kepada nasabah (selaku

debitur) harus selalu didasari adanya perjanjian kredit antara kedua belah pihak.

(20)

Perjanjian, terutama asas-asas Hukum Perjanjian dan syarat sahnya suatu

perjanjian.36

Pemberian kredit dari Bank kepada Debitur, selain harus didasari oleh

adanya unsur kepercayaan, juga harus didasari oleh adanya sebuah kontrak

perjanjian kredit yang bersifat tertulis dan pada umumnya perjanjian kredit

tersebut diikat dengan sebuah akta notaris agar kepastian hukumnya lebih

terjamin.37

Menurut Prof. Subekti, S.H., pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa

di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau di mana dua orang itu

saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu

hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian

itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.38

Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang

mengandung janji-janji kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut Pasal

1313 KUH Perdata, perjanjian atau persetujuan diartikan sebagai perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih. Hubungan antara dua orang tersebut adalah suatu hubungan hukum di mana

hak dan kewajiban di antara para pihak tersebut dijamin oleh hukum.39

36 Iswi Hariyani dan R. Serfianto D.P., Op.Cit., hlm. 102. 37Ibid. hlm. 103

38 Subekti, Op.Cit. hlm.1.

(21)

Perjanjian kredit antara Debitur dengan Bank terdiri dari 2 (dua) macam

perjanjian, yaitu :

1. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Pokok

Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok yang bersifat riil, yan diikuti

dengan perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan (accessoir).

Pengertian “riil” berarti perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang

oleh pihak Bank kepada Debitur.40

Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan umumnya

berbentuk perjanjian baku (standard contarct), karena bentuk perjanjiannya

telah disediakan pihak bank sebagai kreditur, sedangkan pihak debitur hanya

mempelajari dan memahami dengan baik.41

Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa klausula baku adalah

setiap aturan atau ketentuan dan syarat yang telah dipersiapkan atau

ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan

dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi

konsumen.

Dari pengertian tersebut, tampak bahwa isi perjanjian dengan klausula

baku ditetapkan secara sepihak oleh kreditur, ini menunjukkan hukum yang

berlaku pada perjanjian itu adalah hukum kreditur. Sekaligus juga

(22)

menunjukkan pihak yang berkedudukan sosial dan ekonominya kuat

seolah-olah yang berwenang menetukan isi perjanjian.42

Dalam perjanjian baku, pihak debitur hanya dalam posisi menerima

atau menolak tanpa ada kemungkinan melakukan negosiasi atau tawar

menawar. Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang

ditentukan oleh bank, maka ia berkewajiban menandatangani perjanjian

kredit, tetapi apabila debitur menolak maka ia tidak perlu menandatangani

perjanjian kredit tersebut.43

Perjanjian baku ini diperlukan untuk memenuhi kedudukan yang

sifatnya praktis dan kolektif. Pada tahap ini, kedudukan calon nasabah debitur

sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang diajukan dan

ditetapkan oleh pihak kreditur, karena jika tidak demikian, maka calon

nasabah debitur tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksud.44

Perjanjian kredit, walaupun umumnya berbentuk perjanjian baku,

tetapi bentuk perjanjian baku tersebut tidak mengingkari asas kebebasan

berkontrak, sepanjang tetap menegakkan asas-asas umum perjanjian seperti

penetapan syarat-syarat yang wajar dengan menjunjung keadilan, dan adanya

keseimbangan para pihak sehingga menghilangkan upaya penekanan kepada

(23)

Rumusan perjanjian baku dalam perjanjian kredit harus memenuhi

beberapa syarat, yaitu46 :

1. tidak ada unsur kecurangan;

2. tidak ada unsur pemaksaan akibat ketidakseimbangan kekuatan

para pihak;

3. tidak ada syarat perjanjian yang hanya menguntungkan secara

sepihak;

4. tidak ada risiko yang hanya dibebankan secara sepihak;

5. tidak ada pembatasan hak untuk menggunakan upaya hukum.

Perjanjian kredit yang bersifat baku tidak boleh bertentangan dengan

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen. Pelaku usaha, sesuai Pasal 18, dilarang membuat klausula baku

yang mencantumkan hal-hal sebagai berikut :

a. Pelaku usaha dilarang membuat aturan baru, aturan tambahan,

dan/atau aturan selanjutnya yang dibuat secara sepihak oleh pelaku

usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya

(Pasal 18 ayat (1) huruf g).

b. Pelaku usaha dilarang membuat klausula yang menyatakan bahwa

konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan

terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran (Pasal 18

ayat (1) huruf h).

(24)

c. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak

atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas

atau yang pengungkapannya sulit dimengerti (Pasal 18 ayat (2)).

Pelanggaran terhadap ketentuan di atas dapat berakibat perjanjian

baku tersebut dinyatakan batal demi hukum (Pasal 18 ayat (3)). Disamping

itu, semua pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausul baku yang

bertentangan dengan Pasal 18 agar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Pasal 18 ayat (4)).

2. Perjanjian Jaminan sebagai Perjanjian Tambahan

Pemberian kredit dari bank kepada debitur, sebagaimana pemberian

kredit pada umumnya, disamping harus didasarkan adanya perjanjian

kredit sebagai perjanjian pokok, juga harus diikuti pembuatan perjanjian

jaminan sebagai perjanjian tambahan (accessoir).47

Perjanjian jaminan digolongkan sebagai perjanjian accessoir karena

perjanjian tersebut bersifat perjanjian tambahan atau ikutan yang

pemberlakuannya mengikuti perjanjian pokok yang mendasarinya. Perjanjian

jaminan berkaitan dengan pengikatan jaminan atau agunan kredit yang

umumnya diikat dengan akta notaris yang bersifat baku dan bersifat

eksekutorial.48

Sifat eksekutorial dari perjanjian jaminan mengandung konsekuensi

jika debitur melakukan wanprestasi maka bank dapat mengajukan

(25)

permohonan eksekusi agunan melalui Ketua Pengadilan Negeri tanpa harus

melalui proses peradilan biasa yang panjang dan berbelit-belit. Perjanjian

jaminan dibuat pihak bank sebagai salah satu upaya untuk melaksanakan

prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit sehingga kelak ada jaminan

pengembalian kredit bank yang utuh.49

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan jika budaya organisasi dapat mempengaruhi dan mengarahkan karyawan untuk mencapai tujuan perusahaan maka, maka karyawan akan bekerja dengan baik

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Minahasa Menurut Jenis Pendapatan (juta rupiah), 2012-2015. Sumber: Kabupaten Minahasa Dalam Angka

Penelitian ini menunjukkan bahwa menguras TPA (p=0.000) dan menutup TPA (p=0.000) berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti , sedangkan mengubur barang bekas yang

Allen & Meyer (1990) juga menyatakan bahawa beberapa variabel berkorelasi terhadap komitmen ahli organisasi antaranya ialah keadilan dan kesukaran matlamat. Oleh

Tabulasi Silang dan Uji Statistik Hubungan Dukungan Orangtua dengan Pre stasi Belajar Mahasiswa Semester IV Program Studi DIII Kebidanan STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta Tahun

Rekapitulasi Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bangka Tengah Tahun 2014-20171. Sumber: Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten Bangka Tengah,

Aplikasi dapat mencari data tugas akhir yang sejenis sekaligus berdasarkan judul dengan menggunakan algorithma pencarian Knuth Morris Pratt. Aplikasi dapat mencari data

Menurut pancasila, Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa atas dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa yang bisa