BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian
2.1.1 Tekanan Darah
Tekanan darah ( BP= blood pressure ) yang dinyatakan dalam milimeter (mm) merkuri (Hg) adalah besarnya tekanan yang dilakukan oleh darah pada
dinding arteri (McGowan, 2001). Desakan darah tersebut dipompa dari jantung ke
jaringan. Tekanan darah mirip dengan tekanan dari air (darah) di dalam pipa air
(arteri). Makin kuat aliran yang keluar dari keran (Jantung) makin besar tekanan
dari air terhadap dinding pipa. Jika pipa tertekuk atau mengecil diameternya
(seperti pada aterosklerosis), maka tekanan akan sangat meningkat (Hull, 1993).
Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih
tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), dan angka yang lebih
rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik) (Ruhyanudin, 2007).
Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah yang terjadi ketika otot jantung
berdenyut memompa darah sehingga darah terdorong ke luar dari jantung menuju
seluruh tubuh. Sedangkan tekanan darah diastolik adalah tekanan darah saat darah
memasuki jantung (Widharto, 2009). Tekanan darah ditulis sebagai tekanan
sistolik garis miring tekanan diastolik, misalnya 120/80 mmHg dibaca seratus dua
puluh per delapan puluh (Ruhyanudin, 2007).
Tekanan darah sangat bervariasi tergantung pada keadaan. Tekanan darah
akan meningkat saat aktivitas fisik, emosi, dan stres (Gray dkk, 2003). Hal ini
akan kembali menjadi normal (Hull, 1993).Tekanan darah biasanya paling tinggi
pada waktu pagi hari dan berkurang pada waktu malam hari, mencapai titik
terendah saat dini hari dan selama tidur (Ruhyanudin, 2007; Semple, 1992).
Pengukuran tekanan darah biasanya dilakukan secara tidak langsung dengan
sphygmomanometer air raksa atau alat noninvasif lainnya pada posisi duduk atau telentang (Joewono, 2003). Saat melakukan pengukuran tekanan darah, dokter
atau perawat menggunakan alat bantu berupa stetoskop. Alat ini digunakan untuk
mendengar detak jantung melalui denyut nadi, umumnya nadi daerah lengan atas
(Widharto, 2009). Pengukuran tekanan darah, dilakukan minimal 2 kali setiap
kesempatan dalam jarak waktu cukup lama yaitu 5-10 menit, dengan tidak ada
perbedaan hasil pada kedua lengan. Jika terdapat perbedaan, lengan yang
mempunyai angka yang lebih tinggi digunakan sebagai patokan untuk pengukuran
berikutnya (Gray dkk, 2003).
Terdapat dua macam kelainan tekanan darah, antara lain dikenal sebagai
hipertensi atau tekanan darah tinggi dan hipotensi atau tekanan darah rendah. Pada
umumnya yang lebih banyak dihubungkan dengan kelainan tekanan darah adalah
hipertensi, sedangkan hipotensi sering kali dihubungkan dengan kasus syok
(Masud, 1989).
2.1.2 Pre Hipertensi
Menurut kriteria the seventh report of the joint national committe on detection, evaluation and treatment of high blood pressure (JNC VII), Tekanan darah terdiri dari tekanan darah normal yaitu kurang dari 120/80 mmHg, pre
tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg (Depkes, 2013). Prehipertensi dan
hipertensi berhubungan dengan berbagai komplikasi pada hampir seluruh organ,
tetapi sering diabaikan oleh dewasa muda di daerah pedesaan (Widjaja dkk,
2013).
Pre hipertensi adalah tekanan darah jika angka sistolik antara 120 sampai
139 mmHg atau angka diastolik berada antara 80 sampai 89 mmHg (Sheps, 2005).
Pre hipertensi bukan kategori penyakit. Justru pre hipertensi adalah sebutan yang
dipilih untuk mengidentifikasi individu yang berisiko tinggi terkena hipertensi.
Penderita pre hipertensi beresiko untuk terkena hipertensi lebih besar. Misalnya
orang yang masuk kategori pre hipertensi dengan tekanan darah antara 130/80
mmHg – 139/89 mmHg mempunyai kemungkinan dua kali lipat untuk mendapat
hipertensi dibandingkan dengan yang mempunyai tekanan darah lebih rendah
(Kaplan dan Joseph, 2006).
Tekanan darah pada orang dewasa populasi Amerika Serikat, jumlah orang
dengan prehipertensi bahkan lebih besar dibandingkan dengan hipertensi. Dimana
jumlah orang dengan prehipertensi yaitu sebesar 31% (atau 63 juta) sedangkan
orang dengan hipertensi yaitu sebesar 29% dari populasi orang dewasa (Kaplan
dan Joseph, 2006).
Apabila seseorang termasuk dalam pre hipertensi, belum dianjurkan untuk
meminum obat melainkan dianjurkan untuk melakukan penyesuaian pola hidup
yang dirancang untuk menurunkan tekanan darah menjadi normal atau
merupakan peningkatan dari pre hipertensi yang lebih berat dan berbahaya (WHO,
2013).
Setiap peningkatan tekanan darah dengan 20/10 mmHg pada orang dewasa,
dapat meningkatkan 2 kali lipat risiko terkena serangan jantung dan stroke.
Tekanan darah tinggi meningkatkan risiko terhadap serangan jantung, stroke,
coronary heart disease (Penyakit jantung koroner atau penyakit yang terjadi apabila arteri koroner yang memberi suplai darah dan oksigen kepada otot jantung
mengalami pengerasan dan penyempitan akibat endapan lemak yang menumpuk
di dinding dalamnya), gagal jantung dan juga gagal ginjal (Kaplan dan Joseph,
2006).
2.1.3 Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan
tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan angka kesakitan
(morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) (Triyanto, 2014). Sedangkan
menurut Joint National Commite on Detection, Evaluation and Treatment of High
Blood Pressure (JNC VII) hipertensi didefinisikan sebagai tekanan yang lebih
tinggi atau sama dengan 140/90 mmHg dapat diklasifikasikan sesuai derajat
keparahannya (Ruhyanudin, 2007).
Menurut Komisi Pakar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang
Pengendalian Hipertensi menjelaskan bahwa hipertensi merupakan gangguan
pembuluh darah jantung (kardiovaskular) paling umum yang merupakan
tantangan kesehatan utama masyarakat yang sedang mengalami perubahan
hipertensi merupakan salah satu faktor utama risiko kematian karena gangguan
kardiovaskuler yang mengakibatkan 20-50% dari seluruh kematian.
Hipertensi merupakan penyakit kronik degeneratif yang banyak dijumpai
dalam praktek klinik sehari-hari (Simadibrata dkk, 2003). Penyakit hipertensi
salah satu faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap penyakit jantung dan
pembuluh darah. Namun sering sekali penyakit hipertensi ini tidak menunjukkan
gejala, sehingga baru disadari bila telah menyebabkan gangguan organ seperti
gangguan fungsi jantung atau stroke. Hipertensi yang juga disebut sebagai silent killer ini adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh
(Kemenkes, 2014; Triyanto, 2014).
Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa
cara: (Ruhyanudin, 2007)
1. Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan
pada setiap detiknya.
2. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga
tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui
arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa
untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan
menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut,
dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena
3. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya
tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal
sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam
tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah
juga meningkat.
2.2. Klasifikasi Hipertensi 2.2.1 Berdasarkan Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2000), klasifikasi hipertensi berdasarkan
etiologi dibagi menjadi 2, yaitu : (Triyanto, 2014)
a. Hipertensi Primer (Hipertensi Esensial)
Hipertensi esensial atau hipertensi primer adalah hipertensi yang
penyebabnya masih belum dapat diketahui. Terjadi pada sekitar 90% penderita
hipertensi. Hipertensi esensial kemungkinan disebabkan oleh beberapa perubahan
pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan
meningkatnya tekanan darah (Triyanto, 2014; Ruhyanudin, 2007).
Selama 75 tahun terakhir telah banyak penelitian untuk mencari etiologinya.
Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vascular sehingga
tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vascular perifer
bertambah, atau keduanya. Meskipun mekanisme yang berhubungan dengan
penyebab hipertensi melibatkan perubahan-perubahan tersebut, hipertensi sebagai
kondisi klinis biasanya diketahui beberapa tahun setelah kecenderungan ke arah
Pada hipertensi yang baru mulai curah jantung biasanya sedikit meningkat
dan resistensi perifer normal. Pada tahap hipertensi lanjut, curah jantung
cenderung menurun dan resistensi perifer meningkat. Adanya hipertensi juga
menyebabkan penebalan dinding arteri dan arteriol. Banyaknya faktor yang
mempengaruhi dan mungkin berbeda antar individu menyebabkan penelitian
etiologinya semakin sulit (Gray dkk, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi
tersebut seperti umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik atau keturunan serta faktor
lingkungan yang meliputi obesitas, stres, konsumsi garam berlebih dan
sebagainya (Depkes, 2007).
b. Hipertensi Sekunder (Hipertensi non Esensial)
Hipertensi sekunder adalah jika penyebab diketahui. Pada sekitar 5-10%
penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%,
penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya
pil KB) (Kemenkes, 2014; Ruhyanudin, 2007). Sekitar 5% prevalensi hipertensi
telah diketahui penyebabnya, dan dapat dikelompokkan seperti di bawah ini :
(Gray dkk, 2003)
b.1 Penyakit parenkim ginjal (3%). Setiap penyebab gagal ginjal
(glomerulonefritis, pielonefritis, sebab-sebab penyumbatan) akan menyebabkan kerusakan parenkim akan cenderung menimbulkan
hipertensi dan hipertensi itu sendiri akan mengakibatkan kerusakan
ginjal.
b.2. Penyakit renovaskular (1%). Terdiri atas penyakit yang menyebabkan
aterosklerosis, yang terutama mempengaruhi sepertiga bagian proksimal arteri renalis dan paling sering terjadi pada pasien usia lanjut,
dan fibrodisplasia yang terutama mempengaruhi 2/3 bagian distal.
b.3. Endokrin (1%). Pertimbangan aldosteronisme primer (sindrom Conn) jika terdapat hipokelemia bersama hipertensi. Tingginya kadar
aldosteron dan rennin yang rendah akan mengakibatkan kelebihan
(overload) natrium dan air.
2.2.2 Berdasarkan Tinggi Rendahnya TDS dan TDD
Berdasarkan tingginya diastolik, hipertensi dikategorikan ringan apabila
tekanan diastoliknya antara 95-104 mmHg, hipertensi sedang jika tekanan
diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan
diastoliknya 115 mmHg atau lebih. Pembagian ini berdasarkan peningkatan
tekanan diastolik karena dianggap lebih serius dari peningkatan sistolik (Padila,
2013; Irianto, 2014).
Sedangkan berdasarkan tingginya tekanan sistolik, The Seven Of The Joint National Comitte on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure ( JNC 7) tahun 2003, membagi hipertensi sebagai berikut :
a. Normal bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan diastolik <80
mmHg,
b. Prehipertensi bila tekanan darah sistolik 120 – 139 mmHg dan/atau
diastolik 80 – 89 mmHg,
c. Hipertensi stadium 1 bila tekanan darah sistolik 140 – 159 mmHg dan
d. Hipertensi stadium 2 bila tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan
diastolik ≥ 100 mmHg.
Bila tekanan darah penderita hipertensi berbeda dengan klasifikasi, sebagai
contoh TDS 170 mmHg sedangkan TDD 90 mmHg maka derajat hipertensi
ditentukan dari tekanan sistolik (TDS) karena merupakan tekanan yang terjadi
ketika jantung berkontraksi memompakan darah (Irianto, 2014).
2.2.3 Berdasarkan Jenis Kelamin
Kaplan (1985) memberikan batasan hipertensi dengan memperhatikan usia
dan jenis kelamin sebagai berikut : (Udjianti, 2011)
a. Laki-laki, usia ≤ 45 tahun di katakan hipertensi apabila tekanan darah ≥
130/90 mmHg,
b. Laki-laki, usia > 45 tahun di katakan hipertensi apabila tekanan darah ≥
145/95 mmHg,
c. Perempuan, dikatakan hipertensi apabila tekanan darah ≥ 160/95
mmHg.
2.3 Gejala Klinis
Tekanan darah tinggi seringkali tidak menimbulkan keluhan-keluhan
langsung, tetapi lama-kelamaan dapat mengakibatkan berbagai penyakit. Tidak
ada tanda-tanda yang memperingatkan, namun lambat laun urat-urat nadi baik
besar maupun kecil dalam tubuh menjadi rusak (Dekker, 1996). Hanya kurang
dari sepersepuluh penderita tekanan darah tinggi yang menunjukkan adanya gejala
dan itu terjadi jika tekanan darah sangat tinggi (Semple, 1992). Hal ini lah yang
penderita hipertensi bertahun-tahun tanpa merasakan sesuatu atau gejala
(Triyanto, 2014).
Menurut Edward K Cung (1995), tidak ada gejala spesifik yang dapat
dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri
oleh dokter yang memeriksa (Padila, 2013). Namun secara umum gejala yang
dikeluhkan oleh penderita hipertensi yaitu kegelisahan, jantung berdebar-debar,
pening, nyeri dada, sakit kepala, depresi dan lesuh (Wolff, 1984).
Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala
berikut yaitu sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, gelisah,
pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata,
jantung, dan ginjal. Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan
kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan di otak (Ruhyanudin,
2007).
2.4 Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit hipertensi dapat timbul komplikasi somatik
berupa gangguan jantung, gangguan peredaran serebral dan perifer, dan gangguan
ginjal. Namun sering kali dianggap sebagai gejala awal penyakit pada saat pasien
pertama kali ke dokter, padahal sebenarnya merupakan gejala komplikasi
hipertensi (Sudoyo dkk, 2010).
Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati dan ditanggulangi, maka dalam
jangka panjang akan terjadi komplikasi serius pada organ-organ sebagai berikut,
a. Jantung
Pengaruh tekanan darah tinggi, proses penumpukan zat-zat lemak di dalam
urat-urat nadi besar makin cepat. Hal itu mengakibatkan pengapuran pembuluh
darah (arteriosclerosis) (Dekker, 1996).
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung dan
penyakit jantung koroner. Pada penderita hipertensi, otot jantung bekerja lebih
keras dari biasanya karena arteri menyempit akibat mengapurnya dinding
pembuluh darah. Ketika otot jantung bekerja lebih keras, otot jantung tidak
mendapat pasokan darah dan oksigen yang cukup. Keadaan ini membuat rasa
sakit di dada yang biasa disebut dengan angina atau miokardinal iskemia. Jika
arteri koronaria menyempit dan kemudian darah menggumpal, otot jantung yang
langsung berhubungan dengan arteri ini menjadi mati. Keadaan ini disebut
serangan jantung (Widharto, 2009).
b. Otak
Tekanan darah tinggi dapat membawa perubahan pada jaringan pembuluh
nadi yang ada pada otak sehingga mengakibatkan serangan pada orak (attack). Serangan ini dapat menimbulkan kelumpuhan atau gangguan-gangguan organ
tubuh (stroke) (Dekker, 1996).
Penelitian yang dilakukan selama 35 tahun dalam Framingham Heart Study
menunjukkan bahwa 56% stroke pada pria dan 66% stroke pada wanita
berhubungan langsung dengan hipertensi. Namun, bila hipertensi tersebut diobati,
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan dua jenis stroke, yaitu stroke
iskemik dan stroke haemoragik. Stroke iskemik merupakan stroke yang paling
sering terjadi, meliputi 70-80% dari semua kejadian stroke. Stroke ini terjadi
karena penyumbatan pembuluh darah akibat menumpuknya plak dalam arteri.
Plak tersebut kemudian membentuk gumpalan dan lokasinya menetap dalam
arteri-arteri antara jantung dan otak. Stroke haemoragik, kejadiannya meliputi
20-30 % dari semua kejadian stroke. Stroke ini terjadi jika pembuluh darah bocor
atau pecah dalam otak. Penyebab utamanya adalah tekanan darah tinggi yang
persisten. Hal ini menyebabkan darah meresap ke ruang di antara sel-sel otak.
Walaupun stroke hemoragik tidak sesering stroke iskemik, namun komplikasinya
dapat menjadi lebih serius (Sheps, 2005).
c. Ginjal
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah
menuju ginjal. Penyumbatan ini berakibat pada fungsi ginjal yaitu sebagai
penyaring darah terganggu. Ginjal berfungsi menyaring kotoran-kotoran yang
terbawa oleh aliran darah. Gangguan pada ginjal mengakibatkan kotoran-kotoran
ini tidak tersaring sehingga darah yang penuh kotoran ini beredar ke seluruh
tubuh. Lama kelamaan produk sisa akan menumpuk dalam darah, ginjal akan
mengecil dan berhenti fungsi, keadaan ini disebut gagal ginjal (Widharto, 2009;
Sheps, 2005).
d. Mata
Tekanan darah tinggi dapat mempersempit atau menyumbat arteri di mata,
banyak terkena resiko. Daya penglihatan terganggu karena kerusakan pada
pembuluh selaput mata (Dekker, 1996). Pada keadaan berat, saraf yang membawa
sinyal-sinyal dari mata ke otak (saraf optik) akan mulai membengkak. Hal ini
dapat menyebabkan kebutaan (Sheps, 2005).
2.5 Epidemiologi Hipertensi
2.5.1 Distribusi dan Frekuensi Hipertensi
a. Orang
Pada populasi umum kejadian tekanan darah tinggi tidak terdistribusi secara
merata. Hingga usia 55 tahun lebih banyak ditemukan pada pria. Namun setelah
terjadi menopause (biasanya setelah usia 50 tahun), tekanan darah pada wanita
meningkat terus, hingga usia 75 tahun tekanan darah tinggi lebih banyak
ditemukan pada wanita daripada pria (Bustan, 2007).
Dalam Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi,
penderita hipertensi umumnya terjadi pada manusia yang berusia setengah umur
(Iebih dari 40 tahun). Namun banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya
menderita hipertensi. Hal ini disebabkan gejalanya tidak nyata dan pada stadium
awal belum menimbulkan gangguan yang serius pada kesehatannya. Boedi
Darmoyo dalam penelitiannya menemukan bahwa antara 1,8% -28,6% penduduk
dewasa adalah penderita hipertensi. Prevalensi hipertensi di seluruh dunia
diperkirakan antara 15-20%. Pada usia setengah baya dan muda, hipertensi ini
lebih banyak menyerang pria daripada wanita (Depkes, 2006).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2013
nasional mencapai 25,8%. Berdasarkan kelompok umur yang paling tinggi
terdapat pada kelompok umur diatas 75 tahun yaitu 63,8% dan pada kelompok
umur 65-74 tahun yaitu 57,6%. Berdasarkan jenis kelamin prevalensi hipertensi
pada laki-laki sebesar 22,8% dan pada perempuan 28,8% (Depkes, 2013).
b. Tempat
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Balitbangkes tahun 2013 menurut provinsi, Prevalensi hipertensi di
Provinsi Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%), Jawa Barat
(29,4%), Gorontalo (29,0%), Sulawesi Tengah (28,7%), Kalimantan Barat
(28,3%), Sulawesi Selatan (28,1%), Sulawesi Utara (27,1%), Kalimantan Tengah
(26,7%), Jawa Tengah (26,4%), Jawa Timur (26,2%) dan Sumatera Selatan
(26,1%), merupakan provinsi yang mempunyai prevalensi hipertensi lebih tinggi
dari angka nasional (25,8%) (Depkes, 2013).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, pada analisis hasil
pengukuran tekanan darah penduduk umur > 18 tahun menunjukkan penderita
hipertensi yang bertempat tinggal di Perkotaan (26,1%) dan di Pedesaan (25,%1).
Sedangkan pada analisis hipertensi terbatas pada usia 15-17 tahun menurut JNC
VII 2003 didapatkan prevalensi nasional sebesar 5,3 persen (laki-laki 6,0% dan
perempuan 4,7%), perdesaan (5,6%) lebih tinggi dari perkotaan (5,1%) (Depkes,
2013).
Penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai lebih rentan terhadap
daerah pegunungan yang lebih banyak mengonsumsi sayur-sayuran dan
buah-buahan.
c. Waktu
Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3%
penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004
(Rahajeng dan Tuminah, 2009).Di Jawa Tengah, berdasarkan laporan rumah sakit
dan puskesmas, proporsi kasus hipertensi dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Dibandingkan dengan jumlah kasus penyakit tidak menular secara
keseluruhan, pada tahun 2004 proporsi kasus hipertensi sebesar 17,34%,
meningkat menjadi 29,35% di tahun 2005. Kemudian pada tahun 2006 mengalami
peningkatan menjadi 39,47% (Sugiharto, 2007).
2.5.2 Faktor Risiko Hipertensi
a. Faktor Risiko Hipertensi Yang Tidak Dapat Diubah
1. Genetika
Faktor genetik berperan penting dalam tekanan darah tinggi. Karena
susunan saraf seseorang menentukan seberapa besar kecenderungannya
untuk menderita tekanan darah tinggi (Mervin, 1995).Pada kasus hipertensi
essensial, didapat sekitar 70-80% kasus hipertensi essensial, yang memiliki
riwayat hipertensi didalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan
pada kedua orang tua, maka dugaan hipertensi esensial lebih besar.
Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu
menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peran didalam terjadinya
hipertensi (Hayens et al, 1998).
Dalam laporan WHO, sekitar 20-40% variasi tekanan darah di antara
individu disebabkan oleh faktor genetik. Penelitian menunjukkan bahwa
tekanan darah seorang anak akan lebih mendekati tekanan darah
orangtuanya bila mereka memiliki hubungan darah dibanding dengan anak
adopsi. Hal ini menunjukkan bahwa gen yang diturunkan, dan bukan hanya
faktor lingkungan (seperti makanan dan status sosial), berperan besar dalam
menentukan tekanan darah (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).
Kemungkinan seseorang menderita tekanan darah tinggi lebih kurang
satu berbanding tiga, jika salah satu orang tua menderita tekanan darah
tinggi atau pernah mendapat stroke sebelum usia 70 tahun. Risiko ini
meningkat menjadi tiga berbanding lima jika kedua orang tua
mengalaminya (Semple, 1992).
2. Umur
Usia adalah faktor risiko nomor satu. Lebih dari 60% orang Amerika
yang berusia 65 hingga 74 tahun mengidap tekanan darah tinggi (Hoffman
dkk, 1996).Jumlah individu yang mengalami hipertensi meningkat sejalan
dengan meningkatnya usia (Tierney dkk, 2002).
Tekanan darah cenderung rendah pada bayi dan mulai meningkat pada
masa kanak-kanak. Kemudian akan meningkat lebih nyata selama masa
pertumbuhan dan pematangan fisik di usia remaja (Semple, 1992). Menurut
hipertensi paling tinggi pada usia 30-40 tahun (Pusat Pendidikan Tenaga
Kesehatan Departemen Kesehatan, 1993).
3. Jenis Kelamin
Pada usia dini tidak terdapat bukti nyata tentang adanya perbedaan
tekanan darah antara laki-laki dan wanita. Akan tetapi, mulai pada masa
remaja, pria cenderung menunjukkan aras rata-rata yang lebih tinggi.
Perbedaan ini lebih jelas pada orang dewasa muda dan orang setengah baya
(Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).
Perubahan normal dan pematangan fisik cenderung lebih nyata pada
laki-laki dari pada wanita terlebih sebelum wanita mengalami masa
menopause (Semple, 1992). Menurut Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan
Departemen Kesehatan, komplikasi hipertensi meningkat pada laki-laki
(Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, 1993).
4. Ras atau Suku Bangsa
Kajian populasi selalu menunjukkan bahwa aras tekanan darah pada
masyarakat kulit hitam lebih tinggi ketimbang aras pada golongan suku
lain. Suku mungkin berpengaruh pada hubungan antara umur dan tekanan
darah, seperti yang ditunjukkan oleh kecenderungan tekanan darah yang
meninggi bersamaan dengan bertambahnya umur secara progresif pada
orang Amerika berkulit hitam keturunan Afrika ketimbang orang Amerika
berkulit putih (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).
Sementara itu ditemukan variasi antar suku di Indonesia. Di lembah
yang tertinggi terdapat di Jawa Barat pada suku Suku Sunda yaitu 28,6%
(Bustan, 2007).
5. Status sosioekonomi
Di negara-negara yang berada pada tahap pasca-peralihan perubahan
ekonomi dan epidemiologi selalu dapat ditunjukkan bahwa aras tekanan
darah dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi terdapat pada golongan
sosioekonomi rendah. Hubungan yang terbalik itu ternyata berkaitan
dengan tingkat pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan. Akan tetapi, dalam
masyarakat yang berada dalam masa peralihan atau pra-peralihan, aras
tinggi tekanan darah dan prevalensi hipertensi lebih tinggi terdapat pada
golongan sosioekonomi yang lebih tinggi (Laporan Komisi Pakar WHO,
2001).
Determinan sosial kesehatan, misalnya pendapatan, pendidikan dan
kondisi di rumah (status pernikahan) berdampak pada faktor-faktor risiko
perilaku sehingga mempengaruhi perkembangan hipertensi. Misalnya,
pengangguran atau takut pengangguran mungkin memiliki dampak pada
tingkat stres yang pada akhirnya akan membuat tekanan darah menjadi
tinggi. Kondisi di rumah dan kondisi di tempat kerja juga dapat
mempengaruhi tekanan darah misalnya pekerjaan yang berat akan
menguras pikiran lebih berat, pertengkaran yang terjadi di rumah atau
kebutuhan ekonomi dalam keluarga yang harus terpenuhi membuat individu
harus berpikir keras juga sehingga kemungkinan meningkatkan tekanan
menunda deteksi tepat waktu dan pengobatan karena kurangnya akses ke
diagnosa dan pengobatan. Ditambah lagi dengan urbanisasi yang cenderung
mendorong konsumsi cepat makanan, penggunaan tembakau dan
penggunaan alkohol akhirnya, meningkatkan risiko hipertensi (WHO,
2013).
b. Faktor Risiko Hipertensi Yang Dapat Diubah
1. Obesitas
Anak dan dewasa yang kegemukan menderita lebih banyak hipertensi
dan penambahan berat badan biasanya diikuti oleh kenaikan tekanan darah.
Walaupun kalori tambahan yang bertanggung jawab bagi kenaikan berat
badan, namun dapat menginduksi hipertensi karena ia membawa natrium
tambahan (Kaplan dan Stamler, 1991).
Berdasarkan laporan Komisi Pakar WHO pada kebanyakan kajian,
kelebihan berat badan berkaitan dengan 2-6 kali kenaikan risiko mendapat
hipertensi. Pada populasi Barat, jumlah kasus hipertensi yang disebabkan
oleh kelebihan berat badan diperkirakan 30-65%. Dari data pengamatan
WHO tahun 1996, regresi multivariat tekanan darah menunjukkan kenaikan
TDS 2-3 mmHg dan TDD 1-3 mmHg utuk setiap kenaikan 10 kg bobot
tubuh (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001). Indeks massa tubuh digunakan
untuk mengukur kadar kegemukan kombinasi atau perbandingan antara
berat badan dan tinggi badan. Perhitungannya adalah sebagai berikut :
Dimana dikatakan BB kurang bila IMT < 18,5 kg/m2, BB normal bila IMT
18,5-24,9 kg/m2, BB berlebih bila IMT 25-29,9 kg/m2, Obes Derajat I bila
30,0-34,9 IMT kg/m2, Obes Derajat II bila 35,0-39,9 kg/m2, dan Obes
Derajat III bila IMT > 40,0 kg/m2 ( MB, 2011).
2. Stres
Penelitian tentang faktor psikososial dan faktor sosiokultural hingga
saat ini telah mendapatkan hubungan yang lebih nyata bahwa perubahan
hemodinamik, peningkatan tekanan darah berhubungan dengan faktor
psikososial lain, seperti white coat hypertention. Penelitian di Amerika Serikat pada orang Negro didapatkan angka hipertensi tinggi, yang
berhubungan dengan adanya rasa permusuhan (hostilitas), rasa tertekan
sebagai akibat diskriminasi dan kemiskinan serta masalah psikososial lain,
yang merupakan model psikosomatik agresi yang tertekan (Sudoyo dkk,
2010).
Stres memang tidak diragukan lagi dapat meningkatkan tekanan darah
dalam jangka pendek dengan cara mengaktifkan bagian otak dan sistem
saraf yang biasanya mengendalikan tekanan darah secara otomatis. Namun
stres sulit untuk diberi batasan atau diukur, karena pristiwa yang
menimbulkan stres pada seseorang belum tentu menimbulkan stres pada
orang lain (Semple, 1992).
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Stres
berdebar-debar, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang
kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung
berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan
meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh berusaha mengadakan
penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis.
Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag.
Berdasarkan hasil penelitian Hasurungan di Kota Depok (2002) dengan
menggunakan desain penelitian case control, menunjukkan bahwa OR hipertensi pada responden yang mengalami stres psikologis jika
dibandingkan dengan yang tidak stres psikologis adalah 2,99 (Hasurungan,
2002).
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam mengukur tingkat stress
adalah dengan DASS 42. DASS 42 (Depression Anxiety Stress Scale 42)
adalah kuesioner yang terdiri dari 42-item pertanyaan yang mencakup tiga
laporan diri skala dirancang untuk mengukur keadaan emosional negatif dari
depresi, kecemasan dan stres. DASS mempunyai tingkatan discrimant
validity dan mempunyai reliabilitas sebesar 0,91 yang diolah berdasarkan
penilaian Cronbach’s Alpha. Tingkatan stress pada instrumen DASS 42
(lovibond, 1995) dikategorikan menjadi Normal : 0-14, Stres Ringan :
15-18, Stres Sedang : 19-25, Stres Berat : 26-33, dan Stres Sangat Berat : ≥ 34
(Lovibond & Lovibond, 2003 dalam S.Yessy, 2012)
3. Asupan Garam
Penelitian menunjukkan adanya kaitan antara asupan natrium yang
berlebihan dengan tekanan darah tinggi pada beberapa individu. Asupan
natrium yang meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan, yang
meningkatkan volume darah. Di samping itu, diet tinggi garam dapat
mengecilkan diameter dari arteri. Jantung harus memompa lebih keras untuk
mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang sempit. Akibatnya
adalah hipertensi. Hal ini sebaliknya juga terjadi, ketika asupan natrium
berkurang maka begitu pula volume darah dan tekanan darah pada beberapa
individu (Hull, 1993).
Pada hasil pengamatan di beberapa kelompok kecil yang tersebar di
seluruh dunia yang menjalani cara hidup tradisional, aktif dan suka berburu.
Kelompok-kelompok ini mempunyai tekanan darah yang rendah dan sangat
sedikit meningkat dengan bertambahnya usia. Mereka tidak menggunakan
garam dan makanannya mengandung kadar natrium yang sangat rendah.
Satu dari kelompok ini adalah orang Indian Yanomano di pedalaman hutan
brasilia (Semple, 1992).
Kebutuhan minimal tubuh manusia akan garam hanyalah 69 miligram
per hari. Petunjuk diet rendah garam dari Amerika menyarankan untuk
orang normal membatasi jumlah konsumsi garam per hari tidak melebihi
2.300 miligram per hari. Sedangkan untuk usia 51 tahun keatas atau
mempunyai penyakit seperti tekanan darah tinggi, penyakit ginjal, atau
gambaran, 1 sendok teh garam dapur setara dengan 2.300 miligram natrium
(Irawati, 2013).
Garam bukanlah satu-satunya sumber natrium yang masuk ke dalam
aliran darah, walaupun kandungan natrium dalam garam dapur cukup tinggi
yaitu 40%. Mono Sodium Glutamat (MSG) atau lebih dikenal dengan merk
dagang vetsin juga merupakan sumber natrium. Konsumsi MSG yang
berlebihan juga berdampak pada penaikan tekanan darah (Widharto, 2009).
Berikut ini adalah daftar makanan yang termasuk memiliki kandungan
natrium yang tinggi : (Irawati, 2013 ; Almatsier, 2010)
a. Garam dapur: 1 sendok teh garam dapur mengandung 2300 mg Na
b. Kaldu bubuk atau kaldu blok: 5 gram atau 1 blok kaldu
mengandung 1200 mg natrium.
c. 1 Lembar daging burger mengandung 416 mg natrium
d. Mie instan: dalam 1 bungkus mie instan terdapat 1140 mg natrium.
e. 1 butir telur ayam terdapat 50,56 mg Natrium dan 1 butir telur
bebek terdapat 95,5 mg natrium
f. 1 sdm kecap asin terdapat 1024 mg natrium, 1 sdm kecap manis
terdapat 558 mg natrium dan 1 sdm saos terdapat 690 mg natrium.
Dalam memudahkan penggunaan bahan makanan, daftar makanan
dinyatakan dengan alat ukur yang lazim terdapat di rumah tangga
(disingkat urt). Cara ini terbukti cukup teliti dan praktis dalam
penyusumam diet. Dibawah ini dicantumkan persamaan antara ukuran
1 ptg sdg ikan asin (6x5 cm) = 12,5 gram
1 sdm gula pasir = 8 gram
1 sdm minyak goreng, margarin = 10 gram
1 sdm = 3 sdt = 10 ml
1 gls = 24 sdm = 240 ml
1 ckr = 1 gls = 240 ml
Ket : sdm = Sendok makan gls = gelas
ptg = Potong ckr = cangkir
4. Aktivitas Fisik
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena
olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan
menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas
pada hipertensi. Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan
kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga bertambah
akan memudahkan timbulnya hipertensi. Kurangnya aktivitas fisik
meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko
kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai
frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus
bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot
jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.
(Sheps, 2005)
Aktitivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat mengurangi risiko
mellitus, dan kanker kolon. Selain itu juga memberikan efek positif terhadap
penyakit seperti kanker payudara, hipertensi, osteoporosis, dan risiko jatuh.
Makin besar intensitas latihan, makin besar pula efek latihan tersebut.
Intensitas latihan jasmani sebaiknya 60-80% dari kapasitas aerobik yang
maksimal. Olahraga atau aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur setiap
hari atau 3 kali seminggu minimal 30 menit setiap berolahraga. (Fatmah dan
Ruhayati, 2011)
Metode yang sering digunakan untuk mengukur aktivitas fisik
seseorang dalam suatu penelitian instrumen adalah recall dan pemberian kuesioner. Metode tersebut sering digunakan karena murah dan lebih cepat.
Namun, Keragaman dalam ukuran tubuh, komposisi tubuh dan aktivitas
fisik kebiasaan di antara populasi orang dewasa dengan latar belakang
geografis, budaya dan ekonomi yang berbeda membuat aktivitas fisik sulit
untuk diukur sehingga untuk menjelaskan perbedaan dalam aktivitas fisik,
FAO memperkirakan melalui perhitungan faktorial yang dikombinasikan
antara waktu yang dialokasikan untuk kegiatan kebiasaan dan besar energi
kegiatan-kegiatan. Sekaligus untuk menjelaskan perbedaan ukuran tubuh
dan komposisi baik pria maupun wanita, besar energi kegiatan dihitung
sebagai kelipatan BMR per menit juga disebut sebagai rasio aktivitas fisik
(PAR), dan kebutuhan energi 24 jam adalah dinyatakan sebagai kelipatan
dari BMR per 24 jam dengan menggunakan nilai PAL (James dan Schofield
dalam FAO, 2001). Berikut ini tabel estimasi standar faktorial dari total
Tabel 2.1 Estimasi Standar Faktorial dari Total Pengeluaran Energi
5 Duduk (Pekerjaan kantor, menjual produk, cenderung berbelanja)
Gaya hidup aktif atau cukup aktif
1. Tidur 8 1,0 8,0
2. Perawatan Pribadi (Berpakaian, mandi)
1 2,3 2,3
3. Berdiri, membawa beban ringan (menunggu di meja, mengatur barang dagangan)
8 2,2 17,6
Gaya hidup yang berat atau aktif
Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan oleh seseorang dalam waktu 24
jam dinyatakan dalam PAL (physical activity level) atau tingkat aktivitas fisik. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan dalam kkal per
kilogram berat badan dalam 24 jam. Rumus yang digunakan untuk
menentukan PAL yaitu : (FAO, 2001)
Keterangan :
PAL : Physical Activity Level ( tingkat aktivitas fisik )
PAR : Physical Activity Ratio ( jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis kegiatan per satuan waktu tertentu )
Tabel 2.2 Kategori Aktivitas Fisik Standar Berdasarkan Nilai Physical Activy Level (PAL)
No. Kategori aktivitas fisik berdasarkan nilai
Physical Activity Level (PAL)
Rokok menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan
juga menyebabkan pengapuran sehingga volume plasma darah berkurang
karena pengaruh nikotin dalam peredaran darah (Dekker, 1996).
Meningkatnya tekanan darah ini, lebih nyata pada penderita tekanan darah
tinggi. Merokok dapat menyebabkan terjadinya ateroma dalam arteri dan
dapat mengenai ginjal. Akibat penyempitan arteri ini, terjadi penyakit
tekanan darah tinggi yang berat dan keadaan ini cenderung terjadi pada
penderita lanjut usia (Semple, 1992).
Merokok dapat meningkatkan tekanan darah secara temporer yaitu
tekanan darah sistolik yang naik sekitar 10 mmHg dan tekanan darah
diastolik naik sekitar 8 mmHg. Merokok juga dapat menghapuskan
efektivitas beberapa obat antihipertensi. Misalnya, pengobatan hipertensi
yang menggunakan terapi betablocker dapat menurunkan risiko penyakit
merupakan faktor risiko utama untuk munculnya penyakit kardiovaskular
(Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).
6. Konsumsi Alkohol
Alkohol juga mempengaruhi tekanan darah. Orang-orang yang minum
alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan darah yang
lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit
alkohol (Hull, 1993). Lebih dari dua minuman keras sehari akan
menimbulkan peningkatan signifikan. Diperkirakan 5-10% hipertensi pada
laki-laki Amerika disebabkan langsung oleh konsumsi alkohol (McGowan,
2001).
Berdasarkan laporan Komisi Pakar WHO mengatakan bahwa pada
beberapa populasi, konsumsi minuman keras selalu berkaitan dengan
tekanan darah tinggi. Jika minuman keras diminum sedikitnya dua kali per
hari, TDS naik kira-kira 1,0 mmHg dan TDD kira-kira 0,5 mmHg per satu
kali minum. Peminum harian ternyata mempunyai aras TDS dan TDD lebih
tinggi, berturut-turut 6,6 mmHg dan 4,7 mmHg dibandingkan dengan
peminum sekali seminggu (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).
Pada umumnya orang dengan tekanan darah tinggi harus menjaga agar
konsumsi alkoholnya rendah. Batas yang masih aman mungkin berkisar
antara 2 unit sehari (satu unit dapat berupa satu seloki minuman keras atau
segelas anggur atau seperempat liter bir), dengan satu unit atau satu gelas
berukuran 125 ml dengan besar kandungan alkoholnya tidak lebih dari 5%
minuman beralkohol dibedakan menjadi tiga (3) golongan. Golongan A
dengan kadar alkohol 1-5 % misalnya bir. Golongan B dengan kadar
alkohol 5-20 % misalnya anggur dan Golongan C dengan kadar alkohol
20-55 % misalnya whisky dan brandy. Berikut ini beberapa pengelompokkan
minuman keras : (MuslimDaily, 2014)
Tabel 2.3 Pengelompokkan minuman keras
No Nama Bahan Baku Kadar Alkohol (%)
Anggur Buah anggur atau jenis
lainnya 12
4 Brandy Anggur yang didestilasi 40-45
5 Whisky Barley,jagung dan lainnya 45-55
6 Rum Tetes tebu 45
7 Vodka Kentang 40-50
(Sumber : MuslimDaily, 2014) 2.6 Pencegahan Hipertensi 2.6.1 Pencegahan Premordial
Pencegahan primordial yaitu upaya pencegahan munculnya faktor
predisposisi terhadap hipertensi dimana belum tampak adanya faktor yang
menjadi risiko. Upaya ini dimaksudkan dengan memberikan kondisi pada
masyarakat yang memungkinkan pencegahan terjadinya hipertensi yang dapat
dilakukan melalui pendekatan populasi ataupun perorangan. Pendekatan populasi
secara khusus mengandalkan program untuk mendidik masyarakat (Laporan
Komisi Pakar WHO, 2001).
Pendidikan masyarakat yakni masyarakat harus diberi informasi mengenai
dan pengaruh faktor risiko kardiovaskular lainnya. Sasaran pencegahan tingkat
dasar ini terutama kelompok masyarakat usia muda dan remaja, dengan tidak
mengabaikan orang dewasa (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).
2.6.2 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya memodifikasi faktor resiko atau mencegah
berkembangnya faktor risiko, sebelum dimulainya perubahan patologis dengan
tujuan mencegah atau menunda terjadinya kasus baru penyakit. Tahap primer
penatalaksanaan penyakit hipertensi merupakan upaya awal pencegahan sebelum
seseorang menderita hipertensi melalui program penyuluhan dan pengendalian
faktor-faktor resiko kepada masyarakat luas dengan memprioritaskan pada
kelompok risiko tinggi (Triyanto, 2014).
Upaya pencegahan primer yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya
hipertensi adalah dengan cara merubah faktor risiko yang ada. Upaya-upaya
tersebut antara lain : (Triyanto, 2014)
a. Mengubah pola makan dengan mengurangi asupan garam dan lemak
tinggi, meningkatkan makan sayur dan buah.
b. Mengubah gaya hidup dengan berolahraga secara teratur dan terkontrol
seperti senam aerobik, berhenti merokok, dan mengurangi atau
membatasi konsumsi alkohol.
c. Mengurangi kelebihan berat badan bagi yang kelebihan berat badan
2.6.3 Pencegahan Sekunder
Pencegahan tahap sekunder adalah upaya pencegahan hipertensi yang sudah
terjadi akibat serangan berulang atau untuk mencegah menjadi berat terhadap
timbulnya gejala-gejala penyakit secara dini melalui deteksi dini (early detection serta memberikan pengobatan yang cepat dan tepat. Pencegahan ini ditujukan untuk mengobati para penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius
dari penyakit, yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan (Triyanto,
2014).
Dalam pencegahan tahap sekunder ini, upaya yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut : (Triyanto, 2014)
a.Diagnosis dini
Diagnosis dini dapat dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah secara
teratur sebagai bentuk skrining. Seperti lazimnya pada penyakit lain, diagnosis
hipertensi ditegakkan berdasarkan data anamnese (konsultasi dokter),
pemeriksaan jasmani, pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan penunjang.
Pada 70-80 % kasus hipertensi esensial, didapat riwayat hipertensi didalam
keluarga, walaupun hal ini belum dapat memastikan diagnosis hipertensi esensial.
Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka dugaan
hipertensi esensial lebih besar (Dalimartha dkk, 2008).
Kesulitan utama selama proses diagnosis adalah menentukan sejauh mana
pemeriksaan harus dilakukan. Pemeriksaan yang secara dangkal saja tidak dapat
diterima karena hipertensi merupakan penyakit seumur hidup dan terapi yang
WHO, 2001). Untuk itu pada saat pasien diperiksa oleh dokter, pasien perlu
memberitahukan hal-hal berikut : (Dalimartha dkk, 2008)
1. Riwayat hipertensi orang tuanya
2. Pengobatan yang sedang dijalaninya saat itu, karena ada beberapa
obat-obatan yang dapat menimbulkan hipertensi seperti golongan obat
kortikosteroid.
3. Pada perempuan, keterangan mengenai hipertensi pada kehamilan,
riwayat eklampsia (keracunan kehamilan), riwayat persalinan dan
penggunaan pil kontrasepsi.
4. Data mengenai penyakit yang diderita, seperti diabetes mellitus kencing
manis), penyakit ginjal, serta faktor resiko terjadinya hipertensi,
misalnya rokok, alkohol, stres, dan data berat badan.
b. Pengobatan
Keputusan untuk mulai memberikan obat antihipertensi berdasarkan
beberapa faktor seperti derajat peninggian tekanan darah, terdapatnya
kerusakan organ target, dan terdapatnya manifestasi klinis penyakit
kardiovaskuler atau faktor risiko lain. Terapi dengan pemberian obat
antihipertensi terbukti dapat menurunkan tekanan sistolik dan mencegah
terjadinya stroke pada pasien usia 70 tahun atau lebih (Triyanto, 2014).
Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan
kemungkinan seumur hidup. Terapi farmakologis dilakukan dengan
1. Golongan Diuretik, Diuretik thiazide biasanya merupakan obat pertama
yang diberikan untuk mengobati hipertensi. Diuretik membantu ginjal
membuang garam dan air, yang akan mengurangi volume cairan di
seluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah.
2. Penghambat Adrenergik, merupakan sekelompok obat yang terdiri dari
alfa-blocker, beta-blocker, dan alfa-beta-blocker labetalol, yang menghambat efek sistem saraf simpatis.
3. ACE-Inhibitor, Angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACE-inhibitor) menyebabkan penurunan tekanan darah dengan cara melebarkan arteri.
4. Angiotensin-II-bloker, menyebabkan penurunan tekanan darah dengan
suatu mekanisme yang mirip dengan ACE-inhibitor.
5. Antagonis kalsium, menyebabkan melebarnya pembuluh darah.
6. Vasodilator, langsung menyebabkan melebarnya pembuluh darah.
7. Kedaruratan hipertensi (misalnya hipertensi maligna) memerlukan obat yang menurunkan tekanan darah dengan cepat dan sebagian besar
diberikan secara intravena (melalui pembuluh darah) : diazoxide, nitroprusside, nitroglycerin, labetalol.
2.6.4 Pencegahan Tersier
Pencegahan tahap tersier yaitu upaya mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat atau kematian. Pencegahan tersier adalah upaya pencegahan penyakit
ke arah berbagai akibat penyakit yang lebih buruk, dengan tujuan memperbaiki
pemulihan setelah terjadi sakit untuk meminimalkan kesakitan, kecacatan, dan
meningkatkan kualitas hidup (Triyanto, 2014).
Upaya yang dilakukan pada pencegahan tersier ini yaitu : (Triyanto, 2014)
a. Menurunkan tekanan darah sampai batas yang aman dan mengobati
penyakit yang dapat memperberat hipertensi.
b. Mem-follow up penderita hipertensi yang mendapat terapi dan rehabilitasi. Follow up ditujukan untuk menentukan kemungkikan dilakukannya pengurangan atau penambahan dosis obat.
c. Melakukan rehabilitasi yang tidak hanya difokuskan pada fisik, tetapi
juga kebutuhan spritual dan psikologi untuk mengembalikan keutuhan
individu. Rehabilitasi dan usaha meningkatkan kesejahteraan termasuk
didalamnya adalah pengobatan, pemberian nutrisi, latihan,
penyembuhan psikologi dan spiritual, dan kelompok dukungan sosial.
Upaya penting dalam pencegahan tersier adalah menggali sumber-sumber
kekuatan yang ada pada individu. Sumber kekuatan bisa dalam bentuk kekuatan
fisik, ketahanan psikologi, dukungan sosial, konsep diri yang positif, energi,
pengetahuan dan pemahaman, motivasi, dan sistem keyakinan. Membangun kerja
sama dengan keluarga dalam proses pencegahan tersier juga sangat penting
Kejadian Pre Hipertensi
2.7 Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Karakteristik :
1. Umur
2. Jenis Kelamin 3. Suku
4. Pendidikan 5. Pekerjaan
6. Status Pernikahan
Faktor Risiko :
1. Riwayat keluarga
yang menderita hipertensi 2. Status Gizi
3. Stress