• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN ASEAN DALAM MENCIPTAKAN RESOLUSI K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN ASEAN DALAM MENCIPTAKAN RESOLUSI K"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN ASEAN DALAM MENCIPTAKAN RESOLUSI KONFLIK UNTUK

PERMASALAHAN INTERNAL ANGGOTA DAN KAWASAN DALAM

PERDAMAIAN DUNIA

EGI ERIFTI EVIANI

FANIA OKTASARI

Mahasiswa Hubungan Internsional

Universitas Resptati Yogyakarta

Abstract : Research published by some researcher indicated a significant security capability growth of ASEAN member states. This capability will potentially increase ASEAN’s bargaining position in ASEAN region. However, the key role of ASEAN in the region might not be separated from ASEAN’s perfomance on handling existed security issues. Unfortunately, the Security perfomance, which tends to grow, is not necessarily decreasing the risk of security in the region of Asia. Therefore, to affirm ASEAN capability, the prioritization of security issues is needed for then being solved comprehensively As a means of negotiation and generate mutual decision together. the ASEAN Maritime Forum (AMF) is a conference venue/semina for all members of ASEAN Member States (AMSS) to conduct dialogue on maritime issues which give the concept of cooperation in the area of maritime waters to reduce crime and provide solutions to the problems faced. The role of the AMF And the role of the ASEAN Maritime Forum will provide useful results and ideas for tackling issues of maritime crime and security in the waters of Southeast Asia. Also in the mechanisms of ASEAN Maritime Forum to date, only a forum to facilitate dialogue on maritime issues. The last, ASEAN try to be actor for solve all problems in Southeast Asia area. Although, it has kind of ways and strategics to solve it.

Keyword : Security. Terorism, Maritime, Southeast Asia.

A. Pendahaluan

1. Latar Belakang Masalah

ASEAN dan Perdamaian Kawasan, organisasi regional Asia Tenggara yang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967, kini menjadi sorotan masyarakat internasional. ASEAN akan bertransformasi menjadi sebuah komunitas politik yang memiliki beberapa kemiripan dengan model komunitas politik European Union.

(2)

Agustus nanti ASEAN akan menginjak usia yang ke-45. Hal tersebut adalah bukti bahwa ASEAN telah lama berkarir di bidang politik internasional dimana peran ASEAN cukup berpengaruh dalam proses perdamaian intra-kawasan dan penyelesaian konflik antar negara anggota serta perannya yang cukup signifikan ketika cold war. Perdamaian yang ASEAN capai kini adalah salah satu trigger untuk mendirikan political community. Asia Tenggara adalah salah satu dari sekian banyak kawasan yang memiliki banyak konflik dan permasalahan, kebanyakan konflik tersebut berupa konflik laten antar negara ataupun konflik internal di dalam negara sendiri. Tanpa ASEAN sangat sulit untuk memadamkan api-api konflik di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini. Oleh karenanya dalam kesempatan ini, paper ini akan membahas keberhasilan ASEAN dalam menciptakan resolusi konflik untuk permasalahan-permasalahan internal dan kesulitan yang ASEAN hadapi dalam konflik-konflik tersebut terutama menyangkut prinsip ASEAN: Non-Intervention.

Dalam proses pengintegrasian sebuah kawasan sangatlah penting membentuk komunitas politik karena hal tersebut akan berpengaruh langsung pada identitas regional di masyarakat internasional, seperti halnya European Union (EU), mereka adalah satu kesatuan meskipun terdiri dari banyak aktor negara, individu manapun yang berasal dari salah satu negara anggota EU akan dianggap sebagai bagian dari masyarakat Eropa oleh international society yang cakupannya jauh lebih besar dari Eropa. Demikian pula dengan integrasi politik yang akan terjadi ketika suatu kawasan telah menjadi komunitas politik, integrasi politik pada suatu kawasan akan memicu terciptanya lembaga supranasional yang menyatukan kedaulatan dari masing-masing negara anggota menjadi satu kedaulatan dalam sebuah lembaga dalam pencapaian kepentingan bersama. Adapun fase spill-over akan terjadi pada 3 dimensi yaitu functional spill-over, political spill-over, dan geographical spill-over. Semuanya kerap kali terjadi pada kawasan yang telah terintegrasi dan Eropa adalah masterpiece dari teori ini.

Karena proses dalam setiap integrasi kawasan adalah proses yang konfliktual tentunya kita juga harus memahami konsep perdamaian dan konflik serta realita yang terjadi terutama pada kawasan yang menjadi sorotan dalam paper ini.

Perdamaian diidentifikasi menjadi dua yaitu positive peace dan negative peace. Negative peace adalah kondisi dimana situasi perdamaian mengandung unsur konflik atau suasana dimana rekonsialisasi pasca-konflik sehingga konten-konten konflik sebelumnya masih sangat terasa dan sangat potensial menghasilkan konflik baru jika tidak ditangani dengan tuntas. Sedangkan positive peace adalah kondisi perdamaian yang tidak mengandung unsur konflik sama sekali sehingga kehidupan bernegara berjalan “lempeng” tanpa ada beban dan hambatan yang mengganjal. Peace adalah pencapaian yang dapat ditempuh dengan 3 pendekatan yaitu strategic studies, security dan yang terakhir adalah conflict resolution.

(3)

Situasi dan kondisi akan disinyalir berada dalam lingkup konflik ketika aktor yang terlibat lebih dari satu, adanya tension “ketegangan”, hilangnya kepercayaan atau mistrust, adanya keterlibatan emosi, putusnya komunikasi dan tujuan-tujuan yang bertentangan. Selain itu konflik memiliki manfaat tersendiri seperti konflik dapat membantu pembentukan dan perkembangan sebuah komunitas, memperjelas dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada, juga membantu individu (aktor) memahami dan mengambil langkah untuk persoalan-persoalan yang dihadapi dalam interaksi sosial. Menurut Coser, konflik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari karena konflik sendiri adalah jelmaan atau hasil dari interaksi antar manusia

2 . Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk mengambil topik Kawasan (Regional) dengan judul “PERAN ASEAN DALAM MENCAPAI MENCIPTAKAN RESOLUSI KONFLIK UNTUK PERMASALAHAN INTERNAL ANGGOTA DAN KAWASAN DALAM PERDAMAIAN DUNIA ”. Fokus dari penelitian ini adalah bagaimana peran ASEAN dalam menyelesaikan berbagai konflik dengan anggota internal sendiri dan juga kawasan (Regional) lainnya. Adapun Batasan masalah pada Penelitian ini adalah Anggota Internal dan Pengaruh bagian Kawasan-kawasan.

B. ISI

1. Peran ASEAN MARITIME FORUM (AMF) dalam keamanan perairan di Asia Tenggara

Sejalan dengan perkembangan di bidang ekonomi dan teknologi informasi dan komunikasi ancaman keamanan terhadap zona maritim Asia Tenggara akan terus ada. Zona maritim Asia Tenggara adalah sebuah zona dimana kegiatan ekonomi serta kegiatan ilegal seperti human trafficking dan pembajakan maritim saat ini menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dimana perairan di Asia Tenggara, merupakan sekitar sepertiga perdagangan dunia dan setengah BBM dunia transit di Selat Malaka yang memainkan peran sangat sentral dalam menghubungkan satu wilayah dengan bagian-bagian dunia lainnya. Dan tidak dapat dipungkiri fakta bahwa globalisasi perekonomian saat ini saling terkait, rumit dan sangat tergantung pada maritim perdagangan didalam mempertahankan pergerakan energi, bahan baku dan barang jadi.

(4)

ASEAN harus mengantisipasi kemungkinan bahwa pembajakan bisa menjadilebih ganas, sarana maritim semakin dimanfaatkan oleh penjahat dan teroris sehingga ancaman terhadap pengiriman meningkat. Dalam konteks tertentu, prosedur dan tindakan pencegahan, penangkalan, penolakan, deteksi, penampungan, atau respons akan berfungsi untuk mengurangi ancaman keamanan pada tingkat yang memadai.

Daftar permasalahan yang umum terjadi terkait dengan masalah keamanan maritim dan harus ditangani melalui kerjasama keamanan maritim ASEAN yang efektif seperti isu-isu maritim yang berkaitan dengan kejahatan transnasional, seperti perdagangan manusia, penyelundupan, illegal fishing, illegal logging, perampokan bersenjata dan pembajakan dan lain-lainnya.

Kekhawatiran terbesar berasal dari trend perompakan (piracy) dan perampokan bersenjata (armed robbery) yang cenderung naik antara 1999-2005. Selat Malaka telah menjadi tempat perburunan para perompak sejak lama, namun seiring serangan teroris 9/11/ isu keamanan Selat menjadi lebih sensitive. Laporan IMO (International Maritime Organisazation) menunjukkan bahwa kejahatan maritim mencapai keadaan yang membahayakan. Berdasarkan laporan tahunan IMB (International Maritime Bureau) 2004, terdapat 330 kasus perompakan di dunia, dimana 169 diantaranya dilaporkan terjadi di Selata Malaka dan 68 lainnya terjadi di perairan Indonesia. Terlihat pada tahun 2004 terjadi 10, jumlah ini meningkat pada tahun 2007 menjadi 25 kasus dan tahun 2008 melonjak menjadi 95 kasus. Pada tahun 2008 sudah 88 kapal diserang di kawasan tersebut dan sejauh ini 33 kapal dikuasai perompak

Disamping masalah perompakan, penyelundupan manusia melalui perairan kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, juga cenderung meningkat. Australia yang berada di bagian selatan kawasan Asia Tenggara, merupakan salah satu negara tujuan para imigran gelap. Hal tersebut menjadikan perairan di kawasan Asia Tenggara, termasuk perairan Indonesia, menjadi jalur laut menuju benua tersebut. Penyelundupan manusia tidak dapat dipandang sebagai masalah yang sederhana. Upaya penanggulangannya melibatkan beberapa negara dengan berbagai kepentingan yang berbeda, terutama keamanan, kemanusiaan, ekonomi, dan politik. Kegiatan migrasi ilegal berskala besar kerap kali dilakukan oleh organisasi yang memiliki jaringan internasional. Migrasi ilegal memberikan dampak negatif terhadap negara tujuan dan negara transit sehingga sering menimbulkan persoalan politik, sosial ekonomi, dan ketegangan hubungan antar Negara. Disamping migrasi ilegal, kasus penyelundupan manusia, seperti penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan bayi, atau wanita ke negara lain melalui wilayah perairan.

(5)

Trilyun per tahun. Dari kegiatan penyelundupan, Indonesia mengalami kerugian sekitar US$ 1 milyar per tahun. Eksploitasi pasir secara ilegal merugikan Indonesia lebih dari Rp. 2 Trilyun setiap tahun. Sementara kegiatan pencurian kayu (illegal logging) merugikan negara sekitar Rp 30 trilyun. Kondisi yang memprihatinkan tersebut menuntut upaya sistematis bangsa dan pemerintah untuk menyelamatkan perairan Indonesia, maupun meningkatkan kemampuan sumber daya untuk memanfaatkan laut Indonesia.

Pembentukan kesadaran saling percaya sangat dibutuhkan agar tidak ada kecurigaan dalam kerjasama karena keamanan maritim di Asia Tenggara sangat rawan dan tinggi. ASEAN sebagai komunitas regional yang menjadi wadah bagi setiap anggotanya menjadi penting untuk meluaskan cakupan yang dapat mengkontrol keamanan wilayah maritim, seperti contoh kerjasama keamanan di perbatasan, kerjasama, di wilayah perairan international, kerjasama di jalur strategis perdagangan international.

Maritim merupakan jalur yang mempunyai prospek tinggi untuk meluaskan kejahatan, yang bersifat lintas batas negara. Untuk mengatasi itu Asia Tenggara dengan program ASEAN maritime forum lebih meningkatkan kerjasama pertahanan diwilayah laut (www.deplu.go.id, diakses 23 Mei 2013). Dari pengertian non-traditional ancaman ini datang dengan seiring perkembangan ekonomi, semakin meluasnya cakupan tingkat perekonomian sebuah Negara maka keamanan akan bertambah pula, karena tidak hanya pada militer tetapi meliputi ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan serta masalah HAM dan demokratisasi (Anak Agung Banyu Perwita & Yanyan Mochamad Yani, 2006). Kerjasama kelautan yang dimasukkan dalam visi AMF memberi tanggapan positif bagi anggota ASEAN terutama Negara yang menggunakan jalur laut untuk kelangsungan kerjasama perekonomian khusunya perdagangan international, seperti Singapore, Indonesia yang membutuhkan keamanan di selat malaka untuk menghindari serangan pembajak ataupun teroris. Dalam hal ini semua Negara wajib memberi dukungan untuk menciptakan keamanan dan stabilitas di wilayah regional ASEAN. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap Negara mempunyai kepentingan tersendiri dalam hal-ekonomi, politik dan kepentingan nasional mereka, tetapi untuk menjaga stabilnya kawasan, peningkatan pertahanan wajib dibentuk bersama. karena menyangkut kelancaran masing-masing kepentingan yang hendak dicapai, serta keuntungan (benefit) yang didapat.

(6)

(AMF) yang bertujuan sebagai komunikasi konflik di wilayah maritime dan penanggulangan permasalahn keamanan wilayah maritime seperti terorisme, trafiking, drug, perdagangan senjata dan perompakan.

Adapun tujuan spesifik AMF sebagai berikut:

a. Kerjasama maritim melalui dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu maritim yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama, sejalan dengan ketentuan Konvensi PBB tahun 1982 tentang Hukum Laut UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dan perjanjian serta konvensi internasional yang relevan;

b. Mempromosikan dan mengembangkan pemahaman dan pandangan umum antara negara-negara Anggota ASEAN Member States (AMSs) mengenai isu-isu maritim regional dan global;

c. Berkontribusi pada upaya-upaya menuju Confidence Building Measures (CBM) dan Preventive Diplomacy (PD);

d. Meningkatkan kemampuan negara Anggota untuk mengelola masalah maritim melalui konsultasi tanpa mengganggu hak-hak, kedaulatan dan integritas teritorial

e. Melakukan penelitian kebijakan yang berorientasi pada masalah-masalah maritim regional yang spesifik serta mempromosikan pembangunan kapasitas,meningkatkan pelatihan dan kerjasama teknis keselamatan, keamanan dan perlindungan lingkungan maritim;

f. Berkontribusi pada pembentukan Komunitas Politik-Keamanan ASEAN sebagaimana dimaksud dalam Bali Concord II.

Prinsip AMF adalah berkontribusi pada diskusi tentang isu-isu yang berhubungan dengan maritim yang dijalankan oleh badan-badan ASEAN yang ada tanpa duplikasi terhadap mekanisme tersebut. Dalam hal ini, formulasi kebijakan dan keputusan pada semua permasalahan yang berada dalam lingkup badan sektoral ASEAN yang sudah ada, akan tetap berada di bawah badan sektoral masingmasing. ASEAN Menghormati prinsip-prinsip kesetaraan kedaulatan, integritas teritorial, dan kemerdekaan. Mengakui bahwa komunitas dan organisasi internasional seperti International Maritime Organization (IMO) dan negaranegara yang tergabung didalamnya, memiliki peran dalam menangani ancaman dan tantangan maritim. Dalam hal ini ASEAN melakukan pendekatan yang terpadu dan komprehensif mencakup semua tantangan dan ancaman maritim terkait.

(7)

tetapi juga menyangkut aspek-aspek non-militer (non-tradisional). Disamping itu, perubahan kepemimpinan negara-negara ASEAN menjadi tantangan sendiri bagi ASEAN dimasa datang. Selain itu ASEAN memiliki banyak permasalahan territorial yang secara luas mencakup keamanan bersama, dari ancaman tradisional menuju nontradisional. Dengan berubahanya pola ancaman keamanan Traditional ke nontraditional pasca perang dingin, memberi warna baru terhadap perkembangan di kawasan Asia Tenggara, dimana lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Untuk itu ASEAN membentuk sebuah komunitas yang menangani permasalahan keamanan terutama keamanan maritim, yaitu terwujud dengan hadirnya ASEAN Maritime Forum (AMF).

2. ASEAN dalam melawan Terorisme

Sejak berdirinya ASEAN, organisasi ini telah memutuskan untuk bekerjasama secara komprehensif di bidang keamanan, ekonomi, dan sosial budaya. Dalam perkembangannya, kerjasama ASEAN lebih banyak dilakukan di bidang ekonomi, sementara kerjasama di bidang politik- keamanan masih belum maksimal akibat adanya persepsi ancaman yang berbeda-beda dan penerapan prinsip- prinsip non- interference serta sovereign equality oleh negara-negara anggota ASEAN.

Komunitas Keamanan ASEAN merupakan sebuah pilar yang fundamental dari komitmen ASEAN dalam mewujudkan Komunitas ASEAN. Pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN akan memperkuat ketahanan kawasan dan mendukung penyelesaian konflik secara damai. Terciptanya perdamaian dan stabilitas di kawasan akan menjadi modal bagi proses pembangunan ekonomi dan sosial budaya masyarakat ASEAN.

Komunitas Keamanan ASEAN menganut prinsip keamanan komprehensif yang mengakui saling keterkaitan antar aspek-aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya. Komunitas Keamanan ASEAN memberikan mekanisme pencegahan dan penanganan konflik secara damai. Hal ini dilakukan antara lain melalui konsultasi bersama untuk membahas masalah- masalah politik-keamanan kawasan seperti keamanan maritim, perluasan kerjasama pertahanan, serta masalah- masalah keamanan non- tradisional (kejahatan lintas negara, kerusakan lingkungan hidup dan lain-lain). Dengan derajat kematangan yang ada, ASEAN diharapkan tidak lagi menyembunyikan masalah-masalah dalam negeri yang berdampak pada stabilitas kawasan dengan berlindung pada prinsip- prinsip non- interference.

(8)

dan SOMTC, dimana Indonesia dipercaya menjadi lead shepherd di bidang counter terrorism sekaligus menjadi ketua Working Group on Counter Terrorism (WG-CT).

Salah satu capaian kerja sama ASEAN dalam pemberantasan terorisme adalah ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) yang ditandatangani oleh seluruh Kepala Negara Anggota ASEAN pada KTT ke-12 ASEAN tanggal 13 Januari 2007 di Cebu, Filipina. Sejak 27 Mei 2011, ACCT berlaku setelah enam Negara Anggota ASEAN (Kamboja, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Brunei) meratifikasinya. Indonesia meratifikasi ACCT melalui UU No. 5 tahun 2012 yang disahkan tanggal 9 April 2012. Pada tahun 2013, seluruh Negara ASEAN telah meratifikasi ACCT yang ditandai dengan penyerahan instrumen ratifikasi oleh Laos dan Malaysia pada Sekretariat ASEAN pada bulan Januari 2013.

ACCT disusun untuk memiliki nilai tambah dibandingkan dengan instrumen hukum internasional serupa, dengan desain yang memiliki karakteristik regional yang kuat. Kerja sama yang tertuang dalam konvensi tersebut bersifat komprehensif yang mencakup bidang pencegahan, penindakan (law enforcement), pemberantasan, dan program rehabilitasi, sebagai salah satu strategi dan pendekatan untuk mencegah terulangnya tindak kejahatan terorisme serta pengungkapan jaringan terorisme. Konvensi ini memuat berbagai bentuk kerja sama dalam bidang penanganan root causes terorisme termasuk kerja sama untuk mendorong interfaith dialogues yang merupakan gagasan/pemikiran untuk Indonesia yang telah dianut secara global.

Adapun pengalaman-pengalaman ASEAN dalam menghadapi Terorisme. Seperti bagaimana ASEAN merespons masalah-masalah ISIS. Jika melihat konteks historisnya, ancaman ekstrimisme dan radikalisme yang berujung pada aksi-aksi teror mulai mendapat tanggapan besar dari ASEAN pasca peristiwa 11 September di Amerika Serikat (AS) dan bom Bali 12 Oktober (Emmers 2003). Beberapa pengamat melihat Asia Tenggara sebagai ‘front kedua’ dalam proyek global melawan terorisme yang diusung oleh Amerika Serikat (lihat Choiruzzad, 2003; Gunaratna, 2002). Respons terhadap terorisme tersebut mencapai puncaknya pada November 2001 saat para pemimpin ASEAN mendeklarasikan perang terhadap terorisme.

Namun demikian, terlihat bahwa deklarasi tersebut tidak berasal dari konsensus nyata di antara negara-negara anggota. Adanya kepentingan domestik yang berbeda-beda antara Indonesia, Malaysia, Filipina dan Singapura membuat pencapaian kesepakatan regional dan perumusan langkah-langkah nyata tidak berjalan dengan baik (Emmers 2003).

(9)

mendiskreditkan Partai Islam se-Malaysia dengan menggambarkannya sebagai partai militan Islam. Arroyo yang menggambarkan Abu Sayyaf sebagai gerakan teroris internasional bersedia menerima bantuan militer AS untuk menumpas anggotanya di Pulau Basilan. Singapura, yang semenjak pasca perang dingin sudah menjadi bagian dari sekutu AS (Hafiz ed. 2006), memberikan kontribusi langsung untuk mendukung proyek tersebut.

Sebaliknya, Presiden Indonesia saat itu Megawati Soekarnoputri menghadapi situasi yang sulit. Indonesia bergantung pada organisasi-organisasi muslim moderat yang menentang respon politik terhadap kelompok-kelompok teror yang diidentikkan dengan islam tersebut. Tidak adanya langkah-langkah anti-teroris di Indonesia, seperti tidak melakukan penangkapan terhadap pimpinan Jamaah Islamiyah (JI), menyebabkan Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew meresponnya dalam bentuk pidato pada Februari 2002 (Emmers 2003). Yew menyatakan bahwa Singapura akan beresiko terkena serangan terorisme selama pemimpin ekstremis itu tidak ditangkap. Hal ini tentu saja membawa sedikit ketegangan pada hubungan kedua negara di kawasan.

Dengan demikian, terlihat bahwa sebagai sebuah entitas regional, pendekatan yang digunakan oleh ASEAN masih bertmpu pada inisiatif negara-negara anggotanya. Hal ini dapat dipahami, sebagaimana kritik dari beberapa analis, kelahiran ASEAN tidak dilatari oleh fondasi institusional yang kokoh (tidak seperti Uni Eropa, misalnya), oleh karenanya stabilitas bukan hal yang dapat dijelaskan secara objektif apakah mampu bertahan lama atau tidak (Kivimäki 2012). ASEAN juga dikritik punya kelemahan karena sebagai organisasi internasional memiliki sumberdaya yang minim yang secara kelembagaan tidak efisien (Kivimäki 2001; (Jasudasen 2010).

Namun demikian ASEAN sebetulnya masih memiliki cita-cita regional dalam memandang realitas masa depan. Oleh karena itu ASEAN masih harus terus mengembangkan konstruksi sosial dalam masyarakat, pentingnya ASEAN dan kekuatannya di ranah global.

Sementara itu, dampak utama propaganda ISIS di Asia Tenggara diyakini menjadi inspirasi bagi gerakan Islam ekstrimis secara langsung. Potensi ini mendatangkan ancaman serta menyinggung masalah keamanan regional. Propaganda ISIS juga harus ditangani dengan hati-hati dan efektif. Sebab, prioritas mereka untuk menghadirkan tenaga dan sumberdaya militan mulai melirik ke daerah non-inti konflik, yakni kawasan ASEAN ini mulai besar. Pengalaman kelompok militan dan ekstrimis di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand menyimpan potensi besar guna memasok kebutuhan calon yang direkrut.

(10)

menyatukan ketimbang memisahkan musuh potensial; (3) Prioritas pada pembangunan (developmentalisme); (4) Praktek personalistik, berbasis konsensus, dan negosiasi yang menjunjung martabat semua pihak, menyimpan potensi besar untuk mengoptimalisasi arah kebijakan keamanan nantinya.

Respon ASEAN menanggapi aksi teror dan radikal ini seringkali hanya berupa perangkat retoris belaka. Sejauh ini, negara-negara anggota ASEAN lebih banyak berfokus pada tindakan-tindakan yang tidak mengikat, tidak spesifik, dan tanpa membangun mekanisme monitoring kemajuan melawan tindakan-tindakan teror tersebut. Masyarakat modern ASEAN perlu melepaskan diri dari kecenderungan untuk mengeluarkan statement tanpa ada aksi afirmatif yang serius di tingkat regional.

Dengan mendefinisikan ulang ASEAN Way, norma ditingkat regional dalam menghindari radikalisme mampu membangun semangat demokrasi dan ekonomi lebih baik. Fokus pada isu-isu yang lebih dapat menyatukan semangat regional seperti kesamaan menjaga budaya lokal, pertumbuhan menjadi negara yang modern, demokratis serta developmentalis mampu membuat ASEAN bertaji dan menggalang kekuatan internalnya memupus radikalisme sempit tersebut. ASEAN belum kehilangan kemampuan menghela kasus-kasus tersebut. Hanya saja instrumen pendekatan kebijakan dan strategi penanganan radikalisme perlu dikerucutkan: apakah sudah membawa semangat satu ASEAN atau masih suka berjalan sendiri-sendiri? mari kita lihat dalam konstruksi regionalisme di masa depan.

Bagi kawasan Asia Tenggara kebijakan AS terhadap terorisme telah melahirkan sebuah security complex yang semakin rumit. Mengingat dalam suasana dimana masalah-masalah keamanan yang sudah ada dikawasan belum menemukan bentuk penyelesaiannya, ditambah lagi beban keamanan regional dengan munculnya ancaman terorisme. Oleh karena itu negara-negara yang tergabung dalam ASEAN kedepan termasuk Indonesia akan berhadapan dengan tantangan keamanan regional yang tidak ringan.

3. ASEAN dalam memecahkan konflik teritorial di bagian anggota Internal dan Kawasan

(11)

Tenggara relatif stabil dan kondusif, meskipun potensi terjadinya konflik masih tetap ada. Prinsip non-kekerasan dan non-intervensi ASEAN dinilai cukup berhasil, tapi tidak selamanya hal tersebut relevan dalam menjaga perdamaian, banyak desakan untuk dihapuskannya prinsip tersebut, agar ASEAN lebih realistis dalam menyelesaikan konflik dengan tindakan langsung yang tepat sasaran

Sejak beberapa dekade terakhir, ASEAN terus mengintensifkan kerja sama melalui berbagai mekanisme, inisiatif, dan instrumen hukum untuk mencegah dan memberantas kejahatan lintas negara. Badan pengambil kebijakan tertinggi dalam kerja sama ASEAN dalam penanganan kejahatan lintas negara adalah ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC) yang diselenggarakan dua tahun sekali. AMTTC mengkoordinasikan berbagai kerja sama badan-badan ASEAN yang terkait dengan pemberantasan kejahatan lintas negara, seperti ASEAN Senior Officials on Drug Matters (ASOD), ASEAN Chiefs of National Police (ASEANAPOL), ASEAN Directors-General of Customs, dan ASEAN Directors-General of Immigration and Heads of Consular Division, Ministry of Foreign Affairs (DGCIM). Untuk mengimplementasikan dan mengkoordinasikan kebijakan dan rencana aksi yang ditetapkan oleh AMMTC, pertemuan tingkat pejabat tinggi (Senior Official Meeting on Transnational Crime /SOMTC) diselenggarakan minimal satu kali dalam setahun.

Selain mekanisme AMMTC dan SOMTC, mekanisme lain yang berkaitan dengan penanganan transnational crime adalah pertemuan ASEAN DGICM; ASEAN Senior Law Officials Meeting/ASLOM; ASOD dan ASEAN-China Cooperative Operation in Response to Dangerous Drugs (ACCORD). Selain itu terdapat juga mekanisme kawasan di luar struktur ASEAN, yakni ASEANAPOL yang telah membuat system database terbatas (E-ADS).

Untuk mengefektifkan upaya pemberantasan kejahatan lintas negara, ASEAN telah memiliki Rencana Aksi untuk Memberantas Kejahatan Lintas Negara (Plan of Action to Combat Transnational Crime) yang dimaksudkan untuk mengembangkan suatu strategi kawasan yang terpadu untuk mencegah dan memberantas kejahatan lintas negara, dengan fokus pada delapan (8) bidang prioritas, yaitu: (1) counter terrorism, (2) illicit drugs trafficking, (3) trafficking in persons, (4) money laundering, (5) arms smuggling, (6) sea piracy, (7) international economic crime, dan (8) cybercrime.

(12)

Dalam upaya menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan, para Menteri Luar Negeri negara anggota ASEAN mengeluarkan ASEAN Declaration on the South China Sea yang ditandatangani di Manila tanggal 22 Juli 1992. Adapun prinsip-prinsip yang dimuat dalam deklarasi ini, antara lain, menekankan perlunya penyelesaian sengketa secara damai, dan mendorong dilakukannya eksplorasi kerja sama terkait dengan safety of maritime navigation and communication; perlindungan atas lingkungan laut; koordinasi search and rescue; upaya memerangi pembajakan di laut dan perampokan bersenjata serta perdagangan gelap obat-obatan.

Sepuluh tahun kemudian, bersama RRT, ASEAN mengeluarkan Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC) yang ditandatangani di Phnom Penh, Kamboja, pada 4 November 2002. Deklarasi ini berisikan komitmen dari negara anggota ASEAN dan Tiongkok untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menghormati freedom of navigation di Laut Tiongkok Selatan, menyelesaian sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik. DOC menjadi pedoman bertindak bagi negara anggota ASEAN dan RRT dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di wilayah yang menjadi sengketa dengan semangat kerja sama dan saling percaya.

Pada tahun 2011, ASEAN dan RRT berhasil menyepakati Guidelines for the Implementation of the DOC (Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea). Kesepakatan itu membuka kesempatan bagi upaya implementasi DOC melalui pelaksanaan kegiatan atau proyek kerja sama antara ASEAN dan RRT di kawasan Laut Tiongkok Selatan dan bagi dimulainya pembahasan awal mengenai pembentukan suatu regional Code of Conduct in the South China Sea (CoC) yang akan berfungsi sebagai sebuah mekanisme operasional pencegahan konflik (operational preventive measure) dan bertujuan untuk mengatur tata perilaku negara secara efektif (effectively regulate the behaviour).

Kemudian pada bulan Juli 2012, ASEAN mengeluarkan dokumen ASEAN’s Six Points Principles. Dokumen tersebut diharapkan dapat juga digunakan untuk pembahasan mengenai isu Laut Tiongkok Selatan, khususnya untuk penyelesaian COC. Hingga tahun 2014, ASEAN dan RRT terus melakukan konsultasi untuk penyelesaian COC.

C. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan

(13)

Ada tiga variabel dalam makalah ini yang menjadi perhatian, yakni terorisme, Maritim negeri dan konflik teritorial serta kondisi aktual negara-negara kawasan Asia Tenggara. Terorisme secara de facto aktivitasnya telah terbukti merugikan banyak pihak.

Asia tenggara dipandang sebagai kawasan strategis dimana, Asia tenggara memiliki jalur pelayaran perdagangan international yang memiliki nilai ekonomi lebih. Karena banyaknya lalulintas pelayaran yang melewati jalur itu, menjadikan jalur ini rawan akan kejahatan, seperti perompakan, penyelundupan senjata, drug, dan human trafiking

Dimana ASEAN Maritime Forum (AMF) dibentuk oleh ASEAN dalam rangka mewujudkan satu Komunitas ASEAN melalui pilar Komunitas Politik Keamanan ASEAN. Pembentukan AMF diharapkan sebagai batu loncatan untuk menuju ASEAN serta kawasan Asia Tenggara yang lebih memperhatikan wilayah keamanan lautnya dan dengan adanya AMF tersebut akan menciptakan keamanan yang stabil yang akan memperlancar kegiatan perekonomian.

Organisasi kawasan ini benar-benar harus membenahi cara kerja mereka agar menjadi komunitas yang sesungguhnya. Tujuan menstabilkan politik dan keamanan, penguatan ekonomi bersama serta pelestarian budaya dan kehidupan sosial yang baik sesama negara anggota harus direalisasikan dengan tindakan yang realistis. Mungkin bisa dimulai dengan lebih sering mengadakan KTT yang tidak hanya satu kali satu tahun. Juga dengan lebih memperhatikan sektor prosperity, karena dengan tingkat kesejahteraan yang baik perdamaian dan kepedulian masyarakat akan mudah didapat.

Melalui peran AMF dapat mengatasi semua masalah yang berhubungan dengan maritim melalui usaha bersama, semangat kesetaraan dan kemitraan dalam rangka memperkuat landasan bagi terciptanya masyarakat yang makmur dan damai di kawasan Asia Tenggara. Sehingga dapat terjalin pula kerjasama yang saling menguntungkan, termasuk di sektor maritim, yang sangat penting bagi negaranegara anggota ASEAN untuk lebih mempromosikan pembangunan kawasan yang stabil dan dinamis

(14)

2. Saran

Adapun makalah ini msih banyak kekurangan, salah satu alasannya adalah kekurangan dalam waktu meneliti dan kurangnya dalam pendanaan. Sehingga, penelitian ini adaa kiranya lebih dilanjutkan kembali agar menghasilkan penelitian yang maksimal. Kemudian, setidaknya paper ini sudah mewakili atau mengambarkan bebera peristiwa di dalamnya.

Perlu ditingkatkannya kerjasama di ASEAN Maritime Forum yang tidak hanya sekedar menjadi wadah untuk menfasilitasi dialog mengenai isu maritime, Pertukaran pandangan melainkan adanya langkah-langkah dan “tindakan nyata” dalam menjalankan kerjasama antara negara-negara ASEAN dalam upaya penanggulangi berbagai isu-isu pemasalahan yang di hadapi kedepannya. Adanya kesadaran dan kebersamaan bagi Negara-negara ASEAN dalam menumbuhkan untuk menjaga dan menciptakan kawasan yang bebas, damai dan aman.

DAFTAR PUSTAKA

Saputra, S.P., 1985,Politik Luar Negeri RI, Bandung: CV. Remaja Karya.

Suherman, A.M. 2003.Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Djelantik, Sukawarsini, 1999, Perubahan Global dan Perkembangan Studi Hubungan Internasional, Bandung: Parahyangan Centre Study of International Studies.

T. May Rudy, 2005, Administrasi dan Organisasi Internasional, Refika Aditama, Bandung.

Perwita dan Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: Rosda.

Kurnia Dewantara, 2012, Potensi Konflik Wilayah Perbatasan dan Solusinya, Pekanbaru.

Makmur Keliat, “Keamanan Maritim dan Implikasi Kebijakannya Bagi

Indonesia”, (Jakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2009) Vol 13 No 1. 7.

Referensi

Dokumen terkait

Intonasi dalam Hubungannya dengan Sintaksis Bahasa Indonesia.. Intonasi dalam Hubungannya dengan Sintaksis

[r]

terjadi peristiwa yang mencoreng toleransi beragama, apakah kita masih layak untuk membanggakan diri bahwa negara kita adalah negara yang tidak kalah dengan negara lain

Parameter penelitian yang digunakan untuk mengukur keberhasilan komunikasi antara orang tua dan remaja adalah meningkatnya kedekatan dan keterbukaan dalam

• Jumlah perekayasa baru semakin banyak perempuan MESIN PERKAKAS MODERN UNTUK FABRIKASI ALSINTAN BERBASIS COMPUTER... BERBAGAI KOMPONEN YG DIPRODUKSI OLEH MESIN

DALAM KONDISI APAPUN, ASUS TIDAK BERTANGGUNG JAWAB ATAS: (1) KLAIM PIHAK KETIGA TERHADAP ANDA ATAS KERUSAKAN; (2) KERUGIAN, ATAU KERUSAKAN, ARSIP MAUPUN DATA; ATAU (3) KERUSAKAN

Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini terbukti tidak memuaskan masyarakat, bahkan berdampak terhadap timbulnya berbagai pelanggaran hak asasi manusia, untuk itu

96 A.. Al Hidayah Ckk. Al-Hidayah Satron UIN Sunan Gunung Djati Bandung 56 H.. Mutaqin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.. ASSOBANDIYAH UIN Sunan Gunung Djati Bandung 36 M.. LIJAMUL