• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Hukum Tentang Shalat jamaah jenaza

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dasar Hukum Tentang Shalat jamaah jenaza"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sudah kita ketahui Bersama bahwa Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di Dunia dan di Akhirat nanti. Bentuk dan jenis Ibadah sangat bermacam-macam, seperti Shalat, puasa, naik haji, membaca Al Qur’an, jihad dan lainnya.

Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah baligh berakal, dan harus dikerjakan bagi seorang mukmin dalam keadaan bagaimanapun.

Shalat adalah ibadah yg agung, ibadah yg dibuka dengan takbir & ditutup dengan salam, & dia adlh ibadah yg terpenting setelah kedua kalimat syahadat. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah & sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji & puasa Ramadhan”. (HR. Al-Bukhari no. 7 & Muslim no. 19).

Shalat adalah penghubung antara hamba dengan Rabbnya, karena ketika shalat hamba sedang berdiri di hadapan Allah Azza wa Jalla guna berdoa kepada-Nya.

1.2. Rumusan Masalah:

1. Apa itu Shalat Jamaah, Shalat Jenazah, dan Shalat Jama’ Qashar ?

(2)

3. Apa keutamaan dari shalat jamaah, Shalat Jenazah, dan Shalat Jama’ Qashar ?

4. Bagaimana Ketentuan dan tatacara dalam shalat jamaah, Shalat Jenazah, dan Shalat Jama’ Qashar ?

5. Apa manfaat dari shalat jamaah

1.3 Tujuan Penulisan

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Shalat Jama’ah

A. Pengertian sholat jamaah

Menurut Bahasa sholat berarti doa. Sedangkan menurut istilah syariat, shalat berarti ibadah kepada Allah dalam bentuk ucapan dan perbuatan yang diketahui dan khusus. Diawali dengan takbir dan di tutup dengan salam. Disebut sholat karena kata itu mencakup doa.

Menurut Bahasa, jamaah berarti jumlah dan banyaknya sesuatu. Kata al-jam’u berarti penyatuan beberapa hal terpisah. Sementara al masjid al jami’

berarti masjid yang mengumpulkan jamaahnya, sebagai sifat baginya, karena ia merupakan tanda untuk berkumpul. Dan boleh juga menggunakan sebutan :

masjid al jami’ sebagai tambahan, seperti ucapan Anda : al-haqqu al yaqiinudanhaqqu al-yaqiin, yang berarti masjid hari ini yang mengumpulkan jamaah. Dan al-jamaah berarti sejumlah orang yang dikumpulkan oleh tujuan yang satu. Sedangkan menurut istilah syariat, jamaah dipergunakan untuk sebutan sekumpulan orang, yang diambil dari makna itjtima’ (perkumpulan). Minimal perkumpulan tersebut adalah dua orang, yaitu imam dan makmum. Disebut sholat jamaah karena adanya pertemuan orang-orang yang sholat dalam bentuk perbuatan : tempatdanwaktu. Jika mereka meninggalkan keduanya atau salah satu dari keduanya tanpa adanya sebab, maka menurut kesepakatan para imam, hal itu dilarang.

B. Hukum sholat berjamaah

(4)

yang datang kemudian dari orang yang lalu. Oleh karena itu, masjid-masjid dimakmurkan dan para imam dan muadzin diatur. Untuk itu di syariatkan adzan dengan suara sekeras-kerasnya.

Allah telah memerintahkan kaum muslimin pada saat dicekam rasa takut untuk tetap shalat berjamaah, di mana Allah berfirman :

“dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabat mu) lalu kamu hendak mendirikan sholat bersama-sama mereka, maka hendaklah mereka pindah dari belakang mu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu hendaklah mereka shalat dengan mu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. “(QS. An-Nisaa’:102).

(5)

Disebutkan dalam sebuah hadist muttafaq alaih dari Abu Hurairah

Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Shubuh. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada dalam kedua shalat tersebut tentu mereka akan mendatanginya walau dengan merangkak. Sungguh aku bertekad untuk menyuruh orang melaksanakan shalat. Lalu shalat ditegakkan dan aku suruh ada yang mengimami orang-orang kala itu. Aku sendiri akan pergi bersama beberapa orang untuk membawa seikat kayu untuk membakar rumah orang yang tidak menghadiri shalat Jama’ah.(HR. Bukhari no.657 dan Muslim no. 651, dari AbuHurairah).

Aspek yang bisa dijadikan dalil berkenaan tentang wajibnya sholat berjamaah dalam hadits itu ada dua aspek :

1. Orang-orang meninggalkan shalat jamaah disifatkan orang munafik. Sedangkan orang yang meninggalkan sesuatu yang sunnah tidak dianggap munafik. Dengan demikina menunjukkan bahwa mereka meninggalkan yang (hukumnya) wajib.

2. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hendak menghukum orang yang meninggalkan shalat jamaah. Hukuman hanya akan ada karena meninggalkan sesuatu yang wajib. Sedangkan larangan Rasulullah memberikan hukuman karena di dalam rumah-rumah itu ada para wanita dan anak cucu yang tidak wajib bagi mereka shalat jamaah.

Wajibnya shalat jamaah bagi kamu mukminin berlaku tetap ditengah-tengah mereka semenjak awal umat ini. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu

(6)

seseorang yang dibawa dengan dipapah oleh dua orang hingga diberdirikan di dalam shaf” Maka, dengan demikian hal itu menunjukkan bahwa wajibnya shalat jma’ah itu benar-benar sudah melekat dalam sanubari para sahabat Rasulullah. Mereka tidak mengetahui hal itu melainkan dari Rasulullah. Sudah sangat dipahami bahwa tidaklah setiap perintah yang ditinggalkan, melainkan oleh seorang muafik, adalah sesuatu yang wajib hukumnya atas tiap-tiap individu.

Dibolehkan meninggalkan shalat jamaah karena beberapa alasan :

1. Takut atau sakit. Hal itu didasarkan pada hadits Ibnu Abbas dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Salam, beliau bersabda :

“Barangsiapa yang mendengar azan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali bila ada uzur.”

2. Hujan atau licin

Hal itu didasarkan pada hadits Ibnu Abbas., dia berkata kepada mu’adzin pada hari hujan deras, “jika kamu sudah mengucapkan : Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, janganlah kamu meneruskan dengan :hayya ‘alaa ash-shalat (mari mendirikan shalat), tapi ucapkanlah : shallu fii buyutikum (shalatlah kalian di rumah kalian sendiri). Seakan orang-orang menolak, maka Ibnu Abbas berkata, hal itu juga dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (Rasulullah).

3. Angin kencang pada malam yang gelap gulita lagi dingin.

(7)

4. Sudah dihidangkan makanan sementara dirinya sangat tertarik (berselera) pada makanan tersebut.

Hal itu didasarkan pada hadits Ibnu umar, dia bercerita, Rasulullah bersabda :

“Jika salah seorang diantara kalian berada di hadapan makanan, hendaklah dia tidak tergesa-gesa sehingga dia memenuhi kebutuhannya terhadap makanan itu, meskipun iqamah shalat telah dikumandangkan”

5. Menahan kencing atau buang air besar.

Hal itu didasarkan pada hadits pada hadits Aisyah, dia bercerita, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda :

“Tidak ada shalat di hadapan makanan serta tidak juga menahan kencing dan buang air besar”

6. Memiliki kerabat dekat yang dia khawatirkan kematiannya sementara dia tidak berada disisinya.

Hal itu didasarkan pada hadits Ibnu Umar, di pernah diberitahukan bahwa Sai’id bin Zaid bin Amr bin Nufail jatuh sakit pada hari jumat, lalu dia pun menaiki kendaraan untuk mengunjunginya setelah matahari tinggi dan mendekati shalat Jum’at dan dia pun meninggalkan shalat Jum’at.

(8)

malam yang gelap lagi dingin, dihidangkan makanan sedang diri benar-benar berselera padanya, menahan kencing dan buang air besar, atau salah satu dari keduanya, serta adanya kekhawatiran akan kematian kerabat dekat sedang dia tidak berada disisinya.

C. Keutamaan Shalat Jamaah

Shalat berjamaah diperintahkan oleh Nabi SAW dengan penekanan khusus. Para alim-ulama Islam semenjak awal sejarahnya telah mencoba menyelami alasan di balik itu. Ini bukan karena sekadar mencari pembenar untuk meyakin-yakinkan diri sendiri. Melainkan karena gairah untuk lebih memahami rahasia di balik perintah Rasul yang maksum itu. Kita di zaman modern ini ternyata masih saja bisa menemukan makna itu lewat aneka bentuk pengkajian.

Selama hidupnya Nabi SAW selalu menyerukan ditegakkannya shalat. Padahal, perintah shalat dalam ayat-ayat Al Quran juga seolah diucapkan dalam satu tarikan nafas dengan perintah bersedekah. Tidak kurang ada 25 tempat dalam Al Quran yang menyerukan shalat setarikan nafas dengan bersedekah, berzakat atau memberi kepada sesama. Dengan demikian secara implisit Al Quran menggariskan adanya “fungsi sosial” dari shalat seperti itu.

Karena melihat fakta demikian, dapat dimaklumi bahwa shalat yang benar haruslah dilakukan secara berjamaah. Sebab, untuk menunaikan perintah lanjutan yang sangat erat kaitannya dengan perintah shalat, yakni bersedekah atau memberi kepada sesama itu, maka shalat harus dilakukan secara berjamaah. Sudah tentu dengan cara ”berjamaah yang berkualitas”.

1. Shalat jamaah dua puluh tujuh kali lipat dari shalat sendirian.

Hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Ummar, Rasulullah bersabda :

(9)

2. Dengan shalat jamaah, Allah akan melindungi pelakunya dari setan. Hal itu didasarkan pada hadits Mu’adz bin Jabal, dari Raulullah :

“Sesungguhnya setan itu serigala bagi manusia, seperti serigala bagi kambing,

ia akan menerkam kambing yang keluar dan menyendiri dari kawanannya. Karena itu, jauhilah perpecahan, dan hendaklah kamu bersama jama'ah dan umat umumnya” (HR. Ahmad & Tirmidzi)

3. Keutamaan shalat jamaah akan bertambah banyak dengan bertambahnya jumlah orang yang menunaikannya.

Hal itu didasarkan pada hadits Ubay bin Ka’ab, di dalamnya disebutkan :

“sesungguhnya shalat seseorag dengan seorang lainnya adalah lebih suci dari shalatnya seorang diri. Dan shalatnya dengan dua orang lebih suci dari shalatnya dengan seseorang. Dan semakin banyak maka akan lebih di sukai oleh Allah yang maha mulia lagi maha perkasa”

Shalat berjamaah dengan jamaah yang banyak itu dianjurkan jika dijamin aman dari kerusakan dan tidak ada kemaslahatan yang terganggu.

4. Kebebasan dari neraka dan kemunafikan.

Bagi orang yang mengerjakan shalat karena Allah selama 40 hari dengan berjamaah, dengan selalu mengetahui takbiratul ihram imam (tidak terlambat). Hal itu di dasarkan pada hadits Anas, dia bercerita, Rasulullah bersabda :

(10)

maka ditulis untuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari sifat kemunafikan."

Di dalam hadits tersebut terkandung keutamaan ikhlas dalam shalat. Orang-orang yang penuh keikhlasan, di akhirat kelak dia akan dilindungi dari siksa yang ditimpakan kepada orang munafik. Selain itu dia juga akan diberi kesaksian bahwa orang muafik itu juga mengerjakan shalat tapi dengan penuh kemalasan. Dengan demikian keadaan orang yang shalat berjamaah itu jelas berbeda dengan orang-orang munafik itu.

5. Berada dalam jaminan dan perlindungan Allah

Barang siapa yang melaksanakn shalat subuh dengan berjamaah maka dia akan berada dalam jaminan dan perlindungan Allah sampai memasuki waktu sore. Dan barang siapa yang setelah shalat subuh dengan berjamaah kemudian duduk sembari berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit, maka baginya pahala haji dan umrah.

6. Besarnya pahala

Besarnya pahala ketika shalat isya’ dan subuh berjamaah, selain besarnya pahala juga seakan dia shalat semalam suntuk.

7. Berkumpulnya para malaikat malam dan malaikat siang dalam shalat subuh dan ashar.

Para malaikat penjaga malam dan siang itu datang silih berganti, dan mereka akan berkumpul pada waktu shalat subuh dan shalat ashar. Sedang berkumpulnya para malaikat itu merupakan salah satu bentuk kelembutan Allah kepada hamba-hamba-Nya terhadap mereka, yaitu dengan

8. Allah merasa bangga terhadap shalat jamaah

(11)

“sesungguhnya Allah benar-benar bangga pada shalat yang dilakukan dengan berjamaah”

Kebanggaan ini merupakan hak Allah, dan tidak ada satu pun makhluk-Nya dalam hal ini, karena kebanggaan Allah yang maha suci tidak sama dengan kebanggaan makhluk-Nya. Allah berfirman “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”(QS.asy-Syuura:11)

9. Di doakan oleh para malaikat

Para malaikat mendoakan orang yang shalat berjamaah sebelum shalat dan setelahnya selama dia masih tetap berada di tempat shalatnya, selama dia belum berhadats atau menyakiti (orang lain).

D. Ketentuan dan tatacara dalam shalat jamaah

1. Penetapan imam.

Untuk menetapkan imam yang didahulukan ialah orang yang lebih banyak memiliki hafalan Al Quran dan lebih memahami hukum Islam. Apabila di kalangan para jamaah itu dinilai setara, maka didahulukan yang lebih pandai dan lebih mengetahui tentang sunnah-sunnah Nabi SAW. Kriteria lainnya adalah didahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah. Apabila sama juga, maka didahulukan yang lebih tua usianya.

“Rasulullah SAW berkata kepada kami: “Hendaknya yang menjadi imam shalat suatu kaum adalah yang paling hafal al Qur`an dan paling baik bacaannya. Apabila dalam bacaan mereka sama, maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling dahulu hijrahnya. Apabila mereka sama dalam hijrah, maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling tua. Janganlah kalian menjadi imam atas seseorang pada keluarga dan kekuasaannya, dan jangan juga menduduki permadani di rumahnya, kecuali ia mengizinkanmu atau dengan izinnya” [HR Muslim].

(12)

itu mengijinkan atau meminta. Bahkan sekadar “menduduki permadani di rumah” seseorang pun hendaknya harus seijin si pemilik. Untuk yang terakhir ini, bisa saja itu dalam konteks shalat; namun bisa jadi tidak berkaitan dengan shalat.

Karena itu, khususnya dalam komunitas jamaah shalat baru (misalnya di suatu masjid yang jamaahnya semula tidak saling kenal) seseorang tidak boleh maju dan mengangkat diri sendiri, melainkan diangkat dan dipilih jamaahnya. Karena dengan maju mengangkat diri sendiri itu berarti dia menganggap dialah yang paling memenuhi kriteria imam seperti hadits di atas.

2. Posisi imam dan makmum (cari di internet gambarnya aja yg ditaruh di ppt)

 Jika imam dan makmum sama-sama laki-laki, dan makmum pun hanya seorang, maka dia berdiri di sebelah kanannya sejajar dengan posisi imam.

 Jika imam laki-laki diikuti satu atau lebih jamaah perempuan, maka posisi makmum berada di belakang imam.

 Jika imam dua orang atau lebih dan semuanya sama jenis kelaminnya: Makmum berdiri membentuk shaf di belakang imam. Shaf dibentuk dimulai tepat dari belakang imam, terus dipenuhi ke sebelah kanan, baru diteruskan dengan memenuhi sebelah kiri imam dan kirinya lagi sampai penuh.

(13)

 Imam perempuan jika diikuti oleh makmum perempuan mengikuti tatacara sebagai berikut:

1. Untuk makmum seorang, berdiri di sebelah kanan imam

2. Untuk makmum perempuan lebih dari seorang dan bahkan dengan shaf yang lebih dari satu, posisi imam berada di tengah-tengah shaf pertama, lalu shaf berikutnya berjajar di belakangnya

3. Cara makmum menyusul karean terlambat (masbuq)

Adab yang dituntunkan Nabi SAW, kita datang ke masjid untuk berjamaah dengan suasana hati tenang dan tidak tergesa-gesa. Shalat pun diharuskan untuk tuma’ninah, tenang. Manakala shalat jamaah sudah didirikan, orang yang datang belakangan hendaknya juga tidak buru-buru, tidak perlu tergesa-gesa.

Orang yang datang terlambat itu (disebut masbuq), berusaha bergabung dengan shalat jamaah yang sedang berlangsung dan tidak mendirikan shalat sendiri. Terlebih lagi kalau dia hanya sendirian. Untuk keadaan seperti ini sunnah Nabi menuntunkan sebagai berikut:

 Jika makmum masbuq bertakbir ketika imam belum melakukan rukuk, hendaknya ia membaca surat Al-Fatihah bila imam sudah rukuk maka hendaknya ia langsung rukuk mengikuti imam.

 Jika seorng makmu masbuq mendapati imam sudah melakukan rukuk hendaknya ia ikut rukuk walaupun tidak sempat membaca surat Al-Fatihah,

 Jika menjadi masbuq mengikuti imam sudah rukuk, maka ia harus mengulangi rakaat itu nanti dikarenakan rakaat yang ia lakukan itu tidak sempurna dan tidak termasuk hitungan satu rakaat

(14)

4. Bacaan makmum dalam shalat berjamaah

Ada yang mengatakan, semua bacaan imam merupakan bacaan makmum juga, sehingga makmum tidak perlu membaca apa-apa. Ada juga yang mengharuskan makmum membaca Al-Fatihah saja, sedangkan bacaan ayat Al-Quran yang lain (setelah Fatihah) tidak tidak perlu dibaca, cukup dengan mendengarkan bacaan imam.

Madzhab Maliki dan Hambali berpendapat, makmum harus membaca bacaan shalat di belakang imam pada shalat yang sirr (suara imam tidak dikeraskan), yaitu shalat Dzuhur dan Ashar, sedangkan pada shalat jahriyah (bacaan imam dikeraskan --Maghrib, Isya, Shubuh, Jumat, Id), makmum tidak harus membacanya. Namun, bila pada shalat jahriyah itu makmum tidak dapat mendengar suara bacaan imam, maka makmum wajib membaca bacaan shalat.

Dari Malik dari Abi Hurairah r.a., Rasulullah Saw selesai shalat yang beliau mengeraskan bacaannya. Lalu beliau bertanya, "Adakah di antara kamu yang ikut membaca juga tadi?". Seorang menjawab, "Ya, saya, ya Rasulullah". Beliau menjawab, "Aku berkata, mengapa aku harus melawan Al-Quran?" Maka orang-orang berhenti dari membaca bacaan shalat bila Rasulullah Saw mengeraskan bacaan shalatnya (shalat jahriyah)." (HR. Tirmizi).

(15)

Dari ‘Ubadah bin Shamit r.a., Rasulullah Saw shalat mengimami kami siang hari, maka bacaannya terasa berat baginya. Ketika selesai beliau berkata, "Aku melihat kalian membaca di belakang imam". Kami menjawab,"Ya ". Beliau berkata, "Jangan baca apa-apa kecuali Al-Fatihah saja". (Ibnu Abdil berkata bahwa hadits itu riwayat Makhul dan lainnya dengan isnad yang tersambung shahih).

Pilihan "jalan tengahnya" adalah: pada shalat berjama'ah, ketika imam membaca Al-Fatihah, secara sirr (pelan) –shalat Dzuhur, 'Ashr, 1 raka'at terakhir Mahgrib, dan 2 raka'at terakhir Isya, maka para makmum hendaknya membaca surat Al-Fatihah secara sirr.

Tentang baca surat selain Al-Fatihah, dalam shalat Dzuhur dan Ashar makmum boleh membaca surat atau tidak, karena hukumnya sunah. Dalam shalat Magrib, Isya, dan Subuh, setelah Al-Fatihah makmun mendengarkan saja bacaan imam dan mengikutinya dalam hati jika hafal.

E. Adab wanita shalat berjamaah di masjid

Tempat shalat yang paling baik bagi seorang wanita adalah di dalam rumhanya.Allah Ta’ala berfirman:

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (Al Ahzab :33)

Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(16)

Namun demikian, tidak terlarang bagi seorang wanitaa untuk pergi ke masjid. Jika seorang wanita hendak pergi ke masjid, ada beberapa adab khusus yang perlu diperhatikan :

1. Meminta izin kepada suami atau mahramnya 2. Tidak menimbulkan fitnah

3. Menutup aurat secara lengkap 4. Tidak berhias dan memakai parfum

F. Manfaat shalat jamaah

Dalam shalat jamaah terdapat banyak faedah, serta manfaat yang bermacam-macam. Karenanya, shalat jamaah itu di syariatkan. Diantara nya hikmah dan manfaatnya sebagai berikut :

1. Untuk menjalin hubungan.

Yaitu kebaikan, kasih sayang, dan penjagaan. Dan juga dalam rangka membersihkan hati sekaligus dakwah ke jalan Allah baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Allah telah mensyariatkan umat ini untuk berkumpul pada waktu-waktu tertentu. Di antaranya adalah yang berlangsung dalam waktu satu hari satu malam, misalnya shalat lima waktu. Ada juga pertemuan yang dilakukan satu minggu sekali, yaitu shalat Jum'at. Dan ada juga yang dilangsungkan satu tahun sekali secara berulang, yaitu shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Dan ada juga yang berlangsung satu tahun, yaitu wuquf di Arafah.

2. Dengan tujuan mencari pahala dan takut akan adzab-Nya serta menginginkan apa yang ada di sisi-Nya.

3. Menanamkan rasa saling mencintai.

(17)

4. Ta'aruf saling kenal-mengenal.

Sebab, .jika sebagian orang mengerjakan shalat dengan sebagian Iainnya, maka akan terjalin ta’aruf. Dengan ta’aruf ini dapat diketahui beberapa kerabat sehingga akan hubungan yang lebih erat. Dan darinya akan diketahui orang asing yang jauh dari negerinya sehingga orang lain akan memberikan haknya.

5. Memperlihatkan salah satu syi'ar Islarn terbesar

Karena seandainya umat manusia ini secara keseluruhan shalat di rumah mereka masing-masing niscaya tidak akan diketahui bahwa di sana terdapat ibadah shalat.

6. Memperlihatkan kemuliaan kaum muslimin.

Yaitu, jika mereka masuk ke masjid-masjid dan kemudian keluar secara berbarengan. Pada hal itu terkandung sikap keras terhadap orang-orang munafik dan orang-orang kafir. Di dalamnya juga terkandung upaya menjauhkan diri dari menyerupai mereka serta menghindar dari jalan mereka.

7. Memberitahu orang yang tidak tahu.

Sebab, banyak orang yang mengetahui beberapa hal tentang apa yang ditetapkan dalam shalat melalui shalat jamaah. Mereka juga dapat mendengar bacaan dalam shalat sehingga dengan demikian itu mereka akan mengambil manfaat sekaligus belajar. Juga mendengar beberapa zikir shalat sehingga mereka akan mudah menghafal lalu mengikuti imam dan orang-orang yang ada di samping dan di hadapannya sehingga dia dapat belajar hukum-hukum shalat. Orang yang tidak mengerti akan belajar dari orang yang mengerti.

8. Memotivasi orang yang tidak ikut shalat berjamaah sekaligus mengarahkan dan membimbingnya.

Dengan berusaha untuk saling mengingatkan agar berpihak pada kebenaran dan senantiasa bersabar di dalam menjalankannya.

(18)

Sesungguhnya umat itu bersatu dalam ketaatan kepada ulil amri. Dan shalat jamaah ini merupakan kekuasaan kecil, karena jamaah ikut kepada satu imam dan mengikutinya secara persis. Dan itumembentuk pandangan umum terhadap Islam.

10. Membiasakan seseorang untuk bisa menahan diri.

Sebab, jika seseorang terbiasa mengikuti imam secara detail, tidak bertakbir sebelumnya. tidak mondahului imam atau sering terlarnbat jauh darinya. serta melakukan aktivitas shalat berbarengan dengannya tetapi dia mengikutinya, niscaya dia akan terbiasa mengendalikan diri.

11. Menggugah perasaan orang muslim akan keberadaannya di dalam barisanjihad

Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT :

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. " (QS. ash-Shaaff: 4).

Orang-orang yang mengerjakan shalat jamaah itu berada dalam barisan jihad. Tidak diragukan lagi, jika mereka membiasakan hal tersebut pada shalat lima waktu, niscaya akan menjadi sarana untuk menunjukkan kesetiaan mereka pada komandan mereka dalam barisan jihad, sehingga mereka tidak mendahului dan tidak juga menunda berbagai perintahnya. 12. Menumbuhkan dalam diri kaum muslimin perasaan sama dan sederajat

(19)

kesatuan. Oleh karena itu, Nabi menyuruh menyamakan barisan, sampai beliau mengatakan, "Janganlah kalian berselisih yang akan mengakibatkan perpecahan hati kalian”.

13. Bisa memantau keadaan kaum fakir miskin, orang sakit, dan orang-orang yang suka meremehkan shalat.

Jika orang-orang melihat seseorang memakai pakaian yang compang-camping dan tampak pada dirinya tanda-tanda lapar, niscaya mereka akan mengasihi serta berbuat baik kepada mereka. Dan jika ada dari mereka yang tidak ikut shalat berjamaah, niscaya mereka akan mengetahui bahwa dia jatuh sakit atau sengaja melakukan pelanggaran, sehingga dengan demikian itu mereka akan memberi nasihat, hingga tercipta sikap tolong-menolong berbuat kebaikan dan takwa, serta sikap saling menasihati uıntuk berpegang kepada kebenaran serta menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar.

14. Menggugah perasaan orang-orang terakhir dari umat ini akan apa yang pernah dijalani oleh orang-orang pertama dari umat ini pada zaman dulu. Sebab, para sahabat senantiasa mengikuti Rasulullah sehingga sang imam akan merasa berada di posisi Rasulullah sedang makmum akan merasa berada pada posisi sahabat Dan demikain itü akan menumbuhkan keinginan keras untuk mengikuti Nabi dan para sahabatnya.

15. Sarana turunnya berbagai macam berkah.

Berkumpulnya kaum muslimin di masjid dengan mengharapkan berbagai hal yang ada di sisi Allah yang dapat menjadi sarana turunnya berbagai macam berkah.

16. Menambah semangat orang muslim

Sehingga amalnya akan bertambah saat dia menyaksikan orang-orang semangat menjalankan ibadah. Dalam hal itu terkandung manfaat yang sangat besar.

17. Akan melipat gandakan kebaikan dan memperbesar pahala.

(20)

19. Berkumpulnya kaum muslimin pada waktu-waktu tertentu akan mendidik mereka untuk senantiasa mengatur waktu.

2.2. Shalat Jenazah A. Pengertian

Shalat Jenazah merupakan salah satu praktik ibadah shalat yang dilakukan umat Muslim jika ada Muslim lainnya yang meninggal dunia. B. Hukum Shalat Jenazah

Shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah bagi semua orang muslim yg hidup. Jika telah dikerjakan oleh satu orang sekalipun maka gugurlah kewajibannya dari yg lain. Salat ini mempunyai beberapa syarat rukun dan sunnah serta keutamaan sebagaimana akan kami sebutkan. Dari Salamah bin Al-Akwa:

Dari Salamah bin Al-Akwa’,”pada suatu saat kami duduk-duduk dekat Nabi Saw.Ketika itu dibawa seorang mayat, beliau berkata kepada kami, ‘shalakanlah teman kamu’.’(riwayat Bukhari)

C. Keutamaan Shalat Jenazah

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Khabab , ia berkata bahwasanya Rasullah bersabda :

“ Siapa yang mengantar jenazah dan menyalatinya, maka baginya satu qirath. Siapa mengantar jenazah samapai selesai (proses pemakaman), maka baginya dua qirath. Yang paling kecil adalah seperti gunung Uhud atau salah satu dari keduanya adalah seperti gunung Uhud.”

(21)

dari rumah Aisyah, Khabab bercerita bahwa apa yang dikatakan Abu Hurairah itu benar. Mendengar apa yang dikatakan Khabab, Ibnu Umar berkata, sungguh kami telah kehilangan banyak kesempatan untuk mendapatkan beberapa qirath.

Dari Abdullah bin Abbas, bahwa seorang putranya meninggal di Qalid atau ‘Usfan dan yang menyalatinya sebanyak empat puluh orang , Rasullah bersabda :

Tidaklah seorang muslim mati lalu jenazahnya di shalatkan empat puluh orang laki-laki yang tidak menyekutukan Allah, melainkan Allah memberikan syafaat kepadanya lantaran mereka.”

D. Tuntunan Syari’at

Sangat diutamakan diutamakan mensahalatkan jenazah hingga berjumlah empat puluh orang, dan dilaksanakan dengan berjamaah yang diatur menjadi tiga shaf.

Imam pada shalat jama’ah jenazah, atau seorang diri berdiri dekat pada bagian kepala apabila pada jenazah pria, dan dekat pada pinggang apabila jenazah wanita.

Bila bersamaan ada beberapa jenazah pria dan wanita, maka dapat dilakukan secara bersamaan dalam sekali shalat jenazahnya dengan diatur sebagai berikut:

Yang terdekat dengan imam adalah jenazah pria, kemudian disebelah kiblat (baratnya) jenazah wanita, dengan digeser ke tengah supaya bagian pinggangnya sejajar arah kiblat dengan Imam.

Tempat Shalat Jenazah, dapat dilakukan dirumah, musholla, ataupun masjid menurut maslahat dan kewajaranyayang meninggal dunia.

(22)

E. Tata Tertib Shalat Jenazah:

1. Telah menepati syarat sahnya seperti shalat fardlu.

2. Berdiri menghadap kiblat dengan jenazah berada didepan Iman. 3. Jenazah diletakan membujur mengadap kiblat dengan kepala

disebelah kanan kiblat (utara indonesia di sebelah utara).

4. Bila berjama’ah, sebagai Imam adalah yang terdekat hubungan keluarga dengan jenazah, seperti ayah, anak, kakak, adik, paman dst.

5. Diatur dengan sekurang-kurangnya tiga shaf.

F. Adab Tata Tertib Pelaksanaan Shalat Jenazah. 1) Niat Sholat Jenazah :

Niat untuk jenazah laki-laki :

"Ushalli 'alaa haadzal mayyiti arba'a takbiiraatin fardhal kifaayati makmuuman/imaaman lillaahi ta'aalaa"

Artinya : Saya niat shalat atas mayyit (laki-laki) ini empat takbir fardhu kifayah karena Allah SWT.

Niat untuk jenazah perempuan :

"Ushalli 'alaa haadzihil maytati arba'a takbiiraatin fardhal kifaayati makmuuman/imaaman lillaahi ta'aalaa"

Artinya : Saya niat shalat atas mayyit (perempuan) ini empat takbir fardhu kifayah karena Allah SWT.

(23)

3) Takbir yang kedua, dan Membaca Shalawat kepada Nabi Muhammad s.a.w

Artinya:

“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Berilah berkah kepada Muhammad dan keluarganya (termasuk anak dan istri atau umatnya), sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.

4) Takbir ketiga, dengan membaca doa:

Artinya: Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkanlah dia, ampunilah kesalahannya, muliakanlah kematiannya, lapangkanlah kuburannya, cucilah kesalahannya dengan air, es dan embun sebagaimana mencuci pakaian putih dari kotoran, gantilah rumahnya dengan rumah yang lebih baik, gantilah keluarganya dengan keluarga yang lebih baik, gantilah istrinya dengan isri yang lebih baik, hindarkanlah dari fitnah kubur dan siksa neraka.

5) Takbir keempat, dengan membaca doa:

Artinya:

(24)

6) Kemudian mengucap salam.

2.3. Shalat Jama’ Qashar Konsep Sholat Jama’ Qashar

I. Pengertian Sholat Jama’

Shalat yang digabungkan, yaitu mengumpulkan dua shalat fardhu yang dilaksanakan dalam satu waktu. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu Dzuhur atau pada waktu Ashar. Shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib atau pada waktu Isya’.

Sedangkan Subuh tetap pada waktunya dan tidak boleh digabungkan dengan shalat lain. Shalat Jama' ini boleh dilaksankan karena beberapa alasan (halangan) berikut ini :

a. Dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat b. Apabila turun hujan lebat

c. Karena sakit dan takut

d. Jarak yang ditempuh cukup jauh, yakni kurang lebihnya 81 km (begitulah yang disepakati oleh sebagian Imam Madzhab sebagaimana disebutkan dalam kitab AL-Fikih, Ala al Madzhabhib al Arba’ah, sebagaimana pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali).

Tetapi sebagian ulama lagi berpendapat bahwa jarak perjalanan (musafir) itu sekurang-kurangnya dua hari perjalanan kaki atau dua marhalah, yaitu 16 (enam belas) Farsah, sama dengan 138 (seratus tiga puluh delapan) km.

Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya, baik musafir atau bukan dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).

(25)

maupun dekat, demikian pula jama’ shalat juga disebabkan hujan atau sejenisnya, juga bagi seorang yang sedang sakit atau sejenisnya atau sebab-sebab lainnya karena tujuan dari itu semua adalah mengangkat kesulitan yang dihadapi umatnya.” (Majmu’ al Fatawa juz XXII hal 293).

Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).

Berkata Imam Nawawi Rahimahullah : ”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas beliau menjawab : ”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).

A. Shalat Jama' Dapat Dilaksanakan dengan 2 (dua) Cara :

1. Jama' Taqdim (Jama' yang didahulukan) yaitu menjama' 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada waktu shalat yang pertama. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Dzuhur atau shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib.

Syarat Sah Jama' Taqdim :

a. Berniat menjama' shalat kedua pada shalat pertama b. Mendahulukan shalat pertama, baru disusul shalat kedua

(26)

d. Niat jama' yang dibarengkan dengan Takbiratul Ihram shalat yang pertama, misalnya Dhuhur.

2. Jama' Ta’khir (Jamak yang diakhirkan), yaitu menjamak 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada waktu shalat yang kedua. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Ashar atau shalat Maghrib dan shalat Isya’ dilaksanakan pada waktu shalat Isya’.

Syarat Sah Jama' Ta’khir :

a. Niat (melafazhkan pada shalat pertama) yaitu : ”Aku ta’khirkan shalat Dzuhurku diwaktu Ashar.”

b. Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali duduk, iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting.

Catatan :

Dalam Jama' ta’khir tidak disyaratkan mendahulukan shalat pertama atau shalat kedua. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar boleh mendahulukan Ashar baru Dzuhur atau sebaliknya. Muadz bin Jabal menerangkan bahwasanya Nabi SAW dipeperangan Tabuk, apabila telah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau kumpulkan antara Dzuhur dan Ashar dan apabila beliau ta’khirkan shalat Ashar. Dalam shalat Maghrib begitu juga, jika terbenam matahari sebelum berangkat, Nabi SAW mengumpulkan Maghrib dengan Isya’ jika beliau berangkat sebelum terbenam matahari beliau ta’khirkan Maghrib sehingga beliau singgah (berhenti) untuk Isya’ kemudian beliau menjama'kan antara keduanya.

B. Hukum menjama’ sholat jumat dengan ashar

Tidak diperbolehkan menjama’ antara shalat Jum’at dengan shalat Ashar dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan lain. Walaupun dia adalah orang yang diperbolehkan menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar.

(27)

antara Maghrib dan Isya’. Jum’at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : “Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain : “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).

Jadi kembali pada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ dengan shalat lain.(Lihat Majmu’ Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378).

C. Hukum musafir sholat dibelakang mukim

(28)

D. Hukum musafir menjadi imam mukim

Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia meng-qashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (4 raka’at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka’at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Makkah, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata : “Sempurnakanlah shalatmu (4 raka’at) wahai penduduk Makkah! Karena kami adalah musafir.” (HR. Abu Dawud). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka’at setelah beliau salam. (lihat Al Majmu Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).

Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat 4 raka’at (tidak meng-qashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu’akkadah dan bukan wajib. (lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam 2/294-295).

E. Hukum sholat jum’at bagi musafir

(29)

Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat jum’at dalam safarnya, juga ketika haji wada’, beliau SAW tidak melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama’ dengan Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW Kama Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hal 73). Demikian pula para Khulafaur Rasyidin (4 khalifah) Radhiallahu Anhum dan para sahabat lainnya serta orang-orang yang setelah mereka, apabila safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).

Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata : “Aku tinggal bersama dia (Al Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun meng-qashar shalat dan tidak shalat Jum’at.”

Sahabat Anas Radhiallahu Anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum’at.

Ibnul Mundzir Rahimahullahu menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para ulama) yang berdasar hadist shahih dalam hal ini sehingga tidak diperbolehkan menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).

II. Pengertian Sholat Qashar

Shalat yang diringkas, yaitu shalat fardhu yang 4 (empat) rakat (Dzuhur, Ashar dan Isya’) dijadikan 2 (dua) rakaat, masing-masing dilaksanakan tetap pada waktunya. Sebagaimana menjamak shalat, meng-qashar shalat hukumnya sunnah. Dan ini merupakan rushah (keringanan) dari Allah SWT bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan tertentu.

Syarat Meng-qashar :

1. Bepergian yang bukan untuk tujuan maksiat 2. Jauh perjalanan minimal 88,5 km

3. Shalat yang di-qashar adalah ada' (bukan qadla') yang empat rakaat.

(30)

”Rasulullah SAW tidak bepergian, melainkan mengerjakan shalat dua raka’at saja sehingga beliau kembali dari perjalanannya dan bahwasanya beliau telah bermukim di Mekkah di masa Fathul Mekkah selama delapan belas malam, beliau mengerjakan shalat dengan para Jama’ah dua raka’at kecuali shalat Maghrib. Kemudian bersabda Rasulullah SAW : ”Wahai penduduk Mekkah, bershalatlah kamu sekalian dua raka’at lagi, kami adalah orang-orang yang dalam perjalanan.” (HR. Abu Daud).

Cara Melaksanakan Shalat Qashar :

1. Niat shalat qashar ketika takbiratul ihram.

2. Mengerjakan shalat yang empat rakaat dilaksanakan dua rakaat kemudian salam.

Firman Allah SWT :

”Bila kamu mengadakan perjalanan dimuka bumi, tidaklah kamu berdosa jika kamu memendekkan shalat...” (QS. An-Nisa: 101).

Nabi SAW bersabda :

”Dari Ibnu Abbas R.A. ia berkata : ”Shalat itu difardhu-kan atau diwajibkan atas lidah Nabimu didalam hadlar (mukim) empat rakaat, didalam safar (perjalanan) dua rakaat dan didalam khauf (keadaan takut/perang) satu rakaat.” (HR. Muslim).

Jarak diperbolehkan meng-qashar sholat

(31)

Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).

Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya meng-qashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang layak ber-ijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265). Seorang musafir diperbolehkan meng-qashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).

Berkata Ibnu Mundzir : “Aku tidak mengetahui (satu dalil-pun) bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam meng-qashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.”

Berkata Anas Radhiallahu ‘Anhu : “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di kota Madinah 4 raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).

III. Syarat dan ketentuan sholat jama’ qashar

Salah satu rukhsah/keringanan yang Allah berikan kepada umat muslim adalah adanya kebolehan mengqashar (meringkas) shalat yang terdiri dari empat rakaat menjadi dua rakaat serta menjamak shalat dalam dua waktu dikerjkan dalam satu waktu.

Beberapa Ketentuan Sholat Qashar :

1. Kebolehan qashar shalat hanya berlaku bagi musafir/orang dalam perjalanan yang jarak perjalanan yang ditempuh dipastikan mencapai 2 marhalah; 16 parsakh atau 48 mil.

(32)

Pendapat lain berkesimpulan bahwa 2 marhalah adalah 86,4 km, pendapat ini berdasarkan kepada pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Abdil Bar bahwa kadar 1 mil adalah 3.500 zira`. 1 Zira` 48 cm. Selain itu ada juga beberapa pandangan yang lain.

Shafar/perjalanan yang dibolehkan qashar shalat adalah :

 Safar/perjalanan yang hukumnya mubah, sedangkan safar dengan tujuan untuk berbuat maksiat (ma`shiah bis safr) misalnya perjalanan dengan tujuan merampok, berjudi dll) tidak dibolehkan untuk mengqashar shalat. Baru dikatakan safar maksiat (ma`shiah bis safr) bila tujuan dari perjalanannya memang untuk berbuat maksiat, sedangkan bila tujuan dasar perjalanannya adalah hal yang mubah namun dalam perjalanan ia melakukan maksiat (ma`shiat fis safr) maka safar yang demikian tidak dinamakan safar maksiat sehingga tetap berlaku baginya rukhsah qashar shalat dan rukhsah yag lain selama dalam perjalanan tersebut.

 Perjalanannya tersebut harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga seorang yang berjalan tanpa arah tujuan yang jelas tidak dibolehkan qashar shalat.

 Perjalanan tersebut memiliki maksud yang saheh dalam agama seperti berniaga dll.

2. Telah melewati batasan daerahnya. Sedangkan apabila ia belum keluar dari kampungnya sendiri maka tidak dibolehkan baginya untuk jamak. 3. Mengetahui boleh qashar

Seseorang yang melaksanakan qashar shalat sedangkan ia tidak mengetahui hal tersebut boleh maka shalatnya tidak sah.

Ketiga ketentuan diatas juga berlaku pada jamak shalat dalam safar/perjalanan.

(33)

sedangkan shalat yang luput sebelum safar bila diqadha dalam masa safar maka tidak boleh diqashar. Demikian juga sebaliknya shalat yang luput dalam masa safar bila diqadha dalam masa telah habis safar maka tidak boleh diqashar.[1]

5. Wajib berniat qashar ketika takbiratul ihram. Contoh lafadh niatnya adalah:

ةروصقم رهظلا ضرف ىلصا

“saya shalat fardhu dhuhur yang diqasharkan”

Bila ia berniat qashar setelah takbiratul ihram maka tidak dibolehkan untuk qashar shalat.

6. Tidak mengikuti orang yang mengerjakan shalat secara sempurna (4 rakaat) walaupun hanya sebentar. Bila ia sempat mengikuti imam yang mengerjkan shalat secara sempurna maka shalatnya mesti dilakukan secara sempurna pula (4 rakaat).

7. Tidak terjadi hal-hal yang bertentangan dengan niatnya mengqashar shalat, misalnya timbul niat dalam hatinya untuk mengerjkan shalat secara sempurna (4 rakaat) atau timbul keragu-raguan dalam hatinya setelah ia berniat qashar apakah sebaiknya ia mengerjakan shalat secara sempurna atau ia qashar saja. Bila timbul hal demikian maka shalatnya wajib disempurnakan (4 rakaat). Demikian juga wajib mengerjakan shalat secara sempurna bila timbul karagu-raguan dalam hatinya tentang niatnya apakah qashar ataupun shalat sempurna, walaupun dalam waktu cepat ia segera teringat bahwa niatnya adalah qashar.

8. Selama dalam shalat ia harus masih berstatus sebagai musafir.

(34)

Ketentuan dan Syarat Shalat Jamak

Dari beberapa syarat dan ketentuan shalat jamak ada ketentuan umum yang berlaku bagi jamak taqdim dan takhir dan ada pula beberapa ketentuan khusus bagi jamak taqdim saja atau bagi jamak takhir saja.

Ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku umum baik kepada jamak takhir dan kepada jamak taqdim adalah:

1. Jamak bagi musafir dibolehkan apabila jarak perjalanannya mencapai dua marhalah dengan ketentuan sebagaimana pada pembahasan masalah qashar shalat (ketentuan no. 1, no. 2 dan no. 3 pada qashar juga berlaku pada jamak)

2. Shalat yang boleh dijamak adalah shalat dhuhur dengan ashar dan shalat maghrib dengan Isya, kedua shalat tersebut juga boleh diqashar beserta jamak.

Adapun Beberapa Ketentuan Khusus Bagi Jamak Taqdim :

1. Niat jamak pada shalat pertama.Dalam shalat jamak taqdim, misalnya mengerjakan shalat dhuhur bersama ashar, ketika dalam shalat dhuhur wajib meniatkan bahwa shalat ashar dijamak dengan shalat dhuhur. Niat ini tidak diwajibkan harus dalam takbiratul ihllram, tetapi boleh kapan saja selama masih dalam shalat bahkan boleh bersamaan dengan salam shalat dhuhur tersebut.

2. Tertib, dalam mengerjakan shalat jamak taqdim harus terlebih dahulu dikerjakan shalat yang awal, misalnya dalam jamak dhuhur dengan Ashar harus terlebih dahulu dikerjakan dhuhur.

3. Masih berstatus sebagai musafir hingga memulai shalat yang kedua 4. Meyakini sah shalat yang pertama.

(35)

pertama diselangi waktu yang lebih dari kadar dua rakaat shalat ringan maka tidak dibolehkan lagi untuk menjamak shalat tersebut tetapi shalat kedua harus dikerjakan pada waktunya yang asli.

Bila ingin melaksakan shalat sunat rawatib maka terlebih dahulu shalat sunat qabliah dhuhur (misalnya menjamak maghrib dengan Isya) selanjutnya shalat fardhu Maghrib dan Isya kemudian shalat sunat ba`diyah Maghrib kemudian Qabliah Isya dan Ba`diyah Isya.

Ketentuan Khusus pada Jamak Ta'khir :

1. Niat jamak takhir dalam waktu shalat yang pertama. Dalam jamak takhir ketika kita amsih berada dalam waktu shalat pertama kita harus mengkasadkan bahwa shalat waktu tersebut akan kita jamak ke waktu selanjutnya. Batasan waktu shalat pertama yang dibolehkan untuk diqasadkan jamak adalah selama masih ada waktu kadar satu rakaat shalat.

2. Masih berstatus sebagai musafir hingga akhir shalat yang kedua.

Pada jamak takhir tidak disyaratkan harus tertib (boleh mengerjakan shalat dhuhur dulu atau ashar dulu pada masalah menjamak dhuhur dalam waktu ashar) serta tidak wajib beriringan/wila`, sehingga setelah mengerjakan shalat pertama boleh saja diselangi beberapa waktu kemudian baru shalat yang kedua.

Batas waktu musafir boleh mengqashar sholat

Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali Rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu.

(36)

Dalil yang digunakan ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahih-nya bahwa Nabi saw menjadikan bagi para Muhajirin 3 hari untuk rukhshoh setelah mereka menunaikan hajinya.

َةّكَمِب ِرَدّصلا َدْعَب ٍث َلَث ُةَماَقِإ ِرِجاَهُمْلِل "Untuk para muhajirin itu bermukim 3 hari di Mekkah setelah Shodr (menunaikan manasik)". (HR Muslim)

Imam Syafi'i dalam kitabnya Al-Umm (1/215) menjelaskan maksud hadits ini, beliau katakan:

"mukimnya Muhajir di Mekkah itu 3 hari batasnya (sebagai musafir), maka jika melebihi itu, ia telah bermukim di Mekkah (jadi mukim yang tidak bisa dapat rukhshoh)".

Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam fathul-Baari (7/267) mengatakan bahwa istinbath hukum dari hadits Nabi tersebut adalah bahwa seorang musafir jika berniat singgah/tinggal di kota tujuan kurang dari 3 hari, ia masih berstatus sebagai musafir yang boleh jama' dan qashar sholat. Akan tetapi jika melebihi itu, tidak lagi disebut sebagai musafir.

IV. Niat dan tatacara sholat jama’ qashar

Adakalanya kita mengadakan perjalanan jauh atau berpergian yang membutuhkan waktu perjalanan yang panjang. Hal itu menyebabkan kita sering menjumpai kesulitan untuk melakukan ibadah sholat. Padahal sholat merupakan kewajiban umat Islam yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun juga. Kasih sayang Allah SWT kepada umat Islam sedemikian besar dengan cara memberikan rukhsah dalam melaksanakan sholat dengan cara jamak dan qasar dengan syarat-syarat tertentu.

(37)

NIAT SHALAT JAMAK QASHAR DHUHUR DENGAN ASHAR

NIAT SHOLAT JAMAK QASHAR ASHAR

NIAT SHOLAT JAMAK QASHAR MAGHRIB DENGAN ISYA

(38)

BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

Esensi dari sebuah sholat jama’ah merupakan pembawa ketenteraman dalam hal beribadah. Sholat jama’ah mempunyai keutamaan tersendiri bagi kerukunan dalam sholat.

Dalam hal lain sholat menduduki peranan yang sangat penting apalagi sudah dalam ranah jama’ah. Bagaimana jama’ah bisa membawa sebuah

kerukunan tersendiri bagi ranah kehidupan social, memposisikan berbagai gelar jabatan dalam satu shof.

Dilain hal, sholat jama’ah memberi sebuah subtansi bahwa beribadah, sholat khususnya tidak serta merta berurgensi pada hal individu. Tetapi adanya sebuah jama’ah memberi kesan bahwa kita perlu juga mengajak sesama muslim dalam beribadah.

(39)

pengurusan jenazah tersebut. Kemudian shalat jenazah sudah ada syarat dan rukun-rukunnya yang berpegang pada dasar-dasar sunnah Rasulullah saw.

Shalat jama’ dan qashar adalah keringanan (rukhsah) yang diberikan Allah kepada hambanya, yang harus diterima oleh umat muslim sebagai shodaqah dari Allah SWT. Shalat yang dapat di jama’ adalah semua shalat fardhu kecuali sholat subuh. Dan shalat yang dapat di qashar adalah semua shalat fardhu yang empat rakaat yaitu shalat isya’, dhuhur dan ashar. Hal-hal yang membolehkan jama’ dan qashar ada beberapa hal, yaitu : Safar (Bepergian), Hujan, Sakit, Takut, Keperluan (kepentingan) Mendesak.

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Fathul Mu`in dan Hasyiah I`anatuth Thalibin jilid 2 hal 98-104 Cet. Tohaputra Tanwir Qulub hal 172-175 cet. Hidayah

Referensi

Dokumen terkait

Adapun juga gaya kepemimpinan yang juga berpengaruh dalam kinerja karywan, karenanya ada gaya kepemimpinan maka karywan peusahaan akan dapat berprestasi dan bersemangat

Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur didorong utamanya oleh komponen Konsumsi yang pada triwulan III-2008 ini mampu tumbuh lebih tinggi.. Di sisi lain,

Selain itu, ada juga dalam kalangan remaja yang memilih sesuatu bidang kerjaya yang sangat berbeza dengan bidang kerjaya yang diceburi oleh ahli keluarga mereka

Dalam merencanakan struktur gedung yang berada di wilayah yang terdapat intensitas gempa, sebaiknya menggunakan Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK) dan

Landasan latar belakang dan ketiga rumusan masalah tersebut diatas, maka penulisan skripsi ini bertujuan untuk memahami mekanisme BASYARNAS dalam perspektif

Melihat komitmen BNI Syariah untuk selalu menerapkan program CSR setiap tahun tersebut, penelitian ini ingin mengetahui bagaimana model kerjasama antara BNI Syariah

setiap tes matematika yang dikerjakan oleh user. Struktur dari tabel nilai dapat dilihat pada gambar 3.6. Tabel 3.6

Makna realita disini, mereka (pemerintah RI) ingin supaya kamu menjadi Pancasilais sebagaimana mereka menjadi Pancasilais lalu kamu menjadi sama (dengan