• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Akibat Hukum Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Pendaftaran Hak Atas Tanah Di Kota Pekanbaru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Akibat Hukum Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Pendaftaran Hak Atas Tanah Di Kota Pekanbaru"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Kota Pekanbaru adalah ibu kota dan kota terbesar di Provinsi Riau, Indonesia.

Kota ini merupakan kota perdagangan dan jasa, termasuk sebagai kota dengan tingkat

pertumbuhan, migrasi dan urbanisasi yang tinggi. Secara geografis kota Pekanbaru

memiliki posisi yang strategis berada pada jalur lintas Sumatera, terhubung dengan

beberapa kota seperti Medan, Padang, dan Jambi dengan wilayah administratif diapit

oleh Kabupaten Siak pada bagian utara dan timur sementara bagian barat dan selatan

diapit oleh Kabupaten Kampar. Kota Pekanbaru dibelah oleh sungai Siak yang

mengalir dari Barat ke Timur dan berada pada ketinggian berkisar antara 5-50 meter

di atas permukaan laut. Kota ini termasuk beriklim tropis dengan suhu udara

maksimum antara 34-360C dan suhu minimum antara 20-230C.

Sebelum tahun 1960, Pekanbaru hanyalah kota dengan luas 16 km2 yang

kemudian bertambah menjadi 62,96 km2 dengan dua Kecamatan yaitu Kecamatan

Senapelan dan Kecamatan Limapuluh. Selanjutnya pada tahun 1965 kota Pekanbaru

menjadi enam kecamatan, dan tahun 1987 menjadi delapan kecamatan dengan

wilayah wilayah 446,50 km2, setelah pemerintah daerah Kampar menyetujui untuk

menyerahkan sebagian dari wilayahnya untuk keperluan perluasan wilayah Kota

Pekanbaru, yang kemudian ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Republik

(2)

pada kota ini dimekarkan menjadi dua belas kecamatan. Sejak Tahun 2010 Pekanbaru

telah menjadi kota ketiga berpenduduk terbanyak di Pulau Sumatera setelah Medan

dan Palembang. Pekanbaru ditetapkan menjadi Ibu kota Propinsi Riau melalui

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959.1

Laju pertumbuhan ekonomi Kota Pekanbaru cukup pesat dan menjadi

pendorong bagi laju pertumbuhan penduduknya. Etnis Minangkabau merupakan

masyarakat terbesar yang tinggal di Kota Pekanbaru dengan jumlah sekitar 37,96%

dari total penduduk kota. Etnis Minangkabau pada umumnya bekerja sebagai pegawai

dan pedagang. Jumlah mereka yang cukup besar telah mengantarkan bahasa Minang

sebagai salah satu bahasa pergaulan yang digunakan oleh penduduk Kota Pekanbaru,

selain bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Selain itu etnis yang memiliki proporsi

yang cukup besar di Kota Pekanbaru adalah Melayu, Jawa, Batak dan Tionghoa.

Perpindahan ibu Kota Provinsi Riau dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru pada tahun

1959, memiliki andil besar menempatkan suhu Melayu mendominasi struktur

birokrasi pemerintahan kota, namun sejak tahun 2002 hegemoni mereka berkurang

seiring dengan berdirinya Provinsi Kepulauan Riau dari pemekaran Provinsi Riau.2

Menurut Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, “pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk

meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat. Pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satu daerah menjadi

1Marwan Ali,

Sejarah dan Perkembangan Kota Pekanbaru, World Press, Jakarta, 2012, hal. 7

(3)

dua daerah atau lebih, atau penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau

penggabungan beberapa daerah”.3

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah pada

dasarnya menekankan perwujudan otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan

bertanggung jawab dengan memperhatikan keseimbangan hubungan antar

pemerintahan. Dengan kata lain prinsip otonomi saat ini berdasarkan asas-asas

desentralisasi berkesinambungan.4

Prinsip ekonomi seluas-luasnya mengandung arti bahwa daerah diberikan

kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, kecuali

kewenangan di bidang politik luar negeri, pertanahan, keamanan, yustisi, moneter dan

fiskal nasional dan agama. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah

untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan

masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata

dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk

menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan

kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan

berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sementara itu, otonomi

yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus

3

Dewi B. Andayani, Keberadaan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Disertasi, Pascasarjana Fakutlas Hukum UI, 2004, hal. 15

(4)

benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada

dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat

yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.5

Selain itu, penyelenggaraan pemerintah daerah juga harus menjamin

keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu

membangun kerja sama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan

mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa

pemerintah daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah

dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah

negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka

mewujudkan tujuan negara.

Berdasarkan pengertian pemerintah daerah dan wewenang yang telah

diuraikan, pemerintah daerah merupakan kewenangan yang dimiliki oleh suatu

daerah otonom yang diberikan oleh pemerintah pusat (melalui desentralisasi) untuk

menjalankan hak, kewajiban dan wewenang yang dimilikinya untuk mengatur rumah

tangganya sendiri sehingga dapat meningkatkan daya dan hasil guna untuk

meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya dan melakukan pembangunan di

daerahnya.6

5

H.A.W. Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Rajawali Press, Jakarta, 2011, hal.21

(5)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai

pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan dalam Pasal 13 dan

Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang

antara lain adalah pelayanan pertanahan.

Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam pemerintah daerah

adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2)

UUPA bahwa hak menguasai dari negara, pelaksanaanya dapat dikuasakan kepada

daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan

dan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu, dalam penjelasan

Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk

melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka

tugasmedebewind(tugas pembantuan).

Kewenangan yang pelaksanaanya dapat dilimpahkan kepada pemerintah

daerah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA, yaitu wewenang mengatur

dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan tanah di daerah yang

bersangkutan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUPA yang

meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian sesuai dengan keadaan

daerah masing-masing.

Berdasarkan Pasal 14 UUPA dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang, pemerintah daerah diberi wewenang mengatur peruntukan,

(6)

proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan

ruang.

Berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah, wewenang penyelenggaraan

penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang mencakup

kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang,

didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan

pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah

kabupaten dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang

menurut batasan administratif.7

Demikian pula halnya dengan kewenangan pemerintah (kabupaten/kota)

dalam melaksanakan kewenangan di bidang pelaksanaan pendaftaran tanah yang

dalam hal ini kewenangannya dilakukan oleh Kantor Pertanahan. Apabila terjadi

pemekaran wilayah berupa perubahan batas wilayah kota kota Pekanbaru, dimana

sebagian kecil wilayah Kabupaten Kampar masuk ke dalam wilayah kota Pekanbaru.

Dengan demikian sebagian wilayah yang tadinya masuk ke wilayah Kabupaten

Kampar dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang

perluasan wilayah kota Pekanbaru, maka wilayah tersebut menjadi bagian dari Kota

Pekanbaru. Diantaranya wilayah Kabupaten Kampar yang masuk ke Kota Pekanbaru

(7)

adalah, sebagian wilayah Kecamatan Siak Hulu PW dan wilayah Kecamatan Kampar.

8

Berkaitan dengan pendaftaran tanah yang terjadi di wilayah Kota Pekanbaru

yang selama ini telah berlangsung dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 19

Tahun 1987 tersebut maka terjadi perluasan wilayah kerja dari kantor pertanahan

Kota Pekanbaru termasuk didalamnya adalah wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) Kota Pekanbaru. Di sisi lain keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor

19 Tahun 1987 tersebut memperkecil wilayah yang dimiliki oleh Kabupaten Kampar

termasuk didalamnya wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar dan

wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) daerah kerja Kabupaten Kampar.

Hal ini menimbulkan permasalahan dari segi pelaksanaan pendaftaran tanah yang

dilakukan oleh kedua Kantor Pertanahan yaitu Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru

dan juga Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar. Disamping itu juga menimbulkan

permasalahan di bidang wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang

daerah kerjanya telah ditetapkan di Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru.9

Penelitian ini dimaksudkan untuk membahas masalah pemekaran kota

Pekanbaru dalam kaitannya dengan pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilaksanakan

oleh Kantor Pertanahan kota Pekanbaru dalam hal kepastian hukum pelaksanaan

kegiatan pendaftaran tanah tersebut dan dampak hukum lainnya yang menyangkut

8 Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Memengaruhi Besarnya Otonomi Daerah

Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara,

Disertasi Program Pascasarjana, 1993, hal.57

(8)

masalah pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh masyarakat di kedua

wilayah yaitu Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka

permasalahan yang dibahas secara lebih mendalam dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana praktek pelaksanaan pemekaran wilayah Kota Pekanbaru

berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah?

2. Bagaimana ketentuan batas-batas wilayah yang telah ditetapkan dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 dalam praktek pelaksanannya?

3. Bagaimana akibat hukum apabila terjadi pemekaran wilayah Kota Pekanbaru

terhadap kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Kota Pekanbaru?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui praktek pelaksanaan pemekaran wilayah Kota Pekanbaru

berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah

2. Untuk mengetahui ketentuan batas-batas wilayah yang telah ditetapkan dalam

(9)

3. Untuk mengetahui akibat hukum apabila terjadi pemekaran wilayah Kota

Pekanbaru terhadap kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Kota

Pekanbaru

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis yaitu :

1. Secara teoritis penelitian dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih

pemikiran bagi perkembangan hukum otonomi daerah dalam hal pemekaran /

perluasan wilayah dalam kaitannya dengan masalah pelaksanaan pendaftaran

tanah di Kabupaten/Kota.

2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

para praktisi, maupun bagi pihak-pihak terkait mengenai pelaksanaan prosedur

hukum pemekaran wilayah kabupaten/kota berdasarkan ketentuan yang terdapat

di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 perubahan batas wilayah Kota

Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas

Sumatera Utara khususnya di Lingkungan Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum dan

(10)

Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Pendaftaran Hak Atas Tanah di Kota Pekanbaru”

belum ada yang meneliti dan membahasnya, sehingga secara akademis keaslian

penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi,10 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaranya. Kerangka teori adalah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau

permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis,11 terhadap

prosedur hukum pemekaran / perluasan wilayah kabupaten/kota berdasarkan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Peraturan Pemerintah

Nomor 19 Tahun 1987 perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten

Kampar.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dan oleh karena itu kerangka

teori diarahkan secara khas oleh hukum. Maksudnya penelitian berusaha untuk

memahami masalah pemekaran wilayah Kota Pekanbaru dimana perluasan wilayah

tersebut merupakan hasil dari pengambilan beberapa wilayah dari Kabupaten Kampar

yaitu dengan memasukkan sebagian wilayah Kecamatan Siak Hulu PW dan

10 JJJ M, Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam,

Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jilid I), Jakarta, FE UI, 1996, hal. 203

(11)

Kecamatan Kampar (Kelurahan Simpang Baru) yang sebelumnya merupakan wilayah

dari Kabupaten Kampar, dimana perluasan wilayah Kota Pekanbaru tersebut

didasarkan kepada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang

perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang

perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, dalam

pelaksanaanya akan mengakibatkan timbulnya masalah hukum khususnya dibidang

hukum pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik dan

berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen III)

menyebutkan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provinsi dan daerah-darah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap

provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur

dengan undang-undang”. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen

III) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan”. Dalam otonomi daerah di Indonesia terdapat bebrapa prinsip-prinsip

dasar yang terkandung di dalamnya yaitu:

1. Bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan dan bentuk pemerintahan

(12)

2. Keharusan membentuk daerah, yang terdiri dari daerah besar dan kecil dengan

mengisyaratkan adanya suatu desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah

daerah dengan otonomi yang luas

3. Bentuk pemerintahan daerah itu disusun dengan memandang dan mengingat dasar

permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara

4. Negara menjamin hak-hak asal usul daerah-daerah yang bersifat istimewa yang

ada dalam negara

Dari prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) dan pasal

18 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana tersebut di atas ada beberapa pendapat

para ilmuwan hukum tata negara berkaitan dengan asas-asas pelaksanaan otonomi

daerah di Indonesia tersebut. Bagir Manan mengemukakan bahwa Republik

Indonesia adalah negara kesatuan yang disertai asas desentralisasi. Dengan demikian

secara teoritik persoalan-persoalan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah dalam negara kesatuan desentralistik akan terdapat pula di negara Republik

Indonesia.12Kemudian Bagir Manan berpendapat ada beberapa paradigma baru yang

ditegaskan dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 untuk menghindari

penyimpangan-penyimpangan di masa lalu. Paradigma-paradigma baru tersebut

meliputi antara lain:

1. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan otonomi dan tugas

pembantuan (belaka). Di masa depan tidak ada lagi pemerintahan dekonsentrasi

dalam pemerintahan daerah.

(13)

2. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan atas dasar otonomi yang

seluas-luasnya. Semua fungsi pemerintahan di bidang administrasi negara

(administratief regelen en bestuur) dijalankan pemerintah daerah, kecuali yang

ditentukan sebagai urusan pusat.

3. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan atas dasar keragaman daerah. Urusan

rumah tangga daerah tidak perlu seragam. Perbedaan harus dimungkinkan baik

atas dasar kultural, sosial, ekonomi, geografi dan lain sebagainya.

4. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan dengan mengakui dan menghormati

kesatuan masyarakat hukum adat (adat rechtsgemenschap) dan berbagai hak

tradisionalnya. Satuan pemerintahan asli dan hak-hak masyarakat asli atas

bumi, air, dan lain-lain wajib dihormati untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat setempat.

5. Pemerintah daerah dapat disusun dan dijalankan berdasarkan sifat atau keadaan

khusus atau istimewa tertentu. Sifat atau keadaan khusus tertentu baik atas dasar

kedudukan (seperti ibu kota negara), kesejahteraan (DI Yogyakarta) atau karena

keadaan sosio kultural (seperti DI Aceh).

6. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih langsung dalam suatu

pemilihan umum. Di masa depan tidak ada lagi anggota DPRD (begitu juga

(14)

7. Hubungan pusat dan daerah diselenggarakan secara selaras dan adil.13

Berdasarkan pemikiran tersebut, terlihat prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah sebagai berikut:

1. Prinsip pembagian daerah yang bersifat hirarki

2. Prinsip otonomi dan tugas pembantuan

3. Prinsip demokrasi

4. Prinsip otonomi seluas-luasnya

Didalam pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 (amandemen III) terkandung

prinsip keterkaitan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah antara lain yaitu:

1. Hubungan wewenang yang diatur dengan UU dengan memperhatikan kekhususan

dan keragaman daerah (dimuat dalam ayat 1)

2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan

sumber daya lainnya diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan

UU (dimuat dalam ayat 2)

3. Prinsip pengakuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau yang bersifat

istimewa (dimuat dalam ayat 1)

4. Prinsip pengakuan eksistensi dan hak-hak tradisi masyarakat adat (dimuat

dalam ayat (2)

Berdasarkan uraian mengenai prinsip-prinsip otonomi daerah tersebut di atas

maka dapat dikatakan bahwa hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah

13 Jenning,

(15)

tidak bersifat sentralistik. Kekuasaan negara dibagi kepada daerah melalui

desentralisasi dan kekuasaan.

Dari uraian di atas maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teori pelimpahan kewenangan yang menjadi landasan atau dasar dalam rangka

mengkaji penerapan asas desentralisasi dalam perkembangan pengaturan

pemerintahan daerah, khususnya yang dijadikan sebagai teori dalam penelitian ini

adalah teori pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah. Ada suatu pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bertujuan untuk menghindari

kekuasaan yang disentralkan pada satu tangan. Berkaitan dengan prinsip pembagian

wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dengan kesatuan

pemerintah yang lebih rendah, maka lahirlah desentralisasi kekuasaan kepada

pemerintah daerah.14

Dalam sistem pemerintahan daerah ada beberapa teori yang mendasari tentang

pembagian kekuasaan diantaranya teori pembagian kekuasaan secara horisontal dan

teori pembagian kekuasaan secara vertikal. Menurut pendapat Jimly Asshidiqie

pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu

dibagikan secara verikal ke bawah. Pembagian kekuasaan secara vertikal berarti

adanya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintahan.15

14

Sadu Wasistiono, Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus media Bandung, 2003, hal.7

(16)

Dalam sebuah negara kesatuan dimana suatu negara kesatuan ialah suatu

bentuk negara yang pemegang kekuasaan tertinggi ada di tangan pemerintah pusat,

memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintah. Dalam negara kesatuan pembagian

kekuasaan secara vertikal melahirkan garis hubungan antara pusat dan daerah dalam

sistem desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind). Penerapan

dari asas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam negara kesatuan merupakan suatu

penerapan dari prinsip distribution of powers dalam hubungan antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah. Dengan adanya pembagian kekuasaan dari pusat ke

daerah, maka pemerintah pusat menyerahkan beberapa urusan pemerintah kepada

pemerintah daerah.16

Desentralisasi mengandung segi positif dalam penyelenggaraan pemerintahan

baik dari sudut politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, karena

dilihat dari fungsi pemerintah, desentralisasi menunjukkan:17

1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan

yang terjadi dengan cepat

2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas lebih efektif dan lebih

efisien

3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif

16

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, 2007, hlm.13.

(17)

4. Satuan-satuan desentralisasi menolong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi

dan lebih produktif.

Hal-hal yang diatur dan diurus oleh pemerintah daerah ialah tugas-tugas atau

urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah untuk diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuan

daerahnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan

wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih

tinggi kepada institusi/lembaga/pejabat di bawahnya, sehingga yang diserahi atau

dilimpahi wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama wewenang dan

kekuasaan yang dimilikinya dalam urusan tersebut.

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan

bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah

secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,

pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis,

dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan

rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah

yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu

yang membebaninya. Pendaftaran tanah erat kaitannya dengan pengadaan tanah. Hal

tersebut diwujudkan antara lain melalui dua hal yaitu :

1. Mengeluarkan sertipikat hak atas tanah sebagai produk pendaftaran tanah yang

(18)

2. Menghasilkan dokumenberupa data fisik dan data yuridis suatu bidang tanah

sekaligus pula inventarisasi data oleh kantor pertanahan

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendaftaran tanah merupakan suatu

tahapan yang berfungsi sebagai pengadministrasian bidang-bidang tanah di Indonesia,

sekaligus untuk memberikan suatu keabsahan dan tanda bukti bagi para pihak sebagai

pemilik sah dari tanah tersebut.

Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan

bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan

perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah

susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya

sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa

pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pasal 6

ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa dalam

rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5

tugas pelaksanaan pendaftarant anah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan,

kecuali kegiatan-kegiatan tertentu oleh Peraturan Pemerintah ini atau

perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada Pejabat lain.

Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan

bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu

(19)

tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan.

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

peraturan jabatan pejabat pembuat akta tanah menyebutkan bahwa :

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum

yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun

2. PPAT sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya

untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang

belum cukup terdapat PPAT

3. PPAT khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk

karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta

PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas

Pemerintah tertentu.

4. Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah

dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak

Milik Satuan Rumah Susun.

5. Protokol PPAT adalah kumpulan dokumen yang harus disimpan dan

dipelihara oleh PPAT yang terdiri dari daftar akta, akta asli, warkah

(20)

6. Warkah adalah dokumen yang dijadikan dijadikan dasar pembuatan akta

PPAT

7. Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan dalam

satu satuan daerah kerja PPAT.

8. Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan

seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalamnya

9. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang agrarian /

pertanahan.

PPAT memiliki tugas pokok sebagaimana tertuang di dalam Pasal 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yaitu :

1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah

dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakuannya perbuatan hukum

tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,

yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah

yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai

berikut:

a. Jual beli

b. Tukar menukar

c. Hibah

(21)

e. Pembagian hak bersama

f. Pemberian Hak Guna Bangunan / Hak Pakai atas tanah Hak Milik

g. Pemberian Hak Tanggungan

h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan

Daerah kerja PPAT berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 bahwa :

1. Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota

2. Daerah kerja PPAT sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya

sebagai pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjuknya.

Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang berbunyi

1. Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih

wilayah Kabupaten/Kota, maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak

diundangkannya Undang-undang tentang pembentukan Kabupaten/ Kota yang

baru PPAT yang daerah kerjanya adalah Kabupaten/Kota semula harus

memilih salah satu wilayah Kabupaten/Kota sebagai daerah kerjanya, dengan

ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya,

maka mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang

pembentukan Kabupaten/Kota baru tersebut daerah kerja PPAT yang

bersangkutan hanya meliputi wilayah Kabupaten/Kota letak Kantor PPAT

(22)

2. Pemilih daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dengan

sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang

pembentukan Kabupaten/Kota yang baru.

Dari uraian mengenai masalah pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan masalah tugas kewenangan PPAT

sebagaimana yang termuat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

dapat dikatakan bahwa pemekaran/perluasan wilayah yang terjadi di Kota Pekanbaru

yang terjadi dari hasil pengambilan sebagian kecil wilayah dari Kabupaten Kampar,

dari segi pendaftaran tanah akan menimbulkan perubahan kewenangan dari aparatur

pemerintahan (dibidang pertanahan) dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Untuk

wilayah yang diambil oleh Kota Pekanbaru yaitu Kecamatan Siak Hulu PW dan

Kecamatan Kampar (Kelurahan Simpang Baru) yang sebelumnya merupakan wilayah

dari Kabupaten Kampar, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun

1987 maka kewenangan di bidang pendaftaran tanah yang sebelumnya berada di

bawah kewenangan pemerintah daerah Kabupaten Kampar dan PPAT yang

kedudukan dan wilayah kerjanya berada di Kabupaten Kampar beralih menjadi

kewenangan dari pemerintah Kota Pekanbaru dan juga PPAT yang kedudukan dan

wilayah kerjanya berada di Kota Pekanbaru.

Dalam praktek pelaksanaan penyerahan kewenangan dari pemerintah

Kabupaten Kampar kepada Pemerintah Kota Pekanbaru, sesuai dengan teori

penyerahan kewenangan maka penyerahan kewenangan membutuhkan kerjasama

(23)

dibidang administrasi pendaftaran tanah antara Kantor Pertanahan Kabupaten

Kampar dengan Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru khususnya di dua kecamatan

yang masuk dalam wilayah Kota Pekanbaru yaitu Kecamatan Siahulu PW dan

Kecamatan Kampar, sehingga tidak menimbulkan permasalahan hukum dalam hal

pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilaksanakan terhadap masyarakat di wilayah

kewenangan masing-masing.18

Tujuan diundangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang

perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, agar daerah dapat

mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka pemekaran / perluasan wilayahnya

masing-msaing untuk kemajuan daerahnya, agar sesuai dengan aspirasi masyarakat di

daerah tersebut demi mencapai kesejahteraan bersama di semua sektor pembangunan.

Kewenangan mengurus rumah tangga sendiri tersebut juga mencakup

kewenangan mengatur masalah pertanahan di wilayahnya demi mengembangkan

otonominya sesuai gerak tuntutan kesejahtearan rakyat, atau minimal daerah tidak

kesulitan mengajak investor menanamkan modal di daerahnya demi peningkatan

usaha yang berkaitan dengan tanah didaerahnya.19 Keadaan ini dapat dipahami,

karean daerah berkeinginan untuk memajukan daerahnya serta mensejahterakan

masyarakatnya dengan landasan pengembangan ekonomi sebagai basisnya dengan

18 Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan, Kerangka

Kebijakan Pertanahan Nasional, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas dan Direktorat Pengukuran dan Pemetaan BPN, Jakarta, 2004

19

Muhammad Yamin, Politik Agraria dalam Mengatur Perkembangan Otonomi Daerah,

(24)

tetap bertumpu kepada kebijakan ekonomi baru mencakup kebijaksanaan, strategi dan

pelaksanaan pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak sebagai

wujud keberpihakan pada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi, sebagai

pilar utama pembangunan ekonomi nasional, tanpa mengambaikan peranan

perusahaan-perusahaan besar. Pengolahan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya

alam lainnya dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk

pemusatan pengusahaan dan pemilihan dalam rangka pengembangan kemampuan

ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas. Tanah sebagai

basis usaha pertanian diutamakan penggunaanya bagi pertumbuhan pertanian

rakyat.20

Teori yang dipakai adalah teori penyerahan kewenangan Pemerintah Daerah

Kota Pekanbaru dan Daerah Kabupaten Kampar, batas-batas kewenangan yang

berkaitan dengan bidang pertananahan di Kota Pekanbaru yang dikaji berdasarkan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Peraturan

Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan

Kabupaten Kampar.21 Keseimbangan untuk memperoleh kepastian hukum terhadap

pemberian kewenangan hukum dan hak-hak atas tanah terhadap masyarakat yang

diberikan oleh pemerintah Kota Pekanbaru dan Pemerintah Kabupaten Kampar

akibat terjadinya perluasan wilayah Kota Pekanbaru berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 yang mengacu kepada batas-batas kewenangan

20Herman Hermit

, Pelaksanaan Pendaftaran Tanah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hal. 17

(25)

yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah

daerah untuk memperoleh kepastian hukum pemberian hak-hak atas tanah melalui

pelaksanaan pendaftaran tanah di kedua pemerintah kota/kabupaten di Provinsi Riau

tersebut.22

Teori penyerahan kewenangan ini dipelopori oleh Aristoteles dimana ia

menyatakan bahwa kewenangan/kekuasaan harus dibagi secara seimbang dan adil

berdasarkan UU diantara institusi negara berdasarkan bidang kewenangannya agar

kewenangan tersebut dapat dijalankan dengan baik dan benar terhadap seluruh

masyarakat. Dalam teori keseimbangan semua orang mempunyai kedudukan yang

sama dan diperlukan sama pula (seimbang) dihadapan hukum.23

Sistem hukum pertanahan dibangun berdasarkan asas-asas hukum Mariam

Darus mengemukakan bahwa sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum

yang terpadu di atas mana dibangun tertib hukum.24Pandangan ini menunjukkan arti

sistem hukum dari segi subtantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran

mendasar tentang kebenaran (waarheid truth) untuk menopang norma hukum dan

menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum pertanahan.

Konsiderans UUPA menyebutkan bahwa hukum agraria Nasional

berdasarkan atas hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi

seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak menjabarkan unsur-unsur yang bersandar pada

22

Musran Rahmadi, Keseimbangan Pembagian Kewenangan Daerah Otonomi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Rafika Aditama, Bandung, 2009, hal. 13

(26)

hukum agama. Menyimak konsiderans dari UUPA tersebut, maka pembangunan

Hukum Tanah Nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma

hukum adat dalam peraturan perundang-undangan menjadi hukum yang tertulis

“selama hukum adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh serta menunjukkan

adanya hubungan fungsional antara hukum adat dan Hukum Tanah Nasional itu.”25

AP. Parlindungan mengemukakan bahwa pemberian tempat kedua hukum adat di dalam UUPA, tidak menyebabkan terjadinya dualisme seperti yang dikenal sebelum berlakunya UUPA. Reorientasi pelaksanaan hukum di Indonesia akan lebih berhasil jika kita mampu memahami jika hukum adat yang akan dikembangkan di dalam perundang-undangan modern. Pemberian tempat bagi hukum adat di dalam UUPA, apalagi penempatan itu dalam posisi dasar, merupakan kristalisasi dari asas-asas hukum adat sehingga UUPA itulah penjelmaan hukum yang adat yang sebenarnya. Hukum adat yang dapat dipakai sebagai hukum agraria adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan diberi sifat nasional.26

Sehingga dalam hubungan dengan prinsip-prinsip satuan bangsa dan Negara

kesatuan Republik Indonesia, maka hukum adat yang dahulu hanya mementingkan

suku dan masyarakat hukumnya sendiri, harus diteliti dan dibedakan antara :

a. Hukum adat yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan bangsa dan

seterusnya (Pasal 5) dan tidak merupakan penghambatan pembangunan.

b. Hukum adat yang hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya

sendiri, yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan kesatuan bangsa

serta dapat menghambat pembangunan Negara.

25Alvi Syahrin,

Beberapa Masalah Hukum, Sofmedia, Medan, 2009, hal. 39

(27)

Hukum adat yang tidak bertentangan tersebut dalam poin a di atas, tetap

berlaku dan merupakan hukum agraria nasional yang berasal dari hukum adat, kecuali

hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang merupakan ketentuan konversi pasal II,

VI dan VIII Hukum adat yang bertentangan seperti tersebut dalam poin b tidak

diberlakukan lagi (tidak diadatkan).27

“Boedi Harsono mengemukakan bahwa penggunaan nonna-norma hukum adat sebagai pelengkap tanah yang tertulis, haruslah tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA, bahkan Pasal 5 UUPA memberikan syarat yang lebih rinci, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan-peraturan pemndang-undangan lainnya”.28

Hukum adat yang dimaksudkan oleh UUPA adalah hukum aslinya golongan

rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan

mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat kemasyarakatan dan

kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.

Konsepsi hukum adat dalam hukum tanah nasional di rumuskan sebagai konsepsi

yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual,

dengan hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur

kebersamaan. Sifat komunalistik religius dari konsepsi hukum tanah nasional

ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUPA. Sifat komunalistik menunjukkan semua

tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama rakyat Indonesia, yang

27

Man Soetikjno,Politik Agraria Nasional,Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hal. 48-49.

(28)

telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Unsur religius dari konsepsi ini ditujukan

oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya. merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa

Indonesia.29

Suasana religius dalam Hukum Tanah Nasional juga terlihat dalam

konsiderans UUPA yang menyebutkan “...perlu adanya hukum agraria nasional yang

tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”...”harus

mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa", dan Pasal 5 UUPA

yang menyebutkan : “dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum

agama”. Asas-asas hukum adat yang digunakan dalam hukum Tanah Nasional, antara

lain asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan,

pemerataan dan keadilan sosial, asas pemeliharaan tanah secara berencana, serta asas

pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.

Kedudukan asas-asas tersebut dalam pembangunan hukum yaitu sebagai

landasan dan alasan lahirnya peraturan hukum (ratio legis) selanjutnya. Namun

demikian, penerapan asas-asas tersebut dalam kasus-kasus konkrit selalu

memperhatikan faktor-faktor yang meliputi kasus yang dihadapi, dimungkinkan

menyimpan dari asas tersebut guna penyelesaian kasus, akan tetapi harus dapat

memenuhi rasa keadilan dan kebenaran.30

29Supriadi

, Hukum Agraria,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 6

(29)

Soerjono Soekanto lebih melihat wewenang sebagai kekuasaan yang ada pada

seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat

pengakuan dari masyarakat. Bagir Manan berpendapat bahwa kekuasaan (macht)

menggambarkan hak untuk berbuat ataupun tidak berbuat, sedangkan wewenang

berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). Lebih tanjut Nicolai

menyebutkan bahwa mengenai hak dan kewajiban adalah hak memberikan pengertian

kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut

pihak untuk melakukan tindakan tertentu. Sementara itu, kewajiban memuat

keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.31

Prinsip otonomi daerah sebenarnya telah diterapkan jauh sebelum lahirnya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di

Daerah. Beberapa undang-undang yang mendahului Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1974 ini aniara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang

Pokok tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang

Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965

tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

Namun, konsep otonomi daerah yang diperkenalkan dalam undang-undang

tersebut berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana yang kemudian diubah dengan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

31Nicolai, P & Oliver, B.K.,

Bestuursrecht,Amsterdam, 1994, hal. 4 dalam Irfan Fachruddin,

(30)

Sebagai contoh, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi

daerah dilaksanakan secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi

yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab ini dalam tahap implementasinya lebih

berkonotasi hak daripada kewajiban, dimana banyak memerlukan koordinasi dengan

pemerintah pusat sehingga muncul kesan sentralistik. Berbeda dengan hal ini,

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan kewenangan otonomi kepada

daerah kabupaten dan kota berdasarkan atas asas desentralisasi dalam upaya

mewujudkan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Namun, seiring

dengan berjalannya waktu, konsep otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 akhiraya justru memunculkan “raja-raja kecil” di daerah

sehingga dilakukannya revisi terhadap undang-undang ini.

Saat ini, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah berdasarkan

ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menekankan perwujudan

otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab dengan memperhatikan

keseimbangan hubungan antar pemerintahan. Dengan kata lain, prinsip otonomi saat

ini berdasarkan atas asas desentralisasi berkeseimbangan.32

Prinsip otonomi seluas-luasnya mengandung arti bahwa daerah diberikan

kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, kecuali

kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan. yustisi, moneter dan

fiskal nasional, dan agama. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah

(31)

untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran sena, prakarsa. dan pemberdayaan

masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.33

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata

dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi adalah suatu prinsip bahwa untuk

menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan

kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan

berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sementara itu, otonomi

yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus

benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada

dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat

yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.34

Selain itu; penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian

hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerja

sama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah

ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah

juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah,

artinya hams mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap

tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan

negara.

33

Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid I, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004, hal. 43

(32)

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi

diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang

konkrit, yang disebut dengan operasional defenition.35 Pentingnya definisi

operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran

mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab

permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar

secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah

ditentukan, yaitu :

1. Pemekaran wilayah adalah perluasan batas wilayah Kota Pekanbaru yang

diperoleh dari pengambilan sebagian kecil wilayah daerah Kabupaten Kampar

yaitu Kecamatan Siak Hulu PW dan wilayah Kecamatan Kampar, yang

didasarkan kepada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang

perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, yang

mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi kewenangan pemerintahan di

bidang administrasi pertanahan antara Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar

kepada Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru, termasuk perubahan komposisi

wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dari wilayah kerja Kabupaten

Kampar kepada wilayah kerja Kota Pekanbaru.

35Sutan Reny Sjahdeini,Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para

(33)

2. Pemerintah Daerah adalah Bupati/Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara pemerintah daerah.

3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip

negara kesatuan Republik Indonesia.

4. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas

wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat menurut praksarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5. Kewenangan adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan/

perbuatan hukum di bidang pertanahan dalam hal pemberian hak-hak atas tanah

kepada masyarakat di Kota Pekanbaru.

6. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah

secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,

pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data

yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan

satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi

bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta

(34)

7. Batas wilayah adalah batas wilayah kerja Pemerintah dalam hal pelaksanaan

kewenangan melaksanakan pendaftaran tanah di daerahnya, yang pelimpahan

kewenangannya diberikan kepada kantor pertanahan pemerintah kabupaten/kota

8. Pelimpahan kewenangan adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah daerah

kabupaten / kota kepada instansi berwenang dalam hal ini adalah kantor

pertanahan di daerah kabupaten kota tersebut untuk melaksanakan pendaftaran

tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Untuk membahas dan menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini,

maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat

deskriptif analitis, maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk menguraikan,

memaparkan sekaligus menganalisa permasalahan yang timbul akibat terjadinya

pemekaran / perluasan batas wilayah Kota Pekanbaru berdasarkan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan Pemerintah

Nomor 19 Tahun 1987 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang

perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar dalam bidang

pelaksanaan pendaftaran tanah di Kota Pekanbaru.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dimana pendekatannya

terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan peraturan

(35)

Pekanbaru yang diperoleh dengan mengambil sebagian kecil wilayah Kabupaten

Kampar yaitu wilayah Kecamatan Siak Hulu PW dan wilayah Kecamatan Kampar

(Kelurahan Simpang Baru) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987

tentang perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar dan juga

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data dari bahan

hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturan

perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun

1987 tentang perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar,

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang peraturan jabatan pejabat pembuat akta

tanah, dan juga Peraturan Pelaksana lainnya yang berkaitan dengan hukum

pemerintahan daerah, otonomi daerah, pemekaran/ perluasan wilayah dan hukum

pendaftaran tanah pada khususnya. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang

memberikan penjelasan pendukung dari bahan hukum primer yang berupa buku,

hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah, buku tentang pemerintahan daerah,

otonomi daerah, pemekaran/ perluasan wilayah dan hukum pendaftaran tanah pada

(36)

penjelasan terhadap bahan hukum primer bahan hukum sekunder seperti kamus

hukum, kamus umum, Ensiklopedia dan lain sebagainya.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan

yaitu dengan studi dokumen untuk memperolah data sekunder dengan membaca,

mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data primer, sekunder

maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan

data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.36Di dalam

penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk

mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, sistematisasi yang

berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk

memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.37 Sebelum dilakukan analisis,

terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang

dikumpulkan untuk mengetahui validasinya. Setelah itu keseluruhan data tersebut

akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan

36Bambang Sunggono,

Metode Penelitian Hukum,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal 106.

(37)

permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, dengan tujuan untuk memperoleh

jawaban yang baik pula.

Dalam penelitian ini bahan-bahan hukum tertulis yang digunakan adalah akta

perjanjian kredit, perjanjian asuransi barang jaminan dan karya ilmiah yang memiliki

keterkaitan dengan penelitian ini, yang dijadikan pedoman untuk menghasilkan

Referensi

Dokumen terkait

ON, maka untuk hidupkan mesin kita menggunakan kartu dari RFID kemudian di tag kartu tersebut ke reader, apabila kartu yang ditag valid, maka kunci kontak hidup dan

Iz dijagrama je vidljivo da masa ubrizganog goriva raste približno linearno s produljenjem trajanja ubrizgavanja te je na temelju toga izrađena regresijska funkcija koja

Statuta FIFA dengan demikian dapat menjadi salah satu dari sumber hukum organisasi internasional dengan kedudukannya sebagai persetujuan atau perjanjian resmi yang dapat

Kerangka Kerja Konseptual PKSA merupakan upaya peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak berbasis keluarga, yang dilaksanakan berdasarkan proses sosial

Sumber data primer adalah pengusaha kerajinan tempurung kelapa dengan tujuan agar peneliti dapat memperoleh informasi mengenai berapa besar pendapatan dan kelayakan usaha

Dari hasil simulasi menunjukkan bahwa konduktor ACCR mempunyai panjang kawat yang lebih pendek pada saat harga arus saluran sama, hal ini disebabkan konduktor ACCR

Hasil penelitian berdasarkan deskripsi data, analisis data dan pembahasan rnaka, diperoleh hasil bahwa 24 orang anggota Resimen Mahasiswa Batalyon 102 Mahabbhakti

Variabel Pertumbuhan Perusahaan memiliki nilai probabilitas sebesar 0.6109, sehingga besarnya yaitu 0.6109 > 0.05,maka sesuai dengan ketentuan keputusan Pertumbuhan