• Tidak ada hasil yang ditemukan

TWO BODIES PROBLEM (PART 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TWO BODIES PROBLEM (PART 1)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TWO BODIES PROBLEM (PART 1)

(Newtonian Gravitational Approach)

Drs. Atman P.

Transformasi Koordinat

Kedudukan sebuah titik P dalam ruang Cartesian dinyatakan sebagai pasangan bilangan (x,y,z) dimana x = jarak antara proyeksi titik P pada sumbu X terhadap titik acuan O(0,0,0), y = jarak antara proyeksi titik P pada sumbu Y terhadap titik acuan O(0,0,0) dan z = jarak antara proyeksi titik P pada sumbu Z terhadap titik acuan O(0,0,0). Kedudukan titik P dalam ruang Cartesian dapat dinyatakan sebagai vektor r yang diperikan sebagai kombinasi linier vektor basis ex, ey dan ez

OP = (x,y,z) = r = x ex + y ey + z ez (01)

dimana ex = (1,0,0), ey = (0,1,0) dan ez = (0,0,1). Jarak OP dengan demikian dapat dinyatakan sebagai produk skalar r

r = |OP| = (r.r)1/2 = ((x ex + y ey + z ez).( x ex + y ey + z ez))1/2 = (x2 + y2 + z2)1/2 (02)

dan jarak antara dua titik P(x,y,z) dan Q(x + dx, y + dy, z + dz) yang berdekatan infinitesimal dinyatakan sebagai

|PQ| = (((x–(x+dx))ex +(y–(y+dy))ey +(z–(z+dz))ez).((x–(x+dx))ex +(y–(y+dy))ey +(z–(z+dz))ez))1/2 |PQ| = (((dx)ex +(dy)ey +(dz)ez).((dx)ex +(dy)ey +(dz)ez))1/2

|PQ| = ((dx)2+(dy)2 +(dz)2)1/2 (03)

Menggunakan relasi trigonometri biasa dari gambar – 1 diatas kita dapatkan bahwa x = r cos  cos 

y = r sin  cos 

(2)

dimana  adalah sudut yang diapit oleh garis proyeksi titik P pada sumbu X terhadap garis proyeksi garis OP pada bidang XY dan  adalah sudut yang diapit oleh garis proyeksi titik P pada bidang XY terhadap garis OP dan r memenuhi (02). Selanjutnya dua titik terletak berdekatan secara infinitesimal (03) dinyatakan dalam (04) memberikan

|PQ| = ((dx)2+(dy)2 +(dz)2)1/2

|PQ| = ((dr cos  cos  – r sin  cos  d – r cos  sin  d)2 + (dr sin cos + r cos cos d – r sin sin d)2 + (dr sin  + r cos  d)2)1/2

|PQ| = (dr)2 + r2 cos2 (d)2 + r2 (d)2 (05)

Untuk selanjutnya kita akan lebih banyak menggunakan koordinat pada bidang Cartesian XY ketimbang koordinat ruang Cartesian XYZ mengingat nanti akan kita buktikan bahwa semua gerak dibawah pengaruh gaya sentral terletak pada sebuah bidang. Dengan demikian maka kedudukan sebuah titik pada bidang XY dapat diperikan sebagai kombinasi linier vektor basis ex, dan ey sehingga

OP = (x,y,z) = r = x ex + y ey (06)

dimana ex = (1,0) dan ey = (0,1) dan jarak OP dengan demikian dapat dinyatakan sebagai produk skalar r

r = |OP| = (r.r)1/2 = ((x ex + y ey).( x ex + y ey))1/2 = (x2 + y2)1/2 (07) dan jarak antara dua titik P(x,y) dan Q(x + dx, y + dy) yang berdekatan infinitesimal dinyatakan sebagai

dan persamaan (06) dapat dinyatakan dalam (09) sebagai

OP = (x,y,z) = r = r cos ex + r sin ey = r (cos ex + sin ey) (10) Karena ex dan ey adalah vektor basis dalam sistem koordinat Cartesian maka kita dapat mendefinisikan vektor basis er dalam arah radial yang merupakan kombinasi linier dari vektor basis ex dan ey

(3)

sehingga (10) dapat dinyatakan sebagai

r = r er (12)

yang merupakan representasi vektor r dalam sistem koordinat Polar. Dalam sistem koordinat Polar kedudukan sebuah titik P dapat dinyatakan sebagai kombinasi (r,) dimana r adalah jarak antara titik P terhadap titik acuan dan  adalah sudut yang diapit oleh garis r dan sumbu X.

Karena sistem koordinat Polar adalah sistem koordinat pada bidang maka diperlukan dua buah vektor basis, dengan demikian kita masih perlu mendefinisikan satu vektor basis lagi yang merepresentasikan sudut . Untuk itu kita lakukan diferensiasi kembali terhadap (12) dan dengan menggunakan (09) dan (11) akan diperoleh

yang selanjutnya kita definisikan sebagai vektor basis dalam arah tangensial. Perhatikan bahwa dalam mendefinisikan kedudukan suatu titik P dalam sistem koordinat Polar (12) ternyata tidak memerlukan vektor basis tangensial (14) karena relasi

de = – er d

der = e d (15)

Jika dr kita nyatakan sebagai kecepatan dengan dr sebagai komponen kecepatan radial dan sebagai r d komponen kecepatan tangensial maka selanjutnya kita dapat mendefinisikan percepatan menggunakan hasil (12), (13), (14) dan (15) sebagai

d2r = d(dr) = d(dr er + r d e) = d2r er + dr der + dr de + r d2e + r d de

d2r = d2r er + dr(e d) + dr de + r d2e – r d (er d)

d2r = (d2r – r dd) er + (2dr d + r d2) e (16)

dimana komponen (d2r – r dd) disebut sebagai percepatan radial dan (2dr d + r d2) sebagai komponen percepatan tangensial. Hingga saat ini kita sudah memiliki

r = r er

dr = dr er + r d e

d2r = (d2r – r dd) er + (2dr d + r d2) e (17)

(4)

Produk Skalar dan Vektor dalam sistem koordinat Polar

Menggunakan hasil – hasil (12), (13), (14), (15) dan (16) kita dapat melakukan perkalian skalar (produk skalar), perkalian vektor (produk vektor) dalam sistem koordinat Polar. Produk skalar dari

dr terhadap dr

dr

.

dr = (dr er + r d e)

.

(dr er + r d e) = (dr)2 + r2 (d)2 (18)

karena sistem koordinat Polar adalah sistem koordinat ortogonal yaitu semua vektor basisnya tegak lurus satu sama lain. Kemudian perkalian vektor antara r terhadap dr yaitu

rdr = (r er) (dr er + r d e)

Jika kita definisikan vektor momentum angular L sebagai perkalian vektor antara vektor kedudukan r dan vektor momentum p

Lrp = rdr = rdr = r2 dez (21)

maka komponen vektor momentum angular pada arah radial Lr dan tangensial L adalah nol dan satu – satunya komponen tak nol adalah pada arah tegak lurus bidang XY yaitu Lz. Selanjutnya jika kita definisikan energi kinetik non relativistik benda sebagai kuadrat momentum benda

E = (2m)–1p

.

p = ½ m dr

.

dr = ½ m ((dr)2 + r2 (d)2) = ½ m (dr)2 + ½ m r2 (d)2 (22)

Kedua besaran fisika ini penting kelak ketika membahas medan gaya sentral. Kedua besaran ini akan ditunjukkan bersifat kekal perdefinisi. Sampai dengan saat ini kita belum mempertimbangkan gaya eksternal yang bekerja pada benda. Semua pendefinisikan diatas diturunkan menggunakan transformasi koordinat biasa. Ini menunjukkan bahwa kedua besaran diatas terkait dengan sistem koordinat yang kita pergunakan. Pada bab selanjutnya kita akan membahas medan gaya sentral sebagai medan gaya eksternal yang bekerja pada sebuah benda. Persamaan (22) dapat kita peroleh melalui pendekatan dibawah ini

Hukum Newton mengatakan bahwa jika sebuah benda bermassa m dikenai gaya F akan bergerak dipercepat pada lintasan C dengan percepatan sebesar a dimana

(5)

Selanjutnya kerja W yang dilakukan oleh gaya F terhadap benda m sejauh dr pada lintasan C dinyatakan sebagai

W = ∫F . dS W = ∫ m d2r . dr

W = m ∫ {(d2r – r dd) er + (2dr d + r d2) e} . {dr er + r d e} W = m ∫{(d2r – r dd) dr} + m {(2dr d + r d2) r d}

W = m (½ (dr)2 – ½ r2 (d)2) + m { d d(r2 d)} W = m (½ (dr)2 – ½ r2 (d)2) + m r2 (d)2

W = m ½ (dr)2 + ½ m r2 (d)2 + E’ (24)

dimana E’ adalah konstanta integrasi.

Medan gaya sentral, F(r)

Medan gaya sentral adalah medan gaya yang besarnya hanya bergantung dari jarak r antara sumber medan gaya dengan titik r. Salah satu bentuk medan gaya sentral adalah medan gaya sentral yang besarnya kuat medan gaya sentral E berbanding terbalik dari kuadrat jarak r antara sumber kuat medan dengan titik pengamatan

E(r) = –  r –3r = – r –2er (25)

Sebuah benda bermassa m bergerak dibawah pengaruh medan gaya sentral dengan kuat medan

E(r) akan dikenai gaya sentral

F(r) = m E(r) = –  m r –2er (26)

dan bergerak dipercepat dengan percepatan

m d2r = – m r –2er (27)

Menggunakan (17) dan (21) pada (27) kita dapatkan

m ((d2r – r dd) er + (2dr d + r d2) e) = – m r –2er (28) Tampak dari persamaan (28) bahwa kita dapat memisahkan persamaan (28) menurut komponen – komponen radial dan tangensial dan memperoleh

d2r – r dd = – r –2 (29)

dan

(6)

Untuk sementara kita tinggalkan persamaan (29) dan kita berikan perhatian kepada persamaan (30). Tampak bahwa komponen tangensial secara definisi menjadi nol. Menggunakan (21) kita dapatkan bahwa

dLz = d (r2 d) = 2r dr d + r2 d2 = r (2 dr d + r d2) = r (0) = 0 (31)

yang menunjukkan bahwa momentum angular benda yang bergerak dibawah pengaruh medan gaya sentral tidak berubah terhadap waktu atau kekal. Ini yang disebut dengan hukum kekekalan momentum angular. Selanjutnya besaran momentum angular bersama dengan energi total sistem bersifat kekal dan digabung menjadi hukum kekekalan energi momentum.

Kini kita kembali kepada persamaan (29) yang tidak lain adalah persamaan gerak sistem benda yang berada dibawah pengaruh medan gaya sentral

d2r – r dd + r –2 = 0 (32)

Persamaan kedudukan benda dapat diturunkan dengan memecahkan persamaan diferensial orde dua diatas.

Kini kita tengok kembali jika sebuah benda bermassa m bergerak dibawah pengaruh medan gaya sentral F(r) akan bergerak sejauh dr akan melakukan kerja sebesar

W = ∫F(r)

.

dr = ∫ –  m r –2er

.

dr (33)

Untuk ruas tengah persamaan (33) kita dapat langsung menggunakan hasil (24) sementara ruas kanan persamaan (33) akan kita hitung sekarang

½ m (dr)2 + ½ m r2 (d)2 + E’ = m r –2er

.

dr

½ m (dr)2 + ½ m r2 (d)2 + E’ = m r –2er

.

(dr er + r d e) ½ m (dr)2 + ½ m r2 (d)2 + E’ = m r –2 dr = – m (– ½ r –1) + E”

½ m (dr)2 + ½ m r2 (d)2 m r –1 = E (34)

dimana E adalah energi total sistem yang biasa disebut dengan persamaan gerak sistem benda dibawah pengaruh gaya sentral. Mengingat bahwa kita memiliki satu besaran yang juga kekal kita dapat mengubah bentuk persamaan (34) menggunakan (21) dan membagi masing – masing suku dengan 2/m menjadi

Lz–2 (dr)2 + r–2 – 2  Lz–2r –1 = 2Em–1 Lz–2 (35)

Kini kita definisikan sebuah fungsi  berbentuk

 = r–1 Lz–2 (36)

(7)

d = – r–2 dr (37)

Substistusikan (21) kepada (37) dan kuadratkan kedua ruasnya sehingga diperoleh

(d d–1)2 = (Lz–1 )2 (dr)2 (38)

Kemudian kita substitusikan kembali kepada (35) bersama dengan (36) sehingga didapatkan bentuk persamaan diferensial orde pertama rank dua

(d d–1)2 + 2 = 2Em–1 Lz–2 + 2 Lz–4 (39)

yang memiliki solusi umum berbentuk

 = H cos ( + ) (40)

dimana

H = [2Em–1 Lz–2 + 2 Lz–4]1/2 (41)

dan  adalah konstanta integrasi. Bila persamaan (40) dan (41) kita kembalikan kepada (36) kita akan mendapatkan

Lz2–1

r = --- (42)

1 + [1 + 2Em–1 Lz2–2 ]1/2 cos ( + )

yaitu persamaan gerak benda bermassa m dibawah pengaruh medan gaya sentral. Tampak dalam persamaan bahwa karakteristik gerak benda tergantung kepada besar E (energi total sistem), m massa benda, Lz (momentum angular) dan  (kuat sumber medan gaya).

Orbit Dua Benda

Hukum gravitasi Newton menyatakan bahwa pada dua buah benda bermassa m di r1dan M di r2 akan bekerja gaya tarik gravitasi diantara keduanya yang besarnya berbanding lurus dengan m dan M dan berbanding terbalik atas kuadrat jarak r = r1 – r2 antara kedua benda atau secara matematis dituliskan

d2 m M

F12 = m ---- r1 = – G --- (r1 – r2) (43) dt2 |r1 – r2|3/2

yaitu gaya yang diderita massa m karena massa M dan

d2 M m

F21 =M ---- r2 = – G --- (r2 – r1) (44)

(8)

yaitu gaya yang diderita massa M karena massa m atau secara terpadu

Perhatikan bahwa ruas kanan persamaan (45) memiliki kesamaan dengan medan gaya sentral dimana

 = G (m + M) (46)

yang menunjukkan bahwa  adalah jumlah massa sistem dua benda. Jika (46) kita substitusikan kembali kepada (42) kita akan memperoleh solusi umum persamaan gerak sistem dua benda dibawah pengaruh medan gravitasi

Lz2(G(m+M))–1

r() = --- (47) 1 + [1 + 2Em–1 Lz2(G(m+M))–2 ]1/2 cos ( + )

Titik pusat massa sistem dua benda adalah

m r1 + M r2

rc = --- (48)

m + M

Untuk mendapatkan solusi lebih lengkap kita dapat meninjau dalam empat kemungkinan kasus: a) Titik acuan berada pada titik pusat massa rc = 0 dan karena r = r1 – r2 maka m(r + r2) = – M r2

atau r2 = – (m/(m + M)) r dan r1 = (M/(m+M)) r dimana r = r erdan r memenuhi persamaan (47).

b) Titik acuan berada pada massa m, r1 = 0 dan karena r = r1 – r2 maka r2 = – r dan rc = – (M/(m+M)) r dimana r = r er dan r memenuhi persamaan (47). Pengamat berada pada m mengamati gerakan benda M. Misalkan pengamat berada di Bumi (massa m < M) mengamati gerak relatip Matahari (massa M).

(9)

d) Titik acuan tidak berada pada r1, r2 maupun rc Pengamat berada pada suatu titik rx mengamati gerakan benda m dan M yang saling mengorbit. Misalkan pengamat berada di Bumi mengamati gerak sistem bintang ganda.

Persamaan (47) merupakan persamaan ellipsoid

a (1 – e2)

r = --- (49)

1 + e cos 

dimana a = sumbu semi mayor, e = eksentrisitas orbit dan  = sudut orbit. Menggunakan hasil (47) kita dapatkan bahwa

a (1 – e2) = Lz2(G(m+M))–1 (50)

dan

e = [1 + 2Em–1 L

z2(G(m+M))–2 ]1/2 (51)

Case 1 : Harga e = 0

Untuk harga e = 0 maka (49) menjadi r = a. Dengan perkataan lain jari – jari orbit konstan sehingga menciptakan orbit lingkaran. Harga e membuat persamaan (51) dipenuhi hanya apabila E < 0 atau

e = [1 – 2|E|m–1 Lz2(G(m+M))–2 ]1/2 (52)

dan karena e = 0 maka (50) menjadi a = Lz2(G(m+M))–1 sehingga

|E| = ½ Lz–2 m(G(m+M))2 = ½ a–1 m(G(m+M)) (53)

dan

Lz = (a G(m+M))1/2 (54)

Case 2 : Harga 0 < e < 1

Untuk 0 < e < 1, berlaku (52) yaitu e = [1 – 2|E|m–1 Lz2(G(m+M))–2 ]1/2, dimana E < 0 sehingga

|E| < ½ a–1 m(G(m+M)) (53)

Orbit akan berbentuk ellips dengan eksentrisitas 0 < e < 1. Jari – jari orbit maksimum terjadi pada

(10)

ORBIT LINGKARAN

Untuk harga e = 1 dipenuhi bilamana E = 0 sehingga persamaan

½ (dr)2 + ½ r2 (d)2 = G (m + M) r –1 (54)

(11)

Sistem Orbit Bumi – Matahari

Bumi mengorbit Matahari dalam suatu orbit elipsoid. Misalkan massa Matahari dilambangkan dengan M sedangkan massa Bumi dilambangkan dengan m. Pengamat di Bumi akan mengamati Matahari ’seolah – olah’ mengelilingi Bumi. Bila kedudukan pengamat adalah di Matahari maka r1 = 0 dan karena r = r1 – r2 maka r = – r2 dimana r2 adalah kedudukan Bumi relatip terhadap Matahari. Kedudukan Bumi dapat dihitung menggunakan persamaan (47) yaitu

Lz2(G(m+M))–1

r() = --- (55) 1 + [1 + 2Em–1 Lz2(G(m+M))–2 ]1/2 cos ( + )

dimana G = 6.668 x 10–8 dyne cm2 g–2, m = 5.9737 x 1024 kg, M = 1.98892 x 1030 kg, sumbu periapsis Bumi = 147.098.074 km dan sumbu apsis Bumi = 152.097.701 km. Peripasis terjadi pada + = 0 dan apsis terjadi pada + = 2 Dengan demikian kita dapat menghitung Lz dan E dari sistem orbit Bumi – Matahari. Jari – jari periapsis

Lz2(G(m+M))–1

Menggunakan kedua data kita dapat menghitung a dan e

(ra – rp) (1,52097701 x 1013 – 1,47098074 x 1013)

e = --- = --- = 0.01671022 (58) (ra + rp) (1,52097701 x 1013 + 1,47098074 x 1013)

a = ½ (ra + rp) = ½ (1,52097701 x 1013 + 1,47098074 x 1013) = 1.49597888 x 1013 cm (59) Selanjutnya kita juga dapat menghitung Lz dan E dari sistem orbit Bumi – Matahari

(12)

ORBIT BUMI - MATAHARI

-2.00 -1.50 -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00

X (X 1013) cm

Untuk menentukan periode orbit kita kembali menggunakan persamaan (21)

Lz = r2 d (62)

Kemudian kedua ruas kita integrasikan terhadap dt (ruas kanan karena sesungguhnya dq adalah dq/dt maka dt tidak nampak dalam integrasi) memberikan

∫ Lz dt = ∫r2 d (63)

Selanjutnya karena Lz konstan (bukan merupakan fungsi waktu) maka kita akan mendapatkan

Lz (P – 0) = ∫r2 d (63)

dimana P adalah periode orbit sistem dua benda.

P = (Lz–1)∫r2 d (64)

Karena ruas kiri (64) adalah lama waktu tempuh dalam 1 periode orbit sedangkan ruas kanan menunjukkan luas bidang sapuan maka ruas kanan sesungguhnya akan selalu sama dengan laus elips (luas bidang orbit) maka

P = (Lz–1) 2  a2 (1 – e2)1/2 (65)

dan karena Lz = a1/2 G1/2 (m+M)1/2 (1 – e2)1/2 maka

(13)

yang merupakan hukum Kepler tentang perbandingan orbit planet. Untuk sistem orbit Matahari

Kini kita juga dapat menentukan kecepatan orbit Bumi. Untuk itu kita menggunakan persamaan

a (1 – e2)

r = --- (68)

1 + e cos 

Lalu kita diferensiasikan terhadap dt sehingga diperoleh kecepatan radial

(14)

Karakteristik kecepatan orbit Bumi – Matahari

Maksimum Minimum

Radial Velocity (km s–1) 0.49768 -0.49768

Tangential Velocity (km s–1) 30.27203 29.27695

Orbit Velocity (km s–1) 30.27203 29.27695

Appendix A

Persamaan Kerucut Terpancung

Sebuah kerucut dengan luas alas adalah a2 dan tinggi h dipancung dengan sudut kemiringan  terhadap alas akan memberikan sebuah penampang bidang irisan berbentuk ellips dengan garis tinggi kerucut memotong bidang di titik yang disebut titik fokus ellips.

Gambar – 1

Garis AC adalah sumbu semi mayor ellips yang terletak pada bidang irisan kerucut. Sudut bidang irisan kerucut dengan alas kerucut adalah  sehingga sumbu apastron ellips = AB = a / cos  dan sumbu periastron ellips = BC. Sudut puncak kerucut adalah 2 sehingga tg  = a/h.

Menggunakan rumus segitiga kita punya

sin (90 – ) sin (180 – ( + ))

--- = --- (A01) a/ cos  + BC 2a

sehingga

2 sin (90 – ) 1

(15)

dan sumbu semi mayor menjadi

dan dengan demikian kita dapat menemukan harga e. Kurangkan (A05) terhadap (A04) kita dapatkan

sin (90 – ) 1

a (– --- + ---) = Ae (A06) sin (180 – ( + )) cos 

Selanjutnya harga e diperoleh dengan membagi (A06) terhadap (A03) menjadi

Gambar

 Gambar – 1

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya permasalahan air maka perlu adanya cara untuk memecahkan bagaimana kebutuhan akan air bersih bisa tersedia dan tercukupi sehingga perlu dibuat alat

Hasil penelitian terhadap tujuh pasang tuna wicara di kota Banjarmasin, tentang upaya yang dilakukan dalam membentuk keluarga sakinah adalah semua responden berusaha

[r]

Dari suatu deret geometri yang rasionya 2 diketahui jumlah 10 buah suku pertama sama dengan 3069.. Hasil kali suku ke 4 dan ke 6 dari

Suhu optimal proses SFS adalah 38°C, yang merupakan perpaduan suhu optimal hidrolisis (45–50°C) dan suhu optimal fermentasi (30°C). Proses SFS memiliki keunggulan

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah penerapan model pembelajaran pembangkit argumen

Analisis untuk ketahanan algoritma SHA-1 dan SHA-3 terhadap serangan dilakukan dengan cara memperhatikan dan membandingkan seluruh hasil dari pengujian yang telah

Jumlah perusahaan manufaktur yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 71 perusahaan dengan tingkat signifikansi 0,05 (5%), maka dapat ditarik