EVALUASI PADANG PENGGEMBALAAN ALAMI
MARONGGELA DI KABUPATEN NGADA
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
FREDERIKUS GABA SIBA 1491361012
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai
dari sumber daya alam yang diperbaharui dan yang tidak dapat diperbaharui.
Dengan potensi tanah yang berbeda kandungannya serta lahan yang luas,
menjadikan tanaman bisa tumbuh di berbagai tempat dan kondisi yang
berbeda-beda pula. Tetapi dengan kondisi yang sekarang ini, lahan di Indonesia sebagian
besar tidak diolah dengan baik dan kebutuhan konsumsi pakan untuk ternak di
Indonesia belum terpenuhi sehingga masih harus mengimpor pakan untuk ternak.
Pakan merupakan faktor yang sangat penting diperhatikan dalam usaha
budidaya ternak karena mempengaruhi tinggi rendahnya produksi ternak. Pakan
utama (pokok) ternak ruminansia adalah hijauan yang dapat berupa
rumput-rumputan maupun legume. Sekitar 60 sampai 90 persen dari total ransum yang
dikonsumsi ternak ruminansia berupa hijauan. Oleh karenanya, ketersediaan
pakan hijauan dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang baik merupakan
syarat yang harus dipenuhi dalam meningkatkan produksi ternak ruminansia.
Salah satu sumber pakan hijauan yang penting adalah padang
penggembalaan alami. Pemanfaatan padang penggembalaan alami sebagai sumber
pakan sudah lama dilakukan oleh peternakan kecil di perdesaan. Untuk
menggembalakan ternaknya pada padang penggembalaan alami yang berada di
sekitar tempat tinggal peternak. Pada kenyataannya, sistem pemeliharaan ternak
ruminansia dengan cara tersebut cenderung menghasilkan produksi yang relatif
rendah.
Ada beberapa faktor penyebab rendahnya produksi ternak dengan sistem
pemeliharaan tersebut di atas, yaitu : 1) rendahnya kualitas padang
penggembalaan alami 2) jumlah ternak yang dipelihara pada padang
penggembalaan alami tersebut tidak sesuai dengan kapasitas tampung dan 3)
keadaan dari tanah di padang penggembalan. Tinggi rendahnya kualitas suatu
padang penggembalaan berkaitan erat dengan komposisi botanis (tumbuhan) yang
terdapat pada padang penggembalaan tersebut dan kesuburan tanah di padang
penggembalaan. Sedangkan padatnya ternak yang dipelihara menyebabkan
ketersediaan pakan hijauan yang terdapat pada padang penggembalaan alami
tersebut tidak mencukupi kebutuhan seluruh ternak yang digembalakan.
Kabupaten Ngada terletak di Pulau Flores bagian barat, Provinsi Nusa
Tenggara Timur tepatnya pada koordinat 8o LS – 9o LS dan 120,45o BT –
121,5 o BT, dengan luas wilayah 1.620,92 km2. Bagian utara berbatasan dengan
Laut Flores, bagian selatan berbatasan dengan Laut Sawu, bagian timur
berbatasan dengan Kabupaten Nagekeo dan bagian barat berbatasan
dengan Kabupaten Manggarai Timur.
Wilayah administratif Kabupaten Ngada telah berkembang dari tahun ke
tahun sesuai dengan perkembangan kependudukan. Kabupaten Ngada terdiri dari
Riung 327,94 km2 atau 20,23% dari keseluruhan luas wilayah Kabupaten
Ngada. Jarak antara Ibukota Kecamatan ke Ibukota Kabupaten yang terletak di
Bajawa yang terjauh adalah Maronggela (Kecamatan Riung Barat) 74 km.
Secara topografi Kabupaten Ngada terdiri dari daerah pantai, lembah,
daerah perbukitan dan pegunungan dan memiliki ketinggian dari 0 meter
sampai lebih dari 2000 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan ketinggian
terhadap permukaan laut wilayah Kabupaten Ngada dapat diklasifikasikan
menjadi : Dataran tinggi yang ditandai dengan adanya gunung-gunung seperti,
gunung Inerie dengan ketinggian 2.245 m, Gunung Lobo Butu dengan
ketinggian 1.800 m, Gunung Inelika dengan ketinggian 1600 m serta adanya
pegunungan lainnya yang tersebar di wilayah Kabupaten Ngada. Dengan
adanya sejumlah gunung tersebut, maka Kabupaten Ngada banyak memiliki
daerah yang cukup curam serta daerah yang dikategorikan cukup terpencil.
Dataran rendah yang ditandai oleh sebagian besar terdapat di wilayah
pantai selatan seperti di Kecamatan Aimere dan sekitarnya. Bagian tengah
dengan dataran kecamatan So’a, Kecamatan Wolomeze, Kecamatan Bajawa
Utara, dan bagian utara yang terbentang dari Kecamatan Riung Barat sampai
dengan Kecamatan Riung. (Ngada Dalam Angka, 2009)
Kabupaten Ngada merupakan daerah perbukitan dengan rata- rata tingkat
kemiringan tanah sebesar 15 – 25%. Oleh karena itu, wilayah dataran tinggi atau
perbukitan menyebabkan akses transportasi cukup sulit. Jenis tanah Mediteran
seluas 156.288 ha (51,44%), tanah Latosol seluas 69.750 ha (22,97%), tanah
Jenis batuan terdiri dan batuan Intrusi Granodiorit seluas 3.873 ha (1,24%),
batuan Marl dan Tuff seluas 19.285 ha (6,35%), batuan Andesit seluas 197.809
ha (65,11%) dan batuan Pasir dan Karang Pantai seluas 21.780 ha (7,17%). Data
BPS kab. Ngada (Tahun 2014)
Kabupaten Ngada tergolong daerah yang beriklim tropis dan terbentang
hampir sebagian besar padang rumput, juga ditumbuhi pepohonan seperti kemiri,
asam, kayu manis, lontar dan sebagainya serta kaya dengan fauna, antara lain
hewan-hewan besar, hewan-hewan kecil, unggas. Cuaca di Kabupaten Ngada
sangat bervariasi. Untuk beberapa tempat di daerah pesisir pantai sampai 250
meter di atas permukaan laut bersuhu panas. Berdasarkan hasil pencatatan dari
station pengamat yang ada di daerah ini, bahwa diketahui volume curah hujan
pada tahun 2010 di kabupaten Ngada sebesar 1.885 mm dan jumlah hari hujan
sebanyak 133 hari.
Adapun luas lahan pertanian yang tersedia pada Tahun 2010 seluruhnya
seluas 177.672 ha, terbagi atas lahan kering 171.157 ha dan lahan basah 6.515 ha
dengan tiga komoditas unggulan daerah, yaitu tanaman pisang kapok Ngada,
ternak sapi potong dan kopi arabika Flores Bajawa (BPS Kabupaten Ngada,
2014).
Luas lahan pertanian Kabupaten Ngada sekitar 6.515 ha, persentase luas
lahan yang telah ditanami padi sekitar 60% sedangkan 40% tidak ditanami
padi. Luas sawah di Kabupaten Ngada sekitar 162.092 ha, yang terdiri dari lahan
sawah 6.515 ha (4.02%) dan Lahan kering 155.577 ha (95.98%). Kelompok
Wilayah Kabupaten Ngada bagian utara yaitu masing-masing Kecamatan
Bajawa Utara, Kecamatan Soa, Kecamatan Wolomeze, Kecamatan Riung dan
Kecamatan Riung Barat, sangat potensial untuk mengembangkan ternak, baik
dengan sistem Mini Ranch, penggemukan, maupun untuk pembibitan ternak
sapi, kerbau, kuda, kambing dan domba.
Populasi ternak sapi di Kabupaten Ngada sebesar 25.296 ekor (Dinas
P3 Kab. Ngada, 2014). Kabupaten Ngada memiliki luas padang penggembalaan
sebesar 17.393 ha. Kecamatan Riung Barat yang merupakan kecamatan di
Kabupaten Ngada yang memiliki populasi ternak sapi sebesar 1.937 ekor
dengan padang penggembalaan terluas yaitu sebesar 2.250 ha.
Sistem pemeliharaan ternak dilakukan secara ekstensif berbasis padang
penggembalaan. Dengan demikian, langkah yang dapat ditempuh dalam
meningkatkan produksi ternak ruminansia yang dipelihara di Kabupaten Ngada
adalah dengan memperbaiki komposisi botanis sehingga kualitas padang
penggembalaan alami menjadi meningkat serta pengaturan penggembalaan
ternak pada padang penggembalaan alami sesuai dengan kapasitas tampungnya.
Upaya untuk memperbaiki komposisi botanis dan peningkatan kapasitas tampung
padang penggembalaan alami dapat dilakukan dengan perbaikan komposisi
botanis dan kapasitas tampung di lapangan serta penerapan teknologi tepat guna
Sampai saat ini evaluasi mengenai padang penggembalaan sudah
dilakukan di beberapa Kabupaten di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan studi yang
sama di Kabupaten Ngada belum pernah dilakukan. Oleh karenanya, dalam upaya
melengkapi informasi mengenai evaluasi padang penggembalaan perlu dilakukan
studi “evaluasi padang penggembalaan alami Maronggela di Kabupaten Ngada
Provinsi Nusa Tenggara Timur.
1.2Rumusan Masalah :
1. Bagaimanakah keberagaman dan produksi hijauan (rumput dan legum)
pada padang penggembalaan alami Maronggela di Kabupaten Ngada.
2. Bagaimanakah kualitas hijauan dan kandungan unsur hara tanah padang
penggembalaan alami Maronggela di Kabupaten Ngada.
3. Bagaimanakah kapasitas tampung padang penggembalaan alami
Maronggela di Kabupaten Ngada.
1.3Tujuan Penelitian ini adalah :
1.3.1 Tujuan Umum
Menyediakan database tentang kondisi padang penggembalaan serta
pengelolaan padang penggembalaan yang baik di Kabupaten Ngada.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui spesies dan produksi hijauan yang terdapat pada padang
penggembalaan alami Maronggela di kabupaten Ngada.
2. Mengetahui kualitas hijauan dan kandungan unsur hara tanah padang
3. Mengetahui kapasitas tampung pada padang penggembalaan alami
Maronggela yang ada di Kabupaten Ngada.
1.4 Manfaat Penelitian :
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Mendapatkan jenis spesies dan produksi hijauan padang penggembalaan
alami Maronggela di Kabupaten Ngada.
2. Mendapatkan komposisi botani di padang penggembalaan alami
Maronggela Kabupaten Ngada.
3. Peternak Kabupaten Ngada dapat memahami daya tampung dari padang
penggembalaan sehingga ternak yang digembalakan tercukupi kebutuhan
pakannya dan tidak terjadi kerusakan pada padang penggembalaan itu
sendiri.
4. Memberikan informasi kepada peternak di Kabupaten Ngada tentang
jenis- jenis rumput dan legume yang cocok serta memiliki kandungan
nutrisi yang baik untuk dikembangkan di padang penggembalaan sehingga
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Padang Penggembalaan
Dalam bahasa Inggris, hal-hal yang berkaitan dengan penggembalaan
disebut pastoral. Ekosistem ini terdiri atas peternak (pastoralist) dan hewan
ternak. Adapun padang penggembalaan disebut ekosistem pastoral (Iskandar,
2001). Lebih lanjut dijelaskan bahwa masyarakat peternak (pastoralist society)
merupakan bagian integral yang sangat penting dalam ekosistem pastoral ini.
Berbagai aktifitas peternak itu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan
sekitarnya. Hadi (2002) menyebutkan sistem padang penggembalaan merupakan
kombinasi antara pelepasan ternak di padang penggembalaan bebas dengan
pemberian pakan. Sistem penggembalaan bebas di Indonesia hanya ditemukan di
wilayah timur Indonesia dimana terdapat areal padang rumput alami yang luas.
Menurut Reksohadiprodjo (1994) padang penggembalaan adalah suatu
daerah padangan dimana tumbuh tanaman makanan ternak yang tersedia bagi
ternak dan dapat merenggutnya menurut kebutuhannya dalam waktu singkat.
Padang penggembalaan adalah tempat atau lahan yang ditanami rumput unggul
dan atau legume (jenis rumput/ legume yang tahan terhadap injakan ternak) yang
digunakan untuk menggembalakan ternak (Yunus, 1997). Sistem penggembalaan
adalah pemeliharaan ternak sapi yang dilaksanakan dengan cara ternak
digembalakan di suatu padang penggembalaan yang luas, terdiri dari padang
penggembalaan rumput dan leguminosa (Tandi, 2010). Sistem padang
penggembalaan bebas dengan pemberian pakan. Padang penggembalaan tersebut
bisa terdiri dari rumput atau legume. Tetapi suatu padang penggembalaan yang
baik dan ekonomis adalah yang terdiri dari campuran rumput dan leguminosa
(Hadi, 2002).
2.1.1 Macam-macam Padang Penggembalaan
Berdasarkan vegetasinya padang penggembalaan digolongkan dalam
beberapa macam di antaranya :
2.1.1.1 Padang Penggembalaan Alami
Padang penggembalaan yang terdiri dari tanaman yang berupa rumput
parennial, produktivitas rendah, floranya relatif belum tersentuh oleh manusia
(McLlroy, 1976). Menurut Reksohadiprojo (1994) padang penggembalaan alami
tidak ada pohon, belum terjadi campur tangan manusia, manusia hanya
mengawasi ternak yang digembalakan, banyak terdapat gulma, daya tampung
rendah.
2.1.1.2 Padang Penggembalaan Buatan
Padang penggembalaan yang vegetasinya sudah dipilih/ditentukan dari
varietas tanaman yang unggul. Menurut Reksohadiprodjo (1994) Padang
penggembalaan adalah tanaman makanan ternak dalam pandangan telah ditanam,
disebar, dan dikembangkan oleh manusia. Padangan dapat menjadi padangan
2.1.1.3 Padang Penggembalaan yang Telah Diperbaiki
Spesies-spesies hijauan makanan ternak dalam padangan belum ditanam
oleh manusia, tetapi manusia telah mengubah komposisi botaninya sehingga
didapat spesies yang produktif dan menguntungkan dengan jalan mengatur
pemotongan/defoliasi (Reksohadiprodjo, 1994)
2.1.1.4 Padang Penggembalaan dengan Irigasi
Padang penggembalaan ini biasanya terdapat di daerah sepanjang aliran
sungai atau dekat dengan sumber air. Penggembalaan ternak dijalankan setelah
padang penggembalaan menerima pengairan selama 2-4 hari (Reksohadiprodjo,
1994).
1.2Faktor yang Mempengaruhi Kualitas dan Keberagaman Padang Penggembalaan
2.2.1 Air
Air yang terbatas mempengaruhi fotosintesis dan perluasan daun pada
tanaman karena tekanan air mempengaruhi pembukaan pada stomata perluasan sel
(Setyati, 1991). Air berfungsi untuk fotosintesis, penguapan, pelarut zat hara dari
atas ke daun. Jika ketersediaan air terpenuhi maka seluruh proses metabolisme
tubuh tanaman berlangsung, berdampak produksi tanaman tinggi.
2.1.2 Intensitas Sinar
Intensitas sinar di bawah pohon atau tanaman pertanian tergantung pada
bermacam-macam tanaman, umur, dan jarak tanam, selain waktu penyinaran.
Keadaan musim dan cuaca juga berpengaruh terhadap intensitas sinar yang jatuh
2.1.3 Spesies
Kemampuan suatu tanaman untuk beradaptasi dengan lingkungan dan
faktor genetik berpengaruh pada produktivitas tanaman tersebut. Tanaman satu
dengan tanaman lain mempunyai tingkat adaptasi dan genetik yang berbeda-beda.
2.1.4 Temperatur
Tanaman memerlukan temperatur yang optimum untuk melakukan
aktivitas fotosintesis. Temperatur tanah berpengaruh terhadap proses biokimia
dimana terjadi pelepasan nutrien tanaman dan berpengaruh juga pada absorbsi air
dan nutrien.
2.1.5 Curah Hujan
Curah hujan berpengaruh pada produksi bahan kering yang dihasilkan oleh
hijauan pakan. Semakin tinggi curah hujan maka produksi bahan keringnya akan
semakin tinggi namun komposisi air dalam pakan meningkat.
2.1.6 Tanah
Tanah berfungsi sebagai pendukung pertumbuhan tanaman sebagai
sumber hara dan mineral, kesuburan tanah juga ditentukan oleh kelarutan zat hara,
pH, kapasitas pertukaran kalori, tekstur tanah dan jumlah zat organiknya. Menurut
Kartasapoetra et al. (2005) Tanah dibagi beberapa jenis sebagai berikut :
Kelas I
Hampir tidak ada faktor pembatasnya, hanya memerlukan sedikit perhatian untuk
memperbaiki tanah jenis ini. Namun, jika tidak adanya perawatan maka tanah ini
akan turun menjadi kelas 2. Tanah ini cocok ditanami berbagai jenis tumbuhan,
Kelas 2
Ciri-ciri tanah kelas 2 : kedalaman permukaan sekitar 36 inchi, kemiringan lereng
sekitar 5%, gejala erosi masih ringan, lapisan tanah permukaan bersifat lempung
dan berpasir, kesuburan tanah sedang.
Kelas 3
Mempunyai ciri bahwa tanah ini mampunyai kesuburan yang kurang baik, tanah
berpasir ringan (light sandy soil), tingkat kemiringan 15%, lapisan tanah (top soil)
tipis.
Kelas 4
Ciri dari tanah ini adalah belereng terjal, tanah ini ditumbuhi tanaman berumput,
membuat parit, tanah ini tidak cocok untuk usaha pertanian.
Kelas 5
Tanah jenis ini adalah tanah yang hampir datar, tidak memiliki gejala erosi. Untuk
memperbaiki sebaiknya ditanami tanaman yang berumur 1-2 tahun.
Kelas 6
Tanah jenis ini bagus untuk ditanami pohon dan buah-buahan, asalkan tanaman
penutupnya dirawat dengan baik. Banyak digunakan untuk padang
penggembalaan.
Kelas 7
Tanah jenis ini biasanya berada pada lereng yang berkisar memiliki kemiringan
45%-50%. Tanah jenis ini tidak cocok ditanamai untuk pertanian, kecuali untuk
Kelas 8
Tanah jenis ini sebaiknya dijadikan hutan lindung, karena unsur haranya sangat
sedikit dan memiliki faktor pembatas yang banyak.
2.3 Optimalisasi Padang Penggembalaan
2.3.1 Perbaikan Lahan
Syarat padang penggembalaan yang baik adalah produksi hijauan tinggi
dan kualitasnya baik, persistensi biasa ditanam dengan tanaman yang lain yang
mudah dikembangbiakkan. Pastura yang baik nilai cernanya adalah pastura yang
tinggi canopinya yaitu 25 – 30 cm setelah dipotong (Utomo et al., 1983). Biota
tanah sangat sensitif terhadap gangguan oleh adanya aktivitas manusia, sebagai
contoh adanya sistem pertanian yang intensif, karena intensifikasi pertanian
menyebabkan berubahnya beberapa proses dalam tanah. Kegiatan pertanian yang
dimaksud antara lain adalah penyiangan, pemupukan, pengapuran, pengairan dan
penyemprotan herbisida dan insektisida. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk
mempersiapkan kualitas padang penggembalaan yang unggul (Noordwijk dan
Kurniatun, 2006). Tanah jenis VI biasanya tidak terpakai dan mempunyai unsur
hara yang rendah. Rumput-rumput yang tumbuh adalah rumput perennial yang
dapat tumbuh sepanjang tahun. Sebagian tumbuh tegak dan sebagian lagi
merambat dengan produktivitas yang relatif rendah. Dalam hal ini tanah yang
dipakai adalah tanah kelas VI yang kurang diminati sebagai lahan pertanian.
Sehingga bisa digunakan sebagi padang penggembalaan. Namun, tanah jenis ini
mempunyai tingkat kesuburan tanah yang rendah. Kesuburan tanah alami sangat
Semakin tinggi cadangan hara tanah, semakin tinggi pula tingkat kesuburan
tanahnya (Suharta, 2010). Karena tanah jenis VI memiliki nutrisi atau unsur hara
yang rendah maka perlu dilakukan adanya perbaikan. Diantaranya yaitu dengan
pembersihan lahan dan pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang maupun
kompos akan sangat bermanfaat bagi kondisi fisik tanah tersebut, karena akan
memperbaiki struktur tanah. Disamping itu dapat pula diberikan pupuk anorganik
seperti KCl, Sp-36 dan urea, disesuaikan dengan jenis tanah setempat (Hardiatmi,
2008). Bisa juga dipupuk menggunakan pupuk organik yang terbuat dari kotoran
sapi yang dihasilkan saat digembalakan.
2.3.2. Tatalaksana
Teknis pengembangan usaha sapi potong memakai sistem padang
penggembalaan: Sistem pertanaman campuran antara rumput dan leguminosa,
keuntungannya dibandingkan sistem pertanaman murni, yaitu leguminosa ditanam
bersama rumput-rumput untuk keuntungan rumput-rumput tersebut, karena
leguminosa lebih kaya akan kandungan nitrogen dan kalsium (kapur)
dibandingkan dengan rumput-rumput, dan menaikkan gizi padang
penggembalaan.
Penggembalaan dilakukan secara bergilir, dimana padang penggembalaan
dibagi dalam beberapa petakan, tujuan cara penggembalaan bergilir adalah untuk
menggunakan padang penggembalaan pada waktu hijauan masih muda dan
bernilai gizi tinggi serta memberikan waktu yang cukup untuk tumbuh kembali.
Jenis rumput yang akan berada pada padang penggembalaan yaitu yang tahan
ternak sapi adalah sistem semi intensif, dimana dilakukan pada pagi hari (jam
10.00 – 16.00) ternak digiring ke padang penggembalaan dengan sistem
penggembalaan bergilir. Pada sore hari ternak digiring kembali ke kandang dan
diberi pakan hijauan rumput potong (rumput gajah). Kegiatan pembersihan
kandang dilakukan pada pagi hari, kotoran ternak ditampung pada lubang yang
telah disediakan sebagai tempat penampungan kotoran. Usaha pengembangan sapi
potong ini dapat diintegrasikan dengan usaha pemanfaatan kotoran sapi menjadi
pupuk organik (Rusmadi, 2007). Pemanfaatan pupuk yang berasal dari kotoran
sapi juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Sistem penggembalaan adalah pemeliharaan ternak sapi potong yang
dilaksanakan dengan cara ternak digembalakan di suatu padang penggembalaan
yang luas, terdiri dari padang penggembalaan rumput dan leguminose.
Keuntungannya yaitu: 1. Hemat biaya dan tenaga, 2. Mengurangi penggunaan
feed supplement protein, 3. Menyebarkan pupuk, 4. Tidak memerlukan kandang
khusus, dan kekurangannya adalah a. Harus memiliki lahan yang cukup luas, b.
Pada saat kemarau kekurangan pakan baik dari kuantitas dan kualitasnya, c.
Memerlukan tempat berteduh dan sumber air, d. Banyak mengeluarkan energi
karena ternak harus jalan, e. Produktivitas ternak kurang maksimal dengan lama
2.4 Komposisi Botani
Padang penggembalaan yang baik mempunyai komposisi botani 50%
rumput dan 50% legume. Besarnya kadar air dan bahan kering yang harus dimiliki
oleh suatu padangan adalah 70 – 80% untuk kadar air dan bahan keringnya 20 –
30% (Susetyo, 1980).
Alat yang digunakan dalam metode ini adalah kuadran persegi yang
berukuran 1 m x 1 m. Metode pengukuran kualitas hijauan untuk komposisi
botani yaitu dengan menggunting atau disabit sebagian pasture kemudian
dianalisis untuk mendapatkan berapa banyak bahan kering, lemak kasar ataupun
nutrien – nutrient yang lainnya yang disajikan dalam penggembalaan.
(Reksohadiprodjo, 1994).
2.5 Kualitas Hijauan Pada Padang Penggembalaan
Kualitas hijauan ditentukan dengan analisis nilai nutrien meliputi bahan
kering (BK), protein kasar (CP), energy (E), serat kasar (SK), kalsium (Ca), abu
fosfor (P).
2.5.1 Bahan Kering (BK)
Dry matter atau bahan kering merupakan salah satu hasil dari pembagian
fraksi yang berasal dari bahan pakan setelah dikurangi kadar air, dalam analisa ini
menggunakan alat yang berupa oven 105 0C, timbangan analitik, cawan porselin,
eksikator dan penjepit. Masing – masing dari alat ini mempunyai fungsi sesuai
dengan kebutuhan dalam analisa bahan kering seperti misalnya cawan porselin
digunakan untuk tempat sampel yang akan dianalisa setelah penimbangan. Oven
air. Pada prinsipnya dalam analisa bahan kering ini adalah dengan pemanasan
menggunakan oven 105 0C selama 4 jam dengan sampel 1-2 gram diharapkan
kadar air dalam bahan pakan akan menguap sehingga yang tersisa hanyalah bahan
kering dan cawan. Untuk mendapatkan hasil dari bahan kering makan bahan
kering dan oven dikurangi dengan berat cawan pertama kali ditimbang sebelum
diberi sampel.
2.5.2 Bahan Organik (BO)
Bahan organik utamanya berasal dari golongan karbohidrat, yaitu BETN
dengan komponen penyusun utama pati dan gula yang digunakan oleh bakteri
untuk menghasilkan asam laktat. Bahan organik yang terkandung dalam bahan
pakan, protein, lemak, serat kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen, sedang bahan
anorganik seperti kalsium, phospor, magnesium, kalium, natrium. Kandungan
bahan organik ini dapat diketahui dengan melakukan analisis proximat dan
analisis terhadap vitamin dan mineral untuk masing masing komponen vitamin
dan mineral yang terkandung didalam bahan yang dilakukan di laboratorium
dengan teknik dan alat yang spesifik.
2.5.3 Protein Kasar (PK)
Protein merupakan salah satu zat makanan yang berperan dalam penentuan
produktivitas ternak. Jumlah protein dalam pakan ditentukan dengan kandungan
nitrogen bahan pakan kemudian dikali dengan faktor protein 6,25. Angka 6,25
diperoleh dengan asumsi bahwa protein mengandung 16% nitrogen. Kelemahan
analisis proksimat untuk protein kasar itu sendiri terletak pada asumsi dasar yang
protein, kenyataannya tidak semua nitrogen berasal dari protein dan kedua, bahwa
kadar nitrogen protein 16%, tetapi kenyataannya kadar nitrogen protein tidak
selalu 16% (Sutardi, 2009). Senyawa-senyawa non protein nitrogen dapat diubah
menjadi protein oleh mikrobia, sehingga kandungan protein pakan dapat
meningkat dari kadar awalnya. Sintesis protein dalam rumen tergantung jenis
makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Jika konsumsi N makanan rendah, maka N
yang dihasilkan dalam rumen juga rendah. Jika nilai hayati protein dari makanan
sangat tinggi maka ada kemungkinan protein tersebut didegradasi di dalam rumen
menjadi protein berkualitas rendah (Tillman at al., 1998).
2.5.4 Serat Kasar
Fraksi serat kasar mengandung selulosa, lignin, dan hemiselulosa
tergantung pada species dan fase pertumbuhan bahan tanaman (Anggorodi, 1994).
Pakan hijauan merupakan sumber serta kasar yang dapat merangsang
pertumbuhan alat-alat pencernaan pada ternak yang sedang tumbuh. Tingginya
kadar serat kasar dapat menurunkan daya rombak mikroba rumen. Cairan
retikulorumen mengandung mikroorganisme, sehingga ternak ruminasia mampu
mencerna hijauan termasuk rumput-rumputan yang umumnya mengandung
selulosa yang tinggi (Tillman at al., 1998). Langkah pertama metode pengukuran
kandungan serat kasar adalah menghilangkan semua bahan yang terlarut dalam
asam dengan pendidihan dengan asam sulfat bahan yang larut dalam alkali
dihilangkan dengan pendidihan dalam larutan sodium alkali. Residu yang tidak
2.5.5 Gross Energi (GE)
Gross energi didefinisikan sebagai energi yang dinyatakan dalam panas
bila suatu zat dioksider secara sempurna menjadi karbondioksida dan air. Tentu
saja karbondioksida dan air ini masih mengandung energi, akan tetapi dianggap
mempunyai tingkat nol karena hewan sudah tidak bisa memecah zat melebihi
karbondioksida dan air. Gross energi diukur dengan alat bomb kalorimeter.
Besarnya energi bruto bahan pakan tidak sama tergantung dari macam nutrient
dan bahan pakan (Sutardi, 2004).
Energi total makanan adalah jumlah energi kimia yang ada dalam
makanan, dengan mengubah energi kimia menjadi energi panas dan diukur jumlah
panas yang dihasilkan. Panas ini diketahui sebagai sumber energi total atau panas
pembakaran dari makanan, bomb kalorimeter digunakan untuk menentukan energi
total dan sampel makanan dipijarkan dengan aliran listrik. Metode ini dipakai
untuk energi total makanan dan produk ekskreta (Tillman, 1993).
Suatu nutrien organik dibakar sempurna sehingga menghasilkan oksida
(CO2 dan air), maka panas yang dihasilkan disebut energi bruto. Guna
menentukan besarnya energi bruto bahan pakan dapat digunakan suatu alat bom
kalorimeter. Besarnya nilai energi bahan pakan tidak sama tergantung dari macam
nutrien dan bahan pakan (Soejono, 2004). Analisis kadar energi adalah usaha
untuk mengetahui kadar energi bahan baku pakan, dalam analisis biasanya
ditentukan energi bruto lebih dahulu dengan membakar sejumlah bahan pakan
sehingga diperoleh hasil-hasil oksidasi yang berupa karbondioksida, air dan gas
baku pakan yang dianalisis (Prasetyastuti, 1988). Energi adalah sumber utama
bagi proses metabolisme dalam tubuh ternak, baik untuk hidup pokok dan
produksi. Kekurangan energi akan menghambat pertumbuhan, dewasa kelamin,
pada sapi laktasi dapat menyebabkan produksi, bobot badan dan gangguan
reproduksi (Sutardi, 2004).
2.6 Penentuan Kapasitas Tampung
Daya tampung atau kapasitas tampung (carrying capacity) adalah
kemampuan padang penggembalaan untuk menghasilkan hijauan makanan ternak
yang dibutuhkan oleh sejumlah ternak yang digembalakan dalam luasan satu
hektar atau kemampuan padang penggembalaan untuk menampung ternak per
hektar (Reksohadiprodjo, 1994). Menurut Parakkasi (1999) konsumsi bahan
kering satu ekor sapi per hari sebesar 3% dari bobot badan. Satu satuan ternak
(ST) setara dengan satu ekor sapi seberat 455 kg (Santosa, 1995). Semakin besar
tingkat produksi hijauan per satuan luas lahan, maka akan semakin tinggi pula
kemampuannya untuk menampung sejumlah ternak. Pada padang penggembalaan
yang baik biasanya mampu menampung sebanyak 2,5 ST/ha/thn. Hal ini sesuai
dengan pendapat Susetyo (1980) yang menyatakan beberapa padang
penggembalaan yang baik mempunyai kapasitas tampung 0,4 hektar untuk 1 ST
atau satu hektar lahan dapat menampung 2,5 ST/thn. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam menentukan kapasitas tampung menurut Subagio dan
1. Penaksiran Kuantitas Produksi Hijauan
Umumnya dilakukan dengan metode cuplikan dengan memakai kuadran
berukuran 1 x 1 m dengan bentuk persegi. Pengambilan sampel di lapangan
dilakukan secara acak. Hijauan yang terdapat di areal kuadran dipotong lebih
kurang 5 – 10 cm diatas permukaan tanah dan ditimbang beratnya.
2. Penentuan Proper Use Factor
Konsep Proper Use Factor (PUF) besarnya tergantung pada jenis ternak
yang digembalakan, spesies hijauan di padangan, tipe iklim setempat serta kondisi
tanah padangannya.
2.7 Kemampuan Klass Pastural
Daya tampung padang penggembalaan tergantung pada kemiringan lahan,
jarak dengan sumber air, kecepatan pertumbuhan/produksi tanaman pakan,
kerusakan lahan, ketersediaan hijauan yang dapat dikonsumsi, nilai nutrisi pakan,
variasi musim, keadaan ekologi padang penggembalaan (Susetyo, 1980).
Kelerengan dinyatakan dalam persentase dan dikelompokkan dalam kelas-kelas
datar sampai agak datar 0-8%, berombak sampai bergelombang 9-15%,
bergelombang 15 - 40% dan berbukit/bergunung >40% (Hakim, 1986).
Menurut Arismunandar (1983) tekstur dinyatakan berdasarkan bandingan
dalam bahan organik, fraksi pasir, debu dan liat dan untuk tanah mineral
dikelompokkan dalam kelas-kelas berpasir, berlempung, berliat dan berdebu.
Sedangkan tanah gambut dibagi menjadi dangkal (<2m) dan gambut dalam
Kemiringan lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng semuanya akan
mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan. Kemiringan lereng dapat
dilihat dari peta topografi dan peta tanah. Kemiringan suatu lereng
dikelompokkan sebagai berikut : datar 0 – 3%, landai atau berombak 3% - 8%,
agak miring atau bergelombang 8% - 15%, miring atau berbukit 15% - 30%, agak
curam 30% - 45%, curam 45% - 65%, sangat curam lebih dari 65% (Jamulya dan
Sunarto, 1991).
2.8 Karakteristik Sapi Bali
Indonesia memiliki sumber plasma nutfah ternak terbaik di dunia, Salah
satunya adalah sapi bali yang merupakan sapi potong asli Indonesia hasil
domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Sapi bali dikenal juga dengan
nama Balinese cow yang kadang-kadang disebut juga dengan nama Bibos
javanicus, meskipun sapi bali bukan satu subgenus dengan bangsa sapi Bos
taurus atau Bos indicus. Berdasarkan hubungan silsilah famili Bovidae,
kedudukan sapi bali diklasifikasikan ke dalam subgenus Bibovine tetapi masih
termasuk genus bos.
Sapi bali terkenal karena keunikan dan keunggulannya dibanding sapi
jenis lain. Sapi bali memiliki banyak sifat unggul diantaranya (reproduksi sangat
baik, mudah beradaptasi dengan lingkungan yang sangat ekstrim, tahan terhadap
penyakit, memiliki daya cerna yang baik terhadap pakan dan persentase karkas
yang tinggi). Tidak heran bila sapi bali merupakan jenis sapi terbaik diantara
Adapun karakteristik sapi bali adalah sebagai berikut:
2.8.1 Penampilan Fisik
Menurut Djagra et al. (2002) secara fisik, sapi bali mudah dikenali karena
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Warna bulu pada badannya akan berubah sesuai usia dan jenis
kelaminnya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada saat masih
pedet, bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah
dewasa sapi bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan
sapi bali betina. Warna bulu sapi bali jantan biasanya berubah dari merah
bata menjadi coklat tua atau hitam setelah sapi itu mencapai dewasa
kelamin sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3
tahun. Warna hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata
kembali apabila sapi bali jantan itu dikebiri.
2. Kaki di bawah persendian telapak kaki depan (articulatio carpo
metacarpeae) dan persendian telapak kaki belakang (articulatio tarco
metatarseae) berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada
bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih
tersebut berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih juga dijumpai
pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Kadang-kadang
bulu putih terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan bintik-bintik
putih) yang merupakan kekecualian atau penyimpangan yang ditemukan
sekitar kurang daripada 1% . Bulu sapi bali dapat dikatakan bagus (halus)
3. Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang.
4. Badan padat dengan dada yang dalam.
5. Tidak berpunuk dan seolah-olah tidak bergelambir
6. Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau.
7. Pada tengah-tengah (median) punggungnya selalu ditemukan bulu hitam
membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal
ekor.
8. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam
9. Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya
untuk jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam.
2.8.2 Pertambahan Bobot Badan
Bobot badan sapi bali sangat responsif terhadap usaha-usaha perbaikan.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertambahan bobot badan adalah jenis
kelamin, perlakuaan,lingkungan dan faktor keturunan. Pada umur 1,5 tahun bobot
sapi bali jantan mencapai 217,9 kg. Apabila disertai dengan pemberian konsentrat
tinggi maka kenaikan bobot badannya dapat mencapai 0,87 kg per hari. Sapi bali
memiliki kemampuan untuk mempertahankan kondisi dan bobot badannya
meskipun dipelihara di padang gembalaan yang kualitasnya rendah. Disamping
itu, kemampuannya mencerna serat dan memanfaatkan protein pakan lebih baik
2.8.3 Reproduksi
Umur dewasa kelamin sapi bali rata-rata 18-24 bulan untuk betina dan
20-26 bulan untuk jantan (Payne dan Rollison, 1973; Pane, 1991), umur kawin
pertama betina 18-24 bulan dan jantan 23-28 bulan, beranak pertama kali 28-40
bulan dengan rataan 30 bulan (Sumbung et al., 1978) dengan lama bunting
285-286 hari (Darmadja dan Suteja, 1975) dan jarak beranak 14-17 bulan (Darmadja
dan Sutedja, 1976) dengan persentase kebuntingan 80-90% dan persentase
beranak 70-85% (Pastika dan Darmadja, 1976; Pane, 1991). Rata-rata siklus
estrus adalah 18 hari, pada sapi betina dewasa muda berkisar antara 20 – 21 hari,
sedangkan pada sapi betina yang lebih tua antara 16-23 hari (Pane, 1979) selama
36 – 48 jam birahi dengan masa subur antara 18 – 27 jam (Pane 1979; Payne,
1971) dan menunjukkan birahi kembali setelah beranak antara 2-4 bulan (Pane,
1979).
Sapi bali menunjukkan estrus musiman (seasonality of oestrus), 66% dari
sapi bali menunjukkan estrus pada bulan Agustus – januari dan 71% dari
kelahiran terjadi bulan Mei – Oktober dengan sex ratio kelahiran jantan : betina
sebesar 48,06% : 51,94% (Pastika dan Darmadja, 1976). Persentase kematian
sebelum dan sesudah disapih pada sapi bali berturut-turut adalah 7,03% dan
3,59% (Darmadja dan Suteja, 1976). Persentase kematian pada umur dewasa
2.8.4 Kualitas Daging dan Karkas
Sapi bali merupakan ternak potong andalan Indonesia. Ternak ini memiliki
persentase karkas yang tinggi, lemaknya sedikit serta perbandingan tulang dan
dagingnya sangat rendah. Sapi bali memiliki sedikit lemak, kurang dari 4%
(Payne dan Hodges, 1997) tetapi persentase karkasnya cukup tinggi berkisar
antara 52-60% (Payne dan Rollinson, 1973) dengan perbandingan tulang dan
daging sangat rendah; komposisi daging 69-71%, tulang 14-17% lemak 13-14%
(Sukanten, 1991).
2.8.5 Keunggulan Sapi Bali
Keunggulan sapi bali tampak pada hidupnya yang sederhana, mudah
dikendalikan dan jinak. Sapi bali dapat hidup dengan memanfaatkan hijauan yang
kurang bergizi, tidak selektif terhadap makanan, dan memiliki daya cerna
terhadap makanan serat yang cukup baik. Kelebihan yang paling mencolok adalah
kemampuan beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan yang kurang
menguntungkan, terutama pada daerah baru yang belum ada ternak sapi atau
belum mengenal budidaya pemeliharaan sapi. Oleh karena sifat inilah sapi bali
sering disebut sebagai sapi perintis atau sapi pelopor.
Sapi bali termasuk ternak dwiguna, yaitu dapat dimanfaatkan sebagai
ternak kerja dan ternak potong. Sebagai ternak kerja, sapi bali tergolong kuat dan
cepat dalam mengerjakan lahan pertanian karena memiliki kaki yang bagus dan
kuat dibandingkan dengan sapi peranakan ongol. Sapi bali yang dapat diandalkan
untuk pembangunan subsektor pertanian ini memiliki beberapa kelemahan yang
tersebut antara lain ukuran tubuhnya relatif kecil, produksi susu rendah sekitar
1-1,5 1/hari sehingga pertumbuhan anak sapi lambat, dan masih tingginya angka
kematian anak pada pemeliharaan secara ekstensif, selain itu sapi bali mudah
terserang penyakit khusus seperti penyakit jembrana dan ingusan. Pertumbuhan
sapi bali cenderung lambat, tetapi sangat responsif terhadap usaha-usaha
perbaikan. Ternak ini akan mengalami penurunan bobot badan pada waktu musim
kerja. Namun setelah diberi makan kembali maka bobot badannya kembali