EVALUASI KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIPSIKOTIK ORAL
PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT JALAN
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH “X”
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
DHIKA ASRI PURNAMISIWI
K100120190
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
EVALUASI KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIPSIKOTIK ORAL PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT JIWA
DAERAH “X”
ADHERENCE EVALUATION OF TAKING ORAL ANTIPSYCHOTIC DRUGS OF SCHIZOPHRENIA PATIENTS IN THE OUTPATIENT INSTALLATION
OF “X” MENTAL HOSPITAL
Dhika Asri Purnamisiwi, EM Sutrisna*, Ratna Yuliani** *Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Jl A Yani Tromol Pos I, Pabelan Kartasura Surakarta 57102 **Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jl A Yani Tromol Pos I, Pabelan Kartasura Surakarta 57102
ABSTRAK
Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas, efek tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif serta mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien yang menghentikan pengobatan antipsikotik tersebut memiliki peluang 5 kali lebih besar untuk kambuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kepatuhan minum obat antipsikotik dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat antipsikotik oral pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X”. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian survei deskriptif yang dilakukan dengan pill count untuk menghitung persentase kepatuhan dan melakukan wawancara terstruktur untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat antipsikotik oral pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X”. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 85 orang dengan kriteria inklusi pasien skizofrenia yang pernah dirawat di RSJD “X” periode 2010-2015, pasien rawat jalan usia 18-45 tahun yang melakukan kontrol sebelumnya dan bersedia menjadi responden. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 68,24% (58 orang) patuh terhadap pengobatannya. Berdasarkan hasil penelitian, faktor yang paling berpengaruh dalam kepatuhan pasien untuk minum obat adalah faktor penyakit dikarenakan keparahan atau stadium penyakit, pasien merasa sembuh dan tidak mau minum obat.
Kata kunci: kepatuhan, antipsikotik oral, pill count, skizofrenia.
ABSTRACT
Schizophrenia is a severe mental disorder characterized by a decrease or an inability to communicate, impaired reality, unnatural affective or less sensitive, cognitive disorders and having difficulty to do daily activities. Patients who discontinue the antipsychotic medication have 5 times opportunity to relapse. This research was aimed to find out the level of antipsychotic medication adherence and the factors that influence the oral antipsychotic medication adherence of the outpatients with schizophrenia at “X” Mental Hospital. This research was a non-experimental research with descriptive survey undertaken by pill count to calculate the percentage of the compliance and structured interviews to fill out questionnaires by determining the factors that influence the oral antipsychotic medication adherence toward schizophrenic outpatients at the “X” Mental Hospital. The number of samples taken was 85 patients who met the criteria of inclusion for this study in which the patients suffered from schizophrenia and had been treated in “X” Mental Hospital in the period of 2010-2015, outpatients age range were 18-45 years old who did previous medical check up and willing to become respondents. The results showed that 68.24% (58 patients) were adherent to the treatment. Based on this research, the most influential factor in patient adherence to medication was the factor due to the severity of the disease or disease stage, the patient felt well and did not want to take medication.
PENDAHULUAN
Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan penurunan atau
ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas (halusinasi atau waham), efek tidak wajar
atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berpikir abstrak) serta mengalami kesukaran
melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat et al., 2011). Tanda skizofrenia atau split mind adalah
terbelahnya hubungan normal antara persepsi, mood, pikiran, perilaku, dan kontak dengan
kenyataan (Katona et al., 2008). Prevalensi skizofrenia yang ada di dunia sebesar 26,3 juta
orang (WHO, 2008). Sebanyak 90% pasien yang mengalami episode psikotik yang pertama
akan sembuh dalam waktu 1 tahun, tetapi sekitar 80% akan mengalami episode berikutnya
dalam 5 tahun (Katona et al., 2008). Prevalensi skizofrenia di Indonesia 1,7 per mil dan di
provinsi Jawa Tengah sebesar 2,3 per mil (Riskesdas, 2013). Penelitian Katona et al. (2008)
menyebutkan bahwa 75% pasien akan menghentikan pengobatannya dalam waktu 18 bulan
pertama, dan pasien yang menghentikan pengobatan antipsikotik tersebut memiliki peluang 5
kali lebih besar untuk kambuh (Katona et al., 2008).
Salah satu faktor utama keberhasilan penatalaksanaan terapi penyakit skizofrenia
adalah kontinuitas pengobatan. Ketidakpatuhan dalam pengobatan antipsikotik pada pasien
skizofrenia lazim terjadi, tingkat kepatuhan minum obat pada populasi pasien skizofrenia
mulai dari 20% hingga 89%. Ketidakpatuhan secara umum pada populasi pasien skizofrenia
mencapai 50% dan pada dua tahun pertama saat episode psikotik dan meningkat menjadi
55% (Barkhof et al., 2012). Ketidakpatuhan pada pasien skizofrenia berhubungan erat dengan
meningkatnya angka masuk rumah sakit, biaya kesehatan, kekambuhan, keinginan bunuh
diri, dan kematian. Penatalaksanaan skizofrenia merekomendasikan penanganan obat
antipsikotik dalam waktu yang lama (Brain et al., 2013). Kepatuhan dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain karakteristik demografi pasien, penyakit, kognitif, kepercayaan
tentang kesehatan, riwayat penggunaan obat, kompleksitas regimen, dan hubungan keluarga
dengan lingkungan sosial (Fenton et al., 1997).
Penghentian obat antipsikotik setelah episode psikotik menunjukan bahwa terjadi
risiko kekambuhan. Beberapa pedoman nasional tentang skizofrenia merekomendasikan
penggunaan obat antipsikotik terus-menerus setelah episode psikotik untuk meminimalkan
kekambuhan (Pikalov et al., 2014). Oleh karena itu, kepatuhan minum obat dan konsistensi
dalam minum obat sangat perlu diperhatikan (Barkhof et al., 2012). Hal inilah yang
mendasari perlunya dilakukan penelitian kepatuhan minum obat antipsikotik pada pasien
skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan. Penelitian ini dilakukan di RSJD “X”. karena prevalensi
penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kepatuhan minum obat antipsikotik oral pasien
skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X”..
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Metode penelitian ini mengunakan penelitian non eksperimental dengan rancangan
penelitian survei deskriptif yang dilakukan dengan pill count untuk menghitung persentase
kepatuhan untuk mengetahui tingkat kepatuhan minum obat antipsikotik oral dan melakukan
wawancara terstruktur untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
minum obat antipsikotik oral pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X”..
B. Definisi Operasional
1. Penghitungan obat (pill count) merupakan salah satu cara untuk menilai tingkat
kepatuhan pasien dengan metode tidak langsung yang dilakukan dengan cara menghitung
sisa obat pasien yang didapatkan pasien selama terapi pada periode waktu tertentu
(Velligan et al., 2013).
2. Kepatuhan adalah keterlibatan penuh pasien dalam penyembuhan dirinya baik melalui
kepatuhan atas instruksi yang diberikan untuk terapi maupun dalam ketaatan
melaksanakan anjuran lain dalam mendukung terapi (Indrasanto, 2006). Kepatuhan
dinyatakan dengan angka 100% pada hasil pill count tiap pasien.
3. Wawancara terpimpin atau wawancara terstruktur merupakan wawancara yang dilakukan
berdasarkan pedoman-pedoman berupa kuisioner yang telah disiapkan, sehingga
pewawancara tinggal membacakan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada orang yang
diwawancara (Notoatmodjo, 2012).
4. Kuisioner adalah daftar pertanyaan yang sudah tersusun baik, sudah matang, dimana
responden dan pewawancara tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan
tanda-tanda tertentu (Notoatmodjo, 2012).
C. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian : populasi pada penelitian ini adalah pasien skizofrenia rawat jalan
di RSJD “X” pada tanggal 20-27 Agustus 2015.
Sampel penelitian :
Kriteria inklusi
1. Pasien skizofrenia yang pernah dirawat di RSJD “X” periode 2010-2015.
2. Pasien skizofrenia rawat jalan yang melakukan kontrol bulan sebelumnya di Instalasi
3. Pasien skizofrenia rawat jalan di RSJD “X” usia 18-45 tahun.
4. Pasien skizofrenia rawat jalan di RSJD “X” yang bersedia menjadi responden.
D. Tahap Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Persiapan
Tahap ini adalah pembuatan proposal dan pembuatan perijinan dari fakultas kepada
RSJD Surakarta untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data.
2. Tahap Perizinan
Tahap ini dilakukan pembuatan surat izin untuk pengambilan data rekam medis dan
melakukan wawancara pada pasien di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X”.
3. Tahap Penelusuran Data
Pada tahap ini dilakukan pengambilan data dari rekam medis. Pencatatan nomor
telepon pasien yang akan melakukan kontrol rutin di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X” untuk
konfirmasi agar pasien membawa obat sisa pada saat melakukan kontrol. Pengambilan
sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling yang didasarkan pada pertimbangan atau
kriteria inklusi dan eksklusi yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2012).
Penelitian ini dilakukan secara observasional dengan menggunakan data dari
penghitungan sisa obat pasien dan catatan rekam medis pasien. Penghitungan sisa obat pasien
juga disesuaikan dengan data dari rekam medis pasien tersebut, sehingga dapat diketahui
kontrol kembali pasien tersebut yang telah ditentukan oleh dokter dan jumlah obat sisa pasien
seharusnya masih tersisa pada saat kontrol tersebut. Penelitian ini dilakukan pengambilan
data dengan kuisioner. Kuisioner digunakan untuk penentuan faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan minum obat antipsikotik oral. Kuisioner pada penelitian ini
dikembangkan dari pengertian faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan menurut Depkes
(2007).
4. Tahap Pengambilan Data Kuisioner
Tahap ini dilakukan dengan cara menemui pasien sejumlah 85 orang dan melakukan
wawancara menggunakan kuisioner yang belum tervalidasi pada saat yang bersamaan setelah
dilakukan penghitungan sisa obat. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan
formulir kuisioner yang diisi oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara dengan pasien. Dari
hasil wawancara akan diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat
5. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X”. Penelitian dilakukan pada
20-27 Agustus tahun 2015.
E. Alat dan bahan
Alat yang digunakan yaitu tabel penggunaan obat antipsikotik oral responden dan
lembar kuisioner hasil wawancara dengan pasien dan keluarga pasien. Alat berupa lembar
kuisioner digunakan untuk wawancara terstruktur. Kuisioner belum tervalidasi,
pengembangan kuisioner dibuat dari pengertian setiap faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan minum obat meliputi faktor penyakit, faktor pasien, faktor terapi serta faktor
informasi dan komunikasi (Depkes, 2007). Pertanyaan pada kuisioner tentang faktor penyakit
dan faktor pasien terdiri dari tiga pertanyaan. Faktor terapi serta faktor informasi dan
komunikasi terdiri dari lima pertanyaan. Bahan yang digunakan yaitu data-data dari
penghitungan sisa obat antipsikotik oral responden dan data kuisioner hasil wawancara
dengan responden.
F. Analisis Data
Hasil penelitian berupa data dianalisis dengan menghitung kepatuhan tiap-tiap pasien
menggunakan metode pill count dan hasilnya dinyatakan dalam persen. Pasien dinyatakan
patuh bila persentase kepatuhannya bernilai 100%. Hasil dari wawancara dengan pasien
untuk mengisi kuisioner penetapan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat
antipsikotik oral pasien skizofrenia. Pengolahan data hasil wawancara dilakukan dengan :
1. Faktor penyakit, faktor pasien diberi 3 pertanyaan dan faktor terapi, faktor komunikasi
diberi 5 pertanyaan
2. Alternatif jawaban ya diberi skor 2 dan tidak diberi skor 0. dengan alternatif jawaban ya
diberi skor 2 dan tidak diberi skor 0 . Pada pertanyaan yang bertanda bintang (Lampiran 3)
memiliki skor yang berkebalikan.
3. Faktor dengan 3 pertanyaan bernilai positif apabila mendapat skor 4-6 dan bernilai negatif
apabila skor 0-3. Faktor dengan 5 pertanyaan bernilai positif mendapat skor 6-10 dan
bernilai negatif apabila skor 0-5 (Sirait and Mustika, 2009).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Evaluasi kepatuhan minum obat antipsikotik oral pada pasien skizofrenia di Instalasi
Rawat Jalan RSJD “X” pada tanggal 20-27 Agustus 2015 diperoleh data dari penghitungan
data penelitian yang disajikan meliputi profil pasien skizofrenia, persentase kepatuhan serta
faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat antipsikotik oral pasien skizofrenia.
A. Profil dan Karakteristik Pasien Skizofrenia
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 85 orang penderita skizofrenia di Instalasi
Rawat Jalan RSJD “X” yang memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan hasil wawancara
diperoleh data tentang profil pasien yang meliputi : jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir,
dan pekerjaan. Profil dan Karakteristik pasien skizofrenia di RSJD “X” disajikan pada Tabel
1.
Tabel 1. Distribusi profil dan karakeristik pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X”
Profil Pasien Jumlah (n=85) Persentase (%)
1. Jenis Kelamin
Angka kejadian skizofrenia pada penelitian ini laki-laki sebesar 69,41% dan wanita
sebesar 30,59% dari sampel penelitian sebanyak 85 orang penderita (Tabel 1). Angka
kejadian skizofrenia pada laki-laki dan perempuan adalah sama, tetapi kejadian munculnya
penyakit cenderung lebih awal terjadi pada laki-laki (Dipiro et al., 2008).
Penetapan kriteria inklusi untuk usia adalah 18-45 tahun yang merupakan usia
produktif. Skizofrenia dapat muncul pada semua usia tetapi paling sering muncul pertama
kali pada usia remaja sampai dewasa. Resiko skizofrenia menurun seiring dengan usia,
puncaknya sekitar usia 45 tahun dan terjadi akhir onset skizofrenia. Pasien tersebut biasanya
otaknya sudah berfungsi secara normal (Arif, 2006). Skizofrenia jarang terjadi sebelum masa
remaja atau setelah usia 40 tahun (Dipiro et al., 2008).
Skizofrenia terjadi pada beberapa persebaran usia yaitu usia 18-29 tahun terjadi
sebesar 29,41%; usia 30-40 tahun terjadi sebesar 56,47%; dan usia >40 tahun terjadi sebesar
14,12% (Tabel 1). Penelitian ini dilakukan pada usia antara 18-45 tahun yang merupakan usia
kepatuhan karena kekambuhan akibat putus obat dapat menurunkan produktivitas pasien dan
akhirnya menimbulkan beban biaya yang lebih besar bagi pasien dan keluarga (Riskesdas,
2013). Pasien skizofrenia mayoritas terjadi pada usia produktif, pasien yang belum sembuh
total akan membutuhkan pengobatan lebih lama dan membutuhkan biaya yang lebih besar
(Irwan et al., 2008).
Persentase pendidikan terakhir dari yang paling rendah yaitu pendidikan SD sebesar
25,88%; pendidikan SLTP sebesar 36,47%; pendidikan SMA sebesar 35,29%; dan
pendidikan D3/SI sebesar 2,35% (Tabel 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden
memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan
pengambilan sampel yang telah ditentukan oleh pihak RSJD “X”.
Hasil penelitian dapat diketahui pekerjaan dari pasien skizofrenia yang menjalani
pengobatan rawat jalan di RSJD “X”. Pada usia produktif banyak dari pasien skizofrenia
tidak bekerja yaitu 75,29% (Tabel 1). Pasien sebelum menderita skizofrenia bisa melakukan
perkerjaan atau kegiatan sehari-hari dengan baik. Namun setelah pasien menderita
skizofrenia akan mengalami penurunan kemampuan untuk bekerja dan melakukan aktivitas
sehari-hari (Keliat et al., 2011). Hal ini disebabkan pada pasien skizofrenia terjadi
penyimpangan persepsi, serta afek tidak wajar atau tumpul. Pasien skizofrenia juga
mengalami ketidakmampuan berkomunikasi, halusinasi, dan gangguan kognitif seperti
kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat et al., 2011).
Tabel 2. Distribusi profil usia dengan jenis kelamin pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X” Usia (tahun) Laki-laki (n=59) Perempuan (n=26)
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
18-29 20 33,90 5 23,07
30-40 30 47,46 18 61,54
>40 9 18,64 3 15,39
Hasil penelitian di RSJD “X” didapatkan laki-laki pada usia antara 30-40 tahun paling
banyak menderita skizofrenia yaitu 47,46% sejumlah 28 orang (Tabel 2), hal ini tidak sesuai
dengan teori bahwa laki-laki memiliki onset penyakit lebih awal daripada wanita. Usia
puncak onset untuk laki-laki adalah 15-25 tahun (Irwan et al., 2008). Wanita usia antara
30-40 tahun banyak yang mengalami skizofrenia yaitu sebesar 61,54% (Tabel 2). Pada wanita
yang mengalami skizofrenia stimulasi dari hormon gonadotropin pada wanita yang
menyebabkan myelin pada lobus temporal dalam kadar yang tinggi sampai usia 30 tahun
yang berfungsi sebagai efek perlindungan atau neuroprotektif sehingga kemunculan penyakit
skizofrenia terjadi pada usia lebih tua daripada laki-laki. Gejala negatif yang muncul pada
wanita. Skizofrenia yang muncul pada usia lebih dari 35 tahun kemungkinan disebabkan
karena masalah hormonal biasanya terjadi gangguan yang parah pada bagian anterior otak
yang berperan dalam motivasi diri, penurunan kreativitas, kemampuan berbicara, kehilangan
respon rasa sakit, dan kekurangan respon penghambatan (Skokou et al., 2014). Namun pada
penelitian ini lebih banyak penderita skizofrenia berjenis kelamin laki-laki dikarenakan
penentuan sampel dari pihak RSJD “X”.
B. Pola Pengobatan
Pasien skizofrenia rawat jalan diberikan antipsikotik oral. Jenis antipsikotik oral yaitu
antipsikotik generasi pertama (AGP), antipsikotik generasi kedua (AGK), dan Clozapin. Data
penggunaan obat antipsikotik oral yang diberikan pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat
Jalan RSJD Surakarta dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Distribusi penggunaan obat antipsikotik oral pasien skizofrenia di instalasi rawat jalan RSJD “X”
Obat Antipsikotik Oral Jumlah Pasien (n=85)
Persentase (%)
Trifluoperazin (AGP) 11 12,94
Klorpromazin (AGP) 57 67,06
Clozapin (AGK) 9 10,59
Haloperidol (AGP) 30 23,53
Risperidon (AGK) 61 71,76
Pasien skizofrenia rawat jalan di RSJD “X” diberikan Risperidon, Trifluoroperazin,
Klorpromazin, dan Haloperidol. Pengobatan yang diberikan pada pasien sudah sesuai dengan
algoritma pengobatan untuk pasien skizofrenia yang terdapat pada Dipiro et al. (2008).
Risperidon merupakan antipsikotik generasi kedua (AGK) yang paling banyak diresepkan
untuk pasien di Instalasi Rawat Jalan RSJD Surakarta. Hal ini sesuai dengan algoritma karena
pemilihan antipsikotik generasi kedua (AGK)sebagai first line therapy lebih dipilih daripada
antipsikotik generasi pertama (AGP). Antipsikotik generasi kedua (AGK) lebih efektif dan
lebih aman untuk pasien dalam remisi dan pasien dalam pemulihan. Antipsikotik generasi
kedua (AGK) memiliki kemungkinan kejadian efek samping yang lebih rendah. Pemilihan
Trifluoroperazin, Klorpromazin, dan Haloperidol yang merupakan antipsikotik generasi
pertama (AGP) efektif digunakan untuk pencegahan kekambuhan pada pasien skizofrenia
(Barnes, 2011).
C. Kepatuhan Pasien
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil penghitungan sisa obat dari pasien yang
akan digunakan untuk menghitung nilai kepatuhan pasien terhadap pengobatannya.
Penentuan kepatuhan pasien dengan cara menghitung sisa obat dari pasien atau dengan “pill
dengan menghitung sisa obat yang didapatkan pasien selama terapi pada periode waktu
tertentu. Dalam hal ini, perhitungan pill count dilakukan pada saat pasien melakukan kontrol
rutin di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X”. Pill count dilakukan pada pasien skizofrenia yang
melakukan kontrol rutin pada tanggal 20-27 Agustus 2015. Dari hasil penelitian sebesar
68,24% (58 dari 85 orang) pasien yang mempunyai kepatuhan 100% terhadap pengobatan
yang didapatkannya (Tabel 4).
Tabel 4. Jumlah distribusi patuh dan tidak patuh minum obat antipsikotik oral pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan di RSJD “X” (n=85)
Profil kepatuhan pasien Jumlah Pasien (n=85)
Persentase (%)
Patuh 58 68,24
Tidak patuh 27 31,76
Hasil penelitian ini pasien yang dinyatakan patuh dalam populasi lebih dari 50% dari
populasi termasuk cukup tinggi. Hasil wawancara yang didapatkan dari jawaban kuisioner
tentang faktor penyakit, pada sebagian besar pasien skizofrenia sudah mengetahui
konsekuensi dari penghentian obat antipsikotik tanpa rekomendasi dokter dapat
meningkatkan risiko kekambuhan sebesar 5x (Katona et al., 2008).
Cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien seperti memberikan
obat dengan jadwal minum obat satu kali sehari, memberikan obat sesuai dengan kemampuan
pasien untuk membelinya, tidak mengubah jenis obat dari yang biasanya dikonsumsi oleh
pasien apabila tidak dibutuhkan. Selain itu juga bisa dengan memberikan alat bantu seperti
kartu pengingat obat yang bisa ditandai apabila pasien sudah minum obat, dan memberikan
dukungan kepada anggota keluarga untuk mengingatkan pasien minum obat (Rantucci,
2007).
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia Dalam penelitian ini diuraikan hasil penelitian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan minum obat antipsikotik oral pasien skizofrenia di Instalasi Rawat
Jalan RSJD Surakarta pada tanggal 20-27 Agustus 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan minum obat pasien skizofrenia adalah faktor penyakit, faktor pasien, faktor terapi,
dan faktor komunikasi (Depkes, 2007). Metode wawancara terstruktur dengan menggunakan
kuisioner digunakan Untuk mengukur faktor-faktor penyebab ketidakpatuhan pasien
Tabel 5. Distribusi faktor-faktor penyebab ketidakpatuhan minum obat antipsikotik oral pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X”
No Faktor Ketidakpatuhan Jumlah Pasien
(n=27)
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan
minum obat antipsikotik oral paling tinggi adalah faktor penyakit sebesar 51,85% (Tabel 5).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penyakit yang mempengaruhi ketidakpatuhan
pasien dalam minum obat dikarenakan pasien tidak yakin dengan pengobatan yang dijalani
akan dapat menyembuhkan penyakitnya dan ketika pasien merasa lebih baik memilih untuk
menghentikan pengobatannya tanpa rekomendasi dokter. Hubungan lamanya terapi dengan
lamanya pengobatan menyebabkan penurunan tingkat kepatuhan pasien dalam pengobatan
(Depkes, 2007).
Ketidakpatuhan pasien dalam minum obat antipsikotik oral karena faktor terapi
sebesar 40,74% (Tabel 5). Pedoman Depkes RI (2007) menyebutkan bahwa penyebab
ketidakpatuhan karena faktor terapi berhubungan dengan regimen pengobatan yang kompleks
baik jumlah maupun frekuensinya, kesulitan dalam penggunaan, efek terapetik dan efek
samping yang ditimbulkan. Simanjuntak (2008) dalam penelitiannya juga mengungkapkan
bahwa pasien yang tidak mengalami efek samping terhadap pengobatan kemungkinan lebih
mau untuk melanjutkan pengobatan.
Faktor informasi dan komunikasi berpengaruh kecil terhadap kepatuhan. Tabel 5
menunjukkan bahwa ketidakpatuhan minum obat pasien yang disebabkan karena faktor
informasi dan komunikasi sebesar 7,41%, hal ini tidak sejalan dengan pernyataan
Simanjuntak (2008) yang menyatakan bahwa hubungan terapeutik atau komunikasi dengan
pasien tentang pengobatan yang diterima pasien merupakan suatu landasan atau dasar dari
kepatuhan terhadap pengobatan. Faktor komunikasi yang meliputi penjelasan atau informasi
tentang pengobatan yang diterima pasien oleh tenaga medis sudah baik, sehingga tidak
Faktor pasien yang meliputi dukungan lingkungan/keluarga, dan motivasi pasien
dalam penelitian ini tidak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan pasien ditunjukkan pada
Tabel 5. Berdasarkan hasil wawancara dengan pasien, hal ini disebabkan karena seluruh
pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X” memiliki keluarga yang mendukung
penuh untuk kesembuhan pasien.
Peran farmasis dalam meningkatkan kepatuhan minum obat antipsikotik oral pada
pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X” yaitu dengan pengaturan frekuensi
minum obat satu kali sehari, memberikan konseling kepada keluarga untuk mengingatkan
pasien dalam minum obat, dan memberikan alat bantu seperti kartu pengingat obat yang bisa
ditandai apabila pasien sudah minum obat (Rantucci, 2007).
E. Kelemahan Penelitian
Kelemahan penelitian ini yaitu alat penelitian berupa kuisioner yang tidak divalidasi
dan penelitian tidak dilakukan uji reliabilitas. Instrumen dinyatakan valid berarti instrumen
yang digunakan untuk mendapatkan data dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.
Reliabilitas berarti apakah instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dapat
digunakan untuk mengukur lebih dari satu kali namun tetap memiliki hasil yang konsisten.
Instrumen penelitian berupa kuisioner yang valid artinya kuisioner dapat mengumpulkan data
dengan kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada
objek yang diteliti, sedangkan reliabel terdapat kesamaan data dalam waktu yang berbeda
(Sugiyono, 2007). Hasil penelitian dari kuisioner atau instrumen penelitian yang tidak valid
dan tidak reliabel akan memungkinkan hasil yang bias dan dapat menyebabkan penarikan
kesimpulan yang keliru atau berbeda jauh dengan keadaan yang sebenarnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Tingkat kepatuhan minum obat antipsikotik oral pasien skizofrenia di Instalasi Rawat
Jalan RSJD Surakarta sebesar 68,24% yang patuh.
2. Berdasarkan hasil penelitian diketahui faktor yang paling berpengaruh dalam kepatuhan
minum obat antipsikotik oral pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJD “X” yaitu
faktor penyakit sebesar 51,85%.
Saran
Penelitian ini menunjukkan hasil yang baik tetapi untuk meningkatkan kualitas
subyektif sehingga memiliki bias, jawaban pasien belum tentu menggambarkan penggunaan
obat yang sesungguhnya. Selanjutnya diharapkan peneliti menggunakan metode yang tidak
menghasilkan data bias ketika pasien tidak minum obat tetapi pasien mengaku pasien sudah
minum obat. Pada penelitian ini kuisioner yang digunakan belum tervalidasi diharapkan
untuk peneliti lain menggunakan kuisioner yang terlebih dulu divalidasi.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, I.S., 2006. Skizofrenia : Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Refika Aditama, Bandung, pp. 3-5.
Barkhof, E., Meijer, C.J., de Sonneville, L.M.J., Linszen, D.H., de Haan, L., 2012. Interventions to improve adherence to antipsychotic medication in patients with schizophrenia-A review of the past decade. Eur. Psychiatry 27, 9–18.
Brain, C., Allerby, K., Sameby, B., Quinlan, P., Joas, E., Karilampi, U., Lindström, E., Eberhard, J., Burns, T., Waern, M., 2013. Drug attitude and other predictors of medication adherence in schizophrenia: 12 months of electronic monitoring (MEMS®) in the Swedish COAST-study. Eur. Neuropsychopharmacol. 23, 1754–1762.
Depkes, 2007. Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian Disarana Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.T., Wells, B.G., Posey, L.M., 2008. Pharmacotheraphy A Patofisiologic Approach. The McGraw-Hill Companies, United States of Amerika.
Fenton, W.S., Blyler, C.R., Heinssen, R.K., 1997. Determinants of medication compliance in schizophrenia: empirical and clinical findings. Schizophr. Bull. 23, 637–651.
Indrasanto, D., 2006. Glosarium Data dan Informasi Kesehatan. Depkes RI, Jakarta.
Irwan, M., Fajriansyah, A., Sinuhadji, B., Indrayana, M.T., 2008. Penatalaksanaan Skizofrenia. Fakultas Kedokteran UNRI, Pekanbaru.
Katona, C., Cooper, C., Robertson, M., 2008. At a Glance Psikiatri, ke empat. ed. Erlangga, Jakarta, pp. 18-20.
Keliat, B.A., Wiyono, A., Susanti, H., 2011. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa. EGC, Jakarta, pp. 8-10.
Notoatmodjo, S., 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta, pp. 124-125.
Rantucci, M.J., 2007. Komunikasi Apoteker-Pasien : Panduan Konseling Pasien (Edisi 2). Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 60-64.
Simanjuntak, Y.P., 2008. Faktor risiko terjadinya relaps pada pasien skizofrenia paranoid, pp. 57-60.
Sirait, A., Mustika, W., 2009. Faktor-faktor penyebab ketidakpatuhan pasien skizofrenia menjalani pengobatan dirumah sakit jiwa daerah propinsi sumatera utara medan Tahun 2009 tahun 2009.
Skokou, M., Katrivanou, A., Andriopoulos, I., Gourzis, P., 2014. [Active and prodromal phase symptomatology of young-onset and late-onset paranoid schizophrenia]. Rev. Psiquiatr. y salud Ment. 5, pp. 150–9.
Sugiyono, 2007. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta, Bandung, pp. 137.
Trihono, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Depkes RI, Jakarta, pp. 5.
Velligan, D., Mintz, J., Maples, N., Li, X., Gajewski, S., Carr, H., Sierra, C., 2013. A randomized trial comparing in person and electronic interventions for improving adherence to oral medications in schizophrenia. Schizophr. Bull. 39, pp. 999–1007.