• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon PNS terhadap Stigma Negatif dan Dampaknya terhadap Perilaku Kerja: studi pada PNS di Pemerintah Kota Salatiga T2 912013002 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon PNS terhadap Stigma Negatif dan Dampaknya terhadap Perilaku Kerja: studi pada PNS di Pemerintah Kota Salatiga T2 912013002 BAB II"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan panduan teoritis yang menjadi dasar

dari penelitian ini yaitu mengenai stigma negatif, dukungan sosial,

stress kerja dan kinerja.

2.1. Stigma Negatif 2.1.1. Pengertian Stigma

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), „Stigma‟

diartikan sebagai “ciri negatif yang menempel pada pribadi

seseorang karena pengaruh lingkungannya. Sedangkan pada kamus

Oxford, „stigma‟ dimaknai dengan “a mark of disgrace associated with particularcircumstances, quality, or person” (suatu cap keaiban yang berkenaan dengan keadaan, mutu atau seseorang). Dalam

tesaurus bahasa Indonesia, sinonim kata stigma antara lain aib,

cemar, noda cap, ciri, nama buruk. Sedangkan pengertian dan

penjelasan kata stigma yang dikutip dari Wikipedia yakni :

(2)

2 dipercayai mempunyai stigmata, tanda -tanda pada tubuhnya yang sama seperti tanda-tanda bekas luka karena penyaliban pada diri Yesus. Kata "stigma" juga dipergunakan dalam istilah "stigma sosial", yaitu tanda bahwa seseorang dianggap ternoda dan karenanya mempunyai watak yang tercela, misalnya seorang bekas narapidana yang dianggap tidak layak dipercayai dan dihormati. (http://id.wikipedia.org/wiki/Stigma ).

Dari beberapa definisi tersebut, jelas tergambar bahwa kata

„stigma‟ secara inheren selalu bersifat negatif (terkecuali istilah

stigmata dalam sejarah Gereja Khatolik, disini kata Stigmata

mengandung nuansa positif dan kudus). Kata „stigma negatif‟ merupakan bentuk gaya bahasa pleonasme, yaitu kata-kata yang berlebihan untuk menggambarkan sesuatu hal.

2.1.2 Stigma Negatif Terhadap PNS

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan,

fungsi pegawai negeri sipil (PNS) berperan utama sebagai ujung

tombak pelaksana pelayanan publik. Akan tetapi dalam

kenyataannya, PNS dalam melaksanakan tugas-tugas umum

pelayanan publik tersebut, seringkali mendapatkan kesan berbeda

dari pandangan masyarakat. Salah satu persoalan mendasar dalam

sistem kepegawaian adalah pekerjaan tempat Pegawai Negeri Sipil

(PNS) mengabdi saat ini belum dipandang sebagai sebuah profesi

yang mulia, harus dihormati, dijaga, dan dijadikan dasar dalam

berbagai kebijakan dan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM).

PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat tidak dianggap

sebagai aset negara, bahkan kadang-kadang dipandang menjadi

(3)

3

kepegawaian yang disusun semata-mata untuk mengakomodir

kepentingan-kepentingan politik yang kadangkala justru menjadikan

PNS semakin tersisih. (Rudita, 2014). Akibatnya, aparatur negara

selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi

perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan

publik).

Para pegawai negeri sipil didalam menyelenggarakan

tugas pemerintahan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan

pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan

berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan

pelayanan aparatur pemerintahan.

Stigma atau citra negatif terlanjur melekat pada PNS dan

bahkan bisa dianggap sebuah fenomena. Stigma tersebut

kemungkinan juga diperkuat oleh kecenderungan orang untuk

melakukan “over-generalization” yaitu penggunaan satu-dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat umum, dan itu adalah

suatu bentuk kesalahan berpikir (Fallacy of Dramatic Instance).

Kesalahan berfikir dari beberapa kasus yang didapati pada beberapa

oknum PNS, misalnya: ada PNS dipilih dan diangkat melalui jalur

KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), oportunis, memanfaatkan

posisi, menyalahgunakan wewenang dan jabatan, tidak disiplin, suka

belanja di mall atau pasar saat jam kerja, lebih banyak nongkrong,

baca koran, main catur bahkan ngerumpi di tempat kerja. Kasus-kasus yang seperti itulah yang nampaknya mendukung terbangunnya

citra negatif tersebut dan digeneralisir pada semua Aparatur Sipil

(4)

4

Pembuktian akan adanya stigma negatif terhadap PNS

tersebut mudah sekali di temui pada pemberitaan pada media berita

online. Cukup hanya dengan mengetik „kinerja buruk PNS‟ pada laman penelusuran google akan ditemukan ribuan hasil pencarian

yang berisikan berita, opini, maupun pembahasan mengenai citra

buruk PNS.

Beberapa opini dari masyarakat yang mewakili penilaian

negatif terhadap PNS/Aparatur Sipil Negara salah satunya dapat

ditemui pada rubrik kompasiana dengan judul „Rendahnya Kinerja PNS Pemda‟:

...PNS pemda banyak memiliki kinerja yang rendah. Seharusnya

jam kerja dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk bekerja

namun malah digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.

Dalam jam kerja PNS banyak berkeliaran di pasar, mall atau

ditempat lainnya. Pulang tidak tepat waktu, Ja dwal yang

seharusnya pulang jam 4 sore tidak dipatuhi, mereka pulang siang

sekitar jam 1 dan banyak yang tidak kembali lagi ke kantor.

Sungguh sangat memprihatinkan, sebagai abdi negara memakan

gaji buta. Tugas melayani masyarakat disia-siakan. Sebelum

menjadi PNS masyarakat berbondong-bondong mengikuti tes PNS,

bahkan sampai menyogok puluhan juta untuk menjadi PNS.

Namun setelah diangkat, kedudukan yang diperoleh tidak

dipergunakan dengan sebaik mungkin”.

(http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/08/rendahnya-kinerja-pns-pemda-475413. html) .

Mengutip berita yang bersumber dari beritasatu.com hari

(5)

5

Negara dan Reformasi Birokrasi juga menyampaikan bahwa kinerja

PNS dinilai masih negatif oleh publik.

Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB), Yuddy Chrisnandi meminta setiap daerah menerapkan revolusi mental guna mereformasi birokrasi dan untuk menghilangkan penilaian negatif terhadap kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Yuddy melakukan kunjungan ke beberapa daerah, termasuk bertemu Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Sabtu (1/11), guna mengampanyekan gerakan revolusi mental reformasi birokrasi. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan kesan negatif di publik, terkait kinerja PNS yang buruk selama ini.

"Kesan di publik saat ini, kinerja PNS lambat, masuk siang, pulang cepat, jam 4 sudah di mal, dan di kantor hanya baca koran," katanya, Bogor, Sabtu (1/11).

Yuddy menilai sudah saatnya PNS menjadi pelayan masyarakat. "Intinya puaskan dulu masyarakat. Terkait regulasi akan segera dikeluarkan. Bila ditanya kapan, segera," terangnya. (http://www.beritasatu.com/pelayanan-

publik/222082-menpan-dan-rb-penilaian-pns-kita-buruk-di-publik.html)

Menurut Adnan (2013) kesan atau citra negatif terhadap

birokrasi karena birokrasi selama ini kurang merespon keinginan

(6)

6

berhati-hati dan cara kerjanya sulit diterima oleh masyarakat yang

memerlukan layanan cepat, efisien, tepat waktu dan sederhana.

Menurut Sarundajang, 2005 (dalam Adnan, 2013) ada sejumlah

kelemahan birokrasi yang dihadapi oleh pemerintah daerah, yaitu :

1.) Struktur organisasi dan tata kerja yang dibuat oleh

masing-masing Pemerintah Daerah hanya sekedar menampung personil

dalam suatu jabatan struktural; 2.) Partisipasi masyarakat masih

rendah; 3.) Transparansi belum berjalan; 4.) Mekanisme kerja dan

pembagian tugas yang tumpang tindih menyulitkan kalangan

internal dan masyarakat dalam berurusan dengan pemerintah daerah;

5.) Politisasi PNS masih menggejala; 6.) Sistem karir tidak sehat

membuat persaingan tidak sehat; 7.) Belum siapnya aparatur

birokrasi menghadapi tuntutan perubahan. Dwiyanto,et.al 2006,

(dalam Adnan, 2013) mengatakan bahwa birokrasi memang belum

mampu mewujudkan nilai-nilai akuntabilitas dan efisiensi dalam

pelayanan publik. Citra negatif atau stigma negatif terhadap kinerja

aparatur negara menjadi salah satu alasan segera dilakukannya

reformasi birokrasi (Adnan,2013).

Menurut Daryanto (2007) ada beberapa indikator yang

mencerminkan buruknya potret kinerja aparat pelayanan publik

/PNS, antara lain ditunjukkan oleh pelayanan yang bertele-tele dan

cenderung birokratis; biaya yang tinggi (high cost economy); pungutan-pungutan tambahan, perilaku aparat yang lebih bersikap

sebagai pejabat ketimbang abdi masyarakat; pelayanan yang

diskriminatif; mendahulukan kepentingan pribadi, golongan atau

kelompok (termasuk kepentingan atasannya ketimbang kepentingan

(7)

7

peraturan; masih kuatnya kecenderungan untuk menunggu petunjuk

atasan; sikap acuh terhadap keluhan masyarakat; lamban dalam

memberikan pelayanan; kurang berminat dalam mensosialisasikan

berbagai peraturan kepada masyarakat.

2.2. Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan informasi verbal dan non verbal

berupa suatu tindakan yang didapat dari keakraban sosial atau

karena kehadiran orang yang mendukung dimana hal ini bermanfaat

secara emosional bagi pihak yang menerima dukungan sosial

(Gotlieb, 1983 dalam Lestari, 2003). Menurut Bakhri (2011)

dukungan sosial merupakan transaksi interpersonal yang melibatkan

satu atau lebih aspek yang terdiri dari dukungan emosional,

penghargaan, instrumental dan informasi; hal tersebut memiliki

manfaat emosional atau efek perilaku bagi penerima, sehingga dapat

membantu individu dalam menjalani kehidupannya atau ketika

dalam menghadapi masalah yang dihadapinya.

Dukungan sosial sangat diperlukan oleh individu dalam

berhubungan dengan orang lain demi melangsungkan hidupnya

ditengah masyarakat. Dengan adanya dukungan sosial akan

membuat individu merasa dicintai, diperhatikan, dihargai dan

menjadi bagian dari kelompok; dan dukungan sosial tersebut dapat

diperoleh dari berbagai sumber (Bakhri, 2011). Pendapat senada

disampaikan oleh Muhaimin et.al. (2013) bahwa dukungan sosial

yang didapat oleh seseorang dapat berupa pemberian informasi,

(8)

8

sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan,

bernilai dan dicintai.

Konsep dukungan sosial dapat dibedakan berdasarkan bentuk

dan sumber dukungan (House,1978 dalam Lestari 2003).

Berdasarkan bentuk, dukungan sosial dapat terdiri dari : a)

Dukungan Emosional; perilaku dalam memberi bantuan dalam

bentuk sikap memberi perhatian, mendengarkan dan simpati pada

orang lain. Dukungan ini terlihat dari sikap menghargai, percaya,

peduli dan tanggap terhadap individu yang didukungnya. Bentuk

dukungan emosional paling sering terlihat dalam interaksi antar

individu. b) Dukungan Instrumental; merupakan bentuk dukungan

berupa bantuan nyata dalam merespon kebutuhan yang khusus

seperti pelayanan barang dan bantuan finansial. c) Dukungan

Informasi; berupa saran, nasehat atau berupa feed back individu yang mendukungnya. d) Dukungan Penilaian; dukungan dalam

bentuk penilaian yang berisi penghargaan positif, dorongan maju

atau persetujuan terhadap gagasan yang positif, dorongan maju atau

persetujuan terhadap gagasan atau perasaan pada individu yang

lainnya.

Berdasarkan sumber dukungan, dukungan sosial dapat

bersumber dari pasangan hidup (suami/istri), keluarga, rekan kerja

dan atasan. Dukungan dari atasan dan rekan kerja dapat mereduksi

beban yang diterima dalam pekerjaan, sedangkan dukungan dari

pasangan hidup dan keluarga lebih berperan dalam bentuk dukungan

(9)

9 2.3. Stress Kerja

2.3.1. Pengertian Stress Kerja

Perkataan stress berasal dari bahasa latin Stringere, yang digunakan pada abad XVII untuk menggambarkan kesukaran, penderitaan dan kemalangan. Kata stres seringkali digunakan untuk menunjuk gejala atau fakta yang kadang tidak sama atau bahkan

beda sama sekali. Misal, bagi sebagian orang kata stres digunakan

untuk menunjuk pada suatu keadaan fisis yang tengah dilanda

berbagai tekanan yang tidak tertahankan dan melampaui batas

ketahanannya. Sementara bagi yang lain digunakan untuk menunjuk

gejala yang menghasilkan tekanan-tekanan itu. Bagi sebagian orang,

stres adalah suatu kesatuan fisis yang berkait dengan

perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya, sedang bagi sebagian yang lain

stres dianggap sesuatu yang bersifat subyektif dan hanya

berhubungan dengan kondisi psikologis dan emosional seseorang.

Di kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat

dan kesamaan persepsi tentang batasan stres (Margiati, 1999).

Hariandja, 2002 (dalam Tunjungsari, 2011) mendefinisikan stress sebagai ketegangan atau tekanan emosional yang dialami sesesorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan, dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran dan kondisi fisik seseorang.

(10)

10 mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya dan berarti mengganggu prestasi kerjanya.

Luthans (2013) mendefinisikan stress sebagai respon adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, dan atau perilaku pada anggota organisasi. Secara konseptual dan praktik, konflik dan stress adalah sama terutama dalam tingkat individu.

2.3.2 Penyebab dan Gejala Stress Kerja

Mangkunegara (2008) berpendapat bahwa: “Penyebab stress kerja, antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antara karyawan

dengan pemimpin yang frustasi dalam kerja”. (dalam Tunjungsari, 2011).

(11)
[image:11.516.84.436.111.545.2]

11 Kondisi tertentu dalam lingkungan merupakan sumber potensial bagi munculnya stres. Bagaimana bentuk stres yang dihayati tergantung dari karakteristik yang unik dari individu yang bersangkutan serta penghayatannya tehadap faktor-faktor dari lingkungan yang potensial memunculkan stres padanya, walaupun hampir setiap kelompok orang dihadapkan pada jenis atau kondisi stress yang serupa, tetapi hal ini akan menghasilkan reaksi yang berbeda, bahkan dalam menghadapi jenis stress atau kondisi yang sama setiap individu dapat berbeda-beda pola reaksinya (Tunjungsari, 2011). Sarafino,1990 (dalam Solihat, 2009) mengatakan bahwa stress bersumber dari tiga hal, yaitu dari diri individu (sources within the person); dari keluarga (sources in the family); dari lingkungan dan masyarakat (sources in the community and society). Luthans (2013) berpendapat penyebab stress bisa dari luar dan dalam organisasi, dari kelompok yang dipengaruhi karyawan dan dari karyawan itu sendiri.

Gambar 2.1 Model stress kerja versi Cartwright dan Cooper

(Sumber : http://setabasri01.blogspot.co.id/2011/01/job-stress-dan-job-satisfaction.html, di unduh 15/10/2015)

Dilihat dari model Cartwright and Cooper diatas, ada

(12)

12

naik, depressed mood, makan-minum berlebih, iritabilitas, dada nyeri; (2) Gejala Organisasi : sering bolos, keluar masuk kerja,

[image:12.516.87.458.181.568.2]

hubungan kerja tidak baik, kendali kualitas buruk.

Gambar 2.2 Model of Stressors, Stress, and Outcomes versi Ivancevich, Konopaske dan Matteson, Organizational, Behavior and Management Eight

Edition, 2008 (dalam Lindawati, 2014)

Sumber : Lindawati, 2014

Dilihat dari Skema pada Gambar 2.2 Model of Stressors, Stress, and Outcomes versi Ivancevich, Konopaske dan Matteson, gejala perilaku yang dihasilkan oleh stres kerja adalah

ketidakhadiran dan pergantian pegawai. Gejala kognitif yang

dihasilkan oleh stres kerja seperti salah dalam mengambil keputusan,

kurang konsentrasi dalam bekerja dan mudah tersinggung, apatis dan

frustasi. Sedangkan gejala fisiologis yang dihasilkan oleh stres kerja

seperti naiknya tekanan darah dan penyakit jantung koroner. Model

tersebut menyatakan bahwa hubungan antara stres dan hasil

(individu dan organisasi) tidak selalu secara langsung, demikian juga

dengan hubungan antara stresor dan stres. Hubungan ini mungkin

(13)

13

mekanisme dukungan sosial, dan kepribadian diperkenalkan sebagai

moderator potensial. (Lindawati, 2014).

Gejala stres menurut Braham (dalam Harianto et. al. 2008)

dapat berupa tanda-tanda sebagai berikut :

Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur lidak teratur, sakit kepala, sulit

buang air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal, punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang, keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, kehilangan energi.

Emosional, yaitu marah-marah mudah tersinggung dan terlalu

sensitif gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental.

Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat

menurun, sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja .

Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain,

(14)

14 2.4. Kinerja

Prawirosentono, 2006 (dalam Supriadi 2013) mengartikan

kinerja sebagai hasil kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau

sekelompok pegawai dalam suatu organisasi, sesuai dengan

wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam upaya

mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak

melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. Sejalan

dengan pendapat tersebut, Harbani Pasolong, 2007 (dalam Supriadi,

2013) mengatakan kinerja pegawai adalah hasil kerja perseorangan

dalam suatu organisasi.

Menurut Keputusan Lembaga Administrasi Negara Republik

Indonesia Nomor: 598/IX/6/X/1999 tentang Pedoman Penyusunan

Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, kinerja adalah

gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan /

program / kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi

dan visi suatu organisasi.

Menurut pendapat Hasibuan (dalam Supriadi 2013), kinerja

pegawai dapat dikatakan baik atau dapat dinilai dari beberapa hal :

a) Kesetiaan; seorang pegawai dikatakan memiliki kesetiaan jika ia

melakukan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh

tanggung jawab terhadap amanah yang diberikan organisasi.

b) Prestasi kerja; merupakan hasil kerja yang dicapai pegawai dalam

melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Pada umumnya

prestasi kerja seorang pegawai dipengaruhi oleh kecakapan,

keterampilan, pengalaman dan kesanggupan pegawai dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya. Namun demikian prestasi

(15)

15

dan keahlian yang bersangkutan untuk menyelesaikan suatu

pekerjaan.

c) Kedisiplinan; sejauh mana pegawai dapat mematuhi

peraturan-peraturan yang ada dan melaksanakan instruksi yang diberikan

kepadanya. Disiplin dapat diartikan melaksanakan apa yang telah

disetujui bersama antara pimpinan dengan para pegawai baik

persetujuan tertulis, lisan ataupun berupa peraturan-peraturan dan

kebiasaan-kebiasaan.

d) Kreatifitas; yaitu kemampuan pegawai dalam mengembangkan

ide-ide dan mengeluarkan potensi yang dimiliki dalam

menyelesaikan pekerjaannya sehingga pegawai dapat bekerja

dengan lebih berdaya guna dan berhasil guna.

e) Kerjasama; yaitu kemampuan pegawai untuk bekerja sama

dengan pegawai lain dalam menyelesaikan suatu tugas yang

ditentukan, sehingga hasil pekerjaannya akan semakin baik.

f) Kecakapan; dapat diukur dari tingkat pendidikan pegawai yang

disesuaikan dengan pekerjaan yang menjadi tugasnya.

g) Tanggungjawab; adalah kesanggupan seorang pegawai

menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan

sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani menerima

resiko pekerjaan yang dilakukan.

Pengakuan sosial juga bisa menjadi salah satu pendorong

untuk meningkatkan kinerja, sebagaimana dikatakan oleh Luthans

(2013) bahwa memberikan penghargaan non finansial berupa

umpan balik kinerja dan perhatian/pengakuan sosial bisa menjadi

salah satu metode yang efektif untuk meningkatkan kinerja

(16)

16 2.5. Dampak Stigma Negatif Terhadap Perilaku Kerja (Stress

Kerja dan Kinerja)

Berbagai bentuk stigma negatif terhadap PNS seperti misalnya

PNS loyalitasnya masih rendah, tidak disiplin, malas bekerja, (lihat

sinarharapan.co/news/read/23298/menguji-loyalitas-pns), kinerja PNS lambat (lihat http://www.beritasatu.com/pelayanan-publik/222082-menpan-dan-rb-penilaian-pns-kita-buruk-di-publik.html), dan bentuk

stigma negatif terhadap PNS lainnya diduga berdampak terhadap stress kerja dan berdampak terhadap kinerja para pegawai di Pemerintah

Kota Salatiga, karena dimungkinkan berbagai tudingan tersebut bisa

memunculkan rasa frustasi dalam diri PNS. Sebagaimana pendapat

Handoko (2001), bahwa sejumlah kondisi kerja yang salah satunya

adalah frustasi bisa menyebabkan stress kerja bagi karyawan.

Dalam teori peran (role theory) ditegaskan bahwa stress dapat mengurangi kinerja, karena stress dapat merusak perilaku seseorang

(pshychological well-being) (Keaveney et.al. 1992 dalam Lestari, 2003). Meskipun stress berpotensi menurunkan kinerja, ada

pandangan lain yang berpendapat jika stress juga bisa berpotensi

meningkatkan kinerja; sebagaimana pendapat Dientsbier (1989)

kinerja pegawai justru akan menurun jika mereka merasakan tingkat

stress yang rendah atau tidak ada sama sekali, karena mereka tidak

merasa tertantang atau terdorong untuk mencapai kinerja yang

tinggi. Sebaliknya stress yang terlalu tinggi akan mendorong

pegawai hanya terfokus pada usaha untuk mengatasi stress tersebut

dibandingkan dengan usahanya untuk meningkatkan kinerja. Pada

(17)

17

lebih baik tanpa harus mencurahkan energinya untuk mengatasi

stress (dalam Lestari, 2003).

Doelhadi (1997) berpendapat bahwa salah satu hal yang

menyebabkan stress adalah faktor situasi, yaitu keadaan yang

mengandung tuntutan yang berat dan mendesak. Akan tetapi

sebaliknya apabila individu tidak merasakan tuntutan dari

lingkungan sebagai stresor, maka individu tersebut tidak mengalami

stress. Dari hasil penelitian Daniel, et.al. 2005 menunjukkan bahwa

apresiasi kepada pegawai bisa membantu meningkatkan semangat

kerja, stress yang lebih rendah, menurunkan ketidakhadiran dan

perputaran, dan meningkatkan produktivitas (dalam Mardalis et.al.,

2012).

Menurut pendapat Lestari (2003) terdapat hubungan langsung

antara variabel-variabel stress dengan variabel-variabel hasil kerja,

namun dukungan sosial dapat mempengaruhi hubungan tersebut

dengan mengubah sikap pegawai dalam bereaksi terhadap stress

yang berkaitan dengan situasi-situasi tertentu.

2.6Pengembangan Hipotesis

Berdasar latar belakang permasalahan dan landasan pemikiran

yang telah diuraikan, maka hipotesis dapat dirumuskan sebagai

berikut:

 Stigma negatif berpengaruh terhadap stress kerja PNS di Pemerintah Kota Salatiga;

 Dukungan sosial berperan sebagai variabel moderasi dalam hubungan stigma negatif terhadap stress kerja PNS di Pemerintah

(18)

18

 Stress kerja berpengaruh terhadap kinerja PNS di Pemerintah Kota Salatiga;

2.7 Kerangka Pemikiran Teoritis

Berdasarkan telaah teoritis yang dilakukan pada bagian

awal, selanjutnya dibentuk sebuah model penelitian yang akan

menjadi kerangka penelitian dan panduan bagi pemecahan masalah

yang diajukan dalam penelitian ini. Penelitian ini memiliki beberapa

variabel, diantaranya variabel stigma negatif (X1), variabel

dukungan sosial sebagai variabel moderasi (X2), variabel stress kerja

(Y1), dan variabel kinerja (Y2). Model dalam penelitian ini dapat

[image:18.516.87.462.186.543.2]

digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.4 Model Kerangka Pemikiran

X1 Y1 Y2

X2

H1 : Stigma negatif berpengaruh terhadap stress kerja PNS di

Pemerintah Kota Salatiga;

STIGMA NEGATIF STRESS KERJA KINERJA

(19)

19

H2 : Dukungan sosial berperan sebagai variabel moderasi dalam

hubungan stigma negatif terhadap stress kerja PNS di

Pemerintah Kota Salatiga

H3 : Stress kerja berpengaruh terhadap kinerja PNS di Pemerintah

Gambar

Gambar 2.1 Model stress kerja versi Cartwright dan Cooper
Gambar 2.2 Model of Stressors, Stress, and Outcomes versi Ivancevich,
Gambar 2.4 Model Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

dimulai dari tahap pertama, yaitu penetapan peraturan atau kebijakan daerah ; tahap kedua, adalah melakukan monitoring terhadap pelaksanaan peraturan tersebut ; tahap tiga adalah

Demikian Addendum Dokumen ini dibuat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan sebagaimana

Berbagai wacana tersebut yang telah berkembang di masyarakat mengenai pelayanan publik, sehingga memunculkan salah satu cara dalam pelayanan publik yaitu; dengan menerapakan

Seratus Empat Puluh Sembilan luta Tujuh Ratus Sembilan Puluh Sembilan Ribu

[r]

[r]

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

[r]