SKRIPSI
oleh :
AFFAN AHADIAN
0743010236
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Disusun Oleh :
AFFAN AHADIAN
0743010236
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
PEMBIMBING
Dra. Dyva Claretta, Msi
NPT.366019400251
Mengetahui,
DEKAN
Dra. Ec. Hj. Supar wati, Msi
Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
REPRESENTASI NASIONALISME DALAM FILM “THE LADY” (Studi
Analisis Semiotik Tentang Representasi nasionalisme Dalam Film “THE LADY”)
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dyva Claretta, M.Si sebagai
dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan Skripsi
ini dan pada kesempatan ini juga penulis juga akan menyampaikan ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak – pihak yan telah memberikan
bantuan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini baik moral maupun tenaga
antara lain :
1. Ibu Dra.Hj.Suparwati, MSi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Seluruh dosen FISIP khusunya Dosen Ilmu Komunikasi, yang telah bersedia
untuk mengajarkan semua hal – hal yang berharga dan tak ternilai.
4. Untuk ibu dan keluargaku yang telah memberiku semuanya, cinta,
perlindungan, waktu dan Materi dalam pengerjaan skripsi ini
5. Untuk “winduth”ku terimakasih untuk support dan segala yang kau berikan.
6. For Rea-Reo, Batok’s, Pleki, Brewik, Mama, Diaz, Bangau, Along, Gopel,
sangat diharapkan oleh penulis.
Skripsi ini adalah sebuah wujud terima kasih dan persembahan penulis
untuk seluruh pembaca, sebagai bentuk kecintaan dan penghargaan penulis
terhadap ilmu pengetahuan, juga dengan harapan besar semoga skripsi ini dapat
memberikan pengetahuan dan manfaat bagi semua yang membutuhkan. Terima
kasih.
Surabaya, 5 Desember 2012
KATA PENGANTAR ... iii
2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial ... 20
2.1.3. Representasi ... 25
2.1.4. Konsep Nasionalisme Myanmar ... 28
2.1.5. Buddhisme di Myanmar ... 35
2.1.6. Junta Militer ... 38
2.1.6.1. Junta Militer di Myanmar ... 40
2.1.7.Bentuk Nasionalisme Modern ... 43
2.1.8. Respon Psikologi Warna ... 45
2.1.9. Semiotika ... 46
2.1.10. Teori Semiotika ... 49
2.1.11. Definisi The Code Of Television ... 50
3.3. Unit Analisis ... 74
3.4. Jenis Sumber Data ... 75
3.4.1. Sumber Data Primer ... 75
3.4.2. Sumber Data Sekunder ... 75
3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 75
3.6. Teknik Analisi Data ... 76
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 78
4.1. Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data ... 78
4.1.1. Gambaran Umum Film The Lady ... 78
4.1.2. Penyajian Data... 81
4.2. Analisis Data ... 82
4.3.Analisis Keseluruhan ... 113
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 114
5.1. Kesimpulan ... 114
5.2 Saran ... 115
DAFTAR PUSTAKA ... 117
ABSTRAKSI
AFFAN AHADIAN. REPRESENTASI NASIONALISME DALAM FILM
“THE LADY” (Studi Semiotik Terhadap Film “The Lady”)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Nasionalisme
direpresentasikan dalam film The Lady melalui tokoh utama Aung Ang Suu Kyi.
Teori-teori yang digunakan antara lain Teori Konstruksi Realitas Sosial,
Representasi, Nasionalisme Myanmar, Buddhisme di Myanmar, Nasionalisme
Modern, Respon Psikologi Warna, Semiotika, Definisi the Code of Television.
Film ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode
semiotik. Pendekatan semiotik yang dikemukakan John Fiske (grammar and tv
culture) melalui level realitas, level representasi, dan level ideologi. Data dibagi
menjadi tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi. Pada
level realitas, dianalisis penandaan yang terdapat pada kostum, make up, setting
dan dialog. Pada level representasi dianalisis penandaan pada level kerja kamera,
pencahayaan dan penataan suara. Pada ideologi dianalisis penandaan terhadap
ideologi yang terkandung dalam film. Teori-teori yang digunakan antara lain
Teori Konstruksi Realitas Sosial, Representasi, Nasionalisme Myanmar,
Buddhisme di Myanmar, Nasionalisme Modern, Respon Psikologi Warna,
Semiotika, Definisi the Code of Television.
Dari hasil analisis data dari penelitian ini dapat disimpulkan dalam film
yang diteliti ternyata untuk mencapai dan menciptakan Negara yang berdemokrasi
suatu negara. Karena tidak mudah menciptakan system pemerintahan demokrasi
dalam suatu Negara yang sedang bergejolak.
Kata kunci :
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Film adalah salah satu bentuk karya seni yang menjadi
fenomena dalam kehidupan modern. Sebagai objek seni abad ini,
film dalam proses berkembang menjadi salah satu bagian dari
kehidupan sosial, yang tentunya memiliki pengaruh yang cukup
signifikan pada manusia sebagai penonton. Film berperan sebagai
pembentuk budaya massa” (McQuail, 1987:13). “Selain itu
pengaruh film juga sangat kuat dan besar terhadap jiwa manusia
karena penonton tidak hanya terpengaruh ketika ia menonton film
tetapi terus sampai waktu yang cukup lama” (Effendy, 2002:208).
Jadi sebuah film merupakan bagian yang cukup penting dalam
media massa untuk menyampaikan suatu pesan atau setidaknya
memberikan pengaruh kepada khalayaknya untuk bertindak
sesuatu.
Film adalah dokumen kehidupan social sebuah komunitas.
Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukung itu. Baik
realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti
ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan
keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Dalam
perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan
“Citra bergerak” (moving image) namun huga telah diikuti oleh
muatan-muatan kepentingan tertentu seperti olitik, kapitalisme, hak
asasi manusia atau gaya hidup
(Victor C.Mambor:http://situskunci.tripod.com/teks/victor1.htm)
Hal ini sesuai yang dikatakan sumarno (1998:85) yang
mengatakan bahwa film adalah sebuah seni mutakhir dari abad 20
yang dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan,
merangsang pemikiran, dan dapat memberikan dorongan terhadap
penontonnya. Pengaruh terhadap khalayak luas sebagai penonton
ini lebih jauh misalnya sebuah film dapat menjadi media
menghibur masyarakat dalam bentuk komedi, atau bisa juga
mendidik melalui film dokumenter, dan lain sebagainya.
Dunia film, pada dasarnya juga bentuk pemberian informasi
kepada masyarakat. Film juga memberi kebebasan dalam
menyampaikan informasi atau pesan-pesan dari seorang pembuat
sineas kepada para penontonnya. Kebebasan dalam hal ini adalah
film seringkali secara lugas dan jujur menyampaikan sesuatu,
dipihak lain film juga terkadang malah disertai tendensi tertentu,
Berdasarkan maksud ingin memberikan informasi, secara
umum film dikelompokkan menjadi dua pembagian besar yaitu
film cerita dan non cerita. Film cerita adalah film yang menyajikan
kepada publik sebuah cerita yang mengandung unsur-unsur yang
menyentuh rasa manusia. Film yang bersifat auditif visual, yang
dapat disajikan kepada publik dalam bentuk gambar yang dapat
dilihat dengan suara yang dapat didengar, dan merupakan suatu
hidangan yang masak untuk dinikmati, sungguh merupakan suatu
medium yang bagus untuk mengolah unsur-unsur tadi, film itu
sendiri mempunyai banyak unsur-unsur yang terkonstruksi menjadi
kesatuan yang menarik. Unsur-unsur seks, kejahatan/kriminalitas,
roman, kekerasan, politik, rasisme dan sejarah adalah unsur-unsur
cerita yang dapat menyentuh rasa manusia, yang dapat membuat
publik terpesona, yang dapat membuat publik tertawa
terbahak-bahak, menangis terisak-isak, dapat membuat publik dongkol,
marah, terharu, iba, bangga, tegang dan lain-lain. Maka diambillah
dari kisah-kisah dari sejarah, cerita nyata dari kehidupan
sehari-hari, atau juga khayalan untuk kemudian diolah menjadi film
(Effendy,2003:207)
Setiap film yang dibuat atau diproduksi pasti menawarkan
suatu pesan kepada ara penonton. Jika dikaitkan dengan dengan
tapi sebaliknya efek negative dari film tersebut yang justru secara
mudah diambil dari penontonnya.
(http//:www.cinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2002/03/04/bud02.
html)
Film mempunyai dampak tertentu bagi penontonnya, dalam
banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat,
hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier.
Artinya film, baik yang ditayangkan di televisi atau bioskop, selalu
mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan
pesan (message) dibaliknya, tanpa berlaku sebaliknya. Selain itu,
kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial,
lantas membuat para ahli film memiliki potensi untuk
mempengaruhi khalayaknya.
Hal ini dapat terjadi Karena media visual seperti film dan
televisi mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menirukan
dunia nyata melalui duplikasi realitasnya, sehingga lebih mudah
memahami apa yang disampaikan olehnya dari pada
menjelaskannya. Film sebagai media visual elektronik secara
drastis telah mengubah cara kita merasakan dunia, bahkan kita
sendiri. Selama kurun waktu 80 tahun terakhir, kita telah
dibombardir dengan ribuan film yang beredar sebagai informasi
komunikasi tersebut dan apa makna dari informasi yang mereka
sampaikan.
Cristian Metz (1974 : 47) menyatakan : bahwa kita dapat
memahami film bukan karena kita mempunyai pengetahuan
tentang sistem di dalamnya, tetapi lebih kepada kita mendapatkan
pemahaman atas sistem didalamnya karena kita memahami film.
Dengan kata lain, bukan karena film adalah bahasa, sehingga ia
dapat menyampaikan sebuah cerita yang menarik, tetapi lebih tepat
dikatakan bahwa film telah menjadi bahasa karena telah mampu
menyampaikan sebuah cerita yang sangat menarik.
“we understand a film not because we have a knowledge of its system: rather we achieve an understanding of its system because we understand the film put another way its not because the cinema its language that it can tell such fine stories, but rather it has become language because it has told such fine stories
(Metz, 1974 : 47)
Karakter film sebagai media massa mampu membentuk
semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi
film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat dan selera publik. Singkatnya, film merangkum
pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat. (Jowett dalam
Realitas yang disajikan dalam film merupakan realitas
sebenarnya, atau dapat juga berupa realitas imajinasi. Film
menunjukkan pada kita jejak yang ditinggalkan pada masa lampau,
cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa
yang akan datang. Fenomena perkembangan film yang begitu pesat
membuat film kini disadari sebagai fenomena budaya yang
progresif. Bukan saja oleh negara yang memiliki industri besar,
tetapi juga oleh negara yang memiliki industri film besar, tetapi
juga oleh negara yang baru menata industri filmnya. Apa yang
telah dihasilkan oleh Hollywood, Bombay dan Hongkong dengan
menglobalkan sesuatu yang semula hanyalah sebuah sub-kultur di
negara asalnya, setidaknya menjadi latar belakang kesadaran
tersebut. Film juga bisa dianggap mempresentasi citra atau
identitas komunitas tertentu. Bahkan juga bisa membentuk
komunitas sendiri karena sifatnya yang universal. (Mambor,
2000:1)
Diawal tahun 90 an dunia penuh diwarnai kecemasan
tentang kekerasan yang banyak ditampilkan oleh film-film yang
diputar di televisi maupun bioskop-bioskop. Kekerasan itu mulai
dari senjata api, kemudian senjata tajam, merusak dengan sengaja,
serta berbagai ancaman lain yang serius. Sumber kecemasan
terletak pada ekses-ekses kekerasan yang dapat berpengaruh pada
anak-anak. Seperti yang kita ketahui America dan Hollywood
memiliki dunia perfilman yang sangat maju. Hal ini terbukti mulai
dari segi teknologi perfilman yang sangat modern, ide cerita yang
sangat kaya dan memilki pengaruh yang sangat besar sehingga
menjadi tolak ukur bagi perfilman dunia dalam segala hal.
“Menurut Medved, pengarang buku Hollywood in America,
film-film Hollywood telah lama pamer kekerasan secara berlebihan.
Film-film seperti Basic insting, Saw, American History dan total
recall, semata-mata hanya menciptakan kengerian dari kehidupan
sehari-hari” (Sumarno,1998:85).
Salah satu film yang bercerita tentang fenomena politik dan
bersifat nasionalisme baru-baru ini yaitu film yang berjudul “The
Lady” Film yang mengangkat kisah nyata dari biografi tokoh
politisi, nasionalis dan seorang ibu negarawan yang di tindas
hak-hak sebagai warga Negara ini disutradarai oleh Luc Besson dan
dibintangi oleh artis kawakan Michelle Yeoh sebagai Aung San
Suu Ky seorang politisi dan ibu negarawan di Burma.
Menceritakan kisah kehidupan seorang tokoh politik perempuan di
Myanmar bernama Aung San Suu Kyi, Film The Lady mencoba
mengangkat sisi lain dari putri Jenderal Myanmar, Aung San
tersebut.
Cerita dimulai pada tahun 1947. Saat Suu Kyi kecil sedang
untuk memperjuangkan demokrasi di negara yang awalnya
memiliki ibu kota yangon pada saat itu
Saat bersama dengan putrinya itu, Aung San dijemput untuk
pergi bertemu dengan tokoh politik dan masyarakat guna
membicarakan strategi politik Myanmar, di tengah pertemuan
tersebut, Aung San bersama tokoh-tokoh yang sedang berunding
tewas ditembak oleh tentara pemberontak yang bergerak dibawah
rezim militer yang tidak menginginkan adanya gerakan demokrasi
di Myanmar
Saat menjalani kehidupannya, tiba-tiba saja Suu Kyi
mendapat kabar dari kerabatnya di Myanmar bahwa sang ibu
tengah sakit keras. Mendengar hal ini, Suu Kyi kontan berkemas
dan segera bertolak menuju Myanmar
Setibanya disana, Suu Kyi mendapati keadaan Negara
Myanmar sedang mengalami gejolak politik. Benturan aparat
dengan warga dan para mahasiswa terjadi dimana-mana, jatuhnya
korban jiwa pun tak terelakkan. Di tengah gejolak tersebut,
masyarakat yang menginginkan adanya perubahan dalam
pemerintahan Myanmar meminta Suu Kyi sebagai putri dari Aung
San yang sebelumnya berjuang untuk mendirikan demokrasi,
meneruskan perjuangan ayahnya. lewat restu suami dan
tokoh masyarakat dan perwakilan mahasiswa bahu-membahu
mensosialisasikan tentang demokrasi untuk mewujudkan Myanmar
sebagai Negara yang lebih baik
Jika diamati sesuai dengan pandangan yang dikemukakan
oleh Medved (Sumarno,1998), film ini termasuk salah satu dalam
kategori film yang menjungjung tinggi nilai nasionalime dan juga
sebagai seorang ibu dari anak-anaknya yang di pisahkan oleh
kepentingan negaranya.
Konsep nasional adalah paham yang menciptakan dan
mempertahankan kedaulatan sebuah Negara dengan mewujudkan
satu konsep identitas bersama.
Menurut arti kata nasional adalah bersifat kebangsaan;
berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa:
cita-cita --; perusahaan --; tarian --; menasional menjadi nasional:
aspirasi masyarakat tertampung dl satu wadah hukum yang
menasionalkan membuat menjadi nasional; penasionalan dan
proses, cara, perbuatan menjadikan bersifat nasional: agar
diperjuangkan ~ buruh pd perusahaan asing; kenasionalan dan sifat
dan sebagainya yang ada pada bangsa; kebangsaan.
http://www.elbirtus.info/2012/09/definisinasional.html#ixzz29H6b
Nasionalis adalah pecinta nusa dan bangsa sendiri atau
orang yang memperjuangkan kepentingan bangsanya. Sedangkan
nasionalisme adalah paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan
Negara sendiri dan secara bersama-sama mencapai,
mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas,
kemakmuran dan kekuatan bangsa itu, yang disebut semangat
kebangsaan. Bangsa merupakan suatu komunitads ‘terbayang yang
para anggota masyarakat terkecil sekalipun tidak akan mengemal
sebagian besar anggota lainnya, hal terpenting tetap berdirinya
suatu bangsa adalah adanya perasaan kebersamaan dan
persaudaraan sebagai komunitas bangsa tersebut. Benedict
Anderson (dalam Mdjid,2004:vii0. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia(KBBI) bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya
terikat karena kesatuan bahasa dan budaya dalam arti umum dan
biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Menurut
Ernest Rean filsuf asal Perancis, bangsa adalah suatu solidaritas
besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran, bahwa orang telah
berkorban banyak, dan bersedia untuk member korban lagi . ia
mengandung pengertian suatu waktu yang lampau, tapi terasa
dalam waktu yang sekarang sebagai kemyataan yang dapat
dipegang yakni persetujuan, keinginan yang dinyatakan tegas
untuk melanjutkan hidup bersama. (
Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang
paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia. Dalam
seratus tahun terakhir tak ada satu ruang social di muka bumi yang
lepas dari pengaruh ideology ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah
manusia akan berbeda sama sekali.
(http://kompas .com/kompas-cetak/0411/bentara/1363295.htm)
Dalam film “The Lady” terlihat jelas bahwa film ini sangat
mengandung unsur rasa kenasionalisme pada suatu Negara karena
kisah film ini merupakan kisah nyata seorang aktivis nasional yang
memperjuangkan nasib rakyat di suatu Negara dari keterpurukan
dan penindasan dari berbagai pihak yang memiliki suatu
kepentingan politik dan kekuasaan. Film ini juga bisa dikatakan
sebuah dokumenter seseorang tokoh nasional, seorang ibu Negara,
juga ibu rumah tangga yang bernama Aang Sang Syu Kyi. Karena
banyak skali unsur – unsur nasionalisme dalam cerita film ini,
peneliti merasa yakin mengambil film ini sebagai pembahasan
tentang nasionalisme dengan sosok wanita atau seorang ibu sebagai
pelaku nasionalisme.
Banyak sekali contoh – contoh permasalahan mengenai rasa
nasionalisme di Indonesia yang telah terjadi pada masa
kemerdekaan dan yang telah terjadi pada masa modern saat ini.
tanggal 17 Agustus 1945, dengan penghuninya yang disebut bangsa
Indonesia, persoalan ternyata belum selesai. Bangsa Indonesia
masih harus berjuang dalam perang kemerdekaan antara tahun
1945-1949, tatkala penjajah menginginkan kembali jajahannya.
Nasionalisme kita saat itu betul-betul diuji di tengah gejolak politik
dan politik divide et impera Belanda. Setelah pengakuan
kedaulatan tahun 1949, nasionalisme bangsa masih terus diuji
dengan munculnya gerakan separatis di berbagai wilayah tanah air
hingga akhirnya pada masa Demokrasi Terpimpin, masalah
nasionalisme diambil alih oleh negara. Nasionalisme politik pun
digeser kembali ke nasionalisme politik sekaligus kultural. Dan,
berakhir pula situasi ini dengan terjadinya tragedy nasional 30
September 1965.
http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf
=1&id=2257
Contoh tersebut membuktikan bahwa permasalahan
nasionalime telah terjadi pada masa kemerdekaan yakni pada tahun
1945 – 1949. Adapun permasalahan nasionalisme di Negara
Indonesia pada zaman Reformasi seperti pada tahun 1998 terjadi
Reformasi yang memporakporandakan stabilitas semu yang
dibangun Orde Baru. Masa ini pun diikuti dengan masa krisis
nasionalisme itu pun kemudian memudar. Banyak yang
beranggapan bahwa nasionalisme sekarang ini semakin merosot, di
tengah isu globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi yang semakin
menggila.
http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf
=1&id=2257
Dan contoh terakhir yang terjadi pada masa modern adalah
Kasus Ambalat, beberapa waktu lalu, secara tiba-tiba
menyeruakkan rasa nasionalisme kita, dengan menyerukan
slogan-slogan "Ganyang Malaysia!". Setahun terakhir ini, muncul lagi
"nasionalisme" itu, ketika lagu "Rasa Sayangsayange" dan "Reog
Ponorogo" diklaim sebagai budaya negeri jiran itu. Semangat
"nasionalisme kultural dan politik" seakan muncul. Seluruh elemen
masyarakat bersatu menghadapi "ancaman" dari luar. Namun
anehnya, perasaan atau paham itu hanya muncul sesaat ketika
peristiwa itu terjadi. Dalam kenyataannya kini, rasa "nasionalisme
kultural dan politik" itu tidak ada dalam kehidupan keseharian kita.
Fenomena yang membelit kita berkisar seputar: Rakyat susah
mencari keadilan di negerinya sendiri, korupsi yang merajalela
mulai dari hulu sampai hilir di segala bidang, dan
pemberantasan-nya yang tebang pilih, pelanggaran HAM yang tidak bisa
penyalahgunaan kekuasaan, tidak menghormati harkat dan
martabat orang lain, suap-menyuap, dan lain-lain. Realita ini
seakan menafikan cita-cita kebangsaan yang digaungkan seabad
yang lalu. Itulah potret nasionalisme bangsa kita hari ini.
http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf
=1&id=2257
Pada akhirnya kita harus memutuskan rasa kebangsaan kita
harus dibangkitkan kembali. Namun bukan nasionalisme dalam
bentuk awalnya seabad yang lalu. Nasionalisme yang harus
dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk
mengatasi semua permasalahan di atas, bagaimana bisa bersikap
jujur, adil, disiplin,berani melawan kesewenang-wenangan, tidak
korup, toleran, dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita tidak bisa
lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran
total
Untuk itu peneliti menggunakan analisis semiotik sebagai
alat analisis. Secara etimologis, istilah Semiotika berasal dari kata
Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri
didefinisikan sebagai sesuatu yang atasa dasar konvensi sosial yang
terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.
(Eco, dalam Alex Sobur 2002:95).dalam hal ini peneliti
menggunakan teori semiotik dari John Fiske. Sebuah metode yang
didasarkan atas kenyataan bahwa film adalah suatu bentuk pesan
komunikasi. Komunikasi sendiri adalah suatu proses simbolik
yakni penggunaan lambing-lambang yang diberi makna. Lambang
atau simbol adalah suatu yang digunakan untuk menunjuk atau
mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Tetapi
lambang pada dasarnya tidak mempunyai suatu makna pada satu
lambang. Sedangkan semiotika menaruh perhatian pada apapun
yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua
hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti
penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain
itu tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada disuatu
tempat pada suatu waktu tertentu (Berger, 2000:11-12 dalam
Bhirowo, 2004:18). Sistem semiotika yang lebih penting lagi
dalam film adalah digunakannya tanda ikonis, yaitu
tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Para semiolog memandang
film, program televisi, poster, iklan, dan bentuk lainnya sebagai
teks semacam dalam linguistic. Dalam hal ini film dapat bertugas
untuk memperluaskan bahasa (Barthes, 2001:53)
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin
meneliti “Bagaimanakah Representasi Nasionalisme dalam film
1.3. Tujuan Peneliti
Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam skripsi ini
adalah untuk mengetahui representasi Nasionalisme dalam film
“The Lady”
1.4. Manfaat Penelitian
Peneliti ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik
secara teoritis maupun praktis, antara lain:
1. Secara Teoritis
Hasil dari penelitian ini mampu memberikan kajian tentang
paradigma konstruktivis dengan metode semiotic dan sebagai
penambah wawasan nasionalisme pada film
2. Secara Praktis
Mampu menjelaskan representasi nasionalisme dalam film
BAB II
KAJ IAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Film Sebagai Komunikasi Massa
Pengertian Film menurut Undang-Undang nomor 8 tahun
1992 (8/1992), tanggal 30 Maret 1992 (Jakarta) tentang :
Perfilman, pasal 1. Film adalah karya cipta seni budaya yang
merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat
berdasarkan sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita,
video dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam bentuk,
jenis, ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau
proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan
dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik,
dan atau lainnya. (http://fpfi.org/forum/viewtopic.php?t=17)
Komunikasi Massa adalah komunikasi melalui media
massa modern, yang meliputi surat kabar, yang mempunyai
sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditunjukkan
kepada umum, dan film dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop.
Mengapa hanya dibatasi di media tersebut? Jawaban terhadap
menimbulkan masalah dalam semua bidang kehidupan dan
semakin lama semakin canggih akibat perkembangan teknologi,
sehingga senantiasa melakukan pengkajian yang seksama
(Effendy,2003:79).
Dalam komunikasi massa film dengan televisi mempunyai
sifat yang sama yaitu audio visual, bedanya mekanik atau non
elektronik dalam proses komunikasinya dan rekreatif-edukatif
persuasif atau no informatif dalam fungsinya. Dampak film bagi
khalayak sangat kuat dalam menimbulkan efek afektif, karena
medianya berkemampuan untuk menanamkan kesan, layarnya
untuk menayangkan cerita relatif besar, gambarnya jelas, dan
suaranya yang keras dalam ruangan yang gelap membuat suasana
penonton mencekam.
Seorang komunikator melalui media massa dikatakan
mahir, apabila ia berhasil menemukan metode yang tepat untuk
menyiarkan pesannya. Meskipun jumlah komunikannya mencapai
jutaan, kontak yang asasi adalah antara dua orang, benak
komunikator harus mengenai benak komunikan. Komunikasi
Massa yang berhasil adalah kontak pribadi dengan pribadi yang
diulangi ribuan kali secara serentak.
“Jadi dalam komunikasi massa ada 2 tugas komunikator,
harus menyampaikannya”(Effendy,2003:81). Adapun ciri-ciri dari
komunikasi massa adalah :
a. Komunikator melembaga
b. Pesan bersifat umum
c. Media menimbulkan keserempakan
d. Komunikan bersifat heterogen
e. Proses berlangsung satu arah
Menurut, Wright komunikasi massa memiliki empat
macam fungsi (Wiryanto,2000:11) yaitu :
a. Surveillance, menunjuk pada fungsi pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian dalam
lingkungan, baik diluar maupun didalam masyarakat. Fungsi
ini berhubungan dengan apa yang disebut Handling News.
b. Correlation, meliputi fungsi interpretasi pesan yang menyangkut lingkungan dan tingkah laku tertentu dalam
mereaksi kejadian-kejadian, funsi di identifikasikan sebagai
fungsi editorial dan propaganda.
c. Transmissions, menunjuk pada fungsi mengkomunikasikan informasi, nilai-nilai dan norma sosial budaya dari satu
masyarakat kepada pendatang baru. Fungsi ini di
identifikasikan sebagai fungsi pendidikan.
d. Entertainment, menunjuk pada kegiatan-kegiatan komunikatif
yang dimaksudkan untuk memberi hiburan tanpa
mengaharapkan efek-efek tertentu.
Film merupakan media untuk komunikator, yang dalam hal
ini adalah orang yang memiliki ide cerita/creator, untuk
menyampaikan gagasannya tentang sesuatu. Yaitu apa yang
menjadi tema suatu film yang dibuat. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Mira Lesmana :
“Film adalah pilihan hidup saya dan medium ekspresi pilihan saya, buat saya film indonesia adalah rekaman pikiran manusia-manusia Indonesia pada jamannya “Extremely Important To Be Exist.com” (Lesmana:2000.Layarkata)
Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk
menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu,
serta menyajikan cerita, musik, drama, lawak dan sajian teknis
lainnya kepada masyarakat umum (McQuail,1994:13)
` 2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial
Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat.
masyarakat dan memproyeksikan kedalam layar. (Irwanto dalam
Alex sobur.2002:127).
Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas.
Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu.
Baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti
sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang
ditinggalkan pada masa lampau cara menghadapi masa kini dan
keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga
dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha
menampilkan “citra bergerak” (moving image) namun juga telah di
ikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik,
kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga sudah
dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunitas tertentu.
Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, karena sifatnya yang
universal. Meskipun demikian, film juga bukan tidak menimbulkan
dampak negative.
(Victor C.Mambor:http//situskunci.tripod.com/teks/victor1.htm)
Teori konstruksi realitas sosial diperkenalkan oleh peter L
Berger, seorang sosiolog interpretative. Bersama Thomas
Luckman, ia menulis sebuah risalat teoritis utamanya, The Social
bergantung pada manusia yang menjadi subyeknya. Bagi Berger,
realitas sosial secara objektif memang ada, tapi maknanya berasal
oleh hubungan subyektif (individu) dengan dunia objektif.
(Poloma,2000:299)
Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengan
menyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui
realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang
berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar
kemampuan kita. Menurut Berger, kita semua mencari
pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya
dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita
sehari-hari. Berger setuju dengan pernyataan fenomologis bahwa
terhadap realitas berganda daripada hanya suatu realitas tunggal.
Berger bersama Garfinkel berpendapat bahwa ada realitas
kehidupan sehari-hari yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan
realitas yang lebih penting. Realitas ini dianggap sebagai realitas
yang teratur dan terpola, biasanya diterima begitu saja dan non
problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola (typified)
realitas sama-sama dimiliki oleh orang lain. Akan tetapi, berbeda
dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan
sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif
manusia merupakan instrument dalam menciptakan realitas sosial
realitas subyektif). Dalam metode yang dialektis, Berger melihat
masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk
masyarakat. (Poloma,2000:13)
Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas
sosial mempunyai tiga tahap :
Pertama, Eksternalisasi, yakni usaha untuk pencurahan atau
ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental
maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, Ia akan
selalu mencurahkan diri ke tempat dimana Ia berada. Manusia
tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari
dunia luarnya.
Kedua, Objektivasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental
maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi. Hasil itu menghasilkan
realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu
sendiri sebagai suatu aktivitas yang berada diluar dan berlainan
dari manusia yang menghasilkannya.
Ketiga, Internalisasi. Proses ini lebih merupakan penyerapan
kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa
sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh stuktur dunia sosial.
Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan
kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.
Melalui proses internalisasi, manusia menjadi hasil dari
masyarakat. (Eriyanto, 2002 : 14-15).
Dalam sejarah umat manusia, obyektifikasi, internalisasi
dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus.
Proses ini, merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat,
diluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk
individu-individu dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya.
Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hukum yang
mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas
obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi
bisa mempengaruhi nilai-nilai sosial. Realitas obyektif ini
diinternalisir oleh anak-anak melalui proses sosialisasi dan disaat
dewasa merekapun tetap menginternalisir situasi-situasi baru yang
mereka temui dalam dunia sosialnya. Akan tetapi, manusia tidak
seluruhnya ditentukan oleh lingkungan. Dengan kata lain, proses
sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang tuntas
manusia memiliki peluang untuk mengeksternalisasi atau secara
kolektif membentuk dunia sosial mereka. Eksternalisasi
mengakibatkan terjadinya perubahan aturan sosial. Dengan
demikian, masyarakat adalah produk manusia yang tak hanya
dibentuk oleh masyarakat, tapi secara sadar atau tidak telah
2.1.3. Representasi
Menurut John Fiske yang dimaksud dengan representasi
adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas
disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau
kombinasinya (Fiske, 2004:282).
Konsep representasi adalah proses pemaknaan yang berupa
simbol-simbol yang terdapat dalam film yang diteliti, sehingga kita
dapat mengetahui hasil yang didapat setelah melakukan
representasi terhadap film yang diteliti.
Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan
kajian utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai
sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosialn dan
disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu.
Cultural studie memfokuskan diri kepada bagaimana proses
pemaknaan representasi itu sendiri. (Chris Barker, 2004:8)
Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu
praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan
merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut
‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari
kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu
yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling
berbagi konsep-konsep yang sama. (Nuraini Juliastuti, 2000:4)
representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk media
(terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau
kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas
budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan
bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film.
(http://www.aber.ac.uk/media/Modules/MC30820/represent.html).
Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama
representasi mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada
dikepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi
mental ini masih berbentuk abstrak. Kedua, bahasa yang berperan
penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada
didalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim,
supaya kita dapat menghubungkan konsep ide-ide kita tentang
sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia
dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara
sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua,
kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta
konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi dalam
bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara
bersama-sama itulah yang kita namakan representasi. (Juliastuti,
2000:http//kunci.or.id/teks/04rep2.htm).
Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada
pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi
yang sudah pernah ada. Intinya adalah makna akan inheren dalam
suatu dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses
representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang
membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.
(http//kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)
Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada
pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau
sebuah gagasan ditunjukkan dalam media massa
(Eriyanto,2001:113).
Dalam film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar,
cara bercerita, skenario, penokohan, dialog dan beberapa unsur lain
didalamnya. Menurut Graeme Turner (1991:128), makna film
sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film
sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas,
film sekedar memindah ke layar tanpa mengubah realitas itu.
menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode,
konvoi-konvoi ada ideologi kebudayaanya. (Irawanto,1999:15).
2.1.4. Konsep Nasionalime Myanmar
Konsep nasionalisme adalah sama dengan identitas sosial
karena juga menjelaskan bagaimana orang melampirkan kelompok
mereka. Jika individu memiliki harga diri yang lebih tinggi,
mereka lebih cenderung untuk melampirkan kelompok mereka.
Menurut SIT ini, orang lebih suka mereka-kelompok atas
keluar-kelompok. Mereka termotivasi untuk merasa baik tentang
kelompok mereka. Demikian pula, nasionalis adalah kelompok
anggota yang termotivasi untuk memiliki keterikatan yang kuat dan
positif bagi bangsa mereka dan yang mengidentifikasi diri mereka
dengan kelompok tertentu atau bangsa pertama dan terutama.
Karena nasionalis yang kuat melekat pada bangsa mereka, mereka
berkomitmen untuk persatuan, kemerdekaan, martabat, dan
kesejahteraan masyarakat nasional dan negara-bangsa. Oleh karena
itu, di negara nasionalistik, bahkan jika orang tidak menyukai
pemerintah mereka, mereka masih mencintai komunitas nasional
dan negara-bangsa (Cottam dan Cottam, 2001, halaman 2).
Dusan Kecmanovic (1996) menyarankan bahwa kesetiaan
mendasar dari nasionalisme, dan individu yang mengidentifikasi
dengan kelompok tertentu atau bangsa pertama dan terutama
disebut nasionalis. Nasionalis terutama setia pada komunitas
nasional nya dirasakan dan negara-bangsa (Cottam et al., 2004,
p.192). Sebagai contoh, jika sekelompok orang menyebut diri
mereka Burma, mereka juga melihat diri mereka sebagai bagian
dari rakyat Burma.
Nasionalisme telah menjadi faktor penting untuk
menjelaskan konflik etnis. Konflik nasionalistik Yugoslavia dan
Uni Soviet runtuh. Dengan memahami perilaku nasionalisme dan
kebangsaan, kami dapat menjelaskan dan memprediksi konflik di
masa depan dan kekerasan. Nasionalisme dapat dijelaskan oleh
banyak faktor. Beberapa penelitian telah menggunakan non-faktor
psikologis seperti simbol nasionalis, wacana nasionalis seperti
karya sastra, puisi, ingatan kolektif, dan lagu untuk menjelaskan
nasionalisme, sementara yang lain telah menggunakan faktor
psikologis seperti sosial identitas, stereotip, dan prasangka.
Simbol nasionalisme dapat memiliki kekuatan untuk
memotivasi orang untuk menjadi lebih nasionalistis. Ini simbol
bendera, peristiwa bersejarah seperti keberhasilan dalam
pertempuran besar, dan gagasan tanah air atau tanah.
Sejak-nasionalis sangat menghargai kemerdekaan, persatuan, martabat,
dengan cepat terhadap penggunaan simbol-simbol untuk
memobilisasi mereka untuk mencapai tujuan nasional ‖ (Cottam et
al., 2004, hal. 193). Selama krisis, para pemimpin menggunakan
simbol-simbol untuk memobilisasi warga negara mereka untuk
menjadi lebih nasionalistis.
Nasionalisme juga disebabkan oleh serangkaian mitos
seperti memori kolektif korban dan kepahlawanan. Misalnya,
Selain etnis di Burma memiliki memori kolektif mereka genosida
oleh Birma, dan juga dari sejarah besar dan mulia. Demikian pula,
Serbia memiliki memori kolektif kekalahan dalam pertempuran di
Kosovo dan korban oleh Kroasia.
Wacana tersebut telah ada untuk waktu yang sangat lama.
Elit Nasionalis menggunakannya selama krisis kepada orang-orang
motif untuk menjadi lebih nasionalistis. Sebagai contoh, para
pemimpin Serbia menggunakan wacana selama tahun 1987 dan
1991 untuk memotivasi Serbia untuk menjadi lebih nasionalis dan
terhadap negara lain seperti Kroasia, Muslim, dan Albania di bekas
Yugoslavia. Ketika ada konflik antara dua kelompok, wacana
nasionalis berubah menjadi massal memobilisasi, dan ideologi
nasionalis yang ekstrim (Abrams, 2003).
Ada banyak faktor psikologis seperti identitas sosial,
digunakan untuk menjelaskan penyebab nasionalisme. Namun,
menurut Searle-Putih (2001), faktor-faktor ini, mengancam
identitas nasional memainkan peran penting dalam menjelaskan
penyebab nasionalisme. Tanpa memahami identitas nasional,
penulis berpendapat, pemahaman kita tentang konflik nasionalis
tidak lengkap. Jadi, kita perlu memahami bagaimana aspek
emosional dari konflik terkait dengan nasional identitas. Dia
menunjukkan titik ini dengan mempelajari dua kasus konflik
nasionalis: Armenia dan Azerbaijan, dan Tamil dan Sinhala di Sri
Lanka. Ia menemukan bahwa dalam kedua kasus, mengancam
identitas merupakan faktor utama yang menyebabkan bangkitnya
nasionalisme dalam masyarakat itu. Dengan kata lain, konflik
antara kelompok-kelompok etnis muncul ketika satu kelompok
etnik melihat kelompok lain sebagai ancaman terhadap identitas
mereka. Menurut Searle-Putih, ketika identitas kita terancam, kita
merasa identitas kita rapuh. Ini adalah apa yang membawa
kita-menjadi konflik nasionalis dan kekerasan '(hal. 4). Sebagai contoh,
pembantaian 50.000 orang Armenia pada tahun 1894 dan 1896
oleh Turki mengancam kelangsungan hidup tidak hanya fisik
Armenia, tetapi juga kelangsungan hidup budaya mereka sebagai
kelompok yang berbeda. Ancaman tersebut dapat mengakibatkan
konflik politik, termasuk pemberontakan dan gerakan pemisahan
Myanmar merupakan suatu wilayah di Asia Tenggra yang
memiliki kekuatan luar biasa. Wilayah ini pun bahkan cukup
terisolasi sejak lama. Hal ini disebabkan oleh keadaan geografisnya
yang tertututp antara gunung lembah dan samudera. Sebelum
masuknya kolonialisme Inggris, suku-suku di Burma sering terjadi
penaklukan antar suku sehingga sering terjadi perang. Orang
Burma menaklukan Mon di abad 11, Dominasi Shan di Burma
tengah diikuti dengan pendudukan oleh Mongol di 1287,
kemunculan kembali kerajaan Mon di selatan akhirnya ditaklukan
kembali oleh orang Burma pada abad 18, dan ekspedisi burma
melawan Arakan.
Burma sebagaimana yang telah diketahui ialah wilayah
yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Buddha. Struktur masyarakat
Burma dipengaruhi oleh agama ini. Pendeta-pendeta Buddha
(pongyi) selalu menjadi bahan pertimbangan keputusan dari para raja-raja Burma sejak jaman pra kolonial. kekuatan Buddha ini
lantas menjadi kekuatan yang utama dalam nasionalisme Burma.
Burma juga merupakan suatu contoh pergerakan nasionalisme Asia
Tenggara yang digerakan oleh Budhisme.
Kehadiran Inggris membawa pengaruh besar terhadap
kehidupan politik dan berbudaya di Burma. Penaklukan Inggris
tidak hanya menghancurkan kekuasaan tradisional dari Burma
lama-lama menghilang ditambah lagi dengan perluaan agama
Kristen yang dilakukan oleh Inggris membuat agama Buddha
semakin lama semakin terdesak. Hubungan antara nasionalisme
dengan budhisme dapat dilihat ketika kebijakan colonial Inggris
menghilangkan struktur budhisme di Burma. Aturan raja yang
menganut Budhism dihilangkan.
Buddha semakin lama semakin berani untuk menunjukkan
rasa nasionalisme mereka melawan pemerintahan kolonial inggris
yang sewenang-wenang. Gerakan Budhisme ini direfleksikan
dengan gerakan para biarawan Budha (pongyi). Pada tahun 1905
dibentuklah YMBA (Young Men’s Buddhist Association). Gerakan
ini ingin mengembalikan kejayaan kultural dan agama Budha yang
telah dihancurkan oleh Inggris.
Gerakan Buddha tidak berhenti begitu saja, namun dapat
meneruskan perjuangannya melalui sekolah-sekolah tradisional
Buddha yang bertujuan untuk melestarikan budaya tradisional yang
lama kelamaan telah terkikis oleh budaya kolonial. Hal ini
biasanya terjadi di pedesaan. Umumnya sekolah yang seperti ini
tidak diakui oleh pemerintahan Inggris dan tidak mendapat
sokongan dana dari pemerintah Inggris. Pada tahun 1939-1940
terdapat 18.000 sekolah yang tidak diakui oleh pemrintah. Gerakan
pendidikan Budha ini lantas menimbulkan Nasionalisme. Hal
kolonial di Burma mendapat tentangan dari kalangan masyarakat
Burma dan salah satu bentuk penentangan tersebut ialah dengan
jalan mendirikan sekolah tradisional Buddha agar dapat menahan
derasnya arus budaya kolonial.
Selain pelajar, gerakan Buddha pun mendapat dukungan
dari gerakan politik di Burma untuk menentang imperialisme.
Gerakan politik nasionalisme Burma semakin banyak pemimpin
pemberontakan dan partai-parati yang ada di Burma bergabung
dengan gerakan Budha. partai Thakin yang berorientasi pada
marxisme (Komunis) menerima Budha sebagai komponen terbesar
dalam kebudayaan. Setelah periode perang Buddhism sangat
mendominasi kehidupan berbudaya di Burma. Dilaporkan bahwa
kemerdekaan Burma pada 4 Januari 1948 telah direkomendasikan
oleh ahli nujum. Seperti yang kita ketahui bahwa U Nu dan Aung
San ialah penganut agama Buddha yang taat. Buddha memang
telah menjadi agama yang mengakar kuat dalam masyarakat
Burma. Agama ini memang telah memiliki peran penting dalam
menentang imperialisme dan kolonialisme dari Inggris sehingga
menciptakan rasa nasionalisme. Rasa nasionalisme yang
didengungkan oleh para pendeta Buddha tak hanya didengar dari
para pengikut Buddha yang taat saja, namun juga dar para pelajar
dari universitas yang cenderung sekular dan bahkan dari partai
menunjukkan bahwa konflik beragama di Buddha sangatlah sulit
ditemukan bahkan sebaliknya agama dapat menjadi media yang
tepat untuk membangkitkan rasa nasionalisme di Burma.
http://sejarah.kompasiana.com/2011/06/17/budhisme-dan-nasionalisme-di-burma/
2.1.5. Buddhisme di Myanmar
Buddhisme adalah agama terbesar keempat dunia dan
berasal di India. Siddhartha Gautama, seorang pangeran prajurit
yang tinggal 566-480 SM didirikan Buddhisme. Gautama lelah dan
letih hidup mewah. Dia meninggalkan kehidupan pangeran untuk
mencari kebenaran tentang kehidupan. Dia menghabiskan
bertahun-tahun laku silih yang keras di bawah pohon Bodhi untuk
mencari pembebasan dari nilai-nilai material dari kehidupan.
Setelah bertahun-tahun silih ia mencapai pencerahan dan kemudian
dikenal sebagai ” Buddha” . Buddha berarti ” Yang Tercerahkan” .
Setelah pencerahan, ia berkeliling India menyampaikan
pengetahuan yang bijaksana ia dicapai. Secara bertahap, ajarannya
menyebar ke negara-negara Asia Selatan. Buddhisme adalah
agama populer yang dipraktekkan oleh banyak di seluruh dunia.
Seperti Buddhisme menyebar ke banyak negara itu dibagi menjadi
banyak jumlah sekte. Setiap sekte telah mengadopsi berbagai
keyakinan, ritual, praktek dan kebiasaan. Namun, semua sekte
Buddhisme percaya semua individu terlepas dari ras, usia dan latar
belakang bisa mencapai kebahagiaan. Salah satu kepercayaan dasar
Buddhisme adalah keyakinan bahwa semua delusi dan keadaan
mental yang negatif dapat diatasi melalui latihan meditasi.
Keyakinan lain dasar Buddhisme adalah reinkarnasi. Doktrin
Buddha percaya pada siklus kelahiran, kematian kehidupan, dan
kelahiran kembali. Doktrin itu menekankan pada siklus ini dan
percaya Nirvana dicapai ketika salah satu gudang keinginan dan
ego. ” Empat Kebenaran Mulia” juga termasuk dalam keyakinan
dasar Buddhisme.
1. Kebenaran Pertama
Kebenaran pertama adalah ” Dukkha” atau penderitaan.
Menurut keyakinan dasar ada penderitaan dalam kehidupan
setiap individu. Penderitaan termasuk kesepian, frustrasi, malu,
marah dan takut. Ini adalah realitas dan bukan pesimisme.
Keyakinan agama Buddha menjelaskan bagaimana untuk
menghindari penderitaan dan mencapai kebahagiaan.
2. Kebenaran Kedua
Kebenaran mulia kedua adalah ” Samudaya” . Menurut
kebenaran dan kepercayaan dasar dari Buddhisme dan
keengganan keinginan adalah akar penyebab penderitaan.
kebahagiaan dan kepuasan. Kecuali seorang individu curbs
laparnya untuk kemewahan hidup, ia tidak akan mencapai
nirwana.
3. Kebenaran Ketiga
”Nirodha” adalah kebenaran mulia ketiga. Kebenaran ini
menjelaskan bagaimana seseorang bisa mengatasi penderitaan
dan mencapai kebahagiaan. Sesuai dengan keyakinan ini,
seorang individu tidak boleh berkutat pada insiden yang terjadi
di masa lalu atau berpikir terlalu banyak tentang masa
depannya. Hidup akan senang jika seseorang belajar untuk
hidup setiap hari setiap waktu.
4. Kebenaran Keempat
”Marga” adalah kebenaran terakhir. Menurut Kebenaran
keempat, untuk mengakhiri penderitaan dan mencapai nirwana,
seorang individu harus mengikuti ” Delapan kali lipat Path” .
The ” Delapan kali lipat Path” menekankan pada fokus pikiran
seseorang untuk menjadi sadar akan pikiran dan tindakan. Hal
ini juga memberikan pentingnya untuk moralitas dan
kehidupan yang sempurna. Anda akan memiliki pemahaman
yang lebih baik dari ” Empat Kebenaran Mulia” dengan penuh
belas kasih kepada orang lain dan juga dengan
http://infobebas.web.id/2011/kepercayaan-dasar-buddhisme.html
2.1.6. J unta Militer
Junta” berasal dari bahasa Spanyol yang berarti
“Komite” atau “Dewan Pimpinan”. Junta selalu mengacu
kepada kepemimpinan bersama dari beberapa orang (biasanya
mewakili satu institusi tertentu).
Junta militer lahir ketika pengambilalihan kekuasaan
(coup d’etat) kerap terjadi di Amerika Latin pada abad berikutnya, di mana ketika hal ini dilakukan oleh militer,
biasanya sistem pemerintahan junta militer hampir pasti
dibentuk. Beberapa negara Amerika Latin yang pernah
menerapkan junta militer adalah Brazil (1969), Chili (1924 &
1973), Argentina (1976-1983). Pemerintahan junta militer
selalui ditandai dengan penggunaan kekerasan pada wilayah
kekuasan. Chili pada masa junta militer pimpinan Jendral
Pinochet dan Argentina pada pada masa Jendral Galtieri
merupakan contoh untuk penggunaan kekerasan yang luar
biasa. Pada masa inilah puluhan ribu orang dihilangkan secara
paksa (involuntary disappearance), dibunuh, dan dipenjarakan
secara sewenang-wenang. Kekerasan dilakukan dengan tujuan
dan inisiatif politik, yang pada akhirnya adalah untuk
melindungi kekuasaan.
Kekacauan politik, sosial dan ekonomi sering menjadi
latar belakang kudeta militer. Atas dasar kekacauan/krisis
tersebut negara diperlakukan dalam “situasi pengecualian”
(state of exception). Di mana konstitusi dapat dibekukan sebagian atau seluruhnya. Dengan sendirinya
lembaga-lembaga politik demokratis tidak dapat bekerja. Semua
berjalan dalam logika krisis atau situasi darurat (Giorgio
Agamben, State of Exception, 2005, hlm. 2-6,) Pembekuan
konstitusi dan lembaga-lembaga demokratis dimaksudkan
untuk memudahkan negara dalam mengatasi krisis dan
memaksa semua untuk kembali ke situasi “normal”. Demi
normalisasi keadaan ini, pemberangusan setiap oposisi menjadi
sah. Karena militer yang menguasai dan monopoli alat
pemaksa (senjata) maka ia menjadi satu-satunya lembaga yang
memiliki keleluasaan untuk bergerak. Maka tidak heran jika
militer menjadi pihak yang merasa paling “nyaman” dalam
situasi state of exception.
Pengalaman junta militer di manapun, selalu
memanfaatkan dan terus mereproduksi state of exception.
hidup dalam situasi darurat. Hanya dengan demikian kehadiran
militer dalam kehidupan politik dapat diterima. Sementara itu
penataan ulang lembaga-lembaga politik, agar sesuai dengan
situasi darurat, dapat berarti pembekuan demokrasi dan
pelarangan segala bentuk oposisi dengan kekerasan jika
diperlukan. State of exception di tangan junta militer akan
menjadi tragedi bagi kebebasan dan demokrasi karena alih-alih
menormalkan situasi, junta militer lebih suka mengekalkan
keadaan darurat selama mungkin. Keadaan darurat sepertinya
menjadi tujuan pemerintahan demi mempertahankan
kediktatoran.
Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa junta yang pada
awalnya merupakan bentuk pemerintahan yang berusaha
mengakomodir berbagai kepentingan dalam satu pemerintahan
bersama (Chili, 1801), di tangan militer menjadi satu
konspirasi kediktatoran.
2.1.6.1 J unta Militer di Myanmar
Militer Myanmar lahir dari hasil gerakan pembebasan
nasional atas penjajahan Inggris. Burma Independence Army (BIA)
pimpinan Jendral Aung San (ayah Aung San Suu Kyi) adalah cikal
bakal militer Burma. Berapapun besarnya kontribusi BIA dalam
bahwa tentara lah yang membebaskan Burma dari penjajahan (ICG,
Asia Report No. 28, 7 Desember 2007).
Pasca perang dunia ke II, Burma menjadi negara merdeka
yang penuh dengan konflik etnis yang diperparah dengan
keterlibatan paramiliter bersenjata. Pengalaman melawan Inggris
dan Jepang, juga ancaman dari Cina dan Amerika setelah para
pendukung Kuomintang lari ke perbatasan Burma, membuat militer
sangat berhati-hati terhadap dunia luar (A&S Perspective, Summer
2002). Pemberontakan bersenjata telah menjadikan militer Burma
tumbuh menjadi kekuatan yang memainkan peranan penting.
Sedangkan pengalaman perjuangan kemerdekaan dan berhadapan
dengan ancaman dari luar telah membangun ideologi
nasionalis-etnosentris (ICG, Asia Report, 2007).
Persoalan politik yang tak kunjung selesai dimanfaatkan
oleh Jenderal Ne Win, panglima angkatan bersenjata pada saat itu,
mengambil alih kekuasaan pada tahun 1958-1960. Pada tahun 1962
Jenderal Ne Win kembali melakukan kudeta dan menerapkan
kediktatoran militer. Ne Win menutup Myanmar dari dunia luar
dan menerapkan sosialisme ala Myanmar yang beranggapan bahwa
Myanmar hanya dapat membangun dirinya apabila bersandarkan
kehidupan ekonomi dan politik hanya akan mengganggu proses
pembangunan sosialisme.
Perlawanan terhadap kediktatoran militer terus berlangsung
dan meluas. Puncak perlawanan terhadap Ne Win terjadi pada
tahun 1988. Di tahun ini, tepatnya tanggal 8 Agustus terjadi
demonstrasi besar-besaran yang melibatkan mahasiswa, pelajar,
biksu, bahkan sebagian birokrasi baik sipil dan militer ikut
melakukan perlawanan. Isu yang dibawa oleh gerakan ini adalah
demokrasi. Perlawanan ini berakhir setelah tentara pemerintah
bertindak keras dan membunuh kurang lebih 3.000 orang. Peristiwa
ini memberikan pengaruh kepada pemerintahan. Ne Win
mengundurkan diri, dan digantikan oleh beberapa perwira angkatan
bersenjata untuk memerintah bersama. Junta militer pun terbentuk
di Myanmar.
Berbeda dengan Ne Win, junta militer mulai membuka diri
kepada dunia luar untuk kepentingan ekonomi dan militer. Pada
masa inilah militer Burma melakukan modernisasi dan
penambahan pasukan berlipat kali. Militer Myanmar tumbuh
menjadi kekuatan terbesar kedua di Asia Tenggara setelah
Vietnam. Bertambahnya kekuatan militer juga berarti
bertambahnya kemampuan untuk melakukan represi terhadap
Pada 1990 pemerintah melaksanakan pemilu dan
dimenangkan mutlak oleh National League of Democracy yang
ikut didirikan oleh Aung San Suu Kyi. Namun parlemen bentukan
pemilu tidak pernah melakukan fungsinya karena militer melarang
dan segera membekukan parlemen. Suu Kyi pun ditangkap dan
ditahan. Junta kembali memerintah tanpa memedulikan proses
demokrasi yang telah dilaksanakan. Berbagai upaya untuk
melakukan perubahan politik berakhir dengan penangkapan,
penahanan dan pembunuhan. Bahkan pemerintah militer juga
membentuk organisasi-organisasi massa seperti Union Solidarity
Development Association (USDA) untuk mendukung program-program pemerintah sekaligus melawan kekuatan oposisi dengan
berbagai cara, termasuk teror.
Seperti kediktatoran militer di negara lain, militer Burma
juga mengambil kekuasaan atas dasar krisis dan reproduksi krisis
untuk mempertahankan kekuasaan. Demi mempertahankan dan
membangun sosialime Myanmar, Ne Win menutup Myanmar dari
dunia luar dan memerangi berbagai bentuk oposisi dengan
kekerasan. Demikian pula dengan junta militer.
2.1.7. Bentuk Nasionalisme Modern
Nasionalisme modern akan melahirkan kestabilan dan akan
kelompok etnis yang terpisah-pisah, karena nasionalisme
merupakan unsure penting bagi pembangunan bangsa Indonesia.
(Madjid,2002:32-33). Batasan-batasan nasionalisme modern
adalah:
(http//:www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-august/000018.html)
1. Adanya Suvennitet, yang berarti adanya ketidak bergantungan
pada pihak asing dan adanya kebebasan untuk menentukan nasib
sendiri.
2. Adanya Negara dimana pemerintahannya disokong oleh segenap
lapisan masyarakat. Dan adanya hubungan timbal balik dan saling
ketergantungan antara pemerintah dan rakyatnya.
3. Adanya Integral politik yang tidak mementingkan dirinya dan
kelompok sendiri.
4. Adanya ikatan bangsa yang kokoh dan adanya saling hubungan
timbale balik baik dengan bangsa-bangsa yang lainnya yang ada
diluarnya.
Artinya nasionalisme suatu bangsa itu harus dipandang tidak
terpisah dan terisolasi dari nasionalisme bangsa-bangs yang ada
diluarnya, dengan demikian maka terjadilah suatu nasional yang kuat
Nasionalisme jaman dulu berfugsi sebagai landasan pemersatu dan
tonggak kelahiran suatu Negara yang merdeka dalam konteks melawan
kolonialisme klasik maka nasionalisme saat ini dapat menjadi alat
untuk mempertahankan persatuan serta elemen spiritual dalam
kerangka mencari cara untuk memperbaiki atau membangun Indonesia
secara meneluruh di tengah-tengah era globalisasi.
(
http://osdir.com/ml/culture.region.china.budaya-tionghoa/2005-12/msg00411.html).
2.1.8. Respon Psikologi Warna
Warna merupakan simbol yang menjadi penandaan dalam
suatu hal. Warna juga dianggap sebagai suatu fenomena
psikologi. Respon psikologi dari masing-masing warna:
1. Merah : Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu,
agresif, bahaya. Merah jika
dikombinasikan dengan putih, akan
mempunyai arti “Bahagia” di budaya
Oriental.
2. Biru : Kepercayaan, konservatif, keamanan,
3. Hijau : Alami, sehat, keberuntungan
pembaharuan.
4. Kuning : Optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran,
pengecut (untuk budaya barat),
pengkhianat.
5. Ungu/Jingga : Spiritual, misteri, kebangsawanan,
tranformasi, kekerasan, keangkuhan
9. Putih : Kesucian, kebersihan, ketepatan,
ketidakbersalahan,
kematian,ketakutan,kesedihan,keanggunan
.
(http//www.toekangweb.or.id/07-tips-bentukwarna.1html).
2.1.9. Semiotika
Secara etimologis, istilah Semiotika berasal dari kata
Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri
terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.
(Eco, dalam Alex Sobur 2002:95)
Menurut John Fiske (2004:282), semiotika adalah studi
tentang pertandaan dan makna dari sitem tanda, ilmu tentang tanda,
tentang bagaimana makna dibangun dalam “teks” media, atau studi
tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat
yang mengkomunikasikan makna.
Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek,
peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. (Eco, dalam Alex
Sobur 2002:95). Pengertian lain juga dikemukakan oleh (Van
Zoest, dalam Alex Sobur 2002:96) mengartikan semiotik sebagai
ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya, cara
berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,
pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
mempergunakannya. Menurut Preminger (2001), ilmu ini
menganngap bahwa fenomena sosial atau masyarakat kebudayaan
itu meupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda
tersebut mempunyai arti.
Didalam sejarah perkembangan semiotika, berasal dari dua