• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI NASIONALISME DALAM FILM “THE LADY”.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI NASIONALISME DALAM FILM “THE LADY”."

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

oleh :

AFFAN AHADIAN

0743010236

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(2)
(3)

Disusun Oleh :

AFFAN AHADIAN

0743010236

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

PEMBIMBING

Dra. Dyva Claretta, Msi

NPT.366019400251

Mengetahui,

DEKAN

Dra. Ec. Hj. Supar wati, Msi

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

REPRESENTASI NASIONALISME DALAM FILM “THE LADY” (Studi

Analisis Semiotik Tentang Representasi nasionalisme Dalam Film “THE LADY”)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dyva Claretta, M.Si sebagai

dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan Skripsi

ini dan pada kesempatan ini juga penulis juga akan menyampaikan ucapan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak – pihak yan telah memberikan

bantuan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini baik moral maupun tenaga

antara lain :

1. Ibu Dra.Hj.Suparwati, MSi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Seluruh dosen FISIP khusunya Dosen Ilmu Komunikasi, yang telah bersedia

untuk mengajarkan semua hal – hal yang berharga dan tak ternilai.

4. Untuk ibu dan keluargaku yang telah memberiku semuanya, cinta,

perlindungan, waktu dan Materi dalam pengerjaan skripsi ini

5. Untuk “winduth”ku terimakasih untuk support dan segala yang kau berikan.

6. For Rea-Reo, Batok’s, Pleki, Brewik, Mama, Diaz, Bangau, Along, Gopel,

(12)

sangat diharapkan oleh penulis.

Skripsi ini adalah sebuah wujud terima kasih dan persembahan penulis

untuk seluruh pembaca, sebagai bentuk kecintaan dan penghargaan penulis

terhadap ilmu pengetahuan, juga dengan harapan besar semoga skripsi ini dapat

memberikan pengetahuan dan manfaat bagi semua yang membutuhkan. Terima

kasih.

Surabaya, 5 Desember 2012

(13)

KATA PENGANTAR ... iii

2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial ... 20

2.1.3. Representasi ... 25

2.1.4. Konsep Nasionalisme Myanmar ... 28

2.1.5. Buddhisme di Myanmar ... 35

2.1.6. Junta Militer ... 38

2.1.6.1. Junta Militer di Myanmar ... 40

2.1.7.Bentuk Nasionalisme Modern ... 43

2.1.8. Respon Psikologi Warna ... 45

2.1.9. Semiotika ... 46

2.1.10. Teori Semiotika ... 49

2.1.11. Definisi The Code Of Television ... 50

(14)

3.3. Unit Analisis ... 74

3.4. Jenis Sumber Data ... 75

3.4.1. Sumber Data Primer ... 75

3.4.2. Sumber Data Sekunder ... 75

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 75

3.6. Teknik Analisi Data ... 76

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 78

4.1. Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data ... 78

4.1.1. Gambaran Umum Film The Lady ... 78

4.1.2. Penyajian Data... 81

4.2. Analisis Data ... 82

4.3.Analisis Keseluruhan ... 113

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 114

5.1. Kesimpulan ... 114

5.2 Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117

(15)

ABSTRAKSI

AFFAN AHADIAN. REPRESENTASI NASIONALISME DALAM FILM

“THE LADY” (Studi Semiotik Terhadap Film “The Lady”)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Nasionalisme

direpresentasikan dalam film The Lady melalui tokoh utama Aung Ang Suu Kyi.

Teori-teori yang digunakan antara lain Teori Konstruksi Realitas Sosial,

Representasi, Nasionalisme Myanmar, Buddhisme di Myanmar, Nasionalisme

Modern, Respon Psikologi Warna, Semiotika, Definisi the Code of Television.

Film ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode

semiotik. Pendekatan semiotik yang dikemukakan John Fiske (grammar and tv

culture) melalui level realitas, level representasi, dan level ideologi. Data dibagi

menjadi tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi. Pada

level realitas, dianalisis penandaan yang terdapat pada kostum, make up, setting

dan dialog. Pada level representasi dianalisis penandaan pada level kerja kamera,

pencahayaan dan penataan suara. Pada ideologi dianalisis penandaan terhadap

ideologi yang terkandung dalam film. Teori-teori yang digunakan antara lain

Teori Konstruksi Realitas Sosial, Representasi, Nasionalisme Myanmar,

Buddhisme di Myanmar, Nasionalisme Modern, Respon Psikologi Warna,

Semiotika, Definisi the Code of Television.

Dari hasil analisis data dari penelitian ini dapat disimpulkan dalam film

yang diteliti ternyata untuk mencapai dan menciptakan Negara yang berdemokrasi

(16)

suatu negara. Karena tidak mudah menciptakan system pemerintahan demokrasi

dalam suatu Negara yang sedang bergejolak.

Kata kunci :

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Film adalah salah satu bentuk karya seni yang menjadi

fenomena dalam kehidupan modern. Sebagai objek seni abad ini,

film dalam proses berkembang menjadi salah satu bagian dari

kehidupan sosial, yang tentunya memiliki pengaruh yang cukup

signifikan pada manusia sebagai penonton. Film berperan sebagai

pembentuk budaya massa” (McQuail, 1987:13). “Selain itu

pengaruh film juga sangat kuat dan besar terhadap jiwa manusia

karena penonton tidak hanya terpengaruh ketika ia menonton film

tetapi terus sampai waktu yang cukup lama” (Effendy, 2002:208).

Jadi sebuah film merupakan bagian yang cukup penting dalam

media massa untuk menyampaikan suatu pesan atau setidaknya

memberikan pengaruh kepada khalayaknya untuk bertindak

sesuatu.

Film adalah dokumen kehidupan social sebuah komunitas.

Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukung itu. Baik

realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti

(18)

ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan

keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Dalam

perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan

“Citra bergerak” (moving image) namun huga telah diikuti oleh

muatan-muatan kepentingan tertentu seperti olitik, kapitalisme, hak

asasi manusia atau gaya hidup

(Victor C.Mambor:http://situskunci.tripod.com/teks/victor1.htm)

Hal ini sesuai yang dikatakan sumarno (1998:85) yang

mengatakan bahwa film adalah sebuah seni mutakhir dari abad 20

yang dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan,

merangsang pemikiran, dan dapat memberikan dorongan terhadap

penontonnya. Pengaruh terhadap khalayak luas sebagai penonton

ini lebih jauh misalnya sebuah film dapat menjadi media

menghibur masyarakat dalam bentuk komedi, atau bisa juga

mendidik melalui film dokumenter, dan lain sebagainya.

Dunia film, pada dasarnya juga bentuk pemberian informasi

kepada masyarakat. Film juga memberi kebebasan dalam

menyampaikan informasi atau pesan-pesan dari seorang pembuat

sineas kepada para penontonnya. Kebebasan dalam hal ini adalah

film seringkali secara lugas dan jujur menyampaikan sesuatu,

dipihak lain film juga terkadang malah disertai tendensi tertentu,

(19)

Berdasarkan maksud ingin memberikan informasi, secara

umum film dikelompokkan menjadi dua pembagian besar yaitu

film cerita dan non cerita. Film cerita adalah film yang menyajikan

kepada publik sebuah cerita yang mengandung unsur-unsur yang

menyentuh rasa manusia. Film yang bersifat auditif visual, yang

dapat disajikan kepada publik dalam bentuk gambar yang dapat

dilihat dengan suara yang dapat didengar, dan merupakan suatu

hidangan yang masak untuk dinikmati, sungguh merupakan suatu

medium yang bagus untuk mengolah unsur-unsur tadi, film itu

sendiri mempunyai banyak unsur-unsur yang terkonstruksi menjadi

kesatuan yang menarik. Unsur-unsur seks, kejahatan/kriminalitas,

roman, kekerasan, politik, rasisme dan sejarah adalah unsur-unsur

cerita yang dapat menyentuh rasa manusia, yang dapat membuat

publik terpesona, yang dapat membuat publik tertawa

terbahak-bahak, menangis terisak-isak, dapat membuat publik dongkol,

marah, terharu, iba, bangga, tegang dan lain-lain. Maka diambillah

dari kisah-kisah dari sejarah, cerita nyata dari kehidupan

sehari-hari, atau juga khayalan untuk kemudian diolah menjadi film

(Effendy,2003:207)

Setiap film yang dibuat atau diproduksi pasti menawarkan

suatu pesan kepada ara penonton. Jika dikaitkan dengan dengan

(20)

tapi sebaliknya efek negative dari film tersebut yang justru secara

mudah diambil dari penontonnya.

(http//:www.cinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2002/03/04/bud02.

html)

Film mempunyai dampak tertentu bagi penontonnya, dalam

banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat,

hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier.

Artinya film, baik yang ditayangkan di televisi atau bioskop, selalu

mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan

pesan (message) dibaliknya, tanpa berlaku sebaliknya. Selain itu,

kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial,

lantas membuat para ahli film memiliki potensi untuk

mempengaruhi khalayaknya.

Hal ini dapat terjadi Karena media visual seperti film dan

televisi mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menirukan

dunia nyata melalui duplikasi realitasnya, sehingga lebih mudah

memahami apa yang disampaikan olehnya dari pada

menjelaskannya. Film sebagai media visual elektronik secara

drastis telah mengubah cara kita merasakan dunia, bahkan kita

sendiri. Selama kurun waktu 80 tahun terakhir, kita telah

dibombardir dengan ribuan film yang beredar sebagai informasi

(21)

komunikasi tersebut dan apa makna dari informasi yang mereka

sampaikan.

Cristian Metz (1974 : 47) menyatakan : bahwa kita dapat

memahami film bukan karena kita mempunyai pengetahuan

tentang sistem di dalamnya, tetapi lebih kepada kita mendapatkan

pemahaman atas sistem didalamnya karena kita memahami film.

Dengan kata lain, bukan karena film adalah bahasa, sehingga ia

dapat menyampaikan sebuah cerita yang menarik, tetapi lebih tepat

dikatakan bahwa film telah menjadi bahasa karena telah mampu

menyampaikan sebuah cerita yang sangat menarik.

“we understand a film not because we have a knowledge of its system: rather we achieve an understanding of its system because we understand the film put another way its not because the cinema its language that it can tell such fine stories, but rather it has become language because it has told such fine stories

(Metz, 1974 : 47)

Karakter film sebagai media massa mampu membentuk

semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi

film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat dan selera publik. Singkatnya, film merangkum

pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat. (Jowett dalam

(22)

Realitas yang disajikan dalam film merupakan realitas

sebenarnya, atau dapat juga berupa realitas imajinasi. Film

menunjukkan pada kita jejak yang ditinggalkan pada masa lampau,

cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa

yang akan datang. Fenomena perkembangan film yang begitu pesat

membuat film kini disadari sebagai fenomena budaya yang

progresif. Bukan saja oleh negara yang memiliki industri besar,

tetapi juga oleh negara yang memiliki industri film besar, tetapi

juga oleh negara yang baru menata industri filmnya. Apa yang

telah dihasilkan oleh Hollywood, Bombay dan Hongkong dengan

menglobalkan sesuatu yang semula hanyalah sebuah sub-kultur di

negara asalnya, setidaknya menjadi latar belakang kesadaran

tersebut. Film juga bisa dianggap mempresentasi citra atau

identitas komunitas tertentu. Bahkan juga bisa membentuk

komunitas sendiri karena sifatnya yang universal. (Mambor,

2000:1)

Diawal tahun 90 an dunia penuh diwarnai kecemasan

tentang kekerasan yang banyak ditampilkan oleh film-film yang

diputar di televisi maupun bioskop-bioskop. Kekerasan itu mulai

dari senjata api, kemudian senjata tajam, merusak dengan sengaja,

serta berbagai ancaman lain yang serius. Sumber kecemasan

terletak pada ekses-ekses kekerasan yang dapat berpengaruh pada

(23)

anak-anak. Seperti yang kita ketahui America dan Hollywood

memiliki dunia perfilman yang sangat maju. Hal ini terbukti mulai

dari segi teknologi perfilman yang sangat modern, ide cerita yang

sangat kaya dan memilki pengaruh yang sangat besar sehingga

menjadi tolak ukur bagi perfilman dunia dalam segala hal.

“Menurut Medved, pengarang buku Hollywood in America,

film-film Hollywood telah lama pamer kekerasan secara berlebihan.

Film-film seperti Basic insting, Saw, American History dan total

recall, semata-mata hanya menciptakan kengerian dari kehidupan

sehari-hari” (Sumarno,1998:85).

Salah satu film yang bercerita tentang fenomena politik dan

bersifat nasionalisme baru-baru ini yaitu film yang berjudul “The

Lady” Film yang mengangkat kisah nyata dari biografi tokoh

politisi, nasionalis dan seorang ibu negarawan yang di tindas

hak-hak sebagai warga Negara ini disutradarai oleh Luc Besson dan

dibintangi oleh artis kawakan Michelle Yeoh sebagai Aung San

Suu Ky seorang politisi dan ibu negarawan di Burma.

Menceritakan kisah kehidupan seorang tokoh politik perempuan di

Myanmar bernama Aung San Suu Kyi, Film The Lady mencoba

mengangkat sisi lain dari putri Jenderal Myanmar, Aung San

tersebut.

Cerita dimulai pada tahun 1947. Saat Suu Kyi kecil sedang

(24)

untuk memperjuangkan demokrasi di negara yang awalnya

memiliki ibu kota yangon pada saat itu

Saat bersama dengan putrinya itu, Aung San dijemput untuk

pergi bertemu dengan tokoh politik dan masyarakat guna

membicarakan strategi politik Myanmar, di tengah pertemuan

tersebut, Aung San bersama tokoh-tokoh yang sedang berunding

tewas ditembak oleh tentara pemberontak yang bergerak dibawah

rezim militer yang tidak menginginkan adanya gerakan demokrasi

di Myanmar

Saat menjalani kehidupannya, tiba-tiba saja Suu Kyi

mendapat kabar dari kerabatnya di Myanmar bahwa sang ibu

tengah sakit keras. Mendengar hal ini, Suu Kyi kontan berkemas

dan segera bertolak menuju Myanmar

Setibanya disana, Suu Kyi mendapati keadaan Negara

Myanmar sedang mengalami gejolak politik. Benturan aparat

dengan warga dan para mahasiswa terjadi dimana-mana, jatuhnya

korban jiwa pun tak terelakkan. Di tengah gejolak tersebut,

masyarakat yang menginginkan adanya perubahan dalam

pemerintahan Myanmar meminta Suu Kyi sebagai putri dari Aung

San yang sebelumnya berjuang untuk mendirikan demokrasi,

meneruskan perjuangan ayahnya. lewat restu suami dan

(25)

tokoh masyarakat dan perwakilan mahasiswa bahu-membahu

mensosialisasikan tentang demokrasi untuk mewujudkan Myanmar

sebagai Negara yang lebih baik

Jika diamati sesuai dengan pandangan yang dikemukakan

oleh Medved (Sumarno,1998), film ini termasuk salah satu dalam

kategori film yang menjungjung tinggi nilai nasionalime dan juga

sebagai seorang ibu dari anak-anaknya yang di pisahkan oleh

kepentingan negaranya.

Konsep nasional adalah paham yang menciptakan dan

mempertahankan kedaulatan sebuah Negara dengan mewujudkan

satu konsep identitas bersama.

Menurut arti kata nasional adalah bersifat kebangsaan;

berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa:

cita-cita --; perusahaan --; tarian --; menasional menjadi nasional:

aspirasi masyarakat tertampung dl satu wadah hukum yang

menasionalkan membuat menjadi nasional; penasionalan dan

proses, cara, perbuatan menjadikan bersifat nasional: agar

diperjuangkan ~ buruh pd perusahaan asing; kenasionalan dan sifat

dan sebagainya yang ada pada bangsa; kebangsaan.

http://www.elbirtus.info/2012/09/definisinasional.html#ixzz29H6b

(26)

Nasionalis adalah pecinta nusa dan bangsa sendiri atau

orang yang memperjuangkan kepentingan bangsanya. Sedangkan

nasionalisme adalah paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan

Negara sendiri dan secara bersama-sama mencapai,

mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas,

kemakmuran dan kekuatan bangsa itu, yang disebut semangat

kebangsaan. Bangsa merupakan suatu komunitads ‘terbayang yang

para anggota masyarakat terkecil sekalipun tidak akan mengemal

sebagian besar anggota lainnya, hal terpenting tetap berdirinya

suatu bangsa adalah adanya perasaan kebersamaan dan

persaudaraan sebagai komunitas bangsa tersebut. Benedict

Anderson (dalam Mdjid,2004:vii0. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia(KBBI) bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya

terikat karena kesatuan bahasa dan budaya dalam arti umum dan

biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Menurut

Ernest Rean filsuf asal Perancis, bangsa adalah suatu solidaritas

besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran, bahwa orang telah

berkorban banyak, dan bersedia untuk member korban lagi . ia

mengandung pengertian suatu waktu yang lampau, tapi terasa

dalam waktu yang sekarang sebagai kemyataan yang dapat

dipegang yakni persetujuan, keinginan yang dinyatakan tegas

untuk melanjutkan hidup bersama. (

(27)

Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang

paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia. Dalam

seratus tahun terakhir tak ada satu ruang social di muka bumi yang

lepas dari pengaruh ideology ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah

manusia akan berbeda sama sekali.

(http://kompas .com/kompas-cetak/0411/bentara/1363295.htm)

Dalam film “The Lady” terlihat jelas bahwa film ini sangat

mengandung unsur rasa kenasionalisme pada suatu Negara karena

kisah film ini merupakan kisah nyata seorang aktivis nasional yang

memperjuangkan nasib rakyat di suatu Negara dari keterpurukan

dan penindasan dari berbagai pihak yang memiliki suatu

kepentingan politik dan kekuasaan. Film ini juga bisa dikatakan

sebuah dokumenter seseorang tokoh nasional, seorang ibu Negara,

juga ibu rumah tangga yang bernama Aang Sang Syu Kyi. Karena

banyak skali unsur – unsur nasionalisme dalam cerita film ini,

peneliti merasa yakin mengambil film ini sebagai pembahasan

tentang nasionalisme dengan sosok wanita atau seorang ibu sebagai

pelaku nasionalisme.

Banyak sekali contoh – contoh permasalahan mengenai rasa

nasionalisme di Indonesia yang telah terjadi pada masa

kemerdekaan dan yang telah terjadi pada masa modern saat ini.

(28)

tanggal 17 Agustus 1945, dengan penghuninya yang disebut bangsa

Indonesia, persoalan ternyata belum selesai. Bangsa Indonesia

masih harus berjuang dalam perang kemerdekaan antara tahun

1945-1949, tatkala penjajah menginginkan kembali jajahannya.

Nasionalisme kita saat itu betul-betul diuji di tengah gejolak politik

dan politik divide et impera Belanda. Setelah pengakuan

kedaulatan tahun 1949, nasionalisme bangsa masih terus diuji

dengan munculnya gerakan separatis di berbagai wilayah tanah air

hingga akhirnya pada masa Demokrasi Terpimpin, masalah

nasionalisme diambil alih oleh negara. Nasionalisme politik pun

digeser kembali ke nasionalisme politik sekaligus kultural. Dan,

berakhir pula situasi ini dengan terjadinya tragedy nasional 30

September 1965.

http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf

=1&id=2257

Contoh tersebut membuktikan bahwa permasalahan

nasionalime telah terjadi pada masa kemerdekaan yakni pada tahun

1945 – 1949. Adapun permasalahan nasionalisme di Negara

Indonesia pada zaman Reformasi seperti pada tahun 1998 terjadi

Reformasi yang memporakporandakan stabilitas semu yang

dibangun Orde Baru. Masa ini pun diikuti dengan masa krisis

(29)

nasionalisme itu pun kemudian memudar. Banyak yang

beranggapan bahwa nasionalisme sekarang ini semakin merosot, di

tengah isu globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi yang semakin

menggila.

http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf

=1&id=2257

Dan contoh terakhir yang terjadi pada masa modern adalah

Kasus Ambalat, beberapa waktu lalu, secara tiba-tiba

menyeruakkan rasa nasionalisme kita, dengan menyerukan

slogan-slogan "Ganyang Malaysia!". Setahun terakhir ini, muncul lagi

"nasionalisme" itu, ketika lagu "Rasa Sayangsayange" dan "Reog

Ponorogo" diklaim sebagai budaya negeri jiran itu. Semangat

"nasionalisme kultural dan politik" seakan muncul. Seluruh elemen

masyarakat bersatu menghadapi "ancaman" dari luar. Namun

anehnya, perasaan atau paham itu hanya muncul sesaat ketika

peristiwa itu terjadi. Dalam kenyataannya kini, rasa "nasionalisme

kultural dan politik" itu tidak ada dalam kehidupan keseharian kita.

Fenomena yang membelit kita berkisar seputar: Rakyat susah

mencari keadilan di negerinya sendiri, korupsi yang merajalela

mulai dari hulu sampai hilir di segala bidang, dan

pemberantasan-nya yang tebang pilih, pelanggaran HAM yang tidak bisa

(30)

penyalahgunaan kekuasaan, tidak menghormati harkat dan

martabat orang lain, suap-menyuap, dan lain-lain. Realita ini

seakan menafikan cita-cita kebangsaan yang digaungkan seabad

yang lalu. Itulah potret nasionalisme bangsa kita hari ini.

http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf

=1&id=2257

Pada akhirnya kita harus memutuskan rasa kebangsaan kita

harus dibangkitkan kembali. Namun bukan nasionalisme dalam

bentuk awalnya seabad yang lalu. Nasionalisme yang harus

dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk

mengatasi semua permasalahan di atas, bagaimana bisa bersikap

jujur, adil, disiplin,berani melawan kesewenang-wenangan, tidak

korup, toleran, dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita tidak bisa

lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran

total

Untuk itu peneliti menggunakan analisis semiotik sebagai

alat analisis. Secara etimologis, istilah Semiotika berasal dari kata

Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri

didefinisikan sebagai sesuatu yang atasa dasar konvensi sosial yang

terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.

(Eco, dalam Alex Sobur 2002:95).dalam hal ini peneliti

menggunakan teori semiotik dari John Fiske. Sebuah metode yang

(31)

didasarkan atas kenyataan bahwa film adalah suatu bentuk pesan

komunikasi. Komunikasi sendiri adalah suatu proses simbolik

yakni penggunaan lambing-lambang yang diberi makna. Lambang

atau simbol adalah suatu yang digunakan untuk menunjuk atau

mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Tetapi

lambang pada dasarnya tidak mempunyai suatu makna pada satu

lambang. Sedangkan semiotika menaruh perhatian pada apapun

yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua

hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti

penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain

itu tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada disuatu

tempat pada suatu waktu tertentu (Berger, 2000:11-12 dalam

Bhirowo, 2004:18). Sistem semiotika yang lebih penting lagi

dalam film adalah digunakannya tanda ikonis, yaitu

tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Para semiolog memandang

film, program televisi, poster, iklan, dan bentuk lainnya sebagai

teks semacam dalam linguistic. Dalam hal ini film dapat bertugas

untuk memperluaskan bahasa (Barthes, 2001:53)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin

meneliti “Bagaimanakah Representasi Nasionalisme dalam film

(32)

1.3. Tujuan Peneliti

Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam skripsi ini

adalah untuk mengetahui representasi Nasionalisme dalam film

The Lady

1.4. Manfaat Penelitian

Peneliti ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik

secara teoritis maupun praktis, antara lain:

1. Secara Teoritis

Hasil dari penelitian ini mampu memberikan kajian tentang

paradigma konstruktivis dengan metode semiotic dan sebagai

penambah wawasan nasionalisme pada film

2. Secara Praktis

Mampu menjelaskan representasi nasionalisme dalam film

(33)

BAB II

KAJ IAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Film Sebagai Komunikasi Massa

Pengertian Film menurut Undang-Undang nomor 8 tahun

1992 (8/1992), tanggal 30 Maret 1992 (Jakarta) tentang :

Perfilman, pasal 1. Film adalah karya cipta seni budaya yang

merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat

berdasarkan sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita,

video dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam bentuk,

jenis, ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau

proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan

dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik,

dan atau lainnya. (http://fpfi.org/forum/viewtopic.php?t=17)

Komunikasi Massa adalah komunikasi melalui media

massa modern, yang meliputi surat kabar, yang mempunyai

sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditunjukkan

kepada umum, dan film dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop.

Mengapa hanya dibatasi di media tersebut? Jawaban terhadap

(34)

menimbulkan masalah dalam semua bidang kehidupan dan

semakin lama semakin canggih akibat perkembangan teknologi,

sehingga senantiasa melakukan pengkajian yang seksama

(Effendy,2003:79).

Dalam komunikasi massa film dengan televisi mempunyai

sifat yang sama yaitu audio visual, bedanya mekanik atau non

elektronik dalam proses komunikasinya dan rekreatif-edukatif

persuasif atau no informatif dalam fungsinya. Dampak film bagi

khalayak sangat kuat dalam menimbulkan efek afektif, karena

medianya berkemampuan untuk menanamkan kesan, layarnya

untuk menayangkan cerita relatif besar, gambarnya jelas, dan

suaranya yang keras dalam ruangan yang gelap membuat suasana

penonton mencekam.

Seorang komunikator melalui media massa dikatakan

mahir, apabila ia berhasil menemukan metode yang tepat untuk

menyiarkan pesannya. Meskipun jumlah komunikannya mencapai

jutaan, kontak yang asasi adalah antara dua orang, benak

komunikator harus mengenai benak komunikan. Komunikasi

Massa yang berhasil adalah kontak pribadi dengan pribadi yang

diulangi ribuan kali secara serentak.

“Jadi dalam komunikasi massa ada 2 tugas komunikator,

(35)

harus menyampaikannya”(Effendy,2003:81). Adapun ciri-ciri dari

komunikasi massa adalah :

a. Komunikator melembaga

b. Pesan bersifat umum

c. Media menimbulkan keserempakan

d. Komunikan bersifat heterogen

e. Proses berlangsung satu arah

Menurut, Wright komunikasi massa memiliki empat

macam fungsi (Wiryanto,2000:11) yaitu :

a. Surveillance, menunjuk pada fungsi pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian dalam

lingkungan, baik diluar maupun didalam masyarakat. Fungsi

ini berhubungan dengan apa yang disebut Handling News.

b. Correlation, meliputi fungsi interpretasi pesan yang menyangkut lingkungan dan tingkah laku tertentu dalam

mereaksi kejadian-kejadian, funsi di identifikasikan sebagai

fungsi editorial dan propaganda.

c. Transmissions, menunjuk pada fungsi mengkomunikasikan informasi, nilai-nilai dan norma sosial budaya dari satu

(36)

masyarakat kepada pendatang baru. Fungsi ini di

identifikasikan sebagai fungsi pendidikan.

d. Entertainment, menunjuk pada kegiatan-kegiatan komunikatif

yang dimaksudkan untuk memberi hiburan tanpa

mengaharapkan efek-efek tertentu.

Film merupakan media untuk komunikator, yang dalam hal

ini adalah orang yang memiliki ide cerita/creator, untuk

menyampaikan gagasannya tentang sesuatu. Yaitu apa yang

menjadi tema suatu film yang dibuat. Sebagaimana yang dikatakan

oleh Mira Lesmana :

Film adalah pilihan hidup saya dan medium ekspresi pilihan saya, buat saya film indonesia adalah rekaman pikiran manusia-manusia Indonesia pada jamannya “Extremely Important To Be Exist.com” (Lesmana:2000.Layarkata)

Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk

menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu,

serta menyajikan cerita, musik, drama, lawak dan sajian teknis

lainnya kepada masyarakat umum (McQuail,1994:13)

` 2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial

Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat.

(37)

masyarakat dan memproyeksikan kedalam layar. (Irwanto dalam

Alex sobur.2002:127).

Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas.

Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu.

Baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti

sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang

ditinggalkan pada masa lampau cara menghadapi masa kini dan

keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga

dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha

menampilkan “citra bergerak” (moving image) namun juga telah di

ikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik,

kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga sudah

dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunitas tertentu.

Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, karena sifatnya yang

universal. Meskipun demikian, film juga bukan tidak menimbulkan

dampak negative.

(Victor C.Mambor:http//situskunci.tripod.com/teks/victor1.htm)

Teori konstruksi realitas sosial diperkenalkan oleh peter L

Berger, seorang sosiolog interpretative. Bersama Thomas

Luckman, ia menulis sebuah risalat teoritis utamanya, The Social

(38)

bergantung pada manusia yang menjadi subyeknya. Bagi Berger,

realitas sosial secara objektif memang ada, tapi maknanya berasal

oleh hubungan subyektif (individu) dengan dunia objektif.

(Poloma,2000:299)

Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengan

menyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui

realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang

berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar

kemampuan kita. Menurut Berger, kita semua mencari

pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya

dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita

sehari-hari. Berger setuju dengan pernyataan fenomologis bahwa

terhadap realitas berganda daripada hanya suatu realitas tunggal.

Berger bersama Garfinkel berpendapat bahwa ada realitas

kehidupan sehari-hari yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan

realitas yang lebih penting. Realitas ini dianggap sebagai realitas

yang teratur dan terpola, biasanya diterima begitu saja dan non

problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola (typified)

realitas sama-sama dimiliki oleh orang lain. Akan tetapi, berbeda

dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan

sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif

manusia merupakan instrument dalam menciptakan realitas sosial

(39)

realitas subyektif). Dalam metode yang dialektis, Berger melihat

masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk

masyarakat. (Poloma,2000:13)

Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas

sosial mempunyai tiga tahap :

Pertama, Eksternalisasi, yakni usaha untuk pencurahan atau

ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental

maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, Ia akan

selalu mencurahkan diri ke tempat dimana Ia berada. Manusia

tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari

dunia luarnya.

Kedua, Objektivasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental

maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi. Hasil itu menghasilkan

realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu

sendiri sebagai suatu aktivitas yang berada diluar dan berlainan

dari manusia yang menghasilkannya.

Ketiga, Internalisasi. Proses ini lebih merupakan penyerapan

kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa

sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh stuktur dunia sosial.

Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan

(40)

kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.

Melalui proses internalisasi, manusia menjadi hasil dari

masyarakat. (Eriyanto, 2002 : 14-15).

Dalam sejarah umat manusia, obyektifikasi, internalisasi

dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus.

Proses ini, merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat,

diluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk

individu-individu dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya.

Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hukum yang

mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas

obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi

bisa mempengaruhi nilai-nilai sosial. Realitas obyektif ini

diinternalisir oleh anak-anak melalui proses sosialisasi dan disaat

dewasa merekapun tetap menginternalisir situasi-situasi baru yang

mereka temui dalam dunia sosialnya. Akan tetapi, manusia tidak

seluruhnya ditentukan oleh lingkungan. Dengan kata lain, proses

sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang tuntas

manusia memiliki peluang untuk mengeksternalisasi atau secara

kolektif membentuk dunia sosial mereka. Eksternalisasi

mengakibatkan terjadinya perubahan aturan sosial. Dengan

demikian, masyarakat adalah produk manusia yang tak hanya

dibentuk oleh masyarakat, tapi secara sadar atau tidak telah

(41)

2.1.3. Representasi

Menurut John Fiske yang dimaksud dengan representasi

adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas

disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau

kombinasinya (Fiske, 2004:282).

Konsep representasi adalah proses pemaknaan yang berupa

simbol-simbol yang terdapat dalam film yang diteliti, sehingga kita

dapat mengetahui hasil yang didapat setelah melakukan

representasi terhadap film yang diteliti.

Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan

kajian utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai

sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosialn dan

disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu.

Cultural studie memfokuskan diri kepada bagaimana proses

pemaknaan representasi itu sendiri. (Chris Barker, 2004:8)

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu

praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan

merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut

‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari

kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu

(42)

yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling

berbagi konsep-konsep yang sama. (Nuraini Juliastuti, 2000:4)

representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk media

(terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau

kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas

budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan

bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film.

(http://www.aber.ac.uk/media/Modules/MC30820/represent.html).

Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama

representasi mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada

dikepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi

mental ini masih berbentuk abstrak. Kedua, bahasa yang berperan

penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada

didalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim,

supaya kita dapat menghubungkan konsep ide-ide kita tentang

sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia

dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara

sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua,

kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta

konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi dalam

(43)

bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara

bersama-sama itulah yang kita namakan representasi. (Juliastuti,

2000:http//kunci.or.id/teks/04rep2.htm).

Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada

pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi

yang sudah pernah ada. Intinya adalah makna akan inheren dalam

suatu dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses

representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang

membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.

(http//kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)

Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada

pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau

sebuah gagasan ditunjukkan dalam media massa

(Eriyanto,2001:113).

Dalam film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar,

cara bercerita, skenario, penokohan, dialog dan beberapa unsur lain

didalamnya. Menurut Graeme Turner (1991:128), makna film

sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film

sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas,

film sekedar memindah ke layar tanpa mengubah realitas itu.

(44)

menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode,

konvoi-konvoi ada ideologi kebudayaanya. (Irawanto,1999:15).

2.1.4. Konsep Nasionalime Myanmar

Konsep nasionalisme adalah sama dengan identitas sosial

karena juga menjelaskan bagaimana orang melampirkan kelompok

mereka. Jika individu memiliki harga diri yang lebih tinggi,

mereka lebih cenderung untuk melampirkan kelompok mereka.

Menurut SIT ini, orang lebih suka mereka-kelompok atas

keluar-kelompok. Mereka termotivasi untuk merasa baik tentang

kelompok mereka. Demikian pula, nasionalis adalah kelompok

anggota yang termotivasi untuk memiliki keterikatan yang kuat dan

positif bagi bangsa mereka dan yang mengidentifikasi diri mereka

dengan kelompok tertentu atau bangsa pertama dan terutama.

Karena nasionalis yang kuat melekat pada bangsa mereka, mereka

berkomitmen untuk persatuan, kemerdekaan, martabat, dan

kesejahteraan masyarakat nasional dan negara-bangsa. Oleh karena

itu, di negara nasionalistik, bahkan jika orang tidak menyukai

pemerintah mereka, mereka masih mencintai komunitas nasional

dan negara-bangsa (Cottam dan Cottam, 2001, halaman 2).

Dusan Kecmanovic (1996) menyarankan bahwa kesetiaan

(45)

mendasar dari nasionalisme, dan individu yang mengidentifikasi

dengan kelompok tertentu atau bangsa pertama dan terutama

disebut nasionalis. Nasionalis terutama setia pada komunitas

nasional nya dirasakan dan negara-bangsa (Cottam et al., 2004,

p.192). Sebagai contoh, jika sekelompok orang menyebut diri

mereka Burma, mereka juga melihat diri mereka sebagai bagian

dari rakyat Burma.

Nasionalisme telah menjadi faktor penting untuk

menjelaskan konflik etnis. Konflik nasionalistik Yugoslavia dan

Uni Soviet runtuh. Dengan memahami perilaku nasionalisme dan

kebangsaan, kami dapat menjelaskan dan memprediksi konflik di

masa depan dan kekerasan. Nasionalisme dapat dijelaskan oleh

banyak faktor. Beberapa penelitian telah menggunakan non-faktor

psikologis seperti simbol nasionalis, wacana nasionalis seperti

karya sastra, puisi, ingatan kolektif, dan lagu untuk menjelaskan

nasionalisme, sementara yang lain telah menggunakan faktor

psikologis seperti sosial identitas, stereotip, dan prasangka.

Simbol nasionalisme dapat memiliki kekuatan untuk

memotivasi orang untuk menjadi lebih nasionalistis. Ini simbol

bendera, peristiwa bersejarah seperti keberhasilan dalam

pertempuran besar, dan gagasan tanah air atau tanah.

Sejak-nasionalis sangat menghargai kemerdekaan, persatuan, martabat,

(46)

dengan cepat terhadap penggunaan simbol-simbol untuk

memobilisasi mereka untuk mencapai tujuan nasional ‖ (Cottam et

al., 2004, hal. 193). Selama krisis, para pemimpin menggunakan

simbol-simbol untuk memobilisasi warga negara mereka untuk

menjadi lebih nasionalistis.

Nasionalisme juga disebabkan oleh serangkaian mitos

seperti memori kolektif korban dan kepahlawanan. Misalnya,

Selain etnis di Burma memiliki memori kolektif mereka genosida

oleh Birma, dan juga dari sejarah besar dan mulia. Demikian pula,

Serbia memiliki memori kolektif kekalahan dalam pertempuran di

Kosovo dan korban oleh Kroasia.

Wacana tersebut telah ada untuk waktu yang sangat lama.

Elit Nasionalis menggunakannya selama krisis kepada orang-orang

motif untuk menjadi lebih nasionalistis. Sebagai contoh, para

pemimpin Serbia menggunakan wacana selama tahun 1987 dan

1991 untuk memotivasi Serbia untuk menjadi lebih nasionalis dan

terhadap negara lain seperti Kroasia, Muslim, dan Albania di bekas

Yugoslavia. Ketika ada konflik antara dua kelompok, wacana

nasionalis berubah menjadi massal memobilisasi, dan ideologi

nasionalis yang ekstrim (Abrams, 2003).

Ada banyak faktor psikologis seperti identitas sosial,

(47)

digunakan untuk menjelaskan penyebab nasionalisme. Namun,

menurut Searle-Putih (2001), faktor-faktor ini, mengancam

identitas nasional memainkan peran penting dalam menjelaskan

penyebab nasionalisme. Tanpa memahami identitas nasional,

penulis berpendapat, pemahaman kita tentang konflik nasionalis

tidak lengkap. Jadi, kita perlu memahami bagaimana aspek

emosional dari konflik terkait dengan nasional identitas. Dia

menunjukkan titik ini dengan mempelajari dua kasus konflik

nasionalis: Armenia dan Azerbaijan, dan Tamil dan Sinhala di Sri

Lanka. Ia menemukan bahwa dalam kedua kasus, mengancam

identitas merupakan faktor utama yang menyebabkan bangkitnya

nasionalisme dalam masyarakat itu. Dengan kata lain, konflik

antara kelompok-kelompok etnis muncul ketika satu kelompok

etnik melihat kelompok lain sebagai ancaman terhadap identitas

mereka. Menurut Searle-Putih, ketika identitas kita terancam, kita

merasa identitas kita rapuh. Ini adalah apa yang membawa

kita-menjadi konflik nasionalis dan kekerasan '(hal. 4). Sebagai contoh,

pembantaian 50.000 orang Armenia pada tahun 1894 dan 1896

oleh Turki mengancam kelangsungan hidup tidak hanya fisik

Armenia, tetapi juga kelangsungan hidup budaya mereka sebagai

kelompok yang berbeda. Ancaman tersebut dapat mengakibatkan

konflik politik, termasuk pemberontakan dan gerakan pemisahan

(48)

Myanmar merupakan suatu wilayah di Asia Tenggra yang

memiliki kekuatan luar biasa. Wilayah ini pun bahkan cukup

terisolasi sejak lama. Hal ini disebabkan oleh keadaan geografisnya

yang tertututp antara gunung lembah dan samudera. Sebelum

masuknya kolonialisme Inggris, suku-suku di Burma sering terjadi

penaklukan antar suku sehingga sering terjadi perang. Orang

Burma menaklukan Mon di abad 11, Dominasi Shan di Burma

tengah diikuti dengan pendudukan oleh Mongol di 1287,

kemunculan kembali kerajaan Mon di selatan akhirnya ditaklukan

kembali oleh orang Burma pada abad 18, dan ekspedisi burma

melawan Arakan.

Burma sebagaimana yang telah diketahui ialah wilayah

yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Buddha. Struktur masyarakat

Burma dipengaruhi oleh agama ini. Pendeta-pendeta Buddha

(pongyi) selalu menjadi bahan pertimbangan keputusan dari para raja-raja Burma sejak jaman pra kolonial. kekuatan Buddha ini

lantas menjadi kekuatan yang utama dalam nasionalisme Burma.

Burma juga merupakan suatu contoh pergerakan nasionalisme Asia

Tenggara yang digerakan oleh Budhisme.

Kehadiran Inggris membawa pengaruh besar terhadap

kehidupan politik dan berbudaya di Burma. Penaklukan Inggris

tidak hanya menghancurkan kekuasaan tradisional dari Burma

(49)

lama-lama menghilang ditambah lagi dengan perluaan agama

Kristen yang dilakukan oleh Inggris membuat agama Buddha

semakin lama semakin terdesak. Hubungan antara nasionalisme

dengan budhisme dapat dilihat ketika kebijakan colonial Inggris

menghilangkan struktur budhisme di Burma. Aturan raja yang

menganut Budhism dihilangkan.

Buddha semakin lama semakin berani untuk menunjukkan

rasa nasionalisme mereka melawan pemerintahan kolonial inggris

yang sewenang-wenang. Gerakan Budhisme ini direfleksikan

dengan gerakan para biarawan Budha (pongyi). Pada tahun 1905

dibentuklah YMBA (Young Men’s Buddhist Association). Gerakan

ini ingin mengembalikan kejayaan kultural dan agama Budha yang

telah dihancurkan oleh Inggris.

Gerakan Buddha tidak berhenti begitu saja, namun dapat

meneruskan perjuangannya melalui sekolah-sekolah tradisional

Buddha yang bertujuan untuk melestarikan budaya tradisional yang

lama kelamaan telah terkikis oleh budaya kolonial. Hal ini

biasanya terjadi di pedesaan. Umumnya sekolah yang seperti ini

tidak diakui oleh pemerintahan Inggris dan tidak mendapat

sokongan dana dari pemerintah Inggris. Pada tahun 1939-1940

terdapat 18.000 sekolah yang tidak diakui oleh pemrintah. Gerakan

pendidikan Budha ini lantas menimbulkan Nasionalisme. Hal

(50)

kolonial di Burma mendapat tentangan dari kalangan masyarakat

Burma dan salah satu bentuk penentangan tersebut ialah dengan

jalan mendirikan sekolah tradisional Buddha agar dapat menahan

derasnya arus budaya kolonial.

Selain pelajar, gerakan Buddha pun mendapat dukungan

dari gerakan politik di Burma untuk menentang imperialisme.

Gerakan politik nasionalisme Burma semakin banyak pemimpin

pemberontakan dan partai-parati yang ada di Burma bergabung

dengan gerakan Budha. partai Thakin yang berorientasi pada

marxisme (Komunis) menerima Budha sebagai komponen terbesar

dalam kebudayaan. Setelah periode perang Buddhism sangat

mendominasi kehidupan berbudaya di Burma. Dilaporkan bahwa

kemerdekaan Burma pada 4 Januari 1948 telah direkomendasikan

oleh ahli nujum. Seperti yang kita ketahui bahwa U Nu dan Aung

San ialah penganut agama Buddha yang taat. Buddha memang

telah menjadi agama yang mengakar kuat dalam masyarakat

Burma. Agama ini memang telah memiliki peran penting dalam

menentang imperialisme dan kolonialisme dari Inggris sehingga

menciptakan rasa nasionalisme. Rasa nasionalisme yang

didengungkan oleh para pendeta Buddha tak hanya didengar dari

para pengikut Buddha yang taat saja, namun juga dar para pelajar

dari universitas yang cenderung sekular dan bahkan dari partai

(51)

menunjukkan bahwa konflik beragama di Buddha sangatlah sulit

ditemukan bahkan sebaliknya agama dapat menjadi media yang

tepat untuk membangkitkan rasa nasionalisme di Burma.

http://sejarah.kompasiana.com/2011/06/17/budhisme-dan-nasionalisme-di-burma/

2.1.5. Buddhisme di Myanmar

Buddhisme adalah agama terbesar keempat dunia dan

berasal di India. Siddhartha Gautama, seorang pangeran prajurit

yang tinggal 566-480 SM didirikan Buddhisme. Gautama lelah dan

letih hidup mewah. Dia meninggalkan kehidupan pangeran untuk

mencari kebenaran tentang kehidupan. Dia menghabiskan

bertahun-tahun laku silih yang keras di bawah pohon Bodhi untuk

mencari pembebasan dari nilai-nilai material dari kehidupan.

Setelah bertahun-tahun silih ia mencapai pencerahan dan kemudian

dikenal sebagai ” Buddha” . Buddha berarti ” Yang Tercerahkan” .

Setelah pencerahan, ia berkeliling India menyampaikan

pengetahuan yang bijaksana ia dicapai. Secara bertahap, ajarannya

menyebar ke negara-negara Asia Selatan. Buddhisme adalah

agama populer yang dipraktekkan oleh banyak di seluruh dunia.

Seperti Buddhisme menyebar ke banyak negara itu dibagi menjadi

banyak jumlah sekte. Setiap sekte telah mengadopsi berbagai

keyakinan, ritual, praktek dan kebiasaan. Namun, semua sekte

(52)

Buddhisme percaya semua individu terlepas dari ras, usia dan latar

belakang bisa mencapai kebahagiaan. Salah satu kepercayaan dasar

Buddhisme adalah keyakinan bahwa semua delusi dan keadaan

mental yang negatif dapat diatasi melalui latihan meditasi.

Keyakinan lain dasar Buddhisme adalah reinkarnasi. Doktrin

Buddha percaya pada siklus kelahiran, kematian kehidupan, dan

kelahiran kembali. Doktrin itu menekankan pada siklus ini dan

percaya Nirvana dicapai ketika salah satu gudang keinginan dan

ego. ” Empat Kebenaran Mulia” juga termasuk dalam keyakinan

dasar Buddhisme.

1. Kebenaran Pertama

Kebenaran pertama adalah ” Dukkha” atau penderitaan.

Menurut keyakinan dasar ada penderitaan dalam kehidupan

setiap individu. Penderitaan termasuk kesepian, frustrasi, malu,

marah dan takut. Ini adalah realitas dan bukan pesimisme.

Keyakinan agama Buddha menjelaskan bagaimana untuk

menghindari penderitaan dan mencapai kebahagiaan.

2. Kebenaran Kedua

Kebenaran mulia kedua adalah ” Samudaya” . Menurut

kebenaran dan kepercayaan dasar dari Buddhisme dan

keengganan keinginan adalah akar penyebab penderitaan.

(53)

kebahagiaan dan kepuasan. Kecuali seorang individu curbs

laparnya untuk kemewahan hidup, ia tidak akan mencapai

nirwana.

3. Kebenaran Ketiga

”Nirodha” adalah kebenaran mulia ketiga. Kebenaran ini

menjelaskan bagaimana seseorang bisa mengatasi penderitaan

dan mencapai kebahagiaan. Sesuai dengan keyakinan ini,

seorang individu tidak boleh berkutat pada insiden yang terjadi

di masa lalu atau berpikir terlalu banyak tentang masa

depannya. Hidup akan senang jika seseorang belajar untuk

hidup setiap hari setiap waktu.

4. Kebenaran Keempat

”Marga” adalah kebenaran terakhir. Menurut Kebenaran

keempat, untuk mengakhiri penderitaan dan mencapai nirwana,

seorang individu harus mengikuti ” Delapan kali lipat Path” .

The ” Delapan kali lipat Path” menekankan pada fokus pikiran

seseorang untuk menjadi sadar akan pikiran dan tindakan. Hal

ini juga memberikan pentingnya untuk moralitas dan

kehidupan yang sempurna. Anda akan memiliki pemahaman

yang lebih baik dari ” Empat Kebenaran Mulia” dengan penuh

belas kasih kepada orang lain dan juga dengan

(54)

http://infobebas.web.id/2011/kepercayaan-dasar-buddhisme.html

2.1.6. J unta Militer

Junta” berasal dari bahasa Spanyol yang berarti

“Komite” atau “Dewan Pimpinan”. Junta selalu mengacu

kepada kepemimpinan bersama dari beberapa orang (biasanya

mewakili satu institusi tertentu).

Junta militer lahir ketika pengambilalihan kekuasaan

(coup d’etat) kerap terjadi di Amerika Latin pada abad berikutnya, di mana ketika hal ini dilakukan oleh militer,

biasanya sistem pemerintahan junta militer hampir pasti

dibentuk. Beberapa negara Amerika Latin yang pernah

menerapkan junta militer adalah Brazil (1969), Chili (1924 &

1973), Argentina (1976-1983). Pemerintahan junta militer

selalui ditandai dengan penggunaan kekerasan pada wilayah

kekuasan. Chili pada masa junta militer pimpinan Jendral

Pinochet dan Argentina pada pada masa Jendral Galtieri

merupakan contoh untuk penggunaan kekerasan yang luar

biasa. Pada masa inilah puluhan ribu orang dihilangkan secara

paksa (involuntary disappearance), dibunuh, dan dipenjarakan

secara sewenang-wenang. Kekerasan dilakukan dengan tujuan

(55)

dan inisiatif politik, yang pada akhirnya adalah untuk

melindungi kekuasaan.

Kekacauan politik, sosial dan ekonomi sering menjadi

latar belakang kudeta militer. Atas dasar kekacauan/krisis

tersebut negara diperlakukan dalam “situasi pengecualian”

(state of exception). Di mana konstitusi dapat dibekukan sebagian atau seluruhnya. Dengan sendirinya

lembaga-lembaga politik demokratis tidak dapat bekerja. Semua

berjalan dalam logika krisis atau situasi darurat (Giorgio

Agamben, State of Exception, 2005, hlm. 2-6,) Pembekuan

konstitusi dan lembaga-lembaga demokratis dimaksudkan

untuk memudahkan negara dalam mengatasi krisis dan

memaksa semua untuk kembali ke situasi “normal”. Demi

normalisasi keadaan ini, pemberangusan setiap oposisi menjadi

sah. Karena militer yang menguasai dan monopoli alat

pemaksa (senjata) maka ia menjadi satu-satunya lembaga yang

memiliki keleluasaan untuk bergerak. Maka tidak heran jika

militer menjadi pihak yang merasa paling “nyaman” dalam

situasi state of exception.

Pengalaman junta militer di manapun, selalu

memanfaatkan dan terus mereproduksi state of exception.

(56)

hidup dalam situasi darurat. Hanya dengan demikian kehadiran

militer dalam kehidupan politik dapat diterima. Sementara itu

penataan ulang lembaga-lembaga politik, agar sesuai dengan

situasi darurat, dapat berarti pembekuan demokrasi dan

pelarangan segala bentuk oposisi dengan kekerasan jika

diperlukan. State of exception di tangan junta militer akan

menjadi tragedi bagi kebebasan dan demokrasi karena alih-alih

menormalkan situasi, junta militer lebih suka mengekalkan

keadaan darurat selama mungkin. Keadaan darurat sepertinya

menjadi tujuan pemerintahan demi mempertahankan

kediktatoran.

Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa junta yang pada

awalnya merupakan bentuk pemerintahan yang berusaha

mengakomodir berbagai kepentingan dalam satu pemerintahan

bersama (Chili, 1801), di tangan militer menjadi satu

konspirasi kediktatoran.

2.1.6.1 J unta Militer di Myanmar

Militer Myanmar lahir dari hasil gerakan pembebasan

nasional atas penjajahan Inggris. Burma Independence Army (BIA)

pimpinan Jendral Aung San (ayah Aung San Suu Kyi) adalah cikal

bakal militer Burma. Berapapun besarnya kontribusi BIA dalam

(57)

bahwa tentara lah yang membebaskan Burma dari penjajahan (ICG,

Asia Report No. 28, 7 Desember 2007).

Pasca perang dunia ke II, Burma menjadi negara merdeka

yang penuh dengan konflik etnis yang diperparah dengan

keterlibatan paramiliter bersenjata. Pengalaman melawan Inggris

dan Jepang, juga ancaman dari Cina dan Amerika setelah para

pendukung Kuomintang lari ke perbatasan Burma, membuat militer

sangat berhati-hati terhadap dunia luar (A&S Perspective, Summer

2002). Pemberontakan bersenjata telah menjadikan militer Burma

tumbuh menjadi kekuatan yang memainkan peranan penting.

Sedangkan pengalaman perjuangan kemerdekaan dan berhadapan

dengan ancaman dari luar telah membangun ideologi

nasionalis-etnosentris (ICG, Asia Report, 2007).

Persoalan politik yang tak kunjung selesai dimanfaatkan

oleh Jenderal Ne Win, panglima angkatan bersenjata pada saat itu,

mengambil alih kekuasaan pada tahun 1958-1960. Pada tahun 1962

Jenderal Ne Win kembali melakukan kudeta dan menerapkan

kediktatoran militer. Ne Win menutup Myanmar dari dunia luar

dan menerapkan sosialisme ala Myanmar yang beranggapan bahwa

Myanmar hanya dapat membangun dirinya apabila bersandarkan

(58)

kehidupan ekonomi dan politik hanya akan mengganggu proses

pembangunan sosialisme.

Perlawanan terhadap kediktatoran militer terus berlangsung

dan meluas. Puncak perlawanan terhadap Ne Win terjadi pada

tahun 1988. Di tahun ini, tepatnya tanggal 8 Agustus terjadi

demonstrasi besar-besaran yang melibatkan mahasiswa, pelajar,

biksu, bahkan sebagian birokrasi baik sipil dan militer ikut

melakukan perlawanan. Isu yang dibawa oleh gerakan ini adalah

demokrasi. Perlawanan ini berakhir setelah tentara pemerintah

bertindak keras dan membunuh kurang lebih 3.000 orang. Peristiwa

ini memberikan pengaruh kepada pemerintahan. Ne Win

mengundurkan diri, dan digantikan oleh beberapa perwira angkatan

bersenjata untuk memerintah bersama. Junta militer pun terbentuk

di Myanmar.

Berbeda dengan Ne Win, junta militer mulai membuka diri

kepada dunia luar untuk kepentingan ekonomi dan militer. Pada

masa inilah militer Burma melakukan modernisasi dan

penambahan pasukan berlipat kali. Militer Myanmar tumbuh

menjadi kekuatan terbesar kedua di Asia Tenggara setelah

Vietnam. Bertambahnya kekuatan militer juga berarti

bertambahnya kemampuan untuk melakukan represi terhadap

(59)

Pada 1990 pemerintah melaksanakan pemilu dan

dimenangkan mutlak oleh National League of Democracy yang

ikut didirikan oleh Aung San Suu Kyi. Namun parlemen bentukan

pemilu tidak pernah melakukan fungsinya karena militer melarang

dan segera membekukan parlemen. Suu Kyi pun ditangkap dan

ditahan. Junta kembali memerintah tanpa memedulikan proses

demokrasi yang telah dilaksanakan. Berbagai upaya untuk

melakukan perubahan politik berakhir dengan penangkapan,

penahanan dan pembunuhan. Bahkan pemerintah militer juga

membentuk organisasi-organisasi massa seperti Union Solidarity

Development Association (USDA) untuk mendukung program-program pemerintah sekaligus melawan kekuatan oposisi dengan

berbagai cara, termasuk teror.

Seperti kediktatoran militer di negara lain, militer Burma

juga mengambil kekuasaan atas dasar krisis dan reproduksi krisis

untuk mempertahankan kekuasaan. Demi mempertahankan dan

membangun sosialime Myanmar, Ne Win menutup Myanmar dari

dunia luar dan memerangi berbagai bentuk oposisi dengan

kekerasan. Demikian pula dengan junta militer.

2.1.7. Bentuk Nasionalisme Modern

Nasionalisme modern akan melahirkan kestabilan dan akan

(60)

kelompok etnis yang terpisah-pisah, karena nasionalisme

merupakan unsure penting bagi pembangunan bangsa Indonesia.

(Madjid,2002:32-33). Batasan-batasan nasionalisme modern

adalah:

(http//:www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-august/000018.html)

1. Adanya Suvennitet, yang berarti adanya ketidak bergantungan

pada pihak asing dan adanya kebebasan untuk menentukan nasib

sendiri.

2. Adanya Negara dimana pemerintahannya disokong oleh segenap

lapisan masyarakat. Dan adanya hubungan timbal balik dan saling

ketergantungan antara pemerintah dan rakyatnya.

3. Adanya Integral politik yang tidak mementingkan dirinya dan

kelompok sendiri.

4. Adanya ikatan bangsa yang kokoh dan adanya saling hubungan

timbale balik baik dengan bangsa-bangsa yang lainnya yang ada

diluarnya.

Artinya nasionalisme suatu bangsa itu harus dipandang tidak

terpisah dan terisolasi dari nasionalisme bangsa-bangs yang ada

diluarnya, dengan demikian maka terjadilah suatu nasional yang kuat

(61)

Nasionalisme jaman dulu berfugsi sebagai landasan pemersatu dan

tonggak kelahiran suatu Negara yang merdeka dalam konteks melawan

kolonialisme klasik maka nasionalisme saat ini dapat menjadi alat

untuk mempertahankan persatuan serta elemen spiritual dalam

kerangka mencari cara untuk memperbaiki atau membangun Indonesia

secara meneluruh di tengah-tengah era globalisasi.

(

http://osdir.com/ml/culture.region.china.budaya-tionghoa/2005-12/msg00411.html).

2.1.8. Respon Psikologi Warna

Warna merupakan simbol yang menjadi penandaan dalam

suatu hal. Warna juga dianggap sebagai suatu fenomena

psikologi. Respon psikologi dari masing-masing warna:

1. Merah : Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu,

agresif, bahaya. Merah jika

dikombinasikan dengan putih, akan

mempunyai arti “Bahagia” di budaya

Oriental.

2. Biru : Kepercayaan, konservatif, keamanan,

(62)

3. Hijau : Alami, sehat, keberuntungan

pembaharuan.

4. Kuning : Optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran,

pengecut (untuk budaya barat),

pengkhianat.

5. Ungu/Jingga : Spiritual, misteri, kebangsawanan,

tranformasi, kekerasan, keangkuhan

9. Putih : Kesucian, kebersihan, ketepatan,

ketidakbersalahan,

kematian,ketakutan,kesedihan,keanggunan

.

(http//www.toekangweb.or.id/07-tips-bentukwarna.1html).

2.1.9. Semiotika

Secara etimologis, istilah Semiotika berasal dari kata

Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri

(63)

terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.

(Eco, dalam Alex Sobur 2002:95)

Menurut John Fiske (2004:282), semiotika adalah studi

tentang pertandaan dan makna dari sitem tanda, ilmu tentang tanda,

tentang bagaimana makna dibangun dalam “teks” media, atau studi

tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat

yang mengkomunikasikan makna.

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai

ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek,

peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. (Eco, dalam Alex

Sobur 2002:95). Pengertian lain juga dikemukakan oleh (Van

Zoest, dalam Alex Sobur 2002:96) mengartikan semiotik sebagai

ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya, cara

berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,

pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang

mempergunakannya. Menurut Preminger (2001), ilmu ini

menganngap bahwa fenomena sosial atau masyarakat kebudayaan

itu meupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem,

aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda

tersebut mempunyai arti.

Didalam sejarah perkembangan semiotika, berasal dari dua

Referensi

Dokumen terkait

(3) Kepala badan pendidikan dan pelatihan selaku kepala SKPD atas nama gubernur menandatangani naskah dinas dalam bentuk dan susunan surat sebagaimana dimaksud

Dengan demikian, apabila pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh kurator terhadap pekerja dikarenakan debitor pailit, maka kurator diharuskan untuk memperhatikan

Remaja menghabiskan sebagian waktunya di sekolah. Bel istirahat menjadi tanda saat remaja dapat beristirahat dan bergegas ke kantin membeli makanan yang mereka

Setiap warga memiliki hak dalam mendapatkan pengakuan hukum tanpa ada perbedaan perlakuan yang diberikan. Hal ini juga menyangkut hak-hak dalam menjaga keturunan dan

To describe the translation types of sentences containing derivative adjective in Agatha Christie’s The Murder of Roger Ackroyd into Pembunuhan atas Roger Ackroyd translated by

menggambarkan semua garis kontur termasuk garis kontur bantuan.. Bukit Bukit Untuk menunjukkan suatu permukaan tanah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya yang

tidak diterima (ditolak); (2) Perusahaan yang melakukan SEO akan mengalami kenaikan Debt to Equity ratio ( DER ) dalam jangka panjang setelah penawaran hasilnya tidak

Tabel I.3 Data Hasil Survei Pendahuluan pada Pegawai Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pangkalpinang .... Tabel I.4 Data Spesifikasi Jabatan Pegawai Struktural di