• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN. dan Latin. Dalam bahasa Belanda, dipergunakan dengan istilah faillite yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN. dan Latin. Dalam bahasa Belanda, dipergunakan dengan istilah faillite yang"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB II

PEMBAHASAN

A. TINJAUAN UMUM HUKUM KEPAILITAN

1. Hukum Kepailitan

Apabila ditelusuri sejarah dari hukum kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi. Istilah “pailit” dijumpai dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis dan Latin. Dalam bahasa Belanda, dipergunakan dengan istilah faillite yang mempunyai arti ganda, yaitu diartikan sebagai kata benda dengan kata sifat. Di negara berbahasa inggris, pengertian pailit dan kepailitan menggunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy” yang berasal dari undang-undang di Italia yaitu

banca rupta. Terhadap perusahaan-perusahaan debitor yang mana dalam keadaan tidak dapat membayar utang piutangnya disebut dengan “insolvency”.

Menurut Peter Mahmud, istilah pailit berasal dari bahasa Perancis “faillite” berarti pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Oleh sebab itu orang yang mogok atau berhenti membayar disebut dengan “le fail le”.Menurut Poerwadarminta, “pailit” artinya “bangkrut”; dan “bangkrut” artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan sebagainya).1 Dalam kepustakaan, Algra mendefinisikan kepailitan adalah Faillissementis een gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een schuldenaar ten behoeve van

1 Ramlan Ginting, Kewenangan Tunggal Bank Indonesia Dalam Kepailitan Bank, “Buletin Hukum

Perbankan dan Kebanksentralan”, Vol. 2 No. 2, Agustus 2001, hlm. 1, mengutip dari W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999.

(2)

2

zijn gezamenlijke schuldeiser.”2 (Kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang debitor (si berutang) untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditor (si berpiutang).

Di dalam peraturan kepailitan pada Fv3 S. 1905 No. 217 jo. 1906 No. 384 menyantumkan pengertian yang dimaksud pailit yaitu, setiap berutang (Debitor) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (Kreditor), dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit. Berbeda halnya dengan pengertian dalam ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan4, yaitu: Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.5 Dalam menyatakan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan di Pengadilan yang mana sebelumnya harus memenuhi persyaratan-persyaratan dalam hal pengajuan permohonan pailit.

Sedangkan menurut Undang-Undang Kepailitan yang baru yaitu UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU,6 bahwa yang dimaksud kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan

2 Algra, N.E. (1974), Inleiding tot Het Nederlands Privaatrecht, Tjeenk Willink, Groningen, h. 425.

Dikutip dari buku Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2009, hal.,1.

3 Lihat Fv S. 1905 No. 217 jo. S 1906 No. 348, Pasal 1 Ayat (1). 4 Lihat UUK No. 4 Tahun 1998 Pasal 1 Ayat (1).

5 Lihat UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan Pasal 1.

6 UUK No. 37 Tahun 2004 telah disahkan dan diundangkan serta berlaku mulai tanggal 18

Oktober 2004. UU tersebut mencabut berlakunya Undang-Undang tentang Kepailitan (Fv) dan UUK No. 4 Tahun 1998, dan semua peraturan perundangan yang merupakan pelaksanaannya masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan undang-undang ini (lihat Ketentuan Peralihan Pasal 305 jo. Ketentuan Penutup Pasal 307).

(3)

3 pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.7 Namun pada dasarnya dalam hal persyaratan dinyatakan pailit masih sama dengan ketentuan pada UU Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998, yang membedakan hanyalah urutan dalam hal pengaturan pasal.

Pada dasarnya, pengaturan dalam kepailitan merupakan suatu pengejawantahan dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pada Pasal 1131 menyatakan bahwa: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Kemudian pada Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.”

Pada kedua perumusan pasal tersebut menurut Kartini Muljadi, dalam rumusan Pasal 1131 KUHPerdata mengatur bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dalam lapangan harta kekayaan akan selalu membawa suatu akibat terhadap harta kekayaannya, baik dalam hal yang bersifat menambah jumlah harta kekayaannya (kredit), ataupun yang dikemudian hari akan mengurangi jumlah harta kekayaannya (debit). Kemudian pada Pasal 1132 KUHPerdata mengatur terkait dengan segala pihak atau kreditor yang mana berhak atas pemenuhan

(4)

4 perikatan, diharuskan untuk mendapatkan pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban (debitor) tersebut secara8:

a. Pari passu, yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang didahulukan; dan

b. Pro rata atau proporsional, yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitor tersebut.

Sehingga dalam memperoleh pengetahuan yang lebih luas mengenai pengertian dari kepailitan, maka ada baiknya penulis menyertakan pendapat dari beberapa sarjana terkait dengan pendapat ‘pailit’ tersebut, yakni:9

1) R. Soekardono menyebutkan “Kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan boedel dari orang yang pailit.”

2) Menurut Memorie van Toelichting (Penjelasan Umum) bahwa kepailitan adalah suatu pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan si berutang guna kepentingannya bersama para yang menguatkan.10

3) Siti Soemarti Hartono mengatakan bahwa:

“Kepailitan adalah suatu lembaga hukum dalam Hukum Perdata Eropah sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam Hukum Perdata Eropah yang tercantum dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.”

8 Kartini Muljadi, Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dari

Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta, 26-28 Januari 2004, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hal., 164.

9 Sunarmi, Hukum Kepailitan, Cetakan Pertama, Medan, P.T. Sofmedia, 2010, hal., 26. 10 R. Suryatin, Hukum Dagang I dan II, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita, 1983, hal., 264.

(5)

5 4) Mohammad Chaidin Ali berpendapat bahwa:

“Kepailitan adalah pembeslahan massal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya diantara para kreditor dengan di bawah pengawasan pemerintah.”11

Kemudian terkait dengan pendapat Mohammad CHaidin Ali, dijelaskan bahwa: a) Pembeslahan massal, merupakan suatu pengertian bahwa dengan

vonis kepailitan menyangkut seluruh harta pailit terkecuali yang diatur dalam Pasal 20 Fv, bertujuan untuk menjamin seluruh hak-hak Kreditor si Pailit dengan maksud:

b) Pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya menurut posisi piutang dari para kreditor, yaitu:

(1) Golongan kreditor separatis (hipotek, gadai Pasal 1134 KUHPerdata);

(2) Golongan kreditor preferent (Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata);

(3) Golongan kreditor konkuren.

c) Dengan di bawah pengawasan Pemerintah, dalam hal pemberesan harta pailit Pemerintah mengambil andil dalam hal pengawasan dan mengatur penyelenggaraan penyelesaian boedel pailit, dengan cara mengerahkan:

(1) Hakim Pengadilan Niaga, (2) Hakim Komisaris,

(3) Kurator (weeskamer/ BHP).

11 Mohammad Chidir Ali, et. Al., Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Bandung, Penerbit

(6)

6 Maka secara sederhana dapat diambil kesimpulan, kepailitan merupakan suatu penyitaan semua aset debitor yang dimasukkan dalam permohonan pailit sebagai jaminan bagi pelunasan utang kepada para kreditor, serta merupakan pelaksanaan yang lebih lanjut dari suatu prinsip paritas creditorium dan prinsip

pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan. Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.12Sedangkan prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus di dahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.13

1. Asas-asas Hukum Kepailitan

Dalam pembentukan Undang-Undang Kepailitan, terdapat beberapa asas yang mustinya harus diperhatikan agar undang-undang tersebut dapat memenuhi kebutuhan dunia usaha, baik nasional maupun internasional. Dalam hal ini Undang-Undang Kepailitan dan PKPU di Indonesia terbentuk untuk melindungi kepentingan baik itu pihak Kreditor maupun pihak Debitor. Pemberian perlindungan tersebut merupakan hak subyektif bagi seseorang untuk dilindungi hukum. Dalam pemberlangsungan perlindungan tersebut haruslah seimbang,

12 Kartini Mulyadi, “Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang”,2001, Dalam: Rudhy A. Lontoh

(ed.), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaa Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut sebagai Kartini Mulyadi 1), hal., 168.

(7)

7 dengan kata lain tidak terlalu berpihak terhadap satu pihak baik kepada Kreditor maupun terhadap Debitor.

Sehubungan dengan keadaan tersebut, didalam Penjelasan Umum Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Kewajiban Penundaan Utang mengemukakan bahwa undang-undang ini didasarkan atas beberapa asas, yang antara lain:

a. Asas Keseimbangan. Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik;14

b. Asas Kelangsungan Usaha. Dalam undang-undang Kepailitan yang mana melalui asas kelangsungan usaha, memberikan kesempatankepada perusahaan Debitor yang prospektif untuk kemungkinan tetap dapat melangsungkan perusahaannya;

c. Asas Keadilan. Dalam undang-undang Kepailitan melalui asas keadilan mengandung sebuah pengertian, bahwa dimaksud terpenuhinya rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan merupakan suatu asas guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak kreditor atau pihak penagih yang mengusahakan pelunasan atas tagihan-tagihannya kepada debitor, dengan tidak memedulikan kreditor lainnya.

14 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

(8)

8

d. Asas Integrasi. Asas ini dimaksudkan bahwa Undang-Undang Kepailitan dan PKPU berisikan secara kesatuan, baik hukum materiel maupun hukum formal (hukum acara) dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Hal ini merupakan salah satu alasan tentang kepailitan tidak tepat diatur dalam KUHDagang. Hal itu disebabkan KUHDagang berisikan hukum materiel, sedangkan peraturan kepailitan berisikan bukum materiel dan juga hukum formal. Apabila peraturan kepailitan diatur dalam KUHDagang, maka tidak terjadi unifikasi hukum.15

3. Persyaratan Kepailitan

Apabila suatu badan hukum atau seseorang bermaksud mengajukan permohonan pailit kepada Debitor, terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit melalui pengadilan niaga. Dalam menyatakan Debitor pailit, Keditor tidak cukup hanya dengan mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. Namun terdapat hal lain didalam undang-undang kepailitan yang memuat syarat utama debitor dapat dimohonkan pailit. Apabila dalam permohonan pernyataan pailit tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka permohonan tersebut tidak dapat dikabulkan oleh pengadilan niaga.

Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang mana disebutkan: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat

15 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

(9)

9 ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”

Kemudian dalam penjelasannya Pasal 2 Ayat (1), menyatakan bahwa:

“Yang dimaksud dengan Kreditor dalam Ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separator, maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadapt harta debitor dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditor masing-masing kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2”.

“Yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan Pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase”.

Dalam hal persyaratan pengajuan permohonan pailit, terbagi menjadi 2 (dua) syarat yaitu:

a. Syarat Materil

Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, dapat dijabarkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitor dapat diterima oleh pengadilan niaga apabila memenuhi 3 (tiga) syarat materil sebagai berikut:

1) Syarat adanya dua kredior; atau dengan kata lain harus memiliki

lebih dari satu kreditor(Concursus Creditorium)

Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan pailit minimal debitor mempunyai dua kreditor atau lebih dari satu

(10)

10 kreditor, terkait dengan filosofis lahirnya hukum kepailitan. Sebagaimana telah dikemukakan pada poin tinjauan pustaka terkait latar belakang hukum kepailitan, bahwa hukum kepailitan merupakan realisasi dari Pasal 1132 KUHPerdata. Adanya pranata hukum kepailitan tersebut, mengatur mengenai cara membagi harta kekayaan debitor di antara para kreditornya (lebih dari satu kreditor) secara seimbang dan adil, agar mempunyai hak yang sama dalam pelunasan dari harta kekayaan debitor.

Apabila seorang debitor hanya mempunyai satu keditor, maka seluruh harta kekayaan debitor secara otomatis akan menjadi jaminan atas pelunasan utang debitor tersebut sehingga tidak diperlukan pembagian secara pro rata dan pari passu. Sebab, essensi Hukum Kepailitan merupakan sita yang bersifat umum untuk kepentingan seluruh kreditor-kreditornya, artinya apabila hanya terdapat seorang kreditor, maka eksistensi Undang-Undang Kepailitan kehilangan rasion d’entreny. Dengan demikian, jelas bahwa apabila debitor hanya mempunyai satu kreditor tidak dapat dituntut pailit.

Secara umum, terdapat 3 (tiga) macam kreditor yang dikenal dalam KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:

a) Kreditor konkuren

Kreditor konkuren adalah para kreditor dengan hak pari passu

dan pro rata, artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang

(11)

11 dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitor tersebut.16 Kreditor konkuren ini diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata. Maka, para kreditor konkuren mempunyai kesamarataan kedudukan atas pelunasan utang harta pailit debitor tanpa ada yang didahulukan.

b) Kreditor preferen17 (yang diistimewakan)

Kreditor yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan kreditor dengan hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya (Pasal 1134 KUHPerdata).

Untuk mengetahui piutang-piutang yang diistimewakan telah diatur dalam Pasal 1139 KUHPerdata18 (hak istimewa khusus) dan Pasal 1149 KUHPerdata19 (hak istimewa umum). Hak istimewa khusus berarti hak yang menyangkut benda-benda tertentu, sedangkan hak istimewa umum menyangkut seluruh benda. Berdasarkan KUHPerdata hak istimewa khusus didahulukan atas hak istimewa umum (Pasal 1138 KUHPerdata).

16 Kartini Muljadi, Kreditor Preferens dan Kreditor Separatis Dalam Kepailitan, “Undang-Undang

Kepailitan dan Perkembangannya: Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004: Jakarta 26-28 Januaru 2004”,

Jakarta, Pusat Pengkajian Hukum, 2005, hal., 164-165.

(12)

12 Menurut Pasal 1139 KUHPerdata piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu dan pada Pasal 1149 KUHPerdata menentukan bahwa piutang-piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan benda tidak bergerak pada umumnya, yang mana piutang-piutang dilunasi dari pendapatan penjualan benda-benda tersebut.

c) Kreditor separatis20

Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan in rem, yang mana dalam KUHPerdata disebut dengan nama gadai dan hipotek. Pada saat ini, sistem hukum jaminan di Indonesia mengenal 4 (empat) macam jaminan, diantaranya:

(1) Hipotek, diatur dalam Pasal 1162 s.d. Pasal 1232 Bab XXI KUH Perdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan utuk kapal laut berukuran minimal 20 m3 dan sudah terdaftar di Syahbandar serta pesawat terbang.

(2) Gadai, diatur dalam Pasal 1150 s.d. Pasal 1160 Bab XX KUH Perdata, yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak. Pada sistem jaminan gadai, maka seorang pemberi

20Ibid, hal., 168. Hak penting dari kreditor separatis yaitu hak untuk dengan kewenangan sendiri

menjual/mengeksekusi objek agunan, tanpa putusan pengadilan (parate eksekusi). Hak tersebut untuk:

a. Gadai diatur dalam Pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata; b. Hipotek diatur dalam Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata;

c. Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UU Hak Tanggungan; d. Jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29 ayat (1) huruf (b) UU Jaminan Fidusia.

Kuasa tersebut dalam Hak Tanggungan dan Hipotek diberikan berdasarkan Perjanjian pemberian agunan antara pemegang agunan pertama dengan pemberi agunan. Dalam gadai dan fidusia, kuasa tersebut diberikan berdasarkan undang-undang.

(13)

13 gadai (debitor) wajib melepaskan penguasaan atas benda yang dijaminkan kepada penerima gadai (kreditor).

(3) Hak Tanggungan, diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, merupakan jaminan hak-hak atas tanah tertentu beserta kebendaan yang melekat di atas tanah.

(4) Fidusia, diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dengan objek jaminannya berupa benda yang tidak dapat dijaminkan oleh hipotek, gadai, dan hak tanggungan.

2) Syarat harus ada utang

Suatu perusahaan dinyatakan pailit atau “bangkrut”, apabila perusahaan tersebut tidak sanggup atau terbukti menunjukan keadaan berhenti untuk membayar utang-utangnya. Sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka (6) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, mendefinisikan utang secara luas yang bukan hanya berasal dari konstruksi perjanjian pinjam meminjam uang. Mengutip pendapat pakar hukum Kartini dan Gunawan Widjaja, yaitu:

“Utang adalah perikatan, yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitor dan bila tidak dipenuhi, kreditor berhak mendapat pemenuhannya dari harta debitor. Pada dasarnya UU Kepailitan tidak hanya membatasi utang sebagai

(14)

14 suatu bentuk utang yang bersumber dari perjanjian pinjam-meminjam uang saja”21.

Sehingga definisi utang harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya meliputi utang yang timbul karena perjanjiang pinjam-meminjam atau perjanjian utang-piutang, melainkan utang yang lahir karena undang-undang atau perjanjian lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

Selain prinsip utang yang mana menganut konsep utang dalam arti luas, utang yang dijadikan dasar dalam mengajukan kepailitan haruslah memenuhi beberapa unsur yang lain, diantaranya:

a) Utang tersebut telah jatuh tempo; b) Utang tersebut dapat ditagih; dan c) Utang tersebut tidak dibayar lunas.

Dalam proses acara kepailitan prinsip utang yang mana telah dijelaskan tersebut sangat menentukan jalannya kepailitan, oleh karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan dapat diperiksa dalam Pengadilan.

3) Syarat Cukup Satu Utang yang Telah Jatuh Waktu dan Dapat

Ditagih (due and payable)

Selain syarat adanya dua kreditor atau lebih dan syarat harus adanya utang, syarat permohonan pernyataan pailit bahwa harus ada utang yang telah jatuh waktu tempo dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditor

21 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Jakarta,

(15)

15 memiliki hak untuk menuntut debitor dalam memenuhi prestasinya. UU No. 37 Tahun 2004 dalam penjelasannya Pasal 2 ayat (1), menjelaskan bahwa:

“Yang dimaksud dengan ‘utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih’ adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena Putusan Pengadilan, Arbiter, atau Majelis Arbitrase.”

Terkait dengan persyaratan ‘jatuh waktu’ dan ‘dapat ditagih’, Sutan Remy Syahdeini berpendapat bahwa kedua hal tersebut mempunyai pegartian yang berbeda. Hutang yang telah jatuh waktu merupakan hutang ‘expired’ yaitu hutang yang dengan sendirinya dapat ditagih. Namun, berbeda halnya dengan hutang yang dapat ditagih belum tentu tergolong dalam hutang yang telah jatuh waktu. Hutang tersebut dikatakan jatuh waktu apabila dalam perjanjian kredit atau perjanjian utang piutang telah sampai pada jadwal waktu pelunasan oleh debitor sebagaimana telah diperjanjikan dalam perjanjian tersebut. Sehingga, apabila telah sampai jadwal cicilan bagi pelunasan kredit investasi yang ditentukan secara bertahap, misalnya, setiap 6 (enam) bulan sekali setelah selesai masa tenggang (grace period) dan harus dilunasi

(16)

16 seluruhnya pada akhir perjanjian yang bersangkutan. Atau misalnya telah terjadi events of default.22

Dalam hal ini, dapat diambil kesimpulan bahwa suatu utang yang telah jatuh waktu merupakan utang yang dapat ditagih, namun berbeda dengan utang yang sudah dapat ditagih belum tentu termasuk dalam utang yang telah jatuh waktu. Hal ini berkaitan dengan cicilan utang dalam perjanjian utang piutang yang telah diperjanjikan atau berkaitan dengan perjanjian kredit. Merujuk pada ketentuan dalam Buku Ketiga Pasal 1238 KUH Perdata, dapat dijadikan sebagai patokan bahwa pihak dibetor dianggap ‘lalai’ apabila debitor dengan surat teguran dinyatakan lalai, Pasal tersebut menjelaskan bahwa:

“Debitor dinyatakan lalai degan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitor harus dianggap Lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Berdasarkan atas pasal tersebut, debitor dianggap lalai jika dalam surat somasinya dinyatakan debitor telah lalai dan dalam akta pernyataan lalainya tersebut debitor diberi waktu tertentu untuk melakukan pelunasan atas utangnya, apabila lewat dalam waktu tertentu yang telah ditentukan, debitor tetap tidak dapat melunasi utang-utangnya maka debitor dinyatakan telah melakukan wanprestasi atau telah ‘lalai’. Sehingga kelalaian tersebut mengakibatkan utang debitor telah dapat ditagih dan dapat mengakibatkan dituntutnya debitor terhadap ganti rugi atas tidak terpenuhinya prestasi. Maka yang menjadi pegangan terkait

22 Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordening Juncto

(17)

17 dengan penentuan apakah utang tersebut sudah jatuh waktu dan dapat ditagih atau belum yaitu tergantung dengan perjanjian yang mendasari hubungan perikatan itu sendiri.

Kemudian, pihak yang berwenang dalam pengajuan permohonan pailit bagi seorang Debitor telah dijelaskan pada Pasal 2 UU Kepailitan dan PKPU yaitu:

a. Debitor sendiri, undang-undang memungkinkan debitor dapat mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri

(VoluntaryPetition), dengan alasan bahwa dirinya maupun usaha yang dijalankannya tidak mampu melanjutkan seluruh kewajibannya, terutama dalam hal pembayaran utang-utangnya terhadap kreditor;

b. Seorang kreditor atau lebih, sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya adalah kreditor separatis, kreditor preferen ataupun kreditor konkuren;

c. Kejaksaan demi kepentingan umum, pengertian kepentingan umum disini adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Berikut keadaan-keadaan yang memungkinkan Kejaksaan mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan, yaitu:

1. Debitor melarikan diri;

(18)

18 3. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat; 4. Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan

dana masyarakat luas;

5. Debitor tidak beritikat baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu, atau;

6. Dalam hal lainnya menurut Kejaksaan merupakan kepentingan umum.

d. Bank Indonesia apabila menyangkut debitor yang merupakan bank; e. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam hal menyangkut debitornya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.

f. Menteri Keuangan dalam hal debitornya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.

d) Syarat Formil

Apabila syarat-syarat materil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan telah terpenuhi, kemudian diperiksa dalam Pengadilan Niaga yang merupakan Peradilan Umum yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Yang mana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, ditentukan bahwa:

(19)

19 “Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain

yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor.”

Kemudian hakim akan menyatakan “Debitor Pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”, dalam hal ini hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan

judgement secara luas, limited defence masih dibenarkan mengingat ketentuan bahwa prosedur pembuktian yang berlaku dalam kepailitan adalah prosedur pembuktian sederhana yang telah ditentukan dalam Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004, menyatakan bahwa:

“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta dan kenyataan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”

Setelah pengajuan permohonan pailit dikabulkan oleh hakim, selanjutnya dibentuk pihak-pihak sebagai berikut:

a. Panitia kreditor apabila dibutuhkan b. Seorang atau lebih kurator

c. Seorang Hakim Pengawas

d) Prosedur Permohonan Kepailitan

Prosedur permohonan kepailitan telah diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 13 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yang mana dijelaskan sebagai berikut:

a. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada ketua Pengadilan Niaga dalam hal ini Pengadilan Niaga yang berwenang megadili Kepailitan.

(20)

20 b. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada saat tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberi tanda terima dengan ditandatangani oleh pejabat bersangkutan.

c. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pailit apabila tidak sesuai dengan ketentuan permohonan pailit sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, untuk debitor Bank, perusahaan dalam bidang pasar modal, perusahaan asuransi atau BUMN dalam hal kepentingan publik.

d. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. e. Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari, setelah pernyataan pailit didaftarkan. f. Jangka waktu pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit dilakukan

paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak permohonan didaftarkan.

g. Dalam hal penundaan penyelenggaraan sidang dilakukan paling lambat 25 (dua puluh lima) sejak permohonan didaftarkan.

h. Pengajuan permohonan pailit wajib diajukan melalui advokat kecuali pemohonnya adalah kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan.

5. Tujuan Kepailitan

Pada dasarnya tujuan kepailitan memberikan solusi apabila terjadi keadaan dimana Debitor berhenti membayar atau tidak mampu untuk membayar utang-utangnya terhadap para kreditor. Kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempuyai fungsi penting terkait dengan tanggung jawab Debitor terhadap

(21)

21 perikatan-perikatan yang dilakukan. Dalam penjelasan umum UU No. 37 Tahun 2004 dikemukakan mengenai beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:23

a. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor;

b. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan keendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya;

c. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberik keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.

Ketiga hal tersebut merupakan tujuan dari terbentuknya undang-undang kepailitan sesuai dengan kebutuhan dan pembangunan hukum dalam masyarakat. Selain hal tersebut, kepailitan bertujuan untuk melindungi para kreditor akibat dari pemutusan hubungan kerja untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, yaitu “semua harta kekayaan debitor baik yang bergerak ataupun yang tidak bergerak, baik harta yang akan ada ataupun harta yang aka nada di kemudian hari, menjadi bagian dari jaminan perikatan debitor”, yaitu dengan memberikan fasilitas dan prosedur untuk pihak kreditor agar dapat

(22)

22 terpenuhi tagihan-tagihannya terhadap debitor. Asas jaminan tersebut dijamin dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Serta menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor di antara para kreditor sesuai dengan asas pari passu, yaitu membagi harta kekayaan debitor kepada kreditor secara proporsional berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing. Hal ini dijamin dalam Pasal 1132 KUHP Perdata.

Menurut UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004, setelah tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaan debitor selesai dilakukan oleh kurator dan ternyata debitor masih mempunyai utang-utang yang belum lunas debitor dituntut untuk tetap menyelesaiakan piutangnya, hal tersebut diatur dalam Pasal 204 UU No. 37 Tahun 2004. Dilihat dalam penjelasan umum dari undang-undang tersebut, menyatakan “Kepailitan tidak membebaskan seseorang yang dinyatakan pailit dari kewajibannya untuk membayar utang-utangnya”. Debitor tetap diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaannya, namun tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utang-utang yang belum lunas.

6. Akibat Kepailitan

Kepailitan mengakibatkan seorang Debitor yang telah dinyatakan pailit demi hukum kehilangan segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Hal tersebut merupakan pemberlakuan dalam Pasal 24 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Dengan demikian, kepailitan mengakibatkan seluruh kekayaan debitor serta segala sesuatu yang diperoleh oleh debitor selama masa kepailitan berada dalam sitaan umum sejak

(23)

23 tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Tanggal putusan pernyataan pailit tersebut dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat. Bila sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank maka transaksi tersebut wajib diselesaikan.

Terhitung sejak putusan pailit diucapkan maka kewenangan yang dimiliki oleh debitor dalam menguasai dan mengurus harta kekayaannya beralih menjadi kewenangan kurator. Di dalam kepailitan kurator bertugas membagi seluruh kekayaan debitor kepada para kreditor dengan memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh masing-masing kreditor. Akan tetapi debitor pailit hanya kehilangan hak keperdataannya atas tindakan-tindakan yang berkaitan dengan harta kekayaannya, sementara dalam hal perbuatan-perbuatan keperdataan lainnya seperti melangsungkan pernikahan, mengawinkan anaknya sebagai wali, menerima hibah, mengurus harta kekayaan pihak lain, serta menjadi kuasa pihak lain, debitor masih berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan tersebut.

Secara umum disimpulkan akibat dari kepailitan yaitu, sebagai berikut:

a. Harta kekayaan Debitor yang masuk dalam harta pailit merupakan sitaan umum atas harta para pihak yang dinyatakan pailit dan kemudian harta tersebut menjadi harta boedel pailit.

b. Akibat dari putusan pernyataan pailit diucapkan hanya mengenai harta kekayaan debitor pailit, sedangkan debitor itu sendiri tetap tidak kehilangan hak-hak keperdataannya yang lain. Seperti debitor pailit tetap cakap untuk melangsungkan pernikahan.

(24)

24 c. Demi hukum debitor pailit kehilangan hak atas harta kekayaannya yang termasuk harta pailit untuk mengurus dan menguasai, sejak putusan pernyataan pailit diucapkan.

d. Apabila setelah putusan pernyataan pailit timbul segala perikatan oleh debitor maka tidak dapat dibayarkan dengan harta pailit kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit.

e. Kurator berwenang untuk mengurus dan menguasai harta pailit, untuk kepentingan para kreditor, debitor itu sendiri serta hakim pengawas sebagai pengawas jalannya proses kepailitan.

Akibat Hukum Kepailitan terhadap berbagai perjanjian-perjanjian yang telah dibuat oleh debitor sebelum dinyatakan pailit adalah:

1) Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik

Apabila terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian terpenuhi, maka pihak dengan siapa si berutang atau debitor mengadakan perjanjian tersebut dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan kedua belah pihak.24 Apabila tidak mencapai kesepakatan terkait dengan jangka waktu, maka Hakim Pengawas yang akan menentukan jangka waktu tersebut. Namun bila kurator tidak bersedia melanjutkan perjanjian maka perjanjian tersebut akan berakhir dan pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat menuntut ganti rugi serta

(25)

25 berkedudukan sebagai kreditor konkuren. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 36 ayat (1), (2) dan (3) UU Kepailitan.

Namun apabila kurator menyatakan kesanggupannya atas pelaksanaan perjanjian tersebut, maka kurator dapat dimintakan atau wajib memberikan jaminan atas kesanggpannya melaksanakan perjanjian tersebut. Pelaksanaan perjanjian tersebut tidak berlaku terhadap perjanjian yang prestasinya diwajibkan debitor untuk melakukan sendiri perbuatan yang telah diperjanjikan.

2) Perjanjian Kerja antara Debitor Pailit dengan Pekerja

Pekerja yang bekerja dengan debitor dapat memutuskan hubungan kerjanya dan sebaliknya kurator juga dapat memberhentikan pekerja dengan mengindahkan jangka waktu menurut ketentuan undang-undang yang berlaku dan persetujuan bersama, dengan ketentuan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya. Sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, maka upah yang terutang sebelum maupun sesudah pernyataan pailit diucapkan merupakan bagian dari utang harta pailit. Dalam penjelasan Pasal 39 ayat (1) UU Kepailitan menyatakan bahwa:

“Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja, Kurator tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.”

Maka dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja, kurator tetap berpedoman dengan peraturan perUndangan di bidang ketenagakerjaan pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Permasalahan yang selalu muncul akibat kepailitan dari adanya hubungan kerja berkaitan dengan hak-hak pekerja apabila perusahaan dinyatakan pailit yaitu

(26)

26 perusahaan mengalami kesulitan dalam membahayar hak-hak normative yang dimiliki oleh pekerja selama ia bekerja. Hal ini lah yang masih menjadi polemic atas implikasi pemutusan hubungan kerja dikarenakan perusahaan mengalami pailit, meskipun dalam UU Kepailitan telah secara jelas mengatur bahwa upah yang terutang sebelum maupun sesudah dinyatakan pailit merupakan utang yang dimasukkan dalam harta pailit. Sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan.

Dalam penjelasannya Pasal 39 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 memberikan pengertian yang dimaksud dengan “upah” adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atas sutau pekerjaan atas jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan, dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarga.

Terkait dengan kedudukan pekerja dalam proses kepailitan, menurut pendapat Joseph E. Stiglitz, Hukum Kepailitan itu sendiri harus mengandung tiga prinsip. Prinsip pertama, peran pertama sebuah lembaga kepailitan di dalam ekonomi kapitalis modern adalah untuk menggalakkan reorganisasi perusahaan. Yaitu Hukum Kepailitan memberikan waktu yang cukuo bagi perusahaan-perusahaan pailit untuk segera melakukan pembenahan. Prinsip kedua, meskipun tidak dikenal Hukum Kepailitan yang berlaku universal dan ketentuan Kepailitan telah berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan keseimbangan politik diantara para pelaku, transformasi structural perekonomian dan perkembangan sejarah masyarakat, namun setiap Hukum Kepailitan bertujuan menyeimbangkan beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak Kreditor dan

(27)

27 menghindari terjadinya likuidasi premature.25 Dan kemudian prinsip ketiga, dalam Hukum Kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan Debitor dan Kreditor saja, tetapi lebih mementingkan stakeholder dalam kaitannya yang terpenting adalah pekerja. Dalam ketentuan kepailitan memang telah memberikan posisi hak istimewa dalam hal pembayaran gaji buruh yang termasuk dalam utang pailit. Namun bagaimana dengan hak-hak yang dimiliki pekerja/buruh yang lainnya. Singkat kata, Kepailitan adalah ultimum remidium, atau dapat dikatakan upaya terakhir dalam penyelamatan hak-hak kreditor.

Sehingga dalam hal ini, Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia berupaya untuk melindungi hak-hak buruh/pekerja dengan mengajukan 2 (dua) kali permohonan Judicial Riview terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan Nomor putusan No. 2/PUU-VI/2008 tertanggal 6 Mei 2008 dan No. 18/PUU-VI/2018.

B. TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KETENAGAKERJAAN DI

INDONESIA

1. Para Pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan

Dalam Hukum Ketenagakerjaan tidak hanya menyangkut tentang pengusaha/majikan dan pekerja/buruh, melainkan juga menyangkut pihak-pihak lain yang terkait. Luasnya keterlibatan dalam hubungan ketenagakerjaan karena

(28)

28 masing-masing pihak dalam hubungan industrial saling berinteraksi sesuai dengan posisinya dalam hal penghasilan barang dan/atau jasa. Para pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:

a. Pekerja/Buruh

Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 1 angka 3 memberikan pengertian terkait dengan pekerja/buruh yaitu:

“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Dalam definisi pekerja/buruh yang dijelaskan dalam pasal tersebut menggambarkan dua unsur yaitu unsur dari pihak yang melakukan pekerjaan dan unsur pihak yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Berbeda halnya dengan tenaga kerja yaitu mereka yang potensial untuk bekerja, berarti bahwa mereka bisa saja belum bekerja.26 Sedangkan pada pekerja/buruh adalah potensi yang sudah terikat hubungan pekerjaan dengan pengusaha dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.27 Maka pekerja/buruh merupakan bagian dari tenaga kerja didalam sebuah hubungan kerja, dengan dibawah perintah dari pemberi kerja baik badan hukum, pengusaha dan/atau perseorangan, dan atas jasa dari pekerjaannya menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pekerja/buruh adalah seorang yang menjalankan suatu pekerjaan dibawah perintah pemberi kerja baik perorangan atau badan hukum sehingga melahirkan suatu hubungan kerja dengan menerima suatu upah atau imbalan dalam bentuk lain.

26 Koesparmono Irsan dan Armansyah, Hukum Tenaga Kerja: Suatu Pengantar, Jakarta, Penerbit

Erlangga, 2016, hal., 27.

(29)

29 Istilah dari pekerja/buruh secara yuridis di dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebenarnya sama dan tidak memiliki perbedaan diantara keduanya. Pembedaan pekerja/buruh dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya didasarkan pada jenis kelamin antara pekerja/buruh laki-laki dengan pekerja/buruh perempuan, dan dibedakan berdasarkan usia yaitu pekerja/buruh anak. Pembedaan ini dilakukan bukan dalam rangka diskriminatif tetapi untuk melindungi pekerja/buruh yang lemah daya tahan tubuhnya dan untuk menjaga norma-norma kesusilaan.28

b. Pengusaha/Majikan

Istilah pengusaha secara umum menunjukkan beberapa kelompok sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 5 menyatakan, Pengusaha adalah:

a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.

b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.

c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia yang mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Pada prinsipnya pengusaha merupakan pihak yang menjalankan perusahaan baik miliknya sendiri ataupun bukan kepemilikannya. Yang mana secara umum dikatakan sebagai orang yang melakukan suatu usaha yang melahirkan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh.

(30)

30 Selain pengusaha UU Ketengakerjaan juga menyebutkan adanya pihak pemberi kerja, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 4, yaitu orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Adanya ketentuan terkait dengan pemberi kerja ini dimaksudkan agar menghindari orang yang bekerja pada pihak lain yang tidak digolongkan sebagai pengusaha, khususnya bagi pekerja yang bekerja pada sector informal.

Sedangkan pengertian perusahaan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tertuang pada Pasal 1 ayat (6), yaitu:

a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik perksekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

b. Usaha-usaha social dan usaha-usaha yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

c. Organisasi Buruh/ Serikat pekerja

Serikat pekerja/buruh merupakan syarat untuk memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, serta mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.29 Undang-Undang Hubungan Industrial menjelaskan bahwa serikat

(31)

31 pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.30

Organisasi Buruh di perusahaan didirikan oleh para pekerja/buruh di dalam perusahaan tersebut untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka, sehingga menghindari perlakuan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Pekerja/buruh sebagai warga negara mempunyai persamaan kedudukan dalam hukum, memiliki hak untuk mendapatkan suatu pekerjaan serta penghidupan yang layak, memiliki hak untuk mengeluarkan pendapatnya, berkumpul dalam suatu organisasi, serts berhak untuk mendirikan dan menjadi anggota organisasi buruh atau serikat pekerja/buruh. Hak untuk menjadi anggota serikat tersebut dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28.

Dalam Lampiran Kepmenaker No. KEP-438/MEN/1992, Bab II tentang Serikat Pekerja Perusahaan menjelaskan fungsi dan peran serta tugas pokok dalam serikat pekerja, yaitu:

a. Sebagai wadah penyalur aspirasi anggota dalam masalah yang menyangkut pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai pekerja maupun sebagai warga negara.

b. Memberikan perlindungan serta memperjuangkan hak-hak dan kepentingan anggota dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja.

30 Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

(32)

32 c. Meningkatkan keterampilan dan pengabdian para anggota bagi kelangsungan

hidup perusahaan.

d. Meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab untuk terpeliharanya ketenangan kerja dan ketenangan usaha.31

d. Organisasi Pengusaha/Majikan

Dasar dan tujuan Organisasi Pengusaha adalah kerja sama antara anggota-anggotanya berkaitan dengan soal teknis dan ekonomi. Dalam sejarah Indonesia terdapat berbagai organisai pengusaha salah satunya di bidang perkebunan yang didirikan pada tahun 1853, yaitu Nederlandsch Indische Maatschappij voor Nijverheid. Berjalannya pertumbuhan ekonomi di Indonesia organisasi pengusaha semakin tumbuh dan berkembang sangat pesat.

Organisasi Pengusaha yang bergerak dalam bidang sosial ekonomi yang termasuk dalam ketenagakerjaan saat ini adalah Assosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Organisasi pengusaha yang berbadan hukum merupakan mitra dari gabungan serikat buruh. APINDO merupakan contoh dari Perkumpulan Majikan/Assosiasi Pengusaha yaitu bersama dengan serikat pekerja dan Pemerintah DKI menentukan batas upah minimum di Jakarta. Dalam Pasal 105 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengisyaratkan adanya organisasi pengusaha, yaitu:

(1) Setiap pengusaha berhak untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.

(33)

33 (2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

e. Pengawasan

Pengawasan ketenagakerjaan merupakan kegiatan untuk mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dalam bidang ketenagakerjaan. Semua peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk melindungi buruh perlu diawasi oleh sekelompok ahli pengawasan agar perlindungan tersebut dapat berjalan sesuai dengan ketentuannya. Pasal 176 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:

“Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independent guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan”

Pengertian pengawasan tersebut bukan merupakan alat bagi perlindungan buruh melainkan cara untuk menjamin bahwa pelaksanaan peraturan maupun perundang-undangan yang berlaku dijalankan dengan baik, serta sangat diperlukan adanya pengawasan agar norma-norma perlindungan kerja dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Sehingga setiap pengusaha wajib untuk menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja seara menyeluruh bagi pekerja/buruh yang terintegrasi dengan sistem manajemen di dalam perusahaan.

(34)

34 2. Hubungan Kerja

Ditegaskan dalam Pasal 1 angka 15 bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Maka berdasarkan pengertian hubungan kerja dalam pasal tersebut ditegaskan hal-hal yang melekat dalam suatu hubungan kerja yaitu sebagai berikut.

Pertama, subjek hukum dalam suatu hubungan kerja adalah pihak pengusaha dan pihak pekerja/buruh. Kedudukan subjek hukum antara kedua pihak tersebut merupakan hubungan kerja yang khusus. Tidak ada hubungan kerja apabila subjek pendukungnya bukan pihak-pihak tersebut. Kedua, adanya sebuah hubungan kerja didasarkan oleh suatu perjanjian kerja. Tepatnya dalam hal ini adalah hubungan hukum antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang didasarkan atas perjanjian kerja. Dilihat pada Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:

“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.”

Sementara itu, yang dimaksud dengan pemberi kerja adalah orang perorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.32

Ketiga, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur diantaranya

32 Abdul R. Budiono, Hukum Perburuhan, Cetakan Kedua, Jakarta Barat, Permata Puri Media,

(35)

35 pekerjaan, upah dan perintah. Ketiga unsur tersebut bersifat kumulatif yang berarti ketiadaan atas salah satu unsur tersebut menyebabkan tidak adanya hubungan kerja. Oleh karena itu, yang menjadi dasar hubungan kerja memuat 4 (empat) unsur, yaitu:

a. Adanya pekerjaan (termuat dalam Pasal 1601 a KUHPerdata dan Pasal 341 KUHDagang).

b. Adanya perintah orang lain (dalam ketentuan Pasal 1603 b KUHPerdata). c. Adanya Upah (dalam ketentuan Pasal 1603 p KUHPerdata)

d. Terbatas waktu tertentu, karena tidak ada hubungan kerja yang berlangsung terus-menerus.33

Sehingga pada dasarnya suatu hubungan kerja merupakan hubungan yang menagtur hak dan kewajiban pengusaha dengan pekerja/buruh. Dapat digambarkan dalam sebuah skema yang akan memperjelas uraian tentang makna hubungan kerja.

33 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,

2003, hal., 25-26.

Hubungan Hukum antara Buruh dan Pemberi Kerja Hubungan Hukum antara Buruh dan Pengusaha

Hubungan Hukum karena Perjanjian Kerja

(36)

36

3. Hak dan Kewajiban atas Hubungan Kerja

Adanya Hubungan hukum antara pengusaha dengan pekerja/buruh secara otomatis melahirkan hak dan kewajiban diantara keduanya. Apabila pekerja/buruh telah menyelesaikan kewajibannya maka sudah seharusnya perusahaan memenuhi hak-hak yang dimiliki pekerja sesuai dengan perjanjian kerja serta peraturan perundang-undangan. Adapun hak-hak pekerja/buruh telah diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:

a. Dalam Pasal 6, tenaga kerja memiliki kesempatan tanpa adanya diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan.

b. Dalam Pasal 11, Pasal 18 ayat (1), dan Pasal 23, Pekerja/buruh berhak untuk memperoleh pelatihan terkait dengan pembekalan, pelatihan, dan bentuk kegiatan lain dalam rangka meningkatkan keterampilan (kompetensi) untuk menunjang bidang kerjanya.

c. Dalam Pasal 31, Tenaga kerja diberikan keleluasaan untuk berpindah kerja sesuai dengan kualifikasi dan kompetensinya.

d. Dalam Pasal 82, Pekerja/buruh perempuan diperbolehkan mendapatkan waktu istirahat pada saat melahirkan dan/atau keguguran.

e. Dalam Pasal 86, Pekerja/buruh mendapatkan hak atas keselamatannya dan kesehatan kerja.

f. Dalam Pasal 88, Pekerja/buruh berhak mendapatkan penghasilan atau upah yang layak.

g. Dalam Pasal 99, Pekerja/buruh beserta dengan keluarganya mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja.

(37)

37 Hak-hak tersebut harus dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan terhadap pekerja-pekerja yang telah melaksanakan kewajibannya. Berkaitan dengan hal tersebut kewajiban yang dimiliki oleh Pekerja/buruh adalah:

1) Melaksanakan tugas maupun pekerjaannya sesuai dengan apa yang sudah disepakati dalam perjanjian kerja dengan sungguh-sungguh.

2) Melaksanakan tugas maupun pekerjaannya sendiri, tidak digantikan dengan orang lain tanpa sepengetahuan pengusaha.

3) Pekerja/buruh menaati peraturan dalam pekerjaannya sesuai dengan perjanjian kerja.

4) Menaati tata tertib yang ada di Perusahaan dimana pekerja/buruh itu bekerja. 5) Membayar ganti rugi atau denda apabila pekerja lalai mengerjakan tugasnya,

sesuai dengan yang disepakati dalam perjajian kerja.

Setelah pemenuhan kewajiban-kewajiban oleh pekerja/buruh, maka Pengusaha juga diwajibkan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam suatu hubungan kerja, yaitu sebagai berikut:

a) Pengusaha berkewajiban membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan Upah Minimum yang telah ditetukan.

b) Mengatur pekerjaan dan tempat kerja sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kerja.

c) Memberikan cuti dan hari libur sesuai dengan ketentuan dalam peraturan undang-undang yang bersangkutan.

d) Memberikan perawatan dan pengobatan terhadap pekerja/buruh apabila terjadi kecelakaan dalam bekerja.

(38)

38

4. Perlindungan Buruh

Pekerja/buruh di dalam menjalankan pekerjaannya di dasari atas suatu hak dan kewajiban, sehingga dalam pemenuhan atas hak beserta dengan kewajibannya diperlukan suatu perlindungan hukum yang berimplikasi terhadap adanya kepastian hukum di antara para pihak yang terikat dalam hubungan industrial. Perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh tercermin berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta melindungi beberapa aspek atas adanya hak maupun kewajiban yang dimiliki oleh pekerja/buruh, yang mana perlindungan hukum merupakan hak konstitusional bagi seluruh warga negara dalam menjalankan kehidupannya.

Perlindungan terhadap tenaga kerja merupakan suatu jaminan keberlangsungan hubungan kerjasama secara harmonis tanpa disertai dengan adanya suatu tekanan-tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Pada dasarnya setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa adanya suatu diskreminasi untuk memperoleh suatu pekerjaan. Setiap pekerja berhak pula mendapatkan hasil atas jerih payah mereka selama satu bulan untuk menerima upah yang layak sesuai dengan upah minimum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Soepomo membagi perlindungan pekerja ini menjadi 3 (tiga) macam yaitu:34

a. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup

34 Zainal Asikin, Agusfian Wahab, Lalu Husni, Zaeni Asyhadei, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan,

(39)

39 memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial;

b. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga; atau yang biasa disebut: kesehatan kerja;

c. Perlindungan Teknis, yaitu sutau jenis perlindungan yang berkaitan dengan usha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesaat atau alat kerja lainnya atau oleh badan yang diolah atau dikerjakan perusahaan. Di dalam pembicaraan selanjutnya, perlindungan jenis ini disebut dengan keselamatan kerja.

Dalam penulisan ini lebih membahas tekait dengan perlindungan ekonomis bagi pekerja/buruh yaitu berupa jaminan sosial yang salah satunya adalah jamsostek. Jamsostek adalah suatu perlindungan yang diperuntukkan bagi tenaga kerja berupa santunan uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang maupun sebagai akibat dalam peristiwa yang dialami oleh para tenaga kerja berupa kecelakaan, sakit, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Jamsostek tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993, yang mana mencangkup beberapa bentuk program yang terdiri dari:

(40)

40 1) Jaminan berupa uang

a) Jaminan kecelakaan kerja b) Jaminan kematian

c) Jaminan hari tua 2) Jaminan berupa pelayanan

a) Jaminan pemeliharaan kesehatan

b. Pemutusan Hubungan Kerja

Dalam permasalahan pemutusan hubungan kerja, tenaga kerja selalu menjadi pihak yang lemah apabila dihadapkan dengan pengusaha ataupun pihak pemberi kerja yang memiliki kekuatan leih disbanding dengan pekerja/buruh. Maka dalam hal ini, pemutusan hubungan kerja (PHK) telah memiliki pengaturannya sendiri. Maka dalam hal ini, prosedur Pemutusan Hubungan Kerja yaitu sebagai berikut:35

a. Wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan pekerja, maksud Pemutusan Hubungan Kerja tersebut.

b. Bila perundingan gagal atau tidak menghasilkan persetujuan, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perelisihan hubungan industrial dengan disertai alasan yang menjadi dasarnya.

(41)

41 c. Permohonan penetapan dapat diterima bila telah dirundingkan terlebih dahulu dan perundingan itu gagal. PHK tanpa penetapan adalah batal demi hukum dan pengusaha wajib memperkerjakan pekerja yang bersangkutan serta membeyar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima, serta selama putusan belum ditetapkan, maka baik pengusaha maupun pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (Pasal 155 ayat (2 dan 3) dan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003).

Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur beberapa jenis pemutusan hubungan kerja sebagaimana telah diuraikan pada Bab I bagian Pendahuluan, yaitu:

a. Pemutusan Hubungan Kerja oleh majikan/pengusaha. b. Pemutusan Hubungan Kerja oleh pekerja/buruh. c. Hubungan kerja putus demi hukum.

d. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan.

Dalam pembahasan ini akan lebih memfokuskan pada Pemutusan Hubunga Kerja oleh Pengadilan dikarenakan perusahaan dinyatakan pailit. PHK oleh Pengadilan adalah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan (majikan/buruh) berdasarkan alasan penting.36

Maka pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dikarenakan perusahaan dinyatakan pailit atau bangkrut. Dan pernyataan pailit tersebut harus ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan niaga berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

36 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta, Rajawali Pers,

(42)

42 Utang. Persoalan hubungan kerja antara debitor pailit dengan pekerja diatur pula dalam UU Kepailitan pada Pasal 39, yaitu:

Pasal 39

“(1) Pekerja yang bekerja pada Debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya Kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat lima) hari sebelumnya.

(2) Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.”

Dari pasal tersebut kita dapat mengetahui bahwa pemutusan hubungan kerja antara pekerja dengan debitor saat debitor dinyatakan pailit, dapat berasal atas inisiatif pekerja atau diberhentikan oleh kurator selaku pengurus harta pailit debitor.

Dalam hal pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh kurator, maka PHK tersebut harus sesuai dengan Pasal 165 UU Ketenagakerjaa, yaitu:

“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”

Dengan demikian, apabila pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh kurator terhadap pekerja dikarenakan debitor pailit, maka kurator diharuskan untuk memperhatikan hak-hak pekerja sebelum PHK dan sesudah PHK karena perusahaan pailit, yaitu berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja

(43)

43 maupun uang penggantian hak yang sebagaimana diuraikan dalam Pasal 156 UU Kepailitan. Hak-hak yang diperoleh oleh pekerja tersebut akan dimasukkan sebagai utang harta pailit yang harus dipenuhi oleh perusahaan atau dalam hal ini adalah debitor. Dilihat dalam Pasal 1149 KUH Perdata poin 4, menyatakan secara tegas bahwa kedudukan hukum upah pekerja merupakan salah satu piutang yang kedudukannya diistimewakan. Oleh karena itu, jelas bahwa pekerja yang belum memperoleh bayaran atas upah dan hak-hak lain (seperti pesangon, uang penghargaan, dan lain-lain) dari debitor pailit merupakan kreditor preferen (kreditor yang mempunyai hak istimewa).37

C. HASIL PENELITIAN dan ANALISIS

Pada sub bab ini akan dipaparkan mengenai 3 (tiga) Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan permohonan pengujian beberapa pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Kepailitan dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Yang mana dalam pasal-pasal yang berlaku belum menjamin kepastian hukum terhadap perlindugan upah buruh baik selama berlangsungnya hubungan kerja maupun saat berakhirnya hubungan kerja karena kepailitan. Harapannya analisis terhadap 3 Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dapat memberikan jawaban atas problematika hak-hak atas upah buruh dalam proses Kepailitan suatu Perseroan Terbatas. Dengan memperhatikan bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan pengujian undang-undang tersebut, serta apakah putusan hakim yang telah ingkrah sudah melindungi para buruh dalam memperoleh hak-hak atas upah mereka setelah perusahaan dinyatakan pailit.

(44)

44

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PUU-VI/2008.

a. Kasus Posisi

Dalam Permohonan ini, Pemohon adalah perwakilan Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI), telah mengajukan surat permohonan tertanggal 8 Januari 2008 yang terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 9 Januari 2008, dengan registrasi Nomor 2/PUU-VI/2008 yang telah diperbaiki pada tanggal 5 Februari 2008. Dalam pengajuan pengujian ini Pemohon menganggap diberlakukannya ketentuan Pasal 29, Pasal 55 Ayat (1), Pasal 59 Ayat (1) dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, sangat berpotensi terhadap hilangnya hak-hak buruh yang diputuskan hubungannya karena tempat perusahaan mereka bekerja dinyatakan pailit. Keberadaan pasal-pasal tersebut, dianggap oleh Pemohon telah bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Maka dengan pemberlakuan Pasal 29, Pasal 55 Ayat (1), Pasal 59 Ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU para Pemohon menyatakan Undang-Undang a quo “… tidak menjamin kepastian hukum yang adil bagi buruh serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan hanya memberikan peluang serta hak-hak istimewa kepada kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atau kebendaan lainnya, yang akan menghapus nuansa perlindungan terhadap hak-hak buruh, baik selama berlangsungnya hubungan kerja maupun saat berakhirnya hubungan kerja karena kepailitan.”38 Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam keberlangsungan pasal-pasal Undang-Undang a quo tersebut mengesampingkan ketentuan upah

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelusuran yang peneliti lakukan dan berdasarkan data yang telah didapat dari pihak atau pengurus Baitul Maal Amanah PAMA di Kabupaten Tabalong, dijelaskan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembauran Kebangsaan di Daerah;.. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006

Mengenai faktor alat bantu yang ada di BP3TKI Bandung adalah internet dimana jika mereka tidak bisa terhubung dengan pusat maka pelayanan yang ada disana akan lumpuh dan tidak

Isolasi senyawa flavonoida yang terkandung di dalam kulit batang tumbuhan petai cina ( Leucaena glauca L. ) dilakukan dengan ekstraksi maserasi dengan metanol.. Fraksi metanol

 Motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan, mengarahkan dan menjaga tingkah laku seseorang agar terdorong untuk bertindak melakukan

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hasil tentang penerapan metode Balanced Scorecard dalam pengukuran kinerja Kusuma Sahid Prince Hotel Surakarta pada tahun

12 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI... 1 0 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN

Setelah pertanyaan- pertanyaan yang sesuai dijawab, maka sistem akan memberikan informasi kepada pengunjung mengenai berbagai kemungkinan virus dan penyakit yang