Men’s Folio Edisi Mei-Juni 2014)
S K R I P S I
Oleh :
ARINDHA AYU ADISTY NPM. 1043010079
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
KATA PENGANTAR
Puja, puji, dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skirpsi Penelitian yang berjudul “Representasi Maskulinitas Dalam Iklan
(Analisis Semiotik Deskriptif Kualitatif Representasi Maskulinitas dalam Iklan BVLGARI Aqva, Hugo Boss Eyewear, dan ROCKPORT di Majalah Pria Men’s Folio Edisi Mei-Juni 2014) dengan sebaik-baiknya.
Selain bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan yang ditetapkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran”
Jawa Timur Program Studi Ilmu Komunikasi, penulisan proposal ini berangkat dari pengamatan penulis mengenai kemampuan media massa dalam merekonstruksi suatu nilai dan budaya yang ada di masyarakat
khususnya mengenai konsep Maskulinitas di dalam iklan.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan banyak
terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu DRA. Hj. Suparwati, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.
2. Ibu Juwito,S.Sos, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur.
4. Mama yang sudah luar biasa mendukung dan mendoakan peneliti, Papa yang merestui dari surga. I can’t ask for better parents J
5. Adek kesayangan Mbak Arin, Divaaa Stay Gorgeous. Ton’s of love :* 6. Untuk sahabat-sahabat seperjuangan yang tidak ada habisnya membuat
penulis tertawa dan semangat Kayiin, Epoy, Uye, Anyuk, Mae, Lela,
Bebek, Tarzan. Demikian kami memanggil satu sama lain. You guys rock!
7. Buat Bude Ir, Bude Shanti, Mbak Galuh, Mbak Aras, Terima kasih 8. Dosen-dosen pengajar Ilmu Komunikasi, terima kasih Bapak/Ibu
‘transferan’ ilmunya. Great teacher creates great student for sure
9. Temen-temen Komunikasi 2010, para “pencari kitab suci” hahaa. Terima Kasih
10.The Bitches J iin, Elvira, eva, nekob . Gosh, we definitetly partner in crime! lol
11.Serta pihak-pihak lainnya yang tidak bisa penulis sebut satu per satu.
Terima Kasih.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga
penelitian ini dapat bermanfaat. Segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kebaikan laporan ini.
Surabaya, 11 Juli 2014
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………. i
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN ……… ii
KATA PENGANTAR ………... iii
2.5 Majalah Sebagai Media Iklan ……….……….. 23
2.6 Komunikasi Nonverbal ………...………. 24
2.7 Komunikasi Sebagai Proses Simbolik ..………. 26
2.8 Ekspresi Simbolik Dalam Iklan …….………. 27
2.9 Semiotika ………. 29
2.10 Semiotika Charles Sanders Pierce ……….…… 31
2.11 Pendekatan Semiotik Dalam Iklan ………..….. 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 71
4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ……… 71
4.1.1 BVLGARI Aqva ……… 72
4.1.2 Hugo Boss Eye Wear ………... 73
4.1.3 ROCKPORT ……… 73
4.2 Penyajian Data ……… 74
4.3 Model Kategori Tanda Charles Sanders Pierce ………... 74
4.4 Analisis Data ……….. 80
4.4.1 Hasil dan Pembahasan Semiologi Charles S. Pierce dalam Iklan BVLGARI Aqva ……… 80
4.4.2 Hasil dan Pembahasan Semiologi Charles S. Pierce dalam Iklan Hugo Boss Eye Wear ………. 85
4.4.3 Hasil dan Pembahasan Semiologi Charles S. Pierce dalam Iklan ROCKPORT ……….. 90
4.5 Makna dalam Iklan BVLGARI Aqva, Hugo Boss Eye Wear, dan ROCKPORT di Majalah Pria Men’s Health Edisi Mei-Juni 2014 ……… 94
4.5.1 Iklan BVLGARI Aqva ……….. 94
4.5.2 Hugo Boss Eye Wear ……….. 95
4.5.3 ROCKPORT ………... 97
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 99
5.1 Kesimpulan ………. 99
5.2 Saran ………. 100 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar Iklan BVLGARI Aqva ………... 81
Lampiran 2. Gambar Iklan Hugo Boss Aeye Wear ... 82
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Teknik Elemen Makna Pierce ... 32
Gambar 2.2 Model Kategori Tanda Pierce ... 33
Gambar 2.3. Skema Kerangka Berpikir ... 48
Gambar 4.1. Iklan BVLGARI Aqva, Hugo Boss Eyewear, dan ROCKPORT dalam Elemen Makna Pierce ………... 61
Gambar 4.2. Iklan BVLGARI dalam Tiga Kategori Tanda Pierce ... 62
Gambar 4.3. Iklan Hugo Boss dalam Tiga Kategori Tanda Pierce ………. 62
ABSTRAKSI
ARINDHA AYU ADISTY, REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM IKLAN (Analisis Semiotik Deskr iptif Kualitatif Repr esentasi Maskulinitas dalam Iklan Par fum BVLGARI Aqva, Hugo Boss Eyewear , dan ROCKPORT di Majalah Pr ia Men’s Folio Edisi Mei-J uni 2014)
Penelitian ini mengenai representasi maskulinitas dalam iklan produk-produk pria. Objek penelitian adalah gambar iklan tidak bergerak yang diambil dari majalah Men’s Health Edisi Mei-Juni 2014. Maskulinitas menjadi benang merah didalam iklan yang diteliti.Sebagai bahan representatif diambil korpus penelitian dari iklan BVLGARI Aqva, Hugo Boss Eye Wear, dan ROCKPORT. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode semiotika Charles Sanders Peirce untuk menganalisis dan memahami makna iklan tersebut .Metode semiotika yang digunakan deskriptif kualitatif dan menganalisis tanda berdasarkan ikon, indeks, dan simbol, sebuah metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode dibalik tanda dan teks tersebut. Hasil penelitian menunjukkan representasi maskulinitas dari ketiga iklan produk pria tersebut tergambarkan inovatif, prospektif dan tepat sasaran, serta semakin menegaskan bahwa kehadirannya di era modern ini merupakan hal yang lazim, dalam mengincar target pasar kaum pria yang berselera tinggi, penuh semangat dan berpengaruh tinggi terhadap gaya hidup dan cita-cita.
ABSTRACT
ARINDHA AYU ADISTY, REPRESENTATION OF MASCULINITY IN ADVERTISING (Semiotic Analysis Descr iption Qualitative Repr esentation of Masculinity in BVLGARI Aqva, Hugo Boss Eye Wear , and ROCKPORT ads in Men’s Folio Megazine May-J une 2014 Edition)
This study is about representation of masculinity in Men's advertising products. The object of research are static advertising images that taken from Men's Health Megazine of May-June 2014 Edition. Masculinity become the red thread on the research of advertising. As the corpus of representative material taken from BVLGARI Aqva, Hugo Boss Eye Wear, and ROCKPORT ads. This study uses the approach of Charles Sanders Peirce's semiotic method to analyze and understand the meaning of the ads. Semiotic method used descriptive and qualitative analyzes based on sign icon, index, and symbol, a method focusing on signs and texts as objects of its studies, and as how researchers interpret and understand the sign behind and mark the text. The result of research shows a representation of masculinity from the three ads men’s products portrayed innovative, prospective and well targeted, and further confirms that its presence in the modern era it was prevail in targeting the market of men that are tasteful, full of high spirit and influence on the style life and ideals.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kata iklan berasal dari bahasa latin, Advere yang mempunyai arti
mengumpankan pikiran dan gagasan kepada orang lain. Istilah Perancis menyebutnya reclamare yang berarti meneriakkan sesuatu secara berulang-ulang. Sedangkan dalam bahasa Arab disebutkan I'lan. Istilah inilah yang kemudian
diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dengan pelafalan 'iklan'.
Salah satu sarana paling efektif yang digunakan dalam
mengkomunikasikan iklan-iklan tersebut pada masyarakat adalah media massa. Media massa merupakan sumber kekuatan atau alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan
atau sumber daya lainnya (McQuail, 1996: 5). Media massa sendiri terbagi dua macam, media massa cetak (printed media), dan media massa elektronik
(electronic media). Yang termasuk media massa elektronik adalah radio, TV, termasuk film. Sedangkan media massa cetak adalah surat kabar dan majalah.
Majalah adalah sebuah media publikasi atau terbitan secara berkala yang
memuat artikel – artikel dari berbagai penulis. Selain memuat artikel, majalah juga merupakan publikasi yang berisi cerita pendek, gambar, review, ilustrasi atau
pembaca dalam mencari sesuatu hal yang diinginkannya. Dengan karakteristiknya tersebut majalah memiliki segmentasi yang kuat terhadap konsumennya di
bandingkan media massa lainnya.
Iklan merupakan salah satu media komunikasi yang paling tepat dan efektif untuk menawarkan dan memasarkan sebuah produk. Sebuah iklan dituntut
untuk menarik, unik dan sekreatif mungkin sehingga mampu tampil beda dibandingkan yang lain dan akhirnya menarik perhatian konsumen untuk
kemudian mencoba membeli produk yang ditawarkan tersebut. Hal ini sangat penting untuk dilakukan dalam rangka mencapai brand awareness (kesadaran masyarakat akan sebuah merek) terhadap produk yang diiklankan.
Dunn dan Barban dalam Widyatama (2007:15), menyimpulkan bahwa iklan merupakan bentuk kegiatan komunikasi non personal yang disampaikan
melalui media dengan membayar ruang yang dipakainya untuk menyampaikan pesan yang bersifat membujuk atau persuasive kepada konsumen oleh perusahaan, lembaga non komersial, maupun pribadi yang berkepentingan.
Tetapi lebih jauh lagi, iklan bukan hanya sekedar memberikan informasi tapi juga memanipulasi psikologis konsumen secara persuasif untuk mengubah
sikap dan pikiran mereka. Dengan segala bentuk kreativitasnya, iklan telah menjadi unsur penting dalam kehidupan sosial yang bukan hanya sebagai alat pemasaran produk melainkan juga telah menjual nilai-nilai ideal dalam gaya
hidup masyarakat.
Selain menciptakan kesadaran publik terhadap keberadaan suatu produk
yang lebih besar dengan cara meyakinkan pasar akan keunggulan suatu merek. Melalui iklan pun masyarakat dapat memiliki kriteria dalam pengambilan
keputusan karena iklan juga berfungsi sebagai pembanding dan alat evaluasi terhadap suatu merek produk.
Dalam penyajiannya iklan lebih memilih untuk menggunakan figur
manusia, karena penggunaan figur manusia dalam iklan akan lebih mudah dan cepat menyampaikan pesan iklan kepada khalayak langsung keintinya. Hal ini
bekerja melalui jenis kelamin, ras, dan pekerjaan. (Roderic White dalam Wibowo, 2011:115). Dengan figure manusia tersebut maka muncul pembeda jenis kelamin manusia sebagai permintaan produk sesuai target pasar.
Dengan tujuan agar target pasar yang diinginkan tercapai, karakteristik sebuah produk selalu dikaitkan dengan jenis kelamin. Konsumen memiliki
kecenderungan untuk mempertimbangkan apakah produk yang ditawarkan maskulin atau feminine. Maka dari itu, tampilan-tampilan dalam sebuah iklan harus menggambarkan dengan tegas untuk siapakah produk tersebut ditujukan
secara simbolis.
Diantara iklan-iklan yang muncul di media massa, banyak terdapat iklan
yang melestarikan konstruksi gender mengenai maskulinitas. Terpaan media mengenai konstruksi maskulinitas menjadi sebuah konsep yang sering tidak kita sadari. Bagaimana sebuah isu maskulinitas sampai ke diri kita juga berkat peran
globalisasi media. Apa yang direpresentasikan oleh satu media dominan cenderung akan ditiru oleh media lain di seluruh dunia. Iklan media cetak salah
tentang laki-laki. Media telah melakukan penggambaran atas definisi laki-laki dalam wacana maskulinitas. Media pun secara mahir membentuk image ideal bagi
laki-laki sesuai dengan keinginan pasar melalui penampilan tubuh yang berotot, berwajah tampan, terawat, dan beraroma wangi. Tuntutan ini menjadi sebuah kesepakatan pada masyarakat akan definisi maskulinitas itu sendiri pada saat ini,
sehingga dilihat sebagai sesuatu yang tidak alami lagi.
Apa yang dilihat masyarakat di media dipandang sebagai gambaran apa
yang dialami oleh masyarakat itu sendiri. Persepsi seperti ini membuat laki-laki merasa dituntut untuk memenuhi konsep maskulinitas standar yang telah ditetapkan media. Sehingga muncullah golongan lelaki yang gemar dan lebih
peduli untuk membuat diri mereka terlihat bersih dan terawat serta tampil percaya diri dengan atribut-atribut pendukung seperti pakaian yang fashionable dan aroma
wewangian untuk menarik lawan jenisnya.
Menurut Mosse yang dikutip oleh Handoko dalam jurnal Diskomvis (2005), hal yang menjadikan seseorang kemudian disebut maskulin dan feminine
adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur yang ‘memaksa’ kita mempraktekkan cara-cara khusus yang telah
ditentukan masyarakat bagi seseorang untuk menjadi laki-laki dan perempuan Maskulinitas dimasing-masing negara akan ditampilkan secara berbeda sesuai dengan budaya pada negara itu sendiri. Menurut Aditya (2009, 21), standar
maskulinitas di Indonesia sendiri sifatnya sangat kontekstual. Semakin banyak prasyarat yang mampu dipenuhi laki-laki, maka semakin sempurna derajatnya di
masyarakat tidak akan memberikan toleransi bagi laki-laki yang tidak mampu atau menolak berperan sesuai standar maskulinitas normative serta sesuai dengan peran
yang diharapkan orang kebanyakan.
Berbicara mengenai maskulinitas berarti erat kaitannya dengan gender. Gender adalah konstruksi tentang peran laki-laki dan perempuan yang dibentuk
oleh masyarakat dari generasi ke generasi (generalization). Dalam masyarakat, peran media yang begitu besar menjadikannya sebagai salah satu alat yang
membentuk definisi tentang gender itu sendiri. Apa yang dianggap penting oleh media maka akan dianggap penting pula oleh masyarakat (agenda setting).
Jika meninjau kembali iklan pada tahun 1990-an dengan target konsumen
pria, dapat dilihat bahwa penggambaran pria maskulin pada iklan tersebut ialah sosok pria yang mempunyai badan atletis, tangguh, pemberani, penuh percaya
diri, dapat diandalkan, urakan serta penggambaran lainnya mengenai sosok pria maskulin.
Namun seiring dengan berkembangnya jaman, konsep tentang
maskulinitas pria telah berkembang lebih jauh. Vacker & Key (1993) berpendapat bahwa “Imagery of the modern man, constructed through advertising, often
includes being fit and attractive. Specific features in thye advertisement including
an idealized male image can imbue the product with perceived benefits that come
with attractiveness or enhance the attractiveness of the individual”
Pendapat tersebut menandakan adanya pergeseran dalam stereotip pria maskulin yang sudah ada. Representasi pria maskulin dalam iklan tidak lagi hanya
juga memperhatikan penampilan tubuh dan wajah mereka. Penelitian di Amerika oleh Agins (2004) menyebutkan bahwa pergerakan metroseksual dan pengaruh
program seperti “Queer Eye for the Straight Guy” menjadi semakin jelas dengan meningkatnya ketertarikan pria dengan produk-produk seperti pakaian dan aksesoris, serta produk perawatan juga wewangian.
Di Indonesia sendiri berdasarkan hasil survei Nielsen, belanja iklan pada produk perawatan pria terlihat terus tumbuh. Nielsen mencatat untuk produk
perawatan pria seperti deodorant dan parfum saja pada tahun 2013 sudah menembus Rp 365 miliar atau tumbuh 67% dari tahun sebelumnya sebesar Rp 219 miliar. Peningkatan belanja iklan ini tentunya dipengaruhi oleh peningkatan
belanja/kebutuhan produk oleh konsumen yaitu para pria.
(http://swa.co.id/business-research/survei-nielsen-produk-perawatan-pria-semakin-menjadi-kebutuhan , diakses pada 12 Juni 2014:21.02)
Kenyataan bahwa saat ini belanja iklan pada produk perawatan pria seperti yang disebutkan diatas, semakin memacu para produsen untuk bersaing dalam
pasar produk untuk laki-laki sehingga memicu munculnya iklan-iklan bervariasi dengan konsep yang tidak jauh berbeda. Hal ini cenderung bertolak belakang
dengan konsep maskulinitas yang diungkapkan oleh Barker. Dalam Nasir (2007:1) Barker berpendapat bahwa makulinitas adalah imaji kejantanan, ketangkasan, kerja keras, keberanian untuk menantang bahaya, keuletan,
Masing-masing iklan memiliki caranya sendiri dalam mempresentasi dan membentuk makna yang ingin disampaikan kepada konsumen, yang pada
akhirnya diharapkan dapat menimbulkan sugesti konsumen untuk menkonsumsi produk yang diiklankan. Melalui unsur-unsur yang membangun suatu iklan, produsen memproduksi makna dan secara tidak langsung menciptakan identitas
kepada mereka yang menjadi konsumen produk yang bersangkutan.
Dari beragam jenis iklan yang terus muncul, terdapat beberapa kategori
iklan yang mengusung konsep rekonstruksi gerder dalam kaitannya dengan maskulinitas. Dimana stereotype mengenai maskulinitas tradisional seperti gambaran laki-laki perkasa, penyuka tantangan, cucuran keringat tidak lagi
muncul, akan tetapi lebih pada sosok laki-laki yang digambarkan dengan tampilan maskulin yang stylish, berwajah tampan, kulit bersih terawat, dan ‘menggoda’.
Diantaranya yaitu seperti iklan telefon genggam, shampoo, perawatan wajah, parfum, sepatu dan sebagainya. Dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk meneliti penggambaran sosok maskulin yang terdapat pada tiga iklan dalam
majalah pria Men’s Folio edisi Mei-Juni 2014 yang memiliki kategori untuk dikonsumsi oleh pria yaitu iklan parfum BVLGARI Aqva , Hugo Boss Eyewear,
dan ROCKPORT. Pertama, pada iklan parfum BVLGARI Aqva digambarkan seorang pria yang “terlihat” tidak memakai pakaian sedang duduk di tepi pantai tanpa seorangpun disana dengan banyak batu karang dan riak air laut bekas
ombak Kedua, dalam iklan Hugo Boss Eye Wear diperlihatkan sosok pria macho yang berwajah tampan terawat menggunakan setelan jas rapi lengkap dengan dasi
Ketiga, iklan ROCKPORT dengan tema Total Motion. Menggunakan latar warna
abu-abu digambarkan seorang pria yang berpakaian rapi dari ujung rabut sampai
ujung kaki bergerak dengan nyaman dan penuh percaya diri.
Dari ketiga iklan tersebut, peneliti melihat keunikan sosok laki-laki yang terdapat didalamnya. Dengan menggunakan majalah Men’s Health sebagai
medianya iklan-iklan tersebut menampilkan sosok laki-laki sesuai dengan kebutuhan pemasaran masing-masing produk.
Majalah Men’s Folio merupakan majalah yang dikhususkan untuk menunjang gaya hidup kaum laki-laki, dimana isi dari majalah Men’s Fitness tersebut membahas seputar aktivitas, hobi, gaya hidup, serta berbagai pilihan
barang dari produk-produk berkelas dunia untuk para lelaki Highclass yang peduli terhadap penampilan mereka. Produk-produk tersebut yaitu seperti sepatu,
pakaian, jam tangan, parfum, dan aksesoris seperti kacamata dan tas.
Berdasar atas penjelasan diatas, peneliti memilih iklan parfum BVLGARI Aqva, Hugo Boss Eyewear, dan ROCKPORT yang terdapat dalam majalah pria
Men’s Folio edisi Mei-Juni 2014. Pada umumnya iklan di media massa menampilkan sosok maskulin dalam wujud pria dengan otot menyembul, cucuran
keringat, ketangkasan serta keunggulan fisik lelaki lainnya.
Tetapi berbeda dengan iklan-iklan yang peneliti jadikan sebagai objek penelitian. Masalah yang timbul kemudian adalah ketika konsep maskulinitas
tersebut adalah merupakan hasil konstruksi dari media massa itu sendiri. Konstruksi atas maskulinitas yang ditampilkan media memang sebuah cerminan
penulis memutuskan untuk mengetahui bagaimana representasi dan kosep maskulinitas dalam iklan parfum BVLGARI Aqva, Hugo Boss Eyewear, dan
ROCKPORT yang terdapat dalam majalah pria Men’s Folio edisi Mei-Juni 2014. Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan semiotic yaitu studi tentang tanda dan segala yang
berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengiriman dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, maka
penelitian ini mencoba untuk menginterpretasikan dan menafsirkan pesan, makna, tanda dan gambar yang ditampilkan pada iklan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah di jabarkan, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana Representasi dan Konsep
Maskulinitas Dalam Iklan parfum BVLGARI Aqva, Hugo Boss Eyewear, dan ROCKPORT yang terdapat dalam majalah pria Men’s Folio edisi Mei-Juni 2014?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah di atas adalah untuk mengetahui Bagaimana Representasi dan Konsep Maskulinitas Dalam Iklan
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang peneliti harapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat praktis, yaitu membantu pemirsa dalam memahami makna
tentang representasi maskulinitas dalam iklan parfum BVLGARI Aqva, Hugo Boss Eyewear, dan ROCKPORT yang terdapat dalam
majalah pria Men’s Folio edisi Mei-Juni 2014
2. Manfaat akademis, yaitu menambah wawasan dalam subjek periklanan dan mengetahui sifat maskulinitas dalam iklan serta menambah
pengetahuan tentang kreatifitas dalam pembuatan suatu iklan.
3. Manfaat metodelogis, yaitu memberikan referensi bagi penelitian lain
BAB II
KAJ IAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti terlebih dahulu mencari beberapa referensi yang memiliki keterkaitan dengan judul yang peneliti ambil.
Adapun jurnal pertama yang penulis jadikan sebagai referensi berjudul “Maskulinitas Dalam Iklan” oleh Elisabeth Anita D.K, dengan sub judul; Analisis
Isi Maskulinitas dalam Iklan pada Majalah Men’s Health Indonesia Periode Januari-Desember 2010, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kesimpulan yang bisa diambil dari jurnal tersebut adalah bahwa
pria dengan tipe maskulin the consumer telah mendominasi dalam dunia periklanan. Dalam tipe maskulin the consumer, tubuh seorang pria kini banyak
digunakan dalam iklan dan masyarakat nampaknya telah menerima tubuh pria sebagai umpan visual dalam memperngaruhi konsumen untuk membeli produk. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa majalah men’s health banyak menampilkan
maskulinitas pria yang lebih memperhatikan penampilan dan para pria diedukasi melalui iklan untuk membeli produk-produk agar pria tampil lebih menarik. Tipe maskulin tradisonal dengan penggambaran pria dalam aktifitas fisik yang
bertujuan untuk menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian
(Bungin, 2006:36). Dalam penelitian ini, peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesis.
Jurnal berikutnya adalah penelitian yang berjudul “Representasi Maskulinitas Pada Iklan Rokok Dalam Media Cetak” oleh Asmara Yudha Wijayadi, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk memahami dan manginterpretasikan bagaimana representasi atau penggambaran makna maskulinitas melalui tanda-tanda yang
ditampakkan dalam keempat iklan yaitu A Mild, Dji Sam Soe, Djarum Super, dan Lucky Strike. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif-interpretatif dan metode penelitian Semiotika oleh Charles Sanders Pierce dengan
teori segitiga makna (triangle meaning) yang terdiri atas sign (tanda), object (objek) dan interpretant (interpretan). Menurut Pierce, salah satu bentuk tanda
adalah kata, sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen makna tersebut berinteraksi dalam
benak seseorang, maka muncullah makna yang diwakili oleh tanda tersebut. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa iklan produk rokok dengan maskulinitas
sebagai benang merah keempat iklan yang digunakan pun semakin menegaskan kehadirannya di era modern ini merupakan hal yang sudah lazim dan bukan merupakan barang baru. Dengan memanfaatkan teknik “permainan” teks dalam
masa kini. Produsen keempat iklan yang utamanya mengincar target pasar kaum pria ingin mengesankan bahwa, “seperti inilah gambaran dirimu disaat
menggunakan produk milik kami”. Yaitu sosok pria maskulin, macho, tangguh, bergaya dan pemberani.
Dari kedua jurnal penelitian diatas, peneliti kemudian melakukan sebuah
penelitian yang berjudul “Representasi Maskulinitas Dalam Iklan Televisi”, dengan sub judul; Analisis Semiotika Deskriptif-interpretatif Representasi
Maskulinitas Dalam Iklan Televisi Biskuat Energi Versi Semangat Ibu dan Anak. Metode yang digunakan adalah metode penelitian semiotika oleh Charles Sanders Pierce. Pierce adalah seorang ahli filsafat dari Amerika yang secara umum
mengatakan bahwa tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang, dia juga menegaskan kalau manusia hanya dapat berpikir dengan sarana tanda dan tanpa
tanda manusia tidak dapat berkomunikasi.
2.2 Media Massa
Media massa merupakan media informasi yang terkait dengan masyarakat,
digunakan untuk berhubungan dengan khalayak (masyarakat) secara umum, dikelola secara professional dan bertujuan untuk mencari keuntungan. Melalui
media massa masyarakat dapat memperoleh beragam hiburan dan informasi terbaru tentang berbagai hal yang terjadi di berbagai belahan dunia. (Mondry, 2008:12)
Assegaf (1983) berpendapat bahwa media massa memiliki ciri-ciri yang umum, yaitu komunikasi massa bersifat komunikasi searah, menyajikan aneka
khalayak yang besar dan tersebar, menarik perhatian khalayak luas dan tersebar mampu mencapai tingkat intelek umum, dan merupakan lembaga masyarakat
yang peka terhadap berbagai hal.
Media massa mempunyai lima karakteristik menurut Cangara (2003:134), yaitu:
1. Bersifat melembaga, yaitu pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi.
2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima pesan. Reaksi atau umpan balik (feed back) tidak bisa dilakukan secara langsung.
3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan dimana
informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama. 4. Memakai peralatan teknis atau mekanis seperti radio, televise, surat kabar dan
semacamnya.
5. Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin dan suku bangsa.
Media massa merupakan sumber kekuatan sebagai alat control manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya yang lain. Media massa merupakan lokasi (forum)
yang semakin berperan untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional. Media, seringkali
pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma. Media massa telah
menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media massa juga menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normative yang
dibaurkan dengan berita dan hiburan. (Mc. Quail, 2005:3)
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa media massa adalah
alat komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan informasi secara luas kepada khalayak luas.
2.3 Iklan
Menurut Klepper dalam Widyatama (2007:13), iklan berasal dari bahasa latin yaitu ad-vere yang berarti mengoperkan pikiran dan gagasan kepada pihak
lain. Pengertian ini tidak ubahnya dengan pengertian komunikasi sendiri sebagaimana halnya dalam komunikasi. Salah satu pengertian komunikasi adalah kegiatan mengoperkan pesan dari satu pihak ke pihak yang lain, baik melalui
lisan, media cetak, radio, televisi, komputer, media luar ruang dan sebagainya. Secara prinsip, iklan adalah bentuk penyajian pesan yang dilakukan oleh
komunikator secara non personal melalui media untuk ditujukan pada komunikan dengan cara membayar.
Periklanan merupakan salah satu bentuk khusus komunikasi untuk
memenuhi fungsi pemasaran, maka hal-hal apa yang harus dilakukan dalam kegiatan periklanan tentu saja harus lebih dari sekedar memberikan informasi
iklan dapat berupa pesan verbal atau pesan non verbal, atau juga dapat terdiri dari perpaduan antara kedua bentuk tersebut. (Jefkins, 1997:15)
Pada mulanya iklan adalah sebuah informasi. Tetapi semakin banyak pihak yang beriklan, maka semakin penting pula untuk membuat iklan menjadi suatu informasi yang persuasive dan efektif. Iklan yang efektif biasanya adalah
iklan yang kreatif, yakni bisa membedakan dirinya dari iklan-iklan massa yang sedang-sedang saja dan terlihat tidak biasa. Iklan yang memiliki kesamaan dengan
sebagian besar iklan pada umumnya tidak akan mampu untuk menerobos kerumunan iklan kompetitif, dan tidak akan berhasil menarik perhatian konsumennya. (Shimp, 2003:416)
Iklan ada karena mempunyai fungsinya sendiri. Dilihat sebagai suatu alat, iklan dapat digunakan untuk mencapai berbagai tujuan tergantung pada
komunikator yang akan mengarahkan pesannya. Menurut Widyatama (2007:144) iklan mempunyai fungsi yang sangat luas, diantaranya yaitu:
1. Fungsi Pemasaran
Fungsi pemasaran adalah fungsi iklan yang diharapkan dapat membantu untuk memasarkan atau menjual suatu produk. Artinya iklan digunakan untuk
mempengaruhi khalayak agar membeli dan mengkonsumsi produk yang diiklankan tadi.
2. Fungsi Komunikasi
Sama halnya dengan berbicara kepada orang lain, iklan juga merupakan pesan yang menghubungkan antara komunikator (produsen) dengan komunikannya
3. Fungsi Pendidikan
Fungsi ini mengandung makna bahwa iklan merupakan alat yang dapat
membantu mendidik khalayak mengenai sesuatu hal, sehingga khalayak mengetahui dan mampu melakukan sesuatu. Mendidik dalam hal ini cenderung diartikan dalam perspektif kepentingan komersialisme,
industrialisme, dan kapitalisme. Artinya situasi khalayak yang sudah terdidik tersebut dimaksudkan agar siap menerima produk yang dihasilkan oleh
produsen. 4. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi mengandung makna bahwa iklan mampu menjadi penggerak
ekonomi agar kegiatan tersebut dapat tetap berjalan. Fungsi ini terjadi karena melalui iklan, masyarakat menjadi terpersuasif untuk membeli barang dan
terjadi konsumerisme. 5. Fungsi Sosial
Dalam fungsi ini, iklan telah mampu menghasilkan dampak sosial psikologis
yang cukup besar. Iklan membawa berbagai pengaruh dalam masyarakat seperti munculnya budaya konsumerisme, menciptakan status sosial baru,
menciptakan pandangan baru, dan sebagainya.
Keberhasilan suatu iklan dalam menarik dan mengikat perhatian sangat
tergantung pada faktor-faktor fisik antara lain ukuran, pengulangan, letak, warna, dan ilustrasi. Selain faktor-faktor fisik tersebut terdapat faktor lain yang membuat
Tetapi apabila para pembaca atau pemirsa mengartikan pesan secara keliru, maka iklan tersebut dapat dikatakan gagal total. (Jefkins, 1997:118)
2.3.1 Pesan Iklan
Menurut Sutisna (2003:278), untuk menampilkan pesan iklan yang mampu membujuk, mampu membangkitkan dan mempertahankan ingatan
konsumen akan produk yang ditawarkan, memerlukan daya tarik bagi audiens sasaran. Daya tarik iklan sangat penting karena akan
meningkatkan keberhasilan komunikasi dengan audiens. Terdapat beberapa tipe pesan iklan yang ditampilkan untuk menimbulkan daya tarik rasional, sehingga mendapat perhatian dari konsumen yang selanjutnya
pesan tersebut akan diproses oleh konsumen. Berikut adalah beberapa jenis tipe tampilan iklan untuk menimbulkan daya tarik rasional :
1. Faktual
Daya tarik tipe ini umumnya berhubungan dengan pengambilan keputusan
high involvement, yaitu penerimaan dimotivasi untuk dapat memproses
informasi. Iklan yang menampilkan sisi manfaat produk dan keunggulan
produk sekaligus menampilkan argumentasi yang masuk akal, termasuk ke dalam tipe daya tarik factual. Dengan demikian berarti iklan seharusnya dirancang sedemikian rupa agar konsumen secara rasional tertarik dengan
2. Potongan Kehidupan
Pesan iklan yang menampilkan potongan kehidupan sangat banyak
ditampilkan di televise. Pengaruh yang ingin diperoleh dari iklan potongan kehidupan yaitu agar terjadi proses peniruan perilaku dari penonton. 3. Demonstrasi
Yaitu teknik yang hampir sama yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sering dihadapi konsumen. Pesan iklan yang ditampilkan
menggambarkan kemampuan produk secara instrumental mampu menyelesaikan masalah.
4. Iklan Perbandingan
Iklan perbandingan adalah iklan yang berusaha membandingkan keunggulan produk yang ditawarkan dengan produk lain sejenis.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari sebuah pesan iklan yang ditampilkan adalah semata untuk menimbulkan daya tarik rasional audiensya. Melalui pesan iklan
sekaligus, konsumen akan lebih dimudahkan untuk mengingat sebuah iklan yang menarik perhatiannya.
2.4 Komunikasi Per iklanan
Iklan pada prinsipnya adalah sebuah upaya penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan. Karena merupakan bentuk penyampaian pesan
disampaikan melalui dua saluran media massa (berdasarkan media yang digunakan) yaitu:
1. Media Cetak; Surat kabar, majalah, brosur, papan iklan atau billboard. 2. Medis Elektronik; Radio, televise, film, serta iklan yang dipasang dalam media jaringan atau internet. (Sobur, 2003:116)
Iklan tidak hanya berfungsi sebagai sarana mempromosikan produk atau jasa tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk membangun citra produk atau jasa
yang ditawarkan. Sebuah iklan dapat mempengaruhi pilihan akhir dalam membeli suatu produk atau jasa melalui tanda dan lambing yang sudah digunakan dalam sebuah iklan. Sejumlah pakar mengingatkan bahwa komunikasi yang digunakan
dapat berdampak terhadap pemikiran dan kebiasaan pengambilan keputusan khalayak, terlepas dari tujuan yang dicari oleh komunikator, apapun tujuannya,
argument, himbauan, struktur dan bahasa yang dipilih membentuk nilai-nilai, perilaku berfikir, pola bahasa dan tingkat kepercayaan khalayak.
Di Indonesia, Masyarakat Periklanan Indonesia mengartikan iklan sebagai
segala bentuk pesan yang disampaikan lewat suatu media dan ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat. Sementara istilah periklanan diartikan sebagai
keseluruhan proses yang meliputi persiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian pesan. (Riyanto, 2001:4)
Dari pengertian iklan sebagaimana di atas sekalipun terdapat beberapa
iklan, dimana dalam iklan mengandung enam prinsip dasar, yaitu sebagai berikut (Widyatama, 2007:16) :
1. Adanya pesan tertentu
Sebuah iklan tidak akan ada tanpa adanya pesan. Tanpa pesan iklan tidak
akan berwujud. Bila di media cetak, ia hanya ruang kosong tanpa tulisan, gambar atau bentuk apapun; bila di media radio, tidak akan terdengar suara apapun; bila di media televise, tidak terlihat gambar atau suara apapun; maka ia tidak dapat
disebut iklan. Pesan iklan sendiri dapat berbentuk perpaduan pesan antara verbal dan non verbal.
2. Dilakukan oleh komunikator (Sponsor)
Pesan iklan ada karena dibuat oleh komunikator. Sebaliknya, bila tidak ada komunikator maka tidak akan ada pesan iklan. Dengan demikian ciri sebuah iklan
adalah bahwa pesan tersebut dibuat dan disampaikan oleh komunikator atau sponsor tertentu secara jelas. Komunikator dalam iklan dapat datang dari perseorangan, kelompok, masyarakat, lembaga atau organisasi, bahkan negara.
3. Dilakukan dengan cara non personal
Dari pengertian iklan yang diberikan, hampir semua menyepakati bahwa iklan merupakan penyampaian pesan yang dilakukan secara non personal. Non
personal artinya tidak dalam bentuk tatap muka atau tidak secara langsung. Penyampaian pesan dapat disebut iklan bila dilakukan melalui media (yanag
4. Disampaikan untuk khalayak tertentu
Iklan diciptakan oleh komunikator karena ingin disampaikan kepada
khalayak tertentu. Dalam dunia periklanan sasaran cenderung bersifat khusus. Pesan yang disampaikan tidak dimaksudkan untuk diberikan kepada semua orang, melainkan kelompok target audience tertentu. Sasaran khalayak yang dipilih
tersebut berdasarkan pada keyakinan bahwa pada dasarnya setiap kelompok audience memiliki kesukaan, kebutuhan, keinginan, karakteristik dan keyakinan
yang khusus. Dengan demikian, pesan yang diberikan harus dirancang khusus sesuai dengan target khalayak.
5. Penyampaian pesan mengharapkan dampak tertentu
Dalam visualisasi iklan, seluruh pesan dalam iklan semestinya merupakan pesan efektif. Artinya, yaitu pesan yang mampu menggerakkan khalayak agar
mereka mengikuti pesan iklan. Semua pesan yang dibuat oleh pengiklan dapat dipastikan memiliki tujuan tertentu, yaitu berupa dampak atau efek tertentu di tengah khalayak. Aneh rasanya bila membuat pesan iklan namun tidak bermaksud
mendapatkan pengaruh tertentu sebagaimana diharapkan.
Sebuah pesan iklan disebut efektif bila pesan tersebut mampu
menggambarkan apa yang dikehendaki oleh komunikator secara tepat dan apa yang dituangkan dalam pesan iklan tersebut mampu dipersepsi secara sama oleh khalayak dengan apa yang dikehendaki oleh komunikator. Melalui pesan yang
2.5 Majalah Sebagai Media Iklan
Setiap media atau setiap sarana memiliki sifat atau karakteristik dan
kelebihan yang unik. Para pengiklan berusaha memilih media dan sarana yang karakteristiknya paling cocok dengan merek yang diiklanlan untuk mencapai khalayak sasarannya dalam menyampaikan pesan yang dimaksud. Bila tujuannya
untuk menyampaikan manfaat produk, televise merupakan medaia terbaik diikuti oleh koran, majalah, dan radio. Majalah lebih berkaitan dengan keindahan,
keluwesan, gengsi, dan tradisi. (Shimp, 2003:506)
Majalah secara harfiah dalam bahasa Inggris berarti magazine, menurut Assegaff (2001:127) dalam bukunya Jurnalistik Masa Kini, majalah diartikan
sebagai publikasi atau terbitan secara berkala yang memuat artikeal-artikel dari berbagai penulis. Selain memuat artikel, majalah juga merupakan publikasi yang
berisi cerita pendek, gambar, review, ilustrasi atau fitur lainnya yang mewarnai isi dari majalah. Oleh karena itu, majalah dijadikan salah satu pusat informasi bacaan yang sering dijadikan bahan rujukan oleh para pembaca dalam mencari sesuatu
hal yang diinginkannya.
Meskipun majalah dianggap sebagai media massa, tercatat ada ratusan majalah khusus (special interest magazine) yang masing-masing ditujukan untuk khalayak yang memiliki perhatian dan gaya hidup khusus. Banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan majalah sebagai sarana yang menjangkau pasar sasaran
pengiklan. Para pengiklan yang tertarik menggunakan majalah dapat memperoleh banyak data mengenai komposisi jumlah pembaca majalah sehingga dapat
2.6 Komunikasi Non Verbal
Komunikasi Non Verbal adalah proses mengirim dan menerima informasi
secara interpersonal, baik dengan disengaja maupun tidak disengaja tanpa menggunakan bahasa tertulis atau lisan. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan merupakan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan
Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu
dan pengguna lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima. Jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan.
Menurut Knapp (dalam Mulyana, 2007:347), citra diri yang ditampilkan seseorang dapat dimunculkan dengan cara verbal dan nonverbal. Seringkali
tanda-tanda yang ditampilkan secara nonverbal inilah yang memberikan banyak makna. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama, kita harus
menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu
tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal.
Dalam hubungannya dengan perilaku, komunikasi nonverbal mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:
2. Bahasa tindakan (action language). Semua gerakan tubuh yang tidak digunakan secara eksklusif untuk memberikan sinyal, misalnya berjalan.
3. Bahasa objek (object language). Pertunjukan benda, pakaian, dan lambing nonverbal bersifat publik lainnya seperti ukuran tangan, bendera, gambar (lukisan), musik (marching band) dan sebagainya, baik secara sengaja
maupun tidak sengaja. (Mulyana, 2007:314)
Secara garis besar Larry dan Richard membagi pesan-pesan nonverbal
menjadi dua kategori besar, pertama adalah perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakkan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan peribahasa. Lalu yang kedua yaitu ruang, waktu, dan diam.
Menurut Mulyana (2007:377), adapun berbagai jenis pesan non verbal yang dianggap penting, misalnya sebagai berikut:
1. Bahasa tubuh. Setiap anggota tubuh seperti wajah, termasuk senyuman dan pandanga mata, tangan, kepala, kaki dan bahkan tubuh secara keseluruhan dapat dijadikan isyarat simbolik. Bahasa tubuh ini meliputi
isyarat tangan, gerakan kepala, postur tubuh dan posisi kaki, serta ekspresi wajah dengan tatapan mata merupakan perilaku nonverbal yang paling
banyak “berbicara”
2. Penampilan fisik. Setiap orang mempunyai ekspresi mengenai penampilan fisik seseorang, baik itu busananya dan juga ornamen lain yang dipakainya
karakteristik fisik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model rambut, dan sebagainya.
3. Warna. Warna memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan banyak hal pada para pembeli prospektif termasuk kualitas, rasa, serta kemampuan produk untuk memuaskan beragam kebutuhan psikologis. Warna yang
cocok juga harus didukung oleh pemahaman tentang apa arti warna tersebut. Warna juga dapat mempengaruhi suasan hati, apalagi
memastikan hubungan antara warna dengan respon tubuh kita, hingga derajat tertentu.
2.7 Komunikasi Sebagai Proses Simbolik
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadinata disebutkan, simbol atau lambing adalah semacam tanda, lukisan, perkataan,
lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu. Misalnya, warna putih merupakan lambang kesucian, lambing padi merupakan lambing kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satu tanda
pengenal bagi warga negara Indonesia. (Sobur, 2004:156)
Dalam “bahasa” komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai
lambing. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang dipergunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek maknanya disepakati
lambang verbal memungkinkan terjadinya perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dengan objek tersebut. (Sobur, 2004:157)
Sedangkan menurut Mulyana (2005:84), lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan.
Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya. Representasi itu ditandai dengan kemiripan, misalnya
patung Soekarno adalah ikon Soekarno dan foto anda pada KTP adalah ikon anda. Pada intinya, dalam berkomunikasi, secara tidak langsung pesan yang kita komunikasikan kepada orang lain akan mengandung simbol-simbol yang dalam
penerimaannya simbol tersebut dapat dimengerti bergantung sesuai dengan kehidupan sosial budaya dari masing-masing individu yang menerima pesan
tersebut.
2.8 Ekspresi Simbolik Dalam Iklan
Salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau
penggunaan lambing yang membedakan manusia dengan lainnya. Dalam ‘bahasa’ komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambing. Lambing atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang lainnya,
berdasarkan kesepakatan sekelompok orang, lambing meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama.
anggota tubuh, makanan dan cara makan, dan sebagainya. Semua itu bisa menjadi lambing, lambing ada dimana-mana seperti contohnya majalah yang dibaca, berita
televise, iklan media cetak maupun elektronik, gambar dan sebagainya. Oleh karena penggunaan lambing atau kebutuhan simbolisasi merupakan kebutuhan pokok manusia, seperti yang dikatakan oleh Ernest Casster, manusia lalu disebut
sebagai animal symbolicum. (Sobur, 2003:164).
Simbolisasi dalam iklan, diwujudkan berupa citra image bisa berupa
representasi verbal maupun visual. Istilah citra sendiri sebetulnya bisa mengandung makna konotasi negative. Hal ini terutama jika citra diaplikasikan pada appearance yang hanya merupakan manipulasi karakter-karakter yang ada,
sedangkan untuk tujuan dianggap sesuatu yang persuasive dan citra ikut mengatur pengalaman dan pemahaman manusia melalui sebuah cara signifikasi.
Bentuk simbolisme yang lainnya disebut ikon, ikon sering disamakan dengan aspek piktorial citra. Ikon mengacu pada iklan yang elemen-elemen pictorial atau visualnya mendominasikan pesan secara keseluruhan. Ikon
merupakan suatu bentuk fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang di representasikannya. Representasi itu ditandai dengan adanya kemiripan.
Berbeda dengan ikon, indeks adalah sesuatu tanda yang secara ilmiah merepresentasikan objek lainnya, istilah lain yang sering digunakan untuk indeks adalah sinyal (signal), indeks muncul berdasarkan hubungan antara sebab akibat
kenyataan. Hubungan diantaranya bersifat arbiter, hubungan berdasarkan konvensi atau perjanjian masyarakat.
2.9 Semiotika
Menurut Sobur (2006:16) kata semiotika sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti ‘tanda’ atau seme yang berarti ‘penafsiran
tanda’. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. ‘Tanda’ pada massa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk
pada adanya hal lain. Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu
diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima, kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan.
Sedangkan semiotika signifikasi memberikan penekanan pada teori, tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Semiotik signifikasi ini tidak mempersoalkan adanya tujuan berkomunikasi, yang diutamakan adalah segi
pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan.
Menurut Barthes (dalam Sobur, 2004:15), semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur
Sedangkan John Fiske (2004:282), berpendapat bahwa semiotika adalah studi tentang penandaan dan makna dari sistem tanda; ilmu tentang tanda, tentang
bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat mengkomunikasikan makna. Terdapat tiga bidang penting dalam studi semiotik, antara lain:
1. Tanda itu sendiri
Wilayah ini meliputi kajian mengenai berbagai jenis tanda yang berbeda,
cara-cara berbeda dari tanda di dalam menghasilkan makna, dan cara-cara tanda-tanda tersebut terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami di dalam kerangka penggunaan
atau di dalam konteks manusia yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem dimana tanda-tanda diorganisasi
Kajian ini melingkupi bagaimana beragam kode dilambangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran-saluran komunikasi yang tersedia dan kemudian mentransmisikannya.
3. Budaya tempat dimana kode dan tanda bekerja
Hal ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan dari kode-kode dan tanda-tanda itu untuk eksistensi dan bentuknya sendiri. (Fiske, 2004:60)
Sebuah tanda tidak hadir begitu saja sebagai bagian dari kenyataan, tanda
tersebut merefleksi dan membiaskan kenyataan lain. Oleh karena itu sebuah tanda bisa saja memilukan kenyataan atau mentaatinya. Dalam semiotika, bila segala
alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para
pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan. Umberto Uco menjelaskan bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran (truth), ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk
“mengungkapkan” apa-apa. (Piliang, 2003:43)
Mengacu pada beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa studi
semiotika merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang tanda, dan tentang bagaimana memaknai tanda yang ada dalam pesan komunikasi.
2.10 Semiotik Char les Sander s Pierce
Dalam Sobur (2004:41), Pierce menyebutkan tanda baginya “is something which stands to somebody, for something in some respect or capacity”. Sesuatu
yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Pierce disebut sebagai ground. Konsekuensinya, tanda (sign or representation) selalu terdapat dalam hubungan segitiga atau triadic, yaitu ground, object dan interpretant.
Teori dari Pierce ini menjadi grand theory dalam semiotik. Gagasan bersifat menyeluruh yang merupakan deskripsi struktural dari sistem penandaan.
Pierce ingin mengidentifikasikan dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam suatu struktur tunggal. Menurutnya sebuah tanda itu mengacu pada sebuah acuan dan representasi adalah fungsi utamanya. Hal ini sesuai dengan
Dalam teori segitiga makna atau triangle meaning, menurut Pierce salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk
tanda. Sementara interpretant adalah tanda yang ada dalam benak seseorang, maka kemudian muculah makna tanda tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Dalam pembahasannya, teori segitiga Pierce ini adalah persoalan
bagaimana makna dapat muncul dari sebuah tanda ketika digunakan pada waktu berkomunikasi atau sebagai alat komunikasi itu sendiri. Hubungan segitiga makna
Pierce ditampilkan dalam gambar sebagai berikut ini :
Sign
Interpretant Object Gambar 2.1. Elemen Makna Pier ce
(Fiske dalam Sobur , 2001:115)
Panah dua arah pada gambar menekankan bahwa masing-masing istilah
dapat dipahami hanya dengan relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu pada sesuatu diluar objeknya sendiri. Objek ini dipahami oleh seseorang dan ini
memiliki efek di benak penggunanya (interpretant).
Icon
Index Symbol
Gambar 2.2 Model Kategor i Tanda Pier ce
(Fiske dalam Sobur , 2001:115)
1. Ikon (icon)
Adalah tanda yang berhubungan antara penanda dan petandanya bersifat kesamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara
tanda dan objek yang mengacu langsung pada kenyataannya. Ikon ialah tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan atau objek yang
diwakilinya. Misalnya; peta pulau jawa yang merupakan ikonik dari pulau jawa.
2. Indeks (index)
Merupakan tanda yang karena memiliki hubungan sebab akibat (kausal) dengan apa yang diwakilinya. Atau indeks adalah tanda yang eksistensinya
berhubungan langsung dengan objeknya (bukti). Contohnya, asap yang menunjukkan adanya api.
3. Simbol (symbol)
tanda yang diketahui secara kultural oleh penggunanya. Pengetahuan tentang hal tersebut didapat pengguna tanda melalui berbagai jenis interaksi sosial sebagai
anggapan masyarakat atau budaya tertentu, Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya.
Penggunaan tanda akan mengintepretasikan objek atau tanda tersebut
sesuai dengan kerangka referensi yang dimiliki. Karena hal tersebut, hubungan antara objek pengguna tanda dan tanda adalah makna. (Fiske dalam Sobur,
2001:115)
Fiske juga berpendapat, dengan mengacu pada model Pierce, makna dalam suatu teks tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan diproduksi dalam hubungan
antara teks dengan pengguna tanda. Hal ini merupakan tindakan dinamis, dimana kedua elemen saling memberi sesuatu yang sejajar. Bila suatu teks dan pengguna
tanda berasal dari budaya yang relatif sama, interaksi keduanya lebih mudah terjadi, konotasi dan mitos dalam teks telah menjadi referensi pengguna yang bersangkutan. (Sobur, 2001:114)
2.11 Pendekatan Semiotik Dalam Iklan
Menurut John Fiske dalam Introduction to Communication Studies
(2006:69), komunikasi merupakan aktifitas manusia yang lebih lama dikenal namun hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam mempelajari komunikasi, kita dapat membaginya dalam dua perspektif yaitu segi proses serta sisi produk
dan pertukaran makna. Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti hanya akan menggunakan perspektif yang kedua yaitu dari segi produksi dan pertukaran
Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasannya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang
disekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan dalam berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda
antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan yang
disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks- termasuk diantaranya iklan- dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotic.
Definisi semiotik yang umum ialah studi tentang tanda-tanda. Studi ini
tidak hanya mengarah pada ‘tanda’ dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut. Bentuk-bentuk tanda disini adalah antara
lain berupa kata-kata, gambar (images), suara, gerak tubuh, dan objek. Lebih sederhananya, semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske, konsentrasi semiotic adalah pada hubungan yang
timbul antara sebuah tanda dan makna yang terkandung di dalamnya, juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode.
(http://www.aber. ac.id/studi-semiotikaFiske/2011-tanda.pdf, diakses pada 2 Mei 2014: 15.09)
Menurut James Monaco (1984:221) yaitu seorang ahli yang lebih berafiliasi dengan gramatika (tata bahasa), mengatakan bahwa film atau iklan tidak mempunyai gramatika (film has no grammar). Untuk itu Monaco
gramatika pada sifat kebahasaannya adalah tidak sama. Akan sangat beresiko apabila memaksa dengan menggunakan kajian linguistik untuk menganalisa
sebuah film atau iklan, karena keduanya terdiri dari kode-kode yang beraneka ragam.
2.12 Respon Psikologi Warna
Selain berperan sebagai suatu simbol yang menjadi penandaan dalam suatu hal, warna juga dianggap sebagai suatu fenomena psikologi yang mempunyai
pengaruh sangat besar terhadap objek yang dilekatinya dan memberi arti terhadapnya.
Saat ini, pemilihan warna pada diri seseorang tidak hanya sekedar
mengikuti selera pribadi berdasarkan perasaannya saja, tetapi telah memilihnya dengan penuh kesadaran akan kegunaannya. Da Vinci menemukan warna utama
yang fundamental, yang disebut sebagai warna utama psikologis, yaitu merah, hijau, biru, hitam dan putih. Dewasa ini juga para ilmuwan memperkenalkan keterlibatan warna terhadap cara otak manusia menerima serta
menginterpretasikan warna tersebut. (Darmaprawira, 2002:31)
Adapun respon psikologi dari masing-masing warna yaitu;
1. Merah : Warna merah mengandung arti kekuatan, energy, kehangatan, cinta, nafsu, agresif, bahaya, dosa, pengorbanan dan
2. Merah muda : Menyenangkan, menggoda, cinta, lembut, dan kasih sayang.
3. Merah Jingga : Semangat, tenaga, kekuatan, pesat, hebat dan gairah.
4. Jingga : Hangat, semangat muda, ekstrimis dan menarik.
5. Kuning Jingga : Kebahagiaan, penghormatan, kegembiraan, optimism dan terbuka.
6. Kuning : Cerah, bijaksana, terang, bahagia, hangat, ketidakjujuran, pengecut (untuk budaya barat) dan pengkhianat. 7. Kuning Hijau : Persahabatan, muda, kehangatan, baru, gelisah dan
berseri.
8. Hijau Muda : Kurang pengalaman, tumbuh, cemburu, iri hati,
kaya, segar, istirahat dan tenang.
9. Hijau Biru : Tenang, santai, diam , lembut serta kepercayaan. 10.Biru : Merepresentasikan makna damai, setia,
kepercayaan, konservatif, terhormat, depresi, lembut, menahan diri dan ikhlas.
11.Hijau : Alami, sehat, keberuntungan, pembaharuan
12.Ungu : Spiritual, misteri, kuat, formal, kemewahan, melankolis, pendiam, kebangsawanan, dan mulia atau martabat.
13.Orange : Energi, keseimbangan, kehangatan.
14.Coklat : Tanah, bumi, hangat, tenang, alam, bersahabat,
15.Abu-abu : Berlawanan dengan pandangan orang pada umumnya, warna abu-abu ternyata memiliki makna intelektual, masa
depan (seperti warna millenium), kesederhanaan, kesedihan.
16.Putih : Kesucian, kebersihan, senang harapan, spiritual, pemaaf, cinta dan terang.
17.Hitam : Power (kekuatan), seksualitas, kecanggihan kematian, misteri, ketakutan, kesedihan, keanggunan. (Darmaprawira,
2002:38)
Hampir semua bangsa di dunia memiliki arti tersendiri pada warna. Hal ini dapat dilihat pada bendera nasional masing-masing negara, serta upacara-upacara
ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-warni. (Cangara, 2005:109)
2.13 Representasi
Representasi merupakan konsep yang mempunyai beberapa pengertian, diantaranya yaitu sebagai proses perubahan konsep-konsep ideology yang abstrak
dalam bentuk-bentuk kongkret, atau juga konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaann yang tersedia; dialog, tulisan, video,
film, fotografi dan sebagainya.
Menurut Stuart Hall (2002:28), representasi adalah bahasa untuk mengungkapkan sesuatu yang memiliki arti atau menggambarkan dunia yang
penuh arti kepada orang lain. Bahasa yang digunakan dalam proses ini dapat berupa bahasa verbal dan nonverbal untuk mengkomunikasikan pesan yang ingin
satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas dan menyangkut pengalaman berbagi. Seseorang
dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada di situ membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama dan saling berbagai konsep-konsep yang
sama pula.
Bahasa adalah medium yang menjadi perantara khalayak dalam
memahami sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua itu karena ia beroperasi sebagai sistem representasi, melalui bahasa (simbol-simbol dalam tanda tertulis, lisan, atau gambar) khalayak mampu
mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu hal yang sangat tergantung dari cara khalayak tersebut merepresentasikannya. Dengan mengamati
kata-kata dan image yang khalayak gunakan dalam merepresentasikan sesuatu, dapat terlihat jelas nilai-nilai yang khalayak berikan pada sesuatu tersebut.
Terdapat dua proses representasi, yang pertama adalah representasi mental
yaitu konsep tentang sesuatu yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Namun representasi mental kini masih bersifat abstrak. Kedua yaitu
representasi bahasa yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang lazim, agar kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang
sesuatu tanda dan simbol-simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan
sistem peta konseptual. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang
berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara suatu peta konseptual dan bahasa/simbol adalah jantung produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama
itulah yang dinamakan representasi.
Tanda visual dan gambar, walaupun mereka secaraa jelas persamaan
yang dekat pada benda yang mereka tunjuk, tetap merupakan tanda-tanda: mereka membawa makna dan kemudian harus direpresentasikan. Dalam mengintepretasikannya kita harus memiliki akses kepada kedua sistem
representasi yang telah dijelaskan tadi. Jadi walaupun dalam kasus bahasa visual dimana hubungan antara konsep dan tanda tampaknya langsung pada intinya,
persoalannya jauh dari sederhana. Tanda visual disebut sebagai tanda ikonik. Sebuah foto dari pohon memproduksi beberapa kondisi sesungguhnya dari persepsi visual kita dalam sebuah tanda visual. Tanda yang tertulis atau terucap,
pada sisi lainnya, adalah yang disebut indeksikal. (Stuart Hall,2002)
2.14 Konsep Gender
Konsep perempuan dan laki-laki tidak hanya dibagi berdasarkan perbedaan biologis. Pada masyarakat ternyata berkembang suatu sistem yang membedakan antara perempuan dan laki-laki berdasarkan stereotip dan nilai-nilai
Konsep jenis kelamin (sex) adalah persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis pada jenis kelamin tertentu.
Misalnya laki-laki mempunyai jakun, penis, dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan mempunyai alat reproduksi rahim dan saluran menyusui. Semua itu tidak dapat dipertukarkan karena merupakan ketentuan biologis atau sering
dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. (Fakih, 1996:8)
Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa peran gender
adalah suatu konsep cultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional maupun fisik antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hillary M. Lips dalam bukunya “Sex and Gender An Introduction” mengartikan gender sebagai suatu harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender.
Maka kemudian muncul bias gender yang berkembang di masyarakat antara lain;
a. Perbedaan gender wanita dan pria, apa yang sesuai untuk pria dan wanita meliputi pekerjaan/kegiatan, pendidikan, penampilan, sikap perilaku. b. Perbedaan antara apa yang ideal untuk wanita dan pria, bahkan minat
mereka pu berbeda.
Akibatnya muncul beberapa stereotype antara lain pria adalah pencari nafkah dan berada pada area publik, dan wanita mengasuh anak ada pada area
domestik. Pandangan stereotype seperti ini mengaburkan pandangan terhadap manusia secara pribadi karena memasukkan setiap jenis manusia berdasarkan kelaminnya ke dalam kotak stereotype.
Diberbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, seringkali memuat iklan yang menunjang stereotype gender (gender-stereotype advertising).
Iklan yang mempromosikan berbagai produk seperti keperluan rumah tangga cenderung menampilkan perempuan dalam peran sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan iklan yang mempromosikan produk-produk sebagai simbol status dan
kesuksesan di bidang pekerjaan akan cenderung menampilkan model laki-laki sebagai ikon. (Sunarto, 2000:115)
2.15 Maskulinitas
Ketika membahas tentang maskulinitas, maka hal pertama yang harus dibicarakan adalah perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki terlebih
dahulu, perlu dipahami dua aspek pokok, sekaligus dilakukan pembedaan antara keduanya. Dua aspek itu adalah sex (jenis kelamin) dan gender. Pengertian sex
sebagai jenis kelamin adalah pembedaan yang didasarkan pada fisik manusia yang melekat sejak lahir dan bersifat permanen. Pembedaan kedua adalah berdasarkan gender. Bila konsep sex didasarkan pada fisik, maka gender dibangun berdasarkan
konstruksi sosial maupun cultural manusia. Perbedaan fisik itu akhirnya membangun perbedaan-perbedaan psikologis. Perbedaan itu kemudian