• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.15 Maskulinitas

Ketika membahas tentang maskulinitas, maka hal pertama yang harus dibicarakan adalah perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki terlebih dahulu, perlu dipahami dua aspek pokok, sekaligus dilakukan pembedaan antara keduanya. Dua aspek itu adalah sex (jenis kelamin) dan gender. Pengertian sex sebagai jenis kelamin adalah pembedaan yang didasarkan pada fisik manusia yang melekat sejak lahir dan bersifat permanen. Pembedaan kedua adalah berdasarkan gender. Bila konsep sex didasarkan pada fisik, maka gender dibangun berdasarkan konstruksi sosial maupun cultural manusia. Perbedaan fisik itu akhirnya membangun perbedaan-perbedaan psikologis. Perbedaan itu kemudian disosialisasikan dan dikuatkan melalui pembelajaran lingkungan. Pembelajaran

tersebut dibentuk, diperkuat, disosialisasikan bahkan dikonstruksikan secara sosial atau cultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. (Widyatama, 2006:3)

Inti dari pembelajaran sosial itu adalah menempatkan laki-laki dan perempuan dalam wilayah yang berbeda, sehingga dicitrakan dalam penampilan yang berbeda pula. Laki-laki dicitrakan dalam sifat maskulin sementara perempuan dalam penampilan feminine.

Menurut Judith Waters dan George Ellis (dalam Widyatama, 2004:4), gender merupakan kategori dasar dalam budaya, yaitu sebagai proses dengan identifikasi tidak hanya orang, tetapi juga perbendaharaan kata, pola berbicara, sikap dan perilaku, tujuan, dan aktifitas seperti “maskulinitas” atau “feminitas”. Dan beruntung atau tidak beruntung, laki-laki selalu dianggap menempati posisi lebih tinggi dari pada perempuan. Konsep budaya yang menempatkan posisi laki-laki lebih sempurna dari pada perempuan, dan yang mengharuskan laki-laki-laki-laki dan perempuan bertindak sehari-hari menurut garis tradisi sedemikian rupa sehingga perempuan berada dalam posisi “pelengkap” laki-laki, semuanya berakar pada budaya patriarki. Juliet Mitchell (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu term “the law of father” yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya.

Dalam teori sosiologi gender, diungkapkan bahwa maskulinitas ada dua bentuk dominan, yaitu maskulin secara budaya atau ”maskulinitas hegemonik” dan bentuk maskulinitas yang “tersubordinasi”. Yang dimaksud dengan hegemonik disini adalah pengaruh sosial yang dicapai bukan karena kekuatan melainkan karena pengaturan kehidupan pribadi dan proses-proses budaya. Hal ini

berlawanan dengan tersubordinasi, dimana kekerasan adalah kunci yang sangat berpengaruh untuk memaksakan sebuah cita-cita atau kekuasaaan bagi maskulinitas tersebut. (Connel dalam Wajemen, 2001:160)

Menurut Barker dalam Nasir (2007:1) maskulinitas adalah imaji kejantanan, ketangkasan, kerja keras, keberanian untuk menantang bahaya, keuletan, keteguhan hati, hingga keringat yang menetes, otot laki-laki yang menyembul atau bagian tubuh tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki. Maskulinitas sendiri selain adalah konsep yang terbuka, pada dasarnya bukan merupakan identitas yang tetap. Maskulin merupakan sebuah bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki. Seorang laki-laki tidak dilahiran begitu saja dengan sifat maskulinnya secara alami, melainkan maskulinitas dibentuk oleh suatu kebudayaan. Dengan kata lain hal yang menentukan sifat perempuan dan laki-laki adalah kebudayaan itu sendiri.

Maskulinitas dapat dikelompokkan dalam delapan kategori, yaitu:

1. No Sissy Stuff : Seorang laki-laki sejati harus menghindari perilaku atau karakteristik yang berasosiasi dengan perempuan.

2. Be a Big Wheel : Maskulinitas dapat diukur dari kesuksessan, kekuasaan, dan pengaguman dari orang lain. Seseorang harus mempunyai kekayaan, ketenaran dan status yang sangat lelaki. Atau dalam masyarakat Jawa: seorang laki-laki dikatakan sukses jika berhasil memiliki garwo (istri), bondo (harta), turonggo (kendaraan), kukiro (burung peliharaan), dan pusoko (senjata atau kesaktian).

3. Be a Sturdy Oak : Kelelakian membutuhkan rasionalitas, kekuatan, dan kemandirian. Seorang laki-laki harus tetap bertindak kalem dalam berbagai situasi, tidak menunjukkan emosi, dan tidak menunjukkan kelemahannya.

4. Give em Hell : Laki-laki harus mempunyai aura keberanian dan agresi, serta harus mampu mengambil resiko walaupun alasan dan rasa takut menginginkan sebaliknya.

5. New Man as Nurturer : Seorang laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya untuk mengurus anak, melibatkan peran penuh laki-laki dalam area domestik.

6. New Man as Narcissit : Laki-laki menunjukkan maskulinitasnya dengan gaya hidup yuppies yang flamboyant dan parlente, laki-laki semakin suka memanjakan dirinya dengan produk-produk komersial property, mobil, pakaian, atau artefak personal yang membuatnya tampak sukses.

7. Sifat kelaki-lakian yang macho, kekerasan, dan hooliganisme. Laki-laki membangun kehidupannya di sekitar football atau sepak bola dan dunia minum-minum, juga seks dan hubungan dengan para perempuan, mementingkan leisure time, bersenang-senang, menyumpah, menonton sepak bola, minum bir, dan membuat lelucon-lelucon yang dianggap merendahkan perempuan.

8. Laki-laki metroseksual mengagungkan fashion, mungkin mirip dengan tipe maskulin yang ada di tahun 1980-an, bahkan mungkin sama.

Laki-laki metroseksual adalah orang-orang yang peduli dengan gaya hidup yang teratur, menyukai detail, dan cenderung perfeksionis. (Beynon dalam Nasir, 2007)

Maskulinitas dalam hubungannya dengan konstruksi sosial laki-laki dan perempuan diatas secara tersirat erat berkaitan dengan permasalahan gender. Menurut Zimmermen yang dikutip oleh itzer dan Goodman menjelaskan bahwa gender (yaitu perilaku yang memenuhi harapan sosial untuk laki-laki dan perempuan) tidak melekat dalam diri seseorang, tetapi dicapai melalui interaksi dalam situasi tertentu.

Maskulinitas sendiri bukan merupakan pemberian dari Tuhan atau sudah dimiliki sejak lahir, melainkan sebuah konstruksi sosial budaya yang melekatkan ciri maskulinitas pada sosok laki-laki. Selain itu maskulinitas juga dapat diartikan bukan sebagai keadaan biologis seperti seks yaitu laki-laki berpenis dan perempuan tidak berpenis, namun sebagai bagian dari gender yang merupakan bentuk pengkategorian laki-laki dan perempuan dalam identitas, relasi dan peran dalam kehidupan sosial. Seperti pendapat Harding dan Siva dalam Fakih (2001:101), feminitas dan maskulinitas sebagai sebuah konsep nilai yang kontradiktif pada dasarnya dapat saling dipertukarkan, artinya feminitas tidak mesti hanya dimiliki oleh kaum perempuan dan maskulinitas tidak semata-mata milik kaum laki-laki. Namun karena pemahaman gender telah dilegitimasi melalui nilai-nilai dan norma-norma budaya masyarakat maka citra ideal telah diletakkan pada laki-laki dengan ciri maskulin dan perempuan dengan ciri feminine. Selain itu, stereotype maskulinitas senantiasa dilekatkan pada kaum laki-laki dalam

bentuk konsepsi sifat-sifat yang selalu bermakna positif, diantaranya yakni: rasional, tegar, kuat, mandiri, tegas, dan dominan. (Kasiyan, 2008:52). Singkatnya maskulinitas telah disepakati secara sosial sebagai citra ideal bagi kaum laki-laki dan kemudian diwariskan dalam masyarakat.

Namun dalam perspektif gender, maskulin maupun feminine sebenarnya merupakan pilihan. Artinya laki-laki dan perempuan dapat secara bebas memilih penampilannya sendiri sesuai dengan yang disukainya atau menurutnya nyaman. Tidak ada kewajiban bahwa laki-laki harus menampilkan dirinya sebagai sosok yang maskulin, dan feminin bagi perempuan. Sifat-sifat sebagaimana tersebut sebelumnya di atas dapat dipertukarkan satu dengan lainnya. Pria dapat berpenampilan feminin sementara perempuan dapat memilih penampilan sebagai sosok yang maskulin.

2.15 Pr ia

Pria adalah kaum laki-laki yang telah memasuki tingkat kedewasaan secara fisik maupun mental dan mampu mempertanggungjawabkan segala pekerjaan dan kegiatannya. Seorang pria lebih dimaknai sebagai sosok laki-laki dewasa yang identik dengan percaya diri, kegigihan, kehidupan mapan, gaya hidup tinggi, juga kebebasan untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan baginya. Adapun kriteria laki-laki sebagai seorang pria di mata lawan jenisnya yaitu peraya diri dan jujur, bertubuh wangi, sopan, berpenampilan menarik, menyukai olahraga, dan sensitive. (www.health.kompas.com)

Dokumen terkait