BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Bab ini akan dibahas mengenai kebijakan hukum pidana sebagai suatu cara bagi negara untuk menentukan peraturan-peraturan yang berlaku dalam negara tersebut melalui badan pemerintah yang berwewenang.
Selain itu dalam bab ini juga akan dibahas mengenai teori-teori tentang perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dan ketentuan konvesi hak anak yang diratifikasi oleh Timor-Leste. Selain itu, dalam bab ini juga akan dibahas mengenai perbandingan perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dengan negara lain sebagai suatu referensia dalam memberikan solusi upaya perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Timor-Leste.
A.
Kebijakan Hukum Pidana
Pengertian kebijakan Hukum Pidana Beberapa tulisan menterjemahkan istilah kebijakan dengan “Politik”,”Policy”,”Politick”, “beleid” khususnya
dimaksudkan dalam arti “wijsbeleid” atau “ Kebijakasanaan”. Maka
pidana, penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.1 Dengan demikian istilah-istilah yang diberikan untuk kebijakan hukum pidana adalah “politik hukum pidana”, penal policy”, “criminal law policy” atau starfrechts politiek”. Politik hukum terdiri atas rangkaian katak politik2. Ditambahkan pula oleh pakar hukum Mahfud yang dikutip Teguh P. Dan Abdul H.B., bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh). Dengan asumsi demikian itu, Mahfud merumuskan politik hukum sebagai, kebijakan hukum akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah ; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.3 Disini hukun tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupuan dalam implementasi dan penegakannya.4 Sudarto memberikan arti politik hukum sebagai berikut;
1
Barda Nawawi Areif, Bunga Rampai.,Opcit,.Halaman 24.
2
William N.Dunn, Muhadjir Darwin(Penyadur), Analisa Kebijakan Publik, ( Yogyakarta :
PT Hadindita Graha Wdi, 2000), Halaman 10.
3
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, ( Bandung : Penerbit SinarBaru,
1983), Halaman 16.
4
1. Usaha untuk menwujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menentukan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.5 Melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna atau usaha mewujudkan peraturan perundang-udangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi6 pada waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Defenisi politik pidana dari Sudarto di atas sesuai dengan defenisi yang diberikan oleh Marc Ancel yang dikutip oleh Barda Bawawi Arief yang menyatakan bahwa “ penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang
pada akhirnya mempunyai tujuan praktis dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga
5
Sudarto, Hukum Pidana dan Opcit,. Halaman 20. Lihat juga Barda Nawawi Areif, Bunga
Rampai,... Op. Cit, Halaman 25.
6
kepada para penyelenggaran atau pelaksana putusan pengadilan. Marc Ancel mengemukkan bahwa
“ between the study of criminological factor on the one hand, and the legal technique on the other, there is room for a science which observes
legislative phenomenon and for a rational art within scholar and practitioners, criminologist and awsers can together, not as antagonists or
in fratricidal strike, but as fellow-workers engaged or in a common task, which is firt and foremost to bring into effect a realistic, humane, and
healthy progressive penal policy.7
(Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di suatu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan dilain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislasif dan bagi suatu seni yang rasional, di mana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologis dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlwana atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang berkaitan di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat).
Kebijikan hukum pidana atau politik hukum pidana menurut Marc Ancel merupakan salah satu dari modern criminal science. Modern criminal science menurut Beliau teridiri dari tiga komponen yaitu criminology,
7
criminal law dan penal policy, Pendapat Marc Ancel mengenai hal tersebut sebagai berikut :
“Modern criminal science lies in fact three essential components ; criminology, which studies the phenomenon of crime in all its aspects ; criminal law which is the explanation and appication of the positive rules
where by society reacts againts the phenomenon fo crime; finally, penal policy., both a science and an art, of which the practical purposes, ultimately, ( are to enable the positive rules to be better formulated and to guide not only the legislator who has to draft criminal statutes, but the court
by which they are applied and the prison administration which gives prcatical effect to the court’s dicision)8
(ilmu hukum pidana modern terletak pada tiga komponen penting: Krimonologi yang mempelajari fenomena kejahatan dalam segala aspeknya; hukum pidana yang merupakan penjelasaan dan penerapan aturan positif dimana masyarakat beraksi terhadap fenomena kejahatan, akhirnya penal policy baik ilmu pengatuhan dan seni, dimana tujuan praktis, pada akhirnya, yang mengaktifkan aturan positif untuk menjadi lebih baik dirumuskan dan untuk membimbing tidak hanya legislator yang harus menyusun undang – undang pidana, tapi pengadilan dimana mereka terapkan adiministrasi penjara yang memberikan efek yang praktis keputusan pengadilan.)
Politik hukum pidana selain terkait dengan politik hukum juga terkait dengan politik kriminal atau dikenal dengan kebijakan kriminal dan
8
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan Kedua, (
criminal policy. Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas, yaitu :
a. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana.9
b. Dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
c. Dalam arti paling lebih luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui perundang-undang dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentra dari masyarakat.10
Secara singkat Sudarto memberikan defenis politik kriminal sebagai usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan tindak pidana.11 Defenisi serupa juga dikemukakan oleh Marc Ancel yang di kutip Muladi sebagai “ the rational organization of the control of crime by socity”
atau dikutip oleh
Peter Hoefnagles sebagai “the rasional organization of the social
reactions to crime. Selajutnya Peter Hoefnagles memberikan beberapa rumusan politik kriminal sebagai ;
9
Sudarto, Kapita selekta ... Opcit. Halaman 113 – 114.
10
Sudarto, Hukum ...., Opcit, Halaman 38.
11
Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, ( Holland kluwer – Deventer Holland,
“ the science of responses”, The science of crime prevention”, “ a policy of detingnating human behavior as crime” dan “ a rational total of the respond to crime.
Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian alternatif, dimana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan tindak pidana tersebut.12
Dengan demikian politik hukum pidana dilihat dari bagian politik hukum mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang – undang pidana yang baik., sedangkan dilihat dari sudut politik hukum pidana identik dengan pengertian “
kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan hukum pidana13” sehubungan dengan keterkaitan dengan hukum pidana dengan politik hukum, politik hukum itu sendiri berkaitan dengan pembaruhan hukum, sampai berapa jauh pembaruhan itu dilaksanakan dan bagaimana bentuk pembaruhan tersebut.14 Demikian pula dengan politik hukum pidana terkait dengan pembaruhan hukum pidana sebagaimana yang dinyatakan oleh Sudarto bahwa dalam politik hukum pidana akan muncul pertanyaan-pertanyaan misalnya apakah perlu ada pembaruhan hukum pidana. Kalau perlu, bidang-bidang apakah yang perlu diperbaharui atau direvisi.15
12
Barda Nawawi Areif, Bunga Rampai ..., Op. Cit., Halaman 1.
13
Muladi Kapita Selekta ..., Opcit., Halaman 7.
14
Sudarto Kapita Selekta .... Opcit., Halaman 114.
15 Barda Nawawi Areif, Bunga Rampai ... Opcit., Halaman 25 – 26.
Menurut Barda Nawawi Arief, upaya melakukan pembaruhan hukum pidana (penal refrom) pada hakekatnya termasuk bidang “penal policy” yang merupakan bagaian terkait erat dengan “ law enforcement policy/ “criminal policy” dan “ sosial policy”. Hal ini berarti pembaruhan hukum
pidana merupakan :
a. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaruhi substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum;
b. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperantas atau menanggulangi tindak pidana dalam rangka perlindungan masryarakat;
c. Bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangkan mencapai atau menunjang tujuan nasional ( yaitu” social defence”dan “ social
welfare”);
d. Upaya peninjauan dan pemelaian kembali (“reorentansi dan reevaluasi’) pokok-pokok pemikiran, ide- ide dasar atau nilai-nilai
Bukankah pembaruhan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana dicita-citakan sama saja dengan orentasi nilai hukum pidana lama warisan penjajah ( KHUP lama dan atau WVS).
Pembaruhan hukum pidana pada hakekatnya mengadung makna, suatu upaya untuk melakukan reorentasi dan reformasi hukum16 pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral politik, filosofik dan sosio-kultur masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat Biliau menyatakan bahwa pembaruhan hukum pidana pada hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorentasi pada nilai (value -oritented approach) dan pendekatan yang berorentansi pada kebijakan (policy oriented appraoch)., selajutnya Barda Nawawi Arief manyatakan bahwa pembaruhan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan karena memang pda hakekatnya pembaruhan hukum pidan hanya merupakan bagian saja dari kebijakan atau politik hukum pada umumnya, dan khsusnya bagian dari politik hukum pidana (criminal law, penal policy atau strafrechsolitiek). Lebih luas lagi, politik hukum pidana itu sendiri pada hakekatnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari politik penegakan hukum, politik kriminal dan politik sosial.17
16
Sudarto, Hukum dan ..., Opcit., Halaman 159.
17
Berda Nawawi Areif, Pembaruhan Hukum Pidana dalam Perspektif kajian perbandingan,
Didalam setiap kebijakan (policy atau politik) dipertimbangkan berbagai nilai, maka jelas pula pembaharuan hukum pidana harus pula berorentasi pada pendekatan nilai, didalam bukunya lain, Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa pembaruhan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan kebijakan adalah:
a. Sebagaian bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pda hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusian) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahataran masyarakat dan sebagainya).
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruhan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan tindak pidana)18. c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan
hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya mempebaruhi subtasnsi hukum (legal substance) dalam ranagka lebih mengefektifkan penegakan hukum. Sedangkan pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan nilai merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosi-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural
18
yang melandasi dan memberikan isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita – citakan.19
Dalam menanggulangi masalah tindak pidana, sekiranya hukum pidana yang dipilih sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka kebijakan hukum pidana tidak boleh lepas dari tujuan kebijakan yang lebih luas yaitu politik kriminal20. Dapat dikatakan kebebijakan hukum pidana merupakan sub sistem dari politik kriminal sehinga wajar kalau tujuan kebijakan hukum pidana tidak boleh lepas dari politik criminal, sedangkan politik kriminal itu sendiri merupakan sub sistem dari kebijakan yang lebih luas yaitu usaha penegakan hukum atau dikenal dengan kebijakan penegkan hukum (law enforcement policy). Demikian pula dengan kebijakan penegakan hukum khususnya hukum pidana tidak lepas dari kebijakan sosial (social policy) yaitu segala usahan yang rasional untuk mencapai kesejahateraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat (social welfare dan social defence). Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarto yng menyatakan, apabila hukum pidana hendak digunakan, hendaknya dillihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence, planning yang inipun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.
19 Dalam : Masalah – Masalah Hukum, FH UNDIP, No. 4 Tahun 1994., Halaman 2.
Ibid., Halaman 3.
20 Peter Hoefnagels,. The other Side of Criminology., ( Holland Kluwer – Deventer Holland,
Hal tersebut ditegaskan oleh, Peter Hoefhagels bahwa
criminal policy as science of policy is part of a larger policy: the law enforcement policy:... criminal policy is also manifest as science and as application. The legislative and enforcement policy is in turn part of social
policy. Di tingkat internsional, hal ini nyatakan dalam UN Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Jusctice in the Context of Development and a New Internasional Economic Order yang menegaskan
bahwa Crime Prevention as part of Social Policy.
Kebijakan kriminal itu sendiri merupakan sub sistem dari kebijakan yang belih besar yaitu kebijakan penegakan hukum dan kebijakan sosial. Dengan demikian, di dalam merumuskan kebijakan-kebijakan penegakan hukum, harus berorientasi pada kesejahteraan masyarakat yang tercakup di dalam perlindungan masyarakat.
Menurut Barda Nawawi Arief, sekiranya dalam kebijakan penanggangan tindak pidana atau politik kriminal digunakan upaya atau sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan padan tujuan dari kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan atau upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).21
Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal-law enforcement policy operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formutasi (kebijakan legislatif); tahap aplikasi (kebijakan yudikatif atau yudicial) dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif atau adiministratif).
Tahap formulasi adalah tahap penetapan atau perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang.
Tahap aplikasi adalah tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan.
lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum, perrtanggunjawaban pidana dan sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana maupun tindakan. Dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan pidana tersebut maka akan berlanjut pada tahap aplikasi yaitu penerapan peraturan perundang-undangan pidana tersebut oleh hakim.
Peraturan perundang-undangan pidana yang diterapkan oleh hakim akan dilaksanakan pada tahap eksekusi. Dengan demikian tahap formulasi merupakan awal dari upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan apabila upaya awal ini tidak tepat dalam menetapkan perbuatan pidana, maka akan mempengaruhi tahap-tahap selanjutnya.
Berkaitan dengan pembentukan undang-undang, Roeslan Saleh mengatakan bahwa jika undang-undang dijadikan sesuatu yang dapat digunakan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam masyarakat, maka perundang-undangan akan merupakan bagian dari suatu kebijakaan tertentu. Undang-undang merupakan salah satu serangkaian alat - alat yang ada pada pemerintah untuk dapat melakukan kebijakaan-kebijakaan.
Berkaitan dengan hukum pidana, Roeslan Saleh memintakan perhatian bahwa : “Sanksi-sanksi pidana dalam perundang-undangan biasanya
yang ada di dalamnya sebenarnya bersifat adminitratif, tatip sanksi pidana itu dipandang perlu sekali untuk melengkapkan. Jadi menempatkan sanksi-sanksi pidana di dalam undang-undang itu oleh karenanya merupakan suatu komplemen mutlak dari pemberian wewenang kepada alat pemerintah. Dengan kemungkinan-kemungkinan seperti dikemukakan di atas, maka undang-undang akan merupakan dasar juridis di atas mana ditegakkan pelaksanaan kebijakaan pemerintah.
Dengan demikian penggunan hukum pidana untuk menegakan peraturan-peraturan dalam hukum administrasi merupakan salah satu sarana untuk melakasanakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
B. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan terhadap Anak sebagai
Pelaku Tindak Pidana
Perlindungan hukum terhadap anak dalam kedudukannya sebagai pelaku tindak pidana dapat ketahui jika dapat dipahami tetang anak, memahami tentang anak yang meliputi beberapa aspek yaitu perkembangan kepribadian anak, tanggung jawab terhadap anak sebagai generasi muda, hak – hak dan faktor – faktor anak melakukan pelanggaran hukum22.
22
Novelina M.S. Hutapea., Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak
Menurut Hillard Rodham Clinton, dalam bukunya It Takes a Village : Anak – anak sama sekali bukan individualis, mereka bergantung pada orang dewasa yang mereka kenal juga pada ribuan orang lain, yang membuat keputusan setiap hari dan mempengaruhi kesejateraan mereka. Kita semua sadar atau tidak bertanggunjawab untuk memutuskan apakah anak-anak kita dibesarkan dalam sebuah bangsa yang tidak hanya menjujung nilai-nilai keluarga tetapi juga menghargai keluarga berikut anak-anak didalamnya. Pendapat tersebut mengingatkan kita untuk menyadari bahwa anak dalam perkembangannya menjadi individu dewasa, memerlukan orang lain sebagai teman yang terdekat dengan dirinya untuk membimbingnya atau pun mendidiknya. Ia belum mampu melindungi dirinya sendiri dari tindakan-tindakan yang menimbulkan kerugian baik fisik, mental maupun sosial dalam berbagai segi kehidupannya.
Dengan latar belakang pemikiran yang demikian maka di dalam hukum, seorang anak tela diberikan hak dan kewajiban tertentu. Hak-hak ini diatur secara tersebar dalam berbagai bentuk peraturan perundang - undangan. Tidak hanya di dalam Hukum Nasional anak-anak mempunyai hak dan kewajiban, tetapi juga dalam Hukum Internasional.
menentukan langkah yang terbaik bagi anak tersebut sehubungan dengan perbuatan yang telah dilakukannya.
Setelah memahami tentang perkembangan anak dan faktor-faktor penyebab anak melakukan tindak pidana, maka dengan demikian bahwa terdapat suatu juran antara anak-anak dan orang dewasa, sehingga seorang anak tidak dapat dipandang atau diperlakukan sama dengan orang dewasa.
C. Ketentuan Konvensi Hak Anak
Republik Demokratika Timor-Leste menjadi Negara pihak Konvensi Hak Anak pada tahun 2003 setelah Parlemen Nasional mengeluarkan Resolusi Nomor 16 tahun 2003 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Dengan demikian, Timor-Leste mempunyai kewajiban sebagai Negara pihak untuk memenuhi,melaksanakan dan melindungi hak - hak anak yang termuat di dalam Konvensi Hak Anak tersebut23. Kewajiban yang harus dipenuhi adalah menyediakan berbagai regulasi tentang perlindungan hak-hak anak tanpa terkecuali hak-hak anak bermasalah atau berhadapan dengan hukum sebagai bentuk komitmen Negara peserta Konvensi Hak Anak.
Pengakuan atas eksistensi anak sebagai subyek hak asasi manusia (HAM) ditandai manakala Konvensi Hak Anak (KHA) telah diratifikasi oleh 193 Negara. Dengan demikian sebanyak 193 pemerintah telah menerima kewajibannya untuk mengambil semua langkah-langkah legislative, administrative, sosial, dan pendidikan secara layak untuk melindungi anak-anak dari semua bentuk-bentuk dan manifestasi kekerasan. Kendati ratifikasi Konvensi Hak Anak telah menunjukkan universalitas, namun perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, dan penyalahgunaan kekuasaan masih sangat lemah.
23
Resolusi Parlamen Nasional Nomor 16/2003 Tentang Perlindungan Anak.,