• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor."

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

vi

DINAMIKA PENGALAMAN KRISIS DALAM KEHIDUPAN PASTOR

David Widyantoro Try Wibowo

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor pada beberapa pastor yang berkarya di Yogyakarta. Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan data narasi dari tiga subyek. Untuk mengetahui dan memahami dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor analisis yang digunakan adalah analisis naratif. Hal ini menunjukkan bahwa dapat dipahami bahwa pengalaman krisis dalam kehidupan pastor merupakan sebuah masa dimana seorang pastor mencoba untuk mencari jawaban, pilihan, atau tindakan dari konflik yang dihadapi berkaitan dengan kehidupannya menjadi seorang pastor. Sumber konflik yang dialami dapat disebabkan oleh pengalaman masa lalu dan konsekuensi dari interaksi dengan lingkungan sosial. Pengalaman masa lalu bisa menjadi pembelajaran untuk menghadapi konflik selanjutnya. Sebagai usaha menemukan jawaban, menentukan pilihan, dan tindakan dari konflik yang dihadapi sebagian besar cara yang dilakukan adalah dengan menciptakan suasana hening untuk merenung atau merefleksikan pengalaman, sharing, serta penyerahan diri kepada Tuhan. Kekuatan yang dihasilkan dari krisis tersebut adalah harapan, kemauan, tujuan, keahlian, kesetiaan, dan kebijaksanaan.

(2)

vii

DYNAMICS OF EXPERIENCE IN LIFE CRISIS PASTOR

David Widyantoro Try Wibowo

ABSTRACT

The purpose of this study is to investigate and understand the dynamics of the life experience of the crisis on several pastor who works in Yogyakarta. The data collection method used in this research is to use the method of narrative interviews to obtain data from the three subjects. To know and understand the dynamics of the crisis in the life experience of analysis is pastor narrative analysis. This shows that it is understood that the experience of the crisis in the life of a priest is a period where a priest trying to find an answer, choice, or action of the conflict faced related to his life being a pastor. Sources of conflict that can be experienced due to past experiences and the consequences of the interaction with the social environment. Past experience can be a lesson for to further conflicts. An attempt to find answers, make choices, and actions of the conflicts faced by most of the way is by creating an atmosphere of silence to contemplate or reflect on the experience, sharing, and submission to God. Strength resulting from the crisis is the hope, the will, purpose, skill, loyalty, and wisdom.

(3)

i

DINAMIKA PENGALAMAN KRISIS DALAM KEHIDUPAN PASTOR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

David Widyantoro Try Wibowo NIM : 07 9114 002

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk: Tuhan Yesus teladan dari semua panggilan hidup, Mereka yang membaktikan diri dalam panggilan hidup selibat,

(7)
(8)

vi

DINAMIKA PENGALAMAN KRISIS DALAM KEHIDUPAN PASTOR

David Widyantoro Try Wibowo

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor pada beberapa pastor yang berkarya di Yogyakarta. Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan data narasi dari tiga subyek. Untuk mengetahui dan memahami dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor analisis yang digunakan adalah analisis naratif. Hal ini menunjukkan bahwa dapat dipahami bahwa pengalaman krisis dalam kehidupan pastor merupakan sebuah masa dimana seorang pastor mencoba untuk mencari jawaban, pilihan, atau tindakan dari konflik yang dihadapi berkaitan dengan kehidupannya menjadi seorang pastor. Sumber konflik yang dialami dapat disebabkan oleh pengalaman masa lalu dan konsekuensi dari interaksi dengan lingkungan sosial. Pengalaman masa lalu bisa menjadi pembelajaran untuk menghadapi konflik selanjutnya. Sebagai usaha menemukan jawaban, menentukan pilihan, dan tindakan dari konflik yang dihadapi sebagian besar cara yang dilakukan adalah dengan menciptakan suasana hening untuk merenung atau merefleksikan pengalaman, sharing, serta penyerahan diri kepada Tuhan. Kekuatan yang dihasilkan dari krisis tersebut adalah harapan, kemauan, tujuan, keahlian, kesetiaan, dan kebijaksanaan.

(9)

vii

DYNAMICS OF EXPERIENCE IN LIFE CRISIS PASTOR

David Widyantoro Try Wibowo

ABSTRACT

The purpose of this study is to investigate and understand the dynamics of the life experience of the crisis on several pastor who works in Yogyakarta. The data collection method used in this research is to use the method of narrative interviews to obtain data from the three subjects. To know and understand the dynamics of the crisis in the life experience of analysis is pastor narrative analysis. This shows that it is understood that the experience of the crisis in the life of a priest is a period where a priest trying to find an answer, choice, or action of the conflict faced related to his life being a pastor. Sources of conflict that can be experienced due to past experiences and the consequences of the interaction with the social environment. Past experience can be a lesson for to further conflicts. An attempt to find answers, make choices, and actions of the conflicts faced by most of the way is by creating an atmosphere of silence to contemplate or reflect on the experience, sharing, and submission to God. Strength resulting from the crisis is the hope, the will, purpose, skill, loyalty, and wisdom.

(10)
(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat perlindungan NYA tugas akhir ini dapat diselesaikan. Sebuah proses yang patut disyukuri karena penulis boleh merasakan dan mengalami dinamika penyusunan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana.

Proses penyusunan tugas akhir ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan pihak-pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun yang tidak secara langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan kepada.

1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu menguatkan, memberkati, dan melindungi. 2. Bapak dan Ibu tersayang yang tiada hentinya mendukung dan memperhatikan

dengan kasih sayang yang tiada habisnya.

3. Mas Ari beserta keluarga, Mbak Ria beserta keluarga, dan Ave, kakak-kakak dan adik yang selalu memberikan semangat.

4. My lovely Devi, yang menemani dan memberikan perhatian disaat suka, duka,

sedih, senang, dan susah.

5. Bapak Didik, dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang dengan sabar membimbing penulis.

6. Para pastor, baik yang berpartisipasi sebagai subyek, maupun rekan berbagi sharing, pengalaman para pastor memperkaya pengetahuan saya dalam penulisan tugas akhir ini.

(12)

x

8. Fakultas Psikologi, USD tempat penulis dapat memahami manusia lebih dalam.

9. Dosen, karyawan, teman-teman seperguruan prodi Psikologi, kalian sahabat tempat berbagi suka dan duka.

10.Teman-teman staf humas USD (Pak Budi, Mas Cahyo, Mbak Atiek, Krisna, Lusi, Ita, Wiena, Tatik, Anggita, Nana, Lia, Agus, Galih, Clay, Fajar, Adi, Daniel, Lola, Eka, Ketty, Glo, Okvi, Leza, Utik, Atik, Suharni, Nanda, Oscar, Yuan, Putra, Chiputra, Tri, Bayu, dkk) terimakasih motivasinya.

Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, penulis ucapakan terimakasih kembali atas dukungannya.

(13)
(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

1. Manfaat Teoritis ... 6

2. Manfaat Praktis ... 7

BAB II LANDASAN TEORI ... 8

A. Krisis ... 8

1. Pengertian Krisis ... 8

(15)

xiii

3. Teori Aktualisasi ... 16

B. Kehidupan Pastor dan Dinamika Krisis ... 21

C. Pertanyaan Penelitian ... 26

1. Central Question ... 26

2. Subquestion ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

A. Strategi Penelitian ... 27

B. Latar Belakang Peneliti ... 28

C. Pengumpulan Data ... 30

D. Prosedur Analisis Data ... 31

E. Kredibilitas Penelitian ... 32

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Pengalaman Krisis Subyek 1 (YI) ... 34

1. Krisis Relasi dengan Keluarga (Peran sebagai Anak Pertama) ... 35

2. Krisis Relasi dengan Instansi Formasi (Seminari Tinggi) ... 37

3. Krisis Fisik (Pengalaman Sakit) ... 39

4. Kesimpulan... 42

B. Pengalaman Krisis Subyek 2 (BM) ... 43

1. Krisis Relasi dengan Keluarga (Status dan Pola Asuh) ... 44

(16)

xiv

3. Krisis Relasi dengan Lawan Jenis ... 51

4. Kesimpulan... 53

C. Pengalaman Krisis Subyek 3 (YS) ... 53

1. Krisis Relasi dengan Lawan Jenis ... 54

2. Krisis Relasi dengan Mitra Paroki (Dewan Paroki)... 56

3. Krisis Relasi dengan Rekan Pastor dalam Satu Paroki . 57 4. Krisis Relasi dengan Pimpinan ... 59

5. Kesimpulan... 61

D. Pembahasan ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67

1. Bagi Subyek ... 67

2. Bagi Formator ... 67

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Seorang pastor memiliki peran penting dalam kehidupan umat Katolik. Peran penting pastor dapat dilihat melalui tugas pastoralnya. Tugas pastoral seorang pastor menyangkut bidang kerygma (pewartaan, pengajaran, kenabian), liturgia (ibadat dan pengudusan), martyria (keberanian memberi kesaksian hidup imani), doakonia (pelayanan), dan koinonia (kepemimpinan yang mendamaikan) (Mgr J. Sunarka, SJ dalam Perjuangan dan Kebahagian Imam-Imam Muda).

Fx. Indrapraja, OSF mengatakan bahwa salah satu dokumen Konsili Vatikan II, dekrit Presbyterorum Ordinis tentang pelayanan dan kehidupan imam (7 Desember 1965) menyebutkan dan menguiraikan secara singkat tiga aspek pelaksanaan pelayanan seorang imam. Ketiga aspek itu adalah: imam sebagai pelayan sabda Allah, imam sebagai pelayan ekaristi, dan imam sebagai pemimpin umat Allah. Tugas pastoral dan ketiga aspek pelaksanaan pelayanan seorang imam ini menunjukkan bahwa pentingnya peran imam atau pastor dalam kehidupan umat katolik.

Bagi umat beragama Katolik, menjadi seorang pastor merupakan jalan panggilan yang mulia. Bahkan sebagian besar umat Katolik memiliki pandangan bahwa menjadi pastor atau biarawan-biarawati merupakan satu-satunya jalan terbaik dalam menuju kesempurnaan hidup (Djakarya dalam

(18)

Ayu dan Satiadarma, 2005). Pandangan ini muncul, karena sosok pemuka agama seperti pastor merupakan panutan umat dalam menjalankan kehidupan khususnya dalam hal kerohanian, seperti mengajarkan bagaimana manusia hidup dengan baik sesuai ajaran agama. Oleh karena itu tidak jarang pula, umat berpendapat bahwa seorang pastor hidup suci karena berjanji untuk hidup selibat atau tidak menikah seumur hidup.

Pandangan yang “berlebihan” tersebut mengakibatkan seorang selibater (pastor) dituntut untuk menampilkan kepribadian yang sempurna (Paige, 2001 dalam Ayu dan Satiadarma, 2005). Seperti halnya manusia biasa, seorang pastor juga memiliki sisi manusiawi yang dimiliki. Sisi manusiawi ini terlihat dari perjuangan seorang pastor dalam mempertahankan hidup panggilannya dan identitas yang disandang di tengah tantangan dunia yang dihadapi.

Bukan suatu langkah yang mudah untuk memperjuangkan identitas yang melekat pada pribadi seorang pastor. Erik Erikson dalam Life-Span Development (edisi kelima, 2002) menjelaskan, bahwa perkembangan sosial

(19)

identitas diri mereka. Seorang Pastor akan menjumpai masa krisis dalam perkembangan hidupnya.

Beberapa literatur mengatakan bahwa krisis yang dialami seorang pastor atau kaum selibater (biarawan-biarawati) terjadi karena adanya krisis iman. Pastor B. Sumaryo SCJ dalam artikelnya yang berjudul Gugatan Panggilan (1998) mengatakan bahwa biarawan-biarawati serta pastor yang mengalami krisis iman tidak menyadari bahwa kaul dan tahbisan suci merupakan ikatan untuk seumur hidup yang menjadi sumber kesucian dan keselamatan serta kebahagian hidup. Kisah-kisah yang muncul berdasarkan pengalaman bagaimana kaum selibater mempertahankan identitasnya, seperti pergulatannya dalam memaknai kaul yang diucapkan. Salah satunya krisis iman dapat terjadi karena hanya mengejar karier, pengetahuan tanpa diimbangi dengan doa dan meditasi atau hening.

Seorang pastor ketika mengalami krisis iman, hal ini akan berpengaruh dalam kehidupan pribadi, akibatnya pastor tersebut akan mengalami kebosanan, stres, depresi, karya pelayanan terganggu, bahkan dapat sampai mengakibatkan Pastor itu meninggalkan panggilannya. Semakin krisis iman, semakin krisis panggilan, untuk membenahi panggilan dibutuhkan iman (A. Setyawan, S.J dalam artikel Krisis Tengah Umur = Krisis Panggilan).

(20)

umum dapat digolongkan dalam kesulitan yang coraknya rohani, masalah yang muncul dari proses perkembangan pribadi, kesulitan yang muncul karena pengaruh motivasi bawah sadar, masalah-masalah dan kesulitan yang muncul dari dinamika patologis yang menyangkut bidang psikiatri.

Pengalaman krisis dalam kehidupan seorang pastor dapat terjadi kapan saja, seperti orang pada umumnya. Menurut DSO. Widiantoro, SJ pengalaman krisis ini terjadi karena disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, kurangnya kemampuan untuk tekun melatih dan membiasakan hidup dalam discernment. Kedua, faktor psikologis dari pribadi bersangkutan yang kerap mempengaruhi prilaku dan mentalitas seseorang. Ketiga, faktor eksternal yang turut memberikan stimulus seorang religius jatuh pada pengalaman krisis.

Konsep krisis psikososial Erik Erikson dalam teori kepribadian dikatakan bahwa setiap tahap perkembangan memiliki konflik antara elemen sintonik (harmonis) dan elemen distonik (mengacaukan). Tiap tahap dicirikan oleh adanya dilema dalam kategori krisis psikososial (Deshi Ramadhani, SJ dalam Rohani, 2011). Konsep krisis psikososial Erik Erikson menunjukkan bahwa setiap manusia termasuk seorang pastor memiliki kemungkinan mengalami konflik atau krisis dalam hidupnya.

(21)

crisis.Oleh karena itu, diharapkan penelitian berikutnya tidak hanya mengulas

kondisi emosional, namun kondisi psikologis secara keseluruhan dan tidak hanya terfokus pada problematik yang dihadapi di usia pertengahan.

Pengalaman-pengalaman krisis ini tidak bisa dihindari. Dalam melewati tahap-tahap itu ada serangkaian kekusutan yang bisa menimbulkan kebingungan luar bisa, jika tidak hati-hati kekusutan yang tidak sempat terurai lewat berbagai pendampingan yang tepat akhirnya akan membawa pada satu titik keputusan akhir, yaitu berhenti hidup selibat (Deshi Ramadhani, SJ dalam Rohani, 2011). Jika masalah ini dibiarkan begitu saja, berapa jumlah pastor yang akan tetap setia pada panggilannya?

Beberapa cara dilakukan untuk membantu menyelesaikan masalah ini. Konsili Vatikan II tepatnya dalam Gaudium et Spes menganjurkan supaya dalam formasi (pembinaan) meminta bantuan ilmu lain, antara lain ilmu Psikologi. Psikologi membantu memahami kekayaan dan kedalaman pribadi calon beserta latar belakang dan kerumitannya, karena psikologi merupakan sebuah pendekatan yang secara khusus mendalami dinamika dan sistem motivasi pribadi serta proses psikososial yang berhubungan dengan dinamika tersebut (F. Mardi Prasetya, SJ dalam Psikologi Hidup Rohani, 1995)

(22)

gambaran dan informasi yang bisa membantu untuk lebih memahami pengalaman krisis dalam kehidupan pastor. Pengalaman krisis tersebut juga bukan hanya pada tahap usia tertentu. Melalui penelitian ini, penulis juga berharap dapat menjadi salah satu usaha dalam mengatasi ataupun menanggulangi krisis yang terjadi dalam kehidupan pastor.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian naratif ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor pada beberapa pastor yang berkarya di Yogyakarta.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

(23)

b. Selain bagi psikologi perkembangan, penelitian ini diharapkan pula dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian-penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini bermanfaat untuk membantu pembaca mengetahui seluk-beluk kehidupan pastor berkaitan dengan pengalaman krisis yang dialaminya.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan usaha preventif bagi dunia pendidikan calon pastor dalam membina calon pastor, sehingga bukan hanya pembinaan secara rohani dan akademis saja, tetapi secara psikologis juga dapat dikembangkan.

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KRISIS

1. Pengertian Krisis

Istilah krisis mengacu pada suatu masa atau waktu yang menggambarkan kondisi yang bergejolak akibat adanya konflik. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi keempat, 2011), mendefinisikan krisis sebagai keadaan yang genting, kemelut, atau keadaan suram. Pengalaman dalam kondisi genting, kemelut, atau keadaan suram tidak akan lepas dalam kehidupan.

Erick Erikson menggunakan istilah krisis juga dalam teori perkembangan manusia. Teori perkembangan ini didasari oleh pembentukan identitas individu. Identitas adalah suatu proses restrukturasi segala identifikasi gambaran terdahulu, dimana seluruh identitas fragmenter yang dahulu (pun yang negatif) diolah dalam perspektif suatu masa depan yang diantisipasi (Agus Gremes dalam Identitas dan Siklus Hidup Manusia, 1989).

Individu dalam membentuk identitas dirinya akan melalui tahap perkembangan. Erick Erikson membagi tahap perkembangan menjadi delapan tahap perkembangan. Kedelapan tahap perkembangan tersebut membutuhkan pemahaman terhadap beberapa point penting.

(25)

a. Pertumbuhan terjadi berdasarkan prinsip epigenetik, yaitu satu bagian komponen yang tumbuh dari komponen lain dan memiliki pengaruh waktu tersendiri, namun tidak menggantikan komponen sebelumnya. b. Di dalam tiap tahapan kehidupan terdapat interaksi berlawanan, yaitu

konflik antara elemen sintonik (harmonis) dengan elemen distonik (mengacaukan).

c. Di tiap tahapan, konflik antara elemen distonik dan sintonik menghasilkan kualitas ego dan kekuatan ego, yang disebut sebagai kekuatan dasar (basic strength).

d. Terlalu sedikitnya kekuatan pada satu tahap mengakibatkan patologi inti (core pathology) pada tahap tersebut. Setiap tahap memiliki potensi patologi inti.

e. Erikson tidak pernah meninggalkan aspek biologis dalam perkembangan manusia, meskipun mengacu kedelapan tahapannya sebagai tahapan psikososial (psychosocial stages).

f. Peristiwa-peristiwa ditahapan sebelumnya tidak menyebabkan perkembangan kepribadian selanjutnya. Identitas ego dibentuk oleh keanekaragaman konflik dan kejadian-kejadian masa lampau, sekarang, dan yang diharapkan.

Selama tiap tahapan, khususnya sejak remaja dan selanjutnya, perkembangan kepribadian ditandai oleh krisis identitas yang Erikson (1968) sebut sebagai ”titik balik, yaitu periode krusial akan

(26)

selama tiap krisis, seseorang rentan terhadap modifikasi utama dalam identitas, baik positif maupun negatif.

Krisis merupakan suatu titik balik suatu masa gawat dari kerentanan dan sekaligus potensi yang semakin meningkat, karena itu krisis ini merupakan sumber otogenesis dari kekuatan generasional dan juga ketidakmampuan menyesuaikan diri (Identity, Youth, and Crisis, h. 96).

Tahapan perkembangan psikososial Erikson memiliki delapan tahapan. Setiap tahapan memiliki kualitas ego atau kekuatan dasar yang muncul dari konflik-konflik atau krisis psikososial yang menjadi ciri khas tiap periode. Kedelapan tahapan perkembangan tersebut adalah: a. Tahapan pertama, masa bayi dengan krisis psikososial utama adalah

rasa percaya dasar versus rasa tidak tidak percaya dasar. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah harapan. b. Tahapan kedua, masa kanak-kanak awal dengan krisis psikososial

utama adalah otonomi versus masa lalu, keraguan. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah kemauan.

c. Tahapan ketiga, masa usia bermain dengan krisis psikososial utama adalah inisiatif versus rasa bersalah. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah tujuan.

(27)

e. Tahapan kelima, masa remaja dengan krisis psikososial utama adalah identitas versus kebingungan identitas. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah kesetiaan.

f. Tahapan keenam, masa dewasa muda dengan krisis psikososial utama adalah keintiman versus keterasingan. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah cinta.

g. Tahapan ketujuh, masa dewasa dengan krisis psikososial utama adalah generativitas versus stagnasi. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah kepedulian.

h. Tahapan kedelapan, masa usia lanjut dengan krisis psikososial utama adalah integritas versus keputusasaan, kejijikan. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah kebijaksanaan.

2. Psikologi Hidup Rohani (Psiko-Spiritual)

F. Mardi Prasetya SJ dalam Psikologi Hidup Rohani menjelaskan konflik menurut teori Erikson. Konflik-konflik tersebut ada dalam delapan tahap krisis psikososial.

a. Percaya – Tidak Percaya

1. Bersedia untuk percaya pada orang lain, kemampuan untuk menerima sesuatu dari orang lain dan tergantung pada mereka.

(28)

b. Mandiri – Malu, Ragu-ragu

1. Kemampuan untuk menyatakan dan mengungkapkan diri, kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri tanpa kehilangan harga diri.

2. Kurang rasa harga diri yang tampak dalam rasa malu dan rasa kurang percaya diri yang terkandung dalam ragu-ragu pada diri sendiri. c. Inisiatif – Menyesal

1. Rasa bertanggungjawab, mampu dan disiplin untuk mengarahkan daya kekuatan untuk suatu tujuan.

2. Menyalahkan diri sendiri dengan keras, kaku dan moral (rasa kesal). Konflik seksual.

d. Rajin – Rasa Kecil

1. Kemampuan untuk mempertahankan daya kekuatan yang terarah hingga tujuan tercapai atau hingga tugas selesai.

2. Takut gagal atau tak mampu bersaing dengan orang lain. e. Identitas – Kacau Peranannya

1. Punya keyakinan untuk mampu menjaga kesamaan dan kesinambungan dari dalam dirinya, dan solider akan system nilai yang riil yang terkandung dalam konteks sosial dan kebudayaan.

(29)

f. Kehangatan – Menyendiri

1. Kemampuan untuk berhubungan secara intim dan berarti dengan orang lain dalam interaksi timbal balik yang memuaskan dan produktif.

2. Kebalikannya dari itu sebagai suatu kegagalan untuk menyadari penerimaan diri sendiri yang mantap dan dewasa.

g. Murah Hati – Egois

1. Memperhatikan dan mampu untuk menggunakan kemampuan-kemamuan produktif demi kesejahteraan orang lain.

2. Tiadanya perwujudan/tanda-tanda kemampuan yang produktif, atau justru menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut untuk kepentingan diri sendiri yang egois.

h. Integritas Diri – Putus Asa

1. Penerimaan akan diri sendiri dan segala segi kehidupan, dan integrasi unsur-unsur tersebut dalam pola hidup yang tetap.

2. Kurang dapat menerima diri sendiri dan hidupnya, yang dikaitkan dengan sikap merendahkan diri dan takut akan kematian.

(30)

Ph.L.Psych dalam Psikologi Hidup Rohani, dinamika motivasi didukung oleh tiga taraf hidup kejiwaan yang menyertai tiap pribadi, yaitu:

a. Taraf Psikofisik

Kemampuan yang berasal dari unsur-unsur bio-kimia, sensori motor dan instink dalam susunan organisme tubuh manusia. Bila terjadi kekurangan atau deficit dalam tubuh, maka muncul mekanisme yang mendorong tubuh untuk mencari pemuasannya, dan pribadi dapat merasa lapar, haus, lelah, mengantuk. Dorongan tersebut menciptakan kebutuhan biologis yang perlu untuk hidup somatis.

b. Taraf Psikososial

Kemampuan yang lahir dari kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial, seperti kebutuhan afeksi, cinta, kebutuhan menjalin hubungan dengan sesama, komunikasi timbal-balik, persahabatan, kebutuhan untuk menerima dan diterima, kebutuhan untuk mengenal dan dikenal, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, yang mendorong untuk membangun hidup sosial atau komunitas.

c. Taraf Spiritual-Rasional

(31)

Tiga taraf kemampuan hidup kejiwaan ini membuat pribadi dapat memiliki tiga taraf motivasi dalam hidupnya. Motivasi-motivasi ini diarahkan oleh apa yang disebut nilai, kebutuhan psikologis, dan sikap hidup. (Psikologi Hidup Rohani. h. 107-108).

Mardi Prasetya SJ dalam Psikologi Hidup Rohani menyebutkan ada empat macam golongan subyek dan kemampuan internalisasi

a. Golongan yang tidak sekedar bersarang dalam biara

Individu yang masuk dalam golongan ini adalah individu yang bertumbuh dalam penghendakan untuk menginternalisasikan nilai-nilai panggilan.

b. Golongan yang bersarang dalam biara

Individu yang masuk dalam golongan ini diam-diam dan secara bawah sadar mencari pemuasan kebutuhan psikologis di dalam institusi atau seminari yang dijalani, dan bukan bertumbuh di dalam internalisasi nilai-nilai panggilan. Ketekunan yang regresif dihadapan tugas pertumbuhan pribadinya sebagai manusia dan pertumbuhan panggilannya, apalagi dalam efektivitas kerasulan.

c. Golongan yang mau berubah

(32)

d. Golongan yang tidak dapat mengendalikan diri

Kemampuan untuk menghendaki (will) terbatasi oleh psikodinamika bawah sadar dalam hidupnya, maka juga tidak begitu terbuka untuk menghendaki (willing) nilai-nilai panggilan atau transendensi diri (tidak setia atas dasar alas an atau motivasi yang kurang dewasa). Dan akhirnya memutuskan keluar atau dikeluarkan.

3. Teori Aktualisasi

Carl Roger dalam Psikologi Pertumbuhan (1991) mengungkapkan bahwa kepribadian yang sehat itu bukan merupakan suatu keadaan dari ada tapi suatu proses. Aktualisasi diri ialah suatu proses yang sukar dan kadang-kadang menyakitkan, suatu ujian, rentangan, pecutan terus menerus. Ciri-ciri orang yang mampu beraktualisasi diri atau berfungsi sepenuhnya, diantaranya :

1. Keterbukaan pada pengalaman

Keterbukaan terhadap pengalaman merupakan lawan dari sikap defensif.

Individu yang berfungsi sepenuhnya dapat dikatakan lebih “emosional”

(33)

2. Kehidupan eksistensial

Individu yang berfungsi sepenuhnya dapat menyesuaikan diri karena struktur diri terus-menerus terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru.

3. Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri

Individu yang terbuka terhadap pengalaman serta menghidupkan pengalaman tersebut, maka individu yang sehat dapat membiarkan seluruh organisme mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi. Semua faktor yang relevan diperhitungkan dan dipertimbangkan serta dicapai keputusan yang akan memuaskan semua segi situasi dengan sangat baik.

4. Perasaan bebas

Individu yang sehat dapat memilih dengan bebas tanpa adanya paksaan, memiliki perasaan berkuasa secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya, tidak diatur oleh tingkah laku, keadaan, atau peristiwa-peristiwa masa lampau. Individu yang sehat melihat sangat banyak pilihan dalam kehidupan dan mampu melakukan apa saja yang mungkin ingin dilakukan.

5. Kreativitas

(34)

mereka. Tingkah laku spontan, berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai respons atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka-ragam.

Carl Roger dalam Psikologi Pertumbuhan (1991)Sifat-sifat khusus yang menggambarkan pengaktualisasi-pengaktualisasi diri

a. Mengamati realitas secara efisien

Kepribadian-kepribadian yang tidak sehat mengamati dunia menurut ukuran subyektif sendiri. Semakin obyektif indiviu mampu menggambarkan kenyataan, maka semakin baik kemampuan untuk berpikir secara logis, untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan yang tepat, dan pada umumnya untuk menjadi efisien secara intelektual b. Penerimaan umum atas kodrat, orang-orang lain dan diri sendiri

Individu yang sehat begitu menerima kodrat mereka, maka tidak harus mengubah atau memalsukan diri mereka. Tidak defensif dan tidak bersembunyi di belakang topeng-topeng atau peranan sosial, menerima diri apa adanya dan menerima kelemahan-kelemahan orang lain.

c. Spontanitas, kesadaran, kewajaran

Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri bertingkah laku secara terbuka dan langsung tanpa berpura-pura, namun tetap memiliki kebijaksanaan untuk mengungkapkannya dalam relasi sosial.

d. Fokus pda masalah-masalah di luar diri mereka

(35)

e. Kebutuhan akan privasi dan independensi

Individu yang mengaktualisai diri memiliki suatu kebutuhan yang kuat untuk pemisahan dan kesunyian. Meskipun tidak menjauhkan diri dari kontak sosial, tetapi tidak tergantung dengan orang lain. Hal ini berarti individu memiliki kemampuan membentuk pikiran, mencapai keputusan dan melaksanakan dorongan dan disiplin mereka sendiri.

f. Berfungsi secara otonom

Kepribadian yang sehat dapat berdiri sendiri dan tingkat otonomi mereka yang tinggi menaklukkan mereka, agak tidak mempan terhadap krisis-krisis atau kerugian-kerugian.

g. Apresiasi yang senantiasa segar

Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri senantiasa menghargai pengalaman-pengalaman tertentu bagaimanapun seringnya pengalaman-pengalaman itu terulang.

h. Pengalaman-pengalaman mistik atau “puncak”

Individu yang mengaktualisasikan diri mengalami ekstase, kebahagiaan, perasaan terpesona yang hebat dan , meluap-luap, sama seperti pengalaman-pengalaman keagamaan yang mendalam.

i. Minat sosial

(36)

tertekan atau marah karena tingkah laku orang lain, tetapi cepat memahami dan memaafkannya.

j. Hubungan antarpribadi

Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri mampu mengadakan hubungan yang lebih kuat dengan orang-orang lain daripada orang-orang yang memiliki kesehatan jiwa yang biasa.

k. Struktur watak demokratis

Perbedaan-perbedaan tidak menjadi masalah bagi pengaktualisasi-pengaktualisasi diri. Mereka sangat siap mendengarkan atau belajar dari siapa saja yang dapat mengajarkan sesuatu kepada mereka. l. Perbedaan antara sarana dan tujuan, antara baik dan buruk

Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri membedakan dengan jelas antara sarana dan tujuan. Selain itu, sanggup membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah.

m.Perasaan humor yang tidak menimbulkan permusuhan

Humor pengaktualisasi-pengaktualisasi diri bersifat filosofis, humor yang menertawakan manusia pada umumnya, tetapi bukan kepada seorang individu yang khusus. Humor ini kerapkali bersifat instruktif, yang dipakai langsung kepada hal yang dituju dan juga menimbulkan tertawa.

n. Kreativitas

(37)

dan lebih mengenai cara bagaimana kita mengamati dan bereaksi terhadap dunia dan bukan mengenai hasil-hasil yang sudah selesai dari suatu karya seni.

o. Resistensi terhadap inkulturasi

Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri dapat berdiri sendiri dan otonom, mampu melawan dengan baik pengaruh-pengaruh sosial, untuk berpikir atau bertindak menurut cara-cara tertentu. Mereka mempertahankan otonomi batin, tidak terpengaruh oleh kebudayaan mereka, dibimbing oleh diri mereka bukan oleh orang-orang lain.

Pengalaman krisis yang hendak dilihat dalam tulisan ini, diambil dari sudut pandang teori Erik Erikson. Teori Erikson menjelaskan lebih banyak mengenai dinamika krisis yang dialami oleh manusia, sedangkan dinamika motivasi dan teori aktualisasi Carl Roger melengkapi dinamika pengalaman krisis ketika membahas bagaimana subyek menghadapi pengalaman krisis yang dialami.

B. KEHIDUPAN PASTOR DAN DINAMIKA KRISIS

(38)

peserta bina menemukan panggilan hidupnya. Sasaran dari formasi adalah formandi menjadi dewasa, sanggup taat, hidup murni, dan melarat seumur hidup. Formandi atau peserta bina berlaku dan bersemangat mengikuti kristus.

Tantangan atau ancaman yang menghalangi tercapainya tujuan formasi adalah banyak para calon imam mengalami kegalauan hidup, Kegalauan itu bisa mengakar dalam alam bawah sadar dan menjadi gangguan hidup selanjutnya. Budaya sekular (materliasme, hedonisme, instanisme) menyebabkan pengalaman akan Allah tersingkir. Para calon imam dilahirkan, dibesarkan, dan dididik dalam masyarakat Indonesia yang multikultural, global, dan cybernetical, generasi ini hampir tidak pernah mengalami keheningan batin. Alasan orang muda tahun 2011 masuk biara atau mau menjadi imam adalah mencari alternatif atau mencari tempat untuk mapan, senang-senang berkat kelengkapan dan kepastian, serta adanya hiburan rohani.

Hans Zollner dalam artikel Die Rolle der Psychologie in der Priesterausbildung yang diterjemahkan oleh Bernhard Kieser (2011)

(39)

persetujuan untuk ditahbiskan menjadi pastor akan menerima sakramen imamat.

Krisis adalah suatu masa dimana individu mengalami titik balik dalam menghadapi konflik hidupnya. Pengalaman krisis ini terjadi tidak hanya sekali dalam perjalanan hidup seseorang, dan setiap individu pasti akan mengalami krisis dalam hidupnya.

Seorang pastor pun yang memiliki peran dalam pembinaan iman umat Katolik juga tidak lepas dari pengalaman krisis ini. Kehidupan pastor atau kaum tertahbis juga tidak lepas dari aktivitas pelayanannya. Dalam aktivitas pelayanannya seorang pastor juga harus mampu membaca kebutuhan tanda-tanda zaman di dunia yang selalu dinamis. Pada Konsili Vatikan II (Presbyterorum Ordinis) diungkapkan di dunia zaman sekarang ini banyak sekali tugas yang harus dijalankan, dan masalah-persoalan yang sangat beraneka yang mencemaskan orang-orang serta sering kali perlu segera mereka pecahkan, sehingga tidak jarang mereka terancam bahaya terombang-ambingkan kian-kemari. Oleh sebab itu, para imam sendiri yang terlibat dalam tugas tanggung jawab yang bertubi-tubi dan terbagi-bagi perhatiannya, dengan cemas dan bertanya-tanya, bagaimana mereka mampu memadukan kehidupan batin dengan kegiatan lahiriah mereka.

(40)

(50 tahun-dan seterusnya). Pada setiap tahap imamat terdapat kondisi perkembangan yang begitu unik, baik secara fisik, psikis, maupun rohani.

Berdasarkan pengamatan Mgr J. Sunarka, SJ dalam Tantangan dan Peluang Formasi Calon Imam dan Religius Muda di Indonesia (2011) hampir semua pastor yang baru saja ditahbiskan menjadi imam memasuki masa imamat romantis. Masa imamat romantis biasanya ditandai dengan rasa

“senang, mantap” berkat terpenuhinya harapan yang sudah mengiang di hati calon imam bertahun-tahun bahkan belasan tahun lamanya.

Perjalanan sebagai pastor muda tentunya akan mengalami tantangan. Tantangan yang muncul dalam kehidupan pastor berkaitan dengan tugas, hidup bersama rekan kerja, hidup doa, dan penghayatan keutamaan injili. Aneka tantangan yang muncul dalam kehidupan pastor muda maka diperlukan sikap bijak untuk mengatasinya. Tantangan inipun tidak hanya berhenti pada tahapan pastor muda tetapi dapat terjadi kapanpun dalam kehidupan seorang pastor.

(41)

dengan keinginan untuk memenuhi hasrat seksual melalui kegiatan sublimasi. Sedangkan konflik dengan masalah emosi (misalnya: perasaan kesepian, pemberontakan terhadap pimpinan tarekat, maupun ketakutan dalam menghadapi peristiwa kematian yang kelak dihadapi) diatasi dengan kepasrahan pada Tuhan. Tindakan sublimasi dan sikap pasrah pada Tuhan tersebut akhirnya membantu seluruh subyek menuju kesejahteraan emosional dalam menghadapi mid-life crisis.

Tiara M. Ayu dan Monty P. Satiadarma juga menambahkan bahwa penelitian ini memiliki ruang lingkup yang terbatas. Hal tersebut terjadi karena penulis hanya memfokuskan kajian penelitiannya pada kondisi emosional dari para subyek penelitian dalam menghadapi mid-life crisis. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya diharapkan tidak hanya mengulas kondisi emosional dari para subyek penelitian namun juga kondisi psikologis secara keseluruhan. Selain itu, kedua peneliti tersebut juga menganjurkan agar peneliti selanjutnya tidak hanya terfokus pada problematik yang dihadapi di usia pertengahan dan disarankan pula untuk mengulas kehidupan kaum selibat pada masa kecil, masa remaja, masa muda, maupun lanjut usia.

(42)

dialaminya. Pengalaman hidup dan pengalaman krisis menjadi satu perjalanan hidup yang dapat mengurai bagaimana seorang pastor dapat menghadapi krisis dalam hidupnya.

C. PERTANYAAN PENELITIAN

Dalam penelitian kualitatif, pertanyaan penelitian adalah hal yang sangat penting dan mendasar untuk melakukan suatu penelitian. Ada dua macam penelitian pada penelitian kualitatif ini. Pertanyaan pertama adalah central question dan pertanyaan kedua adalah subquestion. Berikut adalah

pertanyaan penelitian dalam penelitian kualitatif. 1. Central Question

Central question adalah pertanyaan utama dalam penelitian ini. Central

question pada penelitian ini adalah bagaimana pengalaman krisis dalam

kehidupan subyek? 2. Subquestion

Subquestion adalah pertanyaan yang mengarah pada pertanyaan penelitian

utama. Subquestion pada penelitian kualitatif ini adalah:

a. Bagaimana pengalaman masa lalu subyek sebelum mengikuti proses formasi?

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. STRATEGI PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami suatu Central Phenomenon, suatu proses atau kejadian suatu fenomena, atau suatu konsep yang terlalu kompleks untuk diuraikan variabel-variabel yang menyertainya (Creswell, 1998). Penelitian kualitatif ini menggunakan penelitian psikologi naratif.

Narasi berkaitan dengan cara-cara manusia membentuk makna terhadap dunia yang selalu berubah. Menurut Murray dalam Psikologi Kualitatif (2009) manusia terlahir ke dunia kisah, dan manusia menjalani hidup dengan cara mencipta dan mengubah narasi. Narasi dapat didefinisikan sebagai interpretasi terorganisir atas sekuensi peristiwa. Interpretasi tersebut merupakan suatu laporan yang memiliki tiga komponen: awal, tengah, dan akhir. Bettina Becker dalam Psikologi Kualitatif (2009) pernah menyatakan bahwa dalam dunia kita, angka tiga memiliki kualitas khusus, sehingga narasi memiliki struktur yang tuntas, tidak seperti wacana yang tak berujung-pangkal. Berdasarkan hal itulah, partisipan dapat menceritakan pengalaman dari awal hingga akhir cerita, sehingga cerita pengalaman partisipan tersebut dapat didefinisikan sebagai interpretasi terorganisir.

(44)

Dalam penelitian ini, tujuan peneliti menggunakan narasi adalah agar memungkinkan partisipan untuk mendeskripsikan pengalaman dan mendefinisikan diri. Dalam membangun suatu narasi personal, partisipan dapat memilih beberapa aspek kehidupannya dan mengkaitkannya dengan yang lain. Proses demikian menegaskan bahwa kehidupan partisipan bukanlah suatu sekuensi peristiwa yang tidak berkaitan, melainkan memiliki suatu tatanan tertentu. Proses pembentukan identitas narasi tersebut bersifat dinamis dan terjadi dalam konteks sosial dan personal yang selalu berubah. Dengan demikian dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor dapat dilihat melalui peristiwa yang memiliki tatanan tertentu dan terjadi dalam konteks sosial ataupun personal yang selalu berubah.

B. LATAR BELAKANG PENELITI

(45)

Diskripsi pengalaman peneliti yang relevan dengan problem yang diteliti. Latar belakang subyek yang relevan dengan problem yang diteliti adalah pengalaman pendidikan yang pernah ditempuh peneliti. Peneliti pernah mengalami pendidikan di Seminari Menengah sampai tahun ke 4. Namun satu bulan sebelum melanjutkan ke Seminari Tinggi, peneliti memutuskan untuk keluar atau mengundurkan diri.

Keterkaitan antara peneliti dengan lokasi maupun individu atau kelompok masyarakat yang diteliti. Peneliti tidak memiliki keterkaitan apapun dengan individu yang menjadi subyek dalam penelitian. Individu yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah individu-individu yang baru dikenal peneliti. Begitu pula dengan lokasi tempat dimana subyek berada, peneliti memilih lokasi di daerah Yogyakarta karena selain kemampuan jarak yang mudah ditempuh, juga sebagai lokasi yang netral, karena peneliti berasal dari luar Yogyakarta.

(46)

untuk bertemu membicarakan mengenai penelitian. Ketiga, melakukan pertemuan dengan calon subyek. Pertemuan ini membicarakan mengenai perkenalan latar belakang peneliti, latar belakang penelitian beserta tujuan dan manfaat, apa yang diinginkan peneliti bagi calon subyek, bagaiman proses pengumpulan data dilakukan, termasuk menjelaskan kode etik penelitian. Keempat, mendapat persetujuan dari calon subyek untuk menjadi subyek penelitian. Kelima, membicarakan proses penelitian.

Proses penelitian ini juga tidak lepas dari isu-isu etis yang mungkin timbul. Isu-su etis yang mungkin timbul adalah subyek melakukan mekanisme pertahanan diri untuk menutupi kisah dan ketidaksanggupan subyek dalam melanjutkan proses penelitian, sehingga dapat mengurangi kelengkapan data yang diinginkan. Akan tetapi, isu-isu yang mungkin akan timbul ini dapat diatasi dengan melakukan raport terhadap subyek. Raport yang diberikan kepada subyek adalah dengan meyakinkan subyek bahwa proses penelitian ini memiliki prosedur yang sesuai dengan kode etik penelitian psikologi, sehingga data pribadi subyek dapat dijamin kerahasiaannya oleh penulis. Hal ini yang menjadikan subyek bersedia untuk menceritakan pengalaman hidupnya. Sepanjang wawancara ada beberapa catatan yang dibuat oleh penulis untuk mengklarifikasikan kembali data yang diperoleh.

C. PENGUMPULAN DATA

(47)

pengalamannya. Dalam penelitian ini wawancara yang digunakan adalah wawancara kisah kehidupan (life-story). Wawancara kisah kehidupan ini bertujuan untuk mendorong partisipan (subyek) menyampaikan uraian panjang lebar tentang kehidupannya. Pertanyaan yang diajukan adalah ceritakan tentang perjalanan hidup anda dari masa kecil hingga besar. Narasi bukan sekedar kisah kehidupan dalam artian umum, melainkan juga kisah-kisah tentang pengalaman, terutama permasalahan hidup sehari-hari. Kisah yang ingin dimunculkan adalah tentang pengalaman krisis dari konflik yang dihadapi, pertanyaan yang diajukan ceritakan konflik-konflik yang dihadapi anda sehingga memunculkan krisis. Dalam seting wawancara peneliti dapat mendorong partisipan untuk menceritakan kisah mengenai pengalaman-pengalaman perubahan atau gangguan dalam hidup mereka (Flick dalam Psikologi Kualitatif, 2009), misalnya dengan pertanyaan apa penyebab konflik itu? Bagaimana anda menghadapi krisis itu? Bagaimana anda memandang krisis yang anda alami saat itu?

Dalam narasi, peneliti ditantang untuk meyakinkan partisipan bahwa partisipan tertarik terhadap uraian narasinya. Dengan demikian, peneliti harus menyampaikan pertanyaan-pertanyaan tambahan untuk mendapatkan klarifikasi.

D. PROSEDUR ANALISIS DATA

(48)

Murray (2008) dengan membaca narasi yang telah ditranskripsi secara cermat mengawali kedua fase tersebut. Membaca uraian narasi memiliki tujuan agar peneliti menjadi familiar dengan struktur dan isinya. Analisis juga akan dapat mencermati sub-alur dalam narasi dan memperhatikan berbagai keterkaitan diantaranya. Ringkasan yang dibuat akan menyoroti ciri-ciri tertentu yang dirasa menarik bagi peneliti. Dengan membaca antar ringkasan, memungkinkan diperolehnya gagasan mengenai isu-isu utama yang muncul (Mishler dalam Psikologi Kualitatif, 2009). Melalui proses pembacaan secara ketat inilah kerangka coding dapat dikembangkan yang kemudian dapat diterapkan pada berbagai narasi.

Tahap kedua adalah mengkaitkan narasi dengan literatur teoritis yang lebih luas yang digunakan untuk menginterpretasi kisah yang bersangkutan. Hal ini memerlukan familiaritas simultan dengan uraian narasi dan literatur yang relevan sehingga sesuatu dapat dikaitkan dengan yang lain secara memadai. Fase analisis ini mengarah pada pelabelan suatu uraian sebagai jenis tertentu, yang menggambarkan isi teoritisnya (Michael Murray, 2008).

E. KREDIBILITAS PENELITIAN

(49)

orientasinya dalam upayanya mendalami dunia empiris dengan menggunakan metode yang paling cocok untuk pengambilan dan analisis data (Sarantakos dalam Poerwandari, 1998).

(50)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. PENGALAMAN KRISIS SUBYEK 1 (YI)

Subyek satu dengan inisial YI adalah pastor tarekat. YS merupakan anak pertama dari enam bersaudara. YI dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga Katolik. Kedua orang tua YI berasal dari Klaten, akan tetapi tinggal di daerah Majenang, Cilacap. Sebagai keluarga Katolik, YI sejak kecil mendapatkan pendidikan agama Katolik dari kedua orangtuanya. Maka dalam kehidupan menggereja YI terlibat aktif dalam pelayanan menjadi misdinar. Sebagai remaja, YI tumbuh seperti remaja pada umumnya, salah satunya adalah ketertarikan dengan lawan jenis. Akan tetapi, rasa tertarik itu tidak diungkapkan YI untuk menjalin sebuah hubungan.

Pengalaman hidup menggerja YI yang cukup sulit, dimana saat itu para pastor yang melayani parokinya harus pulang ke negara asal masing-masing, sehingga pelayanan gereja menjadi terhambat. Kondisi ini kemudian menjadi motivasi awal YI yang tergerak hatinya untuk menjadi pastor. Setelah menyelesaikan SMA, YI meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk mendaftar ke Seminari. YI pun diterima dan masuk ke Seminari Menengah. Selama satu tahun YI merasakan pendidikan di Seminari Menengah dan kemudian melanjutkan studinya ke Seminari Tinggi.

Berdasarkan hasil wawancara dalam data berupa narasi YI, ada tiga pengalaman krisis yang dialami. Dua pengalaman krisis terjadi ketika YI

(51)

menempuh pendidikan (formasi) di Seminari Tinggi. Satu pengalaman krisis terjadi setelah YI ditahbiskan menjadi pastor. Pengalaman krisis yang dialami YI selama masa formasi berkaitan dengan relasi YI dengan keluarga dan relasi YI dengan institusi (Seminari Tinggi). Relasi YI dengan keluarga berkaitan dengan status YI sebagai anak pertama. Sedangkan pengalaman krisis setelah subyek ditahbiskan berkaitan dengan pengalaman sakit.

1. Krisis Relasi dengan Keluarga (Peran sebagai Anak Pertama)

Narasi YI menceritakan bagaimana posisi dirinya sebagai anak pertama (sulung) dari 6 bersaudara mempengaruhi pemikirannya. Drs. Agus Sujanto, dkk dalam Psikologi kepribadian (2006) mengungkapkan bahwa anggapan umum yang kurang tepat ialah anak sulung tentu membawa beban terberat diantara saudara-saudaranya. Pendapat semacam itu timbul sehingga terkesan bahwa anak sulung nantinya akan memiliki tanggung jawab terhadap adik-adiknya setelah kedua orangtua tidak ada.

“Ya mungkin, karena saya melihat dan merasakan tidak sampai hati

perjuangan orang tua seperti itu, ada perasaan prihatin sebagai anak pertama. Sebagai anak pertama saya merasa tidak bisa hanya tinggal diam seperti ini, tergugah hati saya sebagai anak pertama untuk wajib

membantu orang tua”

Hal ini yang mempengaruhi pemikiran YI untuk keluar dari panggilannya menjadi Pastor.

(52)

Pastor dan ingin pulang untuk membantu orangtua. Selain itu, kondisi ini mempengaruhi hidup rohani subyek, misalnya mengganggu konsentrasi subyek dalam berdoa.

Berdasarkan narasi pengalaman ini dapat diselesaikan subyek dengan cara mengambil waktu untuk merenung. Merenung sampai batas kesadaran dimana subyek mampu berefleksi mengenai langkah yang akan diambil.

“Pikiran tersebut coba kuolah dalam permenungan dan doa…..”

“Setelah melewati pergulatan yang cukup, akhirnya saya sampai kepada kesadaran berupa pertanyaan refleksif “Apakah ada jaminan, kalau saya

keluar pasti akan menyelesaikan masalah yang dihadapai orang tua? Atau malah peristiwa keluarnya saya dari Seminari malah akan menambah

beban orang tua?”

“Proses pengolahan pertanyaan refleksif itu membawa saya kembali

kemotivasi dasar dan pengalaman sebelumnya sewaktu saya ingin menjadi

seorang Pastor….”

“Dari motivasi itu juga yang mengarahkan kembali ke jalan atau tujuan saya menjadi imam, sehingga jika ada arah menyimpang dari tujuan itu,

saya harus kembali ke tujuan itu”

(53)

Pastor. Selain itu, peran pembimbing rohani juga memberikan kekuatan subyek untuk mempertahankan panggilannya.

Narasi YI mengenai peran sebagai anak pertama menggambarkan narasi progresif. Narasi progresif adalah narasi yang menggambarkan kehidupan sebagai suatu rangkaian tantangan yang mengandung kesempatan untuk maju. YI merefleksikan peristiwa yang dialaminya dan menjadikan kesempatan ini untuk menguatkan (melihat kembali motivasi awal) panggilannya sebagai pastor.

Konflik dalam narasi ini masuk dalam krisis psikososial inisiatif versus rasa bersalah. YI merasa sebagai anak pertama ikut bertanggungjawab membantu kedua orangtuanya. Hal ini membuat YI merasa cemas dan ingin mengundurkan diri dari masa formasi. Kekuatan dasar dari konflik ini adalah tujuan. YI melihat kembali apa yang dialami melalui proses refleksi dan mengarahkan kembali tujuan (melihat motivasi awal) panggilannya menjadi pastor.

2. Krisis Relasi dengan Instansi Formasi (Seminari Tinggi)

Narasi kedua menceritakan mengenai keraguan YI memilih seminari tinggi. YI merasa ragu ketika melihat dan merasakan perbedaan gaya hidup di seminari tinggi dengan seminari menengah.

“Saya melihat kehidupan di Seminari menengah dan disini (Seminari

Tinggi) berbeda”

“Kalau di Seminari menengah semua di atur secara tertib dan disiplin,

sedangkan disini tidak, misalnya pulang harus minggu malam, tapi ada yang pulang senin pagi tapi tidak ditegur. Hal ini terjadi karena pendekatan Romo Rektor yang berbeda, beliau berprinsip “ya kalau ada teman-teman yang melanggar nggak pernah ditegur barangsiapa yang

(54)

YI merasa ragu apakah pilihannya bergabung dengan tarekat OMI merupakan pilihan yang tepat atau tidak. Bahkan dalam hidup rohani subyek juga mengalami penurunan. Hidup rohani yang dimaksud seperti berdoa.

“saya mulai merasa ragu-ragu”

Lalu melihat kehidupan keteraturan yang berbeda itu membuat saya

ragu-ragu, “apakah saya tidak salah pilih?”

Saya merasakan “kok hidup rohani rasanya turun ya dari seminari

menengah?”

Apa yang dialami, oleh YI dibicarakan kepada pembimbing rohani. Peran pembimbing rohani dalam memberikan masukkan cukup penting. YI tidak diberikan jawaban langsung oleh pembimbing rohani, namun diberikan pertanyaan untuk direfleksikan. YI pun membanya dalam permenungan, mengambil waktu hening untuk merenungkan permasalahan yang dihadapi.

“Hal ini membawa saya pada permenungan”

saya mulai berpikir membawa saya pada kesadaran ini “OMI ini hanya salah satu dari OMI dan jika saya memilih OMI terus berpikir seperti ini berarti hanya emosionalku saja, belum tentu semua OMI seperti yang aku

rasakan”

Kesadaran ini mengembalikan YI pada jalan panggilannya untuk menjadi Pastor. Agar semakin dikuatkan subyek juga berdoa. Melalui pengalaman ini YI juga berpikir bahwa diri pribadi memiliki peran penting dalam menghadapi situasi, tidak perlu menuntut orang lain.

“Selain itu, masalah ini saya bawa juga dalam doa”

(55)

” waktu itulah saya mulai berubah dari dalam diri sendiri”

Narasi YI mengenai relasi dengan instansi formasi menggambarkan narasi progresif. Narasi progresif adalah narasi yang menggambarkan kehidupan sebagai suatu rangkaian tantangan yang mengandung kesempatan untuk maju. YI merefleksikan peristiwa yang dialaminya dan menjadikan kesempatan ini untuk menguatkan panggilannya sebagai pastor misionaris. Pengalaman masa lalu YI mengenai kondisi hidup menggereja dan kesadaran bahwa peristiwa tersebut hanyalah emosi saja yang menjadikan YI semakin yakin akan panggilannya.

Konflik dalam narasi ini masuk dalam krisis psikososial otonomi versus rasa malu. YI merasa ragu-ragu terhadap keputusannya mengambil jalan sebagai seorang calon pastor misionaris. Kekuatan dasar dari konflik ini adalah kemauan. Kemauan YI untuk berefleksi dengan mengingat kembali pengalaman hidup menggereja di masa lalu serta kemampuan YI untuk menyatakan diri bahwa peristiwa ini hanyalah emosi menjadikan YI dapat melalui konflik ini.

3. Krisis Fisik (Pengalaman Sakit)

(56)

“………..rambut rontok terus botak”

“…….Lutut terasa lemah, kalau berdiri hanya bisa bertahan 10 menit dan

berjalan 200 meter; mulut luka- sariawan berkepanjangan dan sulit untuk makan; setelah menerima kemoterapi hingga sampai 1 minggu, muntah-muntah sampai kram perut dan sulit tidur hingga 3.30 pagi. Ketika kemoterapi biasanya merasa tersiksa karena maunya muntah perut tidak terisi sampai keluar getah kuning, makan muntah, yang penting makan terus makan meskipun muntah, saat itu, saya dititipkan di stasi, malam tidak bisa tidur hampir seminggu, kalau sudah seperti itu saya hanya mendengarkan lagu, ada luka dibibir kalau makan sakit sampai keluar air

mata”

YI merasa perubahan fisik yang dialaminya membuat dirinya mengalami rasa kesepian, menginginkan sosok ibu untuk merawat, mudah menangis, merasa tidak berdaya, membutuhkan teman yang mengerti, memperhatikan, dan merawat.

“Secara emosional saya pun labil, bila bertemu orang atau teman dekat

atau dikunjungi orang, menangis dengan sendirinya dan bila menceritakan pengalaman sakit juga menangis. Dalam situasi yang demikian, saya merasa bahwa saya sungguh-sungguh tak berdaya dan tergantung dari

belas kasih orang lain . “Lalu juga ketika keadaan sakit ada perasaan bahwa saya tidak berguna…”

“membutuhkan figur seorang ibu yang merawat, memperhatikan dan mendengarkan. Saya senantiasa merindukan kehadiran orang yang dengan setia hadir menemani dan mendengarkan saya, merawat dan memperhatikan saya serta memenuhi kebutuhan psikologis saya. Kadang-kadang ingin diperhatikan dengan dikirimi makanan, dengan menceritakan atau mengungkapkan kesedihan, mengirimkan snack, jus, jadi seperti

membutuhkan teman yang mampu mengerti, memperhatikan, merawat…”

(57)

salah satu hal yang tampak dalam masa permenungan ini. YI juga merasakan bahwa dukungan orang lain (umat) sangat berarti.

“Sebelum terkena kanker kedua tahun 1998, saya ikut kursus pengolahan

rohani, semacan persiapan menerima kanker kedua”

“Retret ini juga membawa saya pada permenungan bahwa kasih Alllah

yang tanpa syarat. Saya berpikir

“oya disaat saya menderita ada umat yang datang memperhatikan, jadi

dalam keadaan sakit pun pengolahan hidup rohani masih, jadi pengalaman sakit itu tidak merasa ditinggalkan Allah, orang-orang yang setia merawat

itu masih”

“akhirnya saya merasa dan muncul sikap penyerahan tentang apapun yang terjadi besok saya siap”

“tapi toh bukannya umat lari tapi justru perhatian dengan membawa makanan, lalu dari situ saya berpikir bahwa Tuhan tidak pernah pergi, saya

tidak ditolak, tidak dijauhkan…”

Ketika melihat ketiga narasi pengalaman subyek yang berkaitan dengan pengalaman krisis dirinya sebagai seorang Pastor, subyek merasa bahwa pengalaman krisis merupakan pengalaman yang biasa terjadi pada semua orang termasuk para Pastor.

“Dengan krisis, hal biasa yang terjadi dalam hidup, tinggal bagaimana cara

menghadapinya, ada yang bisa meskipun harus bersusah-payah terlebih

dahulu.”

Subyek juga memandang bahwa krisis yang dialaminya sangat dibantu oleh kesetiaannya dalam berdoa dan berefleksi. Doa dan refleksi memampukan subyek berpikir jernih untuk menentukan pilihan dari permasalahan yang dihadapi.

“Pergulatan saya yang bermuara pada kesadaran tersebut amat terbantu

kesetiaan saya dalam hidup doa dan refleksi”

“Saya mulai menyadari ketergantungan psikologis saya”

“Maka diawali dengan kesadaran akan adanya ketergantungan psikologis

itu, saya mulai berjuang untuk keluar dari kelekatan psikologis yang saya

(58)

Dukungan orang lain, seperti pembimbing rohani atau rekan Pastor senior juga membantu YI dalam menghadapi krisis yang dialami.

Narasi YI mengenai pengalaman menderita sakit menggambarkan narasi progresif. Narasi progresif adalah narasi yang menggambarkan kehidupan sebagai suatu rangkaian tantangan yang mengandung kesempatan untuk maju. Sakit kanker yang dialami YI merupakan kesempatan untuk maju dengan merefleksikan peristiwa yang dialaminya sehingga YI tetap bertahan dan berkarya sebagai pastor.

Konflik dalam narasi ini masuk dalam krisis psikososial integritas versus keputusasaan. Pada awalnya YI merasa kurang dapat menerima diri sendiri dan hidupnya dalam menghadapi sakit yang dialaminya. Hal ini membuat YI merasa kesepian dan tidak berdaya. Kebiasaan YI berefleksi menjadikan dirinya dapat melihat hikmah dari sakit yang dialami melalui proses refleksi. Selain itu, pengalaman sakit sebelumnya menjadikan YI lebih siap dalam menghadapi sakit untuk kedua kalinya. Hal ini merupakan kekuatan dasar dari konflik pada tahap krisis psikososial yaitu kebijaksanaan.

4. Kesimpulan

(59)

Berdasarkan tahap psikososialnya ada tiga krisis yang dialami, yaitu inisiatif versus rasa bersalah, otonomi versus rasa malu (keraguan), dan integritas versus keputusasaan. Kekuatan yang muncul dari tahap krisis psikososial ini adalah tujuan, kemauan, dan kebijaksanaan. Krisis merupakan kesempatan untuk melihat kembali konflik yang dihadapi. Refleksi merupakan kesempatan untuk melihat kembali konflik yang dihadapi. Refleksi didukung kuat oleh motivasi dan pembelajaran pada pengalaman sebelumnya.

B. PENGALAMAN KRISIS SUBYEK 2 (BM)

Subyek kedua dengan inisial BM adalah seorang pastor projo. BM berasal dari Sleman, Yogyakarta. Kedua orang tua BM sudah bercerai sejak BM lahir. BM kemudian diasuh oleh ayahnya dan ayah BM menikah lagi hingga empat kali. Meskipun BM memiliki empat ibu tiri, tetapi BM adalah anak tunggal. Keluarga BM bukan keluarga Katolik. Kehidupan masa kecil BM diwarnai dengan relasi yang kurang harmonis dengan kedua orangtuanya. BM menceritakan bagaimana perlakuan ayahnya, manakala BM menyebut istilah ibu tiri. BM tidak merasakan kedekatan dengan orangtuanya. Meskipun dengan kelainan fisik yang dimiliki sejak kecil BM mampu menyesuaikan dan bergaul dengan orang-orang di sekitarnya.

(60)

tertarik dan perlahan-lahan belajar agama lalu dibaptis. Setelah menjadi seorang Katolik, BM tidak langsung termotivasi untuk menjadi pastor. BM menceritakan bahwa motivasi panggilannya menjadi pastor dapat dikatakan dangkal. Bahkan dengan kondisi fisik yang tidak mendukung, BM mengatakan banyak kendala untuk masuk Seminari. Akhirnya dengan usaha yang dilakukan, BM pun diterima di Seminari Menengah. Kehidupan di Seminari Menengah dilalui dua tahun, sebenarnya BM dapat menempuh pendidikan hanya satu tahun. Namun BM memilih dua tahun dengan alasan ingin lebih mempersiapkan diri sebelum masuk Seminari Tinggi. Kehidupan di Seminari Tinggi ternyata tidak sejalan dengan keinginan BM. BM memiliki harapan, namun harapan itu tidak ditemukan. Hingga akhirnya BM sempat mengundurkan diri dan hidup di luar Seminari. Kehidupan di luar ternyata tidak melupakan keinginannya untuk menjadi pastor, oleh karena itu BM kembali ke Seminari Tinggi dan meneruskan panggilannya menjadi pastor.

Berdasarkan data wawancara, BM mengungkapkan 3 narasi pengalaman krisis. Krisis yang dialami BM adalah pengalaman relasi dengan keluarga berkaitan dengan pola asuh dan status dalam keluarga, pengalaman dalam karya atau tugas sebagai pastor, dan pengalaman relasi dengan lawan jenis.

1. Krisis Relasi dengan Keluarga (Status dan Pola Asuh)

(61)

mulai dari status hingga pola asuh yang diterimanya. BM adalah anak tunggal, sejak lahir kedua orangtua sudah bercerai.

“ketika saya masih di dalam kandungan bapak-ibu saya cerai…”

Ayah BM pun menikah beberapa kali (kawin-cerai), sehingga BM memiliki beberapa ibu tiri.

“…saya mengalami beberapa ibu tiri, paling ga 4 ibu tiri, dari ini tidak

punya anak selain saya…”

Status anak tunggal menurut Drs. Agus Sujanto, dkk dalam Psikologi Kepribadian merupakan tumpuan harapan kedua orangtuanya. Anak tunggal memiliki perlakuan istimewa, namun juga mendapat tuntutan dari kedua orangtuanya. Namun dalam narasi, BM tidak menceritakan bagaimana pengalaman mengenai harapan dan perlakuan istimewa yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Hal ini dikarenakan sejak kecil BM diasuh oleh neneknya.

“….kemudian saya diambil bapak saya, diasuh oleh nenek saya.”

Pola asuh yang diberikan oleh sang nenek dirasakan BM terlalu mengekang, banyak larangan yang diberikan kepada BM. BM merasa hal ini terjadi karena status sosial keluarganya termasuk golongan priyayi yang tidak memperbolehkan bergaul dengan sembarang orang. Namun BM tidak terpengaruh dengan larangan itu, BM pun bergaul dengan siapa saja.

(62)

menyenangkan dari ayahnya, ketika BM mengatakan bahwa ibunya adalah ibu tiri.

“Dulu memang ketika misalnya nanya siapa yang bilang kalo ibumu itu

ibu tiri?saya ga mau jawab woooo itu saya ditempeleng, sampai saya dikencingi apa itu mulut saya, disuruh ngaku, tapi saya ga ngaku waktu itu, 3 SD wktu itu, sehingga saya keluarga itu ga, keluarga itu ga”

Akibatnya BM mengalamai masa-masa sulit, yang dikatakan BM sebagai hilangnya rasa mesra dengan orang tua. BM merasa bahwa dirinya tidak memiliki rasa mesra dengan orang tua. Hal inilah yang mengganggu subyek selama masa formasi di Seminari Tinggi. Subyek berusaha untuk menunda masa pendidikannya karena merasa tidak pantas untuk menjadi Pastor jika tidak ada rasa mesra dengan orangtuanya. Bahkan jauh sebelum masuk Seminari subyek pada masa kecilnya pernah memiliki niat untuk membunuh ibu tirinya.

“…Saya sejak SR ya Sekolah Rakyat sudah pernah mau membunuh ibu

saya, ibu tiri saya…”

“…sehingga saya harusnya tidak boleh ikut topper tahun orientasi

pastoral itu”

“saya berjuang untuk menunda tapi ternyata tidak bisa…”

“…saya gelisah tapi saya bertahan ya sampai sekarang…”

“…tapi karena mesra itu ukurannya mesra ya afektif ya, saya tidak

ada.sampai sekarang…”

(63)

“…saya masih tidak bisa mesra dengan orang tua,tapi saya belajar untuk

mencintai orang tua karena saya ingin menjadi imam…”

“…lalu Rm.Mangun mengatakan cinta itu tidak melulu dengan orang tua,kalau tidak tau orang tuanya lalu dicariin itu wayang…ya ga mesti begitu ..ya saya selalu mendapatkan bimbingan itu saya mencoba…ya

begitu”

Konflik BM dalam hubungannya dengan keluarga, merupakan hasil dari pengalaman hubungan BM dengan keluarga di masa lalu. BM yang merasa tidak memiliki kemesraan dengan kedua orangtuanya, menjadi beban pikiran ketika BM yakin untuk menjadi seorang Pastor. Sehingga sumber konflik yang dialami BM adalah tidak adanya hubungan mesra dengan orang tua. Hubungan yang kurang mesra ini mengganggu perasaan dan pikiran BM terlebih ada anggapan bahwa bagaimana bisa menjadi pastor jika hubungan dengan orang tua tidak mesra. Konflik ini dapat dibantu dengan bimbingan dari pastor senior, dimana BM mencoba membagi pengalamannya. BM pun merasa dikuatkan dan belajar terus untuk berdamai dengan masa lalu.

Referensi

Dokumen terkait