• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagi Peneliti Selanjutnya

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dapat dikatakan jauh dari sempurna, oleh karena itu peneliti menyarankan kepada para peneliti selanjutnya jika ingin mengembangkan penelitian ini, jumlah subyek perlu ditambah. Hal ini dilakukan agar dapat memperkaya data dan informasi, sehingga dapat membantu menjelaskan pengalaman krisis lebih dalam. Selain itu, untuk menambah wawasan peneliti juga bisa menggunakan metode partisipasi aktif yang merupakan salah satu teknik penelitian kualitatif. Dengan demikian diharapkan lebih memiliki peluang besar dibandingkan dengan penulis untuk menjalin rapport yang semakin baik dengan para subyek penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. (1991). Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Ayu, Tiara.,&Satiadarma,Monty.(2005). Dinamika Emosional Kaum Selibat dalam Menghadapi MIDLIFE CRISIS.Arkhe, 2, 59-75.

Creswell, J. W. (1998). Qualitative inquiry and research design choosing among five traditions, California : Sage Publications, Inc.

Gremes, Agus. (1989). Identitas dan Siklus Hidup Manusia Bunga Rampai I. Jakarta:PT. Gramedia.

Indrapradja, FX, OFS. (2010). Imam sebagai Pelayan Sabda Allah. diunduh http://caritasdei.weebly.com/2/post/2010/01/imam-sebagai-pelayan-sabda- allah-1.html tanggal 27 Juli 2013.

Madya U, Ignatius. (2002). Tengah Umur: Kesempatan Menjadi Sang Pencipta. Religius dan Krisis Tengah Umur. Rohani, 5, 4-11.

Poerwandari, Kristi. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta : Fak Psikologi UI.

Prasetya, Mardi, SJ. 1993. Psikologi Hidup Rohani. Yogyakarta:Kanisius.

Ramadhani, Deshi.(2011). Mengurai Kusutnya Rantai Tahap Hidup Selibat. Spiritualitas dan Kedewasaan Manusia, 22-29.

Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan Model-Model Kepribadian Sehat. Yogyakarta:Kanisius

Setyawan, A. (2002). Krisis Tengah Umur=Krisis Panggilan?. Religius dan Krisis Panggilan. Rohani, 5, 12-19.

Smith, J.A. (Ed.).(2009).Psikologi Kualitatif: Panduan Praktis Metode Riset. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Sujanto, Agus.,Lubis, Halem.,&Hadi, Taufiq. (2006). Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Suparno, Paul. (2002). Konflik Dalam Hidup Membiara. Kaul Biara. Rohani, 5, 31-35.

Sunarka, J, SJ. 2011. Tantangan dan Peluang Formasi Calon Imam dan Religius Muda di Indonesia. Yogyakarta:Kanisius. Rohani no 08 th ke-58

Sunarka, J, SJ. 2013. Perjuangan dan Kebahagian Imam-Imam Muda. Yogyakarta:Kanisius. Rohani no 07 th ke-60

Wuryanto, R. (2010). Pedoman lengkap EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Yogyakarta: Penerbit UAJY.

Zollner, Hans.,&Cucci, Giovanni.(2011). Peran Psikologi dalam Pendidikan Imam. Spiritualitas dan Kedewasaan Manusia, 4-7.

LAMPIRAN

LAMPIRAN I:

A.

SUBYEK 1

Ceritakan bagaimana masa kecil Romo?

Saya dilahirkan 21 Juli 1962, sebagai anak pertama dari enam bersaudara. Bapak dan ibu berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Bapak, ibu tinggal dan bekerja sebagai guru SD di daerah majenang, cilacap, Jawa Barat sejak tahun 1955. Sejak kecil orangtua saya mengajarkan iman katolik. Waktu SD saya satu-satunya siswa yang beragama katolik, namun demikian bapak selalu mengajarkan doa dan menjadikan hari minggu sebagai hari khusus ke gereja. Setiap pagi saya diajarkan untuk doa pagi, kebiasaan ini mungkin terbawa oleh bapak yang lulusan asrama guru di ambarawa.

Lalu bagaimana kehidupan menggereja Romo saat itu?

Kehidupan menggereja saat itu memang sangat sulit. Paroki saya adalah paroki cilacap, dan saya biasanya gereja di stasi. Misa pun tidak setiap minggu diadakan di stasi. Saya juga aktif ikut misdinar dan sering ikut pastor ke stasi- stasi. Karena kebiasaan itu, saya memiliki kebiasaan untuk doa Malaikat Tuhan jam 6 pagi, jam 12 siang, dan jam 6 sore dan doa Rosario di sore hari juga.

Ceritakan bagaimana Romo awalnya merasakan panggilan untuk menjadi Pastor?

Kalau dibilang sejak SD tidak ya, hanya saya merasa dan kelihatannya dasar- dasar panggilan itu sudah ada di dalam keluarga yang diberikan kepada saya sejak kecil. Dengan diajarkan untuk rutin berdoa dan aktif mengikuti kegiatan gereja seperti misdinar. Kebiasan-kebiasan itu berjalan terus hingga saya duduk di SMP sampai SMA. Saya merasa terpanggil untuk menjadi pastor saat itu duduk dibangku SMA, kalau tidak salah kelas 1 SMA. Dan saat itu muncul SK menteri tahun 77. SK itu berbunyi kira-kira demikian , bagi para misionaris yang berasal dari luar negara Indonesia diharapkan untuk meninggalkan negara Indonesia, namun jika tetap ingin tinggal di Indonesia, misionaris yang bersangkutan harus mengurus untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Karena adanya SK tersebut, banyak misionaris yang kembali ke negara asalnya, sedangkan saat itu paroki dan stasi-stasi di tempat saya dilayani oleh banyak misionaris yang berasal dari luar Indonesia. Otomatis dengan SK tersebut pelayanan di gereja dan stasi-stasi di tempat saya menjadi tidak terpenuhi akibat banyak misionaris yang kembali ke negara asalnya. Melihat keadaan ini, saya mulai bepikir dan merenungkan dalam

hati “Stasi-stasi di tempat saya sudah misa hanya sebulan sekali, lalu para misionaris diminta untuk kembali ke negara asalnya, lalu bagaimana gereja dan stasi-stasi disini dapat dilayani? Apa yang bisa saya lakukan sebagai warga

gereja?” saat itulah panggilan untuk menjadi pastor muncul. Apalagi saat itu ada minggu panggilan dan umat mendoakan agar pemuda gereja di tempat saya ada yang terpanggil untuk menjadi pastor, dengan adanya hal itu semakin terasa panggilan saya untuk menjadi pastor. Keinginan ini pun saya sampaikan kepada kedua orangtua saya.

Bagaimana reaksi orang tua Romo ketika mengetahui keinginan Romo itu?

Saat itu bapak hanya mengatakan “ya silakan kalau memang itu keinginanmu, bapak ibu mendukung dan mendoakanmu”.

Bagaimana masa remaja Romo?apakah saat itu juga pernah jatuh cinta?

Ya seperti biasanya seorang remaja, mengalami ketertarikan pada lawan jenis. Saya juga pernah merasakan hal itu, tertarik dengan teman lawan jenis. Ada perasaan ingin dekat dengan orang itu, namun saya tidak sampai untuk memiliki atau berpacaran. Saya ingin dekat dengan orang itu, tapi saya juga ingin dekat dengan teman-teman yang lain. Sehingga keinginan dekat dengan orang itu, saya bagikan juga dengan teman-teman yang lain. Kalau jalan-jalan ya bersama teman-teman. Kalau belajar kelompok ya bareng-bareng bersama teman-teman itu juga. Saya memang berusaha untuk tidak terfokus pada satu teman saja.

Ceritakan bagaimana kisah Romo di Seminari Menengah?adakah pengalaman konflik saat itu, jika ada bisa diceritakan bagaimana terjadinya konflik itu?

Setelah lulus dari bangku SMA, Saya memutuskan dan melanjutkan untuk masuk Seminari Menengah Petrus Canisius Mertoyudan tahun 1982-1983. Saya hanya satu tahun di Semianari Menengah karena saya masuk di KPA (Kelas Persiapan Atas). Kehidupan di Seminari Menengah berjalan mengalir begitu saja, tidak ada yang membuat saya mengalami konflik atau krisis dalam hidup atau panggilan saya. Perjalanan satu tahun yang tidak terasa, hanya saja pada retret untuk menentukan pilihan ada perasaan bingung untuk memilih. Waktu itu saya ingin memilih apakah melanjutkan ke SJ (Serikat Jesus) atau OMI (Oblat Maria Immaculata).Keinginan saya untuk menjadi Imam Misionaris baik OMI maupun SJ keduanya mendukung keinginan saya itu. Memang banyak teman saya yang memilih untuk masuk SJ, sebab dari Seminari banyak yang diarahkan kesitu. Tetapi figur OMI juga melekat dalam diri saya, karena di Paroki asal saya Pastor-pastornya dari OMI dan itu juga yang membuat saya terpanggil menjadi Pastor. Akhirnya saya pun diberikan kesempatan memilih dalam suasana retret. Dalam retret tersebut akhirnya saya memantapkan hati untuk masuk dan melanjutkan ke OMI, karena saya telah mengenal OMI mungkin juga semangat OMI sudah tertanam di dalam diri saya.

Ceritakan bagaimana kisah Romo di Seminari Tinggi hingga ditahbiskan?adakah pengalaman konflik saat itu, jika ada bisa diceritakan bagaimana terjadinya konflik itu?

Tahun 1983 saya di Seminari Tinggi kongregasi OMI dan melanjutkan pendidikan di Seminari Tinggi-Fakultas Teologi Weda Bakti, Jogjakarta. Selama masa formasi ini tantangan mulai terasa. Memang pernah sebelum nofis, jadi masuk di awal belum memiliki pengalaman untuk hidup di masa formasi, saya mulai merasa ragu-ragu. Saya merasakan “kok hidup rohani rasanya turun ya

dari seminari menengah?” Saya melihat kehidupan di Seminari menengah dan

disini (Seminari Tinggi) berbeda. Kalau di Seminari menengah semua di atur secara tertib dan disiplin, sedangkan disini tidak, misalnya pulang harus minggu malam, tapi ada yang pulang senin pagi tapi tidak ditegur. Hal ini terjadi karena

pendekatan Romo Rektor yang berbeda, beliau berprinsip “ya kalau ada teman- teman yang melanggar nggak pernah ditegur barangsiapa yang melanggar

silahkan datang ngomong gitu dan mengakui kesalahan”. Lalu melihat

kehidupan keteraturan yang berbeda itu membuat saya ragu-ragu, “apakah saya

tidak salah pilih?” Keragu-raguan ini akhirnya saya bawa ke pembimbing

rohani. Pembimbing rohani saat itu mengatakan “kalau kamu memang ada

ketidakpuasaan atau kekecewaan dan tetap tidak ingin disitu ya berarti

panggilanmu bukan disitu”. Hal ini membawa saya pada permenungan dan dari

permenungan itu saya mulai berpikir membawa saya pada kesadaran ini “OMI

ini hanya salah satu dari OMI dan jika saya memilih OMI terus berpikir seperti ini berarti hanya emosionalku saja, belum tentu semua OMI seperti yang aku rasakan”. Selain itu, masalah ini saya bawa juga dalam doa, dan doa ini juga

memunculkan niat bahwa “kalau mau memperbaharui kehidupan bersama,

jangan menuntut orang lain tetapi mulailah dari diri sendiri, mulailah merubah

dari dirimu sendiri” waktu itulah saya mulai berubah dari dalam diri sendiri. Lalu ketika selesai filsafat, tepatnya memasuki tahun ketiga, tantangan semakin terasa Saya sebagai anak pertama dari enam bersaudara - keluarga guru SD merasa tergugah untuk ikut meringankan beban orang tua ketika melihat adik- adik saya sudah ada dua orang memasuki Perguruan Tinggi. Sering kali muncul pikiran niat untuk keluar dan bekerja membantu orangtua. Memang kedua orangtua saya tidak pernah mengatakan bahwa mereka ingin dibantu oleh saya, hanya saja hal ini terus muncul dan saya rasakan dalam pikiran. Di dalam pikiran selalu muncul dan keingat rumah, bahkan di dalam doa pun pikiran itu muncul. Ya mungkin, karena saya melihat dan merasakan tidak sampai hati perjuangan orang tua seperti itu, ada perasaan prihatin sebagai anak pertama. Sebagai anak pertama saya merasa tidak bisa hanya tinggal diam seperti ini, tergugah hati saya sebagai anak pertama untuk wajib membantu orang tua. Pikiran tersebut coba kuolah dalam permenungan dan doa serta dibicarakan dengan Pembimbing Rohani. Setelah melewati pergulatan yang cukup, akhirnya

saya sampai kepada kesadaran berupa pertanyaan refleksif “Apakah ada

jaminan, kalau saya keluar pasti akan menyelesaikan masalah yang dihadapai orang tua? Atau malah peristiwa keluarnya saya dari Seminari malah akan

menambah beban orang tua?” Proses pengolahan pertanyaan refleksif itu

membawa saya kembali kemotivasi dasar dan pengalaman sebelumnya sewaktu saya ingin menjadi seorang Pastor, saya yang tinggal dalam satu stasi dan paroki yang jaraknya 80 km, lalu karena ada SK menteri 77 dimana misionaris diharuskan keluar dari Indonesia atau memilih untuk menjadi WNI, waktu itu saya rajin berdoa, ikut Romo ke stasi-stasi, bahkan waktu itu hanya ada 2 romo, tapi yang satu cuti, juga merasakan keadaan umat tidak ada misa, lalu ada umat yang mendoakan doa panggilan di misa pagi, sehingga ada yang menggetarkan hati saya untuk menjadi imam. Berdasarkan pengalaman juga saya berpikir

“kalau tidak ada Romo lalu siapa yang akan melayani umat untuk misa?” Pernah

mengalami kesulitan misa, pengalaman itulah yang menguatkan saya untuk menjadi imam. Dari motivasi itu juga yang mengarahkan kembali ke jalan atau tujuan saya menjadi imam, sehingga jika ada arah menyimpang dari tujuan itu, saya harus kembali ke tujuan itu. Menyelesaikan masalah terus kembali kearah

tujuan awal. Selain itu, ada pembimbing rohani sehingga saya dapat mensharingkan pengalaman dan perhatian Seminari membantu kami (para frater) untuk tetap menjaga hubungan baik dengan keluarga juga sangat menguatkan saya dalam menjalankan panggilan. Pernah suatu ketika, saya diberi uang dari orangtua, waktu itu sudah dibicarakan dengan Romo Rektor juga dan formator

saya, dan mereka mengatakan “ya diterima saja itu pemberian dan perhatian

dari orang tua. Lalu yang lain, waktu itu setiap sebulan sekali ada waktu kunjungan keluarga, waktu itu uang saku Rp.5000 tidak cukup untuk pulang pergi ke rumah di cilacap, jadi saya tidak menggunakan waktu itu, sempat saya dipanggil ditanyakan kenapa tidak pulang? apakah ada masalah dengan

keluarga? Akhirnya saya ceritakan bahwa “uang saku saya tidak cukup untuk pulang, kalau disini (seminari) mau menambahkan ya saya akan pulang”,

akhirnya ya saya pulang, tapi dengan mengumpulkan uang saku terlebih dahulu, sehingga berapa bulan sekali saya baru bisa pulang, tapi kadang sini (seminari) juga menambahkan untuk ongkos pulang juga. Sedangkan dari keluarga sendiri, memang tidak ada tradisi rutin hanya kadang-kadang ketemu saja, malah kalau ada surat datang biasanya ada masalah, namun kedua orangtua tidak pernah menceritakan masalah yang sedang dihadapi, karena mereka takut mengganggu proses saya di seminari. Pernah waktu itu nenek saya meninggal, tetapi orang tua saya tidak memberikan kabar kepada saya, kebetulan saya memang dekat dengan nenek, namun karena alasan orang tua yang tidak mau mengganggu proses saya disini (seminari) orang tua saya tidak memberikan kabar kepada saya, baru beberapa minggu kemudian saya tahu kabar itu. Berkat pencerahan dan proses pengalaman saya tersebut, saya menjalani masa formasi lebih mantap. Bahkan saya ditahbiskan Imam satu tahun lebih dahulu dari teman seangkatanku.

Ceritakan bagaimana kisah Romo ketika sudah menjadi Pastor?adakah pengalaman konflik saat itu, jika ada bisa diceritakan bagaimana terjadinya konflik itu?

Saya ditahbiskan 24 Juli 1991. Menjelang usia tahbisan ke 1 saya terkena kanker Kelenjar Getah Bening (Lymphoma Maglinam Non Hogkin) stadium II. Waktu itu saya merasa biasa aja dan dapat menjalankan misa seperti biasanya, lalu ada gejala bibir pecah, terus saya ceritakan ke romo di paroki. Lalu romo menyuruh saya untuk periksa ke dokter. Dari dokter tersebut saya diminta untuk periksa ke

semarang Elisabeth. Saat itu saya berkata kepada suster yang merawat “wah

saya masih ada acara suster” Tapi ya bagaimana lagi akhirnya setelah acara itu saya ke semarang dengan surat pengantar dokter langsung bertemu dengan

dokter ahli bedah. Lalu dokter mengatakan “benjolan ini ada 3 kemunginan,

pertama karena bakteri atau kelenjar, kedua karena virus, dan yang terakhir karena ada sel-sel kankernya. Untuk itu diambil sampel jaringan dan saya dioprasi. Hasilnya adalah diagnosa yang ketiga itu, tetapi mengingat keadaan saya saat itu, saya masih belum merasa sakit. Waktu itu romo paroki itu datang terus bertemu dengan direktur Rumah Sakit, memberitahukan efek dari gejala penyakit tersebut, lalu saya pulang ke paroki ya sesampainya disana saya biasa melakukan aktivitas seperti biasanya mimpin misa. Terdorong oleh masa bulan madu dan idealisme, bahkan saya berniat “ Saya ditahbiskan imam, maka kalau

saya mati tetap sebagai imam”. Maka saya ingin mempersembahkan waktu hidup saya sebaik mungkin dalam pelayanan imamat. Namun setelah kemoterapi kedua saya merasakan sakitnya. Orang-orang mulai tidak mengenali karena rambut rontok terus botak.

Bisa ceritakan pengalaman Romo ketika menjalani kemoterapi?

Ketika memasuki kemoterapi ke 2 – dari rangkaian 6 kali kemoterapi- saya mulai merasakan bahwa saya sakit. Rambut kepala rontok sampai tak dikenali oleh teman-teman; Lutut terasa lemah, kalau berdiri hanya bisa bertahan 10 menit dan berjalan 200 meter; mulut luka- sariawan berkepanjangan dan sulit untuk makan; setelah menerima kemoterapi hingga sampai 1 minggu, muntah-muntah sampai kram perut dan sulit tidur hingga 3.30 pagi. Ketika kemoterapi biasanya merasa tersiksa karena maunya muntah perut tidak terisi sampai keluar getah kuning, makan muntah, yang penting makan terus makan meskipun muntah, saat itu, saya dititipkan di stasi, malam tidak bisa tidur hampir seminggu, kalau sudah seperti itu saya hanya mendengarkan lagu, ada luka dibibir kalau makan sakit sampai keluar air mata. Ya waktu itu ada ibu-ibu bagian rumah tangga itu yang memperhatikan makan dan mengatur pola makan saya. Mau makan sulit itu sampe 6 periode bahkan saya mengalmi trauma pada penyembuhan keempat begitu masuk Rumah Sakit, bau alkohol, bau Rumah Sakit itu membuat saya mual muntah, ketika keluar dari Rumah Sakit ketika mencium sop berbau kaldu itu ya saya mual lagi, bau bakso saja saya mual, butuh waktu lama untuk bisa makan sop berkaldu lagi. Tapi saya paksa untuk makan, ada kehendak untuk sembuh. Kalau kemoterapi itu darah merah dan darah putih drop, kalau porsi ukuran darahnya rendah ya tidak bisa kemoterapi, kalau dalam keadaan drop dipaksakan dokter tidak berani, karena hal itu sama saja dengan membunuh pasien, lalu tahu akan hal seperti itu, saya berusaha untuk menaikan standar ukuran darah untuk kemoterapi. Ya itu semangat dari dalam saya untuk sembuh kuat.

Bagaimana dengan reaksi emosional Romo?

Secara emosional saya pun labil, bila bertemu orang atau teman dekat atau dikunjungi orang, menangis dengan sendirinya dan bila menceritakan pengalaman sakit juga menangis. Dalam situasi yang demikian, saya merasa bahwa saya sungguh-sungguh tak berdaya dan tergantung dari belas kasih orang lain . Maka misa ke Stasi saya diantar dan waktu memimpin misa, saya hanya membuka dengan tanda salib dan pengantar kemudian duduk. Prodiakon melanjutkan sampai doa umat. Saya mulai lagi ketika persembahan dan saat komuni, saya duduk kembali. Akhirnya doa sesudah komunita dan berkat perutusan. Lalu juga ketika keadaan sakit ada perasaan bahwa saya tidak berguna, tapi toh bukannya umat lari tapi justru perhatian dengan membawa makanan, lalu dari situ saya berpikir bahwa Tuhan tidak pernah pergi, saya tidak ditolak, tidak dijauhkan, ya kembali lagi pada idealisme saya diawal hidup mati tetap jadi imam. Bahkan saya belum boleh beraktifitas ke stasi, tapi saya tetap ke

stasi lalu dokter berpesan “romo jaga kesehatan baik-baik jangan dekat-dekat dengan orang sakit dulu sebab daya tahan romo masih belum kuat”. Tapi setelah saya di stasi ada umat yang sakit sudah 2 hari umat yang sakit itu tidak makan,

tidak berani disuntik juga dan umat disana meminta memberkati air untuk yang sakit, lalu saya meminta air matang diberi garam dan didoakan. Tapi ada ketakutan kalau saya dekati takut tertular dan saya bisa mati, ada pergulatan itu, lalu akhirnya muncul keyakinan oke apapun yang terjadi saya siap menerima, dengan kesadaran apa yang terjadi besok biarlah terjadi, akhirnya saya dekati orang yang sakit itu dan beberapa hari kemudian orang itu sembuh.

Secara kejiwaan saya pun lemah membutuhkan figur seorang ibu yang merawat, memperhatikan dan mendengarkan. Saya senantiasa merindukan kehadiran orang yang dengan setia hadir menemani dan mendengarkan saya, merawat dan memperhatikan saya serta memenuhi kebutuhan psikologis saya. Kadang-kadang ingin diperhatikan dengan dikirimi makanan, dengan menceritakan atau mengungkapkan kesedihan, mengirimkan snack, jus, jadi seperti membutuhkan teman yang mampu mengerti, memperhatikan, merawat ya lalu seperti semacan seorang laki-laki yang membutuhkan peranan seorang ibu yang melindungi merawat. Jadi di pastoran saya sendiri ada perasaaan kurang, sepi, dan membutuhkan orang yang bisa mendengarkan cerita.

Saya terkena kanker 2 kali, di tahun 1992 dan tahun 1998. Sebelum terkena kanker kedua tahun 1998, saya ikut kursus pengolahan rohani, semacan persiapan menerima kanker kedua. Karena waktu itu retret agung saya diberi kesempatan untuk membayangkan bagaiman jika saya dalam beberapa waktu ke depan mati. Saya saat itu bisa membayangkan keadaan saya dalam keadaan hampir mati dan merasakan situasi tersebut, saya merasakan menderita sendiri, takut, bahkan memohon-mohon untuk diberi kesempatan untuk membereskan segala sesuatu yang belum beres, hingga akhirnya saya merasa dan muncul sikap penyerahan tentang apapun yang terjadi besok saya siap. Retret ini juga membawa saya pada permenungan bahwa kasih Alllah yang tanpa syarat. Saya

berpikir “oya disaat saya menderita ada umat yang datang memperhatikan, jadi

dalam keadaan sakit pun pengolahan hidup rohani masih, jadi pengalaman sakit itu tidak merasa ditinggalkan Allah, orang-orang yang setia merawat itu masih. Saat di Rumah Sakit itu saya juga merenungkan keadaan saya ibarat seperti matahari, kalau pagi indah siang panas sore indah lagi malam bahkan tidak ada, kadang hidup itu indah panas bahkan hilang hampir 12 jam, adakalanya indah adakalanya sepi, ya memang seperti itu pengolahan kehidupan. Kasih Allah tidak

Dokumen terkait