• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan Pastor dan Dinamika Krisis

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kehidupan Pastor dan Dinamika Krisis

Sebagai seorang pastor sebelum ditahbiskan harus melalui masa formasi atau pendidikan. Masa pendidikan dimulai dari seminari menengah yang kemudian dilanjutkan pada jenjang seminari tinggi. Pada masa formasi ini seorang calon pastor akan dibimbing untuk memurnikan panggilannya. Mgr. Julianus Sunarka, SJ dalam Rohani No.8 th 1958 menjelaskan tentang tujuan yang ingin dicapai dalam proses formasi calon imam yaitu formandi atau

peserta bina menemukan panggilan hidupnya. Sasaran dari formasi adalah formandi menjadi dewasa, sanggup taat, hidup murni, dan melarat seumur hidup. Formandi atau peserta bina berlaku dan bersemangat mengikuti kristus.

Tantangan atau ancaman yang menghalangi tercapainya tujuan formasi adalah banyak para calon imam mengalami kegalauan hidup, Kegalauan itu bisa mengakar dalam alam bawah sadar dan menjadi gangguan hidup selanjutnya. Budaya sekular (materliasme, hedonisme, instanisme) menyebabkan pengalaman akan Allah tersingkir. Para calon imam dilahirkan, dibesarkan, dan dididik dalam masyarakat Indonesia yang multikultural, global, dan cybernetical, generasi ini hampir tidak pernah mengalami keheningan batin. Alasan orang muda tahun 2011 masuk biara atau mau menjadi imam adalah mencari alternatif atau mencari tempat untuk mapan, senang-senang berkat kelengkapan dan kepastian, serta adanya hiburan rohani.

Hans Zollner dalam artikel Die Rolle der Psychologie in der Priesterausbildung yang diterjemahkan oleh Bernhard Kieser (2011) mengungkapkan bahwa dalam masa formasi program pendidikan menuntut keterlibatan para pendidik yang peka dan pandai mengenal orang, yang dilatih dalam psikologi dan dapat membantu calon pastor untuk menjernihkan panggilannya, kapanpun mereka melihat bahwa calon dilanda rintangan serta keragu-raguan. Setelah menempuh masa formasi di seminari menengah maupun seminari tinggi, seorang calon pastor yang telah mendapatkan

persetujuan untuk ditahbiskan menjadi pastor akan menerima sakramen imamat.

Krisis adalah suatu masa dimana individu mengalami titik balik dalam menghadapi konflik hidupnya. Pengalaman krisis ini terjadi tidak hanya sekali dalam perjalanan hidup seseorang, dan setiap individu pasti akan mengalami krisis dalam hidupnya.

Seorang pastor pun yang memiliki peran dalam pembinaan iman umat Katolik juga tidak lepas dari pengalaman krisis ini. Kehidupan pastor atau kaum tertahbis juga tidak lepas dari aktivitas pelayanannya. Dalam aktivitas pelayanannya seorang pastor juga harus mampu membaca kebutuhan tanda- tanda zaman di dunia yang selalu dinamis. Pada Konsili Vatikan II (Presbyterorum Ordinis) diungkapkan di dunia zaman sekarang ini banyak sekali tugas yang harus dijalankan, dan masalah-persoalan yang sangat beraneka yang mencemaskan orang-orang serta sering kali perlu segera mereka pecahkan, sehingga tidak jarang mereka terancam bahaya terombang- ambingkan kian-kemari. Oleh sebab itu, para imam sendiri yang terlibat dalam tugas tanggung jawab yang bertubi-tubi dan terbagi-bagi perhatiannya, dengan cemas dan bertanya-tanya, bagaimana mereka mampu memadukan kehidupan batin dengan kegiatan lahiriah mereka.

Mgr J. Sunarka, SJ mengatakan bahwa perkembangan seorang imam mengalami beberapa tahapan. Tahap umur minor (0-5 tahun), yunior (5-15 th), medior (15-25 tahun), mayor (25-40 tahun), senior (40-50 tahun), serta orator

(50 tahun-dan seterusnya). Pada setiap tahap imamat terdapat kondisi perkembangan yang begitu unik, baik secara fisik, psikis, maupun rohani.

Berdasarkan pengamatan Mgr J. Sunarka, SJ dalam Tantangan dan Peluang Formasi Calon Imam dan Religius Muda di Indonesia (2011) hampir semua pastor yang baru saja ditahbiskan menjadi imam memasuki masa imamat romantis. Masa imamat romantis biasanya ditandai dengan rasa

“senang, mantap” berkat terpenuhinya harapan yang sudah mengiang di hati calon imam bertahun-tahun bahkan belasan tahun lamanya.

Perjalanan sebagai pastor muda tentunya akan mengalami tantangan. Tantangan yang muncul dalam kehidupan pastor berkaitan dengan tugas, hidup bersama rekan kerja, hidup doa, dan penghayatan keutamaan injili. Aneka tantangan yang muncul dalam kehidupan pastor muda maka diperlukan sikap bijak untuk mengatasinya. Tantangan inipun tidak hanya berhenti pada tahapan pastor muda tetapi dapat terjadi kapanpun dalam kehidupan seorang pastor.

Salah satu penelitian yang berkaitan dengan pengalaman krisis kaum selibater adalah penelitian yang dilakukan oleh Tiara M. Ayu dan Monty P. Satiadarma. Judul yang diangkat kedua peneliti ini adalah Dinamika Emosional Kaum Selibat Dalam Menghadapi Mid-life Crisis. Penelitian yang dilakukan terhadap 2 pastor, 1 bruder, dan 3 suster, memberikan pemahaman mengenai dinamika emosional kaum selibat dalam menghadapi mid-life crisis atau krisis tengah umur. Menurut Tiara M. Ayu dan Monty P. Satiadarma, seluruh subyek penelitiannya berusaha mengatasi konflik yang berkaitan

dengan keinginan untuk memenuhi hasrat seksual melalui kegiatan sublimasi. Sedangkan konflik dengan masalah emosi (misalnya: perasaan kesepian, pemberontakan terhadap pimpinan tarekat, maupun ketakutan dalam menghadapi peristiwa kematian yang kelak dihadapi) diatasi dengan kepasrahan pada Tuhan. Tindakan sublimasi dan sikap pasrah pada Tuhan tersebut akhirnya membantu seluruh subyek menuju kesejahteraan emosional dalam menghadapi mid-life crisis.

Tiara M. Ayu dan Monty P. Satiadarma juga menambahkan bahwa penelitian ini memiliki ruang lingkup yang terbatas. Hal tersebut terjadi karena penulis hanya memfokuskan kajian penelitiannya pada kondisi emosional dari para subyek penelitian dalam menghadapi mid-life crisis. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya diharapkan tidak hanya mengulas kondisi emosional dari para subyek penelitian namun juga kondisi psikologis secara keseluruhan. Selain itu, kedua peneliti tersebut juga menganjurkan agar peneliti selanjutnya tidak hanya terfokus pada problematik yang dihadapi di usia pertengahan dan disarankan pula untuk mengulas kehidupan kaum selibat pada masa kecil, masa remaja, masa muda, maupun lanjut usia.

Pengalaman krisis seorang pastor dapat dilihat sebagai suatu proses perjalanan hidupnya. Bagaimana subyek dibesarkan? Pengalaman-pengalaman krisis apa yang dihadapi? Dan motivasi apa yang mendorong seorang pastor untuk menghadapi krisis hidupnya? Oleh karena itu, untuk mengetahui dinamika pengalaman krisis yang dihadapi pastor, dalam penelitian ini peneliti menggunakan kisah hidup pastor dan pengalaman-pengalaman krisis apa yang

dialaminya. Pengalaman hidup dan pengalaman krisis menjadi satu perjalanan hidup yang dapat mengurai bagaimana seorang pastor dapat menghadapi krisis dalam hidupnya.

Dokumen terkait