• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Minoritas Dalam Undang- Undang Perseroan Terbatas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Minoritas Dalam Undang- Undang Perseroan Terbatas"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Minoritas Dalam Undang- Undang Perseroan Terbatas

Dwi Rahmawati1, Bismar Nasution2, Suhaidi3, Mahmul Siregar4

1,2,3,4Prgogram Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara,

E-mail: dwirahmawati533@gmail.com (CA)

Abstrak

Kepentingan pemegang saham minoritas dalam perseroan sering kali bertentangan dengan rasa keadilan dan perlindungan hukum. Penelitian normatif ini membahas masalah perlindungan hukum terhadap pemegang saham publik minoritas dan prinsip keadilan dalam perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas. Perlindungan hukum pemegang saham minoritas antara lain berhak mengusulkan RUPS (Pasal 79 ayat 2 huruf a), menggugat direksi (Pasal 97 ayat 6) maupun dewan komisaris (Pasal 114 ayat 6), memohon pemeriksaan perseroan (Pasal 138 ayat 3 huruf a), dan mengusulkan pembubaran perseroan (Pasal 144 ayat 1). UUPT melindungi hak pemegang saham publik minoritas berdasarkan prinsip silent majority. Prinsip keadilan untuk melindungi pemegang saham publik minoritas diderivasikan dari prinsip keadilan distributif, hak suara pemegang saham minoritas sebanding dengan porsi saham yang disetorkan, meskipun kesetaraan itu tidak sama rata. Pertimbangan hakim terkait perlindungan hukum pemegang saham publik minoritas didasarkan Pasal 138 ayat (3) huruf a UUPT, paling sedikit 1/10 dari jumlah seluruh saham. Pemegang saham publik minoritas memenuhi syarat mengajukan permohonan pemeriksaan SLJ ke pengadilan. Agar syarat minimal 1/10 dari jumlah seluruh saham menjadi pedoman untuk melindungi hak pemegang saham minoritas dan sebagai derivasi dari prinsip keadilan distributif.

Kata Kunci:

Perlindungan hukum, pemegang saham publik minoritas, permohonan pemeriksaan perseroan, derivasi prinsip keadilan, pertimbangan hukum hakim pengadilan.

Abstract

The interests of minority shareholders in the company often conflict with a sense of justice and legal protection. This normative research discusses the issue of legal protection for minority public shareholders and the principle of justice in legal protection for minority shareholders. The legal protection of minority shareholders includes the right to propose a GMS (Article 79 paragraph 2 letter a), sue the board of directors (Article 97 paragraph 6) and the board of commissioners (Article 114 paragraph 6), request a company examination (Article 138 paragraph 3 letter a), and propose the dissolution of the company (Article 144 paragraph 1). The Company Law protects the rights of minority public shareholders based on the silent majority principle. The principle of justice to protect minority public shareholders is derived from the principle of distributive justice, the voting rights of minority shareholders are proportional to the portion of shares paid up, even though the equality is not equal.

Judges' considerations regarding the legal protection of minority public shareholders are based on Article 138 paragraph (3) letter a of the Company Law, at least 1/10 of the total shares. Minority public shareholders are eligible to apply for an SLJ examination to the court. So that the minimum requirement of 1/10 of the total shares becomes a guideline to protect the rights of minority shareholders and as a derivation of the principle of distributive justice.

Keywords:

Legal protection, minority public shareholders, company examination requests, derivation of the principle of justice, legal considerations of court judges.

Cara Sitasi:

Rahmawati, Dwi., dkk. (2021), “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Minoritas Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas”, IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Vol. 2 No. 1 Pages 34-48 .

http://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris

ISSN ONLINE: 2745-8369

(2)

Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 34-48 (Dwi Rahmawati, dkk.)

A. Pendahuluan

Perseroan Terbatas suatu badan hukum (legal entity) berbentuk badan usaha dikenal dengan istilah PT atau perseroan atau perusahaan. Kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional menjadikannya menjadi pusat perhatian secara yuridis. UU RI Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) sebagai respon dari kompleksitas hukum perseroan dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) maupun para pemegang saham (shareholders).

UUPT telah mengatur tentang apa saja yang menjadi hak-hak dari pemegang saham minoritas (minority shareholders), namun dalam praktek belum sepenuhnya mampu mewujudkan perlindungan hukum terhadapnya. Aturan mengenai perlindungan hukum pemegang saham minoritas sesuai harapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) masih sulit diterapkan dalam praktek karena tarik-meanrik antar berbagai kepentingan yang berbeda-beda.

Prinsip-prinsip GCG bila dilaksanakan dengan baik dapat meningkatkan kinerja dan menciptakan nilai tambah bagi perseroan. Empat prinsip GCG yang fundamental yaitu prinsip transparansi (transparency), prinsip keadilan (fairness), prinsip akuntabilitas (accountability), dan prinsip tanggung jawab (responsibility).1 Prinsip-prinsip GCG diperlukan semata-mata untuk mencapai maksud dan tujuan perseroan sebagai bisnis yang mencari keuntungan ekonomis.2

Runtuhnya perekonomian Indonesia disebabkan karena pelanggaran prinsip-prinsip GCG dalam pengelolaan perseron. Persepsi investor mengenai praktik GCG di perusahaan-perusahaan Indonesia paling rendah.3 Lemahnya penerapan GCG sebagai faktor penentu krisis di Asia, antara lain terlihat minimnya pelaporan kinerja keuangan dan kewajiban perseroan, kurangnya pengawasan aktivitas manajemen oleh komisaris dan auditor, serta kurangnya insentif untuk mendorong terciptanya efisiensi perseroan melalui mekanisme persaingan yang adil.4

Pemegang saham minoritas tidak jarang hanya dijadikan sebagai pelengkap perseroan. Prinsip transparansi, keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab direksi tidak bisa terpisahkan satu sama lain untuk memberikan hak-hak bagi pemegang saham. Di antara prinsip-prinsip GCG yang mengandung doktrin kesetaraan atau persamaan hak di antara pemegang saham minoritas (minority shareholders) dan pemegang saham mayoritas (moyority shareholders) adalah prinsip keadilan (fairness).

Demi kepentingan pemegang saham mayoritas, menempatkan kedudukan pemegang saham minoritas pada posisi yang lemah. Direksi terikat dengan kepentingan pemegang saham mayoritas dan semakin membuatnya sulit memutuskan kebijakan, dan melanggar prinsip-prinsip GCG. Perbedaan saham berdampak pada mekanisme pengambilan keputusan yang selalu didasarkan besaran jumlah dan persentase saham yang dimiliki masing-masing pemegang saham. Dalam keadaan demikian prinsip keadilan, tanggung jawab, dan transparansi diperlukan guna menjamin terlindunginya hak-hak pemegang saham minoritas.

Konsep dan pengaturan hukum tentang prinsip perlindungan pemegang saham minoritas kurang mendapatkan porsi yang cukup dalam hukum koprorasi di Indonesia. Kuatnya berlaku prinsip mewakili perseroan hanyalah direksi, anggapan demokratis adalah yang berkuasa yaitu yang mayoritas, dan keengganan pengadilan untuk mencampuri urusan bisnis perseroan.5

Dominasi pemegang saham mayoritas tidak mengakomodasi prinsip persamaan hak di hadapan hukum (equality before the law). Misalnya dalam pelaksanaan akuisisi semata-mata hanya untuk kepentingan pemegang saham mayoritas. Jika pemegang saham mayoritas tidak setuju, maka akuisisi tidak akan terealisasi. Pemegang saham mayoritas dapat menghentikan akuisisi tersebut. Tidak jarang direksi diganti karena tidak koperatif dengan pemegang saham mayoritas. Kewenangan ini hanya dimiliki oleh pemegang saham mayoritas dan tidak dimiliki oleh pemegang saham minoritas.6

Prinsip equality before the law tentu tidak harus sama rata (seimbang), tetapi selain untuk memenuhi keseimbangan sama rata, juga harus proporsional. Untuk menentukan proporsionalitas hak-

1 Bismar Nasution, ”Penerapan Good Corporate Governance Dalam Penyalahgunaan Kredit” Makalah Disampaikan Pada Seminar Hukum Perkreditan, Diselenggarankan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia, Medan, Tanggal 12-13 Maret 2002, hal. 1.

2 Ibid.

3 Sofyan A. Djalil, “Good Corporate Governance”, Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Pengelolaan Perusahaan, Kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, Tanggal 4 Mei 2000, hal.

2.

4 Bismar Nasution, ”Penerapan Good…Op. cit, hal. 1.

5 Fuady Munir, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, (Bandung: CV. Utomo, 2005), hal. 5.

6 Munir Fuady, Hukum Tentang Akuisisi, Take Over dan LBO, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 122.

(3)

hak para pemegang saham (mayoritas dan minoritas), harus tunduk pada prinsip majority ruleand minority protection, artinya yang berkuasa tetap pemegang saham mayoritas tetapi sedapat mungkin juga harus memperhatikan kepentingan pemegang saham minoritas.7

Konsep perlindungan pemegang saham minoritas secara eksplisit dalam KUHD tidak dikenal.8 Namun KUHD membuka sistem quota dalam pengambilan suara yang tidak memberlakukan prinsip one share one vote. Ketentuan ini memberi peluang perlindungan hukum kepada pemegang saham minoritas. Hanya saja dalam KUHD tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur perlindungan hukum kepada pemegang saham minoritas.

Pasal 61 UUPT menentukan hak yang sama (adil) bagi setiap pemegang saham. Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri apabila perseroan dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan yang wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. Sebelum mengajukan gugatan ada upaya sekaligus menjadi hak pemegang saham, yaitu mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap perseroan.

Hak pemegang saham untuk mengajukan permohonan pemeriksaan perseroan ditentukan di Pasal 138 ayat (1) UUPT. Pemeriksaan terhadap perseroan dilakukan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga. Pemeriksaan terhadap perseroan juga dapat dilakukan karena anggota direksi atau Dewan Komisaris diduga melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.

Perkara pemeriksaan terhadap PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk (SLJ) diajukan oleh pemegang saham publik minoritas ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh dua pemegang saham minoritas yaitu Deddy Hartawan Jamin dan Imani United Pte.Ltd (Pemohon I dan II). Hak-hak pemegang saham minoritas tidak diberikan secara adil, tidak jujur, dan tidak terbuka (transparan) terkait meminjamkan uang kepada PT. Sumalindo Hutani Jaya (SHJ).

Beberapa fakta hukum Direksi atau Dewan Komisaris SLJ melakukan perbuatan melawan hukum merugikan perseroan atau pemegang saham. Antara lain direksi dan dewan komisaris menyetujui SLJ memberi pinjaman uang kepada pihak lain yang terafiliasi (anak perusahaan) yaitu SHJ dengan jumlah besar tanpa jaminan pengembalian.

SLJ juga menjual hak tagih berupa Zero Coupon Bond (ZCB) kepada SHJ tanpa jaminan pembayaran, dan tindakan itu dilakukan sebelum mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). SHJ sebagai pihak lain tersebut adalah anak perusahaan dari SLJ. ZCB berupa pinjaman tanpa bunga diberikan kepada SHJ tidak pernah disampaikan kepada Para Pemohon maupun dalam RUPS atau RUPSLB sebesar Rp.140.254.908.652,-.

PT. Sumalindo Hutani Jaya (PT. SHJ) dan PT. Sumalindo Alam Lestari (PT. SAL) adalah anak perusahaan dari PT. SLJ Tbk. SLJ yang melakukan inbreng asset Hutan Tanaman Industri (HTI) pada PT. SAL juga tidak pernah diberitahukan kepada Para Pemohon dalam RUPS maupun RUPSLB atau dalam bentuk apapun kepada Pemohon. Inbreng asset baru diketahui oleh Para Pemohon pada Agustus 2010 dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Semua kejanggalan itu belum pernah disampaikan dan dijelaskan oleh SLJ dalam RUPS maupun RUPSLB.

Para Pemohon sebelumnya telah meminta secara tertulis data terkait hal tersebut kepada SLJ dalam RUPSLB Tanggal 15 Oktober 2009 tetapi tidak mendapat penjelasan. Patut diduga ada sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan SLJ sehingga mereka mengajukan permohonan pemeriksaan SLJ kepada PN Jaksel.

Perbuatan SLJ dan/atau direksinya maupun dewan komisarisnya tersebut tidak adil dan melawan hukum, merugikan pemegang saham dan pemegang saham publik minoritas (Para Pemohon). Demi rasa keadilan kepada Para Pemohon seharusnya diberikan haknya untuk memperoleh penjelasan secara transparan atas hal-hal yang dipersoalkan di atas.

Tujuan Para Pemohon (pemegang saham publik minoritas) mengajukan permohonan pemeriksaan SLJ adalah untuk mencari dan menemukan keadilan dan kebenaran yang dijamin oleh UU RI No.40 Tahun 2007 (UUPT). Permohonan pemeriksaan tersebut ditetapkan melalui Penetapan Nomor 38/Pdt.P/2011/PN.Jkt.Sel Tanggal 28 April 2011 yang mengabulkan permohonan Para Pemohon.

7 Ibid., hal. 123.

8 Pasal 36 dan 56 KUHD.

(4)

Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 34-48 (Dwi Rahmawati, dkk.)

Setelah penetapan PN Jaksel ini, SLJ mengajukan kasasi. Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan Nomor 3017 K/Pdt/2011 Tanggal 12 September 2012 menolak permohonan kasasi SLJ. Menurut MA permohonan pemeriksaan terhadap SLJ telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 138 dan 139 UUPT. Jumlah saham sudah melebihi 1/10 yang disyaratkan di dalam Pasal 138 ayat (3) huruf a UUPT, sehingga Para Pemohon berhak mengajukan permohonan pemeriksaan SLJ. Pertimbangan hukum MA didasarkan karena Pemohon Deddy Hartawan Jamin memiliki sebanyak 210.500.000 (8,52

%) dan Pemohon Imani United Pte.Ltd., sebanyak 130.000.000 (5,26 %), sehingga jumlah seluruhnya 340.500.000 lembar saham atau setara dengan 13,78 %.

Syarat pengajuan permohonan sesuai Pasal 138 ayat (3) huruf a UUPT paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, atau jumlah seluruh saham minoritas harus ≥ 10 % dari jumlah seluruh saham. Sementara kepemilikan saham minoritas dalam perkara aquo telah melebihi dari 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara. Lagi pula Para Pemohon telah meminta secara tertulis data terkait reformasi SLJ dalam RUPSLB Tanggal 15 Oktober 2009 tetapi tidak mendapat penjelasan.

SLJ telah mengabaikan prinsip-prinsip perlindungan hukum terhadap hak-hak para pemegang saham khususnya pemegang saham minoritas yaitu Deddy Hartawan Jamin dan Imani United Pte.Ltd.

Sesuai Pasal 138 dan 139 UUPT seharusnya perseroan melindungi hak pemegang saham minoritas yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara.

Permasalahan yang dibahas di dalam paper ini adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap pemegang saham publik minoritas dalam perundang-undangan Perseroan Terbatas di Indonesia dalam kaitannya dengan derivasi penerapan prinsip keadilan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas bila terdapat pertentangan kepentingan antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas?

Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan meliputi: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasal Modal (UUPM), Peraturan OJK Nomor 32/POJK.04/2014 Tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka, dan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Nomor: KEP-84/PM/1996 Tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Untuk penerapan kasus maka dianalisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 3017K/Pdt/2011.

B. Pembahasan

1. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Publik Minoritas Dalam Perundang- Undangan Perseroan Terbatas di Indonesia

Pemegang saham minoritas berhak mengusulkan diadakan RUPS. Pasal 79 ayat (2) huruf a UUPT mengandung perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas. Pemegang saham minoritas memiliki hak suara untuk mengusulkan diadakannya RUPS apabila 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham minoritas bersama-sama mewakili 1/10 (satu per sepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham, kecuali anggaran dasar menentukan jumlah yang lebih kecil.

Pemegang saham minoritas berhak untuk mengusulkan diadakannya RUPS tahunan maupun RUPS lainnya. Pemegang saham minoritas berhak mengajukan usulan untuk mengadakan RUPS tersebut kepada direksi dengan syarat pemegang saham minoritas tersebut harus memiliki 1/10 (satu per sepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham atau jumlah seluruh saham minoritas tersebut harus >

10% (melebihi sepuluh persen) atau ≥ 10 % (dibaca: lebih besar sama dengan 10%) dari jumlah seluruh saham.

Pasal 79 ayat (3) UUPT menjelaskan tentang alasan pemegang saham minoritas untuk mengajukan usulan mengadakan RUPS kepada direksi. Alasan yang menjadi dasar permintaan pemegang saham minoritas untuk mengadakan RUPS, antara lain karena direksi tidak mengadakan RUPS tahunan sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan atau masa jabatan anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris akan berakhir.

Pemegang saham minoritas sesuai Pasal 79 ayat (7) UUPT juga berhak mengajukan usulan untuk mengadakan RUPS kepada dewan komisaris dengan persyaratan yang sama yaitu pemegang

(5)

saham minoritas harus memiliki 1/10 (satu per sepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham, atau jumlah seluruh saham minoritas tersebut harus > 10% (melebihi sepuluh persen) atau ≥ 10 % (dibaca:

lebih besar sama dengan 10%) dari jumlah seluruh saham.

Ketentuan terkait RUPS bagi perusahaan terbuka tersebut diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 32/POJK.04/2014 Tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka, Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor IX.J.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:

KEP-179/BL/2008 Tanggal 14 Mei 2008 Tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas dan Perusahaan Publik.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 32/POJK.04/2014, mengatur tentang permintaan penyelenggaraan RUPS yang diusulkan oleh pemegang saham minoritas. Pasal 3 POJK Nomor 32/POJK.04/2014 menentukan 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu per sepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar perusahaan terbuka menentukan suatu jumlah yang lebih kecil, dapat meminta agar diselenggarakan RUPS. Permintaan itu diajukan kepada direksi dengan surat tercatat disertai alasannya.

Direksi wajib melakukan pengumuman RUPS kepada pemegang saham dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS. Jika direksi tidak melakukan pengumuman RUPS, maka pemegang saham dapat mengajukan kembali permintaan penyelenggaraan RUPS kepada dewan komisaris. Dewan komisaris wajib melakukan pengumuman RUPS kepada pemegang saham dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan.

Dewan komisaris yang tidak melakukan pengumuman RUPS kepada pemegang saham dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan, menurut Pasal 5 ayat (1) POJK Nomor 32/POJK.04/2014, pemegang saham minoritas yang mengusulkan untuk mengadakan RUPS tersebut dapat mengajukan permintaan diselenggarakannya RUPS kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perusahaan terbuka untuk menetapkan pemberian izin diselenggarakannya RUPS.

Pemegang saham minoritas berhak menggugat direksi. Pemegang saham minoritas berhak mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota direksi yang salah atau lalai dan menimbulkan kerugian pada perseroan. Syarat pemegang saham minoritas untuk mengajukan gugatan dimaksud dalam Pasal 97 ayat (6) UUPT harus memiliki paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham, atau jumlah seluruh saham minoritas harus > 10% (melebihi sepuluh persen) atau ≥ 10 % (dibaca: lebih besar sama dengan 10%) dari jumlah seluruh saham.

Penjelasan Pasal 97 ayat (6) UUPT dalam hal tindakan direksi merugikan perseroan, pemegang saham yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan pada ayat ini dapat mewakili perseroan untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap direksi melalui pengadilan. Persyaratan jumlah saham yang ditetapkan dalam ayat ini adalah memiliki paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) dari jumlah seluruh saham, atau jumlah seluruh saham minoritas harus > 10% (melebihi sepuluh persen) atau ≥ 10 % (dibaca: lebih besar sama dengan 10%) dari jumlah seluruh saham.

Hak suara yaitu yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham sesuai Pasal 97 ayat (6) UUPT adalah hak suara pemegang saham minoritas. Pemegang saham minoritas yang menduga adanya indikasi tindakan anggota direksi melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugasnya atau karena anggota direksi tidak beritikad baik, dan tidak bertanggung jawab mengurus perseroan, menurut pasal ini pemegang saham minoritas tersebut dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.

Pemegang saham minoritas berhak menggugat dewan komisaris. Pemegang saham minoritas juga dilindungi haknya dalam Pasal 114 ayat (6) UUPT untuk diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan kepada dewan komisaris. Gugatan terhadap dewan komisaris diajukan ke pengadilan negeri

(6)

Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 34-48 (Dwi Rahmawati, dkk.)

atas dasar karena direksi melakukan kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.

Syarat pemegang saham minoritas untuk menggugat dewan komisaris adalah harus memiliki paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham, atau jumlah seluruh saham minoritas harus > 10% (melebihi sepuluh persen) atau ≥ 10 % (dibaca: lebih besar sama dengan 10%) dari jumlah seluruh saham.

Dewan komisaris bertanggung jawab atas pengawasan perseroan. Sesuai Pasal 114 ayat (1) UUPT dewan komisaris bertanggung jawab melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada direksi. Pengawasan dan pemberian nasihat tersebut dilakukan untuk kepentingan perseroan sesuai maksud dan tujuan perseroan.

Setiap anggota dewan komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugas pengwasannya. Jika dewan komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota atau lebih, tanggung jawab pribadi atas kerugian perseroan berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota dewan komisaris.

Beratnya tanggung jawab dewan komisaris, maka kepadanya wajib itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi.

Kesalahan atau kelalaian dewan komisaris yang menimbulkan kerugian pada perseroan beroleh konsekuensi gugatan dari para pemegang saham termasuk pemegang saham minoritas diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan tersebut ke pengadilan negeri.

Pemegang saham minoritas berhak mengajukan permohonan pemeriksaan perseroan. Hak pemegang saham minoritas juga dilindungi oleh hukum di dalam Pasal 138 ayat (3) huruf a UUPT.

Pemegang saham minoritas dibolehkan untuk mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap perseroan yang diduga melakukan PMH.

Pasal 138 ayat (3) huruf a UUPT, pemegang saham minoritas dibolehkan untuk mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap perseroan yang diduga melakukan PMH. Pemegang saham minoritas yang dimaksud dalam pasal ini adalah pemegang saham yang terdiri dari 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 138 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UUPT diketahui bahwa pemeriksaan terhadap perseroan dapat diajukan oleh pemegang saham minoritas dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa:

a. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga, atau

b. Anggota direksi atau dewan komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.

Permohonan pemeriksaan terhadap perseroan, direksi, atau terhadap dewan komisaris dilakukan oleh pemegang saham minoritas dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan. Pemegang saham minoritas yang dimaksud dalam pasal ini adalah mereka yang terdiri atas 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham.

Sebelum para pemegang saham minoritas mengajukan permohonan pemeriksaan perseroan, mereka dengan secara wajar dan itikad baik terlebih dahulu meminta data atau keterangan kepada perseroan melalui RUPS. Jika perseroan tidak memberikan data atau keterangan apapun atas permintaan para pemegang saham tersebut, maka pemegang saham tersebut dapat menempuh upaya pengajuan permohonan pemeriksaan perseroan dengan mengajukannya secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan.9

9 Penjelasan Pasal 138 ayat (1) UUPT menjelaskan sebagai berikut: “Sebelum mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap perseroan, pemohon telah meminta secara langsung kepada perseroan mengenai data atau keterangan yang dibutuhkannya.

(7)

Ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 138 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UUPT tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal menentukan lain. Ketentuan di Pasal 138 UUPT mengenai pemeriksaan terhadap perseroan diatur sesuai bidang industri, misalnya Peraturan Bapepam-LK Nomor: Per-02/BL/2012 Tentang Pedoman Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. Tujuannya untuk menilai tingkat kepatuhan perusahaan pembiayaan infrastruktur terhadap ketentuan perundang-undangan dan untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran substansi laporan kegiatan usaha.

Hak pemegang saham minoritas dalam Peraturan Bapepam-LK Nomor: Per-02/BL/2012 ini tidak ditentukan secara implisit namun jika memperhatikan ketentuan di Pasal 138 ayat (6) UUPT sebagai lex generalis, maka pemegang saham minoritas untuk perusahaan pembiayaan insfrastuktur secara yuridis juga dibenarkan untuk mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap perusahaan infrastruktur.

Pemegang saham minoritas berhak mengajukan usul pembubaran perseroan melalui RUPS.

Pemegang saham minoritas sesuai Pasal 144 ayat (1) UUPT memiliki kesempatan untuk mengajukan usul pembubaran perseroan melalui RUPS. Pemegang saham minoritas diberi hak untuk mengajukan usul pembubaran perseroan, tanpa mengurangi prinsip musyawarah untuk mufakat. Ketentuan “….1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat mengajukan usul pembubaran perseroan kepada RUPS”.

Pemegang saham yang dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1) UUPT adalah bersifat kolektif (banyak) dan bisa juga tunggal (satu), tetapi dengan kriteria jumlah saham mereka adalah paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham. Hak suara pemegang saham ini berarti hak suara pemegang saham minoritas. Namun usul pembubaran bukan secara serta merta disetujui dalam RUPS.

Keputusan RUPS tentang pembubaran perseroan sah bila diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.10 RUPS untuk menyetujui pembubaran perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.11

Jika kuorum kehadiran tidak tercapai, dapat diadakan RUPS kedua. RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.12

Ketentuan pembubaran perseroan dan mengenai kuorum kehadiran dan/atau ketentuan persyaratan pengambilan keputusan RUPS menurut Pasal 89 ayat (5) UUPT juga berlaku bagi perseroan terbuka (tbk) sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Mengenai hal ini diatur di dalam POJK Nomor 32/POJK.04/2014 Tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka.

Pasal 25 s/d Pasal 31 POJK Nomor 32/POJK.04/2014, berlaku untuk permintaan penyelenggaraan RUPS yang diusulkan oleh pemegang saham minoritas. Pada bagian kesembilan POJK

Dalam hal perseroan menolak atau tidak memperhatikan permintaan tersebut, ketentuan ini memberikan upaya yang dapat ditempuh oleh pemohon”.

10 Pasal 87 ayat (1) UUPT junto Pasal 89 UUPT, dan Pasal 144 ayat (2) UUPT.

11 Pasal 89 ayat (1) UUPT.

12 Pasal 89 ayat (2) dan ayat (3) UUPT.

(8)

Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 34-48 (Dwi Rahmawati, dkk.)

ini ditentukan mengenai keputusan, kuorum kehadiran, dan kuorum keputusan RUPS.13 Pasal 28 POJK Nomor 32/POJK.04/2014 termasuk untuk menentukan kuorum kehadiran dalam pengambilan keputusan pembubaran perseroan terbuka.

2. Derivasi Prinsip Keadilan Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Publik Minoritas

Derivasi prinsip keadilan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas dalam UUPT maupun perundang-undangan dapat dianalisis dari ketiga jenis keadilan (vide:

kerangka teori). UUPT memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas berupa antara lain berhak mengajukan permohonan pemeriksaan perseroan (vide: Pasal 138 ayat (3) huruf a UUPT).

Komposisi hak suara pemegang saham minoritas untuk mengusulkan diadakan RUPS, untuk menggugat direksi maupun dewan komisaris, untuk mengajukan permohonan pemeriksaan perseroan, dan untuk mengajukan usul pembubaran perseroan melalui RUPS adalah memiliki paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) dari jumlah seluruh saham, dengan kata lain jumlah seluruh saham minoritas tersbeut harus > 10% (melebihi sepuluh persen) atau ≥ 10 % (dibaca: lebih besar sama dengan 10%) dari jumlah seluruh saham perseroan. Hak suara yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham adalah hak suara pemegang saham minoritas.

Perseroan yang telah melakukan penawaran umum melalui mekanisme go public di Pasar Modal, selain harus tunduk pada ketentuan UUPT juga harus tunduk pada ketentuan Pasar Modal dan OJK. Jika perseroan telah melakukan Initial Public Offering (IPO) melalui mekanisme go public, maka pemegang saham minoritas biasa disebut dengan “pemegang saham publik minoritas”.

Komposisi saham mewakili 1/10 (satu per sepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham sesuai Pasal 3 ayat (1) POJK Nomor 32/POJK.04/2014 adalah hak suara dari para pemegang saham publik minoritas. Pemegang saham publik minoritas yang terdiri dari satu orang atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu per sepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham memiliki hak suara untuk mengajukan permintaan penyelenggaraan RUPS, kecuali AD perusahaan terbuka tersebut menentukan suatu jumlah yang lebih kecil.

Berdasarkan komposisi persentase jumlah saham dari para pemegang saham minoritas yang telah dijelaskan tersebut, terdapat derivasi prinsip keadilan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas agar memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan. Derivasi prinsip keadilan ini turunan dari prinsip keadilan distributif. Keadilan distributif memberi apa yang menjadi hak setiap orang secara patut didapatnya sesuai prestasinya.

Keadilan distributif menggunakan model geometris untuk mendistribusikan keadilan.

Penghargaan harus sesuai dengan jasanya maupun kontribusinya. Prinsip dasar keadilan distributif adalah bagaimana memperlakukan keadilan dalam konteks distribusi yang tidak merata (unequal distribution).14

Keadilan distributif memberi apa yang menjadi hak setiap orang, apa yang patut didapatnya sesuai prestasinya. Keadilan distributif dalam konteks ini adalah memberikan hak kepada setiap para pemegang saham perseroan secara tidak sama rata, namun disesuaikan dengan persentase jumlah saham yang disetorkannya ke dalam perseroan. Hak-hak tersebut diberikan secara yuridis tidak sama rata, artinya tidak semua pemegang saham secara serta merta dapat menggunakan kesempatan tersebut, tetapi ada syarat yang harus dipenuhi oleh pemegang saham minoritas.

Pemegang saham mayoritas tanpa harus memenuhi persyaratan paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) dari jumlah seluruh saham secara serta merta dapat mengajukan dan mengusulkan diadakannya RUPS, menggugat direksi maupun dewan komisaris, mengajukan permohonan pemeriksaan perseroan, dan mengajukan usul pembubaran perseroan melalui RUPS. Dalam konteks ini terdapat perlakuan hukum yang tidak sama rata bagi setiap pemegang saham sebagai pengecualian dari prinsip equality before the law.

Kesempatan untuk mengusulkan diadakan RUPS, kesempatan untuk menggugat direksi, kesempatan untuk menggugat dewan komisaris, kesempatan untuk mengajukan permohonan

13 Pasal 25 s/d Pasal 31 POJK Nomor 32/POJK.04/2014 Tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka.

14 Gerhard Michael Ambrosi, Aristotle’s Geometrical Model of Distributive Justice, Paper prepared for the 11th ESHET Conference, Justice in Economic Thought, Date 5-7 July 2007, Louis Pasteur University - Strasbourg, hal. 1-4.

(9)

pemeriksaan perseroan, dan kesempatan untuk mengajukan usul pembubaran perseroan melalui RUPS, sama-sama bisa diperoleh setiap pemegang saham dengan pembuktian matematis. Dikatakan sesuai pembuktian matematis karena hak untuk memperoleh kesempatan disesuaikan dengan porsi saham masing-masing pemegang saham, sehingga kesempatan tersebut tidak selalu harus diperoleh secara fifty- fifty (50:50).

Prinsip keadilan distributif dalam UUPT, peraturan OJK, dan Bapepam-LK mendistribusikan hak-hak setiap pemegang saham perseroan secara tidak sama rata atau membedakannya sesuai dengan jasa atau prestasi. Prinsip keadilan ini memberikan bagian masing-masing orang tidak sama banyak, tetapi dibedakan apakah ia kaya atau miskin, pejabat atau rakyat biasa, direktur atau karyawan, pemegang saham minoritas atau pemegang saham mayoritas.

UUPT, peraturan OJK, dan Bapepam-LK memperlakukan setiap pemegang saham minoritas sesuai dengan jasa-jasa yang ia telah lakukan. Jasa-jasa tersebut adalah besarnya persentase jumlah saham. Penegasan keadilan distributif seperti dipertegas di dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT yang menentukan: “Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki”.

Kalimat redaksional yang mengatakan “…tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki”, ini mempertegas hak pemegang saham sesuai prinsip aquality before the law untuk bisa sama-sama mengusulkan diadakan RUPS, untuk menggugat direksi maupun dewan komisaris, untuk mengajukan permohonan pemeriksaan perseroan, dan mengajukan usul pembubaran perseroan melalui RUPS, tidak boleh melebihi jumlah saham yang dimiliki atau yang disetorkan ke dalam perseroan.

Keadilan distributif merupakan bentuk keadilan yang diperoleh tidak dengan mata tertutup (blindfolded), tetapi mengalokasikan barang dan/atau jasa harus memperhatikan perbedaan dari orang- orang dan kualitasnya. Hak suara pemegang saham minoritas dan pemegang saham mayoritas berbeda dan tentu juga memiliki kualitas yang berbeda pula, sehingga mereka mendapatkan jatah saham yang tidak sama. Mendistribusikan hak dengan kualitas yang berbeda sebanding dengan jumlah saham yang diberikan atau dimiliki.

Keadilan distributif memberi porsi dikatakan sebanding jika nilai yang diberikan itu tidak sama banyak untuk setiap orang yang sederajat. Untuk semua orang hanya akan diberikan hak yang layak dan sepatutnya sesuai dengan kontribusinya. Inilah kesetaraan (aquality) yang dimaksud Aristoteles dalam konsep keadilan distributif.

Masalah keadilan distributif dan keadilan komutatif sebenarnya terkait dengan penyelidikannya ke dalam sifat equality untuk menilai proporsionalitas.15 Keadilan distributif (ditributive justice) memaknai prinsip kesetaraan (equality) adalah tidak sama rata (unequitable fairness). Sedangkan keadilan komutatif (commutative justice) memaknai prinsip kesetaraan (equality) adalah keadilan yang sama rata (equitable fairness).16

Melihat keadilan tidak bisa dengan mengatakan prinsip equality untuk menjawab pertanyaan tentang keadilan distributif dan keadilan komutatif dalam satu makna, sehingga setiap orang selalu berbeda pandangan dalam memaknai keadilan. Dari perbedaan prinsip kesetaraan (aquality) inilah diketahui perbedaan mendasar antara keadilan distributif dan keadilan komutatif. Prinsip equality berkaitan antara gagasan perlakuan yang sama rata untuk semua orang dan gagasan perlakuan yang tidak sama rata untuk setiap orang sesuai kemampuannya.17

Aristoteles melihat dasar keadilan dengan argumen rasional (penalaran). John Rawls juga mendasarkan keadilan pada alasan rasionalitas. Sesuatu itu adil atau tidak adil menurut John Rawls harus didukung dengan penilaian-penilaian yang rasional.18 John Rawls mengembangkan prinsip keadilan yang dibagi Aristoteles. Keadilan akan diperoleh jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing (justice fairnes).19

15 Anton-Hermann Chroust & David L. Osborn, “Aristotle’s Conception of Justice”, Notre Dame Law Review, Vol. 17, Issue 2, Article 2, Tahun 1942, hal. 136.

16 Ibid.

17 Ibid., hal. 137.

18 John Rawls, Op. cit., hal. 41.

19 John Rawls diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 73.

(10)

Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 34-48 (Dwi Rahmawati, dkk.)

Prinsip pertama John Rawls memenuhi hak yang sama terhadap dasar (aqual liberties). Prinsip kedua adalah perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu (1) terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap orang yang lemah (maximum minimorium), dan (2) terciptanya kesempatan bagi semua orang.20 Prinsip pertama adalah mengenai equality before the law principle, sedangkan prinsip kedua mengenai unequitable fairness principle.

Kesamaan numerik Aristoteles mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit sesuai prinsip equality before the law. Prinsip equality before the law memandang setiap orang diperlakukan sama rata di hadapan hukum dengan memberikan hak yang sama, tidak boleh dibeda-bedakan satu sama lainnya.

Prinsip kesataraan (aquality) proporsional Aristoteles memperlakukan setiap orang dalam sederajat tidak sama rata. Prinsip kesamaan proporsional memberi setiap orang yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya.21

Jika prinsip pertama adalah equality before the law principle, maka prinsip kedua adalah mengenai kesamaan proporsional korelasi dengan prinsip etika / moral, dan prinsip manfaat (utilitas).

Prinsip kedua ini tidak melihat keadilan dalam koteks equality before the law principle,22 tetapi juga melihat keadilan dalam konteks tanggung jawab moral dan kemanfaatan, sehingga muncullah produk keadilan yang tidak sama rata untuk setiap orang meskipun mereka sederajat.

Kesempatan setiap pemegang saham untuk mengusulkan diadakan RUPS, kesempatan untuk menggugat direksi, kesempatan untuk menggugat dewan komisaris, kesempatan untuk mengajukan permohonan pemeriksaan perseroan, dan kesempatan untuk mengajukan usul pembubaran perseroan melalui RUPS, sama-sama bisa diperoleh setiap pemegang saham sesuai prinsip equality before the law.

Namun kesempatan itu akan berbeda jika dilihat dari proporsi sahamnya, pemegang saham minoritas harus memenuhi persyaratan paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) dari jumlah seluruh saham, baru kemudian ia memiliki hak suara, sedangkan syarat tersebut untuk pemegang saham mayoritas tidak berlaku.

Pemegang saham untuk memperoleh kesempatan tersebut disesuaikan dengan proporsi saham yang disetorkan masing-masing pemegang saham, tidak selalu harus diperoleh secara fifty-fifty (50:50).23 Setiap pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki, ini mempertegas hak pemegang saham sesuai prinsip aquality before the law untuk bisa sama-sama mengusulkan diadakan RUPS, untuk menggugat direksi maupun dewan komisaris, untuk mengajukan permohonan pemeriksaan perseroan, dan mengajukan usul pembubaran perseroan melalui RUPS, tidak boleh melebihi jumlah saham yang dimiliki atau yang disetorkan ke dalam perseroan.

UUPT, peraturan OJK, dan Bapepam-LK juga memperlakukan setiap pemegang saham minoritas untuk memperoleh haknya sesuai dengan jasa-jasa yang ia telah lakukan. Jasa-jasa tersebut adalah besarnya persentase jumlah saham. Pemegang saham minoritas paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) dari jumlah seluruh saham baru memiliki hak suara. Persentase jumlah saham minoritas tersebut tentu tidak sebanding dengan jumlah saham mayoritas, yang berarti kontribusinya juga berbeda, perolehan deviden atau keuntungan juga berbeda. Perbedaan inilah yang dipandang sebagai pengecualian dari prinsip equality before the law terhadap semua pemegang saham.

Produk keadilan yang tidak harus memenuhi prinsip equality before the law juga sebagai produk dari ajaran prinsip manfaat dalam teori kemanfaatan yang diajarkan oleh mazhab konsekuensialisme.

Prinsip manfaat mengajarkan tentang keadilan dengan melihat suatu perbuatan dianggap baik jika mendatangkan kebahagiaan (happiness), sebaliknya dianggap perbuatan itu buruk (bad) jika menimbulkan ketidakbahagiaan (pain). Orientasinya adalah hasil akhir dari suatu perbuatan yang manfaat.24

Para pemikir utilitarianisme melihat keadilan tidak mesti harus memenuhi prinsip equality before the law, tetapi memperhatikan konsekuensi akhir dari suatu kebijakan hukum yaitu manfaat dari kebijakan itu bagi kelompok terbesar. Manfaat dari kebijakan yang membedakan hak pemegang saham

20 Ibid., hal. 72.

21 Carl Joachim Friedrich, diterjemahkan Raisul Muttaqien, Op. cit., hal. 24.

22 Cherdina Efenti, Kencenderungan Putusan-Putusan Hakim Pengadilan Terhadap Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian, (Medan: Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2015), hal. 31.

23 Ibid., hal. 28, 29, 30.

24 Atip Latipulhayat, “Kahzanah Jeremy Bentham”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, Tahun 2015, (ISSN 2460- 1543 dan e-ISSN 2442-9325), hal. 413.

(11)

minoritas untuk memiliki hak suara dalam RUPS tentu sangat memberi manfaat bagi pemegang saham mayoritas.

Manfaat kebijakan tersebut bagi pemegang saham mayoritas antara lain, mayoritas akan terus memperoleh dukungan dari minoritas, mayoritas memperoleh masukan ide-ide maupun gagasan yang baik dari minoritas, kepercayaan minoritas dan kepercayaan publik akan semakin kuat pada mayoritas, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang digagas oleh mayoritas bisa terus bertahan secara berkesinambungan, dan citra perseroan di mata publik semakin menguat.

Keadilan distributif dan unsur manfaat setidak-tidaknya dapat menjawab bentuk ketidakadilan yang muncul, meskipun proses menemukan keadilan merupakan suatu proses yang tidak pernah

“terselesaikan” tetapi merupakan proses yang senantiasa berubah dan sesuai perkembangan zaman antar generasi yang terus berubah. Seperti yang dikatakan Benjamin N. Cardozo dalam mencetuskan keadilan seolah memperlakukan keadilan seperti seorang wanita yang butuh tenaga dan waktu untuk dirayu.25

3. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Terkait Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas Dalam Putusan MA Nomor 3017K/Pdt/2011

Pertimbangan hakim PN Jaksel dalam Penetapan Nomor 38/Pdt.P/2011/PN.Jkt.Sel tertanggal 28 April 2011, menjatuhkan putusan didasarkan karena Pemohon Deddy Hartawan Jamin sebagai pemegang saham publik minoritas dari PT. SLJ Tbk sebanyak 210.500.000 lembar saham setara dengan 8,52 % dan Pemohon Imani United Pte.Ltd., sebanyak 130.000.000 lembar saham setara dengan 5,26

%, sehingga jumlah seluruhnya 340.500.000 lembar saham atau setara dengan 13,78 %. Jumlah ini sudah melebihi 1/10 yang disyaratkan di dalam Pasal 138 ayat (3) huruf a UUPT, sehingga Para Pemohon berhak mengajukan permohonan pemeriksaan SLJ.

PN Jaksel selain telah menyatakan bahwa permohonan pemeriksaan SLJ telah memenuhi persyaratan Pasal 138 ayat (3) huruf a UUPT, juga mengatakan bahwa SLJ tidak melaksanakan prinsip- prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan benar (good corporate governance principles), terutama prinsip keadilan, keterbukaan (transparansi), tanggung jawab, dan itikad baik, serta prinsip kewajaran.

Pertimbangan hakim PN Jaksel sehubungan dengan permintaan dari Para Pemohon secara tertulis atas data terkait reformasi perseroan dalam RUPSLB tanggal 15 Oktober 2009, akan tetapi Para Pemohon tidak mendapat penjelasan dari SLJ, maupun dari direksinya dan dewan komisarisnya. Prinsip GCG menurut majelis hakim dalam pengelolaan perseroan merupakan prinsip yang sangat fundamental dan sekaligus sebagai konsekuensi dari doktrin fiduciary duty.

MA berpendapat bahwa alasan kasasi yang diajukan oleh Termohon (SLJ) tidak dapat dibenarkan, PN Jaksel tidak salah menerapkan hukum dalam perkara ini. Permohonan pemeriksaan terhadap SLJ (Pemohon Kasasi dahulu Termohon) yang diajukan oleh para pemegang saham publik minoritas tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 138 dan 139 UUPT.

Berdasarkan dari jumlah seluruhnya saham para pemegang saham publik minoritas tersebut, maka sudah melebihi 1/10 yang ditentukan dalam Pasal 138 ayat (3) UUPT, dengan demikian Para Pemohon berhak untuk mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap perseroan. Para Pemohon telah meminta secara tertulis data terkait reformasi perseroan dalam RUPSLB tanggal 15 Oktober 2009, akan tetapi tidak mendapat penjelasan dari SLJ, maupun dari direksinya, atau dewan komisarisnya.

Direksi SLJ pada tanggal 15 Juli 2009 membuat pengikatan jual beli saham 60 % atau sebanyak 7.201.500 lembar saham pada PT. SHJ (anak perusahaan SLJ) dan dengan pihak lain yaitu PT. Tjiwi Kimia seharga Rp 7.201.500.000,- sebagaimana diketahui dan terbaca di dalam Akta Nomor 61 yang dibuat oleh Notaris Linda. Tindakan direksi ini seharusnya didahului oleh tindakan mempresentasikan maksud dan tujuan pelepasan saham di hadapan RUPSLB sebelum membuat dan menandatangani akta pengikatan jual beli saham tanggal 15 Juli 2009. Persetujuan RUPS atau RUPSLB lah yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum terhadap tindakan penjualan saham.

Dewan komisaris SLJ sebagai pengawas justru mendukung sepenuhnya tindakan direksi tersebut yang tampak jelas melalui surat pernyataan anggota dewan komisaris tanggal 11 September

25 Ibid., hal. 222.

(12)

Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 34-48 (Dwi Rahmawati, dkk.)

2009, dan tidak disampaikan dalam RUPS maupun dalam RUPSLB. Masalah pengikatan jual beli saham yang tidak transparan ini telah disampaikan oleh para pemegang saham publik minoritas (Para Pemohon) dalam RUPSLB tanggal 15 Oktober 2009, tetapi direksi, komisaris maupun komisaris independen tidak memberi jawaban.

Tindakan direksi yang telah mendapat dukungan dan atau disetujui oleh dewan komisaris adalah perbuatan yang menyimpang dari ketentuan hukum perseroan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya dalam menjalankan perseroan sesuai Pasal 97 UUPT yang menganut asas keterbukaan terhadap pemegang saham dan asas kewajaran dan asas kehati-hatian yang dikonsep dalam prinsip-prinsip tata kelola perseroan yang baik dan benar (prinsip-prinsip GCG).

Asas-asas ini semestinya menjadi pilar di dalam transaksi mengalihkan saham dan menentukan nilai pasar wajar saham kepada pihak lain dimana untuk menentukannya harus melalui RUPS atau RUPSLB atau penilai independen yang ditunjuk oleh RUPSLB. Namun kenyataannya, direksi telah menggunakan tolok ukur harga kewajaran saham SLJ pada SHJ hanya berdasarkan penilaian dari kantor KJPP Benny, Desmar dan Rekan sebagai penilai independen yang menetapkan bahwa nilai pasar wajar saham perusahaan tanggal 30 Juni 2009 adalah Rp.984 per lembar saham berdasarkan laporannya pada tanggal 31 Agustus 2009.

Proses penunjukkan penilai independen itu sendiri pun patut dicurigai, baik dari segi mekanisme maupun waktu penunjukkannya. Penunjukkannya dilakukan oleh PT. SLJ Tbk tanggal 13 Agustus 2009, dengan suratnya Nomor 115.A/SLJ/LYG/JKT yang meminta penilai independen untuk melakukan penilaian atas nilai pasar saham PT. SLJ Tbk, sementara tindakan pengikatan jual beli saham sudah dilakukan tanggal 15 Juli 2009, yang kemudian direksi PT. SLJ Tbk baru meminta persetujuan RUPSLB terhadap tindakan tersebut tanggal 15 Oktober 2009.

Logika seperti ini menunjukkan bahwa penentuan penilai independen yang dilakukan setelah pengikatan jual beli saham sesungguhnya terlihat hanya untuk menyesuaikan tanggal pengikatan jual beli saham yang sudah terjadi, hanya menjustifikasi penentuan sepihak nilai saham yang dilakukan direksi PT. SLJ Tbk. Standar kewajaran nilai suatu benda, apalagi saham yang bernilai material dan juga karena menyangkut kepentingan pemegang saham publik, maka penilaian seharusnya terlebih dahulu dilakukan oleh dua atau tiga penilai independen sebagai pembanding.

Para Pemohon menduga bahwa lalu lintas tindakan korporasi tersebut mengandung ketertutupan dan ketidakwajaran dan melanggar prinsip-prinsip GCG. Sebab apabila Termohon mempunyai itikad baik untuk mengetahui nilai wajar saham pada pasar waktu itu, semestinya penilai independen ditunjuk sebelum tanggal 15 Juli 2009. Tindakan direksi maupun dewan komisaris SLJ yang demikian melanggar prinsip keadilan bagi pemegang saham khususnya pemegang saham publik minoritas, melanggar prinsip keterbukaan karena tidak mempresentasikan maksud dan tujuan pelepasan saham di hadapan RUPSLB sebelum membuat dan menandatangani akta pengikatan jual beli saham tanggal 15 Juli 2009 dan tidak transparan dalam menentukan tim penilai independen.

Organ yang paling bertanggung jawab terhadap pengelolaan perseroan adalah direksi. Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 97 ayat (2) UUPT ditentukan bahwa direksi adalah organ yang paling bertanggung jawab penuh atas pengelolaan perseroan berdasarkan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Tugas dan tanggung jawab penuh direksi tersebut tidak terlepas dari hakekat perseroan sebagai badan hukum dan merupakan wadah perwujudan kerjasama antar para pemegang saham. Perwujudan kerjasama antar para pemegang saham membutuhkan organ yang dapat berfungsi untuk menjaga kelangsungan perseroan. Organ perseroan itu adalah RUPS, direksi dan dewan komisaris.26 Kehadiran

26 Pasal 1 angka 2 UUPT

(13)

ketiga organ tersebut bersifat organisasi, ketiganya harus senantiasa ada dalam setiap perseroan, baik lingkungan jabatannya (ambtensfeer) maupun pejabatnya (ambtsdrager).27

Direksi sebagai salah satu organ perseroan mempunyai kedudukan, kewenangan, atau memiliki kapasitas dan kewajiban menjalankan pengeloaan perseroan sehari-hari, mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan direksi dalam hal tertentu tidak berwenang mewakili perseroan.28 Ada kalanya direksi tidak berwenang mewakili perseroan dalam hal tertentu misalnya bila terdapat indikasi benturan kepentingan (conflict of interest).

Sesuai Pasal 97 ayat (2) UUPT direksi memiliki kekuasaan besar untuk urusan perseroan.

Bagaimana mengontrol perilaku direksi yang mempunyai kekuasaan besar tersebut melalui standar perilaku (standart of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang dirugikan bila direksi berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur dalam menentukan kebijakan- kebijakannya.29

Itulah sebabnya dalam penjelasan Pasal 4 UUPT disebut bahwa selain undang-undang, anggaran dasar perseroan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain, tidak mengurangi kewajiban setiap perseroan untuk menaati asas itikad baik, asas kepantasan, asas kepatutan, dan prinsip- prinsip tata kelola perseroan yang baik (good corporate governance principles) dalam menjalankan perseroan.

Prinsi-prinsip ini mewajibkan direksi harus memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan benar. Prinsip GCG berhubungan erat dengan itikad baik, kejujuran, keadilan, transparansi, dan tanggung jawab direksi, sehingga eksistensi perseroan dapat hidup berkelanjutan dan memberi manfaat bagi semua pemangku kepentingan (stakeholders) perusahaan.

Group Penasehat Bisnis Sektor Organization for Economic Coperation and Development (OECD) menetapkan empat prinsip umum GCG, yaitu prinsip keadilan (fairness), keterbukaan (transparency), tanggung jawab (accountability) dan pertanggungjawaban (responsibilty). Prinsip- prinsip GCG perlu diperhatikan oleh direksi maupun manajemen untuk mencapai tujuan perseroan sebagai bisnis yang mencari keuntungan ekonomis.30

Prinsip keterbukaan (transparancy) suatu prinsip tata kelola perseroan yang baik dan benar memberikan informasi harus diungkapkan secara tepat waktu dan akurat. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Audit yang dilakukan atas informasi dilakukan secara independen dan dengan mekanisme yang benar sesuai kelaziman bisnis perseroan. Keterbukaan dilakukan agar pemegang saham khususnya yang minoritas dan pihak lain mengetahui keadaan perusahaan sehingga nilai aset pemegang saham dapat ditingkatkan.

Permasalahan yang sering timbul dalam praktek dan menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip GCG adalah berkenaan dengan dominasi pengaruh pemegang saham mayoritas kepada direksi, sehingga direksi tidak transparan. Direksi menjadi tidak bermakna bagi semua pemangku kepentingan bila kebijakannya telah dipengaruhi dan dimotori oleh pemegang saham mayoritas. Untuk mendukung terlaksananya prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan benar, direksi wajib melaksanakan pengelolaan perseroan berdasarkan prinsip akuntabilitas, kemandirian, keterbukaan, kewajaran, dan tanggung jawab.

27 Bagir Manan, ”Undang-Undang Perseroan Terbatas Menghadapi Pasar Bebas”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Sehari Penerapan UUPM dan UUPT Serta Kaitannya Dengan Aspek Manajemen, Investor dan Profesi Akuntan, di Fakutas Ekonomi UNPAR Bandung, Tanggal 2 Desember 1995, hal. 18.

28 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 345.

29 Bismar Nasution, “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Dalam Pengelolaan Perseroan Terbatas Bank”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Sehari Tanggung Jawab Pengurus Bank dalam Penegakan dan Penanganan Penyimpanan di Bidang Perbankan Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Perbankan, diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan, Surabaya, tanggal 21 Februari 2008, hal. 6.

30 Bismar Nasution, ”Penerapan Good Corporate…Op. cit, hal. 1.

(14)

Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 34-48 (Dwi Rahmawati, dkk.)

C. Penutup 1. Kesimpulan

a. Perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas dalam UUPT dan perundang-undangan antara lain: pemegang saham minoritas berhak mengusulkan diadakan RUPS (vide: Pasal 79 ayat (2) huruf a UUPT), berhak menggugat direksi (vide: Pasal 97 ayat (6) UUPT), berhak menggugat dewan komisaris (vide: Pasal 114 ayat (6) UUPT), berhak mengajukan permohonan pemeriksaan perseroan (vide: Pasal 138 ayat (3) huruf a UUPT), dan berhak mengajukan usul pembubaran perseroan melalui RUPS (vide: Pasal 144 ayat (1) UUPT). Syarat komposisi saham dari pemegang saham minoritas paling sedikit 1/10 cukup melindungi pemegang saham minoritas publik (perseroan terbuka) berdasarkan prinsip silent majority. Pemegang saham publik minoritas sesuai Pasal 3 ayat (1) POJK Nomor 32/POJK.04/2014 menentukan hak suara para pemegang saham publik minoritas mewakili paling sedikit 1/10 dari jumlah seluruh saham, kecuali anggaran dasar perusahaan terbuka menentukan suatu jumlah yang lebih kecil. Pengecualian itu sebagai perwujudan dari prinsip silent majority yang terdapat di dalam Keputusan Ketua Bapepam Nomor: KEP-84/PM/1996.

b. Derivasi dari prinsip keadilan dalam memberikan perlindungan hukum pemegang saham minoritas apabila terdapat pertentangan kepentingan antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas diturunkan dari prinsip keadilan distributif. Prinsip keadilan distributif dalam memberikan porsi perlindungan hukum pemegang saham minoritas sebanding dengan komposisi jumlah saham yang disetorkannya. Prinsip keadilan distributif adalah kesetaraan (equality) yang tidak sama rata (unequitable fairness). Pemegang saham minoritas baru memiliki hak suara sama dalam RUPS bila 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham minoritas bersama-sama mewakili 1/10 atau lebih dari jumlah seluruh saham, kecuali anggaran dasar menentukan jumlah yang lebih kecil.

c. Pertimbangan hukum hakim pengadilan terkait dengan perlindungan hukum pemegang saham minoritas didasarkan pada syarat yang ditentukan di dalam Pasal 138 ayat (3) huruf a UUPT, paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham barulah memiliki hak suara, sehingga para pemegang saham publik minoritas baru dinyatakan berhak mengajukan permohonan pemeriksaan SLJ. Dasar pemeriksaan perseroan mengenai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip GCG yang diajukan oleh pemegang saham publik minoritas tidak termasuk sebagai dasar pertimbangan hukum bagi MA.

Walaupun permohonan pemeriksaan SLJ dikabulkan oleh PN Jaksel dan MA, namun patut dipertimbangkan bahwa tindakan direksi dan dewan komisaris SLJ telah melanggar prinsip-prinsip GCG terutama prinsip transparansi (keterbukaan).

2. Saran

a. Agar pemegang saham minoritas dapat dilindungi oleh hukum maka komposisi hak suara pemegang saham minoritas untuk mengusulkan diadakan RUPS, untuk menggugat direksi maupun dewan komisaris, untuk mengajukan permohonan pemeriksaan perseroan, dan untuk mengajukan usul pembubaran perseroan melalui RUPS harus memiliki paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) dari jumlah seluruh saham, kecuali untuk perseroan terbuka (tbk), selain merujuk pada UUPT, juga harus merujuk pada AD perseroan. AD perseroan terbuka (emiten) harus sesuai ketentuan dalam Peraturan Bapepam-LK Nomor IX.J.1, beserta Lampiran Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: KEP- 179/BL/2008 Tanggal 14 Mei 2008 Tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas dan Perusahaan Publik, yaitu mengenai penyesuaian AD perseroan terbuka.

b. Agar setiap pemegang saham dalam perseroan dapat memahami konsekuensi hukum dari porsi saham yang disetorkannya ke dalam perseroan sebagai bentuk derivasi (turunan) dari prinsip keadilan distributif, sehingga perolehan hak-hak pemegang saham minoritas tidak selalu mempersamakan dirinya dengan pemegang saham mayoritas dalam pengambilan keputusan melalui RUPS.

c. Pertimbangan hukum atas dasar pelanggaran terhadap prinsip transparansi kepada pemegang saham khususnya pemegang saham minoritas dalam konteks ini harus menjadi pembelajaran bagi perseroan-perserian lainnya, sebab dengan terpenuhinya syarat 1/10 dari jumlah seluruh saham pemegang saham minoritas telah bisa mengajukan permohonan pemeriksaan perseroan tersebut ke Pengadilan Negeri. Bahkan satu saja pemohon memenuhi syarat dimaksud, Pengadilan Negeri harus menyetujui permohonan tersebut

(15)

Daftar Pustaka

Ambrosi, Gerhard Michael, Aristotle’s Geometrical Model of Distributive Justice, Paper prepared for the 11th ESHET Conference, Justice in Economic Thought, Date 5-7 July 2007, Louis Pasteur University – Strasbourg.

Aristoteles, The Nicomachean Ethics, New York: Oxford University Press Inc, 2009.

Carl Joachim Friedrich diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nusa Media, 2010.

Chroust, Anton-Hermann & David L. Osborn, “Aristotle’s Conception of Justice”, Notre Dame Law Review, Vol. 17, Issue 2, Article 2, Tahun 1942.

Djalil, Sofyan A., “Good Corporate Governance”, Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Pengelolaan Perusahaan, Kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, Tanggal 4 Mei 2000.

Efenti, Cherdina, Kencenderungan Putusan-Putusan Hakim Pengadilan Terhadap Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian, Medan: Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2015.

Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.

______dan Tatiek Sri Djatmiati, GH Addink, JBJM Ten Berge, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2011.

Harahap, M. Yahya, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.

H.S. Salim, & Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013.

Latipulhayat, Atip, “Kahzanah Jeremy Bentham”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, Tahun 2015, (ISSN 2460-1543 dan e-ISSN 2442-9325).

Manullang, E. Fernando M., Menggapai Hukum Berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2007.

Manan, Bagir, ”Undang-Undang Perseroan Terbatas Menghadapi Pasar Bebas”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Sehari Penerapan UUPM dan UUPT Serta Kaitannya Dengan Aspek Manajemen, Investor dan Profesi Akuntan, di Fakutas Ekonomi UNPAR Bandung, Tanggal 2 Desember 1995.

Munir, Fuady, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, Bandung: CV. Utomo, 2005.

_______Hukum Tentang Akuisisi, Take Over dan LBO, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

______Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92.

Nasution, Bismar, “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Dalam Pengelolaan Perseroan Terbatas Bank”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Sehari Tanggung Jawab Pengurus Bank dalam Penegakan dan Penanganan Penyimpanan di Bidang Perbankan Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Perbankan, diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan, Surabaya, tanggal 21 Februari 2008.

______”Penerapan Good Corporate Governance Dalam Penyalahgunaan Kredit” Makalah Disampaikan Pada Seminar Hukum Perkreditan, Diselenggarankan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia, Medan, Tanggal 12-13 Maret 2002.

Rahardjo, Satjipto, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

______Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

______Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

______Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2008.

Rasjidi, Lili & I.B. Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Rawls, John, A Theory of Justice, Massachusetts: Harvard University Press Cambridge, 1999.

______diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Syaifuddin, Muhammad, Menggagas Hukum Humanistis-Komersial: Upaya Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Kurang dan Tidak Mampu atas Pelayanan Kesehatan di Rumah sakit Swasta berbadan Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Bayu Media Publishing, 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Ia percaya bahwa seorang Khalifah yang berjuang keras untuk menjaga-lestarikan keadilan sosial ha­ rus mampu membangun masyarakat Islam yang sebenarnya di mana

[r]

Berdasarkan latar belakangnya yang telah dijelaskan bahwa walaupun Tari Tradisional ini sampai sekarang masih bisa dipelajari di Sekolah-Sekolah maupun sanggar seni tetapi

dan ketentuan pada Perda Kabupaten Deli Serdang tentang IMB sudah memiliki kepastian hukum, tetapi dalam Perda Nomor 14 Tahun 2006 Pasal 9 tentang pencabutan IMB kurang

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara hasil belajar siswa yang diajarkan menggunakan Strategi Pembelajaran

‘yang adzan namanya Saat. Coba lihat di layar TV, mesti ada tulisan SAAT ADZAN MAGHRIB untuk wilayah Surabaya dan sekitarnya.’ PS, No.. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa

a) Pemerintah Malaysia belum meratifikasi konvensi Hak-hak Sipol dan Ekosob, tidak tunduk pada Viena Convention 1962, dan memiliki Internal Security Act (ISA),

Investasi dalam kelompok dimiliki hingga jatuh tempo adalah aset keuangan non-derivatif dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan dan jatuh temponya telah ditetapkan,