• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menalar Sabda Nabi dalam Diskursus Pemikiran Islam (Sebuah Integrasi Hermeneutika dan Dinamisasi Studi Hadist)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menalar Sabda Nabi dalam Diskursus Pemikiran Islam (Sebuah Integrasi Hermeneutika dan Dinamisasi Studi Hadist)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

DISHUM: DDI Islamic Studies and Humanities Research ISSN 1234-5678 (Online)

DOI: https://doi.org/10.36915/dishum

Volume 1 No 1 Maret 2021 ISSN 1234-5678 (Cetak) Halaman: 36-63

36

Menalar Sabda Nabi dalam Diskursus Pemikiran Islam (Sebuah Integrasi Hermeneutika dan Dinamisasi Studi Hadist)

Mukhtar

IAI DDI Polewali Mandar E-mail: mukhtar@ddipolman.ac.id

Abstrak: Riset ini adalah studi sebuah tawaran dalam mendinamisasika studi Islam khususunya studi hadis dalam pendekatan ilmu sosial humaniora yang disebut dengan hermeneutika. Riset ini akan mencoba mempermasalahkan sampai dimana janji hermeneutika sebagai mitra keraj dalam studi Islam khusunya dalam studi hadis. Di mana perjumapaan hermeneutika dengan studi hadis. Adakah hermeneutika memberi konstribusi terhadap dinamisasi perkembangan studi hadis. Metode yang digunakan adalah mertode deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan yang relevan dalam riset ini antara lain: Pendekatan post modern, dan pendekatan ilmu hadis Cara mengumpulan data melalui kepustakaan (Library Research), dan diskusi. Data- data yang didapatkan akan dikumpulkan, dideskripsikan, disistematisir, Sementara untuk analisis data, dengan menggunakan analisis diskriptif kualitatif yang bersifat analitis dengan menggunakan beberapa metode analisa yang bersifat deduktif,dan induktif. Pendekatan hermeneneutika dalam memahami hadis, membawa arah baru dalam memahami diskursus keagamaan khusunya hadis. Implikasi dari penerapan hermeneutika dalam memahami disskursus keagamaan, dirasa memberi kontribusi dalam mendinamisasilakn studi hadis walaupun pada sisi lain juga memberi dampak yang cukup riskan khususnya bagi yang tidak senang semangat pembaharuan dalam memahami wacana keagamaan. Hadis-hadis misigonis misalnya, yakni hadis-hadis yang” melegitimasi” superioritas laki-laki atas perempuan, yang dipahami secara tekstual oleh berbagi kalangan. Lewat pendekatan hermeneutika dalam memahami teks-teks hadis, mendekonstruksi pemahaman tekstual tersebut dengan menempatkan posisi laki-laki dan perempuan adalah sama dalam wilayah publik. Tanpa menapikan juga ilmu penelitan hadis dengan memahaminya secara kritis dengan menggunakan pendekatan sejarah.

Kata Kunci: Pemikiran Islam, Hermeneutika, Studi Hadis

1. Pendahuluan

Salah satu sumber efistimologi keilmuan dan paradigma hukum setelah al- Qur’an yang paling urgen untuk dikaji adalah hadis. Al-Qur’an dan hadis biasa juga disebut sebagai teks primer dan tafsiran atas keduanya disebut sebagai teks sekunder.

Hal tersebut mengandung indikasi yang cukup jelas bahwa mengkaji hadis sebagai teks primer, baik dari sisi substansinya maupun dari sisi bagaimana prosedur (metodologi)

(2)

37

memahaminya adalah tradisi keilmuan yang mesti dibangun dan dikembangkan agar hadis selalu terjaga dan terpelihara kevalidannya. Di samping mendinamisasikan hadis sebagai ilmu yang tetap hidup sepanjang sejarah.

Eksistensi hadis dari sudut pandang keilmuan, dapat `dianggap sebagai ilmu yang sudah mapan tapi belum selesai sebagaimana juga ilmu-ilmu al-Qur’an. Dari segi periwayatan hadis lebih berpeluang untuk mengundang prejudaeis dibandingkan dengan al-Qur’an karena transmisi penyampaiannya dari sahabat ke sahabat yang eksistensinya sebagai manusia biasa tak luput dari berbagai kekurangan-kekurangan.

Hal ini berbeda dengan al-Qur’an yang menyampaiannya dari eksistensi yang bersifat non natural yang tidak mungkin memiliki kepentingan subyektif melainkan hanya tunduk pada perintah Tuhan semata.

Dalam pengamatan Amin Abdullah, dia menganggap bahwa dalam mengembangkan kajian hadis jauh lebih berat dibandingkan dengan kajian al-Qur’an.

Amin Abdullah mengambarkan munculnya berbagai kitab tafsir, sejak dari Tafsir Ibnu Katsir sampai Tafsir al-Azhar karya Hamka, sejak Tafsir Jalalain sampai ke al-Tafsir al-Bayan karya Bintu Syathi, menjadi indikasi yang cukup kuat betapa al-Qur’an menjadi paradigma yang terbuka untuk dinalar oleh manusia. Lain halnya dengan hadis, kebanyakan ulama lebih berhati-hati dan segan untuk melakukan telaah ulang dan mengembangkan pemikiran hadis. Banyak kendala yang menghalang di tengah jalan, jika ingin melakukan penelitian dan mengembangkan pemikiran terhadap hadis, baik lewat jalur penelitian matan maupun dalam penelitian sanad.1

Lanjut Amin Abdullah menjelaskan bahwa tema pengembangan pemikiran hadis mengandaikan perlunya kajian ulang terhadap hadis untuk mengoptimalkan proses dinamisasi pemikiran keagamaan Islam sekarang seperti yang dulu-dulu mewarnai kehidupan sahabat, tabi,in dan tabi,in tabi,in. Namum oleh karena hadis telah termaktub secara kuat dalam apa yang disebut Kutubusittah-sama halnya dengan al-Qur’an yang sudah termaktub dalam sebuah mushaf yang kita kenal dengan mushaf Usmani yang

1Amin Abdullah, Studi Agama: Normativisme dan Historitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 19960, h..308-309

(3)

38

tidak boleh diubah-ubah. Maka tanpa disadari terjadi proses pembakuan dan sekaligus terhadap pembakuan hadis.2

Pandangan yang sebangun digambarkan Nur Ichwan bahwa kajian al-Qur’an berbeda dengan hadis, studi hadis menurutnya menjadi sangat rigid, kaku dan sensitif.

Sejak awal, bidang studi hadis menjadi bidang yang monodisipliner. Pendekatan yang dianggap sah adalah Naqdussanad (kritik sanad) dan Naqdulmatan (kritik matan), itupun dengan aturan-aturan yang sangat ketat. Teks hadis, disadari atau tidak, seakan- akan telah menjadi suci ketimbang teks al-Qur’an itu sendiri. Sebagaimana studi al- Qur’an, studi hadis pun dapat dibagi menjadi tiga level utama: pertama, kajian terhadap teks hadis dalam hubungannya dengan Nabi Muhammad SAW. Hal ini terjadi pada misalnya, kritik sanad yang menguji apakah suatu hadis benar-benar dari Nabi, dengan cara mengkaji kredibilitas para perawinya. Kedua, kritik terhadap teks hadis itu sendiri.

Hal ini terkait dengan misalnya, kritik matan, pengkajian terhadap kitab-kitab hadis, dan aktivitas pengsyarahan yang dilakukan seorang pengsyarah atau pengkaji. Lewat pengsyarahan menurut Ichwan di sini perlu dikembangkan suatu hermeneutika hadis, yakni teori dan metodologi interpretasi terks-teks hadis secara lebih komprehensif dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan antara Nabi Muhammad (penulis), teks hadis, dan pembaca. Ketiga, kajian teks hadis dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca/penafsirnya. Hal ini misalnya, terjadi para pengkajian atas produk syarah (kitab-kitab syarah) pengajaran hadis di lembaga-lembaga pendidikan Islam.3

Pandangan di atas, baik Amin Abdullah maupun Nur Ichwan, mengesankan bahwa hadis adalah ilmu yang statis dibanding studi Qur’an. Pandangan tersebut ada benarnya, disebabkan karena kajian terhadap hadis dianggap lebih berat dibanding al- Qur’an. Upaya pengkajian hadis yang menjustifikasi pandangan tersebut bahwa dalam penelitian hadis dibutuhkan sebuah ketelitian dalam penentukan kualitas periwayat hadis yang terdapat dalam sanad. Hal ini butuh ilmu tersendiri dengan bantuan beberapa referensi yang menjadi alat untuk bisa menemukan, baik sumber asli dari tesk

2 Amin Abdullah, Studi Agama: Normativisme dan Historitas...

3 Nur Ichwan, Beberapa Gagasan Tentang Pengembangan Studi al-Qur’an dan Hadis: Refleksi atas Perkembangan Jurusan Tafsir Hadis di Indonesia dalam Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya ( Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003), h. 240-241.

(4)

39

hadis itu maupun sejarah periwayat dalam hadis tersebut agar diketahui baik dari sisi kapasitas intelektualias dan kredibilitasnya. Belum lagi pada melihat pada sisi teks hadis (matan) yang menurut Ichwan pada kritik matan ini bisa mengembangkan hermeneutika hadis.

Pandangan Ichwan yang terakhir sebenarnya hemat penulis bukan hanya pada level pengsyarahan dapat mengembangkan hermeneutika hadis, namun pada penelusuran kredibilitas dan kapasitas intelektual yang terdapat dalam rentetan sanad juga berpeluang untuk mengembangkan hermneneutika hadis. Di sini hermeneutika bisa bekerja lebih maksimal dalam mengcurigai dan “menelanjangi” berbagai hal-hal yang dapat mengurangi kualitas kevalidan suatu hadis. Kalau pada level matan (teks hadis) hermeneutika bekerja untuk menelanjangi teks, sementara pada level sanad hermeneutika bekerja untuk menelanjangi penyampaian teks dari sahabat ke sahabat yang berpeluang mendistorsi makna teks demi kepentingan subyektifnya.

Personifikasi seorang Nabi sebagai penyampai teks hadis yang memiliki bimbingan langsung dari yang bersifat transenden, tidak akan mungkin melakukan “ korufsi “ dan “distorsi “ makna teks. Hal ini karena Nabi memiliki keagungan dalam setiap ucapan dan tindakannya yang tidak dipengaruhi oleh vesinterest dan hawa nafsunya karena apa yang diperbuat dan diucapkan oleh Nabi selalu di bawah sinaran wahyu yang tidak akan mungkin mengalami penyimpangan di dalamnya. Namun, ketika teks hadis telah sampai ke tangan sahabat, maka di tangan sahabat inilah teks hadis mulai tercemar dengan berbagai hal yang membuat teks hadis harus ditelusuri kevalidannya. Kepentingan subyektif maupun kemampuan nalar dan kredibilitas seorang sahabat dalam menangkap teks hadis itu menjadi salah satu parameter dalam menilai hadis dari segi kualitasnya. Sementara dari sisi jumlah yang terlibat dalam periwayatan juga menjadi parameter dalam mengukur teks hadis dari sisi kuantitasnya.

Teori tentang “setiap sahabat adalah adil” menjadi tergoyahkan ketika teks hadis digiring dalam sinaran kajian hermeneutik terlebih lagi pada ilmu Jarh watta’dil. Kedua tradisi keilmuan ini bukanlah “kerabat dekat “ apalagi “saudara kandung” karena keduanya tidak lahir dari rahim yang sama. Terminologi hermeneutika lahir dari rahim

(5)

40

alam pemikiran Barat sementara jarh watta’dil lahir dari rahim alam pemikiran Arab- Timur. Meskipun keduanya lahir dari rahim yang berbeda, maka semangat kedua tradisi keilmuan ini memiliki semangat yang sama dalam menelusuri jejak-jejak perjalanan teks terutama dari sisi kapasitas dan kredibilitas sahabat, tak terkecuali dalam teks hadis yang dalam perjalanannya menyisakan banyak masalah. Disinilah signifikansinya mengkaji hadis dari sudut pandang hermeneutika dan jarh watta’dil yang keduanya ingin mengkaji secara lebih jauh keberadaan siapa yang menyampaikan teks itu dan siapa yang menerima teks itu sehingga teks yang telah diterima oleh penerima teks sangat boleh jadi terjadi salah tafsir dan penyimpangan makna teks.

Dalam konteks kajian ilmu hadis, beberapa unsur penting yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain yaitu: sanad, matan, dan rawi. Ketiga unsur ini menunjukkan keutuhan sebuah hadis yang dikeluarkan dari kutubussittah yaitu kitab enam yang menjadi rujukan paling rajih bagi pengkaji hadis. Meskipun mengeluarkan hadis yang konteksnya sama dari kitab hadis yang berbeda, sangat boleh jadi terjadi perbedaan sanad maupun matan (teks hadis). Sehingga jika terjadi hal yang demikian dibutuhkan penelitian hadis untuk menentukan kredibilitas sanad dan kualitas matan.

Salah satu yang menjadi bagian terpenting dalam penelitian hadis adalah melakukan takhrij al-hadis dan i’tibar hadis. Jika dalam penelitian hadis diketahui menelusuri kredibilitas seorang penyampai hadis yang terdapat dalam sanad, lalu yang disampaikan itu adalah matan atau teks, ini berarti ada yang menyampaikan teks dan ada yang menerima teks, maka tentunya hadis sebagai teks tidak bisa lepas dari kajian hermeneutika. Maka mempertemukan tradisi kajian hermeneutika dan penelitian hadis adalah hal yang pas dalam kajian hadis.

Mempertemukan tradisi keilmuan ini yakni antara hemeneutika dan penelitian hadis, adalah kajian yang sangat mendesak dilakukan. Hal ini bukan tanpa alasan. Di samping untuk menepis suatu anggapan bahwa hadis adalah ilmu yang statis. Demikian pula mempertemukan itu adalah upaya mendinamisasikan hadis itu sebagai ilmu terbuka yang bisa di kaji secara interdisipliner. Pengkajian hadis dengan pendekatan- pendekatan antrofologis maupun sosiologis telah banyak kesarjanaan hadis yang menerapkanya. Adalah Syuhudi Ismail adalah salah seorang fakar hadis yang dianggap

(6)

41

refresentatif yang telah berupaya serius untuk mendinamisasikan ilmu hadis sebagai ilmu yang terbuka untuk dikaji. Beberapa argumen ini yang melandasi penulis untuk menelusuri lebih jauh bagaimana hadis ini bisa dikembangkan dalam sinaran ilmu sosial humaniora.

Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi pokok masalah adalah bagaimana hermeneutika bekerja dalam kajian hadis dan di mana letak integrasi antara metode hermeneutika dan dinamisasi hadis. Tujuan yang hendak dicapai dalam tulisan ini adalah untuk mengemukakan beberapa teori hermeneutika dan dan relevansinya dalam kajian hadis, dan mengemukakan argumenentasi baik secara teoritis maupun substansi perjumpaan teori hermeneutika dan dengan ilmu hadis, dan bagaimana implikasi penerapan hermeneutika dalam studi hadis.

2. Metode

Penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan (library research) atau studi literatur dengan menggunakan pendekatan yang relevan dalam studi ini antara lain;

pendekatan post modernism, dan pendekatan ilmu hadis itu sendiri. Dengan mengacu pada data-data ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Sumber data tersebut diperoleh dari buku-buku lewat pembacaan sehingga dengan hal tersebut diharapkan dapat memberikan imformasi yang lebih akurat dan valid. Adapun sumber yang digaunakan dibagi menjadi dua, yaitu sumber primer dan sekunder. Adapaun yang menjadi sumber primer yaitu buku yang berkaitan langsung dengan hermeneutika hadis dan penelitian hadis. Sementara sumber sekunder adalah buku-buku yang tidak berkaitan langsung dengan tulisan. Namun memiliki kaitannya dengan kajian hadis seperti buku-buku hadis maupun ilmu hadis, pemikiran-pemikiran ulama mengenai penafsiran hadis.

3. Hasil

a. Urgensi Pendekatan Kontemporer dalam Memahami Hadis Nabi

Urgensi memahami hadis dengan pendekatan-pendekatan limu sosial humaniora bahwa apa yang telah disampaikan oleh Nabi baik itu dalam bentuk perkataan, tindakan, dan taqrir Nabi telah menjelma menjadi sebuah teks. Kita tidak

(7)

42

bisa lagi menyaksikan bagaimana situasi dan kondisi Ketika ia menyampaikan hadis itu seperti yang dialami oleh sebagian sahabat. Tentu hal ini menjadi problema tersendiri di dalam mengeksplorasi gagasan dan pesan Nabi, baik yang bersifat temporal maupun yang bersifat universal dengan zaman yang sangat jauh berbeda dengan zaman yang kita alami sekarang ini.

Dalam konteks ini, Ricouer berpendapat bahwa teks adalah sesuatu yang universal, ia tidak dibatasi oleh waktu dan obyek tertentu. Pemahaman terdahulu terhadap suatu teks boleh jadi berbeda dengan masa kini, atau bisa juga pemahaman teks di tempat tertentu berbeda dengan pemahaman di tempat lain, maka suatu teks berpotensi memiliki pluralitas makna. Teks yang disampaikan di masa lalu namun memiliki dinamika yang kuat tidak akan kehilangan eksistensinya akan selalu menemukan aktualitasnya dengan realitas zaman.4

Seperti halnya dengan al-Qur’an, hadis sebagai sebuah teks, tentu juga dalam memahaminya sangat berpotensi untuk diperdebatkan. Mengingat hadis yang diproduksi pada masa lalu kemudian ditransmisikan oleh sahabat ke sahabat dalam kurung waktu yang panjang, tentu saja menyisakan berbagai problema, baik pada aspek sanadnya maupun pada aspek matannya sehingga dibutuhkan penelitian yang serius untuk menentukan tingkat kualitasnya agar hadis tersebut dapat menjadi sumber argumentasi dalam doktrin ajaran Islam setelah al-Qur’an.

Adalah hal yang tak dapat terelakkan situasi umat Islam sekarang ini yang sebagian melakukan pembacaan tendensius-idiologis terhadap doktrin agama itu yang menyebabkan terjadinya klaim kebenaran terhadap idiologi yang dianutnya sementara menganggap kelompok lain sebagai “kelompok sesat”. Padahal Derrida memandang bahwa setiap teks memiliki potensi untuk mendekonstruksi dirinya sendiri, sehingga teks selalu dapat dibaca dan dipahami dengan cara yang berbeda.

Oleh karena itu, tidak ada tafsir yang otoritatif. Oleh karena adanya klaim kebenaran bersifat ditangguhkan (difference), apa yang diketahui hanyalah jejak-jejak (trace) dari kebenaran, dan setiap teks memiliki potensi untuk terus menerus dimaknai di

4Sumayono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat ( Yogyakarta: Kanisius, 1999 h.. 105-109

(8)

43

dalam konteks yang berbeda-beda. Oleh karena itu, melalui pendekatan hermeneutika Derrida, pemahaman yang mafan mengenai suatu hadis dapat saja ditelanjangi dengan mengajukan argumen yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.5

Akibat dari adanya klaim kebeanaran tersebut adalah cara pandang dan pendekatan yang berbeda dalam memotret cakrawala teks termasuk teks hadis. Di samping itu, ketidakmampuan memahami hadis secara tekstual dan kontekstual juga akan berakibat kegagalan dalam menangkap maksud pesan-pesan yang terdapat dalam teks hadis.Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pesan-pesan yang terdapat dalam teks hadis tersebut, dibutuhkan pendekatan-pendekatan secara komprehensif. Pendekatan-pendekatan yang dimaksudkan di sini adalah dengan menggunakan jasa disiplin ilmu sosial humaniora yang pernah diproduk di abad modern seperti ilmu sosiologi, antropologi, sosio-historis, linguistik-hermeneutik.

Pendekatan sosiologis dalam memahami hadis yaitu memahami kondisi masyarakat pada saat teks hadis itu diproduksi. Salah satu yang dapat diperhatikan adalah melihat hadis yang berlaku secara lokal-temporal. Adapun pendekatan antropologis yaitu memahami hadis dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat pada saat hadis tersebut disabdakan. Pemahaman hadis dengan antropologis bahkan sudah diterapkan Nabi.

Sementara dengan pendekatan sosio-historis adalah memahami hadis dengan melihat sejarah dan setting sosial pada saat dan menjelang hadis tersebut disabdakan. Hal itu dilakukan apabila dalam sebuah hadis diindikasikan terdapat aspek kesejarahan sosial dan aspek sosiologis sekaligus. Dan terakhir adalah pendekatan linguistik atau hermeneutik, pemahaman hadis dengan pendekatan linguistik memang sangat urgen mengingat hadis telah menjelma dalam sebuah teks yakni teks bahasa Arab. Karena hadis telah menjelma ke dalam sebuah teks, maka hadis tidak bisa mengelak dari pendekatan hermeneutik.

5 Sumayono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, h.120-124.

(9)

44 b. Lingkaran Teoritis Hermeneuika Hadis

Seiring dengan perkembangan ilmu hadis,6 ilmu hadis juga telah berkembang pesat hingga memasuki ranah soiologis, psikologis dan antropologis.

Jika selama ini ilmu hadis dianggap cenderung monodisiplin, maka ilmu hadis dalam perkembangannnya cenderung integratif atau interkonektif. Kajian hadis juga cenderung bersifat multi disipliner atau interdisipliner. Kajiannya menjadi lebih luas perspektifnya pun menjadi sangat beragam.

Pada dasarnya penerapan teori hermeneutika secara implisit sudah ada sejak al-Qur’an diturunkan dan hadis itu disampaikan oleh Nabi. Fenomena ini dianggap urgen dengan upaya manusia untuk memahami bahasa Tuhan maupun sabda Nabi secara benar dan meyakinkan. Dibandingkan dengan studi al-Qur’an, penerapan teori hermeneutika jauh lebih berkembang dibanding hadis.

Sama dengan al-Qur’an, pada dasarnya hadis Nabi adalah fenomena linguistik yang terbuka untuk dipikirkan secara artikulatif. Dalam konteks pemikiran Islam, bahasa hadis yang dalam perjalanannya begitu panjang yang pada akhirnya bermuara secara resmi dalam sebuah kitab yang kita kenal dengan kutubussittah.

Teks hadis yang perjalanannya yang begitu panjang tentu membutuhkan penafsiran agar pembaca dapat memahami maksudnya. Di samping itu realitas kenabian sudah berakhir, tentu saja bisa melahirkan dan sangat terbuka untuk dipahami secara multiperspektif. Belum lagi hadis lebih rentan terhadap problema otentisitas, dimana perjalanan panjang kemunculan hadis hingga proses kodifikasinya yang jelas tidak terlepas dari intervensi para sahabat baik dari sisi penghafalan, periwayatan, hingga pemeliharaan dan penulisannya dalam sebuah teks. Hal ini ditengarai munculnya

66 Menurut Nur al-Din Itr bahwa, upaya pertama dalam pengkajian sejarah perembangan hadis dan ilmu-ilmu hadis dilakukan oleh “Abdul ‘Aziz al-Khawly. Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulumi al-Hadis (Beirut: Dar al-fikr, 1418 H/1997 M), h. 71. Al-Khawly mendepenisikan sejarah hadis sebagai fase-fase yang telah dilalui oleh hadis mulai awal kemunculannya pada masa Rasululullah saw. Sampai zaman kontemporer. Fase-fase sejarah perkembangan hadis terdiri dari: pemeliharaan dalam bentuk hapalan, menulisan hadis yang masih bercampur dengan fatwa, penulisan hadis secara tersendiri, penyaringan hadis-hadis shahih, penyusunan secara sistematis, penghimpunan dan sayarah dan keunculan sebagai cabang ilmu hadis. Abdul al- ‘Aziz al-Khawly, Miftah al-Sunah aw Tarikh Funun al-Hadis (Beirut: Dar a-Kutub al-Ilmiah, t.th), h.6.

(10)

45

subyektifitas perawi dalam proses transmisi penyampaian hadis yang tentunya berimplikasi kepada kualitas dari produk sebuah teks hadis.

Tekstualitas hadis sebagai fenomena linguistik, yang juga sebagai bahasa agama, sangatlah terbuka untuk dipahamaminya dalam sinaran ilmu sosial humaniora. Salah satu pendekatan yang lahir dari ilmu sosial humaniora tersebut adalah “pendekatan hermeneutika”. Komaruddin Hidayat menggambarkan ada empat yang menjadi landasan dalam proses mengkaji sebuah teks, yaitu bahasa agama yang menjadi pijakan dalam membangun keberagamaan. Pertama, apakah diri kita cukup memiliki persyaratan untuk menangkap gagasan dari luar? Kedua, cukupkah data yang kita miliki berkaitan dengan kualitas pribadi dan intelektual serta kondisi kultrural saat teks tersebut dilahirkan? Ketiga, rentang waktu yang panjang antara pembaca dan pengarang menimbulkan pertanyaan, bagaimana menghubungkan antara teks dan pengarangnya? Dan keempat, apa kriteria untuk dapat memahami teks secara tepat dan benar?7

Dalam konteks yang lebih dinamis, Aboue el-Fadl mengusung pembacaan ulang terhadap kajian hadis dalam perspektif hermeneutik. Dia mengusulkan perlunya penetapan makna hadis. Penetapan makna di sini pada dasarnya bukan hanya persoalan penafsiran dan pemahaman, tetapi juga persoalan penentuan

“penerapan” perintah dari teks otoritatif. Atau proses penafsiran bukan hanya upaya memahami makna suatu kata atau ungkapan, tetapi juga cara menerapkan makna tersebut.8

Aboue el-Fadl menegaskan bahwa proses penetapan makna merupakan hasil interaksi antara pengarang (author), teks (text) dan pembaca (reader). Dalam konteks ini, untuk membangun makna harus ada proses negosiasi dari ketiga aspek tersebut secara seimbang tanpa ada dominasi dari satu pihak. Untuk yang pertama, Author; sebuah hadis yang muncul tidak bisa dilepaskan intervensi manusia, baik dari sisi penghafalan, periwayatan, hingga pemeliharaan dan kodifikasinya dalam

7 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:

Paramadina, 1996), h. 153.

8 M. Nurcholis Setiawan, dkk, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis:

Teori dan Aflikasi (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga,2011), h. 130.

(11)

46

bentuk teks. Belum lagi terdapat tingkat subyektifitas kreatif yang sangat tinggi dalam proses pengujian autentisitas, dokumentasi, penyusunan dan penyampaian riwayat-riwayat yang dikatakan berasal dari Nabi dan sahabat. Oleh karena itu, kepengarangan hadis, tidak bisa dilepaskan dari proses kepengarangan dalam pembentukan hadis.9 Tentunya dalam hal ini, Nabi adalah sebagai pengarang yang terbentang dalam sejarah yang panjang. Akan tetapi kita tidak menerima perkataan Nabi melalui proses yang bersifat abadi yang dijamin oleh Tuhan, melainkan melalui sebuah media yang sangat bisa dinegosiasikan, yang memilah, melindungi, dan menghasilkan unsur-unsur kebenaran nabi.

Kedua, hadis merupakan teks otoritatif yang menduduki posisi tertinggi sebagaimana al-Qur’an dalam kapasitasnya sebagai sarana untuk menemukan pesan Tuhan dan kehendak Tuhan. Oleh karena hadis memiliki otoritas untuk memerintah manusia. Keberwenangannya bersumber dari realitas faktual bahwa hadis berasal dari Tuhan dan memberitahukan kepada manusia mengenai perintah-perintah Tuhan.10 Hal tersebut menegaskan hadis sebagai sumber efistimologi yang paling otoritatif setelah al-Qur’an dari bebagai aspek-aspek baik pedoman yang menyangkut bagaimana cara berhubungan dengan manusia secara horizontal, maupun bagaimana cara berhubungan dengan Tuhan secara vertikal. Ketiga, reader.

Dalam proses penetapan makna memiliki posisi yang signifikan, karena pada posisi readerlah makna terbentuk. Oleh karena itu, untuk menghindari otoritarianisme pembaca yang berakibat pada penafsiran yang sebebas-bebasnya terhadap teks.

Abou el-Fadl mengakui adanya pelimpahan wewenang Tuhan kepada manusia yang memenuhi persyaratan.11

9 Khaled M. Abou el Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Woman terjemah R. Cecep Lukman yasin dengan judulAtas Nama Tuhan: dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004). H. 130.

10 Abou el-Fadl, Atas nama Tuhan,... h.128.

11 Menurut Abou el-Fadl, ada lima syarat sebagai pelimpahan otoritas Tuhan kepada manusia sebagai “wakil khusus” dalam tindakan penafsir, yaitu: Pertama, jujur (honesty) dalam memahami perintah Tuhan. Kedua, kesungguhan (diligence) dalam berijtihad, yaitu mengerahkan segenap kemampuan rasionalnya dalam memahami peribtah Tuhan.Ketiga, kemenyeluruhan (comprehensiveness), yaitu melakuan penyelidikan secara menyeluruh untuk memahami kehendak Tuhan. Keempat, rasionalitas (rasionality), yaitu melakukan upaya pemahaman dan penafsiran terhadap perintah Tuhan secara rasinal. Kelima, pengendalian diri ( self-restraint), yaiu upaya yang dilakukan dalam memahami

(12)

47

Ontologi bahasa hadis yang sudah terekam secara resmi dalam kutubussittah, tentu tidak terlepas dari beberapa peran yang melingkupinya atau yang penulis istilahkan dengan” lingkaran hermeneutika hadis. Logika pemikiran dilandasi dari keberadaan teks hadis tidak bisa terlepas dari tiga komponen yaitu: pembuat teks, pembaca/penyampai teks, dan teks itu sendiri. Oleh karena itu, proses pemahaman, penafsiran dan atas sebuah teks selalu mengasumsikan adanya tiga subyek yang terlibat, yaitu dunia pengarang, dunia teks, dan dunia pembaca.

Persoalan menjadi rumit ketika jarak waktu, tempat dan budaya antara pembaca dan pengarang teks, demikian jauh. Teks-teks keagamaan yang lahir dari sekian abad yang lalu yang kemudian hadir di tengah kita dengan zaman yang jauh berbeda yang tentu saja merupakan sesuatu yang asing. Persoalan keterasingan ini pulalah yang menjadi salah satu dari lingkaran hermneutika.12 Demikian pula muncul pertanyaan, Bisakah kita menangkap gagasan-gagasan Rasulullah melalui sepotong-sepotong kalimat yang terhimpun dalam kitab hadis? Persoalan inilah yang dimaksudkan sebagai probema hermeneutik. Begitu Rasulullah wafat maka proses penafsiran dan pemahaman terhadap hadis berkembang terus hingga sekarang.

Teori di atas, dikuatkan jika dikaitkan dengan proses interpretasi teks-teks, maka obyek hermeneutika dalam diskursus filsafat modern terkait dengan masalah- masalah yang timbul di seputar apa yang dikenal sebagai “problem hermeneutis”

problem semacam ini timbul dengan sendirinya ketika seseorang disodori teks-teks yang masih asing dan berusaha ia memahaminya. Pada kondisi demikian, terjadi kesenjangan pemahaman akibat perbedaan latar belakang teks dengan pembacanya akibat perbedaan jarak waktu, dan kebudayaan yang melingkupi keduanya.13

Bleicher menggambarkan problema hermeneutik yang bisa dibagi menjadi tiga komponen. Pertama, ketika seseorang berusaha memahami ekspresi-ekspresi

dilandaskan pada sikap batin dengan dasar rendah hati dan pengendalian diri, tidak emosional dalam menjelaskan kehendak Tuhan. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan...., h. 97.

12 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama,...h. 17

13 Ilham B. Saeong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hassan Hanafi ( Jakarta: Teraju, 2002), h. 32.

(13)

48

manusia yang bermakna, kedua, bagaimana menerjemahkan narasi-narasi yang bermakna subyektif menjadi obyektif. Ketiga, dalam proses penafsiran tidak terlepas dari subyektifitas penafsir. Ketiga elemen hermeneutis yang digambarkan Bleicher di atas, bisa dipahami dalam bentuk sebuah “struktur triadik”14 seperti dalam istilah Harvey yang menyusun kegiatan penafsiran, kegiatan penafsiran selalu berkaitan dengan adanya tiga unsur dalam interpretasi: pertama, tanda, pesan, atau teks dari berbagai sumber, kedua, seorang mediator yang berfungsi menerjemahkan tanda atau pesan sehingga dapat dengan mudah dipahami, ketiga, audiens yang menjadi tujuan penafsiran.15

Secara fundamental teori hermeneutik yang digambarkan di atas, pada prinsipnya sudah dipraktekkan pada kesarjanaan awal Islam terutama dalam kajian- kajian tafsir, sebab sebuah produk tafsir biasanya mencakup tiga elemen tersebut walaupun kajiannnya masih perlu pengembangan secara pilosofis. Pemahaman terhadap hadis, pada dasarnya membutuhkan upaya pemikiran secara serius yang memperhatikan berbagai aspek-aspek dari kemunculan teks-teks hadis. Problema- problema yang mengitari kemunculan teks hadis adalah persoalan yang sangat kompleks dalam mengukur kevalidan hadis. Karena kompleksnya kajian-kajian ilmu hadis sehingga tema-tema dalam kajian hadis juga sangat bervariasi apakah yang berkaitan dengan teks hadis (matan), penyampai teks (sanad), maupun yang mengumpulkan matan dan sanad itu dalam sebuah kitab secara resmi ( rawi).

Ketiga komponen hadis di atas, dianggap unsur yang terpenting dalam kajian ilmu hadis. Ketika ketiga unsur ini gagal dipahami, maka sulit untuk memahami dari berbagai aspek-aspek lain. Makanya, ilmu hadis, memiiki dua cabang utama, yaitu

14 Ketiga unsur ini sama dalam mitologi Yunani yang diperankan oleh Hermes yang bertugas menyampaikan bahasa Dewa yang sifatnya melangit lalu kemudian tugas Hermes mengubah bahasa Dewa menjadi bahasa bumi agar dapat dipahami oleh manusia di bumi. Di sinilah asal muasal munculnya hermeneutika yang menjadi teori interpretasi. Tiga elemen pokok hermneutika, pengarang teks, teks, dan pembaca, masing-masing memilki dunianya sendiri sehingga hubungan antara ketiganya mestinya selalu dinamis, dialogis dan terbuka. Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme ( Jakarta: Paramadina, 1998), h. 119.

15 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan... h. 33.

(14)

49

ilmu hadis dirayah dan ilmu hadis riwayah.16 Keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Untuk mengetahui dirayah hadis, baik dari sisi historitasnya (kualitas sanad) maupun sisi pemahaman, sangat diperlukan pengetahuan tentang ilmu riwayah. Tanpa adanya ilmu riwayah, dirayah akan terputus dari konteks historisnya. Baik, sejarah kemunculannya pada masa Nabi (asbab al-nuzul), maupun historis periwayatannya (asbabul irad). Demikian pula sebaliknya, kajian ilmu riwayah tanpa disertai dengan pengetahuan tentang dirayahnya, akan menjadi kering dan tidak sempurnah mamfaatnya. Hadis dirayah dan hadis riwayah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

c. Penomena linguistik hadis : Pintu Masuk Kajian Hermeneutik

Tak dapat dibantah bahwa bahasa hadis adalah penomena linguistik yang menyejarah. Para fakar hadis memberikan pengertian bahwa apa yang disandarkan kepada Nabi apakah dalam bentuk berkataan (qaul) perbuatan (fi’li), maupun ketetapan (taqrir), ketiga komponen ini menjadi bagian dari macam-macam hadis yang kemudian pada akhirnya juga menjelma menjadi sebuah teks. Hal ini dapat dipahami bahwa hadis merupakan catatan rekaman para sahabat terhadap apa yang diucapkan Nabi, perbuatan, tindakan, maupun persetujuan Nabi yang kemudian yang telah ditangkap oleh para sahabat tersebut di sampaikan secara oral oleh generasi ke generasi yang pada akhirnya termaktub dalam berbagai kitab yang kitab kenal dengan kutubussittah.

Melihat dari sisi penomena kebahasaan yang terdapat dalam hadis, maka dapat dikatakan hadis adalah teks yang terbuka. Dalam konteks ini Aboe el-Fadl bahwa hadis adalah merupakan “karya” yang terus berubah (work in movement), dimana teksnya bersifat statis tetapi isi kandungan teks tetap bergerak, bahkan menyediakan bentuk penafsiran yang beragam. Selain itu hadis juga merupakan teks terbuka (the open text), yaitu karya yang membiarkan dirinya terbuka bagi berbagai

16 Ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang diketahui dengannya hal ihwal snad, matan, tat cara menyusun hadis dan sifat-sifat perawi hadis dan lain-lain, sementara hadis riwayat ialah ilmu yang mencakup atas pemindahan riwayat dari apa yang disandarkan kepada Nabi Saw: baik perkataan, perbuatan maupun sifat. Hafizd Hasan al-Mas’udy, Mihnah al-mughis fi Ilmi Musthalah al-Hadis (Surabaya: Syarikah wa Maktabah Salim wa Auladuh, t.th), h. 3-4.

(15)

50

penafsiran.17Dalam artian bahwa teks hadis mampu menerima gerak inteterpreasi yang dinamis. Dalam hal ini teks menduduki posisi sentral dan maknanya tidak tetap, tetapi terus berkembang secara aktif dan tetap relevan dengan konteks yang juga terus berkembang. Begitu pula dengan hadis akan menghasilkan pemahaman dan interpretasi baru yang dinamis. Oleh karena pada dasarnya tidak ada interpretasi yang tetap dan mapan terhadap hadis, karena hal tersebut akan menjadikan teks hadis tertutup terhadap makna baru dan menjadi tidak relevan dengan konteks yang terus berkembang.18

Salah satu elemen terpenting untuk melihat penomena kebahasaan yang terdapat dalam hadis adalah matan hadis atau teks hadis atau dalam terminologi ilmu hadis disebut Ma’ani al-hadis. Para pengkaji hadis dalam menelusuri kevalidan hadis, maka kajian yang penting untuk dilakukan adalah kritik matan atau kritik teks hadis. Di samping kritik matan, juga bagian terpenting adalah melakukan kritik sanad. Kritik sanad menekankan pada penilaian negatif atau positif atau dikenal dengan istilah jarh wa tta’dil, dalam hal keadilan, kejujuran, dan kekuatan hafalan terhadap perawi suatu hadis sejak dari sahabat sampai perawi terakhir.

Sedangkan kritik matan lebih berfokus terhadap masalah-masalah tanda baca, seperti titik, fathah, dhammah, dan kasrah. Kritik ini tidak menyentuh isi (contens), karena yang terakhir ini masuk dalam genre lain, yakni syarah (komentar).19

Dibanding dengan kritik matan, kritik sanad belum ada peneliti yang secara eksplisit melakukan studi dari sudut pandang hermeneutik. Hal ini dikarenakan bahwa aspek sanad diorientasikan untuk penilaian untuk memahami sejauh mana tingkat kesahihan dan kedhaifan yang kemudian apakah hadis itu dapat dijadikan argumentasi atau tidak dalam hal ini apakah hadis itu maqbul atau mardud.

Dalam konteks penelitian hadis, kritik matan dan kritik sanad hadis, memiliki kedudukan yang sangat penting, penelitian matan akan mempunyai arti penting jika sanadnya jelas dan memenuhi syarat. Dan hal ini menunjukkan bahwa

17 Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, h. 102.

18 Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, h. 212.

19 Nur Ichwan, Beberapa Gagasan Tentang Pengembangan Studi al-Qur’an dan Hadis...h.240.

(16)

51

setiap matan hadis haruslah memiliki sanad. Tanpa adanya sanad, suatu matan tidak dapat dinyatakan berasal dari Nabi.20 Sekiranya setiap matan hadis telah secara meyakinkan berasal dari Nabi, maka penelitian terhadap matan, demikian juga terhadap sanad, tidak diperlukan. Kenyataannya, seluruh matan hadis yang sampai ke tangan kita berkaitan erat dengan sanadnya, sedang keadaan sanad itu sendiri masih diperlukan penelitian secara cermat, maka dengan sendirinya keadaan matan perlu diteliti secara cermat juga.21

Pendekatan hermeneutik yang menekankan aspek gramatika bahasa, maka cara yang paling dekat untuk mengenal hadis adalah merujuk pada karakter bahasa Arab, karena tertuang dalam bahasa Arab. Hermeneutika hadis melalui pendekatan ini, lafazd yang terdapat dalam hadis yang ditafsirkan berusaha menggali dan mengembangkan lafazd tersebut serta ekspresi hadis dalam wacana bahasa Arab sebagaimana sebuah kata dan ungkapan oleh masyarakat Arab pra Islam, baru kemudian lafazd dan makna itu diposisikan dalam wacana ke-Islaman.

Matan hadis sebagai obyek material dari penelitian hadis diriwayatkan dalam dua bentuk yakni bersifat lafazd dan makna. Pernyataan tersebut menggiring kepada kita pada dua bentuk penelitian, yaitu penelitian atas kebenaran kata yang disepakati, guna mengetahui keotentian kata tersebut apakah benar bersumber dari Nabi. Penelitian matan hadis ditinjau dari sudut pendekatan bahasa mencakup dua hal, yaitu pertama, penelitian terhadap keotentikan kata, ditinjau dari sudut dikenal tidaknya kata itu pada kurun masa kenabian dan sahabat. Kedua, ketepatan kata yang digunakan oleh periwayat yang meyakinkan sesuai dengan kejadian di masa Nabi.

Aspek-aspek linguistik dalam hadis, dapat digambarkan langkah-langkah yang dilakukan M. Syuhudi Ismail untuk meneliti dari aspek matan sebagai berikut:

pertama, Jawami alkalim, (padat kata memiliki makna yang luas) kedua, bahasa tamsil, (perumpamaan), ketiga, ungkapan simbolik, keempat bahasa percakapan,

20 Syarifah Hasanah, Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail, dalam Kurdi dkk, Hermeneutika al- Qur’an dan Hadis ( Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), h. 367-368.

21 M. Syhuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi ( Jakarta: Bulang Bintang,1992), h.

26.

(17)

52

kelima, ungkapan analogi,22 berdasarkan klarifikasi yang diteliti oleh Syuhudi Ismail tersebut nampak jelas bahwa bahasa hadis memiliki bahasa yang bervariatif sehingga dalam memahami hadis perlu melihat dari aspek kebahasaan sesuai dengan konteks bahasa yang dmaksud. Di sisi lain lain, ini menunjukkan bahwa hadis harus dilihat dari aspek tekstual dan kontekstualnya sehingga kita dapat menangkap muatan yang dikandung bahasa hadis ada yang bersifat universal, temporal dan lokal.

Dalam konteks di atas, sebenarnya pendekatan hermeneutik menekankan sebuah pembacaan kontekstual terhadap teks mengingat jarak yang begitu jauh, serta situasi yang berbeda pada saat teks itu diproduksi kemudian teks itu hadir di masa kini di hadapan pembaca yang hanya dipertemukan oleh teks. Namun Syuhudi Ismail menekankan perlu memperhatikan bentuk hadis yang sifatnya lokal, yakni tempat diproduksinya teks hadis, temporal yakni kapan hadis itu diproduksi, dan bersifat universal yakni bagaimana hadis itu tetap memiliki relevansi sesuai kondisi dan situasi atau dalam bahasa lain Yurafiqul Amkani wa al-Azman.

Menggugat Nalar Hadis-Hadis Relasi Gender dalam Tinjauan Hermeneutik

Teks-teks hadis yang sering dijadikan meligitimasi “superioritas laki-laki adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-bukhari dan Muslim yang berkaitan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan.

Dalam hadis tersebut secara tekstual disebutkan tentang perlunya seorang istri sujud kepada suaminya, dan hadis yang menyinggung tentang kepemimpinan perempuan.

Tentang kepemipinan perempuan, perempuan dianggap kurang cerdas berdasarkan hadis di dalam shahih Bukhari dan Muslim sebagai berikut:

22 Penjelasan lebih lanjut lihat M. Syhudi Ismail,Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:

Telaah Ma’ani al-hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulang Bintang, 1994).

(18)

53 ﯾﻨِدِ

ﻨﺎ نُﺎﺼﻘﻧﺎ ﻣ:ﮫ ﻟﻦُﻠْﻘُﻓ(ءِﺎﺴﻟﻨِّ اﺮَﺸﻌﻣﺎ ﯾﻦﱠﻛاﺪﺣ إﻦﻣِمِزﺎﺤﻟ اﻞِﺟُﺮﱠﻟ ﺐِّ ا ﻟِﻠُﺐَھَذ أﻦٍﯾدِوﻞٍﻘﻋتِ ﺎﺼﺎﻗ ﻧﻦﻣِﺖُأَﯾْرﺎ ﻣ :

) أ ﻟﯿ ﺷَﮭ د ةُ

ا ةِأ ﻣِ

ﻞَﺜْ

ﻒِ ﺷَﮭ ةِد ا ﺮﱠﻟ ﻞِﺟُ

( ﻗُﻠْ

ﻦَ

: ﻗﺎ ل : ا ك ﻧُ

نُ

ﻠِﻘ

لﻗﺎ؟ﷲِ لَﻮﺳر ﯾﺎﺎ ﻠِﻨﻘﻋو

ﺗُ

ﺼَﻞِّ

و

َ

ﺼُﻢْ ﻢ ﻟةُأﺮﻤﻟ ﺖِ ا ﺿﺎﺣا ذ إﺖْﺴَ ﻟﯿوَأ

“Tidak pernah aku melihat yang kurang akal dan agamanya, namun mampu menghilangkan keteguhan laki-laki yang teguh, melebihi kalian wahai para wanita”.

Maka para wanita bertanya kepada Nabi: “ apa maksudnya kami kurang akal dan kurang agamanya wahai Rasulullah?” Nabi menjawab: “bukankan persaksian wanita itu semisal dengan persaksian setengah lelaki?”. Mereka menjawab:” ya benar” Nabi melanjutkan itulah kurangnya akal. Dan bukankah wanita jika haid ia tidak shalat dan tidak puasa?”.

Mencermati hadis di atas secara tekstual, nuansanya memang berbau misigonis, yang berusaha menyudutkan posisi perempuan. Dari teks hadis tersebut secara implisit mengingkari keberadaan perempuan sebagai makhluk yang sama derajatnya dihadapan Tuhan tanpa membedakan antara satu dengan yang lain seperti yang disinggung dalam teks al-Qur’an.23

Tesk hadis di atas juga menyinggung secara tekstual bahwa perempuan itu memiliki kapasitas nalar serta agama yang kurang maksimal dibanding dengan laki-laki sehingga kesaksian perempuan adalah setengah kesaksian laki-laki. Hal inilah yang menyebakan sebagian feminis liberal juga mengatakan bahwa hadis tersebut bertentangan dengan ajaran moral yang substansial dalam al-Qur’an yang menggariskan konsep keseteraan antara suami istri, di mana posisi mereka di hadapan Allah adalah sama, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaan.

Dalam bahasa al-Qur’an, banyak disinggung dengan istilah Ulul al-bab yang dalam pengertiannya adalah orang yang mampu memaksimalkan nalarnya yang menurut Quraish Shihab bahwa mereka yang dianami Ulul albab tersebut, tidak terbatas pada kaum lai-laki saja, melainkan juga kaum perempuan. Dalam al-Qur’an surah Ali Imran(3): 195 yang menegaskan bahwa” Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman. “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan. Ini

23 Lihat QS al-Nisa: 4: 34

(19)

54

berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir seperti lelaki, mempelajari, dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati setelah berzikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui.24

Quarish Shihab menggambarkan konteks sejarah bagaimana kemampuan perempuan secara nalar bahwa sejarah telah membuktikan banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, sehingga menjadi rujukan sekian tokoh lelaki. Istri Nabi ‘Aisyar r.a., adalah salah seorang tokoh yang mempunyai pengetahuan sangat dalam serta termasyhur pula sebagi seorang kritikus, sampai ada ungkapsn terkenal yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi saw: “ Ambillah setengah pengerahuan agama kalian dari al-Humaira ( yakni ‘Aisyah). Demikian juga As-Sayyidah Sakinah putri al-Husain bin Ali bin Abi halib. Kemudian al-Syaikhah Syuhrah yang bergelar “ Fakhr al-Nisa” ( Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi’i, dan masih banyak lagi yang lainya.25

Gambaran di atas cukup membuka nalar kita untuk memahamai secara adil dan bijak tentang betapa Islam memberikan kebebasan kepada perempuan dalam hal mengasah pikirannya dengan cara menggali pengetahuan dengan apa yang mereka inginkan, seperti halnya lelaki. Karena Islam memberikan kebebasan untuk menggali pengetahuan, maka secara logika tentu Islam pula memberikan kebebasan dalam mengekspresikan pengetahuannya ke ruang publik secara wajar. Ungkapan ulul al-bab yang disebutkan al-Qur’an, tentu berlaku secara universal karena al-Qur’an tidak menyebutkan batasan siapa yang dialamatkan untuk mendapatkan gelar Ulul Al-bab.

Secara tekstual hadis yang menyinggung kelemahan perempuan dalam hal berfikir, tentu bertentangan secara dimetral dari teks al-Qur’an tersebut.

Oleh karena itu, Dalam konteks kritik matan hadis, salah satu parameter untuk mengukur kualitas kevalidan sebuah hadis jika hadis tersebut tidak bertentangan dengan teks al-Qur’an. Melihat di mana Nabi masih hidup, perempuan lebih sering berperan

24 M. Qurais Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat ( Bandung: Mizan, 1994), h. 308-309.

25 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an...h. 309.

(20)

55

dalam urusan domestik dibanding dengan urusan publik, hal ini berpengaruh kepada nalar perempuan yang hanya berkonsentrasi dalam urusan rumah tanggga dan kurang memberikan wewenang dalam urusan publik. Urusan publik yang sangat mewarnai kehidupan pada saat itu adalah urusan utang piutang yang banyak didominasi oleh kaum laki-laki.26 Kalau dahulu hak-hak istmewa banyak diberikan kepada kaum laki-laki mungkin dapat dibenarkan, karena tanggng jawab mereka lebih besar, tetapi di beberapa tempat dalam kurung waktu terakhir ini peranan perempuan di dalam masyarakat mengalami banyak kemajuan.27

Demikian pula hadis yang secara tekstual yang menyinggung tentang kepemimpinan perempuan, oleh Para feminis muslim seperti Fatima Mernisi dan Riffat Hassan secara terang-terangan menggugat penafsirannya terhadap hadis tersebut seperti yang terdapat dalam kitab-kitab klasik. Bahkan Fatima Mernisi menggugat sejumlah hadis seperti hadis riwayat Bukhari yang dinilai sebagai hadis misigonis. Teks hadis yang dimaksud yang mempunyai sebab periwayatan dari Abu Bakrah sebagai berikut:

ﺛﻨ ا ﺜﻨ ﺛﻨ ﺎﻟ ا ث ﺛﻨ ﯿ ة ا ا أ ة ﻗﺎ ل

ﯿ ر ل ﻠﯿ و ى ﻗﺎ ل ا ا إﺑ ﻨﺘ ل ا ﻟﻨ ﻠﯿ

و م و أ ھ ا أ ة ل : ﻓﻠ ﺎﺋ ا ﻟﺒ ة ذ ت ل ر ل ﻠﯿ

و

“Allah telah memberi manfaat kepadaku dengan sebab suatu kalimat yang aku dengar dari Nabi pada saat terjadinya fitnah perang jamal. Di mana waktu itu hampir aku akan bergabung dengan ashabul jamal dan berperang bersama mereka. Lalu disampaikn kepada Rasulullah bahwa kerajaan Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai raja mereka. Beliaupun bersabda: “tidak beruntung suatu kaum (bangsa) apabila menyerahkan kepemimpinan (urusannya) kepada wanita”

Fatima Mernisi melakukan kritik sanad dan matan terhadap hadis ini. Pertama- tama ia menyoroti keberadaan Abu Bakrah yang dinilainya mantan budak dan memiliki reputasi negatif terutama semenjak Rasulullah meninggal. Mernisi meragukan hadis ini dengan alasan mengapa hadis ini baru populer setelah muncul masalah politik yang berkaitan dengan ‘Aisyah dengan ‘Ali. Abu Bakrah ternyata berada di pihak ‘Ali.

26 Shalih Abu Bakar, Menyingkap Hadis-hadisPalsu (Semarang: CV.S. Agung, t.th). h. 34.

27 Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Gender, h. 293-294.

(21)

56

Kalaupun hadis ini benar, maka pernyataan Rasulullah ini hanya tanggapan spontanitas terhadap Raja Kisra di Persia yang mewariskan tahta kerajaannya kepada anak perempuannya yang belum siap.28 Berangkat dari hadis yang seakan menyinggung perasaan perempuan tersebut, justru Fatima Mernisi cenderung memberontak dan menganggapnya tidak rasional. Oleh sebab itu, mengkritisi hadis tersebut Fatima Mernisi dipandang acuh tak acuh yang telah berusaha membongkar bangunan penafsiran ulama klasik, yang menurutnya menunjukkan dominasi patriarki.

Hal ini dapat dibaca bahwa Mernisi tidak hanya mendekati agama secara tekstual dan literal. Namun, teks-teks agama haruslah dikaji dari pendekatan historis- sosiologis. Hal ini bertujuan untuk menemukan sigifikansi makna, jika dihubungkan dengan kondisi zaman dan tempat. Oleh karena itu, pemikiran yang ditawarkan oleh Fatima Mernisi di dalam memahami hadis, bukanlah sebuah kemapanan dan absolut.

Muhammad Syahrur juga menggugat dari hadis yang berbau misigonis di atas yang dalam pandangannya bahwa, sebagian pihak ada yang menentang keterlibatan politik perempuan dengan, bendasarkan pada hadis tersebut, jika benar, bahwa Nabi telah menyampaikan” sebuah kaum tidak akan beruntung jika mereka diperintah oleh seorang perempuan”. Syahrur meragukan kualitas hadis tersebut sebagai hadis yang shahih, olehnya menurut Syahrur, seandainya hadis ini shahih, tidak pada tempatnya kita menjadikannya dasar sebagai penolakan keterlibatan perempuan dalam politik, karena hadis ini merupakan komentar atau tanggapan Nabi pada sebuah peristiwa tertentu, yaitu ketika salah seorang sahabat memberikan imformasi kepada Nabi perihal ketika raja Romawi yang kemuadian diganti oleh putrinya. 29

Lanjut Syahrur mengkritik, bahwa seandainya hadis ini shahih, maka ini tidak dapat dipahami sebagai bagian dari syariat atau ajaran yang berlaku abadi. Hadis ini hanyalah sebatas komentar atas suatu peristiwa yang bersifat kasuistik yang tidak termasuk dalam batasan-batasan hukum, akhlak, ataupun ibadah. Oleh karena itu, hadis ini tidak dapat dijadikan dasar pengambilan hukum seperti dalam kaidah “ in sahhal al-

28 Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Gender, h. 194.

29 Muhammad Syahrur, al-kitab wa al-Qur’an:Qira’ahMu’ashirah (al-Qahirah: Sina li al- Nasyar, 1992) h.

(22)

57

ha-adis fahuwa mazhabi” ( jika sebuah hadis berkualitas shahih, maka saya berpegang kepadanya). Maka yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa hadis ini adalah hadis yang bersifat kasuistik.30

Penegasan Syahrur menyikapi hadis tersebut, dia mengutip pandangan seorang peneliti perempuan Maroko yang menulis buku khusus tentang posisi perempuan dalam politik dan legislatif dengan judul “ al-harim al-Siyasi” (perempuan Politik). Dalam buku yang ditulis dalam bahasa Prancis ini, penulisnya membahas secara detil hadis di atas dan berhasil membuktikan bahwa hadis tersebut adalah hadis kasuistik munfaridah, sedangkan salah satu perawinya adalah Abu Bakrah yang ditengarai pernah melakukan persaksian palsu dalam masa ‘Umar bin Khattab tentang peristiwa yang zina yang dituduhkan pada al-Mugdrah bin Syu’bah. Sisi periwayatan ini menunjukkan bahwa pada dasarnya hadis ini adalah palsu. Namun Syahrur berpendapat bahwa seandainya hadis ini shahih dari Nabi, hadis ini bukan sebagai penetapan hukum yang berlaku sepanjang waktu dan setiap tempat, karena hadis ini hanyalah komentar pribadi Nabi.31

Pada kasus yang lain ada hadis yang secara tekstual memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Adapun teks yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Sunan Imam al-Turmudzi. hadis yang dimaksud adalah:

أ ھ ة ﻗﺎ ل : ﻗﺎ ل ر ل ﻠﯿ و أ ا أ ا ا ن ت ا أ ة ا ن

و ) ر و ا ه ا ﻟﺘ ي

“Dari Abu Hurairah dari Rasulullah Saw, belaiu bersabda: “ kalaulah aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku akan memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya”

Dalam kajian Asbab al-Wurud hadis di atas, bahwa latar belakang munculnya hadis tersebut adalah ketika Mu’az bin Jabal kembali ke Medinah dari Syam. Dia lansung sujud kepada Rasulullah SAW karena melihat kaum Nasrani di Syam sujud kepada uskup-uskup dan pastor-pastor mereka, dia berfikir bahwa Rasulullah SAW

30 Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, h.

31 Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al_qur’an: Qira’ah Mu’ashirah,.h.

(23)

58

lebih berhak untuk mendapatkan penghormatan dengan bersujud kepada beliau, lalu Rasulullah mensabdakan hadis ini.

Dalam sudut kajian kebahasaan, sujud itu bisa diartikan dalam dua versi yang pertama, sujud dalam arti beribadah yang hanya ditujukan kepada sang pencipta.

Kedua, sujud dalam arti penghormatan dan inilah yang diperbolehkan selain sujud kepada Allah. Sujud seperti inilah perintah malaikat untuk melakukan penghormatan kepada Adam karena Adam memiliki derajat keilmuan yang Allah berikan kepadanya.

Namun demikian, tidak berlaku sujudnya istri kepada suaminya. Di samping itu, dari hadis tersebut terdapat kata “law” yang bermakna “jika” sehingga makna tersebut bukanlah sebuah perintah yang wajib dilaksanakan oleh seorang istri. Tetapi dapat ditafsirkan bahwa itu adalah perumpamaan betapa seyoyanya seorang istri menghargai suaminya dengan cara yang wajar.

Abaou el-Fadl misalnya, mengamati hadis di atas yang menurutnya akan berdampak luas baik secara moral maupun secara sosial. Di antara dampak luasnya terlihat pada hubungan suami istri dalam pernikahan dan relasi gender di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian yang dipandu oleh asumsi berbasis iman dan asumsi berbasis ilmiah. Menurut Abou el-Fadl, hadis tentang sujud istri telah melalui perjalanan historis yang panjang, dan karenanya juga telah megalami proses kepengarangan yang panjang di era Nabi sampai masa sekarang.

Menurut Aboeu el-Fadl, para ulama hadis menilai derajat keotentikan hadis- hadis tentang sujud istri kepada suami termasuk dalam kualitas dhaif hingga hasan gharib. Lagi pula rantai periwayatan hadis-hadis tersebut hanya tunggal, yang dalam terminologi ilmu hadis dinamakan hadis ahad.32

Salah satu yang mengusik Abou el-Fadl berkenaan dengan hadis tesebut adalah strukturnya yang janggal. Konteks hadis tersebut sebenarnya adalah pertanyaan sahabat yang diajukan kepada Nabi boleh tidaknya mereka sujud kepada beliau. Nabi menjawab, “ tidak! Tapi sebenarnya jika seseorang manusia boleh sujud terhadap sesamanya, maka seorang istri diharuskan sujud kepada suaminya”. Pada titik ini,

32 M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, h. 306.

(24)

59

struktur hadisnya terasa janggal karena jawaban Nabi berbeda dengan pertanyaan yang dilontarkan sahabat. Mereka bertanya tentang perkara penghormatan sahabat kepada belaiu, sementara jawaban yang diberikan adalah sujud seorang istri kepada suaminya.

Di sini terlihat proses penyetaraan status sahabat dengan status Nabi. Dalam riwayat- riwayat lain disertakan bahwa malaikat ikut mengutuk istri yang tidak melayani suaminya, bahkan dengan frase dikutuk sampai subuh.

Hadis-hadis ini juga bertentangan dengan sejumlah ayat mengenai pernikahan dalam al-Qur’an yang secara eksplisit menginginkan saling menghormati dan saling melindungi antara suami dan istri. Hadis-hadis tersebut juga bersinggungan dengan fakta historis kehidupan Nabi dengan istrinya. Dalam berbagai riwayat dilaporkan bahwa Nabi tidak pernah mencelah atau memukul salah satu istrinya. Perlakuan Nabi terhadap para istrinya sangat lembut, dan bahkan sering berdiskusi dan meminta nasihat kepada mereka. Dalam hal ini kental dengan idiologi patriarki disebabkan dalam proses kepengarangannya didominasi oleh pengarang laki-laki. Setelah menemukan titik terang perihal penambahan dalam hadis sujud kepada suami, hal lain yang patut dipertanyakan adalah siapa saja yang terlibat dalam proses kepengarangannya. Salah satu nama yang terlibat dalam proses kepengarangan hadis ini adalah Abu Hurairah, seorang sahabat Nabi yang termasuk paling banyak meriwayatkan hadis. Dalam banyak kasus, hadis- hadis tersebut terkesan melecehkan perempuan, bersumber dari Abu Hurairah. Sebagai catatan, Abu Hurairah masuk Islam pada masa akhir kehidupan Nabi, yaitu tiga tahun sebelum Nabi wafat.33

Bedasarkan guagatan-gugatan di atas, jukup jelas bahwa hal ini adalah sebuah indikasi bahwa perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama. Sehingga perempuan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang, karena ia mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Apa yang telah dilakukan oleh para penggugat tentang hadis- hadis yang berbau misigonis, adalah upaya untuk mendialektisir hadis sebagai disiplin keilmuan yang bersifat dinamis.

33Yusriani, Hermeneutika Hadis Khalid M. Abou el-Fadl, h.425.

(25)

60 4. Kesimpulan

Dalam studi ini peneliti menarik kesimpulan dengan, digambarkan beberapa catatan-catatan penting terkait dengan hermeneutika dalam pengkajian hadis. Mengkaji hadis dalam sinaran hermeneutik lebih dipertajam pada aspek matannya. Hal ini karena matan merupakan bagian tekstualitas hadis yang perlu ditelusuri otentitasnya.

Hermeneutika terkait dengan persoalan teks, pembaca teks maupun penerima teks.

Maka dalam mengkaji hadis sudah tentu kita akan diperhadapkan pada apek-aspek dari bagian fundamental dari kajian hermeneutik tersebut. Namun demikian, peran transmisi penyampaian hadis atau sanad memiliki fungsi yang sangat penting untuk “memburu”

keotentikan sebuah hadis. Pada aspek sanad, seluruh pembawa berita (matan) akan diteliti dari berbagai aspek, termasuk kredibiliatas dan kafasitas intelektualnya sehingga semua para pembawa kabar yang terlibat di dalamnya sangat boleh jadi adanya temuan-temuan yang dapat mengurangi otentisitas sebuah hadis. Untuk upaya ke arah ini, dalam teori ilmu hadis dikenal dengan naqd al-sanad (kritik sanad) dan naqd al-matan (kritik matan).

Upaya mempertemukan hermeneutika dengan studi hadis, bukan berarti menggugat kembali ilmu-ilmu hadis konvensional yang telah diwariskan kesarjanaan hadis awal, tapi pengkajian ini lebih pada aspek untuk membuktikan bahwa hadis adalah ilmu yang terbuka, dinamis yang bisa disandingkan dari ilmu apapun, Hadis mampu menjawab tantangan perubahan. Untuk membuktian ini, perlu menalar hadis dengan pendekatan-pendekatan yang lebih kontekstual. Sebelum kajian hermeneutik mendapatkan momentum yang tepat bagi pengkaji hadis, Syuhudi Ismail sudah meletakkan dasar-dasar penting dalam ilmu hadis, termasuk pentingnya memahami hadis secara tekstual dan kontekstual karena hadis ada yang bermuatan lokal, temporal, maupun universal. Di sinilah pentingnya memainkan peranan hermeneutika dalam memahami hadis, sebab hadis yang diucapkan Nabi pada masa lalu yang kondisinya sangat jauh berbeda dengan kondisi yang kita alami saat ini. Perjumpaan kita dengan Nabi melalui teks, sangat jauh sehingga membutuhkan penalaran yang tepat untuk memahami pesan-pesannya. Memahami pesan-pesan teks secara tepat adalah sebuah

(26)

61

hal yang niscaya agar hadis dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah pada satu sisi dan dapat menjadi petunjuk pada sisi yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah, Studi Agama: Normativisme dan Historitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 19960, h..308-309

Nur Ichwan, Beberapa Gagasan Tentang Pengembangan Studi al-Qur’an dan Hadis:

Refleksi atas Perkembangan Jurusan Tafsir Hadis di Indonesia dalam Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya ( Yogyakarta:

Penerbit Islamika, 2003).

Sumayono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat ( Yogyakarta: Kanisius, 1999 “Abdul ‘Aziz al-Khawly. Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulumi al-Hadis (Beirut:

Dar al-fikr, 1418 H/1997 M),

Abdul al- ‘Aziz al-Khawly, Miftah al-Sunah aw Tarikh Funun al-Hadis (Beirut: Dar a- Kutub al-Ilmiah, t.th),

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996),

M. Nurcholis Setiawan, dkk, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis: Teori dan Aflikasi (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga,2011), .

Khaled M. Abou el Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Woman terjemah R. Cecep Lukman yasin dengan judulAtas Nama Tuhan: dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004).

Ilham B. Saeong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hassan Hanafi ( Jakarta: Teraju, 2002),

Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme ( Jakarta: Paramadina, 1998).

Hafizd Hasan al-Mas’udy, Mihnah al-mughis fi Ilmi Musthalah al-Hadis (Surabaya:

Syarikah wa Maktabah Salim wa Auladuh, t.th),

(27)

62

Syarifah Hasanah, Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail, dalam Kurdi dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis ( Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010),

M. Syhuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi ( Jakarta: Bulang Bintang,1992),

M. Syhudi Ismail,Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulang Bintang, 1994).

M. Qurais Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat ( Bandung: Mizan, 1994),

Shalih Abu Bakar, Menyingkap Hadis-hadisPalsu (Semarang: CV.S. Agung, t.th).

Muhammad Syahrur, al-kitab wa al-Qur’an:Qira’ahMu’ashirah (al-Qahirah: Sina li al- Nasyar, 1992)

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Djambatan, 1992), W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka,

1996)

Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris bin Zakariyah, Mu’jam Maqayis al-Lughat, jilid III, (Mesir: Mushthafa al-Bab al-Halabi wa Syarikah, 1972),

Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfazh wa A’lam al-Qur’aniyat, jilid I (al- Qiraat: Dar al-Fikr al-Araby, 1979),

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992),

Syekh Muhammad al-Raghib al-Asfahany, Mufradat Alfazh al-Qur’an al-Karim di tahqiq oleh Shafwan ‘Adnan Dawudiy (Cet. I; Beirut: Dar al-Syamiyah, 1992), H. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhuiy atas Pelbagai Persoalan

Umat, (Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1998),

Ajjaj al-Khathib, as-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Kairo: Maktabah wa Libah, 1981), A.J. Wensick, Concordance Et Indices De La Tradition Musulmane, Terj. Muhammad

Fuad Abudu Al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Hadits al-Nabawi, (Leiden: E.J. Brill, 1995),

Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durru al-Ma’stur, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990),

al-Qurthubi, Jami’ al-Bayan fi Ta’wili al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, dan al-Syamakhsyari, al-Kasysyaf, (t.tp: Dar al-Fikr, t.th),

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisa uji Friedman menunjukkan adanya pengaruh yang nyata ( α = 0,05) pada perlakuan berbagai konsentrasi karagenan dan rumput laut terhadap

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menganalisis saluran pemasaran, fungsi pemasaran, struktur, dan perilaku pasar oleh lembaga-lembaga pemasaran pada komoditi garam rakyat

Menurut Indah dan Santi (2013: 87) teks prosedur memiliki kerangka atau struktur yakni, tujuan atau judul, bahan atau segala sesuatu yang dibutuhkan, dan

Bersama ini diumumkan daftar nama peserta yang dinyatakan memenuhi syarat tes fisik dan berhak mengikuti tes laboratorium dan penunjang Rekrutmen Umum Lokasi :

Ada sebagian wilayah Indonesia yang belum terlistriki karena tidak terjangkau oleh jaringan listrik PLN, sehingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan sistemnya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT ULBC memberikan kompensasi finansial berdasarkan posisi karyawan kontrak di perusahaan, yaitu sesuai dengan jabatan dan fungsi karyawan. Dalam

Hasil serangkaian uji dan evaluasi kestabilan yang dilakukan pada sediaan lipstik ekstrak kulit buah ruruhi, maka dapat disimpulkan bahwa warna sediaan yang

Waktu kematian nimfa dan imago sangat bervariasi, karena itu pengamatan dilakukan terhadap estimasi rata-rata hati kematian nimfa dan imago dengan mengamati jumlah