• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA SELF-COMPASSION DAN KUALITAS HIDUP ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA SELF-COMPASSION DAN KUALITAS HIDUP ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD) SKRIPSI"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA SELF-COMPASSION DAN KUALITAS HIDUP ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTISM SPECTRUM

DISORDER (ASD)

SKRIPSI

MALIK LUQMAN HAKIM 201710230311126

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2021

(2)

HUBUNGAN ANTARA SELF-COMPASSION DAN KUALITAS HIDUP ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTISM

SPECTRUM DISORDER (ASD)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai salah satu persyaratan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi

Oleh:

Malik Luqman Hakim 201710230311126

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2021

(3)

i

SKRIPSI

Dipersiapkan dan disusun oleh : Malik Luqman Hakim

201710230311126

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal, 3 Agustus 2021

dan dinyatakan memenuhi syarat sebagai kelengkapan memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Universitas Muhammadiyah Malang

SUSUNAN DEWAN PENGUJI:

Pembimbing I,

Ni’matuzahroh, M.Si.

Pembimbing II

Sofa Amalia, M.Si.

Anggota 1

Istiqomah, S.Psi., M.Si.

Anggota 2

Rizky Susanti., S.Psi., M.Si.

Mengesahkan Dekan,

M. Salis Yuniardi, M.Psi., PhD

(4)

ii

SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Malik Luqman Hakim

NIM : 201710230311126

Fakultas / Jurusan : Psikologi / Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang Menyatakan bahwa skripsi/karya ilmiah yang berjudul:

“Hubungan antara Self-Compassion dan Kualitas Hidup pada Orang Tua yang memiliki Anak Autism Spectrum Disorder (ASD)”

1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya.

2. Hasil tulisan karya ilmiah/ skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan Hak bebas Royalti non ekslusif, apabila digunakan sumber pustakanya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Malang, 10 Oktober 2021 Mengetahui

Ketua Program Studi Yang Menyatakan

Materai Rp. 6000

Susanti Prasetyaningrum, M.Psi Malik Luqman Hakim

(5)

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Self-Compassion dan Kualitas Hidup pada Orang Tua yang memiliki Anak Autism Spectrum Disorder (ASD)” yang menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Selama proses penyusunan skripsi, penulis memperoleh banyak dukungan dan bimbingan yang sangat bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak M. Salis Yuniardi, M.Psi., PhD., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Ibu Ni’matuzahroh, M.Si. dan Ibu Sofa Amalia, M.Si. selaku Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, memberikan arahan dan dukungannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

3. Ibu Assoc. Prof. Dr. Diah Karmiyati, M.Si., Psikolog selaku dosen wali yang telah membimbing dari awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.

4. Ibu Susanti Prasetyaningrum, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman selama proses perkuliahan.

6. Ayah, Ibu, dan Kakak penulis yang selalu memberikan dukungan serta doa untuk segala kelancaran, kemudahan, dan kesuksesan kepada penulis selama proses perkuliahan hingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

7. Pihak lembaga, yayasan, dan komunitas anak ASD yang telah membantu dalam kepengurusan ijin penelitian hingga menyebarkan dan mengisi skala untuk pengambilan data penelitian ini.

8. Teman-teman seperjuangan skripsi khususnya teman-teman kelas Psikologi B 2017 yang selalu menemani dan mendukung penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan dan do’a kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penelitian ini menjadi lebih baik kedepannya. Namun, penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang,10 Oktober 2021 Penulis

Malik Luqman Hakim

(6)

iv

Daftar Isi

SURAT PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR...iii

Daftar Isi ... iv

Self-compassion ... 3

Kualitas Hidup ... 5

Kualitas hidup orang tua dari anak ASD ... 6

Hubungan Self-compassion dengan Kualitas hidup ... 7

Kerangka Berpikir ... 9

Hipotesis ... 10

METODE PENELITIAN ... 10

Rancangan Penelitian ... 10

Subjek Penelitian... 10

Variabel dan Instrumen Penelitian ... 12

Prosedur dan Analisis Data ... 13

HASIL PENELITIAN ... 14

DISKUSI ... 16

SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 18

REFERENSI ... 20

LAMPIRAN ... 23

(7)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Demografis ... 10

Tabel 2. Deskripsi Statistik ... 14

Tabel 3. Uji Normalitas Variabel ... 14

Tabel 4. Uji Korelasi ... 14

Tabel 5. Uji Korelasi Aspek-aspek Self-Compassion dan Kualitas Hidup …….. 15

(8)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Blueprint dan Skala ... 23

Lampiran 2. Lembar Persetujuan ... 28

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian ... 29

Lampiran 4. Surat Keterangan Proofread Skala ... 30

Lampiran 5. Input Data ... 33

Lampiran 6. Hasil Uji Verifikasi & Plagiasi ... 69

Lampiran 7. Poster & Foto Pelaksanaan Webinar ... 71

(9)

1

HUBUNGAN ANTARA SELF-COMPASSION DAN KUALITAS HIDUP ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTISM SPECTRUM

DISORDER (ASD) Malik Luqman Hakim

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang malikhakim1453@gmail.com

Self-compassion adalah sikap orang tua ketika mengalami kegagalan, kesulitan, atau cobaan hidup lainnya, maka orang tua memilih untuk bersikap baik dan hangat, penuh dengan kesadaran bahwa dirinya sedang dalam kesulitan, serta memandang bahwa segala yang dialaminya merupakan bagian dari kehidupan manusia secara umum, atau bahkan orang lain mengalami yang lebih buruk. Dan kualitas hidup adalah persepsi orang tua terhadap kehidupannya berkaitan dengan kesehatan fisik dan psikologis, hubungan sosial, serta kepuasan terhadap status ekonomi mereka. Dengan bersikap mengasihi diri sendiri, menyadari bahwa setiap manusia memiliki masalah dan melakukan kesalahan, dan mengakui serta menyadari permasalahan tanpa melebih-lebihkan secara teori dapat meningkatkan kualitas hidup orang tua yang terpengaruh oleh kondisi anak mereka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara self-compassion dan kualitas hidup orang tua. Penelitian dengan desain kuantitatif ini menggunakan alat ukur Self-compassion Scale dan skala Par-DD-QoL. Sampel penelitian berjumlah 348 orang tua yang diambil menggunakan teknik purposive sampling.

Metode analisis penelitian yang digunakan adalah metode korelasi pearson product moment dengan menggunakan SPSS versi 23. Berdasarkan hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa self-compassion memiliki hubungan dengan kualitas hidup (r = 0.485, p = 0,000).

Kata kunci: Self-compassion, Kualitas Hidup, Orang Tua

Self-compassion is the attitude of parents when experiencing failure, difficulty, or other life trials, so parents choose to be kind and warm, full of awareness that they are in trouble, and see that everything they experience is part of human life in general, or even someone else had a worse experience. And the quality of life is parents' perception of their life related to physical and psychological health, social relationships, and satisfaction with their economic status.

Theoretically, being self-loving, recognizing that everyone has problems and making mistakes, and acknowledging and recognizing problems without exaggerating them can improve the quality of life of parents affected by their child's condition. The purpose of this study was to determine the relationship between self-compassion and the quality of life of parents. This quantitative design research uses the Self-compassion Scale and the Par-DD-QoL scale. The research sample was 348 parents who were taken using the purposive sampling technique. The research analysis method used is the correlation method Pearson product-moment using SPSS version 23. Based on the analysis results, this study shows that self-compassion has a relationship with quality of life (r = 0.485, p = 0.000).

Keywords: Self-compassion, Quality of Life, Parents

Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan gangguan dalam bersosialisasi dan komunikasi yang bertahan lama serta lebih parah dibandingkan dengan jenis gangguan perkembangan lainnya (Association, 2013; Baghdadli et

(10)

2

al., 2014). Selain itu, ASD juga ditandai dengan kontak mata yang tidak seperti umumnya, gerakan yang berulang-ulang seperti membalikkan tangan secara terus menerus, ekolalia, dan minat yang terbatas (Association, 2013). Dengan hambatan sosial dan komunikasi yang dialami, juga dengan perilaku menantang lainnya, kondisi ASD anak mempengaruhi emosi, finansial, serta hubungan sosial orang tua (Nealy et al., 2012).

Zablotsky et al. (2013) melaporkan bahwa orang tua dari anak ASD memiliki resiko rendahnya kesehatan mental yang lebih besar, dan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua dari anak pada umumnya (Baker-Ericzén et al., 2005; Schieve et al., 2007).

Tingkat stres yang meningkat akan menempatkan orang tua pada resiko mengalami tekanan emosional dan psikologis yang lebih besar (Bromley et al., 2004). Stres yang dialami orang tua berkaitan langsung dengan kondisi ASD anak yang termanifestasi pada perilaku menantang seperti agresi fisik dan emosional, perilaku merusak, melukai diri sendiri, dan tantrum (Fodstad et al., 2012; Ludlow et al., 2012). Ketika anak menunjukan gejala seperti tantrum dan sulit dikendalikan di publik, ditambah dengan kondisi autisme anak yang tidak disertai ciri fisik, seringkali orang tua dianggap tidak cukup kompeten untuk mendisiplinkan anak mereka, dan kritik tersebut seringkali membuat orang tua menyalahkan dirinya sendiri atas kondisi yang dialami anak (Wong et al., 2016). Kondisi tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup orang tua, diantaranya adalah kualitas fisik karena orang tua merasa kelelahan dan kekurangan tidur (Vasilopoulou & Nisbet, 2016), psikologis, sosial, dan kesehatan lingkungan (Alhazmi et al., 2018).

Kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai kepuasan hidup, kebahagiaan, kesejahteraan mental, sosioekonomi, kesehatan fisik dan psikis, serta kehidupan spiritual dan keluarga (Due et al., 2018; Group & medicine, 1998). Baghdadli et al. (2014) menjelaskan bahwa kualitas hidup memiliki 2 domain utama yaitu emosional dan gangguan harian. Emosional berkaitan dengan perilaku menyimpang anak ASD yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis orang tua (stres, kecemasan, masalah tidur), sedangkan gangguan harian berkaitan dengan keterampilan adaptif anak ASD dan beberapa karakteristik lingkungan seperti beasiswa, bantuan finansial, dan tindakan perlindungan (Rattaz et al., 2017).

Vasilopoulou and Nisbet (2016) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup Orang tua dari Anak ASD adalah faktor orang tua itu sendiri yang mencakup gender dan kesehatan mental, faktor anak, dan faktor kontekstual yang mencakup pendapatan rumah tangga, status pekerjaan, dan dukungan serta partisipasi sosial dalam kegiatan peningkatan kesehatan. Secara konsisten hasil temuan penelitian lainnya menunjukan kualitas hidup orang tua dari anak ASD lebih rendah dibandingkan dengan kualitas hidup orang tua dari anak perkembangan pada umumnya (Alhazmi et al., 2018; Eapen et al., 2014; Hayes et al., 2013;

Vasilopoulou & Nisbet, 2016; Zablotsky et al., 2013). Dengan terpengaruhinya kualitas hidup orang tua, termasuk pada resiko tekanan stress yang lebih besar, maka penting untuk menguji suatu variabel yang kiranya dapat meningkatkan kualitas hidup orang tua. Temuan Bohadana et al. (2019) menunjukan bahwa dimensi positif self-compassion secara signifikan berhubungan negatif dengan tekanan stress orang tua dari anak autis, yang berarti semakin tinggi tingkat dimensi positif self-compassion maka semakin rendah tingkat stres orang tua, dan semakin tinggi pula satu bagian dari kualitas hidup orang tua. Oleh karena itu, menjadi penting untuk menguji self-compassion sebagai variabel yang dapat meningkatkan kualitas hidup orang tua.

Neff (2003) menjelaskan bahwa Self-compassion adalah sikap terbuka dan tergerak untuk memberikan kesabaran, kebaikan, dan pengertian serta tidak menghakimi diri sendiri, pun sadar

(11)

3

bahwa manusia hidup dengan ketidaksempurnaan dan dapat membuat kesalahan, sehingga diri sendiri tergerak untuk meringankan penderitaan yang dialami. Self-compassion terdiri dari tiga komponen utama, dengan dimensi positif dan negatif yang saling berkaitan, yaitu Self-kindness (vs Self-judgment) di mana individu memilih untuk bersikap baik ketimbang menghakimi diri sendiri, a sense of common humanity (vs isolation) di mana individu menyadari bahwa kesulitan dan penderitaan adalah bagian dari hidup manusia pada umumnya, dan mindfulness (vs over identification) di mana individu secara sadar mengalami kesulitan tanpa memandangnya secara berlebihan (Barnard & Curry, 2011; Neff & Germer, 2017; Neff, 2016; Wong et al., 2016).

Tidak banyak penelitian yang secara langsung meneliti self-compassion pada orang tua dari anak ASD (Bohadana et al., 2019). Wong et al. (2016) menjelaskan bahwa Self-compassion dapat mereduksi perasaan negatif yang dirasakan orang tua dari anak ASD akibat stigma atas perilaku anak ASD. Sesuai dengan penelitian Wong, Neff and identity (2003) menyebutkan bahwa Self-compassion juga dapat merubah pengaruh diri yang negatif, seperti merasa buruk karena kegagalan dan ketidakberdayaan diri, menjadi pengaruh diri yang positif seperti merasa diperlakukan baik dan dimengerti oleh diri sendiri. Self-compassion pada orang tua juga menyebabkan orang tua mampu untuk menghibur dan memberi dukungan pada diri sendiri ketika kecewa karena tidak dapat mencapai tujuan hidup yang dibatasi oleh kegiatan mengasuh anak ASD (Neff & Faso, 2015). Karenanya, Bohadana et al. (2019) melaporkan tingginya dimensi positif self-compassion berkaitan dengan kualitas hidup yang lebih baik, dan tingginya dimensi negatif self-compassion berkaitan dengan stres yang lebih hebat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Self-compassion dan kualitas hidup pada orang tua dari anak ASD. Dengan berbagai faktor yang dapat ditemukan sehari-hari dan secara jelas dapat menurunkan kualitas hidup orang tua dari anak ASD, maka penting untuk mengetahui faktor yang berpotensi dapat meningkatkan kualitas hidup orang tua dari anak ASD, dalam hal ini adalah Self-compassion, sehingga hasil penelitian ini dapat membantu orang tua dari anak ASD untuk mengetahui sesuatu yang harus ditingkatkan jika ingin meningkatkan kualitas hidupnya. Studi yang meneliti hubungan antara self-compassion dan kualitas hidup masih terbilang jarang, dan peneliti menduga bahwa self-compassion berhubungan positif dengan kualitas hidup, di mana semakin tinggi tingkat self-compassion maka semakin baik kualitas hidup orang tua dari anak ASD.

Self-compassion

Compassion, atau kasih sayang, adalah sikap terbuka dan tergerak untuk menawarkan kesabaran, kebaikan, dan pengertian yang tidak menghakimi kepada orang lain, menyadarkan bahwa semua manusia tidak sempurna dan membuat kesalahan, sehingga seseorang ingin meringankan penderitaannya (Neff, 2003). Sedangkan self-compassion adalah sikap terbuka dan tergerak untuk menawarkan kesabaran, kebaikan, dan pengertian yang tidak menghakimi kepada diri sendiri, serta sadar bahwa manusia hidup dengan ketidaksempurnaan dan membuat kesalahan, sehingga diri sendiri tergerak untuk meringankan penderitaan yang dialami (Neff, 2003).

Self-compassion merupakan gagasan yang berakar dari ajaran Buddha, dan didefinisikan sebagai kasih sayang diri tentang bagaimana berhubungan dengan diri sendiri dalam menghadapi kegagalan, kekurangan, atau penderitaan (Barnard & Curry, 2011; Ferrari et al., 2019; Strauss et al., 2016). Meningkatkan kebaikan pada diri dan mengurangi penghakiman

(12)

4

pada diri, meningkatkan perasaan kemanusiaan dan mengurangi perasaan terisolasi, juga meningkatkan mindfulness dan mengurangi identifikasi berlebihan terhadap pikiran dan perasaan sulit, dan secara konsisten berhubungan positif dengan kesehatan mental (Bluth et al., 2018; Ferrari et al., 2019; Neff, 2016; Wong et al., 2016).

Menyayangi diri (self-compassion) berbeda dengan mengasihani diri (self-pity), ketika individu merasa kasihan (pity) kepada orang lain, dia akan merasa sangat terpisah dan tidak terhubung dengan yang dikasihani, tergambar dalam ungkapan “terima kasih Tuhan itu masalahmu, bukan masalahku”. Sedangkan individu yang berkasih sayang akan merasa terhubung pada individu lain dan menyadari bahwa penderitaan adalah bagian dari hidup manusia. Begitupun bila diterapkan pada diri sendiri, individu yang mengasihani diri (self-pity) akan merasa tenggelam dalam permasalahan mereka sendiri dan lupa bahwa orang lain pun mengalami permasalahan yang serupa. Mereka mengabaikan keterhubungan dirinya dengan orang lain, dan merasa bahwa merekalah satu-satunya yang menderita di dunia. Sedangkan individu dengan self- compassion memungkinkan melihat penderitaan dirinya sebagai bagian dari hidup manusia dan tidak merasa bahwa dia satu-satunya yang menderita (Neff & identity, 2003).

Berdasarkan beberapa keterangan di atas, Self-compassion dapat didefinisikan sebagai sikap individu dalam melihat berbagai pengalaman negatif yang terjadi, pada semua orang umumnya, dan pada diri sendiri khususnya. Sikap yang dimaksud adalah ketika individu tersebut mengalami kegagalan, kesulitan, atau cobaan hidup lainnya, maka individu tersebut memilih untuk bersikap baik dan hangat, penuh dengan kesadaran bahwa dirinya sedang dalam kesulitan, serta memandang bahwa segala yang dialaminya merupakan bagian dari kehidupan manusia secara umum, atau bahkan orang lain mengalami yang lebih buruk. Serta tidak terlalu menghakimi diri sendiri, tidak merasa terisolasi, dan tidak berlebihan dalam mengidentifikasi persoalan yang dialami.

Self-compassion terdiri dari tiga komponen utama, dengan dimensi positif dan negatif yang saling berkaitan, yaitu Self-kindness (vs Self-judgment), a sense of common humanity (vs isolation), dan mindfulness (vs over identification) (Barnard & Curry, 2011; Neff & Germer, 2017; Wong et al., 2016). Self-kindness (vs Self-judgment) menjadikan individu bersikap lembut, suportif, memahami diri sendiri, juga bersikap hangat dan menerima tanpa syarat ketimbang menghakimi diri dengan keras karena kekurangannya. Individu dengan tingkat Self- judgment yang tinggi memiliki tingkat Self-compassion yang rendah (Beaumont et al., 2016).

A sense of common humanity (vs isolation) mencakup pemahaman dan penerimaan bahwa semua manusia pernah gagal, membuat kesalahan, dan bahwa semua manusia menjalani kehidupan yang tidak sempurna. Oleh karenanya aspek common humanity menjadikan orang tua memiliki sudut pandang yang lebih luas dan terhubung dengan orang lain mengenai kekurangan dan kesulitan yang dialami serta tidak merasa terisolasi atas ketidaksempurnaan diri sendiri yang membuatnya merasa bahwa hanya dia satu-satunya yang gagal dan menderita.

Mindfulness (vs over identification) ialah saat individu menyadari momen ketika menderita dengan jelas tanpa menghakimi (Wong et al., 2016), tidak terlalu membesar-besarkan penderitaan yang dialami, atau yang kemudian biasa disebut dengan identifikasi berlebihan (over-identification).

Orang tua anak ASD seringkali merasa khawatir dengan masa depan hidupnya dan cenderung kehilangan harapan, Neff and Faso (2015) menjelaskan bahwa dukungan internal dan kepercayaan diri yang timbul ketika memiliki sikap self-compassion membantu orang tua berpandangan lebih optimis. Berkaitan dengan itu, self-compassion pada orang tua juga

(13)

5

menyebabkan orang tua mampu untuk menghibur dan memberi dukungan pada diri sendiri ketika kecewa karena tidak dapat mencapai tujuan hidup yang terbatas karena padatnya kegiatan mengasuh anak ASD (Neff & Faso, 2015).

Depresi pada orang tua dari anak ASD seringkali disebabkan oleh perasaan sedih, malu, dan menyalahkan diri sendiri (Cappe et al., 2011; Johnson et al., 2013). Namun, kemampuan orang tua dengan penuh kasih menerima diri sendiri dan kehidupan apa adanya, menghibur diri selama masa-masa sulit, serta bersikap baik dan penuh pengertian pada diri sendiri akan membantu orang tua menghadapi tantangan mengasuh anak autis tanpa menjadi putus asa (Neff & identity, 2003).

Neff (2003) menjelaskan bahwa proses agar individu meningkatkan Self-compassion ialah individu tersebut harus mindful dalam kesehariannya, maksudnya adalah individu tersebut tidak boleh menghindari atau menekan perasaan menyakitkan yang mereka rasakan. Individu tersebut perlu menyadari dan mengakui bahwa mereka sedang merasakan perasaan yang menyakitkan, hal tersebut agar individu mengasihi dirinya sendiri (Self-compassion), namun jangan pula berlebihan sehingga tenggelam dalam perasaannya, karena individu yang mengasihi dirinya (Self-compassion) akan melihat itu sebagai pengalaman hidup manusia secara umum. Singkatnya, agar individu mengalami Self-compassion, dia harus menyeimbangkan kesadaran dan pengakuan atas rasa sakitnya dengan kesadaran bahwa itu merupakan bagian dari pengalaman hidup manusia.

Kualitas Hidup

Kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai kepuasan hidup, kebahagiaan, kesejahteraan mental, sosioekonomi, kesehatan fisik dan psikis, serta kehidupan spiritual dan keluarga (Baghdadli et al., 2014; Smith & nutrition, 1993). Lebih umum dari penjelasan sebelumnya, Group and medicine (1998) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu mengenai posisinya dalam hidup dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan dalam hubungannya dengan tujuan, harapan, standar, dan perhatian mereka. Sehingga berdasarkan beberapa keterangan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Kualitas hidup dapat didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap kehidupannya berkaitan dengan posisinya dalam hidup, kesehatan fisik dan psikologis, hubungan sosial, serta kepuasan terhadap status ekonomi mereka.

Menurut Baghdadli et al. (2014) kualitas hidup memiliki 3 indikator yaitu emotional, gangguan harian, dan global QoL. Emosional berkaitan dengan perilaku menyimpang anak ASD yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis orang tua (stres, kecemasan, masalah tidur), gangguan harian berkaitan dengan keterampilan adaptif anak ASD dan beberapa karakteristik lingkungan seperti beasiswa, bantuan finansial, serta tindakan perlindungan, dan global QoL berkaitan dengan kualitas hidup orang tua secara umum (Rattaz et al., 2017). Sedangkan menurut Group and medicine (1998) menjelaskan bahwa kualitas hidup memiliki beberapa aspek, yaitu; Aspek fisik yang mencakup rasa sakit dan ketidaknyamanan, energi dan kelelahan, aktivitas seksual, tidur dan istirahat, dan fungsi sensorik. Aspek psikologis yang mencakup perasaan positif, berpikir, belajar, memori dan konsentrasi, harga diri, citra tubuh dan penampilan, dan perasaan negatif. Aspek tingkat kemandirian yang mencakup mobilitas, kegiatan hidup sehari-hari, ketergantungan pada obat dan alat bantu medis, ketergantungan pada zat non medis (alkohol,

(14)

6

tembakau, obat-obatan), kapasitas komunikasi, dan kapasitas kerja. Aspek hubungan sosial yang mencakup hubungan pribadi, dukungan sosial praktis, dan kegiatan sebagai penyedia/pendukung. Aspek lingkungan hidup yang mencakup kebebasan, keselamatan dan keamanan fisik, lingkungan rumah, kepuasan kerja, sumber daya keuangan, perawatan kesehatan dan sosial: aksesibilitas dan kualitas, kesempatan untuk memperoleh informasi dan keterampilan baru, partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi/aktivitas waktu luang, lingkungan fisik: (polusi/kebisingan/lalu lintas/iklim), transportasi, dan aspek spiritualitas.

Menurut beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup orang tua dari Anak ASD adalah faktor pengasuh atau orang tua, faktor anak, dan faktor kontekstual (Vasilopoulou & Nisbet, 2016).

1. Faktor Pengasuh atau Orang tua 1.1.Gender

Secara signifikan, didapati bahwa seorang Ibu memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan Ayah. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab pengasuhan, secara umum, Ibu adalah pengasuh utama anak dengan ASD, oleh karenanya Ibu didapati memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibanding Ayah.

1.2. Kesehatan Mental

Stres, Coping style, dan Efikasi diri adalah faktor penting dalam kualitas hidup Orang tua.

2. Faktor Anak

Secara konsisten, kesulitan yang Orang tua dapatkan dari gejala dan perilaku ASD anak menjadikan kualitas hidup, baik fisik atau mental, Orang tua rendah.

3. Faktor Kontekstual

3.1.Pendapatan Rumah tangga

Pendapatan Rumah tangga secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup Orang tua dari anak ASD. Pendapatan yang lebih tinggi dapat memperbaiki lingkungan fisik Orang tua dan meningkatkan akses pelayanan kesehatan Orang tua dan Anak.

3.2.Status Pekerjaan

Status pekerjaan, seperti pekerja penuh atau paruh waktu, berpengaruh pada tingginya kualitas hidup Orang tua dari Anak ASD.

3.3.Dukungan dan partisipasi sosial dalam kegiatan peningkatan kesehatan

Dukungan sosial dan keterlibatan dalam kegiatan di luar rumah berpengaruh pada kualitas hidup Orang tua. Tingkat dukungan dan partisipasi sosial yang lebih tinggi berhubungan positif dengan kualitas hidup, begitu pula dengan partisipasi Orang tua dalam kegiatan kesehatan di luar rumah seperti latihan (exercise). Karenanya, gaya hidup sehat berpengaruh pada kualitas hidup Orang tua.

Kualitas hidup orang tua dari anak ASD

Mengasuh dan membesarkan anak ASD adalah kondisi yang tidak mudah bagi orang tua, kompleksitas kesulitannya berpotensi mempengaruhi kualitas hidup orangtua. Didapati bahwa 4 aspek atau domain kualitas hidup orang tua dari anak ASD secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan orang tua dari anak perkembangan umumnya. Empat aspek tersebut ialah aspek fisik, psikologis, sosial, dan kesehatan lingkungan (Alhazmi et al., 2018).

(15)

7

Aspek fisik dari kualitas hidup dimaksud mencakup sebesar apa energi yang dikerahkan, sepadat apa kegiatan setiap harinya, juga termasuk kapasitas kerja dan kualitas tidur (Alhazmi et al., 2018). Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, sebuah systematic review mengenai kualitas hidup orang tua dari anak ASD mendapati bahwa aspek fisik secara konsisten menjadi aspek kualitas hidup orang tua yang paling terpengaruh (Vasilopoulou & Nisbet, 2016).

Aspek psikologis dari kualitas hidup orang tua dimaksud diantaranya ialah tekanan emosional, tantangan terkait strategi koping, dukungan sosial yang tidak memadai, tingkat keparahan ASD, dan gejala perilaku ASD yang sulit ditangani (Alhazmi et al., 2018). Selain itu, mudah tersinggung dan selalu lesu juga berpengaruh pada penurunan kualitas hidup orang tua (Baghdadli et al., 2014). Dan sebuah meta-analisis mendapati bahwa orang tua dari anak autis mengalami stres pengasuhan yang lebih tinggi dibandingkan orang tua dari anak pada umumnya (Hayes et al., 2013).

Aspek sosial dari kualitas hidup orang tua yang dimaksud mencakup hubungan personal dan dukungan sosial. Orang tua atau pengasuh dengan dukungan sosial yang tinggi memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi (Smith & nutrition, 1993; Stuart & McGrew, 2009), di sisi lain orang tua dari anak ASD seringkali terbatas dalam interaksi sosial, diantaranya karena takut merasa malu, sebagian yang lain merasa mendapatkan stereotip (Baghdadli et al., 2014) dan stigma di publik karena perilaku mengganggu anaknya, oleh karenanya orang tua menjadi merasa terisolasi dari sosial. Karena stigma yang diterima oleh orang tua, orang tua merasa bahwa cara mengasuhnya dipertanyakan oleh orang disekitar, dan stigma ini seringkali diinternalisasikan dengan menyalahkan diri sendiri karena tidak menjadi orang tua yang efektif (Torbet et al., 2019).

Dan aspek kesehatan lingkungan dari kualitas hidup orang tua yang dimaksud adalah akses pada layanan sosial dan kesehatan, perasaan selamat dan aman, serta sumber daya finansial (Alhazmi et al., 2018).

Selain aspek-aspek kualitas hidup orang tua yang berdasarkan pada fisik, psikologis, sosial, dan kesehatan lingkungan, kondisi anak ASD juga berpengaruh pada kualitas hidup orang tua dari anak ASD. Kondisi anak seperti diagnosa ASD anak, tingkat keparahan ASD anak, keterlambatan perkembangan anak, dan gejala-gejala seperti perilaku agresi dan hiperaktif mempengaruhi kualitas hidup orang tua (Nuske et al., 2018). Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, sebuah hasil studi menunjukan kondisi ASD anak, kemampuan finansial, dan dukungan sosial berperan dalam mempengaruhi kualitas hidup orang tua dari anak ASD (Zablotsky et al., 2013).

Hubungan Self-compassion dengan Kualitas hidup

Self-compassion mencakup 3 aspek; self-kindness, humanity, dan mindfulness (Neff, 2003).

Berdasarkan Neff and Faso (2015) self-compassion berhubungan positif dengan kepuasan hidup, harapan, dan pengaturan kembali target hidup, serta berhubungan negatif dengan depresi dan stres pengasuhan pada orang tua dari anak ASD. Studi tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat self-compassion orang tua, maka semakin tinggi tingkat kepuasan hidup, harapan, dan pengaturan kembali target hidup. Juga semakin tinggi self-compassion orang tua, maka semakin rendah tingkat stres pengasuhan, depresi, dan kecemasan (Barnard & Curry, 2011;

Ferrari et al., 2019; Johnson et al., 2013) yang dialami orang tua dari anak ASD.

(16)

8

Selain berhubungan positif dengan kepuasan hidup dan harapan, self-compassion juga berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologis orang tua dan berhubungan negatif dengan tekanan psikologis (Torbet et al., 2019). Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa tekanan psikologis menurun jika self-compassion orang tua meningkat karena aspek self- kindness dan sense of humanity dari self-compassion membuat orang tua bersikap baik kepada diri sendiri dan menganggap bahwa semua manusia mengalami kesulitan sehingga tekanan psikologis orang tua berkurang.

Tekanan psikologis yang orang tua alami juga berkaitan dengan stigma masyarakat, stigma masyarakat berhubungan negatif dengan self-compassion, dan hal tersebut menunjukan self- compassion berhubungan negatif dengan stigma masyarakat dan tekanan psikologis (Wong et al., 2016). Orang tua menderita oleh stigma karena dengannya orang tua merasa terisolasi, sehingga dengan self-compassion, di mana aspek humanity membuat orang tua tidak merasa terisolasi, stigma tidak menyebabkan tekanan psikologis pada orang tua.

Kesejahteraan dan tekanan psikologis, stres (Torbet et al., 2019), kecemasan, dan depresi (Barnard & Curry, 2011; Ferrari et al., 2019; Johnson et al., 2013) merupakan bagian dari domain emotional dalam kualitas hidup. Sedangkan stigma dari orang lain, yang juga berkaitan dengan self-compassion (Wong et al., 2016), merupakan bagian dari domain gangguan harian dalam kualitas hidup. Karenanya, sejalan dengan berbagai hasil penelitian di atas, semakin tinggi tingkat dimensi negatif self-compassion maka semakin besar stres yang orang tua ASD alami, pun semakin tinggi dimensi positif self-compassion maka semakin tinggi kualitas hidup orang tua dari anak ASD (Bohadana et al., 2019).

(17)

9 ASPEK-ASPEK SELF-COMPASSION

SELF-KINDNESS

COMMON HUMANITY

MINDFULNESS

EMOTIONAL : kesejahteraan psikologis (stres, kecemasan, masalah tidur).

GANGGUAN HARIAN :

keterampilan adaptif anak ASD dan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan seperti keamanan

ASPEK-ASPEK QUALITY OF LIFE Kerangka Berpikir

Tingkat stres, kecemasan, depresi, tekanan psikologis menurun

Tingkat kepuasan hidup, harapan, kesejahteraan psikologis meningkat

Stigma masyarakat tidak mempengaruhi kualitas hidup

kualitas Hidup Meningkat

(18)

10 Hipotesis

Berdasarkan berbagai uraian di atas, hipotesis penelitian ini adalah self-compassion dan kualitas hidup orang tua berkorelasi positif, yang berarti semakin tinggi tingkat self- compassion, maka semakin tinggi tingkat kualitas hidup orang tua.

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain korelasional, di mana penelitian bertujuan untuk menguji hubungan alamiah di antara variabel-variabel yang diteliti (Azwar, 2017). Dan variabel yang diuji hubungan alamiahnya dalam penelitian ini adalah variabel self-compassion dan kualitas hidup.

Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini berjumlah 348 orang tua dari anak autis, dan teknik pengambilan subjek yang digunakan adalah teknik non-probability purposive sampling. Teknik tersebut digunakan karena peneliti menentukan kriteria subjek tertentu yang dapat menjadi partisipan dalam penelitian ini, dan kriteria tersebut adalah orang tua dari anak autis. Data demografis subjek diuraikan dalam table 1 berikut.

Tabel 1. Data Demografis

Keterangan Kategori Jumlah Presentase (%)

Jenis Kelamin Orangtua

Laki-laki 49 14,1

Perempuan 299 85,9

Total 348 100

Usia Orangtua

21 – 40 tahun 185 53,2

40 – 60 tahun 159 45,7

Diatas 60 tahun 4 1,1

Total 348 100

Pekerjaan

Ibu Rumah Tangga 170 48,9

ASN/PNS 47 13,5

Pekerja di Institusi Swasta

27 7,8

(19)

11

Pedagang 22 6,3

Petani/Nelayan/Tukang Kebun/Lainnya

8 2,3

Pekerja Sosial (LSM/NGO)

4 1,1

Wiraswasta 41 11,8

Guru/Dosen/Pekerja di Institusi Pendidikan

29 8,3

Total 348 100

Tingkat Pendidikan

SD/SMP 21 6,0

SMA/SMK/Sederajat 109 31,3

Diploma/D1-D3 41 11,8

D4/Sarjana/Sederajat 139 39,9

Profesi/S2/Spesialis 35 10,1

S3 3 0,9

Total 348 100

Penghasilan Perbulan

Rp. 1.000.000 105 30,2

Rp. 1.000.000 – Rp.

5.000.000

162 46,6

Rp. 5.000.000 – Rp.

10.000.000

59 17,0

Di atas Rp. 10.000.000 22 6,3

Total 348 100

Usia anak

2 – 5 tahun 38 10,9

6 – 11 tahun 156 44,8

12 – 21 tahun 139 39,8

22 – 40 tahun 15 4,5

Total 348 100

(20)

12

Berdasarkan tabel 1 data demografis, didapati subjek penelitian ini berjumlah 299 (85,9%) orang berjenis kelamin perempuan dan 49 (14,1%) orang berjenis kelamin laki- laki. Subjek berusia 21-40 tahun berjumlah 185 (53,2%) orang, berusia 40-60 tahun berjumlah 159 (45,7) orang, dan diatas 60 tahun berjumlah 4 (1,1%) orang. Dengan mayoritas berperan sebagai ibu rumah tangga yang berjumlah 170 (48,9%) orang dan mayoritas usia anak berusia 6-11 tahun yang berjumlah 156 (44,8%) anak.

Variabel dan Instrumen Penelitian

Self-compassion dalam penelitian ini berperan sebagai variabel bebas dan kualitas hidup sebagai variabel terikat. Self-compassion adalah sikap orang tua ketika mengalami kegagalan, kesulitan, atau cobaan hidup yang berkaitan dengan gangguan autis anaknya, maka orang tua tersebut memilih untuk bersikap baik dan hangat pada diri sendiri, penuh dengan kesadaran bahwa dirinya sedang dalam kesulitan, serta memandang bahwa segala yang dialaminya merupakan bagian dari kehidupan manusia secara umum, atau bahkan orang lain mengalami yang lebih buruk. Serta tidak terlalu menghakimi diri sendiri, tidak merasa sebagai orang yang paling menderita, dan tidak berlebihan dalam mengidentifikasi persoalan yang dialami. Self-compassion memiliki 6 aspek (dimensi positif dan negatif) yang saling berkaitan yaitu self-kindness, common humanity, mindfulness, self-judgement, isolation, dan over identification. Dan akan diukur menggunakan Self-compassion Scale (SCS) yang disusun oleh Neff (2003). SCS memiliki 26 item yang mana mencakup 5 item self-kindness, 5 item self-judgment, 4 item common humanity, 4 item isolation, 4 item mindfulness, dan 4 item over-identification.

SCS disuguhkan dalam bentuk skala 5 poin Likert, dari pernyataan “tidak pernah” sampai

“selalu”, dan SCS menunjukan reliabilitas yang baik (.92) dan kualitas item yang baik dimana tiap subskala dari self-compassion menunjukkan factor loadings 0,57- 0.80 (Neff, 2003). Adapun adaptasi Self-compassion Scale ke Indonesia menunjukkan tingkat reliabilitas sebesar 0,872 dan korelasi item yang cukup baik yaitu 0,26 – 0,57. Kemudian peneliti memperoleh tingkat validitas sebesar 0,273-0,629 dan tingkat reliabilitas sebesar 0,883. Berikut beberapa contoh item SCS: “Saya mencoba untuk memahami dan sabar terhadap aspek kepribadian saya yang tidak saya sukai”, “Ketika saya merasa tidak mampu dalam beberapa hal, saya mencoba untuk mengingatkan diri saya sendiri bahwa perasaan tidak mampu dimiliki oleh kebanyakan orang”, “Saat merasa sedih, saya cenderung terobsesi dan terpaku pada segala hal yang salah”.

Sedangkan kualitas hidup adalah persepsi orang tua mengenai posisinya dalam hidup, kesehatan fisik dan psikologis, hubungan sosial, serta kepuasan terhadap status ekonomi berkaitan dengan gangguan autis anaknya, dan kualitas hidup memiliki 3 indikator, yaitu emotional, gangguan harian, dan global QoL. Kualitas hidup orang tua akan diukur menggunakan Parental-Developmental Disorder-Quality of Life (Par-DD-QoL) yang diadaptasi dari kuesioner Par-ENT-QoL (Berdeaux et al., 1998). Alat ukur ini mengukur dampak dari ASD terhadap kualitas hidup orang tua yang mana terdapat tiga dimensi:

emotional, gangguan sehari-hari, dan global QoL. Par-DD-QoL terdiri dari 18 pertanyaan, masing-masing dinilai oleh orang tua pada skala Likert 5 point. 15 pertanyaan pertama berkaitan dengan intensitas kesulitan yang dihadapi oleh orang tua, keenam belas

(21)

13

frekuensi mereka, ketujuh belas berkaitan dengan perubahan kualitas hidup orang tua karena kondisi gangguan anaknya dan yang terakhir adalah kualitas hidup orang tua secara umum. Skala ini memiliki konsistensi atau reliabilitas yang baik dengan nilai Cronbach’s alpha antara 0.7 dan 0.7 (Baghdadli et al., 2014). Kemudian peneliti memperoleh tingkat validitas sebesar 0,223-0,692 dan tingkat reliabilitas sebesar 0,903.

Diantara contoh dari item adalah “apakah anda khawatir?” “apakah anda lebih stres dari biasanya?”.

Prosedur dan Analisis Data

Beberapa langkah sebelum proses pengambilan data dilaksanakan, alat ukur terlebih dahulu diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia melalui proses penerjemahan yang kemudian dilanjutkan dengan penilaian ahli. Setelah penilaian ahli dilaksanakan, peneliti melakukan try out alat ukur untuk melihat validitas dan reliabilitas alat ukur dari setiap variabel. Setelah itu, proses pengambilan data dilaksanakan dengan mengundang partisipan untuk mengisi kuesioner daring (google form) melalui institusi dan atau komunitas yang berkaitan dengan partisipan. Data yang sudah diperoleh merupakan data interval yang kemudian dianalisis menggunakan uji korelasi product moment pearson.

Dan analisis tersebut dilakukan menggunakan software SPSS statistics versi 23.0

(22)

14

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian yang dilakukan pada 348 orang tua dari anak autis akan diuraikan dalam tabel berikut

Table 2. Deskriptif Statistik

Variabel N Rata-

rata

SD Jumlah Presentase Keterangan

Self-

compassion

348 3,58 0,534 4

166 178

(1,1%) (47,7%) (51,1%)

Rendah Sedang Tinggi Kualitas

hidup

348 57,24 13,2 41

221 86

(11,8%) (63,5%) (24,7%)

Rendah Sedang Tinggi Berdasarkan table 2, diketahui bahwa rata-rata 348 orang tua memiliki tingkat self- compassion yang tinggi (mean = 3,58; SD = 0,534) dan tingkat kualitas hidup yang sedang (mean = 57,42; SD = 13,2).

Kemudian, uji asumsi normalitas variabel self-compassion dan kualitas hidup disajikan dalam tabel berikut

Table 3. Uji Normalitas Variabel

Variable Skewness Kurtosis

Self-compassion 0,289 -0,486

Kualitas hidup -0,026 -0,501

Berdasarkan data uji normalitas di atas, didapati bahwa nilai skewness variable self- compassion sebesar 0,289 dan nilai kurtosis -0,486. Sedangkan variabel kualitas hidup bernilai skewness -0,026 dan kurtosis -0,501. Mengingat bahwa variabel dengan nilai skewness dan kurtosis diantara -+2 berdistribusi normal, maka variable self-compassion dan kualitas hidup berdistribusi normal.

Adapun hasil uji hipotesis melalui korelasi pearson untuk membuktikan keterhubungan antara variabel self-compassion dan kualitas hidup dapat dilihat dalam tabel berikut Table 4. Uji Korelasi

Variable N Pearson

Correlation

Sig

Self-compassion 348 .485 .000

(23)

15

Kualitas hidup 348 .485 .000

Berdasarkan hasil analisis di atas, didapati bahwa Self-compassion berkorelasi positif dengan Kualitas hidup dengan r=0,485; p<0,01. Di mana semakin tinggi tingkat Self- compassion orang tua, maka semakin tinggi pula tingkat kualitas hidup orang tua.

Selain menguji korelasi variabel self-compassion dan kualitas hidup, korelasi antara aspek-aspek self-compassion dan variabel kualitas hidup juga diuji sebagaimana tabel berikut:

Table 5. Uji Korelasi Aspek-aspek Self-compassion

Aspek Self-compassion Variabel Pearson

Correlation

Sig

Self-kindness Kualitas Hidup .034 .489

Self-judgement -.600 .000

Common humanity -.085 .112

Isolation -.629 .000

Mindfulness .068 .207

Over identification -.580 .000

Berdasarkan table di atas, didapati bahwa terdapat tiga aspek yang memiliki nilai signifikan lebih besar dari 0,01 yaitu self-kindness (r=0,034), common humanity (r=- 0,085), dan mindfulness (r=0,068), hal ini menunjukan bahwa ketiga aspek tersebut tidak berhubungan secara signifikan dengan variabel kualitas hidup. Sedangkan aspek self- judgement (r=-0,600; p<0,01), isolation (r=-0,629; p<0,01), dan over identification (r=- 0,580; p<0,01) secara signifikan berhubungan negatif dengan kualitas hidup, yang berarti semakin tinggi tingkat self-judgement, isolation, dan over identification, maka semakin rendah tingkat kualitas hidup orang tua.

Peneliti juga menguji keterkaitan self-compassion dan kualitas hidup dengan pendidikan, pekerjaan, penghasilan, usia orang tua, dan usia anak menggunakan uji regresi linear berganda. Hasil uji regresi menunjukan bahwa usia anak sebagai prediktor self- compassion orang tua dengan p<0.01 dan nilai r square 0.036 yang menunjukan bahwa 3.6% variasi self-compassion orang tua dapat dijelaskan oleh usia anak. Sedangkan variasi kualitas hidup orang tua tidak sedikitpun dapat dijelaskan oleh data demografi, tidak satupun data demografi didapati sebagai prediktor kualitas hidup orang tua.

(24)

16 DISKUSI

Neff and Faso (2015) mendapati bahwa self-compassion berhubungan positif dengan kepuasan hidup, harapan, dan pengaturan kembali target hidup, serta berhubungan negatif dengan depresi dan stres pengasuhan pada orang tua dari anak ASD. Self-compassion juga berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologis orang tua dan berhubungan negatif dengan tekanan psikologis (Torbet et al., 2019). Tekanan psikologis yang orang tua alami berkaitan dengan stigma masyarakat terhadap kondisi yang orang tua alami, stigma masyarakat berhubungan negatif dengan self-compassion, dan hal tersebut menunjukan self-compassion berhubungan negatif dengan stigma masyarakat dan tekanan psikologis (Wong et al., 2016). Orang tua menderita oleh stigma karena dengannya orang tua merasa terisolasi, sehingga dengan self-compassion, di mana aspek humanity membuat orang tua tidak merasa terisolasi, stigma tidak menyebabkan tekanan psikologis pada orang tua.

Kesejahteraan dan tekanan psikologis, stres (Torbet et al., 2019), kecemasan, dan depresi (Barnard & Curry, 2011; Ferrari et al., 2019; Johnson et al., 2013) merupakan bagian dari domain emotional dalam kualitas hidup. Sedangkan stigma masyarakat, yang juga berkaitan dengan self-compassion (Wong et al., 2016), merupakan bagian dari domain gangguan harian dalam kualitas hidup.

Tujuan dari penelitian ini adalah membuktikan hubungan positif antara self-compassion dan kualitas hidup orang tua dari anak autis. Berdasarkan hasil uji korelasi antara self- compassion dan kualitas hidup, didapati bahwa self-compassion berkorelasi positif dengan kualitas hidup dengan nilai korelasi (r=0,485 p<0,01) yang menunjukan bahwa semakin tinggi self-compassion maka semakin tinggi kualitas hidup. Dimensi positif aspek self-compassion, yaitu self-kindness (r=0,034), common humanity (r=-0,085), dan mindfulness (r=0,068) memiliki nilai signifikan lebih besar dari 0,01 sehingga dapat dikatakan tidak berkorelasi dengan kualitas hidup. Namun dimensi negatif self- compassion secara signifikan berhubungan negatif dengan kualitas hidup, yaitu aspek self-judgement (r=-600), isolation (r=-629), dan over identification (r=-580).

Dengan hasil uji korelasi aspek dimensi positif self-compassion yang tidak menunjukan korelasi dengan kualitas hidup, akan tetapi pada dasarnya aspek-aspek self-compassion saling berkaitan satu sama lain (Neff, 2003). Sehingga hasil uji korelasi variabel self- compassion dengan kualitas hidup, dan uji korelasi aspek dimensi negatif self- compassion dengan kualitas hidup, menunjukan terbuktinya hipotesis. Hasil tersebut selaras dengan temuan sebelumnya yang menyatakan bahwa self-compassion berkorelasi dengan kualitas hidup (Pyszkowska & Wrona, 2021).

Salah satu aspek negatif self-compassion yang berhubungan negatif dengan kualitas hidup adalah self-judgement. Self-judgement menunjukan bahwa orang tua menghakimi dan menyalahkan diri sendiri dalam melihat kesulitan hidup yang berkaitan dengan anaknya (Neff & Germer, 2017). Salah satu kondisi di mana orang tua berpotensi menghakimi dirinya sendiri adalah ketika perilaku agresi atau tantrum anak muncul di tempat umum, kemudian orang tua oleh orang sekitar dinilai tidak cukup kompeten dalam mengasuh anaknya, karenanya orang tua menghakimi dan menyalahkan diri sendiri atas kondisi yang dialami anaknya, dan ini juga berkaitan dengan tekanan psikologis dan stres pengasuhan yang dialami orang tua (Bohadana et al., 2019; Wong et al., 2016).

(25)

17

Karenanya, berdasarkan hasil uji korelasi diatas, semakin tinggi self-judgement orang tua, maka semakin rendah tingkat kualitas hidup orang tua. Dan hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa semakin tinggi skor self- judgement maka semakin rendah tingkat self-compassion (Beaumont et al., 2016).

Selain self-judgement, pengalaman tantrum anak di tempat umum juga dapat memicu perasaan orang tua terisolasi (Selman et al., 2018). Aspek isolation, yang juga berhubungan negatif dengan kualitas hidup, adalah aspek negatif self-compassion yang menunjukan bahwa orang tua ketika menghadapi masalah yang berkaitan dengan anaknya, orang tua masih merasa bahwa dirinya yang paling menderita, lupa bahwa semua manusia memiliki masalahnya masing-masing bahkan ada yang lebih buruk, dan merasa terisolasi (Neff & Germer, 2017). Karenanya semakin orang tua merasa terisolasi, atau tidak terhubung dengan sense of humanity, maka semakin rendah kualitas hidup orang tua.

Di samping aspek self-judgement dan isolation, aspek negatif self-compassion yang juga berkorelasi negatif dengan kualitas hidup adalah over identification. Over identification adalah sikap orang tua yang melihat kesulitan hidupnya secara berlebihan, mengidentifikasikan persoalan secara berlebihan (Neff & Germer, 2017). Semakin tinggi tingkat over identification orang tua, maka semakin rendah tingkat kualitas hidupnya.

Jika dilihat dari sudut pandang aspek-aspek kualitas hidup, ketiga aspek negatif diatas berhubungan negatif dengan aspek emotional dan gangguan harian. Aspek emotional berkaitan dengan kesehatan mental dan fisik orang tua, termasuk stres dan gangguan tidur. Sedangkan aspek gangguan harian mencakup keterampilan adaptif anak ASD dan hal-hal lain yang berkaitan dengan lingkungan seperti keamanan (Rattaz et al., 2017).

Konsisten dengan hasil temuan sebelumnya (Bohadana et al., 2019), seluruh aspek dimensi negatif self-compassion berhubungan positif dengan tekanan psikologis orang tua. Semakin orang tua menghakimi diri sendiri, merasa terisolasi, dan mengidentifikasi secara berlebihan, maka semakin tinggi tingkat tekanan psikologis orang tua. Tekanan psikologis orang tua, karena berkaitan dengan kesehatan mental, termasuk ke dalam aspek emotional kualitas hidup. Adapun stigma masyarakat, walaupun efeknya terhadap mental yang mana bagian dari aspek emotional, namun sebab dari efek tersebut adalah perlakuan dari orang sekitar yang mana bagian dari lingkungan. Karenanya, semakin tinggi tingkat self-judgement, isolation, dan over identification orang tua, maka semakin rendah kualitas hidup orang tua.

Bohadana et al. (2019) menunjukan bahwa dimensi positif self-compassion berkorelasi positif dengan kualitas hidup, yang berarti semakin tinggi dimensi positif self-compassion orang tua, maka semakin tinggi pula kualitas hidupnya. Namun, hasil uji korelasi antara dimensi positif self-compassion dan kualitas hidup dalam penelitian ini tidak menunjukan adanya hubungan yang signifikan.

Self-kindness adalah dimensi positif self-compassion yang berkaitan dengan sikap baik orang tua terhadap dirinya sendiri ketika menghadapi kesulitan hidup (Neff & Germer, 2017), khususnya yang berkaitan dengan kondisi anaknya. Self-kindness tidak berhubungan secara signifikan dengan kualitas hidup karena orang tua cenderung bersikap menghakimi diri sendiri ketika menghadapi masalah. Self-judgement, sebagai aspek tandingan dari self-kindness, bernilai korelasi lebih besar dan signifikan

(26)

18

dibandingkan self-kindness. Rendahnya self-kindness juga menjadikan orang tua kesulitan mengatur waktu dan kesempatan untuk menyalurkan stres yang dirasakan (Bohadana et al., 2021). Selain self-kindness, common humanity juga satu di antara aspek dimensi positif self-compassion yang tidak berkorelasi dengan kualitas hidup. Common humanity berkaitan dengan pandangan orang tua yang luas dan menyeluruh ketika menghadapi persoalan hidup (Neff & Germer, 2017). Orang tua dengan common humanity akan memandang bahwa manusia tidak sempurna dan pernah melakukan kesalahan. Mengingat bahwa nilai korelasi aspek isolation lebih tinggi dan signifikan dibandingkan dengan aspek common humanity, maka dapat dikatakan bahwa orang tua masih merasa terisolasi ketika menghadapi kesulitan hidup. Disamping self-kindness dan common humanity, mindfulness adalah aspek dimensi positif self-compassion yang tidak berkorelasi dengan kualitas hidup. Dibandingkan dengan mindfulness, orang tua lebih dominan over identification dalam memandang kesulitan hidupnya. Mindfulness berkaitan dengan kesadaran orang tua ketika sedang merasakan kesulitan hidup, kesulitan tersebut diakui dan disadari adanya, namun dilihat sebagaimana adanya dan tidak berlebihan (Neff & Germer, 2017).

Hasil dimensi positif self-compassion tidak memiliki hubungan dengan kualitas hidup seirama dengan hasil temuan Constantakes, A. K. (2021) bahwa self-compassion tidak berhubungan secara signifikan dengan tingkat stres orang tua dari anak autis. Temuan tersebut menunjukan bahwa tinggi rendahnya stres yang orang tua alami tidak dipengaruhi oleh self-compassion. Constantakes menambahkan bahwa hasil tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh situasi pandemi virus corona, di mana orang tua lebih sering memikirkan hal-hal lain seperti persediaan makanan, pembatasan sosial, dan cara bertahan hidup ketimbang memikirkan tekanan psikologis yang disebabkan oleh kondisi autis anaknya. Hal tersebut juga sangat memungkinkan terjadi pada orang tua dalam penelitian ini, di mana orang tua teralihkan pikirannya pada situasi pandemi dan tidak sesering memikirkan kondisi yang dialami anaknya seperti saat sebelum pandemi.

Dalam penelitian ini, tentu masih banyak kekurangan yang sedikit banyak mempengaruhi kompleksitas pembahasan, salah satunya adalah beberapa orang tua mengeluhkan jumlah item yang sangat banyak dan hanya bisa diisi dalam satu waktu di tengah padatnya waktu orang tua, hal tersebut dapat mempengaruhi kesungguhan orang tua dalam mengisi skala.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi pada penelitian mengenai hubungan antara self- compassion dan kualitas hidup pada orang tua dari anak dengan ASD, didapati bahwa hipotesis self-compassion dan kualitas hidup berhubungan positif diterima, dan ini menunjukan semakin tinggi dimensi positif self-compassion, maka semakin tinggi tingkat kualitas hidup orang tua. Dan semakin tinggi dimensi negatif self-compassion, maka semakin rendah tingkat kualitas hidup orang tua.

Implikasi dari penelitian ini adalah agar orang tua dari anak autis dapat meningkatkan kualitas hidupnya dengan bersikap mengasihi diri sendiri tanpa menghakimi, menyadari

(27)

19

setiap manusia memiliki masalahnya masing-masing dan tidak merasa sebagai manusia yang paling menderita, juga mengakui dan menyadari ketika merasakan kesulitan tanpa menilainya secara berlebihan.

(28)

20 REFERENSI

Alhazmi, A., Petersen, R., & Donald, K. A. J. A. n. (2018). Quality of life among parents of South African children with autism spectrum disorder. 30(4), 226- 231.

Association, A. P. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (DSM- 5®). American Psychiatric Pub.

Azwar, S. J. Y. P. P. (2017). Metode penelitian psikologi.

Baghdadli, A., Pry, R., Michelon, C., & Rattaz, C. J. Q. o. l. r. (2014). Impact of autism in adolescents on parental quality of life. 23(6), 1859-1868.

Baker-Ericzén, M. J., Brookman-Frazee, L., Stahmer, A. J. R., & disabilities, p. f. p. w.

s. (2005). Stress levels and adaptability in parents of toddlers with and without autism spectrum disorders. 30(4), 194-204.

Barnard, L. K., & Curry, J. F. J. R. o. g. p. (2011). Self-compassion:

Conceptualizations, correlates, & interventions. 15(4), 289-303.

Beaumont, E., Durkin, M., Martin, C. J. H., & Carson, J. J. M. (2016). Compassion for others, self-compassion, quality of life and mental well-being measures and their association with compassion fatigue and burnout in student midwives: A

quantitative survey. 34, 239-244.

Berdeaux, G., Hervie, C., Smajda, C., & Marquis, P. J. Q. o. l. r. (1998). Parental quality of life and recurrent ENT infections in their children: development of a questionnaire. 7(6), 501-512.

Bluth, K., Neff, K. D. J. S., & Identity. (2018). New frontiers in understanding the benefits of self-compassion. 17(6), 605-608.

Bohadana, G., Morrissey, S., & Paynter, J. (2021). Self-Compassion in Mothers of Children with Autism Spectrum Disorder: A Qualitative Analysis. Journal of Autism and Developmental Disorders, 51(4), 1290-1303.

Bohadana, G., Morrissey, S., Paynter, J. J. J. o. a., & disorders, d. (2019). Self-

compassion: a novel predictor of stress and quality of life in parents of children with autism spectrum disorder. 49(10), 4039-4052.

Bromley, J., Hare, D. J., Davison, K., & Emerson, E. J. A. (2004). Mothers supporting children with autistic spectrum disorders: Social support, mental health status and satisfaction with services. 8(4), 409-423.

Cappe, E., Wolff, M., Bobet, R., & Adrien, J.-L. J. Q. o. L. R. (2011). Quality of life: a key variable to consider in the evaluation of adjustment in parents of children with autism spectrum disorders and in the development of relevant support and assistance programmes. 20(8), 1279-1294.

Constantakes, A. K. (2021). Self-Compassion in Parents of Children with Autism Spectrum Disorders: A Mediation Study (Doctoral dissertation, Xavier University).

Due, C., Goodwin Smith, I., Allen, P., Button, E., Cheek, C., Quarmby, L., Stephens, M., Paku, S., Ferguson, S., Fordyce, K. J. J. o. I., & Disability, D. (2018). A pilot study of social inclusion and quality of life for parents of children with autism spectrum disorder. 43(1), 73-82.

(29)

21

Eapen, V., Črnčec, R., Walter, A., Tay, K. P. J. A. R., & Treatment. (2014).

Conceptualisation and development of a quality of life measure for parents of children with autism spectrum disorder. 2014.

Ferrari, M., Hunt, C., Harrysunker, A., Abbott, M. J., Beath, A. P., & Einstein, D. A. J.

M. (2019). Self-compassion interventions and psychosocial outcomes: A meta- analysis of RCTs. 10(8), 1455-1473.

Fodstad, J. C., Rojahn, J., Matson, J. L. J. J. o. D., & Disabilities, P. (2012). The emergence of challenging behaviors in at-risk toddlers with and without autism spectrum disorder: A cross-sectional study. 24(3), 217-234.

Group, T. W. J. S. s., & medicine. (1998). The World Health Organization quality of life assessment (WHOQOL): development and general psychometric properties.

46(12), 1569-1585.

Hayes, S. A., Watson, S. L. J. J. o. a., & disorders, d. (2013). The impact of parenting stress: A meta-analysis of studies comparing the experience of parenting stress in parents of children with and without autism spectrum disorder. 43(3), 629- 642.

Johnson, E. A., O'Brien, K. A. J. J. o. S., & Psychology, C. (2013). Self-compassion soothes the savage ego-threat system: Effects on negative affect, shame, rumination, and depressive symptoms. 32(9), 939-963.

Ludlow, A., Skelly, C., & Rohleder, P. J. J. o. h. p. (2012). Challenges faced by parents of children diagnosed with autism spectrum disorder. 17(5), 702-711.

Nealy, C. E., O'Hare, L., Powers, J. D., & Swick, D. C. J. J. o. F. S. W. (2012). The impact of autism spectrum disorders on the family: A qualitative study of mothers’ perspectives. 15(3), 187-201.

Neff, K., & Germer, C. J. T. O. h. o. c. s. (2017). Self-Compassion and Psychological.

371.

Neff, K. D. (2003). The development and validation of a scale to measure self- compassion. 2(3), 223-250.

Neff, K. D., & Faso, D. J. J. M. (2015). Self-compassion and well-being in parents of children with autism. 6(4), 938-947.

Neff, K. D. J. M. (2016). The self-compassion scale is a valid and theoretically coherent measure of self-compassion. 7(1), 264-274.

Neff, K. J. S., & identity. (2003). Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself. 2(2), 85-101.

Nuske, H. J., Hedley, D., Tseng, C. H., Begeer, S., Dissanayake, C. J. J. o. a., &

disorders, d. (2018). Emotion regulation strategies in preschoolers with autism:

Associations with parent quality of life and family functioning. 48(4), 1287- 1300.

Pyszkowska, A., & Wrona, K. (2021). Self-compassion, ego-resiliency, coping with stress and the quality of life of parents of children with autism spectrum disorder. PeerJ, 9, e11198.

Rattaz, C., Michelon, C., Roeyers, H., Baghdadli, A. J. J. o. A., & Disorders, D. (2017).

Quality of life in parents of young adults with ASD: EpiTED cohort. 47(9), 2826-2837.

(30)

22

Schieve, L. A., Blumberg, S. J., Rice, C., Visser, S. N., & Boyle, C. J. P. (2007). The relationship between autism and parenting stress. 119(Supplement 1), S114- S121.

Selman, L. E., Fox, F., Aabe, N., Turner, K., Rai, D., & Redwood, S. (2018). ‘You are labelled by your children’s disability’–a community-based, participatory study of stigma among Somali parents of children with autism living in the United Kingdom. Ethnicity and Health, 23(7), 781-796.

Smith, C. E. J. J. o. p., & nutrition, e. (1993). Quality of life in long‐term total parenteral nutrition patients and their family caregivers. 17(6), 501-506.

Strauss, C., Taylor, B. L., Gu, J., Kuyken, W., Baer, R., Jones, F., & Cavanagh, K. J. C.

p. r. (2016). What is compassion and how can we measure it? A review of definitions and measures. 47, 15-27.

Stuart, M., & McGrew, J. H. J. R. i. A. S. D. (2009). Caregiver burden after receiving a diagnosis of an autism spectrum disorder. 3(1), 86-97.

Torbet, S., Proeve, M., & Roberts, R. M. J. M. (2019). Self-compassion: a protective factor for parents of children with Autism Spectrum Disorder. 10(12), 2492- 2506.

Vasilopoulou, E., & Nisbet, J. J. R. i. A. S. D. (2016). The quality of life of parents of children with autism spectrum disorder: A systematic review. 23, 36-49.

Wong, C. C., Mak, W. W., & Liao, K. Y.-H. J. M. (2016). Self-compassion: A potential buffer against affiliate stigma experienced by parents of children with autism spectrum disorders. 7(6), 1385-1395.

Zablotsky, B., Bradshaw, C. P., Stuart, E. A. J. J. o. a., & disorders, d. (2013). The association between mental health, stress, and coping supports in mothers of children with autism spectrum disorders. 43(6), 1380-1393.

(31)

23

LAMPIRAN

(32)

24 Lampiran 1: Blue Print & Skala

Blue Print Self-Compassion Scale

No Komponen Nomor Item Jumlah

1. Subskala Mengasihi Diri (Self- kindness) : supportif dan

simpatik terhadap diri sendiri ketika memerhatikan

kekurangan diri

5, 12, 19, 23, 26 5

2. Subskala Menghakimi Diri (Self-judgment) : cenderung menilai atau mengkritik diri sendiri

1, 8, 11, 16, 21 5

3. Subskala Kemanusiaan

Universal (Common humanity) : pandangan individu menjadi lebih luas dan lebih inklusif

3, 7, 10, 15 4

4. Subskala Isolasi (Isolation) : perasaan terisolasi saat melihat kekurangan atau kegagalan yang ada pada diri

4, 13, 18, 25 4

5. Subskala Kewawasan

(Mindfulness) : individu memahami peristiwa yang terjadi pada dirinya tanpa ada distorsi/penyimpangan

9, 14, 17, 22 4

6. Subskala Overidentifikasi (Over-identified) : individu terlalu sibuk atau terlalu

teridentifikasi dengan pikirannya atau perasaan negatif

2, 6, 20, 24 4

Total 26

Skala Self-Compassion

No Item 1 2 3 4 5

1. Saya tidak menerima dan menghakimi kelemahan dan kekurangan saya

2. Ketika saya sedang terpuruk, saya cenderung terobsesi dan terus terpaku pada segala hal yang salah

3. Ketika hal-hal buruk terjadi pada saya, saya melihat kesulitan hidup sebagai bagian hidup yang dilewati semua orang

4. Ketika saya memikirkan kekurangan saya, hal tersebut akan membuat diri saya terkucil dari seisi dunia

(33)

25

5. Saya mencoba untuk mencintai diri saya ketika saya merasakan sakit secara emosional

6. Ketika saya gagal pada suatu hal yang penting bagi saya, saya larut dalam perasaan tidak mampu

7. Ketika saya merasa sedih, saya mengingatkan diri saya bahwa ada banyak orang di dunia ini yang mengalami hal yang sama dengan saya

8. Di waktu-waktu yang sangat sulit, saya cenderung bersikap keras pada diri saya

9. Ketika sesuatu membuat saya kesal, saya berusaha menjaga emosi saya tetap stabil

10. Ketika saya merasa tidak mampu pada beberapa hal, saya mengingatkan diri saya bahwa perasaan tidak mampu juga dirasakan oleh sebagian besar orang 11. Saya tidak toleran dan tidak sabar terhadap beberapa

aspek kepribadian saya yang tidak saya sukai 12. Ketika saya mengalami waktu sulit, saya akan

memberikan kepedulian dan kelembutan yang saya butuhkan

13. Ketika saya merasa sedih, saya cenderung merasa orang lain mungkin lebih bahagia dibandingkan saya 14. Ketika suatu hal menyakitkan terjadi, saya mencoba

untuk melihat situasi secara berimbang

15. Saya mencoba untuk melihat kegagalan saya sebagai bagian dari kondisi yang dialami manusia pada umumnya

16. Ketika saya melihat aspek-aspek diri saya yang tidak saya sukai, saya merasa sedih pada diri saya

17. Ketika saya gagal pada suatu hal yang penting bagi saya, saya berusaha untuk melihatnya sebagai sesuatu yang wajar

18. Ketika saya sungguh menderita, saya cenderung

merasa bahwa orang lain lebih mudah dalam menjalani hidup

19. Saya baik terhadap diri saya saat mengalami penderitaan

20. Ketika suatu hal menjengkelkan terjadi, saya terbawa perasaan

21. Saya bisa bersikap tidak berperasaan pada diri saya saat mengalami penderitaan

22. Ketika saya sedang terpuruk, saya mencoba

menanggapi perasaan saya dengan rasa ingin tahu dan keterbukaan

23. Saya bersikap toleran terhadap kelemahan dan kekurangan saya

Gambar

Tabel 1. Data Demografis
Table 2. Deskriptif Statistik
Table 5. Uji Korelasi Aspek-aspek Self-compassion
Foto Workshop  2

Referensi

Dokumen terkait

Satker Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Lebong tahun anggaran 2015 mengumumkan. Penyedia Pengadaan Jasa

Untuk mengatur atau menggeser halaman dokument yang ditampilkan adalah fungsi dari.... Untuk Memilih teks dapat dilakukan dengan cara

Hasil indeks kerentanan menunjukkan bahwa ikan selar kuning memiliki nilai paling tinggi dibandingkan dengan ketiga ikan lainnya karena fekunditas dan pola rekrutmen

Dari penelitian yang pernah dilakukan di Puskesmas Mandala Tahun 2009 diperoleh gambaran hasil pemberian PMT selama 90 hari dari program Jaring Pengaman Sosial Bidang

Pada hasil partisipasi aktif siswa, siswa telah berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran dan keaktifan siswa pada proses pembelajan berlangsung dapat dilihat

Scene 4 sudah berpedoman pada etika jurnalistik sesuai pada pasal 2 yang berisi tentang wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profeional dalam

Rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkah dan rahmatNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah berupa skripsi berjudul Evaluasi

Ada sebagian orang yang senang sekali membatasi hidup orang lain berdasarkan warna yang dia gunakan, misalnya mengatakan “kamu sih suka baju warna hitam,