• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL. Oleh: Ratri Hapsari D PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "JURNAL. Oleh: Ratri Hapsari D PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2021"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL

ISU LINGKUNGAN DALAM FILM DOKUMENTER

(Analisis Semiotika Terhadap Representasi Kearifan Lokal sebagai Sarana Pelestarian Lingkungan untuk Menekan Dampak Perubahan Iklim pada Film

“Semesta” Karya Sutradara Chairun Nisa)

Oleh:

Ratri Hapsari D0217072

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2021

(2)

ISU LINGKUNGAN DALAM FILM DOKUMENTER

(Analisis Semiotika Terhadap Representasi Kearifan Lokal sebagai Sarana Pelestarian Lingkungan untuk Menekan Dampak Perubahan Iklim pada Film

“Semesta” Karya Sutradara Chairun Nisa)

Ratri Hapsari Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

Abstract

The issue of climate change is one of the priority issues for countries in the world because it must be handled collectively. Various studies were conducted to find solutions to reduce the impact of environmental damage. One of the results found is that there is a different trend in areas controlled by indigenous peoples or local communities. Unfortunately, there is a threat to local wisdom as a result of the pace of development. Various forms of criticsm and suggestions are made by the community, one of which is through film media. The film is considered capable of providing a more interesting presentation and is easily accepted by the public.

In 2017, the Ministry of Environment and Forestry held a proposal competition for making environmental and cultural documentary films. The competition was won by the production house of Tanakhir Films with the title “Semesta”. A film about the story of seven figures from various regions in Indonesia who try to slow down the impact of environmental change due to the encouragement of religion, belief and culture.

By grouping the forms of local wisdom and then using Sony Keraf’s environmental ethical principles based on the theory of biocentrism, ecocentrism and ecofeminism, this research conducts a semiotic analysis using Roland Barthes’s semiotic theory to interpret signs in the form of scenes, dialogues and texts in Chairun Nisa’s film Semesta which represents local wisdom as a means of environmental conservation to reduce the impact of climate change.

The results of the study found that there was a representation of local wisdom as a means of environmental conservation to reduce the impact of climate change in accordance with the forms of local wisdom and applying the principles of environmental ethics according to Sonny Keraf. There are nine local wisdoms depicted in the film Semesta namely Nyepi, Performance of Ogoh-ogoh, Panjae traditional house, customary forst law, Gawai events, Sasi, Catholic religious

(3)

values, Islamic religious values (Kenduri Tulak Bala), and woven baskets.

However, not all local wisdom in the film “Semesta” is always adequate to show empirical facts as a means of environmental conservation that can reduce the impact of climate change. Of the nine local wisdoms, six of them implements at least one to three principles of environmental ethics according to Sonny Keraf.

Meanwhile, the other three forms of local wisdom namely Panjae traditional house, Performance of Ogoh-ogoh and Gawai Events do not show the application of environmental ethical principles so they have no influence on the impact of climate change.

Keywords: Films, Semiotic, Local Wisdom, Environmental

Pendahuluan

Sebagai tempat tinggal makhluk hidup bumi harus dijaga kelestariannya.

Tanggung jawab tersebut wajib dilakukan manusia sebagai salah satu makhluk yang tinggal dan memanfaatkan hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka. Manusia mengolah sumber daya alam menggunakan berbagai cara mulai dari alat sederhana dan minim merusak alam sampai menggunakan alat dari penemuan terbarukan yang sebagian memiliki dampak bagi lingkungan. Menurut Sufia, R., Sumarmi, & Amirudin, A. (2016: 726-731) filsafat kehidupan menyatu dan berdampingan dengan alam (naturalisme) telah berubah menjadi antroposentrime, yaitu filsafat yang berpandangan bahwa manusia adalah pengendali utama alam, bukan lagi manusia yang menyesuaikan diri dengan alam dan lingkungan. Akibatnya terjadi perubahan lingkungan di bumi yang memicu munculnya banyak pembahasan tentang isu lingkungan salah satunya yaitu, perubahan iklim. Disampaikan oleh Boateng & Boateng dalam Mustangin (2017:80) bahwa perubahan iklim adalah masalah kebijakan publik terbesar di zaman ini.

Dalam website resmi www.un.org, Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation) tanggal 5 Febuari 2021 menjelaskan bahwa perubahan iklim menjadi salah satu isu prioritas bagi negara-negara di dunia karena termasuk isu yang melampaui kapasitas nasional dalam penyelesaiannya. Pembahasan perubahan iklim telah dimulai pada tahun 1988 yaitu dibentuknya Internagovermental Panel on Climate Change (IPPC) oleh World Meteorological Organization (WMO) dan United

(4)

Nations Environment Programme (UNEP) dengan tujuan memberikan informasi ilmiah terkait perubahan iklim sebagai dasar membuat kebijakan. Tahun 2013 IPPC melaporkan kesimpulan bahwa perubahan iklim itu nyata dan aktivitas manusia adalah penyebab utama.

Disampaikan laporan lain berjudul Media Release: Nature’s Dangerous Decline ‘Unpredected’ Species Extinction Rates ‘Accelerating’. oleh Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) tahun 2019 yang menyebutkan bahwa selama lima dekade terakhir ditemukan gambaran komperhensif tentang hubungan antara pembangunan ekonomi dan dampaknya kepada alam. Sejak tahun 1900 telah terjadi penurunan setidaknya 20% pada spesies asli yang berada di daratan serta lebih dari 40%

spesies amfibi, 33% terumbu karang serta lebih dari sepertiga mamalia laut akan terancam punah. Ditambahkan fakta lain yaitu tiga perempat lingkungan berbasis darat maupun sekitar 66% lingkungan laut berubah akibat tindakan manusia. Akan tetapi rata-rata tren berbeda terjadi pada wilayah yang dikuasai atau dikelola oleh masyarakat adat dan komunitas lokal.

Menurut The World Conservation Union (1997) dalam Keraf (2002:282) terdapat 4.000-5.000 masyarakat adat dari 6.000 kebudayaan yang ada di dunia. Hal tersebut menandakan masyarakat adat merupakan 70-80% dari semua masyarakat budaya di dunia. Data tersebut menunjukan adanya potensi untuk menjaga alam melalui implementasi budaya setempat atau kearifan lokal. Sebagai negara dengan jumlah penduduk besar dan multietnik, pada tahun 2010 tercatat jumlah penduduk Indonesia berjumlah sekitar 237,6 juta jiwa dengan jumlah suku bangsa mencapai 1.340 suku bangsa, Badan Pusat Statistik (2013). Masing-masing suku bangsa di Indonesia diperkirakan memiliki kearifan lokal yang beragam. Menurut Prawiradilaga dalam Irrubai (2020:96-109) bahwa kearifan lokal merupakan suatu kegiatan unggulan dalam masyarakat tertentu, keunggulan tersebut tidak selalu terwujud dan tidak juga berbentuk benda, sering sekali didalamnya terkadang ada unsur kepercayaan atau agama dan adat-istiadat serta budaya atau nilai-nilai yang bermanfaat seperti untuk kesehatan, pertanian, pengairan dan sebagainya. Masing-

(5)

masing daerah memiliki ciri khas tersendiri untuk menunjukan kearifan lokalnya yang salah satunya dipengaruhi oleh kondisi alam di wilayah tersebut.

Kearifan lokal termasuk dalam aspek sosial budaya yaitu salah satu dari tiga aspek pembangunan berkelanjutan yang bertujuan untuk menyinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot sama bagi tiga aspek utama pembangunan berkelanjutan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Namun menurut Ridwan (2016:117-122), dalam penerapannya aspek ekonomi masih menjadi poin prioritas untuk mengejar pertumbuhan pembangunan dengan memacu sektor industri tanpa memberikan perhatian memadai terhadap lingkungan. Kondisi tersebut turut berdampak pada kearifan lokal. Berita ancaman kerusakan lingkungan dan kearifan lokal akibat kegiatan industri disampaikan oleh BBC News Indonesia pada 22 Maret 2020 dalam artikel dan video berjudul

“Menjaga ‘Surga Perempuan’ di Teluk Youtefa yang Terlarang bagi Laki-laki”.

Berita tersebut menyebutkan sejak 1967 hingga kini, Teluk Youtefa kehilangan lebih dari 50% kawasan hutan mangrove dengan tingkat kerusakan tergolong tinggi sehingga berdampak pada penurunan jumlah biota laut.

Disebutkan dalam Sobur (2015: 183–190) pemberitaan mengenai isu lingkungan makin dilirik oleh wartawan dan banyak disajikan sebagai berita penting di halaman utama karena berita lingkungan hidup memiliki nilai berita yang tinggi meskipun menuntut keahlian tersendiri bagi wartawan yang meliput. Liputan isu lingkungan dapat berkembang pada topik lain salah satunya tentang pembangunan berkelanjutan. Adapun pemberitan kedua topik tersebut menjadi salah satu bentuk pengawalan terhadap rencana pembangunan. Contoh pemberitaan likungan dan pembangunan adalah aksi Greta Thunberg yang melakukan demonstrasi setiap hari Jumat sembari membawa papan bertuliskan berbahasa Swedia “Skolstrejk for Klimatet” berarti “Pemogokan sekolah untuk iklim” pada tahun 2018 di depan gedung parlemen Swedia. Aksi ini dilatar belakangi oleh respon kecewa Greta usai melihat film dokumenter tentang dampak perubahan iklim. Ia berusaha melakukan berbagai cara mengingatkan dan mengajak orang di sekitarnya peduli lingkungan. Dilaporkan Nevett dalam BBC News tahun 2019,

(6)

bahwa aksi yang dilakukan Greta setahun sebelumnya berhasil menjadi sorotan media dan menginspirasi remaja di berbagai negara untuk melakukan kampanye Friday for Future (FFF). Berlanjut, aksi tersebut membawa Greta berbicara dalam agenda United Nation Climate Change COP24 Conference di Polandia. Pada tayangan video unggahan Connect4Climate di Youtube, tampak Greta menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi lingkungan dengan ekspresi marah dan kecewa dihadapan pemimpin dan perwakilan negara-negara di dunia.

Greta mengkritik sebagian orang di dunia yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan politik daripada mencoba benar-benar fokus pada kondisi lingkungan.

Kampanye FFF di beberapa negara adalah efek dari aksi Greta Thunberg yang disebarluaskan oleh media massa. Begitu juga aksi yang dilakukan oleh Greta adalah efek dari ia melihat film dokumenter yaitu bentuk media komunikasi massa.

Merujuk dari kedua fenomena tersebut, peran pemberitaan di media massa dan penayangan film dokumenter berpotensi memiliki pengaruh terhadap aksi dari individu dan meluas sehingga dilakukan secara berkelompok.

Produksi film untuk menyurakan realitas kian gencar dilakukan. Dalam artikel “Tanah Baduy” yang diunggah Tirto.id (2016) dijelaskan bahwa pada tahun 2015 tujuh karya dokumenter dihasilkan oleh dua jurnalis Ucok (nama asli: Suparta Arz) dan Dandhy Lakson sebagai salah satu luaran “Ekspedisi Indonesia Biru”.

Terdapat tiga topik utama diangkat dalam perjalanan tersebut yaitu keadilan sosial, kearifan budaya dan kelestarian lingkungan. Pada prosesnya fokus film dibuat dengan pengaruh subyektifitas pembuatnya. Menurut Rikarno (2015:129-149) dalam menciptakan keindahan dan konflik tidak jarang si pembuat film dokumenter memanipulasi beberapa data dan seringkali melakukan persepektif yang subyektif.

Sehingga tidak jarang jika film dokumenter mendapat beragam respon dari masyarakat karena dianggap terlalu subyektif dalam menampilkan topik permasalahan.

Meski begitu, secara umum film tetap memiliki sisi positif sebagai media massa untuk menyampaikan informasi dengan pembawaan lebih menarik daripada media yang lain. Keunggulan tersebut dilihat oleh Dewan Nasional Perubahan

(7)

Iklim (DNPI) untuk memberi informasi dan edukasi kepada masyarakat melalui film. Tahun 2012, DNPI bekerja sama dengan Kamila Andini (sutradara) menggarap film berjudul “Senandung Bumi”, Nugroho (2016). Film bertemakan lingkungan ini dikemas dengan menampilkan kegiatan remaja SMA yang berusaha mencegah dan memperlambat proses perubahan iklim. Upaya DNPI juga diikuti oleh lembaga-lembaga lain salah satunya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia dengan dukungan Uni Eropa (EU) membuat sayembara proposal pembuatan film dokumenter bertema lingkungan dan budaya (PPID Menlhk). Sayembara tersebut dimenangkan oleh Tanakhir Films yang mengusulkan film berjudul “Semesta”. Film tersebut disutradarai oleh Chairun Nissa dengan dua produser yaitu Nicholas Saputra serta Mandy Marahimin. Film “Semesta” dirilis pada awal tahun 2020. Film ini berkisah tentang tujuh sosok dari wilayah berbeda di Indonesia yang bergerak menekan dampak perubahan iklim dengan merawat alam Indonesia atas dorongan agama, kepercayaan dan budaya masing-masing.

Berlandaskan pemaparan data di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut film “Semesta”. Penulis ingin mengetahui bagaimana representasi kearifan lokal yang digambarkan dalam film “Semesta” sebagai upaya untuk memperlambat dampak perubahan iklim.

Rumusan Masalah

Bagaimana representasi kearifan lokal sebagai sarana pelestarian lingkungan untuk memelankan dampak perubahan iklim dalam film “Semesta”

karya Chairun Nisa (2020) menggunakan analisis semiotika Roland Barthes?

Tinjauan Pustaka 1. Perubahan iklim

Permasalahan lingkungan hidup terutama perubahan iklim telah menjadi persoalan global bagi masyarakat dunia. Disampaikan oleh Boateng & Boateng dalam Mustangin (2017:80) bahwa perubahan iklim adalah masalah kebijakan publik terbesar di zaman ini. Pembangunan ekonomi besar-besaran yang

(8)

dilakukan negara-negara maju melalui bidang industri menjadi awal perubahan iklim terjadi. Eksploitasi alam marak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri serta berdampak pada kerusakan ekosistem dan keseimbangan alam.

Prof. Emil Salim dalam Ridwan (2016:117-122) menyampaikan tindakan industrialisasi yang menegasi dimensi lingkungan itu pada akhirnya telah merusak ekosistem atau keseimbangan alam sehingga memicu pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim akibat dari terakumulasinya emisi gas buangan industri di atmosfer bumi yang dikenal dengan Gas Rumah Kaca (GRK). Secara umum perubahan iklim dimaknai sebagai fenomena alam yang terjadi dalam skala besar yaitu di suatu wilayah yang luas dan terjadi dengan jangka waktu yang lama. Pinontoan (2019) menyebutkan perubahan iklim terjadi karena adanya perubahan pada unsur-unsur iklim seperti suhu udara dan curah hujan dalam jangka panjang (50-100 tahun) akibat dari pengaruh kegiatan manusia yang menghasilkan GRK. Kegiatan manusia yang menghasilkan GRK adalah proses industrialisasi dan transportasi yang menggunakan bahan bakar fosil, penggundulan hutan, penggunaan listrik secara berlebihan serta polusi metana oleh pertanian, perkebunan dan peternakan. Emisi GRK seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen okside (NOx), Klorofluokarbon (CFC) dan gas lainnya yang meningkat di atmosfer menyebabkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca merupakan fenomena atmosfer bumi seolah-olah menjadi seperti atap rumah kaca dimana sinar matahari bisa masuk ke bumi tetapi panasnya tidak dapat keluar dari bumi dan terjebak di dalamnya sehingga panas matahari kembali memantul ke bumi.

Dampak yang terjadi apabila pemanasan global terus berlangsung bagi manusia diantaranya adalah peningkatan suhu permukaan bumi, mencairnya es di kutub, meningkatnya volume air laut, meningkatnya suhu air laut serta adanya perubahan pola yang mempengaruhi keseimbangan ekosistem.

2. Sarana Pelestarian Lingkungan

Pengertian sarana adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat atau bahan untuk mencapai atau mewujudkan tujuan tertentu melalui sebuah proses. Sementara pelestarian lingkungan menurutu Undang-undang Nomor 33

(9)

tahun 2009 dalam Yuliawati (2016) adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya dukung lingkungan hidup yaitu kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain dan keseimbangan antara keduanya. Sedangkan Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi dan atau komponen lain dan keseimbangan antar keduanya. Sehingga sarana pelestarian lingkungan dapat didefinisikan sebagai rangkaian upaya atau kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan pemeliharaan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

3. Etika Lingkungan

Etika lingkungan dipelajari melalui kombinasi ilmu filsafat dan biologi.

Merujuk Hudha, Husamah & Abdul (2018:63) ilmu filsafat (etika) digunakan untuk berpikir secara mendalam terhadap berbagai aspek yang menyangkut kehidupan manusia. Kemudian ilmu biologi (lingkungan) digunakan untuk mengetahui dan memahami sistem kebumian dan kaitannya yang kompleks antara lapisan kehidupan (biotik) dan non kehidupan (abiotik). Menurut Keraf (2002) etika lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam. Etika lingkungan merupakan refleksi kritis atas norma-norma dan prinsip atau nilai moral yang selama ini dikenal dalam komunitas biotis atau ekologis. Keraf menambahkan, etika lingkungan juga dipahami sebagai refleksi kritis tentang apa yang harus dilakukan manusia dalam menghadapi pilihan moral yang berhubungan dengan isu lingkungan. Termasuk didalamnya ketika manusia berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan memanfaatkan alam. Adapun menurut Hudha, Husamah & Abdul (2018:65) Etika lingkungan merupakan nilai-nilai tentang keseimbangan kehidupan manusia dalam kaitannya dengan interaksi dan interdependensi terhadap lingkungan hidup serta mengandung nilai-nilai positif dalam rangka mempertahankan fungsi dan kelestarian lingkungan. Penerapan etika lingkungan dilakukan dengan memperhatikan empat hal sebagai berikut: a) Manusia sebagai bagian dari lingkungan merupakan pelaku utama dalam pengelolaan lingkungan sehingga

(10)

perlu menyayangi semua kehidupan dan lingkungannya selain dirinya sendiri.

b) Manusia sebagai bagian dari lingkungan merupakan pelaku utama dalam pengelolaan lingkungan, sehingga harus selalu berupaya untuk menjaga kelestarian, keseimbangan dan keindahan alam. c) Kebijakan penggunaan sumberdaya alam terbatas, misalnya energi. d) Lingkungan disediakan untuk semua makhluk hidup bukan untuk manusia saja.

Richard Sylvan dan David Bennett dalam Keraf membedakan tiga model teori etika lingkungan hidup diantaranya Shallow Enviromental Ethic atau Teori Etika Lingkungan Dangkal (Antroposentrisme) yaitu teori yang mendahulukan kepentingan manusia dengan menganggap bahwa lingkungan dan komponen yang ada di bumi dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kemudian, Intermediate Environmental Ethics atau Teori Etika Lingkungan Medium (Biosentrisme) yaitu teori yang berfokus pada setiap makhluk hidup dan kehidupan mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Terakhir, Deep Enviromental Ethics atau Teori Etika Lingkungan Dalam (Ekosentrisme) yaitu teori yang menentang Antroposentrisme dan mengutamakan kebutuhan semua komunitas ekologis, baik yang hidup (biotik) maupun tidak (abiotik) (Keraf, 2002:92).

Dua dari ketiga teori tersebut yaitu Biosentrisme dan Ekosentrisme dijadikan dasar oleh Sonny Keraf untuk menjabarkan prinsip-prinsip Etika Lingkungan miliknya. Selain itu Sonny Keraf juga menambahkan Teori Etika Ekofeminisme yaitu teori yang menjelaskan konsep hubungan antara feminism dan ekologi dengan cara memandang bahwa penyebab krisis ekologi ialah cara pandang dan perilaku yang androsentris atau berpusat pada laki-laki. Fokus utamanya adalah melakukan dominasi, manipulasi dan eksploitasi alam.

Terdapat sembilan prinsip moral etika lingkungan yang disebutkan oleh Keraf yaitu : 1) Prinsip Sikap Hormat terhadap Alam; 2) Prinsip Tanggung Jawab;

3)Prinsip Solidaritas Kosmis; 4)Prinsip Kasih Sayang dan Kepedulian terhadap Alam; 5) Prinsip “No Harm”; 6) Prinsip Hidup Sederhana dan Selaras dengan

(11)

Alam; 7) Prinsip keadilan; 8) Prinsip Demokrasi; dan 9) Prinsip Integritas Moral.

4. Kearifan lokal

Kearifan lokal diperkenalkan untuk pertama kali oleh sarjana Arkeologi, Quaritch Wales dengan sebutan local genius, Irrubai (2020). Berdasarkan berbagai definisi tentang kearifan lokal, peneliti berpandangan bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan, pemahaman dan keyakinan yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu sebagai hasil dari pengalaman yang dihayati, dipraktikan, diajarkan dan diwariskan kepada generasi penerus mereka untuk membentuk pola perilaku, menjaga tradisi dan kelestarian lingkungan.

Menurut Nurlidiawati & Ramadayanti (2021:44) ciri-ciri kearifan lokal diantaranya adalah dapat bertahan terhadap budaya asing, mempunyai keahlian mengakomodasi unsur budaya asing terhadap budaya asli, dapat mengintegrasikan unsur budaya asing dalam budaya asli dan dapat mengendalikan serta memberi arahan pada perkembangan budaya.

Berdasarkan bentuknya kearifan lokal dibagi menjadi dua yaitu kearifan lokal berwujud yang terdiri dari wujud tekstual, banguanan, dan benda cagar budaya atau benda tradisional, dan kearifan lokal tidak berwujud terdiri dari nyanyian, pesan-pesan, atau nasehat yang secara turun temurun disampaikan dalam bentuk verbal dan tetap dijalankan serta ditaati oleh masyarakat setempat.

5. Film

Film atau sinema awalnya sering disebut sebagai gambar bergerak. Secara harfiah, film atau sinema berasal dari kata cinematographie. Cinema memiliki arti“gerak”, tho atau phytos beramakna “cahaya” dan “graphie” berarti

“tulisan, gambar atau citra”. Film berkembang dan terkelompok berdasarkan jenis atau genrenya. Menurut Karlinah dkk dalam Nugroho (2017) film terbagi menjadi empat jenis yaitu film cerita, film berita, film dokumenter dan film kartun. Namun di dalam bukunya Pratista menjelaskan terdapat 15 genre populer film yang dikelompokan berdasarkan karakter atau pola sama (khas).

Sebagian besar film di Indonesia diproduksi dengan melalui tiga tahapan yaitu pra-produksi, produksi dan pasca produksi. Sebuah film dibentuk oleh dua

(12)

unsur yang bersifat saling melengkapi dalam merepresentasikan suatu topik secara keseluruhan. Dua unsur tersebut adalah unsur naratif dan unsur sinematik. Unsur naratif ialah suatu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan dan terikat oleh logika sebab-akibat dan terjadi dalam suatu ruang dan waktu. Sedangkan unsur sinematik yaitu bagian dari sebuah film yang mengarah pada aspek-aspek teknis dalam proses produksi seperti mis-en-scene, sinematografi, dan editing.

6. Representasi

Representasi dalam sebuah karya biasa digambarkan melalui penyajian properti atau benda yang mengandung makna tertentu. Representasi berasal dari bahasa inggris yaitu “represent” bermakna stand for yang memiliki arti

“berarti” dan “act as delegate for” yang artinya bertindak sebagai perlambangan sesuatu. Menurut Fandi (2017) Konsep representasi umumnya dipakai untuk mengetahui pemaknaan yang dilakukan dengan melihat dan mendengarkan dialog, tulisan, film, fotografi dan cara-cara lain secara ringkas.

7. Semiotika Roland Barthes

Menurut Wibowo (2011:7) istilah semiotika secara etimologis diambil dari kata Yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda didefinisikan sebagai sesuatu yang didasari konvensi yang telah dibangun sebelumnya. Secara terminologis, semiotika didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederet luas objek- objek, peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Tanda-tanda (sign) adalah dasar dari seluruh komunikasi. Penjelasan tentang semiotika telah banyak disampaikan oleh para ahli. Pengertian semiotika menurut Sobur (2009) yaitu suatu ilmu pengetahuan sosial yang memahami dunia sebagai hal dasar yang disebut dengan “tanda”, maka dari itu semiotik memahami keberadaan dengan suatu tanda. Adapun menurut Morisan dalam Salsabila & Candraningrum (2020) semiotika merupakan studi mengenai tanda (sign) dan simbol yang merupakan suatu hal penting dalam komunikasi. Sedangkan menurut Piliang dalam Pujiati (2011), semiotik adalah ilmu tentang tanda dan kode-kodenya serta penggunaannya dalam masyarakat. Disebutkan Sartini (2011), Tokoh terkenal dalam bidang semiotika adalah Charles Sanders Pierce dan Ferdinand

(13)

de Saussure. Keduanya memperkenalkan ilmu semiotika diwaktu yang hampir bersamaan yaitu Charles Sanders Pierce pada tahun 1839-1914 dan Ferdinand de Saussure pada tahun 1857-1913. Peirce dalam Pujiati (2011) menegaskan bahwa manusia hanya dapat berpikir dengan sarana tanda, karena manusia itu sendiri adalah Homo Semioticus. Bagi Pierce, tanda memiliki sifat representative (Denotatum), sifat interpretative (Interpretant), dan tanda yang menopang tanda (Ground). Ferdinand de Saussure dikenal sebagai bapak dari Semiotika atau semiologi serta salah satu teoritisi terpenting dalam ilmu linguistik. Saussure membagi tanda menjadi dua elemen yaitu penanda (Signifier) dan petanda (Signified). Penanda merupakan bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna material seperti suara, bunyi, huruf, bentuk, gambar, atau gerak. Sedangkan Petanda adalah gambaran mental yaitu pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa. Teori semiotika terus dikembangkan, salah satunya oleh Roland Barthes, seorang tokoh filsuf, kritikus sastra dan pemikir strukturalis yang paling eksplisit meneruskan semiologi Ferdinand de Saussure. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu, Sobur (2013). Elaborasi dilakukan oleh Barthes untuk meneruskan dua elemen Saussure menjadi dua tingkatan signification.

Tingkatan pertama disebut denotasi atau makna sebenarnya yang menjelaskan hubungan antara signifier dan signified itu sendiri terhadap relasinya. Pada tingkatan ini tanda dilihat sebagai tanda dengan makna paling nyata. Seperti ketika melihat foto perahu nelayan ditengah laut, maka orang yang melihat akan tahu bahwa objek utama fotografer adalah perahu nelayan. Kemudian tingkatan kedua merupakan signifikasi konotatif yang dimaknai secara personal tanpa memikirkan dan mengetahui tujuan awal atau memiliki potensi pemaknaan yang berlawanan dengan pembuat tanda tersebut. Pada tingkatan kedua, tanda dapat dimaknai dengan memperhatikan emosi serta nilai budaya yang dipercaya oleh masyarakat. Elemen kedua pada tingkatan ini adalah mitos (myth). Mitos merupakan cara berfikir budaya akan suatu hal termasuk didalamnya cara mengkonseptualisasikan atau memahami. Pada umumnya

(14)

mitos merujuk pada suatu gagasan yang belum tentu valid kebenarannya, Pujiati (2011).

Metodologi Penelitian

Penelitian berjudul Isu Lingkungan dalam Film Dokumenter (Analisis Semiotika terhadap Representasi Kearifan Lokal sebagai Sarana Pelestarian Lingkungan untuk Menekan Dampak Perubahan Iklim pada Film “Semesta” Karya Sutradara Chairun Nisa) merupakan jenis penelitian intrepretatif kualitatif dengan pendekatan studi kasus karena bertujuan untuk memberikan pemahaman atau gambaran tentang suatu gejala maupun fenomena melalui data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti berhubungan dengan kearifan lokal dan isu lingkungan.

Objek pada penelitian ini adalah film “Semesta” karya sutradara Chairun Nissa tahun 2020 dengan populasi seluruh sequence, scene dan shot pada film

“Semesta”. Adapun sampel penelitian yaitu adegan dan dialog dalam film yang merepresentasikan kearifan lokal sesuai dengan bentuk kearifann lokal dalam Nurlidiawati & Ramadayanti dan memiliki peran menekan dampak perubahan iklim sesuai dengan prinsip-prinsip etika lingkungan hidup menurut Sonny Keraf.

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan studi dokumen yaitu dengan melihat film, memilih adegan-adegan dalam film yang berhubungan dengan representasi kearifan lokal berdasarkan bentuknya. Kemudian peneliti melakukan pengidentifikasian adegan terpilih dengan melihat implementasi prinsip-prinsip etika lingkungan Sonny Keraf pada kearifan lokal. Studi dokumen juga diimplementasikan dengan mencari acuan teoritis dan data pendukung dari sumber-sumber literatur, buku, artikel, sumber internet, berita serta penelitian terdahulu dengan topik yang relevan. Data yang terkumpul dianalisisi menggunakan analisis Semiotika Roland Barthes yaitu melalui dua tingkatan.

Tingkatan pertama yaitu mendeskripsikan makna denotasi dan kedua mendeskripsikan makna konotasi dan mitos.

(15)

Pembahasan

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, peneliti menemukan bahwa film

“Semesta” karya sutradara Chairun Nissa merepresentasikan kearifan lokal menjadi dua bentuk, yaitu kearifan lokal berwujud dan tidak berwujud. Kearifan lokal berwujud terdiri dari bentuk tekstual, bangunan/arsitektur, dan benda cagar budaya atau tradisional. Adapun kearifan lokal tidak berwujud terdiri dari nyanyian, pesan- pesan, atau nasehat yang secara turun-temurun disampaikan kepada generasi muda melalui bentuk verbal yang masih ditaati dan dilaksanakan hingga saat ini.

Selanjutnya, peneliti melakukan analisis lanjutan dengan tujuan mengetahui manfaat dari kearifan lokal untuk menekan dampak perubahan iklim menggunakan 9 prinsip etika lingkungan Sonny Keraf yang dikembangkan berdasarkan teori biosentrisme, ekosentrisme, dan ekofeminisme. Kesembilan prinsip tersebut adalah: 1) sikap hormat terhadap alam; 2) tanggung jawab; 3) solidaritas kosmis; 4) kasih sayang dan kepedulian terhadap alam; 5) “No Harm”; 6) hidup sederhana dan selaras dengan alam; 7) keadilan; 8) demokrasi dan 9) integritas moral.

Kearifan lokal berwujud tekstual terdiri dari dua yaitu Nyepi di Bali dan Hukum Hutan Adat Suku Iban di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embalon Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu. Nyepi merupakan hari raya agama Hindu yang diperingati setiap tanggal 1 bulan ke-10 Caka atau biasa disebut dengan penanggalan apisan sasih kedasa. Secara turun temurun masyarakat di Bali melakukan tradisi ini dengan merujuk pada lontar Sundarigama dan Swamandala.

Semua kegiatan diberhentikan dengan menerapkan catur brata penyepian yaitu amati karya, amati geni, amati lelungan,dan amati lelanguan. Kegiatan nyepi dapat dilihat dari scene yang menampilkan suasana sepi dan tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk para turis yang sedang berwisata ke Bali.

Kegiatan nyepi menerapkan dua prinsip etika lingkungan yaitu prinsip solidaritas kosmis serta prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam. Masyarakat di Bali berusaha untuk mengendalikan diri dengan menjalankan aturan adat yang telah ditetapkan selama 24 jam. Secara tidak langsung kegiatan rutin tahunan ini, memiliki manfaat yaitu mengurangi emisi harian di Bali.

(16)

Bentuk kearifan lokal tekstual kedua adalah Hukum Hutan Adat Suku Iban.

Masyarakat di daerah tersebut memiliki peraturan adat yang masih diberlakukan hingga saat ini untuk menjaga kelestarian hutan. Mereka memiliki kesepakatan tertulis berupa peta yang menjelaskan pembagian wilayah yang boleh dan tidak boleh dimanfaatkan. Wilayah tersebut memiliki nama dan fungsi berbeda-beda seperti Kampong Taroh/ Hutan Keramat (Hutan Lindung), Kampong Emdor Kerja (Hutan Produksi), dan Kampong Galao (Hutan Cadangan). Masyarakat setempat meyakini satu petuah leluhur yaitu Tanah adalah Ibu, dan air adalah darah.

Sehingga mereka berusaha untuk menjaga dan melestarikan hutan mereka dengan tujuan keberlangsungan hidup mereka dan keturunannya di masa yang akan datang.

Hukum Hutan Adat di wilayah Sungai Utik menerapkan dua prinsip etika lingkungan yaitu prinsip keadilan dan prinsip hidup sederhana selaras dengan alam.

Prinsip keadilan tercermin dari upaya leluhur dan masyarakat untuk membuat pengaturan sistem sosial yang merujuk pada kelestarian lingkungan. Adapun prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam diwujudkan melalui tindakan masyarakat yang membatasi pemanfaatan sumber daya alam dari hutan.

Berdasarkan informasi yang ditulis dalam film “Semesta” bahwa dalam satu abad terakhir, 50% hutan Kalimantan telah hilang akibat deforestrasi. Secara global, proses ini menyumbang 15% emisi penyebab perubahan iklim. Tindakan yang dilakukan masyarakat adat Suku Iban mencerminkan kegiatan positif untuk menjaga hutan.

Bentuk kedua dari kearifan lokal berwujud adalah bangunan atau arsitektural.

Pada film “Semesta” ditemukan satu representasi kearifan lokal bangunan yaitu Rumah Adat Panjae di Kalimantan Barat. Tiap bagian rumah adat ditampilkan secara terpisah dan penggambaran fungsi dari ruang disampaikan melalui kegiatan tokoh. Pertama, tanjau yaitu ruang terbuka tanpa atap yang digunakan untuk kegiatan di luar ruangan seperti menjemur hasil panen, menjemur pakaian, dan tempat anak bermain. Kedua, kaki lima, merupakan ruangan sirkulasi semi terbuka sering digunakan untuk menyimpan beberapa barang serta tempat bersantai. Ketiga, ada ruai tempat untuk kegiatan sosial masyarakat setempat. Bagian keempat adalah bilik, sebagai tempat tinggal yang dihuni setiap kepala keluarga di Sungai Utik.

(17)

Kelima, uji bilik yaitu dapur bagi masyarakat setempat dan yang terakhir adalah sadau tempat yang letaknya di atas bilik dan berfungsi untuk menaruh hasil panen.

Berdasarkan sumber yang telah diperoleh peneliti, bentuk kearifan lokal rumah adat ini tidak memiliki hubungan dengan pelestarian lingkungan dan kurang relevan apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip etika lingkungan dari Sonny Keraf.

Bentuk ketiga dari kearifan lokal beruwujud adalah Cagar Budaya/Benda Budaya. Pada film ini terdapat dua representasi cagar budaya atau benda budaya yaitu tradisi Ogoh-ogoh di Bali dan Pelaksanaan Sasi di Kapatcol Papua. Cagar alam atau benda budaya pertama adalah Ogoh-ogoh dari Bali. Menurut kepercayaan setempat, Ogoh-ogoh merupakan perwujudan Bhuta Kala yang memiliki sifat-sifat buruk, merusak, atau jahat. Sehari sebelum perayaan nyepi masyarakat biasa mengarak ogoh-ogoh diperempatan jalan kemudian akan membakarnya dengan tujuan menghilangkan sifat-sifat negatif. Perayaan ini mengalami perkembangan sejak tahun 1980 yaitu dengan memanfaatkan kreativitas anak muda untuk membuat kreasi bentuk ogoh-ogoh. Secara tersurat maupun tersirat tidak ditemukan prinsip etika lingkungan yang tercermin pada ogoh-ogoh.

Cagar alam kedua yaitu kawasan sasi sebagai tempat dilaksanakannya tradisi sasi masyarakat di Kapatcol, Papua Barat. Desa Kapatcol, Papua Barat merupakan salah satu kawasan konservasi Tenggara Misool dari distrik Misool Barat yang memiliki empat desa lainnya yaitu Biga, Gamta, Lilinta dan Magey. Wilayah- wilayah tersebut masuk sebagai bagian dari kawasan ke-V di TPPKD Raja Ampat.

Menurut Lestari (2015:11) kegiatan adat sasi telah dilaksanakan secara turun temurun dan memiliki cakupan pelaksanaan yang berbeda-beda sesuai kesepakatan untuk menjaga kelestarian laut. Contohnya ada sasi musiman yang melaksanakan tutup sasi selama enam bulan. Kemudian sasi kampung dan sasi gereja yang melakukan penutupan selama satu atau bahkan dua tahun sekali. Pada film Semesta, Sasi dilaksanakan oleh kelompok ibu-ibu yang dibantu pengurus gereja di Kapatcol, Papua Barat. Mereka melakukan sasi khusus yang melarang penangkapan biota laut yaitu lola, lobster, teripang dan beberapa jenis ikan tertentu di Kapatcol. Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ibu-ibu tersebut mencerminkan dua prinsip etika

(18)

lingkungan yaitu prinsip solidaritas kosmis dan prinsip no harm. Prinsip tersebut diwujudkan dengan melakukan sistem tutup sasi dengan melarang siapapun mengambil hasil laut. Kemudian melakukan monitoring untuk memantau bersama kondisi kawasan sasi yang menujukan solidaritas bersama. Saat masa panen tiba, pengambilan hasil laut menggunakan cara tradisional dan akan mengambil sesuai kebutuhan apabila tidak sesuai standar akan dikembalikan ke laut. Tindakan tersebut memberikan kesempatan pada biota laut untuk melakukan regenerasi supaya tidak punah dan bisa bermanfaat bagi ekosistem laut.

Bentuk kedua representasi kearifan lokal pada film Semesta adalah kearifan lokal tidak berwujud. Hasil analisis pada bentuk kearifan lokal tidak berwujud menemukan dua bentuk utama yaitu berupa nasehat-nasehat dan kebiasan tradisional. Bentuk kearifan lokal tidak berwujud yang pertama adalah perayaan Gawai di Sungai Utik, Kalimantan Barat. Gawai merupakan pesta panen yang secara turun-temurun masih dilaksanakan masyarakat di Kalimantan, khususnya oleh Suku Iban di Desa Sungai Utik, Kalimantan Barat Perayaan ini dilaksanakan antara bulan Mei atau Juni. Usai melakukan panen hasil bumi, masyarkat menggelar pesta Gawai sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang diberikan kepada mereka. Prosesi dimulai dengan persiapan, penyambutan tamu, dan doa bersama yang dipimpin oleh tetua atau pemimpin adat. Selama kegiatan berlangsung tidak ada adegan signifikan berhubungan dengan prinsip etika lingkungan. Sehingga tidak perlu pembahasan lebih lanjut tentang peran Gawai yang berhubungan dengan tindakan untuk menekan dampak perubahan iklim.

Bentuk kearifan lokal kedua berasal dari Desa Bea Muring, Nusa Tenggara Timur yang memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dengan memanfaatkan aliran sungai. Namun karena terjadi hujan lebat, sungai tempat PLTMH mengalami banjir bandang. Seorang Romo bernama Marselus Hasan mengajak warga untuk memperbaiki PLTMH tersebut. Tindakan tersebut tidak lepas dari pengaruh ajaran agama Khatolik yaitu tentang pertobatan ekologis yang tertulis pada ensiklik Laudato Si’ oleh Paus Fransiskus serta menyebutkan Sabda Tuhan dalam Kitab Kejadian yang memberikan mandat kepada manusia untuk

(19)

menjaga dan memelihara ciptaan Tuhan. Masyarakat berusaha mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dengan cara membangun, menjaga dan memperbaiki PLTMH. Mereka melakukan iuran dan kerja bakti dengan warga untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Berdasarkan analisis data, nasehat- nasehat yang disampaikan Romo Marselus serta keputusan masyarakat untuk mempertahankan PLTMH mencermikan prinsip etika lingkungan yaitu solidaritas kosmis yang menekankan pada perasaan sepenanggungan.

Bentuk kearifan lokal tidak berwujud ketiga adalah Tulak Bala dan dakwah nilai-nilai Islam di Pameu Aceh. Permasalahan masuknya gajah liar ke kampung atau kebun milik warga terjadi di wilayah Pameu, Aceh . Perubahan habitat menjadi salah satu faktor para gajah melakukannya. Menurut keterangan film sejak 1990, hampir setengah dari hutan primer Sumatera telah dibabat habis, sebagian besar untuk kepentingan industri. Akibatnya warga setempat mendapatkan imbas langsung dari gajah. Beberapa warga tampak kesal, tampak dari respon yang disampaikan tokoh Amat saat melaksanakan Kenduri Tulak Bala yaitu menyarakan untuk membuat racun dan membunuh langsung kawanan gajah. Namun oleh Muhammad Yusuf (tokoh agama/imam) di wilayah tersebut disarankan untuk melakuakn pencegahan atau meminimalisir para gajah masuk kampung melalui Kenduri Tulak Bala dan pendekatan nilai-nilai agama terlebih dahulu. Terdapat tiga prinsip etika lingkungan yang diterapkan pada kebiasaan warga di Pameu, Aceh yaitu prinsip bertanggung jawab, no harm serta prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam. Prinsip tanggung jawab ditunjukan melalui Kenduri Tulak Bala.

Mereka melakukan tirakat memohon ampun, perlindungan dan petunjuk kepada Allah SWT sebagai pemilik alam semesta. Kemudian prinsip no harm, tercermin dari keputusan untuk tidak meracun atau membuat jebakan gajah. Terakhir, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam tercermin melalui scene dakwah saat salat Jumat dan sore hari oleh Yusuf. Pendekatan dan edukasi nilai-nilai agama diberikan sedini mungkin kepada generasi muda untuk melestarikan lingkungan.

Bentuk kearifan lokal tidak berwujud terakhir yaitu penggunaan produk anyaman oleh masyarakat adat di Kalimantan dan representasi tokoh dari Bumi

(20)

Langit, Imogiri, Yogyakarta. Masyarakat adat di Kalimantan memiliki satu produk anyaman bernama tas anjat. Anjat merupakan tas punggung atau keranjang hasil kerajinan anyam suku Dayak yang terbuat dari anyaman rotan. Keranjang ini berbetuk tabung dengan tinggi 70 cm dan diameter 50 cm. Masyarakat di Kalimantan biasa menggunakan anjat untuk membawa alat-alat dan perbekalan saat berburu atau menyimpan baju dan perbekalan makanan untuk berkebun.

Representasi kedua ditunjukan oleh Darmila dari Imogiri, Jogjakarta yang menggunakan tas belanja, besek, dan bongsang untuk belanja di pasar. Secara spesifik penelitian ini belum bisa menyebutkan asal mula penggunaan ketiga produk anyaman tersebut berasal dari daerah mana. Akan tetapi disebutkan pada beberapa sumber bahwa penggunaan produk anyaman untuk menyimpan makanan telah dilakukan atau merupakan kebiasaan dari sebagian besar leluhur di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Mereka memanfaatkan bahan-bahan dari alam seperti rotan, bambu atau daun pandan untuk membuat keranjang anyam. Implementasi kebiasaan tersebut mencerminkan prinsip tanggung jawab etika lingkungan.

Kesimpulan

Setelah mencermati data yang terkumpul serta melakukan analisis terhadapnya, penelitian ini berkesimpulan bahwa pada film “Semesta” karya Chairun Nissa tahun 2020 ditemukan adanya representasi kearifan lokal sebagai sarana pelestarian lingkungan untuk menekan dampak perubahan iklim yang sesuai dengan bentuk-bentuk kearifan lokal dan menerapkan prinsip-prinsip etika lingkungan menurut Sonny Keraf. Terdapat sembilan kearifan lokal yang digambarkan dalam film “Semesta” yaitu nyepi, perayaan ogoh-ogoh, rumah adat panjae, hukum hutan adat, perayaan gawai, sasi, nilai-nilai agama katholik, nilai- nilai agama islam (kenduri tulak bala) dan keranjang anyaman. Makna denotasi dan konotasi dari sembilan bentuk kearifan lokal dimaknai berdasarkan adegan dan dialog yang diperagakan oleh tokoh serta teks pendukung pada scene terpilih. Akan tetapi tidak semua kearifan lokal dalam film “Semesta” selalu memadai digunakan untuk menunjuk kenyataan-kenyataan empirik sebagai sarana pelestarian lingkungan yang bisa menekan dampak perubahan iklim. Dari sembilan kearifan

(21)

lokal tersebut enam diantaranya menunjukan adanya penerapan satu sampai tiga prinsip-prinsip etika lingkungan menurut Sony Keraf. Enam kearifan lokal tersebut adalah nyepi, hukum hutan adat, sasi, PLTMH dan nilai-nilai agama katholik, nilai- nilai agama islam (kenduri tulak bala), dan terakhir produk anyaman. Sedangkan tiga bentuk kearifan lokal yang lain yaitu rumah adat panjae, perayaan ogoh-ogoh dan perayaan gawai tidak menunjukan adanya penerapan prinsip-prinsip etika lingkungan sehingga tidak memiliki pengaruh menekan dampak perubahan iklim.

DAFTAR PUSTAKA

(IPBES), I. S.-P. P. on B. and E. S. (2019). Nature’s Dangerous Decline

‘Unprecedented’ Species Extinction Rates ‘Accelerating.’

https://ipbes.net/news/Media-Release-Global-Assessment

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2013). Masyarakat Adat di Indonesia : Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif. Jakarta : Kementrian PPN/Bappenas.

Connect4Climate. (2018). Greta Thunberg full speech at UN Climate Change COP24 Conference. https://www.youtube.com/watch?v=VFkQSGyeCWg

Fandi, F. A. B. (2017). Representasi Budaya Batak Toba Dalam Film Toba Dreams.

JOM FISIP. Riau:Universitas Riau. Vol.4. Nomor 2. Hal. 1–11

Hudha, Atok M, Husamah & Abulkadir Rahardjanto. (2018). Etika Lingkungan Teori dan Praktik Pembelajarannya. Malang:Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. Hal. 63

Irrubai, M. L. (2020). Implementasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Awik-Awik Desa Sesaot Dalam Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. SOSIO-DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 6(2), 96–109.

Kehutanan, K. L. H. dan. (2020a). Dengan Film SEMES7A, KLHK Ingin Tingkatkan Kepedulian Publik Terhadap Krisis Iklim. 7 Maret 2021.

<http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2289>

Keraf, A. S. (2002). Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Hal. 282.

Lestari, Elva. Arif Satri. (2015). Peranan Sistem Sasi dalam Menunjang Pengelolaan Berkelanjutan Pada Kawasan Konservasi Perairan Daerah Raja Ampat. Institut Mustangin, M. (2017). Perubahan iklim dan aksi menghadapi dampaknya: Ditinjau

dari peran serta perempuan Desa Pagerwangi. Jurnal Pendidikan Dan Pemberdayaan Masyarakat, 4(1), 80

Nevett, J. (2019). The Greta effect? Meet the schoolgirl climate warriors. BBC NEWS.

<https://www.bbc.com/news/world-48114220>

(22)

Nugroho. H Dewangga. (2016). Pemanasan Global dalam Film (Studi Analisis Wacana Pemanasan Global dalam Film “Senandung Bumi”). Surakarta:

Universitas Sebelas Maret. Skripsi

Nurlidiawati dan Ramadayanti. (2021). Peranan Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Menjaga Keseimbangan Alam (Cerminan Masyarakat Adat Ammatoa di Kajang). Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Jurnal Al-Hikmah Vol. 23, No. 1 Hal. 44.

Pinontoan, O. R., & Jufri, S. O. (2019). Dasar Kesehatan Lingkungan (Pertama).

Deepublish.

Pujiati, T. (2015). Analisis Semiotika Struktural Pada Iklan Top Coffee. Jurnal Sasindo.

Tangerang Selatan:Universitas Pamulang. Vol.3. Nomor.3. Hal. 4

Pertanian Bogor:Buletin Ilmiah Marina Sosesk dan Perikanan. Vol. 1 No. 2 Tahun 2015. Hal 69.

Ridwan, S. (2016). Bumi, Lingkungan, dan Peradaban. Jurnal Doktor Ekonomi, Vol.1 Nomor 1, 117–122.

Riki Rikarno. (2015). Film Dokumenter sebagai Sumber Belajar Siswa. Ekpresi Seni.

Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Karya Seni, 17(1), 129–149.

Salsabila, N., & Candraningrum, D. A. (2020). Representasi Kearifan Lokal Budaya Timur Tengah dalam Film “Aladdin (2019)” Produksi Walt Disney Pictures.

Universitas Tarumanegara. Koneksi, Vol. 4. Nomor 1.

Sartini, Ni Wayan. (2011). “Tinjauan Teoritik tentang Semiotik. Jurnal Unair.

Surabaya:Universitas Airlangga.

Sobur, A. (2005). Peliputan Isu Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan.

Mediator: Jurnal Komunikasi, 6(2), 183–190.

Sobur, Alex. (2009). Analisis Text Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing. Bandung : Remaja Rosadkarya.

Sobur, Alex. (2013). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Subarkah, T. (2016). Tanah Baduy. Tirto.Id. <https://tirto.id/tanah-baduy-bwvc>

Sufia, R., Sumarmi, & Amirudin, A. (2016). Kearifan Lokal Dalam Melestarikan Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat Adat Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabu. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, Dan Pengembangan, 1(4), 726–731.

Un.org. Global Issues Climate Change. 5 Febuari 2021, https://www.un.org/en/global- issues/climate-change

Wibowo, Indiawan Seto W. (2011). Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta:Mitra Wacana Media.

Yuliawati. (2016). Pelestarian Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal Di Dusun Kendal Ngisor Desa Wirogomo Kecamatan Banyu Biru. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Skripsi.

Referensi

Dokumen terkait

Kerusakan ini terjadi pada pertemuan tepi permukaan perkerasan dengan bahu jalan tanah (bahu tidak beraspal) atau juga pada tepi bahu jalan beraspal.. dengan

Berdasarkan latar belakang proyek dan permasalahan yang ditulis oleh penulis, yaitu diperlukan lokasi / tempat yang masih memiliki potensi kualitas udara yang

Diharapkan hakim dalam mengadili kasus kematian akibat minuman keras oplosan tidak hanya terpaku pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saja, melainkan juga dapat

Contoh penggunaan teknik maserasi dan sokletasi dalam ekstraksi fitokimia telah dilakukan antara lain adalah penelitian yang dilakukan Asih (2009), Isolasi dan Identifikasi

(2008) research which studied about consumers’ confusion effect to their preference and purchase of local and foreign brands and also how brand knowledge took a role as mediator

Laporan Tugas Akhir ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih derajat Sarjana Teknik Industri yang diselenggarakan oleh Program Studi Teknik

Guna mendukung dan meningkatkan prestasi dalam kegiatan olahraga khususnya futsal harus diimbangi dengan tersedianya fasilitas pembinaan olahraga yang memadai sesuai

[r]