• Tidak ada hasil yang ditemukan

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah penentuan fase kemunduran mutu (post mortem) pada ikan bandeng. Penentuan fase post mortem pada ikan bandeng dilakukan untuk mengetahui interval dan lama waktu terjadinya kemunduran mutu pada ikan bandeng selama penyimpanan. Penentuan fase post mortem juga dilakukan untuk penelitian utama, yaitu mengenali kondisi tingkat kesegaran kulit ikan bandeng terkait dengan besarnya nilai organoleptik, nilai pH, total volatile base (TVB), total plate count (TPC), aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada fase kemunduran mutu. Seperti telah diketahui sebelumnya, berdasarkan Junianto (2003), bahwa fase kemunduran mutu pada ikan terdiri dari 4 fase, yaitu fase pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk.

Penentuan fase kemunduran mutu pada ikan bandeng dilakukan dengan menggunakan metode sensori, yaitu secara organoleptik. Pengujian sensori dapat

digunakan untuk menentukan fase-fase post mortem pada kemunduran mutu ikan (Huss 1995). Metode organoleptik merupakan cara yang paling mudah dan murah

untuk mengetahui tingkat kemunduran mutu pada ikan dengan bantuan panca indera manusia. Metode organoleptik dapat menilai kemunduran mutu yang terjadi pada ikan yang jelas terlihat dari perubahan penampakan dan tekstur ikan. Penetapan fase kemuduran mutu pada ikan dilakukan menggunakan alat bantu berupa lembar nilai (score sheet) yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dengan SNI 01-2346-2006 (BSNb 2006).

Penentuan fase kemunduran mutu pada ikan bandeng dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap ikan bandeng yang tidak dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (kode: P), dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (kode: Q), tidak dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling (kode: R), dipuasakan dan disimpan pada suhu chilling (kode: S). Suhu chilling yang dimaksud pada penelitian ini adalah (-1)-5 0C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati.

(2)

Berdasarkan pengamatan, fase pre rigor ikan P dan Q terjadi sesaat setelah

ikan mati atau pada jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada jam ke-10 penyimpanan, post rigor jam ke-15, serta busuk pada jam ke-19

penyimpanan. Pada ikan R dan S, fase pre rigor terjadi sesaat setelah ikan mati atau pada kan ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada jam ke-84 penyimpanan, post rigor jam ke-300, serta busuk pada jam ke-540 (23 hari) penyimpanan. Kemunduran mutu pada ikan yang disimpan pada suhu ruang (ikan P dan Q) terjadi lebih cepat dibanding dengan ikan yang disimpan pada suhu chilling (R dan S). Hal ini disebabkan karena suhu yang lebih tinggi pada penyimpanan dapat mempercepat proses kebusukan. Fase kemunduran mutu pada ikan berhubungan dengan mutu ikan sebagai bahan yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Fase kemunduran mutu pada ikan merupakan fase-fase dimana terjadi kemunduran kualitas makanan (eating quality) (Huss 1995).

Fase pre rigor merupakan fase sesaat setelah ikan mati. Fase ini ditandai dengan penampakan ikan yang masih seperti ikan yang masih hidup. Bau dan rasa ikan masih segar seperti bau rumput laut. Otot ikan menjadi lemas dan mudah dilenturkan pada fase ini. Secara biokimia terjadi penurunan kadar adenosine triphosphate (ATP) karena terhentinya peredaran darah yang membawa oksigen (Yunizal dan Wibowo 1998). Pada ikan tidak ditemukan tanda-tanda perubahan warna, tetapi secara berangsur warna semakin suram. Hal ini disebabkan karena timbulnya lendir sebagai akibat dari proses biokimiawi lebih lanjut dan berkembangnya mikroba yang akan lebih jelas terlihat pada fase kemunduran mutu berikutnya (Adawyah 2007).

Fase rigor mortis ditandai dengan mengerasnya otot ikan, bau dan rasa ikan menjadi netral, perubahan tekstur pada ikan serta mulainya proses autolisis atau penghancuran diri sendiri akibat aktivitas enzim (Huss 1995). Daging ikan mengeras disebabkan terjadinya penggabungan protein aktin dan miosin menjadi protein kompleks aktomiosin yang bersifat tidak dapat dikembalikan (irreversible) (DKP dan JICA 2008). Fase rigor mortis sangat penting hubungannya dengan pemanfaatan ikan sebagai bahan baku untuk dikonsumsi manusia karena mulai terjadinya perubahan yang terlihat jelas pada ikan.

(3)

Fase post rigor terjadi setelah rigor mortis. Fase ini ditandai dengan melemasnya otot ikan kembali setelah menegang pada fase rigor mortis. Pada fase post rigor, mulai terjadi aktivitas bakteri yang meningkat serta aktivitas enzim yang semakin banyak (Huss 1995). Aktivitas enzim akan menyebabkan pelunakan jaringan pada ikan serta aktivitas bakteri menyebabkan ikan menjadi semakin mengarah kepada kondisi busuk (Delbarre-Ladrat et al. 2006).

Fase setelah post rigor adalah fase busuk. Pada fase ini ikan tidak lagi dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Hal ini disebabkan karena aktivitas bakteri yang sangat banyak serta kerusakan pada tubuh ikan.

4.2 Penelitian Utama

Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui kemunduran mutu yang terjadi pada ikan bandeng serta kulit ikan bandeng pada fase kemunduran mutu selama penyimpanan. Pengamatan dan analisis dilakukan terhadap sampel ikan P, Q, R, dan S berdasarkan waktu penyimpanan. Analisis kemunduran mutu yang dilakukan, yaitu nilai organoleptik, pH, total volatile base (TVB), serta total plate count (TPC) dengan mengambil sampel pada bagian kulit. Pengujian

sendiri dilakukan pada 4 titik fase kemunduran mutu, yaitu pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk. Nilai uji organoleptik, pH, TVB dan TPC

merupakan parameter-parameter kesegaran ikan yang dapat menunjukkan kemunduran mutu pada ikan (Huss 1995).

4.2.1 Nilai organoleptik

Penilaian mutu ikan secara organoleptik merupakan metode penilaian secara sensori yang menggunakan panca indera manusia. Metode ini merupakan cara yang digunakan untuk mengukur, menganalisa dan menginterpretasikan karakter dari suatu bahan pangan (Huss 1995). Penetapan fase kemuduran mutu pada ikan dilakukan menggunakan alat bantu berupa lembar nilai (score sheet)

yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dengan SNI 01-2346-2006 (BSNb 2006). Nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S

(4)

Gambar 4. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S

Nilai organoleptik pada ikan dapat dilihat bahwa nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S menunjukan nilai yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Hal ini berarti bahwa semakin lama ikan disimpan maka mutu ikan akan semakin menurun. Menurut Ozogul et al. (2006), semakin lama waktu penyimpanan maka nilai mutu organoleptik/sensori dari ikan akan semakin menurun.

Secara umum, nilai organoleptik ikan P, Q, R dan S tidak menunjukan perbedaan yang mencolok. Kondisi tidak dipuasakan-dipuasakan atau kenyang-lapar pada ikan bandeng tidak berpengaruh terhadap mutu organoleptik dari ikan bandeng. Perbedaan hanya terjadi pada lamanya ikan mengalami kemunduran mutu dimana ikan bandeng yang disimpan pada suhu ruang (P dan Q) lebih cepat busuk, yaitu pada jam ke-19 penyimpanan serta ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling mengalami kebusukan lebih lama,

(5)

yaitu pada jam ke-540 (23 hari). Suhu penyimpanan memberikan efek terhadap kemunduran mutu pada ikan. Hal ini dikarenakan perkembangan bakteri pembusuk dapat ditekan dengan suhu yang lebih rendah (Huss 1995).

Pada ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling (kode: R dan S), ikan yang dipuasakan (kode: S) memiliki nilai organoleptik yang lebih baik dibanding ikan yang tidak dipuasakan (kode: R) sampai fase post rigor. Hal ini dikarenakan pada ikan yang dipuasakan/lapar proses pemecahan ATP berlangsung lebih lambat sehingga kondisi post mortem-nya lebih baik. Pada penelitian yang dilakukan terhadapan ikan Salmon Atlantik (Salmo salar L) yang disimpan pada suhu dingin, kondisi kenyang-lapar pada ikan berpengaruh pada kadar glikogen dan ATP dari ikan tersebut. Glikogen dan ATP digunakan untuk proses metabolisme ikan dan rendahya kadar glikogen dan ATP memperlambat metabolisme ikan. Rendahnya metabolisme pada ikan ketika mati akan menyebabkan kondisi stres pada ikan berkurang sehingga kemunduran mutu sensori berlangsung lebih lambat (Morkore et al. 2008).

Pada fase pre rigor, nilai organoleptik dari ikan P, Q, R, dan S bernilai 9 atau masih dalam kondisi segar. Menurut Adawyah (2007), ikan yang masih segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa maupun teksturnya. Ikan bandeng segar ini mempunyai ciri-ciri mata yang cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang merah cemerlang, tanpa lendir atau lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, serta belum ada perubahan warna. Sayatan dagingnya sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, dan memiliki dinding perut utuh. Bau ikan sangat segar sesuai dengan jenis. Teksturnya padat, elastis bila ditekan dengan

jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang. Berdasarkan SNI 01-2346-2006, ikan segar memiliki nilai organoleptik 7-9

(BSNb 2006).

Pada fase rigor mortis, ikan bandeng memiliki nilai organoleptik sekitar 6-8. Ikan ini memiliki ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh. Insangnya berwarna merah agak kusam tanpa lendir. Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang

(6)

tulang belakang, dinding perut utuh, dan baunya netral. Tekstur agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang.

Fase post rigor ikan bandeng memiliki nilai organoleptik sekitar 6-5. Nilai organoleptik 6-5 ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik untuk dimakan sebelum ikan tersebut busuk. Pada skala 1-9, nilai organoleptik 7 merupakan batas akhir dimana ikan dalam kondisi terbaik untuk dimakan (BSNb 2006). Adapun ciri-cirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh. Mulai adanya perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir. Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan. Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, serta dinding perutnya lunak. Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam. Tekstur agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, serta agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. Menurut SNI 01-2346-2006, nilai organoleptik 5-6 tergolong ikan yang agak segar (BSNb 2006).

Fase busuk atau tidak segar ikan bandeng ditandai dengan nilai organoleptik antara 1-3 (BSNb 2006). Pada nilai organoleptik ini ikan bandeng sudah tidak dapat diterima oleh konsumen lagi, karena sudah dibawah nilai ambang batas untuk dikonsumsi. Ikan ini memiliki ciri-ciri bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. Insang berwarna merah coklat ada sedikit putih. Lendir tebal menggumpal, warna putih kuning. Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk. Teksturnya lunak, bekas jari terlihat

bila ditekan, serta mudah menyobek daging dari tulang belakang.

Kulit ikan bandeng mengalami kemunduran mutu yang sebanding seperti pada ikan bandeng utuh. Fase kemunduran mutu yang terjadi sama halnya dengan ikan bandeng. Pada kulit ikan bandeng, nilai organoleptik kulit ikan P, Q, R, dan S mengalami kecenderungan yang sama seperti pada nilai organoleptik ikan bandeng. Nilai organoleptik kulit ikan P, Q, R, dan S mengalami penurunan dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Berikut disajikan nilai organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 5.

(7)

Gambar 5. Rata-rata nilai organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S Kulit ikan bandeng mengalami kondisi yang berbeda pada setiap fase kemunduran mutu. Pada fase pre rigor, kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S memiliki nilai organoleptik 8-9 atau masih dalam kondisi segar. Kulit ikan pada fase ini memiliki ciri-ciri lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, belum ada perubahan warna. Pada fase rigor mortis, kulit ikan bandeng memiliki nilai 7-8 dengan ciri-ciri lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan.

Pada fase post rigor kondisi kulit ikan bandeng menurun nilainya menjadi 5-6 dengan ciri-ciri lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh. Sedangkan pada fase busuk nilai organoleptik kulit adalah 3 dengan ciri-ciri lendir

tebal menggumpal, warna putih kuning. Nilai organoleptik kulit ikan P, Q, R, dan S tidak memiliki perbedaan yang mencolok. Perbedaan hanya

(8)

suhu ruang mengalami kemunduran mutu yang lebih cepat dibanding yang disimpan pada suhu chilling.

Pengetahuan akan mutu bahan baku dapat menjadi dasar bagi pengembangan produk dari bahan baku tersebut. Pada pemanfaatan untuk konsumsi maupun agroindustri manapun, bahan baku dari ikan yang baik akan sangat mempengaruhi mutu dan daya saing dari produk tersebut. Mutu pada ikan dapat dilihat dari daya simpan produk tersebut. Pada penelitian ini kulit ikan bandeng yang disimpan dalam suhu ruang (26-30 0C), yaitu ikan P dan Q memiliki daya simpan sekitar 19 jam dan ikan R dan S yang disimpan pada suhu chilling ((-1)-5 0C) mempunyai daya simpan sekitar 540 jam (23 hari).

Kecepatan kemunduran mutu pada ikan terjadi tergantung pada beberapa hal. Hal ini terdiri dari jenis ikan, suhu, penanganan setelah ikan mati, ukuran, kondisi fisik ikan, serta kondisi stres pada ikan (Huss 1995). Pada ikan-ikan laut tertentu di daerah tropis, kecepatan kemunduran mutu tergantung dari perbedaan suhu pada habitat asal dan suhu penyimpanan. Makin besar perbedaan suhu pada

habitat dan suhu penyimpanan makin cepat ikan membusuk (Abe dan Okuma 1991 dalam Huss 1995). Salah satu cara dalam mencegah

kemuduran mutu pada ikan adalah dengan menyimpan ikan pada suhu chilling. Suhu chilling dapat memperlambat kemunduran mutu pada ikan dikarenakan suhu chilling dapat menghambat aktivitas bakteri pembusuk pada ikan. Namun, suhu chilling tidak banyak membantu dalam hal kemunduran mutu karena pengaruh enzim atau autolisis (Medina et al. 2009).

4.2.2 Nilai pH

Nilai pH merupakan ukuran keasaman atau kebasaan dari suatu zat atau larutan (HAM 2001). Nilai pH dapat menunjukkan tingkat kesegaran dari ikan. Nilai pH ikan yang sudah tidak segar tinggi (basa) dibandingkan ikan yang masih segar. Hal ini karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa, misalnya amoniak, trimetilamin dan senyawa basa volatil lainnya (Poli et al. 2005). Hasil pengukuran nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R dan S selama kemunduran mutu disajikan pada Gambar 6.

(9)

Gambar 6. Rata-rata nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S

Nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 6 mengalami perubahan selama periode kemunduran mutu. Nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S turun pada saat setelah ikan dimatikan kemudian naik kembali setelah fase rigor mortis sampai busuk. Nilai pH kulit ikan bandeng P dan R pada saat setelah ikan dimatikan (pre rigor) adalah 6,42 sedangkan kulit ikan bandeng Q dan S pada fase pre rigor memiliki nilai pH 7,11. Ketika memasuki fase rigor mortis, nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S turun. Hal ini disebabkan karena akumulasi asam laktat akibat respirasi anaerob. Respirasi anaerob sendiri terjadi akibat terhentinya aliran darah yang membawa oksigen pada ikan setelah ikan itu mati sehingga terjadi respirasi anaerob glikogen yang menghasilkan asam laktat (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Nilai pH kulit ikan bandeng P dan R pada fase rigor mortis, yaitu 6,02 sedangkan kulit ikan bandeng Q dan S pada fase rigor mortis bernilai 6,46. Nilai pH kulit ikan pada fase post rigor naik dari

(10)

sebelumnya pada fase rigor mortis. Nilai pH kulit ikan bandeng P dan Q pada fase post rigor bernilai 6,61 dan 6,78 serta kulit ikan bandeng R dan S bernilai 6,55 dan 6,78. Pada fase busuk, nilai pH kulit ikan bandeng terus naik. Pada fase busuk, nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S berturut-turut adalah 6,79, 7,02, 7,80, dan 6,94. Kenaikan nilai pH pada fase post rigor dan busuk disebabkan karena terakumulasinya basa-basa volatil akibat aktivitas bakteri (Huss 1995). Nilai pH ikan pada saat fase post mortem berkisar antara 7,4-6,0 atau dapat lebih rendah lagi (Delbarre-Ladrat et al. 2006).

Nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S secara umum tidak menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok selama kemunduran mutu. Perbedaan nilai pH terdapat pada fase-fase kemunduran mutu ikan selama penyimpanan. Pada fase awal kemunduran mutu ikan, nilai pH ikan berkisar netral dikarenakan belum terjadi penurunan pH akibat respirasi anaerob glikogen. Nilai pH akan turun akibat dihasilkannya asam laktat akibat respirasi anaerob glikogen yang disebabkan terhentinya aliran oksigen setelah ikan mati. Nilai pH akan naik setelah glikogen habis melewati proses respirasi anaerob. Autolisis oleh enzim dan aktivitas bakteri yang menghasilkan senyawa-senyawa basa menyebabkan kenaikan nilai pH pada ikan (Huss 1995). Ketika pH turun, enzim autolisis terutama enzim katepsin yang aktif pada suhu asam akan mendegradasi

protein menyebabkan terdegradasinya protein pada ikan (Delbarre-Ladrat et al. 2006).

Pengujian sidik ragam (ANOVA) dengan α=0,05 dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan kombinasi ikan bandeng sebelum dipanen P, Q, R, dan S terhadap nilai pH selama kemunduran mutu. Hasil penelitian

menunjukan bahwa terdapat perbedaan nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada fase-fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor serta busuk) selama waktu penyimpanan

(ANOVA; α=0,05) (Lampiran 5). Hal serupa ditemukan pada penelitian yang dilakukan pada ikan Salmon Atlantik (Salmo salar L) yang diberi perlakuan diberi makan dan tidak sebelum dipanen pada penyimpanan dingin (Morkore et al. 2008). Perbedaan nilai pH tersebut dikarenakan nilai pH ikan

(11)

berubah seiring waktu kemunduran mutu akibat terbentuknya asam laktat dan aktivitas enzim serta bakteri (Huss 1995).

4.2.3 Nilai total volatile base (TVB)

Penurunan kesegaran ikan disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme serta enzim autolisis yang menghasilkan senyawa-senyawa basa volatil. Nilai total volatile base (TVB) pada ikan merupakan jumlah dari senyawa-senyawa basa volatil yang terdapat pada ikan. Nilai TVB kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 7.

  Gambar 7. Rata-rata nilai TVB kulit ikan bandeng P, Q, R dan S

Batas nilai TVB untuk ikan yang masih dapat dikonsumsi manusia adalah 30 mg N/100 g (Farber 1965). Pada fase pre rigor, nilai TVB ikan bandeng P dan R menunjukkan nilai 5,88 mg N/100 g sedangkan ikan Q dan S bernilai 6,27 mg N/100 g. Nilai ini menunjukan bahwa ikan masih sangat segar. Ikan

(12)

sangat segar memiliki nilai TVB 10 mg N/100 g atau lebih kecil (Farber 1965). Pada fase rigor mortis, nilai TVB kulit ikan P, Q, R, dan S naik ke nilai 10,08 mg N/100 g, 9,80 mg N/100 g, 11,20 mg N/100 g, dan 18,76 mg N/100 gr. Nilai TVB kulit ikan P, Q, R, dan S naik kembali pada fase post rigor menjadi 24,64 mg N/100 g, 22,12 mg N/ 100 g, 32,20 mg N/100 g dan 26,04 mg N/100 g. Batas TVB kulit ikan bandeng untuk konsumsi manusia adalah pada fase busuk, yaitu pada jam ke-540 (23 hari). Nilai TVB kulit pada fase busuk bernilai lebih besar dari 30 mg N/100 g, yaitu 45,35-57,40 mg N/100 g yang menunjukkan bahwa kulit ikan ini sudah busuk dan tidak dapat dikonsumsi lagi.

Peningkatan nilai TVB pada ikan disebabkan penguraian protein oleh enzim autolisis serta aktivitas bakteri. Ketika ikan mati, enzim akan menguraikan protein menjadi senyawa-senyawa turunan protein seperti dimetil amin, trimetil amin, trimetil amin-oksida (TMAO) dan amoniak. Bakteri berperan besar dalam peningkatan basa volatil pasca kematian ikan. Bakteri-bakteri pembusuk pada ikan memanfaatkan beberapa senyawa ini untuk melakukan respirasi dan berkembang biak. Beberapa bakteri-bakteri pembusuk pada ikan yang bersifat anaerobik fakultatif seperti E. coli, S. putrefaciens serta vibrio dapat melakukan respirasi anaerobik dengan menggunakan trimetil amin-oksida sebagai akseptor elektron. Hasil dari respirasi yang dilakukan oleh bakteri-bakteri tersebut akan menghasilkan senyawa hasil reduksi TMAO, yaitu trimetil amin (TMA) yang merupakan komponen terbesar TVB pada ikan (Huss 1995).

Pada kulit ikan yang disimpan pada suhu chilling, nilai TVB ikan R dan S naik lebih lambat bila dibandingkan dengan kulit ikan P dan Q yang disimpan pada suhu ruang. Hal ini terlihat dari nilai TVB kulit ikan R dan S mencapai nilai diatas 30 mg N/100 g atau sudah busuk pada jam ke-540 (23 hari) sedangkan pada kulit ikan yang disimpan pada suhu ruang, yaitu ikan P dan Q terjadi pada jam ke-19. Hal ini disebabkan karena akumulasi basa volatil lebih lambat pada suhu chilling (Karungi et al. 2003).

Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan nilai TVB pada tiap fase kemunduran mutu selama penyimpanan (ANOVA; α=0,05) (Lampiran 6). Nilai TVB pada ikan P, Q, R, dan S selama periode kemunduran mutu menunjukkan nilai yang semakin meningkat seiring dengan waktu

(13)

penyimpanan. Nilai TVB juga berhubungan dengan fase kemunduran mutu selama waktu penyimpanan pada ikan Nila (Oreochromis niloticus) (Yasmin et al. 2001), ikan Turbot (Scopthalmus maximus) (Ozogul et al. 2006)

serta ikan Red Mullet (Mullus barbatus) dan Goldband Goatfish (Upeneus moluccensis) (Ozogul et al. 2009). Kenaikan jumlah TVB pada ikan

selama kemunduran mutu berhubungan dengan autolisis oleh enzim dan aktivitas bakteri (Huss 1995).

4.2.4 Nilai total plate count (TPC)

 Nilai TPC (total plate count) merupakan jumlah bakteri/koloni bakteri yang terdapat pada bahan/sampel. Nilai TPC dapat dijadikan sebagai indikator keberadaan bakteri pembusuk pada ikan (Huss 1995). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah mikroorganisme yang dapat tumbuh dalam sampel. Nilai TPC disajikan dalam log TPC, yaitu jumlah bakteri secara logaritmik. Ikan yang masih hidup memiliki sistem kekebalan yang melindunginya dari pertumbuhan bakteri. Ketika ikan mati, sistem kekebalan berhenti bekerja sehingga bakteri mulai tumbuh pada ikan. Berbagai macam bakteri akan tumbuh pada ikan dan menurunkan mutu ikan hingga akhirnya ikan menjadi busuk dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Bakteri pada ikan ketika mengalami kemunduran mutu dapat berasal dari luar tubuh ikan yang masuk melalui kulit atau dari dalam tubuh ikan itu sendiri. Jumlah bakteri yang dihitung dengan nilai log TPC pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ditunjukkan pada Gambar 8.

(14)

  Gambar 8. Rata-rata nilai log TPC kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S

Nilai TPC/jumlah bakteri kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 8 mengalami kenaikan seiring dengan kemunduran mutu pada penyimpanan suhu ruang dan chilling. Pada fase pre rigor atau saat awal kemunduran mutu ikan, nilai log TPC bernilai 3,66-3,82 cfu/g. Memasuki fase rigor mortis, nilai log TPC naik menjadi 4,68-6,42 cfu/g. Pada fase post rigor, jumlah bakteri sudah diatas ambang batas untuk konsumsi manusia. Nilai log TPC pada fase post rigor adalah 6,61-7,72 cfu/g. Ambang batas jumlah bakteri ikan segar untuk konsumsi manusia menurut SNI 01-2729-2006, yaitu 5 x 105 atau dalam log TPC, 5,70 cfu/g (BSN 2006). Pada fase busuk jumlah bakteri semakin banyak, yaitu 7,34-7,85 cfu/g. Jumlah bakteri pada kulit ikan beragam

dan berkisar antara 102-107 cfu/g atau dalam log TPC 2-7 cfu/g (Shewan 1980 dalam Huss 1995).

(15)

Bakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kebusukan pada ikan. Setelah ikan mati, sistem kekebalan tubuh yang menjaga ikan dari serangan bakteri tidak bekerja lagi dan bakteri mulai masuk ke tubuh ikan. Bakteri-bakteri pembusuk pada ikan berasal terutama dari lingkungan ikan tersebut. Bakteri masuk dari permukaan luar/kulit ikan kemudian masuk ke daging dan organ pencernaan melalui jaringan ikat. Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan berhubungan dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Perbedaan jumlah dan jenis bakteri yang ditemukan pada ikan dipengaruhi oleh faktor makanan, cara penangkapan, penanganan serta perbedaan suhu yang dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Bakteri yang umumnya ditemukan pada ikan tropis adalah Pseudomonas, Acinetobacter, Moraxella, Vibrio, E. coli, serta Salmonella (Huss 1995; Junianto 2003).

Pada penelitian ini, ikan bandeng P dan Q yang disimpan pada suhu ruang mengalami kenaikan jumlah bakteri lebih cepat dibanding dengan ikan R dan S yang disimpan pada suhu chilling. Hal ini terlihat bahwa ikan P dan Q melewati batas nilai TPC ikan segar berdasarkan SNI 01-2729-2006 pada fase post rigor pada jam ke – 15 sedangkan ikan R dan S terjadi pada jam ke – 300 (13 hari). Suhu chilling dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan dikarenakan pertumbuhan bakteri akan lebih lambat pada suhu rendah (Huss 1995).

Nilai TPC kulit ikan bandeng pada penelitian ini berbeda pada tiap fase kemunduran mutu (ANOVA; α=0,05) (Lampiran 7). Nilai TPC naik seiring dengan kemunduran mutu pada penyimpanan suhu ruang dan chilling. Hal ini disebabkan karena bakteri akan tumbuh semakin banyak pada ikan yang mati. Pertumbuhan bakteri pada ikan yang mati semakin banyak karena kondisi ikan yang memungkinkan bakteri untuk tumbuh dan berkembang akibat dari hasil pendegradasian protein yang merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Huss 1995).

4.2.5 Konsentrasi protein katepsin dan aktivitas enzim katepsin

Enzim katepsin merupakan enzim yang berperan dalam kemunduran mutu ikan. Beberapa enzim lain diketahui memiliki hubungan dengan kemunduran mutu ikan, namun enzim katepsin merupakan enzim yang paling banyak disebutkan berpengaruh dalam kemunduran mutu ikan. Enzim katepsin

(16)

merupakan enzim protease yang ditemukan tersimpan dalam organel sel yang bernama lisosom. Lisosom pada ikan mengandung paling tidak 13 jenis enzim katepsin (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Pada ikan yang masih hidup, enzim katepsin tidak aktif namun langsung aktif ketika ikan mati dan pH ikan turun (Huss 1995). Keberadaan enzim katepsin dapat dilihat dari konsentrasi enzim tersebut. Konsentrasi protein katepsin pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 9.

  Gambar 9. Rata-rata konsentrasi protein katepsin kulit

ikan bandeng P, Q, R, dan S

 Jumlah rata-rata protein katepsin ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 9 naik dengan semakin lamanya penyimpanan kemudian turun setelah melalui fase post rigor. Hal ini akan sebanding dengan aktivitas enzim katepsin.   Aktivitas enzim katepsin menunjukan aktivitasnya dalam melakukan kerja sebagai enzim proteolitik. Aktivitas enzim katepsin dapat menunjukan peranan enzim

(17)

katepsin dalam kemunduran mutu ikan. Berikut aktivitas enzim katepsin pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 10.

Gambar 10. Rata-rata aktivitas enzim katepsin kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S

Aktivitas enzim katepsin pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 10, terlihat bahwa terdapat perbedaan aktivitas enzim katepsin selama kemunduran mutu. Pada fase pre rigor kulit ikan P dan R memiliki aktivitas enzim katepsin sebesar 0,1250 U/ml sedangkan aktivitas enzim katepsin kulit ikan Q, S memiliki aktivitas sebesar 0,0893 U/ml. Aktivitas enzim tertinggi terdapat pada fase post rigor, yaitu 0,7800 U/ml untuk kulit ikan P, 0,8929 U/ml, untuk kulit ikan Q, 1,1429 U/ml, untuk kulit ikan R serta 1,0357 U/ml untuk ikan S. Aktivitas enzim katepsin berkaitan dengan pH ikan pada kemunduran mutu. Enzim akan bekerja paling baik pada pH yang optimum. Pada penelitian ini aktivitas katepsin paling besar terjadi dari fase post rigor dimana pH kulit ikan

(18)

bandeng P, Q, R, dan S bernilai 6,02-6,78. Ketika ikan mati, pH ikan akan turun dari kisaran netral atau 7 ke kisaran 6,5 atau lebih rendah kemudian naik lagi. Kisaran pH 6,5-7 merupakan pH optimum untuk aktivitas enzim katepsin, terutama katepsin B dan L (Jiang 2000 diacu dalam Cheret et al. 2007).

Katepsin pada ikan merupakan enzim yang berperan dalam kemunduran mutu dari ikan dengan mengautolisis protein pada jaringan tubuh ikan. Pada lisosom sel ikan, diketahui terdapat 13 jenis enzim katepsin dan jenis katepsin B, D, H, dan L merupakan jenis enzim katepsin terbanyak pada ikan. Enzim katepsin mendegradasi struktur protein miofibril pada ikan. Enzim Katepsin juga diketahui mampu mendegradasi jaringan ikat dan protein kolagen pada ikan (Hagen et al. 2008). Kulit merupakan bagian yang banyak mengandung jaringan ikat dan protein kolagen (Porter dan Bonnevine 1973). Saat awal kemunduran mutu ikan, katepsin akan lepas dari lisosom sel dan dibantu dengan penurunan pH menjadi antara 6,5-7 (pH optimum katepsin B dan L) akan mendegradasi protein tubuh ikan (Cheret et al. 2007).

Pada penelitian ini, enzim memiliki aktivitas tertinggi pada fase post rigor dimana nilai pH 6,02-6,78. Nilai pH ini masuk ke dalam nilai pH optimum untuk jenis enzim katepsin B dan L, yaitu 6,5-7. Katepsin B merupakan jenis katepsin yang berperan dalam pelunakan jaringan pada ikan. Enzim katepsin B melepaskan ikatan tri- dan dipeptida dari peptida protein ikan. Katepsin B juga mendegradasi miosin rantai panjang serta menghidrolisis secara parsial aktin dan degradasi troponin-I dan troponin-T pada ikan. Pada beberapa penelitian katepsin B juga berperan dalam pendegradasian jaringan ikat dan protein kolagen. (Hagen et al. 2008).

Aktivitas enzim katepsin pada penelitian ini berbeda pada tiap fase kemunduran mutu selama penyimpanan (ANOVA; α=0,05) (Lampiran 8). Hal ini disebabkan karena nilai pH pada tiap fase kemunduran mutu berbeda sehingga aktivitas katepsin akan berbeda pula. Nilai pH akan berpengaruh terhadap aktivitas dari enzim katepsin. Aktivitas enzim katepsin berhubungan dengan

nilai pH pada ikan. Aktivitas enzim katepsin akan maksimal pada pH yang sesuai untuk aktivitas enzim katepsin (Sovik dan Rustad 2006; Synnes et al. 2005; Hultmann dan Rustad 2004).

(19)

4.2.6 Konsentrasi protein kolagenase dan aktivitas enzim kolagenase

Kulit ikan merupakan bagian dari tubuh ikan yang mengandung unsur utama berupa protein kolagen. Protein kolagen merupakan protein yang menjadi

unsur utama pada kulit, tulang, tendon dan jaringan ikat pada hewan (Morimura et al. 2002, Nagai dan Suzuki 2000 dalam Huo dan Zhang 2009).

Protein kolagen mengalami degradasi ketika terjadi kemunduran mutu pada ikan. Kehilangan protein kolagen pada ikan akan mengurangi nilai gizi pada ikan karena kolagen merupakan bahan yang penting untuk dimanfaatkan pada industri pangan. Selain itu, protein kolagen juga digunakan untuk industri farmasi dan kosmetik. Degradasi protein kolagen saat kemunduran mutu ikan disebabkan oleh enzim proteolisis, yaitu enzim kolagenase.

Enzim kolagenase merupakan enzim dari famili metaloprotease peptidase yang bekerja pada substrat kolagen. Pengaturan dari enzim kolagenase merupakan proses yang kompleks namun enzim kolagease disintesis dan disekresikan pada jaringan ikat (Hagen et al. 2008). Keberadaan jumlah kolagenase berhubungan dengan konsentrasi enzim serta aktivitasnya. Jumlah atau konsentrasi protein kolagenase yang terdapat pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 11.

(20)

  Gambar 11. Rata-rata konsentrasi protein kolagenase kulit ikan bandeng

P, Q, R, dan S

Pada Gambar 11, terlihat bahwa jumlah atau konsentrasi protein kolagenase pada ikan bandeng P, Q, R, dan S berbeda-beda selama periode kemunduran mutu. Hal ini berhubungan dengan aktivitas enzim kolagenase yang terjadi. Jumlah protein kolagenase berhubungan dengan aktivitas enzim kolagenase selama periode kemunduran mutu. Berikut aktivitas enzim kolagenase kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S selama periode kemunduran mutu pada Gambar 12.

Aktivitas enzim kolagenase menunjukkan kecenderungan yang sebanding dengan konsentrasi enzim yang terdapat pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S. Pada jumlah dan suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi atau aktivitas enzim bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim (Lehninger 1993).

(21)

Gambar 12. Rata-rata Aktivitas enzim kolagenase kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S

Aktivitas enzim kolagenase menunjukkan bahwa aktivitas enzim kolagenase pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S berubah seiring dengan kemunduran mutu yang terjadi. Aktivitas enzim kolagenase pada kulit ikan P, Q, R, dan S pada fase awal ikan mati atau pre rigor adalah berturut-turut, yaitu 0,0125 U/ml; 0,0292 U/ml; 0,0167 U/ml, dan 0,0208 U/ml. Aktivitas enzim kolagenase tertinggi berada pada fase post rigor dimana aktivitas enzim kolagenase pada kulit ikan P, Q, R, dan S berturut-turut, yaitu 0,0708 U/ml; 0,0792 U/ml; 0,0667 U/ml, dan 0,0750 U/ml. Perubahan akibat autolisis enzim pada ikan akan mencapai aktivitas tertinggi setelah fase rigor mortis (Huss 1995).

Enzim kolagenase berperan dalam mendegradasi protein kolagen pada kemunduran mutu ikan. Berdasarkan uji sidik ragam (ANOVA) dengan α=0,05, (Lampiran 9) diketahui bahwa terdapat perbedaan aktivitas enzim kolagenase

(22)

selama kemunduran mutu pada penyimpanan. Hal serupa juga ditemukan pada ikan cod dimana terdapat perbedaan aktivitas enzim pada tiap fase kemunduran mutu (Hernandez-hererro et al. 2003). Perbedaan aktivitas enzim kolagenase pada kemunduran mutu ikan berhubungan dengan pH optimum enzim kolagenase (Hagen et al. 2008).

4.3 Hubungan antara Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dengan Parameter Kesegaran Ikan

Kemunduran mutu ikan merupakan kombinasi proses biokimia, nikrobiologis serta fisik yang terjadi setelah ikan mati. Kombinasi dari proses-proses tersebut akan menyebabkan kemunduran mutu yang terlihat dari beberapa parameter, seperti nilai sensori/organoleptik, nilai pH, nilai TVB serta nilai TPC ikan. Aktivitas enzim proteolitik, yaitu enzim katepsin dan kolagenase akan mempengaruhi tingkat kesegaran ikan. Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase mempengaruhi kombinasi proses biokimia yang menyebabkan kemunduran mutu ikan. Kemunduran mutu yang terjadi disebabkan oleh enzim proteolitik dan terlihat dari kondisi fisik, kimia (nilai pH) serta diikuti oleh pembusukan oleh bakteri (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Hal ini dapat dilihat dengan suatu analisis korelasi linier sederhana dimana hubungan antara aktivitas enzim dengan parameter mutu ikan dapat diketahui. Hubungan antara aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran dari fase pre rigor hingga fase post rigor pada ikan P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 13.

Berdasarkan analisis korelasi linier sederhana, diketahui bahwa aktivitas enzim katepsin dan kolagenase memiliki hubungan yang sangat erat dengan nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S (r =>0,7) dari fase pre rigor hingga fase post rigor (Gambar 13a dan 13f). Hubungan tersebut adalah aktivitas enzim katepsin dan kolagenase akan semakin meningkat seiring dengan penurunan nilai organoleptik ikan (waktu penyimpanan). Hal ini berkaitan dengan peran enzim katepsin dan kolagenase dalam pelunakan jaringan dan pendegradasian protein pada ikan (Huss 1995).

Analisis korelasi linier sederhana untuk aktivtas enzim katepsin dan kolagenase dengan nilai organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S menunjukkan hubungan yang sangat erat (r =>0,7) (Gambar 13b dan 13g).

(23)

Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase akan semakin meningkat seiring dengan penurunan nilai organoleptik kulit ikan (waktu penyimpanan). Enzim katepsin, terutama katepsin B dan kolagenase berperan dalam pendegradasian protein kolagen yang banyak terdapat pada kulit ikan (Hagen et al. 2008).

Analisis korelasi linier sederhana untuk aktivtas enzim katepsin dan kolagenase dengan nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S menunjukkan hubungan yang tidak erat (r <=0,5) (Gambar 13c dan 13h). Penurunan nilai pH dapat memicu lepasnya enzim katepsin dan kolagenase. Perubahan nilai pH setelah fase kemunduran mutu ikan lebih dikarenakan penumpukan asam laktat

akibat respirasi anaerob dan aktivitas bakteri yang terjadi (Delbarre-Ladrat et al. 2006).

Analisis korelasi linier sederhana untuk aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan nilai TVB menunjukkan hubungan yang sangat erat (r =>0,7) (Gambar 13d dan 13i). Perubahan nilai TVB selama kemunduran mutu disebabkan oleh pemecahan protein pada ikan oleh enzim-enzim proteolitik seperti katepsin dan kolagenase (Huss 1995).

Analisis korelasi linier sederhana untuk aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan nilai TPC kulit ikan bandeng P, Q, R dan S menunjukkan hubungan yang sangat erat (r =>0,7) (Gambar 13e dan 13j). Hal ini dikarenakan aktivitas enzim proteolitik akan mendegradasi protein yang merupakan substrat yang baik untuk bakteri yang menghasilkan basa-basa volatil terakumulasi (Karungi et al. 2003).

(24)

 

 

  

Gambar 13. Korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase

fase pre rigor hingga post rigor ikan dan kulit ikan P, Q, R, dan S; aktivitas katepsin dengan; (a) organoleptik ikan bandeng; (b) nilai

organoleptik kulit ikan bandeng; (c) pH; (d) TVB; (e) TPC;

aktivitas kolagenase dengan (f) nilai organoleptik ikan bandeng; (g) nilai organoleptik kulit ikan bandeng; (h) pH; (i) TVB; (j) TPC

(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i)  (j) 0 0 1 2 Nilai  Org anoleptik Bandeng Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml) 0 0 1 2 Nilai  Org anoleptik Ikan  Bandeng Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml) y = 0.088x + 6.520 R² = 0.010 r = 0.1 5.56 6.57 7.5 0 0.5 1 1.5 Nilai  pH Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml) y = 23.18x + 4.107 R² = 0.972 r = 0.9 0 20 40 0 0.5 1 1.5 Nilai  TVB  mg  N/100  g Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml) y = 3.437x + 3.824 R² = 0.849 r = 0.9 0 5 10 0 0.5 1 1.5 Nilai  Log  TPC  (cfu /ml ) Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml) y = ‐57.23x + 9.758 R² = 0.729 r = 0.9 0 5 10 0 0.05 0.1 Nilai  Org anoleptik  Ikan   Bandeng Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml) y = ‐51.45x + 9.596 R² = 0.807 r = 0.9 0 5 10 0 0.05 0.1 Nilai  Org anoleptik  Kulit   Ikan  Bandeng Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml) y = 2.546x + 6.453 R² = 0.030 r = 0.2 5.56 6.57 7.5 0 0.05 0.1 Nilai  pH Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml) y = 337.3x + 0.635 R² = 0.756 r = 0.9 0 20 40 0 0.05 0.1 Nilai  TVB  mg  N/100  g Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml) y = 50.69x + 3.281 R² = 0.678 r = 0.8 0 5 10 0 0.05 0.1 Nilai  Log  TPC  (cfu /ml ) Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml)

(25)

Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada fase pre rigor hingga post rigor memiliki hubungan yang sangat erat secara linier dengan parameter kesegaran ikan kecuali pada nilai pH. Koefisien linier sederhana antara aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dari fase pre rigor hingga post rigor dapat dilihat pada Tabel 7. Hubungan tersebut menjadi berkurang keeratannya ketika memasuki fase busuk. Hal ini dapat dilihat pada koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran ikan pada fase pre rigor hingga busuk yang disajikan secara lengkap pada Tabel 8.

Tabel 7. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran ikan P, Q, R, dan S dari

fase pre rigor hingga post rigor

Tabel 8. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran ikan P, Q, R, dan S dari fase pre rigor hingga busuk

Aktivitas korelasi linier sederhana antara aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran ikan berkurang keeratannya ketika memasuki fase busuk pada Tabel 8. Hal ini dikarenakan nilai pH yang semakin

Parameter Kesegaran Ikan

Koefisien Korelasi Aktivitas Enzim Katepsin Koefisien Korelasi Aktivitas Enzim Kolagenase

Nilai organoleptik ikan bandeng 0,9 0,9

Nilai organoleptik kulit 0,8 0,9

Nilai pH kulit 0,1 0,2

Nilai TVB kulit 0,9 0,8

Nilai TPC kulit 0,9 0,9

Parameter Kesegaran Ikan

Koefisien Korelasi Aktivitas Enzim Katepsin Koefisien Korelasi Aktivitas Enzim Kolagenase

Nilai organoleptik ikan bandeng 0,7 0,7

Nilai organoleptik kulit 0,6 0,7

Nilai pH kulit 0,3 0,3

Nilai TVB kulit 0,6 0,6

(26)

naik pada fase busuk. Aktivitas enzim kolagenase kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S masih memiliki hubungan yang sangat erat dengan nilai organoleptik kulit. Hal ini dikarenakan nilai pH optimum enzim kolagenase yang memiliki rentang pH yang lebih besar, yaitu 6,5-8 dimana pada fase busuk pH ikan terus naik (Haard 1994).

4.4 Hubungan antar Parameter Kesegaran Ikan

Mutu ikan dapat dilihat dari parameter kesegaran ikan. Parameter kesegaran ikan tersebut berupa parameter yang diukur secara subyektif (organoleptik) maupun obyektif (pH, TVB, TPC). Parameter-parameter tersebut memiliki keterkaitan selama proses kemunduran mutu ikan bandeng. Perubahan pasca kematian ikan (postmortem) terjadi setelah ikan mati dan aliran darah terhenti. Hasil dari terhentinya peredaran darah adalah serangkaian reaksi yang sangat kompleks dalam otot. Pengaruh yang cepat dari berhentinya peredaran darah dan penghilangan darah dari jaringan otot adalah kurangnya pemasukan oksigen ke dalam jaringan. Akibatnya jaringan tidak mampu membentuk kembali adenosin trifosfat (ATP) sebagai bahan energi sel, karena mekanisme transport elektron dan fosforilasi oksidatif segera terhenti. Hal ini menyebabkan respirasi anaerob yang menyebabkan dihasilkannya asam laktat sehingga pH turun. Setelah pH turun, enzim proteolitik terutama katepsin akan bebas dan aktif dan mendegradasi protein. Pemecahan protein akan memacu pertumbuhan bakteri sehingga ikan akan semakin menunjukkan tanda-tanda kebusukan (Eskin 1990). Berdasarkan hubungan korelasi linier diketahui bahwa aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengetahui mutu ikan yang dapat dilihat dari parameter-parameter mutu ikan, yaitu sensori/organoleptik, nilai pH, TVB dan TPC. Hubungan antar parameter kesegaran ikan dan kulit ikan bandeng P, Q, R dan S dapat dilihat pada Gambar 14, 15, 16 dan 17.

Enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif setelah ikan mati, namun sistem kerja enzim tidak terkontrol karena organ pengontrol sudah tidak bekerja lagi. Peristiwa aktifnya enzim setelah ikan mati disebut autolisis dan berlangsung setelah fase rigor mortis. Aktivitas enzim akan menyebabkan penurunan mutu ikan akibat pendegradasian jaringan pada ikan (DKP dan JICA 2008).

Gambar

Gambar 4. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S
Gambar 5. Rata-rata nilai organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S   Kulit ikan bandeng mengalami kondisi yang berbeda pada setiap fase  kemunduran mutu
Gambar 6. Rata-rata nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S
Gambar 10. Rata-rata aktivitas enzim katepsin kulit ikan bandeng   P, Q, R, dan S
+3

Referensi

Dokumen terkait

Lebih lanjut dikatakan air kelapa mengandung zeatin dan ribozeatin (sitokinin) yang yang dapat merangsang pembelahan dan diferensiasi sel terutama dalam pembentukan pucuk

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan nitrat di perairan dermaga Pulau Parang, Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah dan untuk

Media interaktif Takbulta adalah suatu alat peraga seperti bangun ruang balok berbentuk tiga dimensi berukuran 40x80 cm, yang menjelaskan tentang materi hubungan berbagai

Indikasi peresepan yang paling banyak adalah untuk prosedur kebidanan dan kandungan, dan walaupun petidin tidak direkomendasikan untuk manajemen nyeri karena

Dari pelatihan ini pemateri meminta kepada peserta untuk dapat lebih aktif karena sebenarnya masyarakat yang lebih memahami dan mengetahui persoalan atau isu-isu yang ada di

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan masukan bagi kepala Organisasi Perangkat daerah (OPD) di kabupaten Wonogiri dalam memahami Pengaruh

 Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan teori-teori politik yang tentu saja berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis yakni teori tentang

Narapidana yang telah selesai menjalani hukuman di rumah tahanan negara selama tahun 2007 sebanyak 105 orang dengan jenis kejahatan/pelanggaran yang dilakukan antara lain