• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Petidin merupakan analgesik yang mula kerjanya cepat tetapi bertahan hanya untuk waktu singkat; kurang menimbulkan konstipasi dibanding morfin; tetapi kurang kuat sebagai analgesik, bahkan dalam dosis tinggi. Tidak cocok untuk nyeri hebat yang berkepanjangan. Digunakan untuk analgesik dalam proses melahirkan; namun demikian, opioid lain seperti morfin dan diamorfin sering lebih disukai untuk nyeri obstetrik (IONI, 2013). Di Indonesia, petidin termasuk salah satu obat esensial untuk analgetik narkotik (DOEN, 2013).

Obat esensial adalah obat-obat yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan prioritas. Hal ini menuntut proses seleksi harus didasarkan pada hasil telaahan sistematis dan komprehensif terhadap kriteria kemanfaatan dan keamanan, pertimbangan kebutuhan kesehatan masyarakat, ketersediaan produk, dan pertimbangan harga, serta harus melalui proses seleksi yang transparan (Suryawati, 2012). Di Indonesia, penetapan obat esensial dilakukan oleh Komisi Nasional Daftar Obat Esensial Nasional secara periodik. Hal ini menunjukkan kebijakan dalam penentuan obat esensial sangat dinamis, karena ditetapkan setiap dua tahun melalui keputusan menteri.

Hasil studi Pain andPolicy Studies Group University of Wisconsin (PPSG, 2013) memperlihatkan penggunaan petidin di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 0,153 mg/kapita. Penggunaan petidin di Indonesia masih dibawah angka rata-rata penggunaan global petidin pada tahun 2012 sebesar 0,959 mg/kapita dan sedikit di atas rata-rata penggunaan petidin di regional SEARO (South East Asia Regional Office) sebesar 0,142 mg/kapita. Sementara dalam laporan International Narcotics Control Board (INCB) pada tahun 2013 menyatakan kecenderungan penurunan penggunaan petidin secara global dalam kurun waktu 10 tahun, dimana penggunaannya hanya sebesar 6,7 ton secara global pada tahun 2012 (INCB, 2013).

(2)

2 Gambar 1

Produksi, Konsumsi dan Stok Petidin di Lingkungan Global (Sumber: INCB 2013)

Komite ahli penyusun WHO Model List of Essential Medicines (EML) edisi ke-12 tahun 2002 menempatkan petidin sebagai analgetik opioid komplementer, tetapi pada WHO EML edisi ke-13 tahun 2003 petidin tidak dimasukkan lagi. Keputusan komite ahli penyusun WHO Model List of Esensial Medicines tidak memasukkan petidin sebagai salah satu obat esensial diasumsikan antara lain karena adanya studi yang menyatakan petidin yang diberikan kepada pasien kanker menunjukkan bahwa pemberian dengan dosis berulang dapat menyebabkan akumulasi metabolit beracun norpetidin (Teoh, 1991).

Menurut laporan dari komite pakar WHO dalam Technical Report Series 920 tahun 2003, petidin terdaftar di 19 dari 25 daftar obat esensial nasional; bahwa petidin dianggap lebih rendah dari morfin karena toksisitasnya pada sistem saraf pusat; dan umumnya lebih mahal daripada morfin. Komite menyimpulkan bahwa tidak cukup pembenaran untuk mempertahankan petidin pada EML dan direkomendasikan untuk dihapus. Komite menekankan bahwa program nasional setiap negara harus memastikan bahwa jumlah morfin yang mencukupi selalu tersedia bagi mereka yang membutuhkannya. Hal ini memberi makna bahwa WHO menganggap petidin sudah tidak menjadi pilihan prioritas

(3)

3 karena rasio kemanfaatan dan resiko yang kecil. Di Indonesia, penggunaan petidin sebesar 0,35 mg/kapita lebih tinggi dibanding penggunaan morfin sebesar 0,07 mg/kapita di tahun 2011(PPSG, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Pansang, et al. (2008) yang berjudul Usage Pattern of Opioid Injections for Inpatient at a Regional Hospital in Thailand, melaporkan pola penggunaan injeksi opioid di rumah sakit regional di Thailand kurun waktu 2 bulan, dimana indikasi peresepan yang paling banyak adalah untuk prosedur kebidanan dan kandungan. Walaupun petidin tidak direkomendasikan untuk manajemen nyeri karena toksisitasnya, tetapi petidin adalah opioid injeksi yang paling sering diresepkan untuk nyeri. Hasil ini menuntut perlindungan yang tepat untuk memastikan keamanan penggunaan petidin di Thailand.

Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 2500/MENKES/SK/XII/2011 tentang Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) 2011 telah menetapkan bahwa petidin injeksi 50 mg/ml diusulkan untuk dikeluarkan pada revisi berikutnya dengan 2 alasanyakni 1) penyalahgunaan yang meluas di fasilitas kesehatan dasar, 2) penggunaannya sebagai analgesik narkotik sudah tidak terlalu banyak dibandingkan obat lain. Dalam dokumen DOEN 2013, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 312/MENKES/SK/IX/2013 tidak dilakukan revisi seperti penjelasan yang dimaksud pada DOEN 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 328 tahun 2013 yang kemudian diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 159/MENKES/SK/V/2014 tentang Formularium Nasional menyatakan petidin masih dimasukkan sebagai analgesik narkotik dibatasi untuk tindakan anestesi dan nyeri sedang hingga berat pada pasien yang dirawat di rumah sakit dan tidak digunakan untuk nyeri kanker.

Uraian di atas memaparkan beberapa fakta sehingga sangat menarik untuk diteliti apakah yang menyebabkan petidin masih digunakan di Indonesia dan masih termasuk dalam DOEN maupun Fornas, dan apakah merupakan indikasi kepedulian negara melalui pemenuhan akses terhadap obat analgesik narkotika, tanpa mempertimbangkan resiko jangka panjang penggunaan petidin.

(4)

4 B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengapa petidin masih termasuk dalam DOEN dan Fornas?

2. Apakah status petidin sebagai obat esensial adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penggunaannya di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui tren penggunaan petidin di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2004 – 2013.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tren penggunaan petidin di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2004 – 2013.

b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan petidin di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat ilmiah

Menjadi masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan petidin.

2. Manfaat bagi Pemerintah

Menjadi masukan untuk mendukung kebijakan penggunaan obat rasional dalam kegiatan penyusunan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) jenis narkotika khususnya petidin dimasa yang akan datang.

(5)

5 Sebagai sumber informasi pengetahuan bagi peneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan obat khususnya obat golongan analgetik narkotik petidin.

E. Keaslian Penelitian

1. Ponizovsky, A., et al. (2010). Trends in opioid analgesics consumption, Israel, 2000 – 2008. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tren penggunan opioid di Israel (morfin, metadon, oksikodon, petidin, fentanil, buprenorfin, kodein, dan dekstropropoksifen) dalam 9 tahun, yaitu dari tahun 2000 sampai 2008, dan menggali penjelasan perubahan dalam konsumsi, baik dalam jumlah maupun pola. Penelitian ini bersifat observasi dokumen dan dilakukan secara retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan konsumsi dari lima opioid kuat (yang membutuhkan format peresepan khusus) meningkat sebesar 47%, dari 2,46 DDD/1000 penduduk/hari di tahun 2000, menjadi 3,61 DDD/1000 penduduk/hari di tahun 2008. Penggunaan morfin, petidin dan kodein menurun signifikan. 2. Pansang, et al. (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Usage Pattern of

Opioid Injections for Inpatient at a Regional Hospital in Thailand, melaporkan pola penggunaan injeksi opioid di rumah sakit regional di Thailand kurun waktu 2 bulan. Total 1498 injeksi opioid diresepkan untuk 1345 pasien. Indikasi peresepan yang paling banyak adalah untuk prosedur kebidanan dan kandungan, dan walaupun petidin tidak direkomendasikan untuk manajemen nyeri karena toksisitasnya, tetapi petidin adalah opioid injeksi yang paling sering diresepkan untuk nyeri. Hasil ini menuntut perlindungan yang tepat untuk memastikan keamanan penggunaan petidin di Thailand.

3. Garcia del Pozo, et al. (1999). Opioid Consumption in Spain – The Significance of A Regulatory Measure.

Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki dampak dari regulasi baru pengaturan konsumsi opioid di Spanyol selama periode 1985-1998. Data diperoleh dari ECOM (especialidades Consumo de Medicamentos), yaitu

(6)

6 database Kementerian Kesehatan untuk periode 1985 – 1998. Database ini berisi informasi tentang peresepan obat di perawatan primer dalam Sistem Kesehatan Nasional di Spanyol.

Hasil penelitian menunjukkan sejak tahun 1985 – 1998, konsumsi opioid keseluruhan telah meningkat sepuluh kali lipat, dari 94,7 DDD (dosis harian yang ditetapkan) per juta penduduk per hari menjadi lebih dari 1000 DDD. Untuk lima jenis obat yang memerlukan bentuk peresepan khusus (morfin, metadon, petidin, tilidine dan fentanil), konsumsi meningkat 13,5 kali lipat.

Kesimpulan: Adanya regulasi dan perubahan pasokan telah menghasilkan peningkatan besar dalam konsumsi opioid di Spanyol.

Referensi

Dokumen terkait

Sistem penjaminan mutu Insitusi dan prodi berjalan dengan baik. Penerapan standar dan prosedur mutu melalui tahapan prosedur kerja sesuai dengan standar yang telah ditetapkan

 Misalnya aturan asosiatif dari analisis pembelian di suatu pasar swalayan adalah dapat diketahuinya berapa besar kemungkinan seorang pelanggan membeli roti bersamaan dengan

Representasi makna keadilan dari dialog di atas adalah sebagai berikut: terlihat pada percakapan di atas, terlihat nilai moral keadilan pada tokoh Pastor

24 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Terjemah Perkata,... Hurlock, Perkembangan Anak,.... 43 ةثحابلا يأر نم امأ ةسسؤلما فى ماظنلا قيبطت نم ضرغلا نأ ، وكي

Santosa, “Kesiapan Infrastruktur TIK Dan Sumber Daya Manusia Dalam Penerapan Blueprint E-Government (Studi Kasus: Pemerintah Kota Balikpapan),” Universitas Gadjah Mada,

Dan pada pasien psikotik gelandang dapat dipengaruhi karena perilaku kekerasan dan dapat Dan pada pasien psikotik gelandang dapat dipengaruhi karena perilaku kekerasan dan

Posted at the Zurich Open Repository and Archive, University of Zurich. Horunā, anbēru, soshite sonogo jinruigakuteki shiten ni okeru Suisu jin no Nihon zō. Nihon to Suisu no kōryū

bantuan - Fasilitasi pelaksanaan kegiatan Bantuan peralatan Pelaksanaan kegiatan - Bantuan peralatan 2009 2008 PROP DITJEN IATT. SINERGI PROGRAM KETERANGAN PROPINSI KEGIATAN