SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
A. YUSNIDAR NOVIANTI 105431104016
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN 2021
ii
iii
iv
Saya yang bertanda tangah di bawah ini:
Nama : A. Yusnidar Novianti NIM : 105431104016
Jurusan : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Judul Skripsi : Eksistensi Pemmali Dalam Mendidik Anak Pada Keluarga Bugis di Desa Polewali Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya ajukan di depan tim penguji adalah hasil karya saya sendiri dan bukan hasil ciptaan orang lain atau dibuatkan oleh siapapun.
Demikian pernyataan ini saya buat dan bersedia menerima sanksi apabila pernyataan ini tidak benar.
Makassar, Agustus 2021 Yang Membuat Pernyataan
A. Yusnidar Novianti
v
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
SURAT PERJANJIAN Saya yang bertanda tangah di bawah ini:
Nama : A. Yusnidar Novianti NIM : 105431104016
Jurusan : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Judul Skripsi : Eksistensi Pemmali Dalam Mendidik Anak Pada Keluarga Bugis Di Desa Polewali Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone
Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:
1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai penyusunan skripsi ini, saya akan menyusun sendiri skripsi saya (tidak dibuatkan oleh siapapun).
2. Dalam menyusun skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan pembimbing yang telah ditetapkan oleh pembimbing fakultas.
3. Saya tidak akan melakukan penjiplakan (Plagiat) dalam penyusunan skripsi.
4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti pada butir 1, 2, dan 3 saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.
Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.
Makassar, Agustus 2021 Yang Membuat Pernyataan
A. Yusnidar Novianti
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Setiap masa ada waktunya, kalau hari ini tidak berjalan baik, Hari esok masih ada harapan untuk berjalan baik.
Hal yang paling penting adalah semangat, berusaha dan berdoa Sampai kamu berhasil menggapai titik kesuksesan
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (QS. Al Insyirah: 5-6).
Kupersembahkan karya ini buat:
Kedua orang tuaku, saudaraku, dan sahabatku,
Atas keikhlasan dan doanya dalam mendudkung penulis
Mewujudkan harapan menjadi kenyataan.
vii
ABSTRAK
A. Yusnidar Novianti. 2021. Eksistensi Pemmali Dalam Mendidik Anak pada Keluarga Bugis di Desa Polewali Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone. Skripsi. Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Andi Sugiati dan pembimbing II H. Nurdin.
Masalah utama dalam penelitian ini yaitu Bagaimana eksistensi pemmali dalam mendidik anak pada keluarga bugis di Desa Polewali Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi pemmali dalam mendidik anak pada keluarga Bugis di Desa Polewali Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data pada peneltian ini adalah observasi, wawancara dan dokumentasi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemmali adalah hasil pemikiran orang- orang terdahulu dalam menyikapi dan memaknai kehidupan secara arif dan bijaksana sehingga pemmali diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Pemmali bermakna baik yang mengajarkan nilai moral dan etika dalam bertingkah laku.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemmali di Desa Polewali masih ada yang menggunakan pemmali dalam mendidik anak pada keluarga Bugis Bagi masyarakat tertentu masih ada yang tetap mempertahankan dan melaksanakan pemmali karena telah menjadi keyakinan yang dipercaya dan dianggap benar selama berabad-abad mulai dari nenek moyang mereka, sedangkan adanya orang- orang yang tidak mempercayai pemmali adalah orang-orang yang menganggap pemmali sebagai sebuah mitos yang tidak seharusnya dipercaya karena mereka menganggap hal tersebut bertentangan dengan apa yang telah menjadi petunjuk dan pedoman hidup, dalam pandangan yang tegas mengingat bahwa pemmali sebenarnya hanyalah keyakinan dari orang-orang masa lalu yang faktanya belum jelas dan belum diketahui kebenarannya.
Kata Kunci: Eksistensi, pemmali, keluarga bugis
viii
ABSTRACT
A. Yusnidar Novianti. 2021. The Existence of The Government in Educating Children in the Bugis Family in Polewali Village of Sibulue District of Bone Regency. Thesis.
Department of Pancasila Education and Citizenship Faculty of Teacher Training and Education, University of Muhammadiyah Makassar. Mentor I Andi Sugiati and mentor II H. Nurdin.
The main problem in this study is how the existence of practitioners in educating children in bugis families in Polewali Village sibulue district of Bone Regency. This research aims to find out the existence of practitioners in educating children in bugis families in Polewali Village of Sibulue District of Bone Regency. This type of research is qualitative descriptive research. The data collection techniques on this study are observation, interview and documentation.
The results of this study show that the practice is the result of the thoughts of the previous people in responding and interpreting life wisely and wisely so that the practice is passed down through generations from one generation to the next. Practice means good that teaches moral and ethical values in behaving.
Based on the results of the above research it can be concluded that the practitioners in Polewali Village still exist who use the practice in educating children in the Bugis family For certain communities there are still maintaining and carrying out the practice because it has been a belief that is believed and considered true for centuries starting from their ancestors,asthere arepeople who do not believe in the practice are people who consider the practice as a myth that should not be believed because they consider it contrary to what has been a guide and guidelines of life, in a firm view considering that the practice is actually just the belief of past people whose facts are not yet clear and not yet known.
Keywords: Eksistensi, pemmali, bugis family
ix
KATA PENGANTAR
Allah Maha Penyayang dan Pengasih, demikian kata untuk mewakili atas segala karunia dan nikmat-Nya. Jiwa ini takkan henti bertahmid atas anugerah pada detik waktu, deyut jantung, gerak langkah, serta rasa dan rasio pada-Mu, Sang Khalik. Skripsi ini adalah setitik dari sederetan berkah-Mu. Salam dan shalawat kepada baginda Rasulullah Muhammad saw, keluarga, sahabat, serta pengikutnya yang tetap memegang teguh risalah yang disematkan di pundaknya, menjadi spirit kemanusiaan dan teladan terbaik manusia dalam memahami dan menjalani kehidupan ini.
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Eksistensi Pemmali dalam Mendidik Anak pada Keluarga Bugis di Desa Polewali Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone. Karya tulis yang sederhana ini diajukan sebagai persyaratan untuk mendapatakan gelar Sarjana di Universitas Muhammadiyah Makassar.
Motivasi dari berbagai pihak sangat membantu dalam perampungan tulisan ini.
Segala rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua,
Ayahanda Andi Muh. Yusuf dan Ibunda Darmawati yang telah berjuang, berdoa,
mengasuh, membesarkan, mendidik, dan membiayai penulis dalam pencarian ilmu
dalam penyusunan skripsi ini. Demikian pula, penulis mengucapkan terimakasih kepada
Dr. Andi Sugiati, M.Pd., pembimbing I dan Drs. H. Nurdin, M.Pd., pembimbing II,
yang telah memberikan bimbingan, arahan serta motivasi sejak awal penyusunan
proposal hingga selesainya skripsi ini.
x
Penulis mengucapkan terimakasih kepada; Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag., Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.Kepada Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph.D., Dekan Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Kepada Dr. Muhajir, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Muhammadiyah Makassar. Serta seluruh dosen dan staf pegawai dalam lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membekali penulis dengan serangkaian ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para sahabat dan teman-teman yang selalu menemani dalam suka dan duka dalam segala kebersamaan, yang tak henti memberikan motivasi dan saran kepada penulis. Serta untuk diri saya sendiri yang mau dan mampu bertahan, berjuang, berusaha sekuat yang saya bisa, tidak menyerah walau banyak rasa dan godaan yang datang untuk berhenti, terimakasih karena sudah mau bertahan untuk tetap kuat.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa mengharapkan kritikan dan saran dari berbagai pihak, selama saran dan kritikan tersebut sifatnya membangun karena penulis yakin bahwa suatu persoalan tidak akan berarti sama sekali tanpa adanya kritikan. Mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi para pembaca, terutama bagi diri pribadi penulis. Amin.
Billahifisabililhaq fastabiqul khairat.
Makassar, Agustus 2021
A. Yusnidar Novianti
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
SURAT PERNYATAAN ... iv
SURAT PERJANJIAN ... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9
A. Landasan Teori ... 9
1. Definisi Eksistensi ... 9
2. Pengertian Tradisi Pemmali ... 10
3. Masyarakat Bugis ... 19
4. Kajian Pustaka (Penelitian Terdahulu) ... 24
B. Kerangka Pikir ... 26
BAB III METODE PENELITIAN ... 28
A. Jenis Penelitian ... 28
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28
C. Data dan Sumber Data ... 29
1. Sumber Data Primer ... 29
xii
2. Sumber Data Sekunde ... 29
D. Informan Penelitian ... 29
E. Instrumen Penelitian ... 30
F. Teknik Pengumpulan Data ... 31
G. Teknik Analisis Data ... 32
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 34
B. Deskripsi Informan ... 44
C. Hasil Penelitian ... 46
D. Pembahasan ... 61
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 64
A. Kesimpulan ... 64
B. Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 66 LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1 Jumlah Penduduk Desa Polewali Menurut Jenis Kelamin……….40
4.2 Kelompok Umur Berdasarkan Usia Sekolah………..41
4.3 Sarana Pendidikan Desa Polewali………..42
4.4 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Polewali Kecamatan Sibulue Kabupaten
Bone……….43
4.5 Karakteristik Informan Menurut Umur Dan Jenis Kelamin………..46
4.6 Hasil observasi yang masih menerapkan pemmali dalam mendidik anak di Desa
Polewali………...48
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Gambar Bagan Kerangka Pikir………...27
1.1 Gambar Luas Daerah Menurut Kecamatan di Kabupaten Bone………35
3.1 Gambar Jumlah Penduduk Kabupaten Bone Berdasarkan Jumlah Kecamatan….36
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Dalam kamus Bahasa Indonesia tahun 2008 kata budaya berarti pikiran: akal budi. Dari pengertian tersebut budaya dapat diartikan suatu hasil pikiran dan akal budi manusia dalam mengatur kehidupannya. Budaya terdiri dari cara hidup orang menciptakan dalam suatu kelompok tertentu atau masyarakat. Cara hidup ini sangat kompleks, mereka menjadi ada dan akan berubah sebagai orang berjuang atas apa yang penting dalam kehidupan mereka, bagaimana melakukan sesuatu dan bagaimana memahami pengalaman mereka. Budaya bukanlah sesuatu yang dipaksakan oleh beberapa orang pada orang lain: lebih tepatnya, itu adalah ciptaan orang-orang berinteraksi dengan satu sama lain. Ini mencakup semua ciptaan secara sosial, cara berfikir, merasa, dan bertindak yang muncul dalam kelompok-kelompok tertentu saat masyarakat mencoba untuk bertahan hidup, memenuhi kebutuhan mereka, dan mencapai rasa signifikansi dalam proses.
“Sebagaimana suku-suku yang ada di nusantara ini, suku bugis atau Ugi adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertamadari daratan Asia tepatnya Yunan.
Kata ‘Bugis’ berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis, (Andi Rasdiyanah, 2014: hlm. 59).”
“Suku Bugis merupakan suku terbesar yang mendiami pulau Sulawesi Selatan, dan dalam sepanjang sejarahnya, telah menyebar ke berbagai daerah di Inonesia bahkan berdiaspora ke mancanegara (Rahim. 2011: hlm. 1).”
“Dalam pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD
NKRI) Tahun 1945 menyebutkan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat
dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Kebudayaan Nasional Indonesia adalah keseluruhan proses dan hasil interaksi antar-kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia. Sesuai dengan isi Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Pasal 1 Ayat (1) Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat.
“Kebudayaan “cultuur” (bahasa belanda) “culture” (bahasa inggris) berasal dari perkataan Latin “Colore” yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”. Dilihat dari sudut bahasa indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta “Buddhayah”, yaittu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Adapun ahli antropologi yang memberikan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah E.B. Taylor dalam buku yang berjudul “Primitive Culture”, bahwa kebudayaan adalahg keseluruhan kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.”
“J.P.H. Dryvendak mengatakan bahwa kebudayaan adalah kumpulan dari cetusan jiwa manusia sebagai yang beraneka ragam berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Disamping definisi-definisi di atas, masih ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar Indonesia seperti:
Prof. Dr. Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tatakelakuan yang harus didaptanya dengan belajar.”
Kebudayan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-
benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa,
peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya
ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat. Dengan demikian, kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan
sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung
kebudayaan tersebut. Karena dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Tradisi adalah sesuatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah terbentuk sebagai norma yang dibekukan dalam kehidupan masyarakat (Ghazali, 2011:32). Setiap masyarakat memiliki kebudayaan. Dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan merupakan hal yang sangat diperlukan. Kebudayaan merupakan pedoman dalam penyelenggaraan berbagai aktivitas kehidupan (Dr. Eko Handoyo, M. Si., dkk.2015: 56).
Sejak dahulu, masyarakat Bugis Sulawesi Selatan dikenal memiliki keragaman budaya yang bernilai tinggi dan ciri khas yang berbeda-beda. Keragaman budaya yang dimaksud, berupa pengetahuan tradisional, cerita rakyat, ungkapan tradisioanl, makanan tradisional, senjata tradisisonal, arsitektur, pakaian adat, dan tradisi upacara ritual, hingga mitos daerah. Keragaman budaya itu masih bisa dijumpai pada era sekarang ini yang tentunya mengandung sejuta makna untuk dijadikan sebagai pola dasar dalam membentuk sebuah kepribadian yang lebih baik.
Suatu kelompok masyarakat memiliki cara tersendiri dalam melakukan adat mereka.
Corak atau cara itu dapat dijumpai dalam berbagai bentuk yang diantaranya berupa nyanyian sakral, gerak-gerik serta kaya akan makna yang dapat dijadikan sebagai ajaran moral dalam menjalankan aktivitas kehidupan. Pada umumnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya berupa niali sosial, nilai moral, dan nilai religius.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa kehadiran suatu adat istiadat dalam masyarakat
menjadi media dalam mengeksplor dan memperkukuh nilai-nilai lokal masyarakat.
Berbicara tentang suku Bugis berarti berbicara mengenai banyak hal yang berkaitan dengan suku Bugis antara lain adat, sistem budaya, tradisi, norma-norma, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan dilestarikan oleh masyarakat suku Bugis tersebut yang juga merupakan sebuah kearifan lokal dan masih terjaga hingga saat ini.
Dalam masyarakat Suku Bugis terdapat berbagai norma-norma setempat yang berlaku, merupakan tradisi turun-temurun dan disampaikan dalam bentuk lisan yang biasa disebut dengan folklor. George dan Michael (1995) mengemukakan bahwa folklor meliputi legenda, musik, sejarah lisan, pepatah, lelucon, takhayul, dongeng, dan kebiasaan yang menjadi tradisi dalam suatu budaya, subkultur, atau kelompok. Folklor juga merupakan serangkaian praktik yang menjadi sarana penyebaran berbagai tradisi budaya.
Folklor dalam masyarakat Bugis biasanya ditransmisikan dari satu generasi ke generasi lainnya meliputi penuturan lisan. Penuturan lisan demikian lazim disebut sastra lisan. Jumlah folklor dalam masyarakat Bugis cukup banyak. Salah satu jenisnya ialah pemmali, jenis folklor tersebut merupakan warisan budaya yang menggambarkan masyarakat Bugis di masa lalu. Warisan budaya tersebut dijadikan sebagia pedoman, falsafah, dan nilai-nilai yang mencerminkan watak dan peradaban masa lalu (Syekhu, 2009).
Pemmali merupakan salah satu bentuk sastra lisan dalam suku Bugis yang
merupakan pernyataan larangan melakukan aktivitas bagi masyarakatnya, sebab
diyakini jika melanggar akan menerima akibat yang tidak dikehendaki. Dalam
praktiknya, pemmali ini sering dihubungkan dengan takhayul dan kepercayaan
terhadap alam gaib saja. Sehingga menyebabkan banyak anggapan bahwa pemmali merupakan perbuatan syirik yang menyekutukan Allah. Anggapan ini muncul karena adanya keyakinan bahwa yang selain sang Pencipta dipercaya bisa memberi akibat baik dan buruk.
Pemmali memiliki fungsi dan kedudukan di masyarakat sebagai seni bertutur yang bersifat suci dan sakral. Pemmali menjadi bagian adat-istiadat yang selalu berada dalam ingatan masyarakat. Secara umum pemmali menggunakan untaian kata yang indah dan tinggi nilainya. Untaian kata-kata dalam pemmali mengandung arti dalam makna simbolik. Pemmali biasnya dituturkan oleh orang tua kepada anak, kakak kepada adiknya, suami kepada istrinya, dan lain sebagainya.
Pemmali muncul apabila seseorang melakukan yang tidak sesuai dengan adat, dianggap melanggar etika, dan perbuatan lainnya yang dianggap tidak pantas.
Masyarakat Bugis menggunakan pemmali sebagai pengendaian diri dalam bertindak. Pemmali diwariskan secara turun-temurun akibat adanya pengalaman masa lalu dan kebiasaan-kebiasaan yang dihubungkan dengan kejadian yang menimpanya. Meskipun kejadian yang dialami terjadi hanya karena kebetulan saja, tetap diyakini sebagai ganjaran atas pelanggaran terhadap pemmali.
Pemmali sebagai folklor yang dituturkan dari mulut ke mulut hanya akan
bertahan seiring eksistensi masyarakat bugis. Saat ini minat masyarakat, khususnya
generasi muda Bugis untuk mendalami, menjaga dan memahami nilai yang
terkandung dalam pemmali. Permasalahan lain adalah tidak terdokumentasinya
secara baik pemmali yang ada dalam masyarakat Bugis.
Seiring perkembangan zaman dengan mudahnya budaya barat (asing) masuk ke Indonesia melalui kecanggihan teknologi komunikasi (televisi, handphone, internet, sosial media, gadget) yang semakin menjamur. Yang mengakibatkan gambar-gambar vulgar, film porno, games yang berbau kekerasan juga semakin mudah di dapatkan bahkan ditonton oleh anak yang usianya belum cukup umur.
Alhasil, sex bebas, narkoba, perilaku komsumtif, individualis dapat mempengaruhi kehidupan anak nantinya dan terciptahlah generasi-generasi yang tidak mencerminkan jati diri bangsa. Generasi berperilaku kasar, tidak menghargai orangtua, acuh tak acuh, pembangkang, egois, tidak mempunyai rasa empati dan lain sebagainya.
Hal ini mengakibatkan fenomena kehidupan kemasyarakatan di Sulawesi Selatan khususnya pada masyarakat Suku Bugis akhir-akhir ini cenderung tidak lagi menunjukkan ciri sebagai kontinuitas dari nilai-nilai budaya Bugis masa lalu. Dan nilai-nilai utama kebudayaan Bugis tidak lagi “membumi” tidak lagi memiliki vitalitas di dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dewasa ini (Rahim, 2012).
Melihat siklus perkembangannya, kepercayaan tentang pemmali yang selama ini hidup dan berkembang dimasyarakat Bugis Desa Polewali Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone, berangsur-angsur menghilang, seiring dengan arus modernisasi.
Kepercayaan seperti itu semenjak zaman nenek moyang diyakini masyarakat bahwa
bila melanggar aturan pemmali bisa terkena imbasnya atau ganjaran dari perbuatan
yang telah dilanggarnya misalnya imbasnya itu berupa penyakit gatal-gatal, sakit
kepala, sakit perut sampai sulit mendapatkan rezeki bahkan sulit mendapatkan jodoh dan lain sebagainya.
Menyikapi hal tersebut, orangtua dan keluarga sebagai organisasi pertama seorang anak ketika dalam masa pertumbuhan, memiliki peranan penting dalam mendidik, membentuk karakter anak, dan menanamkan nilai-nilai/moral yang berlaku dalam masyarakat agar terlahir generasi berbudi pekerti luhur.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul penelitian: Eksistensi Pemmali dalam Mendidik Anak pada Keluarga Bugis di Desa Polewali Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan penelitian, maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana eksistensi pemmali dalam mendidik anak pada keluarga Bugis di Desa Polewali Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui eksistensi penggunaan pemmali dalam mendidik anak pada keluarga Bugis di Desa Polewali Kecamatan Sibulue Kabupaten Bone.
D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi bermanfaat yaitu:
a. Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang Pemmali.
b. Sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pemmali dan contoh-contoh pemmali
2. Manfaat Praktis a. Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman langsung mengenai pemmali yang ada dalam masyarakat bugis
b. Masyarakat/pembaca
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi renungan dan masukan
bagi masyarakat tentang larangan diterapkannya pemmali karena
bertentangan dengan ajaran agama islam dan dikhawatirkan akan
menjerumuskan masyarakat kepada kesyirikan.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori
1. Definisi Eksistensi
Eksistensi berasal dari kata bahasa latin existere yang artinya muncul, ada, timbul, memiliki keberadaan aktual. Existere disusun ex yang artinya keluar dan sistere yang artinya tampil atau muncul. Terdapat beberapa pengertian tentang eksistensi yang dijelaskan menjadi empat pengertian. Pertama, eksistensi adalah apa yang ada. Kedua, eksistensi adalah apa yang memiliki aktualitas. Ketiga, eksistensi adalah segala sesuatu yang dialami dan menekankan bahwa sesuatu itu ada.
Keemp4rat, eksistensi adalah kesempurnaan.
Menurut Sjafirah dan Prasanti (2016:3-4), eksistensi di artikan sebagai
keberadaan. Dimana keberadaan yang di maksud adalah adanya pengaruh atas ada
atau tidak adanya kita. Eksistensi ini perlu diberikan orang lain kepada kita, karena
dengan adanya respon dari orang sekeliling kita ini membuktikan bahwa keberadaan
atau kita diakui. Masalah keperluan akan nilai eksistensi ini sangat penting, karena
ini merupakan pembuktian akan hasil kerja atau performa di dalaam suatu
lingkungan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa: “Eksistensi
artinya keberadaan, keadaan, adanya” (Idrus, 1996:95). Selain itu dalam Kamuss
Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa: “Eksistensi, kebendaan, adanya” (Tim
Penyusun, 2005:288).
2. Pengertian Tradisi Pemmali
Tradisi adalah kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya masyarakat bersangkutan. Tradisi anggota masyarakat berperilaku baik dalam pandangan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib dan keagaamaan. Menurut Aab, 2018 Tradisi atau kebiasaan merupakan sesuatu yang telah dijalankan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok atau masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini suatu tradisi akan punah.
Suku bugis sebagai salah satu suku terbesar di Sulawesi Selatan yang memiliki nilai kebudayaan tersendiri. Salah satu kekayaan budaya Bugis adalah tradisi pemmali. Pemmali dalam masyarakat bugis biasanya ditransmisikan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui penuturan lisan maupun dengan perbuatan.
Pemmali dalam masyarakat Bugis cukup banyak. Pemmali merupakan
warisan budaya yang menggambarkan masyarakat Bugis di masa lalu. Warisan
Budaya tersebut dijadikan sebagai pedoman, falsafah dan nilai-nilai yang
mencerminkan watak dan peradaban masa lalu. Pemmali merupakan satu bentuk
bahasa rakyat yang dimiliki suku Bugis. Pemmali adalah pantangan atau larangan
untuk berbuat dan mengatakan sesuatu. Pemmali sebagai Bahasa tradisional hingga
kini masih ada dalam masyarakat Bugis. Isi pemmali mengandung ajaran moral,
nasihat, dan petunjuk aturan atau hukum adat.
Tradisi pemmali adalah salah satu input yang terdapat dalam unsur-unsur kebudayaan. Tradisi pemmali dapat diartikan sebagai sarana mendidik kedisiplinan untuk menjadi seorang yang berwatak baik dan sopan santun terhadap yang lebih tua. Tradisi pemmali merupakan salah satu perwujudan kebudayaan dan selalu mempunyai peranan tertentu di dalam masyarakat yang menjadi pembelajaran.
Ditinjau dalam konteks kebudayaan, berbagai corak kebudayaan yang tertumpuk dari jaman ke jaman dan karena adanya berbagai lingkungan budaya yang hidup berdampingan dalam satu masa sekarang ini. Kemudian ditinjau dalam konteks kemasyarakatan, jenis-jenis tradisi pemmali tentunya mempunyai bahasa- bahasa yang tertentu sehingga mempunyai fungsi-fungsi yang berbeda di dalam kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Dengan demikian maka perubahan fungsi dan perubahan bentuk pada pengucapan tradisi pemmali dapat pula disebabkan oleh dinamika masyarakat.
Rohidi menjelaskan bahwa tradisi pemmali memberikan pedoman terhadap berbagai perilaku yang berhubungan dengan kesopanan dan kedisiplinan, yang pada dasarnya mencakup kegiatan pembelajaran terhadap pembentukan karakter yang disiplin dan baik (Rohidi Tjetjep, 2000: 11). Tradisi pemmali menjadi pedoman bagi pelaku agar tidak mengulangi kesalahan yang tidak terpuji untuk kedua kalinya, dan berdasarkan pengalamannya tersebut akan menjadi pedoman bagi pelaku untuk lebih berhati-hati terhadap tindakan yang dilakukannya.
Tradisi pemmali memberikan pedoman kepada pelaku yang melanggar adat
atau kebiasaan untuk menyerap makna dari tradisi pemmali yang diajarkan
kepadanya, dan berdasarakan pengalaman tersebut pelaku dapat mengajarkan hal-
hal demikian kepada adik, saudara, ataupun anaknya kelak yang apabila melakukan pelanggaran yang tidak terpuji, sehingga nilai keindahan dari dalam kekerabatan dan tingkah laku yang mengamalkannya dipandang baik dan sopan santun, karena pada dasarnya setiap orang selalu memperhatikan karakter dan tingkah laku seseorang dalam hal kekerabatan, pekerjaan ataupun bahkan melangsungkan pernikahan.
Namun demikian hal tersebut kembali dari setiap pemahaman masing-masing individu karena setiap tradisi dalam masyarakat tertentu memiliki suatu makna dan fungsi tertentu pula dalam lingkungan masyarakat tersebut.
Pemmali merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan larangan kepada seseorang yang berbuat dan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Pemmali dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “pemali” yang memiliki makna pantangan, larangan berdasarkan adat dan kebiasaan. Masyarakat Bugis meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemmali akan mengakibatkan ganjaran atau kutukan. Dalam hal ini pemmali memegang peranan penting sebagai media pendidikan budi pekerti (Syatir,2013).
a. Bentuk - Bentuk Pemmali
Pemmali mengadung unsur larangan atau pantangan hidup. Pemmali dalam masyarakat bugis dibagi menjadi dua bagian, yakni pemmali dalam bentuk perkataan dan pemmali dalam bentuk perbuatan.
1) Pemmali dalam bentuk perkataan
Pemmali bentuk ini berupa tuturan atau ujaran. Biasanya berupa kata-kata
yang dilarang atau pantang untuk diucapkan. Kata-kata yang pantang untuk
diucapkan disebut kata tabu. Contoh kata tabu yang merupakan bagian pemmali berbentuk perkataan misalnya Gunturu (guntur), balawo (tikus). Kata-kata tabu seperti di atas jika diucapkan diyakini akan menghadirkan bencana atau kerugian.
Contohnya, menyebut kata balawo (tikus) dipercaya masyarakat akan mengakibatkan gagal panen karena serangan hama tikus.
Untuk menghindari penggunaan kata-kata yang tidak dipahami anak dalam berkomunikasi, masyarakat Bugis menggunakan pengandaian sebagai ungkapan kata yang lebih halus. Misalnya, kata punna tanah “penguasa tanah” digunakan untuk menggantikan kata balawo, punna uwae “penguasa air” digunakan untuk menggantikan kata buaja.
2) Pemmali dalam bentuk perbuatan
Pemmali dalam bentuk perbuatan atau tindakan merupakan tingkah laku yang dilarang untuk dilakukan guna menghindari datangnya bahaya, karma atau berkurangnya rezeki. Sanksi negatif tersebut tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga dapat menimpa atau berdampak kepada orang lain. Ada beberapa contoh pemmali dalam bentuk perbuatan yakni sebagai berikut:
a) Pemmali ijello coppo bolana gurutta, nasaba madorakaki artinya tidak boleh menunjuk atap rumah guru kita, sebab akan durhaka.
Orang tua Bugis senantiasa mengajarkan kepada anaknya untuk menghargai figur guru. Jika menunjuk atap rumah seorang guru saja bermakna dosa apalagi jika membantah atau tidak mendengarkan nasehatnya.
Dalam budaya Bugis, guru yang lazim disebut Gurutta merupakan sosok
tauladan yang menjadi inspirasi bagi perilaku keseharian masyarakat. Dengan
demikian, adat sopan santun dan penghargaan terhadap guru “mappakalebbi”
telah diajarkan oleh orang tua sejak dini kepada anak-anaknya.
b) Pemmmali mabbaju cella’ narekko bosiwi, nasaba’ nakennaki lette artinya tidak boleh memakai baju merah Ketika hujan, sebab akan disambar petir.
Orang tua bugis melarang anaknya memakai pakaian merah ketika kilat dan guntur. Warna merah identik dengan warna petir sehingga pakaian tersebut harus diganti ketika cuaca mendung. Dalam tradisi Bugis, warna merah merupakan salah satu warna favorit yang menandakan keberanian.
Lebih jauh, makna yang terkandung dalam larangan tersebut adalah orang tua Bugis menginginkan anaknya yang sementara asyik bermain untuk kembali ke rumah bilamana hujan turun. Dengan demikian, terkandung nilai kehati- hatian dalam larangan tersebut.
c) Pemmali isesa nanrewe, madorakaki artinya tidak boleh menyisahkan makanan, sebab akan durhaka.
Orang tua Bugis senantiasa mengajarkan anaknya untuk menghabiskan makanan, sebab bila tidak akan durhaka (kepada Allah SWT).
Dalam konstruk nalar Bugis, mereka percaya bahwa nasi yang dimakan
terdapat berkah di dalamnya. Jangan sampai berkah tersebut terbuang pada
nasi yang tersisa. Jika itu terjadi, maka makanan yang masuk tidak
memberikan berkah dan dapat menyebabkan manusia sakit. Tentu saja
keyakinan ini sejalan dengan konsep agama, yakni dilarang membuang
makanan (mubazir). Hanya saja dalam budaya Bugis bahasa mubazir diganti
dengan bahasa durhaka. Dengan demikian, larangan tersebut mengandung
nilai adat makan, tidak bersifat mubazir, dan mencari keberkahan Tuhan dalam segala aktivitas kehidupan.
d) Pemmali tudangi angkalulunge, nasaba’ malettakki artinya tidak boleh menduduki bantal sebab akan bisulan.
Orang tua Bugis senantiasa mengajarkan kepada anaknya agar tidak duduk di atas bantal sebab bantal adalah tempatnya kepala dan kepala memiliki derajat yang paling tinggi dalam perspektif budaya Bugis. Jika dalam budaya Eropa memegang kepala bermakna positif namun dalam budaya Bugis justru sebaliknya. Memegang kepala dapat dimaknai penghinaan yang lazim dikenal “patuwa-tuwai”. Pemilihan konsekuensi
“bisulan” pada dasarnya tidak memiliki hubungan langsung dengan perilaku duduk di atas bantal. Namun konsekuensi yang dipilih tersebut sangat efektif bagi anak. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua Bugis memahami bahwa makna “bisul” sudah mampu dicerna oleh anak daripada menjelaskan makna
“derajat kepala”.
Dari larangan ini disimpulkan mendidik anak dengan larangan harus sesuai dengan kemampuan dan pemahaman anak. Di samping itu, makna terdalam adalah “menempatkan sesuatu pada tempatnya”. Bantal adalah tempat kepala dan bukan pantat. Menempatkan sesuatu pada tempatnya akan berbekas pada diri anak hingga dewasa sehingga mampu membentuk karakter anak sejak dini.
e) Pemmali maccule ko mangaribi, nasaba’ neleppoki setang artinya tidak
boleh bermain menjelang magrib, sebab akan ditabrak setan.
Orang tua Bugis senantiasa mengawasi perilaku anaknya termasuk kapan dan dimanaanak boleh bermain. Pola pengawasan tersebut dimaksudkan untuk mendisiplinkan anak dan memahami manajemen waktu.
Magrib merupakan waktu beribadah kepada Tuhan, sehingga anak harus berhenti bermain dan kembali kerumahnya untuk beribadah bersama orang tuanya. Pemilihan kata “setan” dianggap tepat karena anak takut kepada setan sehingga tidak ada alasan baginya untuk tetap bermain di saat magrib. Pesan yang terkandung di dalam larangan tersebut adalah pendidikan disiplin dan manajemen waktu bagi anak.
f) Pemmali makkita utu ana’ darae ri addenenge, nasaba’ mabelai jodoh na’
artinya tidak boleh mencari kutu bagi anak perempuan di tangga, sebab jodohnya akan jauh.
Orang tua Bugis mengajarkan anaknya untuk tidak mencari kutu di
tangga. Maklum konstruk rumah suku Bugis mayoritas rumah panggung
sehingga terkadang anak duduk santai di tangga. Larangan mencari kutu di
tangga merupakan bentuk kehati-hatian orang tua kepada anaknya agar
mereka tidak terjatuh di tangga. Mencari kutu di tangga dapat pula
menghalangi orang yang ingin naik ke rumah, dan dapat mendatngkan fitnah
bagi orang yang lewat serta merupakan perilaku yang tidak sopan secara
budaya. Adapun pemilihan kata “jauh dari jodoh” sangat efektif bagi anak
perempuan karena mereka takut tidak mendapatkan jodoh kelak ketika
mereka dewasa. Dengan demikian, larangan tersebut mengandung makna
kehati-hatian dan adat kesopanan bagi anak.
g) De nawedding ana darae matinro lettu tengga esso nasaba labewi dalle’na.
artinya tidak boleh seorang agdis tidur sampai tengah hari sebab rezekinya akan berlalu.
Bangun tengah hari melambangkan sikap malas. Apabila dilakukan oleh gadis, hal ini dianggap sangat tidak baik. Jika seseorang terlambat bangun, maka pekerjaannya akan terbengkalai sehingga rezeki yang bisa diperoleh lewat begitu saja. Terlambat bangun bagi gadis juga dihubungkan dengan kemungkinan mendapatkan jodoh. Karena dianggap malas, lelaki bujangan tidak akan memilih gadis seperti ini menjadi seorang istri. Jodoh ini merupakan salah satu rezeki yang melayang karena terlambat bangun.
Dari tinajuan kesehatan, bangun tengah hari dapat mengakibatkan kondisi fisik menajdi lemah. Kondisi yang lemah menyebabkan perempuan tidak bisa beraktivitas menyelesaikan kebutuhan rumah tangga. Masyarakat Bugis menempatkan perempuan sebagai pemegang kunci dalam mengurus rumah tangga. Perempuan memiliki jangkauan yang luas, misalnya mengurus kebutuhan suami dan anak.
h) Riappemaliangi matinro esso taue ri sese denapa natabbawa ujuna taumate engkae ri bali bolata. Artinya pantangan orang tidur siang jika jenazah yang ada di tetangga kita belim diberangkatkan ke kuburan.
Pemmali ini menggambarkan betapa tingginya penghargaan
masyarakat Bugis terhadap sesamanya. Jika ada tetangga yang meninggal,
masyarakat diharapkan ikut mengurus. Masyarakat biasanya berdatangan ke
tempat jenazah disemayamkan untuk memberikan penghormatan terakhir dan
sebagai ungkapan turut berduka cita bagi keluarga yang ditinggalkan.
Masyarakat yang tidak dapat melayat jenazah karena memiliki halangan dilarang untuk tidur sebelum jenazah dikuburkan. Mereka dilarang tidur untuk menunjukkan perasaan berduka atau berempati dengan suasana duka yang dialami keluarga orang yang meninggal.
i) Pemmali kalloloe manrewi passampo nasaba iyaro ipancajiwi passampo siri. Artinya tidak boleh bagi remaja laki-laki menggunakan penutup sebagai alat makan sebab ia akan dijadikan penutup malu.
Laki-laki yang menggunakan penutup benda tertentu (penutup rantangan, panci, dan lainnya) sebagai alat makan akan menjadi penutup malu. Penutup malu maksudnya menikahi gadis yang ahmil di luar nikah akibat perbuatan orang lain. Meskipun bukan dia yang menghamili, namun dia yang ditunjuk untuk menikahi atau bertanggung jawab. Inti pemmali ini adalah memanfaatkan sesuatu sesuai fungsinya.
Menggunakan penutup (penutup benda tertentu) sebagai alat makan
tidak sesuai denagn etika makan. Penutup bukan alat makan. Orang yang
makan dengan penutup merupakan orang yang tidak menaati sopan santun
dan etika makan. Akibat lain yang ditimbulkan jika menggunakan penutup
sebagai alat makan adalah debu akan terbang masuk ke makanan. Akhirnya,
makanan yang ada di wadah tertentu menjadi kotor karena tidak memiliki
penutup. Hal ini sangat tidak baik bagi kesehatan karena dapat mendatangkan
penyakit.
j) Pemmali mattula’ bangi tauwe nasaba macilakai artinya tidak boleh bertopang dagu, sebab akan celaka.
Orang tua Bugis mengajarkan anaknya untuk tidak bertopang dagu, sebab bertopang dagu mengindikasikan orang tersebut memiliki sifat malas, santai, tidak mau bekerja, dan hanya menunggu uluran tangan orang lain.
“mattula bangi” merupakan perilaku negatif dan tak seharusnya dilakukan menurut budaya Bugis. Mattula bangi’ juga mengindikasikan sifat keangkuhan dan kesombongan yang semestinya hanya dimiliki oleh Tuhan.
Tidak ada pembenaran bagi manusia untuk berlaku angkuh dan sombong dalam kehidupannya. Dengan demikian, nilai yang terkandung dalam larangan tersebut adalah menuntut kreativitas anak sejak dini dan bersikap rendah hati.
3. Masyarakat Bugis
1. Asal Usul Masyarakat Bugis
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutoro.
Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang bugis. Penamaan
“Ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana,
Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpungi. Ketika rakyat La Sattumpungi
menanamkan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki
dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpungi. La
Sattumpungi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah
dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan
melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar I dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Saweragading juga dikenal dalam tradisi masyarakat luwuk, Kili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi Selatan seperti Buton.
Orang bugis merupakan salah satu dari etnis besar yang mempunyai bahasa serta aksara sendiri, serta menempati beberapa kabupaten atau kota yang berada di Sulawesi Selatan. Suku Bugis ini mendiami beberapa tempat seperti Kabupaten Bone, Soppeng, Pare-pare, Barru, Luwu, serta Sidenreng Rappang (Sidrap) Kabupaten/kota tersebut sering kali di identikkan sebagai wilayah bagi masyarakat Bugis.
Ketika membicarakan tentang masyarakat Bugis, maka juga akan
membicarakan masyarakat dalam konteks sejarah Sulawesi Selatan sebab keduanya
mempunyai mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Dalam sejarah lama Sulawesi
Selatan mengatakan, bahwa penghuni pertama di daerah Sulawesi Selatan adalah
orang-orang yang dikenal dengan sebutan “Toale” yang mempunyai makna orang-
orang yang bermukim dihutan atau penghuni hutan. Edward L. Poelinggomang
menggambarkan tentang sebuah peta lama Sulawesi Selatan yang dibuat oleh orang
Portugis berdarah Bugis yang bernama Gidindo de Eredia, kemudian ibunya
bernama putri Datu Suppa (Halilintar Lathief: 2005 Hal. 15-16).
2. Konsep Budaya Dalam Masyarakat Bugis
Dalam kehidupan masyarakat Bugis, penerapan ade’(budaya) harus dilakukan secara langsung agar mampu membentuk etika dan moral anak dengan baik. Bentuk-bentuk ade’ yang digunakan dalam memberikan bimbingan kepada anak yaitu ade’ ada-ada/ bicara (ucapan) dan ade’ gau/kedo-kedo (tingkah laku).
Ada’ atau kata dapat digunakan manusia sebagai cara untuk mengungkapkan perasaan atau fisik fikiran terhadap suatu benda atau tindakan, ada mappabati gau mengandung arti bahwa apa saja yang diucapkan oleh seorang manusia harus sesuai dengan tindakannya. Bagi masyarakat Bugis, kesesuaian antara kata dan perbuatan (ada’ na gau) adalah bukti bahwa dia manusia (tau). Oleh karena itu, seseorang yang tidak menyelaraskan antara perkataan dan perbuatannya berarti telah melanggar etika dan martabat sebagai manusia. “ia ada ia gau, taro ada taro gau”
merupakan pendirian masyarakat Bugis untuk selalu menyesuaikan antara perkataan dan perbuatan.
Masyarakat Bugis-Makassar sangat mengedepankan dan menjaga nilai-nilai
kekeluargaan dan sistem kekerabatannya, walaupun zaman telah modern namun
penghormatan kepada orang yang berstrata maupun kepada orang yang lebih tua
masih terjaga. Inilah penyebab tradisi dalam masyarakat Bugis-Makassar itu masih
terjaga. Suku Bugis-Makassar terikat akan suatu sistem budaya yang dinamakan
pangaderreng, yang menjadi acuan individu bagi kehidupan sosialnya, mulai dari
kehidupan rumah tangga hingga mencakup kehidupan yang lebih luas sebagai
kelompok etnik. Inti dari sistem budaya ini yaitu apa yang dinamakan siri’ dan
pesse’. Hal ini disebakan sistem budaya tersebut dapat memberi pengaruh pada
kekuatan karakter yang berhubungan dengan kebahagiaan yang mereka rasakan.
Karakter keluarga-keluarga Bugis menjurus kearah setiap keluarga menginginkan adanya penjagaan akan nilai dan nama baik keluarga, karakter keluarga Bugis yang sangat memperhatikan unsur estetika dalam nilai keindahan dalam kekerabatan dan tingkah laku bukan hanya dengan keluarga sendiri akan tetapi dengan seluruh aspek baik dalam lingkungan pergaulan dan keseharian. Dalam hal ini, karakter keluarga Bugis dibandingkan dengan keluarga lain memiliki perbedaan. Keluarga Bugis memiliki aturan yang nilai kesakralannya sangat tinggi, sehingga dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari sangat menjunjung kehati-hatian.
Karakter keluarga bugis menurut kebanyakan orang bersifat otoriter. Namun sifat otoriter yang dimaksud bukan otoriter dalam arti sebenarnya, melainkan kedisiplinan dan keteladanan untuk melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya atau diluar kebiasaan suku Bugis tersebut atau biasanya disebut dengan pemmali/pemali, begitupun dengan cara mendidik anaknya. Keotoriteran masyarakat Bugis juga dalam pemaknaan diatas, kedisiplinan yang ketat mengajarkan anak agar menjadi orang-orang yang cepat mandiri atau dapat mengatur hidupnya sendiri, kedisiplinan juga menjadi bekal moral kepada anak agar dapat lebih bertanggung jawab dan berfikir positif dalam kehidupan sehari-harinya (Wahyuni, 2015: Hal. 82-84).
Bekal yang tergambar dalam etos kedisiplinan masyarakat Bugis adalah
budaya siri atau bagaimana menjaga nama baik keluarga. Dalam hal ini nilai-nilai
yang ditanamkan adalah bagaimana pola pemikiran anak dan proses orang tua
memberikan pengertian membuat anak menjadi pribadi yang lebih baik, bagaimana
mendapat kepekaan sosial dan kesadaran diri yang tinggi. Ada juga pola didik yang
mengutamakan kebersamaan, seperti etika makan yang mengandung nilai-nilai kebersamaan, nilai senang, susah yang dirasakan secara Bersama-sama dan masih banyak aspek lainnya.
Mendidik anak dalam Budaya Bugis-Makassar juga dipengaruhi oleh mitos atau dalam bahasa Bugis disebut pemmali/pamali. Pemmali sebagai salah satu sikap tutur budaya Bugis-Makassar, adalah ungkapan yang bersifat spontan, sebagai bentuk pelarangan yang menekankan kepada kejiwaan untuk tidak melakukan hal yang dilarang (diappemaliang/yappemaliang). Pemmali berkaitan erat dengan pappaseng. Pappaseng merupakan nasehat hidup atau pelajaran hidup yang lahir dari penjelajahan hidup yang disampaikan lewat karya-karya sastra dan merupakan salah satu nilai ekspresi budaya suku Bugis-Makassar. Akan tetapi, pemmali juga sebagai pesan yang terdapat larangan yang sangat menekan sebab diikuti oleh sanksi meskipun terkadang sanksinya berbentuk gaib.
3. Hakikat Pemmali Dalam Keluarga Bugis
Pemmali dalam masyarakat bugis merupakan nilai budaya yang syarat
dengan muatan pendidikan. Pemmali sangat kaya nilai luhur dalam pergaulan, etika,
kepribadian, dan sopan santun. Melihat tujuannya yang begitu luhur, pemmali
merupakan nilai budaya bugis yang mutlak untuk terus dipertahankan (Agung,
2010). Pemmali dapat diartikan sebagai salah satu aspek budaya yang merupakan
hasil kreatifitas masyarakat dalam membangun tatanan sosial yang diadopsi dari
nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya dalam setiap keluarga Bugis. Pemmali dapat pula dimaknai sebagai
bentuk kehati-hatian masyarakat dengan belajar dari masa lalu sehingga kejadian masa lalu tidak terulang di masa yang akan datang.
Pemmali merupakan bagian dari simbol yang memiliki makna dan pesan- pesan yang terkandung di dalamnya lalu individu berusaha memaknai dan mempelajarinya ketika berinteraksi juga pada saat proses sosialisasi. Simbol dalam hal ini adalah bahasa atau kata-kata yang terkandung dalam pemmali atau dengan kata lain, didalam terkandung banyak makna dari simbol yang terpresentasikan.
Kata-kata adalah simbol karena digunakan untuk menggantikan sesuatu yang lain, kata-kata membuat seluruh simbol yang ada lain menjadi tepat. Tindakan, objek, dan kata-kata lainnya hanya mempunyai makna karena telah dapat dideskripsikan melalui penggunaan kata-kata.
4. Kajian Pustaka (Penelitian Terdahulu)
Kajian Pustaka atau penelitian terdahulu mengenai berbagai tradisi Pemmali yang telah banyak dilakukan. Pada beberapa karya ilmiah maupun skripsi yang terkait dengan judul penelitian ini yang kemudian menjadi referensi untuk penulis diantaranya adalah:
1. Sripsi yang ditulis oleh Habib Maulana Malik H. Eksistensi Budaya Pamali
Sebagai Upaya Bimbingan Keluarga Sakinah Di Masyarakat Kampung Naga
Tasikmalaya. Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam. Fakultas
Ushuludin dan Dakwah. Istitut Agama Islam Negeri Surakarta, 2020.Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data
menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Metode analisis data
yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Adapun validasi data menggunakan triagulasi sumber data. Yang mana dalam penelitian ini menunjukkan kesamaan presepsi mengenai pamali antara kepala suku, kepala keluarga serta remaja masyarakat kampung Naga Tasikmalaya.
Hasil penelitian ini yakni mash eksisnya budaya pamali dimasyarakat kampung naga baik dari segi implementasi kehidupan serta proses bimbingan yang dilakukan secara turun temurun melalui metode pemberian contoh perilaku kepada anak sejak dini sehingga nilai budaya pamali dapat eksis hingga saat ini.
2. Skripsi yang ditulis oleh Virda Wulandari (2015) Dengan judul Eksistensi
Ungkapan Pamali Sebagai Mitos Wanita Jawa Di Kecamatan Benowo dan
Pakal, Surabaya. Universitas Airlangga. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif yang menganalisis bentuk, makna, dan eksistensi bagi wanita Jawa di
kecamatan Benowo dan Pakal, Surabaya. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif yang menghasilkan data dekskriptif berupa data tertulis
atau lisan di dalam masyarakat bahasa. Teknik pengumpulan data penelitian ini
adalah teknik cakap bertemu muka dan teknik catat. Hasil dari penelitian ini
adalah (1) ditemukannya ungkapan-ungkapan pamali yang masih eksis di
Benowo dan Pakal, diantaranya adalah ungkapan pamali bagi wanita yang
menggunakan pananda ingkar ojo, gak oleh, dan gak ilok. (2) makna ungkapan
pamali bagi wanita Jawa di Benowo dan Pakal terbagi menjadi dua macam, yaitu
makna berdasarkan bentuk dan fungsinya. (3) eksistensi ungkapan pamali di
Benowo dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu perasaan takut atau rasa
khawatir, adanya dampak nyata dari bentuk pamali tersebut, tuntutan atau
paksaan orang tua dan adanya kesadaran dari diri sendiri.
3. Skripsi yang ditulis oleh Ika Anugrah Dewi Istiana (2014) dengan “Pemmali’
sebagai Kearifan Lokal dalam Mendidik Anak pada Keluarga Bugis di Kelurahan Kalukuang Kecamatan Tallo Kota Makassar. Jurusan Sosiologi.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Hasanuddin Makassar.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan teknik observasi dan wawancara untuk mengumpulkan data. Dari penelitian ini menjelaskan bahwa, pemmali memiliki fungsi dan pemanfaatan pemmali serta tantangan dan kendala apa saja yang dihadapi dalam melestarikan pemmali. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemmali memiliki fungsi sebagai pengendalian diri dalam bertindak. Dalam proses pemanfaatannya dijadikan sebagai penanaman nilai-nilai pemmali dilakukan sejak dini kepada anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam melestarikan pemmali, ada beberapa tantangan dan kendala yang dihadapi keluarga bugis yaitu cara berfikri anak yang semakin kritis, asal usul dan sumber pemmali yang tidak diketahui.
B. Kerangka Pikir
Untuk mempermudah suatu penelitian maka perlu dibuat kerangka pikir atau
konsep dengan tujuan membuat arah penelitian lebih jelas. Pemmali merupakan
istilah yang digunakan untuk menyatakan larangan kepada seseorang yang berbuat
dan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat. Makna pemmali yaitu sebagai bentuk kehatia-hatian masyarakat dengan
belajar dari masal lalu agar tidak terulang ke masa yang akan datang. Fungsi
pemmali yakni sebagai pengendalian diri dalam bertindak. Selain itu juga bertujuan
dalam mendidik perilaku sosial dan membentuk karakter anak sebagai media
penanaman moralitas dan nilai-nilai yang diajarkan kepada anak sehingga dapat mempengaruhi karakter dan kepribadiannya, sehingga dapat diketahui eksistensi pemmali dalam mendidii anak pada keluarga Bugis.
Bagan 2.1 Kerangka Pikir Pemmali dalam mendidik anak pada keluarga Bugis di Desa Polewali Kecamatan Sibulue
Kabupaten Bone
Eksistensi pemmali dalam mendidik anak
1. Pendidikan disiplin dan manajemen waktu bagi anak
2. Adat kesopanan (mappakkeade) 3. Penghargaan (sipakalebbi sipakatau) 4. Membangun kreatifitas anak
5. Kehati-hatian dalam segala tindakan
28