8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumber Daya Manusia Kesehatan
Sumber daya manusia merupakan aset RS yang penting dan merupakan sumber daya memiiki peran besar dalam pelayanan RS (Subarguna & Sumarni 2004). SDM adalah tenaga kerja, pekerja, karyawan, potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya, atau potensi yang merupakan aset dan berfungsi sebagai modal non material dalam organisasi bisnis, yang dapat diwujudkan menjadi potensi nyata secara fisik dan non fisik dalam mewujudkan eksistensi organisasi (Nawawi, 2008).
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan yang dimaksud SDM Kesehatan (Sumber Daya Manusia Kesehatan) terdiri tenaga kesehatan dan asisten tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Asisten tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan di bawah jenjang diploma tiga.
SDM kesehatan harus diberikan pelatihan agar meningkat kemampuannya, perlu dikembangkan kondisi pekerjaan mulai alat hingga aturan agar saling mendukung bagi terciptanya pelayanan yang bermutu sehingga kepercayaan akan
meningkat yang merupakan dasar perkembangan bagi pelayanan kesehatan (Subarguna & Sumarni, 2004).
Seluruh prosesnya tergambar dalam skema berikut ini :
Gambar 2 1.Skema Peran SDM RS
Sumber : Buku Sumber Daya Manusia RS Subarguna & Sumarni, 2004
2.2 Manajemen Sumber Daya Kesehatan
Pelayanan kesehatan seperti RS yang bermutu pasti menggunakan pendekatan manajemen sehingga pengelola pengelolahannya menjadi efektif, efisien, dan produktif (Muninjaya, 2012). Tercapainya mutu pelayanan di RS melalui kegiatan manajemen sumber daya manusia atau yang disebut juga manajemen ketenagaan di RS yang meliputi analisis kini dan mendatang tentang kebutuhan tenaga, penarikan, seleksi, penempatan yang sesuai penempatan, promosi, pensiun, pengembangan karier, pendidikan dan pelatihan (Aditama, 2004).
Dimasa depan, manajemen SDM menjadi hal yang sangat potensial untuk diperhatikan oleh para pemimpin RS. Ketepatan dalam pemilihan, penerimaan, pengelolaan dan pengembangan SDM RS merupakan kunci sukses RS untuk dapat
KEPERCAYAAN PELAYANAN
BERMUTU KEMAMPUAN
PETUGAS
KONDISI KERJA
berkembangan dimasa depan (Ilyas, 2011). Kebutuhan SDM di RS setidaknya perlu mempertimbangkan standar pelayanan, beban kerja, dan jenis profesi (Sarbaguna &
Sumarni, 2004).
Manajemen Sumber Daya Manusia menurut Marwansyah (2010) dapat diartikan sebagai pendayagunaan sumber daya manusia di dalam organisasi, yang dilakukan melalui fungsi-fungsi perencanaan sumber daya manusia, rekrutmen dan seleksi, pengembangan sumber daya manusia, perencanaan dan pengembangan karir, pemberian kompensasi dan kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja, dan hubungan industrial. Menurut Dessler (2011) manajemen sumber daya manusia adalah kebijakan dan praktik menentukan sumber daya manusia dalam posisi manajemen, termasuk merekrut, menyaring, melatih, memberi penghargaan, dan penilaian. Menurut Hasibuan (2012) MSDM sebagai ilmu dan seni yang mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien dalam penggunaan kemampuan manusia agar dapat mencapai tujuan di setiap perusahaan. Manajemen ketenagaan di RS meliputi kegiatan proses diantaranya penerimaan pegawai, penempatan pegawai, konpensasi pegawai, pengembangan mutu dan karier pegawai serta akhirnya pengehentian kerja di RS (Aditama, 2004). Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia kesehatan adalah segala usaha yang dilakukan untuk menambah nilai dari sumber daya manusia kesehatan tersebut dalam kaitannya dengan mencapai tujuan pelayanan kesehatan.
2.3 Perencanaan Sumber Daya Manusia
Proses perencanaan SDM (Human Resource Planning) berarti usaha untuk mengisi/menutup kekurangan tenaga kerja baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pemanfaatan sumber daya manusia akan lebih efsien dan optimal setelah ada
perencanaan yang cermat. Perencanaan SDM juga merupakan serangkaian kegiatan untuk menentukan jumlah dan jenis SDM yang diperlukan oleh suatu organisasi untuk masa yang akan datang (Sunyoto, 2012). Perencanaan sumber daya manusia adalah proses penetuan kebutuhan sumber daya manusia dalam suatu organisasi memiliki jumlah serta kualifikasi orang yang tepat (Hajar & Heru, 2010). Dari beberapa pengertian tadi, maka perencanaan SDM adalah serangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sistematis dan strategis yang berkaitan dengan peramalan kebutuhan tenaga kerja dimasa yang akan datang dalam suatu organisasi dengan menggunakan sumber informasi yang tepat.
Griffith dalam buku The Well Managed Community Hospital (1987, dalam Aditama, 2004) bahwa kegiatan dalam perencanaan meliputi mengantisipasi jumlah dan jenis pekerjaan yang dibutuhkan, jadwal waktu untuk recruitment, retraining dan pemutusan hubungan kerja bila dibutuhkan, gaji dan kompensasi yang akan diberikan. Dengan terpenuhinya jumlah SDM yang sesuai dengan uraian pekerjaan di tiap-tiap unit kerja, maka pelayanan akan menjadi lebih maksimal. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan untuk pengambilan keputusan kebutuhan tenaga kerja sesuai uraian pekerjaan yang ada agar pelayanan yang diberikan dapat berjalan secara maksimal.
2.3.1 Tujuan Perencanaan SDM
Dengan melakukan perencanaan SDM, maka terdapat beberapa tujuan yang didapatkan oleh organisasi. Menurut Hasibuan (2007) tujuan perencanaan SDM diantaranya :
1. Untuk menentukan kualitas dan kuantitas karyawan yang mengisi jabatan . 2. Tersedianya tenaga kerja masa kini dan masa depan.
3. Untuk menghindari miss manajemen dan tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas.
4. Sebagai kordinasi,integrasi dan sinkronisasi sehingga produktifitas meningkat 5. Untuk menghindari kekurangan dan kelebihan karyawan.
6. Menjadi pedoman dalam menentukan program penarikan,seleksi, pengembangan, konpensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, kedisplinan, dan pemberhentian karyawan.
7. Menjadi dasar dalam penilaian kerja.
Dengan kata lain, tujuan perencanaan SDM adalah untuk mempergunakan SDM seefektif mungkin agar memiliki sejumlah pekerja memenuhi persyaratan/kualifikasi dalam mengisi posisi yang kosong kapan pun dan apapun posisi tersebut.
2.3.2 Manfaat Perencanaan SDM
Perencanaan SDM disuatu lingkungan organisasi/institusi memberikan manfaat menurut Nawawi (2003) antara lain :
1. Pendayagunaan SDM akan lebih efisien dan efektif karena perencaanaan SDM harus dimulai dengan kegiatan pengaturan kembali atau penempatan ulang SDM yang dimiliki. Hal ini yang dapat memberikan konstibusi maksimal pada pencapaian tujuan organisasi.
2. Menyelaraskan aktifitas SDM berdasarkan potensi dengan tugas-tugas yang sasarannya berpengaruh pada peningkatan efisiensi dan efektifitas pencapaian tujuan organisasi.
3. Menghemat pembiayaan dan tenaga dalam melaksanakan rekruitmen dan seleksi.
4. Perencanaan SDM yang profesional mendorong organisasi menciptakan sistem informasi SDM agar lebih akurat dan dapat digunakan untuk kegiatan manajemen SDM lainnya
2.3.3 Faktor-Faktor Mempengaruhi Perencanaan SDM
Perencanaan SDM dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari dalam organisasi atau internal, luar organisasi atau eksternal. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain :
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah berbagai kekuatan dan kelemahan yang dimiliki organisasi dan juga segala kendala permasalahan yang ada dalam organisasi. Adapun faktor internal menurut: rencana strategik, anggaran, estimasi, produksi dan penjualan, usaha atau kegiatan baru dan rancangan organisasi serat tugas pegawai.
(Maimun, 2008)
2.Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah segala sesuatu yang berada di luar organisasi yang bisa berpengaruh langsung maupun tidak langsung dalam pencapaian tujuan organisasi. Faktor eksternal menurut Siagian (2011) adalah situasi ekonomi, sosial, budaya, politik pertauran perundang-undangan, teknologi. Jika dibandingkan diantara keduanya maka pendapat Siagian membahas tentang adanya pesaing.
Pesaing inilah mempngaruhi kelangsungan sebuah organisasi (Taufiq, 2005)
2.4 Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Instalasi farmasi merupakan unit di RS yang mengadakan barang farmasi mengelola dan mendistribusikan kepada pasien bertaggung jawab atas semua barang
farmasi yang beredar di RS dan berperan dalam proses pengadaan dan menyajikan informasi obat yang siap pakai bagi semua unit RS baik petugas maupun pasien (Aditama, 2004). Instalasi Farmasi RS dapat didefinisikan sebagai suatu departemen atau unit atau bagian di suatu RS di bawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan kompeten secara professional, tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggungjawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan perbekalan kesehatan/sediaan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat tinggal dan rawat jalan, pengendalian mutu, pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit, serta pelayanan farmasi klinik umum dan spesialis, mencakup pelayanan langsung pada penderita dan pelayanan klinik yang merupakan program RS secara keseluruhan (Siregar, 2004).
2.4.1 Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Pelayanan kefarmasian meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana, dan peralatan (Permenkes, 2014). Tugas IFRS, meliputi:
1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai prosedur dan etik profesi.
2. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien.
3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko.
4. Melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) serta memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien.
5. Berperan aktif dalam tim farmasi dan terapi.
6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan kefarmasian.
7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium RS.
2.4.2 Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
1. Memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku.
2. Memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di RS.
3. Menerima sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku.
4. Menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian.
5. Mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai ke unit-unit pelayanan di RS.
6. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu.
7. Melaksanakan pelayanan obat/dosis sehari.
8. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
9. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
10. Melakukan pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang sudah tidak dapat digunakan.
11. Mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
12. Melakukan administrasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (Permenkes, 2014).
2.4.3 Manfaat Instalasi Farmasi Bagi Rumah Sakit
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelayanan pada pasien meliputi pelayanan yang cepat, ramah, dan jaminan obat tersedia dalam kualitas baik, harga yang kompetitif, adanya kerjasama dengan unsur lain di RS, seperti dokter dan perawat, lokasi apotek, kenyamanan dan keragaman komoditi (Aditama, 2004).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di RS, instalasi farmasi sebagai satu- satunya penyelenggara pelayanan kefarmasian, sehingga RS akan mendapatkan manfaat dalam hal :
1. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai .
2. Standarisasi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BHP.
3. Penjaminan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BHP.
4. Pengendalian harga sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BHP.
5. Pemantauan terapi obat.
6. Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BHP.
7. Kemudahan akses data sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang akurat.
8. Peningkatan mutu pelayanan RS dan citra RS.
9. Peningkatan pendapatan RS dan peningkatan kesejahteraan pegawai.
2.5 Definisi, Peran dan Fungsi Apoteker dan Tenaga teknis kefarmasian bagian 2.5.1 Definisi Apoteker
Dalam meningkatkan kualitas pelayanan farmasi dibutuhkan tenaga apoteker yang profesional. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Permenkes, 2014). Definisi apoteker menurut Putra (2013) adalah sarjana lulusan farmasi.
2.5.2 Peran Apoteker
Peran apoteker atau farmasis dalam pelayanan kesehatan menurut WHO mengistilahkan dengan 7 kriteria yaitu :
1. Care-Giver
Apoteker/farmasis harus mengintegrasikan pelayanan pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesimbungan dan pelayanan farmasi yang dihasilkan dasar dalam menentukan pendidikan dan pelatihan.
2. Decision-Maker
Apoteker/farmasis menjalani pekerjaan berdasarkan pada kecukupan serta keefekifan dan keefiesienan penggunaan sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur dan pelayanan. Kemampuan apoteker/farmasis harus diukur dan
hasilnya dijadikan dasar dalam menentukan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan.
3. Communicatory
Apoteker/farmasis harus menjalin hubungan dengan pasien atau profesi kesehatan lainnya. Dimana apoteker memiliki kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Meliputi komunikasi verbal dan non verbal, mendengar, serta kemampuan menulis dengan menggunakan bahasa yang baik.
4. Leader
Apoteker/farmasis dituntut memliki kemampuan menjadi pemimpin karena harus dapat mengambil keputusan yang efektif, kemampuan untuk mengomunikasikan serta kemampuan mengelola hasil keputusan.
5. Manager
Apoteker/farmasis harus efektif dalam mengelola sumber daya informasi yang ada. Didalam tim kesehatan seorang apoteker harus bisa bekerjasama dimana dapat dipimpin maupun jadi pemimpin.
6. Life –Long Learner
Apoteker/farmasis harus selalu menggali ilmu sedalam-dalamnya. Hal ini untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan.
7. Teacher
Apoteker/farmasis memiliki tanggung jawab mendidik dan melatih generasi selanjutnya. Partisipasi tidak hanya berbagi pengetahuan namun juga berbagi pengalaman (Putra ,2013).
Sedangkan menurut PP No 51 tahun 2009 ada dua peran penting apoteker.
Pertama, melaksanakan fungsi pengadaan obat dan perbekalan kesehatan lainnya
sesuai dengan ketentuan dan sarana yang dimiliki. Kedua, melakukan penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan dengan baik sesuai dengan sifat bahan.
2.5.3 Fungsi Apoteker
Fungsi apoteker di RS berdasarkan Kepmenkes 1197/Menkes/SK/X/2004 yaitu sebagai pengelola perbekalan farmasi dan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan. Berikut penjelasan lengkapnya :
1. Fungsi Pengelolahan Perbekalan Farmasi
a. Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan RS merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal. Contoh kegiatan fungsi apoteker sebagai pengelolahan Farmasi antara lain :
1) Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di RS menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku.
2) Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian.
3) Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di RS.
b. Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku.
2. Fungsi Pelayanan Kefarmasian Dalam Pengelolahan Obat dan Alat Kesehatan Fungsi pelayanan kefarmasian diantaranya :
a. Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien contohnya melakukan pencampuran obat suntik, penyiapan nutrisi parenteral, penanganan obat kanker, penentuan kadar obat dalam darah, melakukan pencatatan setiap kegiatan.
b. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan.
c. Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan d. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga contohnya
melaporkan kegiatan.
3. Fungsi Pelayanan Klinik
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di RS pelayanan farmasi klinik yaitu
“pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin”. Pelayanan klinik diantaranya :
a. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat.
Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
b. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang
digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien.
c. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat adalah proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat (medication error) dapat terjadi pada pemindahan pasien dari satu RS ke RS lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari RS ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan informasi obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar RS.
e. Konseling
Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari apoteker kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya.
Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap apoteker.
6. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi
obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar RS baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program RS yang biasa disebut dengan pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care).
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring efek samping obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Merupakan program evaluasi penggunaan obat mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat.
10. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di IFRS untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari apoteker kepada dokter.
2.5.4 Definisi Tenaga teknis kefarmasian
Tenaga teknis kefarmasian adalah ” tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah, farmasi/tenaga teknis kefarmasian bagian “ (Permenkes, 2014).
2.5.5 Peran Tenaga Teknis Kefarmasian
Peran tenaga teknis kefarmasian yang telah mengucapkan sumpah, memiliki ijasah dan mendapat surat ijin kerja yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam menjalankan pekerjaannya dan standar profesinya harus di bawah pengawasan apoteker merupakan ujung tombak dari pelayanan di instalasi farmasi, memberikan pelayanan kepada pasien serta memberikan informasi tentang obat dan perbekalan kesehatan yang ditulis dokter dalam resepnya (Permenkes, 2014).
2.5.6 Fungsi Tenaga Teknis Kefarmasian
Dalam penelitian Karina (2012) tenaga teknis kefarmasian bagian memiliki dua fungsi yaitu tugas fungsional dan tugas administrasi yang dikerjakan di bawah pengawasan apoteker. Berikut penjabarannya :
1. Tugas fungsional
a. Memberikan pelayanan resep baik rawat jalan dan rawat inap meliputi penerimaan resep, penghargaan, pelabelan, peracikan obat, penyerahan sampai pengemasan, dan memberikan edukasi kepada pasien tentang cara pemakaian obat.
b. Menjaga komunikasi dengan perawat dan dokter.
c. Mengatur perbekalan farmasi.
d. Melayani return obat dari ruang perawatan.
e. Menginformasi stok obat harian.
2. Tugas administrasi
a. Mencatat segala sesuatu di dalam buku operan jika melakukan perpindahan kerja.
b. Pencatatan stok obat dan bahan habis pakai didalam buku permintaan barang gudang.
c. Mencatat pengeluaran obat dan BHP.
d. Mencatat pengembalian dan pembelian obat/BHP .
2.6 Perencanaan Kebutuhan Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian Salah satu data pendukung yang menurut peneliti perlu dijadikan bagian tersendiri adalah penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti melakukan langkah kajian terhadap beberapa hasil penelitian terdahulu. Berdasarkan penelitian Syukraa (2012) metode yang dapat digunakan untuk penyusunan kebutuhan SDM antara lain : 1. Metode Kebutuhan (Health Need Method)
Kebutuhan tenaga SDM RS dihitung menggunakan metode kebutuhan berdasarkan penghitungan jumlah dan jenis tenaga judgment dari pakar yang memahami masalah dan perencanaan SDM Kesehatan. Biasanya dibutuhkan data data epidemilogi penyakit diantaranya data tentang prevalensi dan jenis penyakit, standar pelayanan kesehatan, jenis tenaga kesehatan untuk setiap pelayanan di RS, penghitungan beban waktu kerja untuk setiap jenis pelayanan kesehatan RS. Dengan menggunakan data tersebut RS mengetahui pelayanan yang dibutuhkan dan perkiraan jumlah pasien sehingga didapatkan jumlah beban kerja dalam menentukan SDM kesehatan yang dibutuhkan (Ilyas, 2011). Menggunakan perhitungan ini ada
kekurangan dan kelebihannya. Berikut penjabaran kelebihan menggunakan metode kebutuhan :
a. Ilmiah dan konsisten dengan etika medis kesehatan.
b. Mendorong usaha pengukuran produktifitas, dan pemanfaatan personal.
c. Mendorong ke arah peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
d. Meningkatkan pelayanan kesehatan lebih cost effective.
e. Menilai manfaat dan biaya teknologi kesehatan.
Kekurangan dalam penggunaan metode ini antara lain : a. Sulit, mahal dan membutuhkan data luas serta rinci.
b. Standarisasi pelayanan sulit dicapai komitmen.
c. Standarisasi membutuhkan pelayanan dan komperehensif melebihi sumber dana yang tersedia.
d. Didasari pertimbangan kaidah-kaidah kedokteran.
2. Metode Target (Health Service Targets Method)
Metode target kebutuhan tenaga kesehatan direncanakan berdasarkan perkiraan proporsi orang sakit yang berobat di RS. Kemudian ditentukan target, jenis, dan jumlah pelayanan kesehatan yang harus disediakan RS. Berapa perkiraan pasien untuk setiap pelayanan kesehatan yang harus disediakan RS (Ilyas, 2011).
3. Metode Demand (Health Service Demand Method)
Penentuan SDM kesehatan dengan pendekatan demand yaitu menghitung kebutuhan SDM kesehatan berdasarkan pelayanan kesehatan yang dikonsumsi masyarakat. Kemudian pelayanan yang dibutuhkan dihitung beban kerjanya, diterjemahkan dengan jenis dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Contohnya penghitungan jumlah tenaga kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan rata-rata lama hari rawat pasien (Ilyas, 2011).
4. Metode Rasio (Rasio Method)
Dalam menentukan tenaga kesehatan menggunakan metode ini ditentukan terlebih dahulu jumlah penduduk, tempat tidur RS, puskesmas dll. Perkiraan kebutuhan jumlah dan jenis tenaga kesehatan diperoleh dari membagi nilai yang di proyeksikan termasuk rasio. Pendekatan menggunakan jumlah tempat tidur sebagai denominator SDM kesehatan yang diperlukan. Metode ini mudah dan sederhana.
Hasil yang didapatkan jumlah personal secara total, tetapi tidak dapat mengetahui produktivitas SDM, situasi demand dan supplay SDM RS dan kapan tenaga kerja tersebut dibutuhkan setiap unit atau bagian RS (Ilyas, 2011).
Penghitungan kebutuhan apoteker pada pelayanan kefarmasian di rawat inap berdasarkan kegiatan pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik yaitu pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pemantauan terapi obat, pemberian informasi obat, konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien.
Kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian resep, penyerahan obat, pencatatan penggunaan obat (PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga apotek dengan rasio satu apoteker untuk 50 pasien. Selain kebutuhan apoteker untuk pelayanan kefarmasian di rawat inap dan rawat jalan, diperlukan juga masing-masing satu orang apoteker untuk kegiatan pelayanan kefarmasian di ruang tertentu, yaitu: unit gawat darurat, Intensive Care Unit (ICU), Intensive Cardiac Care Unit (ICCU), Neonatus Intensive Care Unit (NICU), Pediatric Intensive Care Unit (PICU), pelayanan informasi obat (Permenkes, 2014).
Selain metode di atas ada metode WISN yang dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan tenaga kesehatan. WISN merupakan metode perhitungan kebutuhan SDM kesehatan berdasarkan beban pekerjaan nyata yang dilaksanakan oleh tiap kategori tiap unit kerja di fasilitas pelayanan kesehatan.
Pada penelitian Syukraa (2012) memiliki tujuan penelitian diketahuinya berapa besar beban kerja dan jumlah tenaga yang dibutuhkan pada Unit Farmasi Rawat Jalan Krakatau Medika Hospital Cilegon dengan teknik work sampling yang selanjutnya digunakan untuk menghitung jumlah kebutuhan tenaga dengan metode WISN serta menentukan bagaimana pola pengaturan jadwal tenaga tenaga teknis kefarmasian bagian saat peak hours. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan melakukan observasi, wawancara mendalam, dan telaah dokumen. Hasil penelitian yang didapatkan penggunaan waktu kerja tenaga teknis kefarmasian bagian untuk aktifitas produktif rata-rata 68,41%, hampir mendekati nilai optimal 80%. Apabila waktu yang dipertimbangkan untuk pelayanan utama pada pagi dan siang, waktu untuk aktifitas produktif 80,17% sudah melebihi nilai optimal.
Berdasarkan perhitungan WISN jumlah asisten 34 orang masih kekurangan 10 tenaga diataranya 8 tenaga teknis kefarmasian dan 2 dokter.
Penelitian menggunakan metode WISN juga dilakukan oleh Krisna (2012) dengan judul Analisis Beban Kerja Dan Kebutuhan Tenaga Di IFRS Jiwa Provinsi Lampung Tahun 2012. Tujuan penelitan ini adalah menganalisis beban kerja dengan metode work sampling dan mengukur kebutuhan tenaga berdasarkan beban kerja menggunakan metode WISN. Hasilnya kemudian digunakan sebagai pokok bahasan dalam in depth-interview dengan beberapa informan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa tenaga farmasi yang menggunakan waktu kerjanya 90,3% dengan produktif.
Dari kegiatan produktif sebanyak 42,6% waktu produktif langsung, dan sisanya
waktu produktif tidak langsung. Sebanyak 24,1% merupakan kegiatan produktif tidak langsung yaitu kegiatan administratif. Dari penelitian ini didapatkan kegiatan non produktif dan kegiatan pribadi sebanyak 9,7%. Berdasarkan hasil work sampling dengan WISN ternyata jumlah tenaga yang ada saat ini lebih kecil dibandingkan kebutuhan tenaga untuk menyelesaikan tugas dan fungsi di IFRS Jiwa Provinsi Lampung.
Penelitian dari Astiena dan Darwin (2011) yang menggunakan metode WISN yaitu dengan judul Analisis Kebutuhan Tenaga Berdasarkan Beban Kerja Di IFRS Umum Daerah Pasaman Barat Tahun 2011. Tujuan penelitian ini mengetahui jumlah optimal kebutuhan tenaga di IFRS Umum Daerah Pasaman Barat tahun 2011.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan melakukan observasi, indepth interview, dan telaah dokumen. Observasi menggunakan metode work sampling untuk mengetahui pola penggunaan waktu kerja dan WISN untuk penghitungan kebutuhan tenaga. Hasil penelitian didapatkan penggunaan waktu kerja apoteker untuk kegiatan produktif dalam satu hari kerja sebesar 77,315% sudah mendekati nilai optimal 80%, sedangkan penggunaan waktu kerja tenaga teknis kefarmasian bagian untuk kegiatan produktif dalam satu hari kerja sebesar 33,09%, masih sangat rendah dibanding nilai optimal 80%. Hasil perhitungan kebutuhan tenaga dengan WISN didapatkan kebutuhan apoteker sebanyak empat orang dan tenaga teknis kefarmasian sebanyak sembilan orang, sehingga tenaga apoteker yang ada sekarang sudah sesuai dengan kebutuhan dan terdapat kelebihan tenaga teknis kefarmasian.
Penelitian Sihombing dkk dengan judul Analisis Kebutuhan Tenaga Apoteker Berdasarkan Beban Kerja Di Farmasi Klinik RS RK. Charitas Palembang Tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Analisis penggunaan waktu setiap pola aktivitas apoteker menggunakan metode time and motion study. Sampel
penelitian adalah seluruh apoteker di bagian Farmasi Klinik yang berjumlah tiga orang. Analisis kebutuhan apoteker menggunakan metode WISN. Hasil penelitian ini adalah total waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kegiatan produktif lebih dari 80% yaitu sebesar 91,15% (termasuk tinggi), kegiatan tidak produktif sebesar 4,48% dan kegiatan pribadi adalah sebesar 4,37%. Hasil yang diperoleh berdasarkan perhitungan dengan metode WISN, kebutuhan apoteker di bagian Farmasi Klinik sebanyak 18 orang.
Ada beberapa kelebihan dah kekurangan menggunakan metode WISN.
Penggunaan mengukur beban kerja menggunakan metode WISN memiliki kelebihan menurut (Indriana, 2009) diantaranya mudah dilaksanakan karena menggunakan data yang dikumpulkan dari laporan kegiatan setiap unit. Mudah dalam penggunaan, sehingga dapat dgunakan semua manager kesehatan di semua tingkatan untuk membuat perencanaan tenaga kerja, hasil perhitungan cepat dan dapat segera diketahui, metode ini dapat digunakan di semua instansi tidak hanya instansi kesehatan, hasil perhitungan realistis sehingga memberikan kemudahan dalam menyusun perencanaan anggaran dan alokasi sumber daya lainnya. Kekurangan metode WISN untuk menghitung beban kerja diantaranya input data yang diperlukan bagi prosedur perhitungan berasal dari hasil rekapitulasi kegiatan rutin satuan kerja atau unit dimana tenaga itu bekerja, maka kelengkapan pencatatan data dan kerapian penyimpanan data harus dilakukan untuk mendapatkan keakuratan hasil perhitungan jumlah tenaga secara maksimal (Depkes, 2004).
Berikut metode WISN yang dikutip dari WHO (2010) dalam melakukan perhitungan kebutuhan SDM terdiri dari beberapa langkah antara lain :
1. Menetapkan Unit Kerja dan Kategori SDM
Perhitungan dengan metode WISN yang pertama harus ditentukan unit kerja dan kategori SDM perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat permasalahan sehingga dapat di tentukan pada unit kerja dan kategori SDM yang bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan.
2. Menetapkan Waktu Kerja Tersedia/Available Working Time (AWT)
Waktu kerja tersedia atau dapat disingkat AWT (Available Working Time) adalah satuan waktu ditujukkan dalam hari/tahun atau jam/tahun. Tujuan menentukan AWT adalah untuk diperolehnya waktu kerja tersedia masing-masing kategori SDM yang bekerja selama kurun waktu satu tahun yang disuatu unit atau instansi. Dalam menentukkan AWT data yang diperlukan antara adalah sebagai berikut :
a. Hari Kerja (A)
Hari kerja adalah hari kerja sesuai ketentuan yang berlaku di institusi/organisasi selama kurun waktu satu tahun.
b. Libur Nasional (B)
Keputusan bersama menteri agama, menteri tenaga kerja dan transmigrasi, dan menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi republik indonesia tentang hari libur nasional.
c. Cuti Tahunan (C)
Cuti tahunan ditentukan sesuai yang berlaku bagi tenaga kerja di institusi/organisasi selama kurun waktu satu tahun.
d. Sakit (D)
Tenaga kerja tidak dapat hadir untuk bekerja karena alasan sakit selama kurun waktu satu tahun.
e. Ketidakhadiran Kerja (E)
𝐴𝑊𝑇 = *A − (B + C + D + E)+ X F
Menetukan ketidakhadiran kerja lainnya dihitung berdasarkan dari rata-rata ketidakhadiran kerja, seperti pendidikan dan pelatihan yang dilakukan, ijin, maupun tanpa keterangan selama kurun waktu satu tahun.
f. Waktu Kerja (F)
Waktu kerja yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di RS atau peraturan daerah. Umumnya waktu kerja dalam satu hari adalah 8 jam. Setelah data- data didapatkan kemudian perhitungan untuk menetapkan waktu kerja tersedia menggunakan rumus berikut :
3. Menetapkan Komponen Beban Kerja
Komponen beban kerja adalah kuantitas beban kerja pegawai selama 1 tahun.
Komponen-komponen beban kerja dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
a. Aktivitas pelayanan kesehatan utama adalah aktivitas yang dilakukan oleh semua anggota kategori tenaga kerja tersebut. Ada catatan data sekunder untuk kegiatan yang termasuk aktivitas pelayanan kesehatan utama.
b. Aktivitas penunjang adalah aktivitas yang dilakukan oleh semua anggota kategori tenaga kerja namun tidak ada catatan data sekunder untuk aktivitas ini.
c. Aktivitas tambahan lain adalah aktivitas yang tidak dilakukan oleh anggota dalam kategori tenaga kerja tersebut dan tidak ada catatan statistik untuk aktivitas ini.
4. Menyusun Standar Kegiatan
Standar kegiatan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh seorang tenaga kerja yang terlatih, terampil dan memiliki motivasi dalam bekerja sesuai standar profesional pada kondisi tempat kerja. Standar kegiatan terdiri dari dua jenis
SW= 𝐴𝑊𝑇
unit waktu untuk kegiatan tertentu
SW = AWT x kecepatan kerja
kegiatan, yaitu standar pelayanan dan standar kelonggaran. Standar pelayanan merupakan standar kegiatan yang di catat dalam statistik tahunan. Standar pelayanan adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan seorang tenaga kerja untuk menyelesaikan sebuah kegiatan. Standar kelonggaran adalah kegiatan yang tidak dilakukan pencatatan statistik tahunan secara teratur. Standar kelonggaran terdiri dari dua jenis yaitu aktifitas yang dilakukan semua staff dalam suatu kategori atau Category Allowance Standar (CAS) dinyatakan dalam persentase waktu kerja dan Individu Allowance Standar (IAS) dimana dinyatakan dalam waktu kerja aktual standar kelonggaran individu untuk aktifitas yang tidak dilakukan semua tenaga kerja. Untuk pengamatan standar kelonggaran dapat dilakukan melalui wawancara pada setiap unit kategori tenaga kerja. Wawancara dapat dilakukan tentang kegiatan yang tidak terkait langsung dengan pelayanan pada pasien, frekuensi kegiatan dalam satu hari/minggu/bulan, dan waktu kegiatan untuk menyelesaikan kegiatan.
5. Menyusun Standar Beban Kerja/Standard Workload (SW)
Standar beban kerja (SW) adalah banyaknya pekerjaan dalam satu kegiatan pelayanan utama yang diselesaikan oleh seorang tenaga kesehatan dalam setahun.
Rumus untuk menghitung standar beban kerja suatu kegiatan pelayanan berdasarkan waktu bagi standar pelayanan dinyatakan sebagai unit waktu atau kecepatan kerja.
Untuk rumus standar beban kerja terdiri dari 2 rumus.
Rumus yang pertama digunakan apabila standar pelayanan dinyatakan dalam unit waktu :
Rumus yang digunakan apabila standar pelayanan dinyatakan dalam kecepatan kerja :
6. Menghitung Faktor Kelonggaran / Allowance Factor
Langkah selanjutnya, menghitung faktor kelonggaran berfungsi untuk mendapatkan faktor kelonggaran tiap apoteker dan tenaga teknis kefarmasian meliputi jenis kegiatan dan kebutuhan waktu untuk menyelesaikan suatu kegiatan yang tidak terkait langsung atau dipengaruhi tinggi rendahnya jumlah kegiatan pelayanan. Standar kelonggaran kemudian diubah menjadi faktor-faktor kelonggaran kategori atau individu. Faktor-faktor ini akan digunakan untuk menghitung jumlah keseluruhan tenaga kesehatan yang dibutuhkan dalam langkah berikutnya dari metodologi WISN.
Selanjutnya dikembangkan standar kelonggaran untuk dua kelompok kegiatan.
Kelompok pertama merupakan kegiatan penunjang yang penting dikerjakan oleh semua tenaga kesehatan dalam kategori tenaga kerja WISN yang sedang diukur namun tidak ada pengukuran catatan statistik tahunannya. Kelompok kedua merupakan kegiatan tambahan yang hanya dikerjakan oleh beberapa anggota dalam kategori tenaga kerja ini. Faktor-faktor kelonggaran harus dihitung tersendiri bagi setiap kelompok. Faktor pada kelompok pertama disebut Faktor Kelonggaran Kategori atau Category Allowance Factor disingkat CAF. Pada kelompok kedua disebut. Faktor Kelonggaran Individu atau Individual Allowance Factor yang disingkat IAF. Cara perhitungan kedua faktor kelonggaran, berbeda dan manfaatnya berbeda untuk menentukan jumlah keseluruhan tenaga kesehatan yang dibutuhkan menurut WISN Category Allowance Factor digunakan sebagai pengali dalam penentuan jumlah keseluruhan tenaga kesehatan yang dibutuhkan. Menentukan CAF dengan cara berikut:
a. Mengubah CAS dari setiap kegiatan penunjang yang penting menjadi persentase waktu kerja
b. Menjumlahkan semua CAS
c. Berikut rumus menghitung CAF
Individual Allowance Factor digunakan untuk waktu kerja beberapa SDM dalam kategori tenaga kerja WISN untuk kegiatan tambahan. Individual Allowance Factor bertujuan menghitung jumlah petugas yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan dengan waktu yang sama (whole time equivalent, WTE). Individual Allowance Factor kemudian ditambah pada perhitungan akhir dari keseluruhan kebutuhan tenaga kerja. Untuk cara perhitungannya sebagi berikut :
a. Mengalikan masing-masing IAS dengan jumlah orang yang melakukan kegiatan tersebut.
b. Menjumlahkan semua hasil yang diperoleh.
c. Membagi hasil tersebut dengan AWT.
7. Menentukan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan WISN
Hasil didapatkan berapa kebutuhan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian sesuai perhitungan WISN. Akan diketahui jumlah kebutuhan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian berdasarkan metode WISN. Perhitungan tersebut berdasarkan 3 kegiatan yang berbeda dijelaskan sebagai berikut :
a. Kegiatan Pelayanan Utama (A): adalah beban kerja setahun dari setiap kegiatan dibagi dengan standar beban kerja sehingga didapatkan jumlah tenaga kesehatan yang dibutuhkan. Kemudian dijumlahkan semua kebutuhan bagi setiap kegiatan. Hasil adalah jumlah total kebutuhan tenaga apoteker dan tenaga teknis kefarmasian untuk semua kegiatan pelayanan utama.
b. Kegiatan penunjang penting yang dilakukan setiap orang (B): Mengalikan kebutuhan tenaga kerja bagi kegiatan pelayanan utama dengan CAF. Hasil
CAF = 1 / [1 – (Total CAS / 100)]
yang yaitu jumlah apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang dibutuhkan bagi semua kegiatan pelayanan utama dan penunjang penting.
c. Kegiatan tambahan beberapa anggota tenaga kerja (C): Menambahkan IAF kepada kebutuhan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian diatas. Sehingga akan diperoleh jumlah total kebutuhan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian berdasarkan WISN. Disini telah ikut diperhitungkan keseluruhan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan ketiga jenis kegiatan.
Berdasarkan langkah diatas maka dapat digunakan rumus akhir:
Hasil perhitungan jumlah kebutuhan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang didapatkan kemungkinan besar merupakan angka pecahan sehingga diperlukan pembulatan. Untuk pembulatan jumlah tenaga apoteker dan tenaga teknis kefarmasian berdasarkan metode WISN yaitu sebagai berikut :
a. 1.1 dibulatkan kebawah menjadi 1 dan >1.1 – 1.9 dibulatkan keatas menjadi 2
b. 2.0 – 2.2 dibulatkan kebawah menjadi 2 dan >2.2 – 2.9 dibulatkan keatas menjadi 3
c. 3.0 – 3.3 dibulatkan kebawah menjadi 3 dan >3.3 – 3.9 dibulatkan ke atas menjadi 4
d. 4.0 – 4.4 dibulatkan kebawah menjadi 4 dan >4.4 – 4.9 dibulatkan ke atas menjadi 5
e. 5.0 – 5.5 dibulatkan kebawah menjadi 5 dan >5.5 – 5.9 dibulatkan ke atas menjadi 6
Dalam buku User Manual WISN (WHO, 2010) langkah terakhir dalam perhitungan WISN berhubungan dengan pengambilan keputusan rasio. Setelah itu
Total Kebutuhan Tenaga Kerja yang Dibutuhkan = A X B + C
hasilnya dibandingkan dengan jumlah apoteker dan tenaga teknis kefarmasian saat ini di Instalasi farmasi. Hasilnya akan diketahui rasio beban kerja yang ada di suatu unit kerja. Rumus untuk mengetahui perbedaan jumlah dan rasio beban kerja sebagai berikut :
Keterangan :
a = Jumlah apoteker/tenaga teknis kefarmasian yang ada
b = Jumlah apoteker/tenaga teknis kefarmasian berdasarkan metode WISN Rasio antara perbandingan antara kenyataan dan kebutuhan, ratio inilah yang disebut WISN dengan ketentuan
1. Jika rasio WISN bernilai =1
Menunjukkan bahwa jumlah tenaga dan beban apoteker dan tenaga teknis kefarmasian di instalasi farmasi cukup berdasarkan kebutuhan.
2. Jika rasio WISN <1
Menunjukkan semakin kecil rasio WISN, semakin besar tekanan beban kerja.
Rasio WISN yang kecil menunjukkan bahwa jumlah apoteker dan tenaga teknis kefarmasian saat ini lebih kecil daripada yang dibutuhkan.
3. Jika ratio WISN >1
Rasio WISN yang besar membuktikan adanya kelebihan tenaga kerja apabila dibandingkan terhadap beban kerja.
𝑃𝑒𝑟𝑏𝑒𝑑𝑎𝑎𝑛 = 𝑎 − 𝑏