• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN BUNRAKU DI JEPANG NIHON NI OKERU BUNRAKU NO HATTEN KERTAS KARYA DIKERJAKAN ANDRIAN JULISTIO KARO - KARO NIM :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERKEMBANGAN BUNRAKU DI JEPANG NIHON NI OKERU BUNRAKU NO HATTEN KERTAS KARYA DIKERJAKAN ANDRIAN JULISTIO KARO - KARO NIM :"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN BUNRAKU DI JEPANG

NIHON NI OKERU BUNRAKU NO HATTEN

KERTAS KARYA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

ANDRIAN JULISTIO KARO - KARO

NIM : 132203020

PROGRAM STUDI D-III BAHASA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERKEMBANGAN BUNRAKU DI JEPANG NIHON NI OKERU BUNRAKU NO HATTEN

KERTAS KARYA

Kertas Karya ini diajukan Kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III dalam Bidang Studi Bahasa Jepang.

Dikerjakan OLEH:

ANDRIAN JULISTIO KARO - KARO NIM : 132203020

Dosen Pembimbing, Dosen Pembaca,

Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum.

NIP : 19600827 199103 1 001 NIP : 19600919 198803 1 001

PROGRAM STUDI D-III BAHASA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)

PENGESAHAN Diterima Oleh

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan,

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III dalam bidang Studi Bahasa Jepang.

Pada :

Tanggal :

Hari :

Program Studi D III Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Dr. Budi Agustono, M.S.

NIP : 19600805 198703 1 001 Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1. Zulnaidi, S.S.,M.Hum ( ) 2. Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. ( )

3. Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum. ( )

(4)

Disetujui oleh :

Program Studi D III Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi D III Bahasa Jepang

Ketua program Studi

Zulnaidi, S.S., M.Hum.

NIP. 1967 08072005 01 1 001

Medan, Juli 2016

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena Berkat Rahmat dan Hidayat-Nya, penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini, sebagai syarat untuk memenuhi ujian akhir Diploma III Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Kertas Karyaini Berjudul “Perkembangan Bunraku Di Jepang (Nihon Ni Okeru Bunraku No Hatten)”.

Dalam hal ini penulis menyadari bahwa apa yang telah tertulis dalam Kertas Karya ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segimateri dan pembahasan masalah.

Demi kesempurnaan, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk kearah perbaikan.

Dalam Kertas Karya ini penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak yang cukup bernilai harganya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas SumateraUtara.

2. Bapak Zulnaidi, SS, M.Hum., selaku Ketua Prodi Bahasa Jepang D3 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. H.Yuddi Adrian Muliadi, M.A., selaku Dosen pembimbing yang dengan ikhlas telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan juga arahan kepada penulis dalam menyelesaikan Kertas Karya ini.

(6)

4. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum., selaku dosen pembaca yang telah memberikan pengarahan, kritik, dan saran yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian kertas karya ini.

5. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, atas didikannya selama masa perkuliahan.

6. Teristimewa kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda Membela Karo-karo dan Ibunda Tettiana Erawaty Br.Sinaga, yang telah memberikan doa, dukungan, bimbingan baik moral dan material sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini dengan baik.

7. Kepada Adik-adik yang tersayang Bobby Eko Permana, Shella Sharon, Louis Brandon, Angel Sastya Rani, Alica Gabriel yang selalu menyemangati Penulis untuk menyelesaikan Kertas Karya ini.

8. Kepada teman dan sahabat penulis Adinda, Ridwan, Dandi, Dedy, Eka, Elysa, Gheradia, Joni, Landy, Michael, Samuel, Weni, Ryan, Nelly, Mega, Mayang, Rika, Sinta, Haga, Septa dan banyak lagi yang tidak bisa sebut satu persatu yang telah membantu penulis menyempurnakan Kertas Karya ini.

9. Serta yang terkasih Yessi EmmaNinta Ginting yang telah memberikan doa, semangat dan dukungan yang tak henti kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Kertas Karya ini dengan baik.

10. Serta semua rekan – rekan di Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya terkhusus angkatan 2013 yang telah membantu penulis dalam masa perkuliahan dan dalam menyempurnakan penulisan Kertas Karya ini.

(7)

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan Rahmat, Hidayah dan Karunia- Nya atas segala bantuan yang telah diberikan. Penulis telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyelesaian Kertas Karya ini, Penulis menyadari bahwa Kertas Karya ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik daripada pembaca untuk kesempurnaan Kertas Karya ini. Kiranya Kertas Karya ini bermanfaat dalam memperkaya ilmu pendidikan.

Medan, Juli 2016

Penulis,

Andrian Julistio Karo-karo

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Alasan Pemilihan Judul ... 1

1.2 Tujuan Penulisan ... 2

1.3 Batasan Masalah ... 2

1.4 Metode Penulisan ... 3

BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI BONEKA BUNRAKU ... 4

2.1 Sejarah Singkat Bunraku ... 4

2.2 Pemain - Pemain Bunraku ... 6

2.2.1 Pelantun (Tayu) ... 6

2.2.2 Pemusik (Shamisen) ... 8

2.2.3 Dalang ... 9

2.3 Kepala Boneka Bunraku ... 9

2.3.1 Kepala Boneka Laki – Laki ... 10

2.3.2 Kepala Boneka Perempuan ... 12

(9)

2.3.3 Kepala Boneka Peran Khusus ... 13

BAB III PERKEMBANGAN BUNRAKU ... 14

3.1 Awal Mula Pengenalan Boneka Bunraku ... 14

3.2 Perkembangan Boneka Bunraku Di Zaman Edo ... 17

3.3 Perkembangan Boneka Bunraku Pada Periode Meiji ... 21

3.4 Perkembangan Boneka Bunraku Pasca Era Meiji Hingga Kini . 22 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 26

4.1 Kesimpulan ... 26

4.2 Saran ... 26

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Setiap bangsa di dunia pasti memiliki kesenian tradisional, karena hal ini merupakan bagian dari akar sejarah suatu bangsa. Seperti halnya bangsa Jepang, mereka memiliki sejarah yang kuat termasuk sejarah kesenian tradisional. Salah satu wujud kesenian tradisional Jepang yang terkenal adalah Bunraku, teater kesenian yang menggunakan boneka. seperti wayang golek dari Jawa Barat Boneka bunraku ini walaupun mirip bentuknya dengan wayang golek tetapi ukuran wayang dan cara memainkannya berbeda jauh. Ukuran boneka bunraku adalah ¾ tinggi manusia dewasa dan 1 boneka bunraku dimainkan oleh 3 orang, sedangkan wayang golek di Jawa Barat dimainkan oleh seorang dalang saja.

Bunraku awalnya merupakan nama untuk satu rombongan jōruri, dianggap oleh banyak orang sebagai boneka paling canggih teater hidup saat ini, dua-pertiga dari ukuran wayang, bekerja dengan tiga dalang pindah ke suara manahelo dan disertai oleh seorang musisi shamisen.

Bunraku mengalami sejarah yang sangat panjang, sejak awal kelahirannya hingga kini. Pada mulanya pemakaian boneka hanya untuk media menyembah dewa- dewa di kuil-kuil, kemudian bergeser menjadi pertunjukan hiburan yang populer di masyarakat Jepang. Penamaan wayang golek ala Jepang ini didasarkan pada apa yang populer saat itu, seperti nama- nama sebelumnya yaitu Heike Biwa, Ningyou

(11)

Joururi dan akhirnya dalam proses perkembangannya dikenal dengan sebutan bunraku.

Oleh karena itu dalam Tugas Akhir ini akan dibahas tentang perkembangan boneka bunraku, dengan terlebih dahulu menjelaskan sejarah singkat, pemain, dan kepala boneka bunraku.

1.2 Tujuan Penulisan

Pada penulisan Kertas Karya ini penulis memiliki tujuan sebagai berikut:

1.Untuk mengetahui Sejarah Bunraku

2.Untuk mengetahui Perkembangan Bunraku

1.3 Batasan Masalah

Dalam penulisan kertas karya ini,penulis memfokuskan penulisannya mengenai Perkembangan Bunraku Di Jepang (Nihon Ni Okeru Bunraku No Hatten).

di dalamnya membahas tentang sejarah, para pemain Bunraku, kepala Bunraku serta mengetahui Perkembangan Bunraku Di Jepang (Nihon Ni Okeru Bunraku No Hatten).

Kemudian untuk memperjelas pembahasan,maka penulis menjelaskan juga awal mula pengenalan Bunraku ke dalam Perkembangan Bunraku Di Jepang (Nihon Ni Okeru Bunraku No Hatten).

(12)

1.4 Metode Penulisan

Dalam penulisan kertas karya ini penulis menggunakan metode deskriptif dan metode kepustakaan (Library Research). Menurut Koentjaraningrat penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karna itu data – data yang diperoleh dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan, sekaligus dikaji dan kemudian diintrepentasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada. Sedangkan metode kepustakaan menurut Nasution beberapa aspek perlu dicari dan diteliti meliputi : masalah, teori, konsep, dan penarikan kesimpulan. Dengan kata lain metode kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara membaca buku – buku yang berkaitan dengan penelitian ini. Data yang diperoleh dari referensi tersebut kemudian dianalisa untuik mendapatkan kesimpulan.

BAB II

(13)

GAMBARAN UMUM MENGENAI BONEKA BUNRAKU

2.1 Sejarah Singkat Bunraku

Seni pertunjukan boneka di Jepang berasal dari abad ke-11 ( berdasarkan peninggalan catatan tertua ). Sudah tentu keberadaannya sudah lebih lama dari itu, yakni yang dimainkan oleh para pemburu dengan para wanitanya dengan mengadakan pertunjukan keliling di kota-kota untuk memperoleh nafkah tambahan.

Para pemburu pria mengadakan pertunjukan boneka-boneka kecil yang mereka gerakan dengan tangan-tangan mereka, sedangkan para wanitanya melacurkan diri.

Kemudian banyak diantaranya yang menetap di Sanjō, di pulau Awaji (Awajishima).

Tempat ini kemudian dianggap sebagai daerah asal seni pertunjukan boneka secara professional.

Selama abad ke-15 dan ke-16, para penyair buta yang berpakaian seperti rahib Buddhis menyanyikan episode-episode sejarah yang tercantum dalam legenda Heike Monogatari ( berasal dari abad ke-13, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Tale of Heike, 1975,1988 ). Para penyair buta ini mengiringi nyanyian mereka dengan alat musik biwa, semacam alat musik yang berasal dari Persia. Para penyanyi lain mengisahkan cerita-cerita dariGikeki ( abad ke-15, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Yoshitsune ) dan cerita-cerita dariSaga Monogatari abad ke-15, telah diterjemahkan menjadi The Tale of Saga Brothers, 1987 (Matthew Johnson, 1995).

(14)

Gaya bernyanyi sambil bernyanyi secara Budha ( chanting ) dalam cerita rakyat abad pertengahan telah mengalami perubahan yang luar biasa sejak abad ke- 16. Hal ini terjadi bersamaan dengan terjadinya perubahan gaya menyanyi relijius yang disebut jōruri. Bersamaan dengan itu, alat musik shamisen diimpor ke Jepang melalui Okinawa dari kepulauan Ryukyu pada pertengahan abad ke-16.

Kemungkinan besar alat ini berasal dari daratan Cina, karena shamisen juga disebut sanshin atau jamisen mirip sekali dengan alat musik sanxian atau san-shien yang berasal dari daratan Cina. Sejak itu para penyanyi jōruri mengganti alat kecapi dengan alat baru ini, sehingga mempengaruhi juga gaya menyanyi dan para jōruri.

Kerja sama antara pemain shamisen dengan para penyanyi jōruri tersebut merupakan penyebab lainnya seni pertunjukan bunraku yang berhasil menarik minat penduduk kota. Mereka berasal dari rakyat jelata. Walaupun kedudukan sosial mereka pada zaman feodal rendah, berkat keberhasilan dalam segi kehidupan ekonomi mereka dapat mendominasi kehidupan perekonomian, kesenian, dan kebudayaan (Matthew Johnson, 1995).

Hal ini juga terjadi karena kebanyakan rakyat jelata masih tidak diperkenankan untuk menonton seni pertunjukan noh, yang sampai saat itu masih dikhususkan bagi penonton dari kalangan ksatria ( samurai ) dan golongan atas lainnya.

Jōruri timbul dari Jorurihime Monogatari ( kisah percintaan gadis jōruri ) yang disebut Jōruri Juuni dan Sooshitema kisah percintaan antara Jorurihime dengan Ushiwakamaru. Dengan latar belakang tersebut terbentuklah drama musik yang

(15)

terdiri dari music pengiring shamisen dan permainan boneka. Pembentukan teater boneka jōruri pada permulaan tahun Keichoo dan berkembang dengan pesat di Kyoto. Jōruri karya Chikamatsu Monzaemon merupakan drama pembuka zaman baru yang bersifat drama jōruri tunggal.

Seluruh karya Chikamatsu ada 110 buah yang terdiri dari jidaimono ( tentang sejarah ), sewamono ( tentang masyarakat ). Untuk pementasan drama boneka diperlukan panggung. Luas panggung kurang lebih 90 meter dengan panjang kurang lebih 10 meter dan lebar 9 meter.Kesenian ningyo johruri tercipta dari perpaduan sandiwara boneka dan music shamisen di awal zaman edo (http://www.sagecraft.com/puppetry/definitions/Bunraku.hist.html, 23:00).

Pertunjukan merupakan hasil kreasi tayū bernama Takemoto Gidayūdari kelompok boneka Takemoto-za, serta penulis naskah bernama Chikamatsu Monzaemon dan Ki no Kaion.

Kepopuleran ningyo johruri bahkan sempat melampaui kepopuleran kabuki.

Pementasan kabuki juga banyak yang memakai naskah ningyo johruri. Pementasan kabuki yang mengadaptasi naskah ningyo johruri tanpa diringkas atau diubah disebut maruhon mono (kisah yang diambil dari buku secara bulat-bulat).

2.2 Pemain – Pemain Bunraku

2.2.1 Pelantun (Tayu)

Tayū adalah sebutan untuk penyanyi yang melantunkan johruri (narasi dengan iringan shamisen). Dari berbagai jenis kesenian johruri yang

(16)

ada, gidayūbushiadalah salah satu jenis johruri yang dimulai oleh Takemoto Gidayū dari Osaka pada awal zaman Edo.

Pertunjukan lazimnya hanya menggunakan seorang tayū yang membawakan dialog untuk semua karakter dalam cerita. Pada pementasan cerita yang panjang dan melelahkan bisa terjadi pergantian tayū di tengah-tengah cerita. Pada cerita yang perlu dialog bersahut-sahutan, dua tayū atau lebih bisa tampil duduk berjejer di panggung(https://id.wikipedia.org/wiki/Bunraku).

Nyanyian gidayu-bushi, dan misi mereka adalah untuk melihat untuk apa gelar boneka ekspresi terbuat dari kayu bisa diisi dengan napas kehidupan melalui gidayu-bushi tersebut. Pelantun (Tayu) tidak hanya membacakan dialog untuk semua karakter, tetapi juga berhubungan dengan adegan dan menjelaskan latar belakang di balik acara berlangsung. potongan panjang memakan waktu sekitar 90 menit, dan jumlah karakter dapat bervariasi dari hanya beberapa sampai sekitar lima belas. Dan pelantun yang melakukan semuanya,muda dan tua, laki-laki dan perempuan, prajurit dan warga kota, cara yang berbeda sesuai dengan masing- masing karakter, semua dilakukan tayu, Jadi itu bukan tugas yang mudah.

Selain itu, tujuannya terbesar adalah untuk mengekspresikan emosi yang sebenarnya dari masing-masing karakter. Seseorang yang mendengarkan untuk pertama kalinya untuk pelantun sebuah perform mungkin merasa dikepung oleh emosi berlebihan. Tapi itu sendiri kekuatan unik ekspresif gidayu bushi untuk memberikan penonton kesan yang kuat tentang kepribadian karakter. Dan bahkan jika cerita ini tentang sesuatu yang terjadi di masa lalu, masih dasar kemanusiaan

(17)

dan emosi kita sangat hati-hati digambarkan, dan pemain muda saat ini dapat

menimbulkan tanggapan yang sama dari penonton

(http://www2.ntj.jac.go.jp/unesco/bunraku/en/index.html, 18:00).

2.2.2 Pemusik (Shamisen)

Pemain shamisen memainkan shamisen berukuran besar dengan gema yang terdengar berat (futo) sehingga disebut futozao shamisen. Pemusik duduk dalam posisi seiza, tapi kedua belah kaki dilipat ke belakang dengan lutut dibuka lebar, dan

seluruh berat badan bertumpu di bagian pantat

(https://id.wikipedia.org/wiki/Bunraku, 18:45).

Ada tiga jenis shamisen: Futo-zao (tebal-berleher), chu-zao atau naka-zao (sedang-berleher'), dan hoso-zao (tipis-berleher). Sesuai dengan namanya, shamisen Futo-zao adalah yang terbesar dan terendah bernada dari tiga jenis, yang untuk alasan itu dibuat menggunakan di gidayu-bushi, yang membutuhkan menyanyi dari perut bagian bawah, dan itu menghasilkan timbre yang sangat kuat. Tidak seperti jenis lain dari iringan, shamisen digunakan dalam gidayu-bushi harus "bermain string hati." Sama seperti pelantun, ketika membaca, menempatkan lebih penting pada mengekspresikan perasaan kisah dari pada musikalitas, penting bagi pemain shamisen terlalu mengisi bermain dengan "jantung" dari potongan, dan juga untuk membantu pelantun di bacaannya. Tetapi bahkan jika menghasilkan nada yang sangat indah, atau memungkinkan kita untuk mendengarkan kesegaran penggunaan terampil dari plectrum yang besar, shamisen Futo-zao menghasilkan jenis musik yang merasa sangat berbeda dari joruri, dan tidak tepat sebagai gidayu shamisen. Untuk itu, yang ideal adalah

(18)

bahwa pemain shamisen harus menjadi satu dalam roh dengan pelantun tersebut.

Berbeda dengan pembacaan, yang diungkapkan melalui kata-kata, dengan shamisen, memerlukan teknik sangat sulit untuk mengekspresikan emosi manusia melalui warna tonal tunggal. Itulah sebabnya bahkan pertama kali theater bioskop yang mendengarkan master shamisen tidak bisa tidak datang pergi penuh dengan emosi (http://www2.ntj.jac.go.jp/unesco/bunraku/en/index.html, 19:00).

2.2.3 Dalang

Di zaman dulu, sebuah boneka hanya digerakkan seorang dalang.

Pertunjukan memakai tiga orang dalang untuk sebuah boneka diperkenalkan pada tahun 1734 dalam pertunjukan berjudul "Ashiya Dōman Ōchi Kagami". Di zaman sekarang, bunraku memakai tiga orang dalang untuk sebuah boneka. Dalang senior yang disebut omozukaimenggerakkan bagian leher (kepala) dan lengan kanan.

Sebelum menjadi omozukai dibutuhan pengalaman "sepuluh tahun untuk menggerakan kaki, sepuluh tahun untuk lengan kiri". Dalang penggerak lengan kiri disebut hidarizukai, sedangkan dalang penggerak kaki disebut ashizukai. Ketiga orang dalang yang berpakaian serba hitam (kuroko) menyatukan ritme bernapas berdasarkan isyarat yang diberikan dalang kepala. Pada adegan yang penting, dalang kepala sering sengaja tidak menyembunyikan wajahnya dari pandangan penonton (teknik dezukai).(https://id.wikipedia.org/wiki/Bunraku, 20:00)

2.3 Kepala Boneka Bunraku

Kepala (Kashira) dari boneka Bunraku dibagi menjadi laki-laki, perempuan, kepala peran khusus, dan kemudian diklasifikasikan ke dalam kategori sesuai dengan

(19)

usia, pangkat (kelas sosial), dan ciri-ciri kepribadian yang membedakan dari peran mereka, dan semua kepala memiliki nama khusus yang mencerminkan karakteristik khususnya. Jika bermain dalam drama yang berbeda tetapi jenis karakter yang sama, kepala yang sama dapat digunakan untuk karakter yang berbeda. Kadang-kadang, dalam rangka untuk mencocokkan karakter lebih dekat, mereka bahkan dicat untuk memberikan warna kulit yang tepat, atau wig mungkin diubah, sebagai kepala seperti yang digunakan untuk satu peran demi satu peran. Juga, ada sejumlah kepala yang khusus untuk peran tertentu, dan ada beberapa yang digunakan untuk peran anak dan banyak karakter lain yang melekat pada boneka satu orang (Tsume-ningyo).

Kepala merupakan tanggung jawab dari "Kepala ahli" (Kashira tanto), yang mempersiapkan mereka dan perbaikan mereka untuk setiap kinerja. Selain itu, aspek penting lain dari karyanya adalah bahwa ia hati-hati memeriksa string dan tuas yang mengontrol gerakan mata dan mulut, dan jika ia menemukan masalah, ia memperbaiki mereka dengan segera.

(http://www2.ntj.jac.go.jp/unesco/bunraku/en/index.html,17:45)

Kepala boneka laki laki, perempuan dan kepala peran khusus dibagi beberapa jenis:

2.3.1 Kepala Boneka Laki – laki

a) Bunshici : Dengan garis berat dan tebal, wajah maskulin, kepala ini juga menunjukkan kecemasan atau kesedihan tersembunyi, dan digunakan untuk pahlawan tragis yang telah mengalami penderitaan untuk waktu yang lama.

(20)

b) Kenbishi : Sebagai mulut, yang digambar dengan garis tunggal, menggambarkan kemauan yang kuat, kepala ini banyak digunakan untuk mendukung peran.

c) Komei : Dengan penampilan halus nya, kepala ini digunakan untuk bijaksana pria setengah baya.

d) Odanshichi : kepala ini digunakan untuk prajurit paling berani di bagian sejarah.

e) Genda : kepala ini digunakan untuk pria muda tampan di usia remaja atau dua puluhan.

f) Wakaotoko : kepala ini digunakan untuk pria muda di usia remaja.

g) Omikawa : kepala ini digunakan untuk pemuda liar, pemuda keras kepala dalam usia remaja.

h) Matahei : kepala ini digunakan untuk pria sederhana, orang jujur, untuk membuat kita merasa kebaikan bawaan mereka.

i) Darasuke : Menggambarkan karakter pria yang tidak menyenangkan, kepala ini sering digunakan dalam peran musuh.

j) yokanpei : kepala ini digunakan untuk peran orang jahat yang lucu.

k) Oshuto : kepala ini digunakan untuk prajurit berusia dengan ekspresi takut.

l) Kiichi : Perwakilan dari peran usia, kepala ini digunakan untuk prajurit tua penting dalam potongan sejarah.

(21)

m) Kintoki : kepala boneka untuk samurai yang kuat dan berperasaan dalam cerita jidaimono.

(http://www2.ntj.jac.go.jp/unesco/bunraku/en/index.html,18:15)

2.3.2 Kepala Boneka Perempuan

a) Musume : Ini adalah yang paling indah dan menarik dari semua kepala. Hal ini digunakan untuk gadis-gadis muda yang belum menikah dari sekitar 15 tahun, serta untuk peran istri muda.

b) Fuke-Oyama : Digunakan untuk wanita berusia 20-an sampai ke 40-an mereka, kepala ini digunakan secara luas di kedua drama sejarah dan domestik.

c) Baba (Historical) : Dengan wajah halus nya, kepala ini digunakan untuk peran perempuan tua penting dalam potongan sejarah.

d) Baba (Domestic) : kepala ini digunakan seorang wanita kota-kota tua di sebuah perdamaian dalam negeri

e) Keisei : Kepala paling cantik, digunakan untuk menggambarkan pelacur dari kelas tertinggi.

f) Baku-ya : kepala wanita tua ini digunakan untuk peran perempuan tua kebencian.

g) O-fuku : Sebuah versi komik dari kepala Musume, digunakan untuk peran

(22)

(http://www2.ntj.jac.go.jp/unesco/bunraku/en/index.html,18:26)

2.3.3 Kepala Boneka Peran Khusus

a) Shonin (Nichiren) : kepala ini, dengan wajah yang parah dan serius nya, digunakan untuk uskup Buddha tinggi.

b) Tamamo-no-mae (Double-face) : Memiliki wajah yang berbeda di depan dan belakang, ketika diputar dengan cepat, kepala ini dapat digunakan untuk menggambarkan transformasi mendadak rubah menjadi seorang wanita muda.

c) Hamlet : Kepala ini digunakan ketika teater Bunraku disajikan produksi sendiri Shakespeare Hamlet .

d) Songoku (sun wukong) : kepala ini menggambarkan pahlawan Journey klasik ke Barat. Bagian halus dari wajah monyet raja ditutupi dengan jenis kain krep.

e) Ebisu : kepala ini menggambarkan salah satu dari Tujuh Dewa Keberuntungan Baik, yang namanya Ebisu. Dia biasanya mengenakan topi

pengadilan tinggi dan melakukan tarian

(http://www2.ntj.jac.go.jp/unesco/bunraku/en/index.html, 19:45)

BAB III

(23)

PERKEMBANGAN BUNRAKU

3.1 Awal Mula Pengenalan Pengenalan Boneka Bunraku

Permainan boneka sendiri diperkenalkan ke Jepang oleh negara Cina sekitar tahun 600 M. Boneka-boneka tersebut pada awalnya adalah boneka sederhana yang dipergunakan untuk menggambarkan para dewa, atau para utusan dari para dewa yang turun ke bumi untuk membebaskannya dari marabahaya. Boneka-boneka ini digerakkan oleh para gadis yang hadir di kuil semata untuk tujuan ritual keagaman dan pada saat itu tidak ada pemikiran untuk menjadikan permainan boneka sebagai seni pertunjukan hiburan (yoshinobu & Toshio, 1981:173).

Di wilayah Jepang bagian utara, penyembahan terhadap dewa melibatkan seorang dukun yang membacakan mantra-mantra dan cerita yang disertai dengan dua boneka tongkat sederhana yang dia operasikan dengan dua tangannya. Di dua kuil di Kyushu, boneka-boneka mementaskan tarian dan pertandingan gulat sebagai bagian dari festifal tahunan. Sebenarnya pertunjukan di kuil dimaksudkan untuk menggambarkan kejadian-kejadianmasa lalu agar manusia mengetahui kemuliaan dari para dewa yang disembah (Keene,1973: 2 ). Gulat sendiri merupakan kegiatan adu kekuatan, dan kekuatan merupakan simbolisasi dewa.

Tetapi kemudian pada periode Asuka-Nara ( abad ke 8), ada sebuah seni pertunjukan yang disebut Sangaku (Sarugaku) diperkenalkan ke Jepang melalui semenanjung Korea. Seni ini memperkenalkan seni mengendalikan boneka sebagai seni pertunjukkan yang menghibur. Sebuah kelompok pemain boneka, kairaishi, yang telah bermukim di Jepang tetapi tidak memiliki kediaman tetap. Mereka terbentuk

(24)

melakukan pertunjukkan boneka pada siang harinya, sedangkan para wanitanya menjadi pelacur, menerima “panggilan” pada malam hari. Deskripsi tentang kehidupan mereka ditemukan di dalam dokumen kairai-ki (sebuah esai tentang para pemain boneka Kairai) yang ditulis oleh Oe no Masafusa pada akhir abad ke-8.

Sebenarnya awal dari pertunjukkan kelompok inipun masih bercerita tentang kepercayaan religi yang sakral, akan tetapi karena berhadapan denganpublik penonton, maka secara bertahap menjadi seni pertunjukan yang terlepas dari ritual religi menjadi sebuah pertunjukan teater boneka untuk hiburan. Dengan tambahan lagu-lagu rakyat yang populer, maka drama boneka diterima dengan baik sebagai sebuah bentuk hiburan oleh publik di berbagai tempat di Jepang.

Pada akhir periode Heean (tahun 1180-an), penuturan cerita oleh pendeta Budha yang berkelana sudah sangat dikenal dan yang paling populer adalah pementasan yang diiringi alat musik biwa dengan tema cerita tentang asal usul kuil-kuil, dongeng Budha dan legenda-legenda. Kemudian dengan berakhirnya perang antara klan Minamoto dan Taira, maka cerita dalam pertunjukkan boneka ini di kenal sebagai cerita naratif Heikyoku (gaya ceritaHeike-Biwa), satu seni pertunjukan dengan boneka yang menceritakan tentang perang dan kepahlawanan dengan diiringi alat musik Biwa. Pada masa berikutnya, banyak kesempatan pementasan di istana atas permintaan kaisar.

tercatat selama tahun 1580 – 1600 sebanyak lima belas kali pementasan. Salah satu tema cerita yang dipentaskan adalah Ichinotani no Kassen (Pertempuran Ichinotani).

Pementasan drama ini dengan media boneka dirasakan sangat luar biasa karena bonekanya tampak seolah-olah hidup, terkesan ada nuansa yang lebih misterius dibanding jika dimainkan oleh seorang aktor (yoshinobu & Toshio, 1981: 173).

(25)

Para pemain teater boneka yang sering diundang ke istana adalah para pelayan dari kuil Ebisu di Nishinoyoma yang juga sebagai pembuat dan pemain teater boneka.

Pada tahun 1600-an, Jepang relatif lebih aman setelah perang berabad-abad. Para pelayan Kuil Ebisu ini untuk selanjutnya tidak hanya diminta dari kalangan istana,tetapi juga diminta secara luas oleh kuil-kuildi seantero negeri. Akhirnya para pelayan ini melepaskan diri dari kuil Ebisu di Nishinomoya dan lebih memilih menjalankan teater boneka ( Keene, 1973:30).

Dalam perkembangannya, cerita heikyouku ini terasa membosankan karena terjadi pengulangan yang berlebihan. Sejak itu ada keinginan utuk membuat narasi baru yang segar, maka muncullah gaya cerita Joururi. Nama Joururi sendiri diambil dari sebuah cerita yang berjudul Joururi-himeMonogatari (Dongeng tentang putri Joururi), sebuah kisah yang menceritakan tentang cinta putri Joururi yang berhati tulus kepada pria muda bernama Ushikawamaru, yang kemudian dikenal dengan nama Yoshitsune.

Putri Joururi adalah anak perempuan dari seorang pria kaya yang hidup di wilayah Nagoya. Sebenarnya putri ini bukan gadis biasa, karena dia lahir dari dikabulkannya doa yang khusuk dari ayahnya kepada dewa Budha (Yakushi Nyorai). Jadi sebenarnya dia adalah seorang wanita suci seperti dewi. Yoshitsune yang saat itu sedang berkelana diundang ke rumah putri Joururi, di mana Yoshitsune menghabiskan satu malam penuh nafsu bersama putri Joururi . Setelah itu Yoshitsune melanjutkan perjalanannya ke tempat yang lebih jauh. Dalam perjalanan dia menderita sakit, pada akhirnya dirawat oleh putri Joururi sampai sembuh. Yoshitsune mengucapkan terima kasih kepada putri Joururi atas pertolongannya, kemudian melanjutkan perjalanan.

(26)

Cerita dongeng tersebut sebenarnya satu kepercayaan yang sederhana dan naïf.

Kesucian cinta menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan. Cerita roman percintaan ini sangat bertentangan dengan situasi pada zaman itu. Suasana pada zaman Heean adalah suasana perang yang sarat dengan bau kematian, sehingga cerita- cerita yang muncul rata-rata bertema peperangan dankepahlawanan. Kisah Putri Joururi yang berbau roman percintaan membawa kesegaran baru di kala itu. Cerita ini menjadi favorit, dan berdasarkan catatan dari seorang penyair bernama Souchou pada tahun 1531 mulai dikenal gaya penceritaan Joururi. Sejak terkenalnya cerita putri Joururi ini,maka untuk menyebut kesenian teater boneka adalah “Ningyou Joururi” (Boneka Joururi).

Seni pertunjukan boneka dengan cerita roman disebut juga dengan Ningyou Joururi.

Setelah itu banyak bermunculan cerita-cerita baru dengan tema senada. (yoshinobu Inoura & Toshio Kawatake, 1981: 175)

3.2 Perkembangan Boneka Bunraku Di Zaman Edo

Pada masa bunraku masih dikenal dengan sebutan Ningyou Joururi (Boneka Joururi), kesenian ini mencapai puncak popularitasnya. Takemotoza adalah sebuah kelompok teater yang didirikan oleh dalang terkenal pada tahun 1684 di Dotombori, sebuah nama jalan yang banyak terdapat gedung-gedung teater, restoran dan tempat hiburan, di Osaka. Pada tahun 1685, Takemoto Gidayu mengundang Chikamatsu Monzaemon untuk menjadi penulis bintang tamu di Takemotoza. Karya pertama Chikamatsu yang khusus ditulis untuk group teater ini berjudul Shusse Kagekiyo.

Shusse Kagekiyo adalah sebuah drama yang terdiri dari lima babak. Karakteristik yang paling penting di drama ini adalah penggambaran penderitaan dari seorang pria

(27)

biasa yang mengalami dilema dalam memilih antara tunangannya dan pelacur kelas atas bernama Akoya. Drama ini menandai titik balik dalam cerita teater karena penekananya pada sifat manusia yang universal, tidak menonjolkan keajaiban dewa seperti cerita sebelumnya. (http://www2.ntj.jac.go.jp/unesco/bunraku/en/index.html)

Lebih-lebih lagi, Chikamatsu, dalam cerita drama berjudul Sonezaki Shinju, menciptakan tragedi sosial yang besar di teater era Tokugawa, Edo. Cerita yang mengisahkan peristiwa bunuh diri seorang pemuda dalam mencari cinta sejatinya bersama seorang pelacur. Selain itu di dalam cerita Kokusenya Kassen, Chikamatsu mementaskan karakter Kinshoujou, seorang wanita yang mengorbankan dirinya sendiri untuk majikannya dan kewajiban- kewajibannya pada yang lain. Prestasi luar biasa yang dicapai Chikamatsu adalah penangananya yang sangat realistis atas karakter dan psikologi manusia.

Jadi melalui perpaduan seorang tayu (narator) Takemoto Gidayu dan penulis drama Chikamatsu Monzaemon teater boneka menjadi sangat populer, di mana cerita – cerita yang dilakonkan mecerminkan realitas masyarakat Tokugawa.

Pada tahun 1703, pengikut narator Takemoto Gidayu, Takemoto Uneme meninggalkan Takemotoza (Nama group teater) dan mendirikan kelompok teater sendiri bernama Toyotakeza, nama ini mengadopsi nama dari seorang dalang Toyotake Wakadayu. Kedua teater ini akhirnya bersaing dalam mementaskan karya- karya penulis besar. Masing-masing berusaha untuk menarik para penonton dengan memajang hal-hal baru yang pada saat itu tidak dimiliki pihak lawannya. Hal ini nantinya berpengaruh pada perkembangan penampilan boneka. Dari mulai bentuk

(28)

boneka yang sangat sederhana hingga menjadi boneka yang bisa berekspresi seperti manusia. (Scott A.C 1963: 50)

Sepeninggal seorang penulis cerita hebat Chikamatsu, pada tahun 1724, seorang pemain boneka hebat, Yoshida Bunzaburou menyempurnakan sistem menggunakan tiga orang pemain untuk menggerakkan satu boneka dengan lincah.

Dia bukan hanya dikenal sebagai dalang tapi sekaligus seorang seorang produser yang handal. Dia dikaruniai kemampuan untuk membuatinovasi-inovasi dalam permainan boneka.

Metode menggunakan pemain 3 orang untuk menggerakkan satu boneka dipakai saat boneka-boneka mulai memiliki kekuatan ekspresi yang menyerupai kekuatan ekspresi dari karakter manusia. Selain itu juga isi drama yang mulai dramatis menjadi semakin realistis. Penggambaran secara detil dari seting tempat dan waktu kejadian, yang banyak disebutkan di dalam karya-karya Chikamatsu, banyak dikurangi lalu bagian dialog banyak ditambah. Alasan pengubahan teks cerita ini dimaksudkan untuk memungkinkan boneka-boneka berperan seperti aktor sebenarnya. Pada tahap perkembangan ningyou Joururi menuju kejayaannya, tiga maha karya diciptakan, yaitu Sugarawa Denju Tenarai Kagami (1746),Yoshitsune Sembonzakura (1747), dan Kanadehon Chuushingura(1748).

Drama - drama tersebut menggambarkan usaha-usaha gabungan dari Takeda Izumo (1691-1756), Namiki Sousuke (juga dikenal sebagai Senryuu,1695- 1751), dan Miyoshi Shouraku (1696-1775). Penggabungan seperti ini biasa dilakukan sepeninggal penulis drama Chikamatsu. Di antara ketiga penulis tersebut di atas

(29)

yang kelihatan paling berpengaruh adalah Namiki Sousuke. Namiki sebelumnya menulis drama pembunuhan di pertengahan musim panas Natsu Matsuri Naniwa Kagami. Di dalam drama ini dalang Yoshida Bunzaburou menggunakan air dan

lumpur untuk mementaskan adegan pembunuhan di atas panggung, sehingga

menghasilkan pementasan yang mendekati kenyataan.

(http://www2.ntj.jac.go.jp/unesco/bunraku/en/index.html)

Masa ini menandai klimaks kejayaan dari sejarah bunraku. Pada tahun 1751 Namiki menulis Kumagai Jinya, karya ini merupakan tulisan terakhirnya karena pada tahun yang sama Namiki meninggal dunia. Sepeninggalnya Namiki , menyurut pula popularitas Ningyou Joururi, digantikan oleh popularitas kabuki (Kesenian wayang orang). Kabuki ini banyak mengadopsi cerita dari Ningyou Joururi.

Popularitas Ningyou Joururi menurun drastis walaupun seorang penulis cerita Chikamatsu Hanji mencoba menulis karya-karya bagus. Pada akhirnya sepeninggal Chikamatsu Hanji (1725-1783) Ningyou Joururi kehilangan pengarang besar terakhirnya. Banyak pengarang yang akhirnya lebih menekuni kabuki yang memang mulai menggeser popularitas bunraku. Dengan ditutupnya dua teater besar yang selama ini menjadi pilar teater boneka yang persaingan kedua teater tersebut telah memacu kemajuan yang begitu besar, yaitu Takemotoza dan Toyotakeza telah menjadikan teater boneka semakin merosot popularitasnya. Hanya teater-teater kecil tersebar di berbagai bagian Osaka yang masih melestarikan kesenian Ningyou Joururi.

3.3 Perkembangan Boneka Bunraku Pada Periode Meiji

(30)

Di tengah keterpurukan teater boneka Joururi, seorang pemain boneka dari pulau Awaji yang bernama Masai Kahei (lebih dikenal dengan nama panggung Bunrakken atau Bunraku-ken), berhasil mencapai keberhasilan bersama kelompok seninya. Dia memulai dengan klub kecil untuk para pemula, setelah orang–

orang berbakat terkumpul, dia mendirikan sebuah kelompok teater penghibur di dalam lingkungan kuil Inari di Osaka dengan nama kelompok penghibur

“Bunrakken”.

Kelompok ini tidak hanya memapankan diri sebagai kelompok seni boneka hebat di Osaka, tetapi akhirnya pada tahun 1872, dengan dibukanya teater bunraku ini, nama bunraku itu sendiri menjadi sebutan untuk menyebut teater boneka hingga saat ini. Pada masa ini bunraku telah berhenti menghasilkan karya-karya baru dan telah mendapatkan bantuan pemerintah untuk menghidupkan kembali drama- drama lama. Dengan kata lain, bunrakken menjadi sebuah teater konservatif, yang mencurahkan diri untuk melestarikan karya-karya lama.

(http://www.britannica.com/art/Japanese-performing-arts/Meiji-period)

Pada periode Meiji (1868-1912) menandai kebangkitan kembali minat kepada bunraku, muncul nama Toyozawa Dampei, pemetik alat musik shamisen yang sangat piawai mengiringi teater boneka. Dampei sendiri selain sebagai pemusik juga sebagai seorang pengarang drama dengan dibantu istrinya. Pada tahun 1898, kelompok baru didirikan di Kuil Goryou, bernama kelompok “Hikoroku” Karena ada perselisihan, Dampei akhirnya meninggalkan kelompok Bunrakken dan bergabung dengan kelompok baruHikoroku. Dengan masuknya Dampei di kelompok baru ini menimbulkan persaingan keras di antara dua kelompok tersebut. Hal ini

(31)

mengingatkan kembali pada masa persaingan teater Takemotoza dengan toyotakeza yang berdampak pada kemajuan perkembangan teater boneka.

(http://www2.ntj.jac.go.jp/unesco/bunraku/en/index.html)

Walaupun pada era Meiji ini teater bunraku cukup populer, tetapi manajemen yang buruk dari para penerus pengelola teater sehingga mengakibatkan kebangkrutan sampai akhirnya kelompok bunrakken menjual aset kekayaannya kepada pengelola baru “Shouchiku”. Pengelola ini membawahi 38 dalang, 51 pemain shamisen, dan 24 operator boneka. Di bawah manajemen baru bunraku memang lebih menarik terutama penampilan para dalang wanita.

Sampai pada akhirnya pada tahun 1926 terjadi kebakaran besar hingga memusnahkan seluruh asset teater bunraku. Pasca kebakaran kendala keuangan melilit para pengelola kelompok penghibur, namun pada akhirnya akhir tahun 1929, sebuah teater baru terbentuk. Sementara itu mulai ada kelompok penghibur yang berkeliling memainkan tetater boneka. Walaupun beberapa pentas bunraku berhasil menarik minat penonton, namun secara keseluruhan popularitas bunraku secara umum tetap merosot.

3.4 Perkembangan Boneka Bunraku Pasca Era Meiji Hingga Kini

Pada tahun 1933, parlemen pemerintah Jepang memberlakukan UU yang isinya tentang pelestarian teater bunraku dengan subsidi pemerintah. Hal ini dilakukan pemerintah karena bunraku dianggap sudah tidak mampu lagi menarik minat penonton seperti halnya kesenian kabuki dan film. Pada tahun yang sama,

(32)

kelompok penghibur tersebut terpaksa berpentas di luar Osaka sebagai pusatnya.

Pada masa ini bunraku mengalami kebangkitan sementara saja dengan adanya dukungan dari pemerintah. Opini publik secara umum menyatakan bahwa bunraku akan segera mati. (http://web-japan.org/nipponia/archives/en/index.html)

Selama perang (1941-1945) bunraku mengalami kebangkitan aktifitas sementara saja, sampai akhirnya terjadi peristiwa pengeboman Osaka dan pembakaran gedung teater bunraku pada tahun 1945 menjadikan bunrakusemakin terpuruk. Untuk selanjutnya bunraku baru memulai pertunjukan lagi satu tahun berikutnya (masa perang berakhir). Namun demikian, tetap saja minat kepada bunraku tidak bertambah.

Pada tahun 1963, asosiasi bunraku (Bunraku Kyoukai) terbentuk, dan otomatis menggantikan pengelola Shouchiku di dalam manajemen bunraku. Di bawah managemen baru, kelompok teater bunraku berubah orientasi menjadi sebuah organisasi nirlaba yang mencakup para pemain dan perwakilan dari pemerintah dan perusahaan penyiaran. Walaupun dukungan pemerintah diberikan ternyata tidak mendongkrak minat masyarakat kepada bunraku. (Scott, A.C 1963:43)

Ada beberapa alasan hilangnya dukungan publik kepada bunraku.

Pertama, teks-teks bunraku yang diciptakan 200 tahun lalu sangat puitis sehingga sulit untuk dimengerti oleh generasi berikutnya. Kedua, kisah kisah yang dipentaskan cenderung berlebihan sehingga untuk generasi pasca era Meiji dianggap tidak masuk akal, kurang realistis Ketiga, kecenderungan generasi muda Jepang yang tidak mau latihan yang begitu keras untuk meneruskan kesenian bunraku.

(33)

Sebelum tahun 1972, perlu minimal 10 tahun untuk bisa menjadi seorang pemain boneka.

Sebelumnya teknik bunraku hanya diwariskan kepada penerusnya saja, tetapi sistem ini berubah sejak tahun 1972. Model yang baru adalah model pendidikan, pada awalnya para murid baru dilatih di teater nasional Tokyo, setelah mengikuti program latihan selama 2 tahun, kemudian secara resmi disebut sebagai pemain professional. Setelah selesai masa latihan, mereka praktek langsung di bawah bimbingan seorang guru. Para murid mengamati dan mengikuti teknik- teknik gurunya. (http://web-japan.org/nipponia/archives/en/index.html)

Saat ini bunraku berkembang dengan baik, dengan adanya kebangkitan kembali minat masyarakat di Jepang dan luar negeri. Walaupun karya-karyayang ditampilkan adalah karya lama, dalam setiap pertunjukan tiket sudah biasa terjual habis. Para penonton lebih variatif dari kelompok umur dan latar belakang sosial.

Minat orang asing terhadap kesenian bunraku ini tumbuh dengan cepat dan jumlah pengunjung yang menghadiri pertunjukkan di Jepang meningkat pesat. Para pemain boneka, para penulis drama dan para penari di banyak bagian dunia saat ini semakin mengakui bahwa bunraku adalah kesenian yang mempengaruhi gaya pertunjukan mereka, dan karya-karya lama Chikamatsu Monzaemon, dan penulis drama boneka Jepang lainnya materi pembahasan di dalam kuliah-kuliah drama di negara lain.

(Barbara C.Adachi 1985:12)

Kelompok seni bunraku tampil di Osaka 4 kali setahun, untuk serangkaian pertunjukan selama 15 – 20 hari. Sedangkan pentas di Teater Nasional Tokyo (teater

(34)

yang dibangun tahun sejak 1966 dan khusus untuk pertunjukan bunraku) 4 kali dalam 15 hari. Pertunjukan-pertunjukan tahunan di Kyoto dan Yokohama juga secara teratur dijadwalkan. Selain itu juga berkeliling dari Hokkaido ke Okinawa, kota-kota kecil dan kota besar selama 3 atau 4 kali setahun dalam waktu 60 hari. Kelompok seni ini juga telah mengadakan pertunjukan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Skotlandia, Austria, Belgia, Denmark, Perancis, Jerman Barat dan Timur, Italia, Belanda, Swedia, RRC, dan seterusnya. Pada tahun 2003, UNICEF menetapkan bunraku sebagai salah satu warisan aset budaya dunia. Dua belas tahun yang lalu, tepatnya hari Sabtu, 2 - 10 - 2004 kelompok teater “Otome bunraku”mengadakan pertunjukan di Japan Foundation Jakarta. Disebut Otome Bunraku karena dalang yang memainkan adalah perempuan bernama Manami Sakamoto. Arti kata otome itu sendiri adalah perempuan muda. Ide pertunjukan ini lahir untuk membentuk teater yang terdiri dari gadis - gadis muda. Usaha ini dilakukan untuk mempertahankan kelestarian kesenian bunraku di kalangan anak muda. (https://id.wikipedia.org/wiki/Bunraku.htm)

BAB IV

(35)

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Teater boneka atau sekarang biasa disebut dengan Bunraku diperkenalkan ke Jepang oleh negara Cina pada Tahun 600M.

2. Pada masa Bunraku masih dikenal dengan sebutan Ningyou Joururi, kesenian ini mencapai puncak popularitas.

3. Pada zaman Edo menandai klimaks kejayaan dari sejarah bunraku.

4. Pada Tahun 1751 pada zaman Edo sepeninggalnya Namiki popularitas Bunraku digantikan oleh popularitas kabuki.

5. Pada periode Meiji menandai kebangkitan kembali kesenian Bunraku yang cukup populer.

6. Pada tahun 1933, parlemen pemerintah Jepang memberlakukan UU yang isinya tentang pelestarian Bunraku dengan subsidi pemerintah

4.2 Saran

1. Kita warga Indonesia harus ikut serta melestarikan budaya kita seperti Negara Jepang lakukan.

2. Warga Indonesia juga harus mengikuti perkembangan zaman dalam melestarikan budaya Indonesia seperti Bunraku yang mengikuti alur perkembagan zaman.

DAFTAR PUSTAKA

(36)

Adachi, Barbara C,1985. Backstage at Bunraku. Tokyo: Weather hill.

Inoura, Yoshinobu, Toshio Kawatake. 1981. Traditional Theater of Japan.

Tokyo:Japan Foundation.

Keene,Donald.1973. Bunraku the Art Japanese Puppet Theatre.Kodansha

International Ltd.

Scott, A.C. 1963. The Puppet Theatre Of Japan, Tokyo:E.Tuttle Company.Inc.

Johnson,Matthew.1995.A Brief Introduction to the History of Bunraku.

http://web-japan.org/nipponia/archives/en/index.html

http://www.sagecraft.com/puppetry/definitions/Bunraku.hist.html

http://www2.ntj.jac.go.jp/unesco/bunraku/en/index.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Bunraku.htm

http://www.britannica.com/art/Japanese-performing-arts/Meiji-period

ABSTRAK

(37)

Bunraku awalnya merupakan nama untuk satu rombongan jōruri, dianggap sebagai boneka paling canggih teater hidup saat ini, dimainkan oleh tiga dalang memiliki penonton di seluruh dunia, mendorong perkembangan teater barat.

Bunraku baik untuk epik cerita wayang keliling dan teater. Sekitar 1600 tahun yang lalu mulai melakukan di sekitar kota-kota di Jepang. Berbeda dengan noh, bunraku ( seperti kabuki ) adalah sebuah teater komersial kota.

Istilah bunraku belum lama diciptakan. Dari sedemikian banyak perkumpulan teater boneka yang ada pada periode Edo, hanya yang terkenal sebagai bunraku-za saja.

Teater tersebut didirikan oleh Uemura Bunrakuken pada abad ke – 19 di Osaka..

Pertunjukan ini memiliki empat unsur. Boneka-boneka yang berukuran setengah ukuran manusia biasa, seni gerak yang dilakukan oleh pemainnya, seni suara yang dibawakan oleh para tayū ( “penyanyi” mantra ), dan pengantar musik dibawakan oleh para pemain alat musik shamisen. Untuk menambah kemenarikan dalam suatu pertunjukan, bagi setiap boneka pemeran utama diperlukan tiga orang penggerak boneka, yaitu seorang penggerak utama dan dua orang asisten.

Berdasarkan peninggalan catatan tertua, seni pertunjukan boneka di Jepang berasal dari abad ke-11. Sudah tentu keberadaannya sudah lebih lama dari itu, yakni pertunjukan keliling di kota-kota untuk memperoleh nafkah tambahan. Para pemburu pria mengadakan pertunjukan boneka-boneka kecil yang mereka gerakan dengan tangan-tangan mereka. Kemudian banyak diantaranya yang menetap di Sanjō, di pulau Awaji ( Awajishima ). Tempat ini kemudian dianggap sebagai daerah asal seni pertunjukan boneka secara professional.

(38)

Kementerian Pendidikan Jepang menetapkan bunraku sebagai Warisan Agung Budaya Nonbendawi. Pada tahun 2003, UNICEF menetapkan bunraku sebagai salah satu warisan aset budaya dunia sebagai. kelompok teater “Otome bunraku” pernah mengadakan pertunjukan di Japan Foundation Jakarta. Disebut Otome Bunraku karena dalang yang memainkan adalah perempuan bernama Manami Sakamoto. Arti kata otome itu sendiri adalah perempuan muda. Ide pertunjukan ini lahir untuk membentuk teater yang terdiri dari gadis-gadis muda.

Usaha ini dilakukan untuk mempertahankan kelestarian kesenian bunraku di kalangan anak muda.

Referensi

Dokumen terkait