PENGARUH DEWAN KOMISARIS INDEPENDEN TERHADAP KUALITAS LABA DENGAN
KONSENTRASI KEPEMILIKAN SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI
Dessy Noor Farida STIE Bank BPD Jateng
Abstract
The Quality of earning is element that is often used by investors to take investment decisions. But the financial scandals that occurred, causing investors have crisis confidence in capital markets. Therefore, the necessary existence of a good corporate governance is very importance to create a financial statement that reflects the real condition of the company. The purpose of this study is to analyze the influence of independence board of commisioners on earnings quality which are moderated by the concentration of family ownership.
Manufacturing firms listed in Indonesian Stock Exchange 2007-2009 is the object of this study. Based on purposive sampling technique, it gets 118 firms.
Multiple regression analysis using SPSS program. The result of the hypothesis test indicates that independent board of commissioners have significantly positive effect on discretionary accruals. This study also found a concentration of family ownership has insignificantly moderates the effect on an independent board to discretionary accruals.
Keywords: Discretionary Accruals, independent board of commisioners , family ownership
PENDAHULUAN
Informasi laba merupakan unsur utama yang digunakan dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannya karena memiliki nilai prediktif (FASB, 1980) dalam Boediono (2005). Tujuan utama dari pelaporan laba adalah memberikan informasi yang berguna bagi mereka yang berkepentingan dalam laporan keuangan (Hendriksen dan Breda, 2000).
Sedangkan tujuan pelaporan laba yang lebih spesifik mencakup penggunaan laba sebagai pengukuran efisiensi manajemen, membantu meramalkan masa depan perusahaan atau pembagian dividen masa depan dan sebagai pengukuran pencapaian serta pedoman untuk keputusan manajerial masa depan (Hendriksen dan Breda, 2000). Oleh karena itu, informasi laba banyak digunakan sebagai tolak ukur untuk mengevaluasi kinerja perusahaan (Dechow, 1995).
Informasi laba yang dihasilkan dari pengelolaan laba yang bersifat oportunis dapat menyebabkan pengambilan keputusan investasi yang salah bagi investor (Sylvia dan Utama, 2006). Hal ini menyebabkan menurunnya kualitas laba yang dihasilkan oleh perusahaan. Untuk alasan tersebut di atas, sejumlah peneliti,
biasanya mengukur kualitas laba dengan melihat beberapa sifat tertentu dari laba yang sering disebut dengan “ earning attributes ” ( accrual quality, persistence, predictability, smoothness, value relevance, timeliness dan conservatism). Dalam penelitian ini, manajemen laba digunakan sebagai proxy untuk kualitas laba perusahaan. Deteksi atas kemungkinan dilakukannya manajemen laba dalam laporan keuangan secara umum diteliti melalui penggunaan akrual. Kualitas laba yang diukur dengan menggunakan ukuran perubahan total akrual, dikatakan sebagai laba berkualitas jika laba tersebut mempunyai perubahan total akrual yang kecil.
Laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan merupakan laba yang dihasilkan dengan metode akrual. Dengan menggunakan dasar akrual, transaksi atau peristiwa lain yang mengubah laporan keuangan sebuah entitas dicatat pada periode terjadinya, bukan pada periode ketika entitas mengeluarkan atau menerima kas (Kieso, et al 2008). Menurut Dechow (1995), laba akrual dianggap sebagai ukuran yang lebih baik dibandingkan dengan arus kas dari aktivitas operasi karena akrual mempertimbangkan masalah waktu. Sebagai konsekuensi penggunaan dasar akrual ini, laba dalam suatu periode dapat mengandung unsur kas dan akrual (non kas). Unsur akrual dapat terjadi
berdasarkan kebijakan manajemen ( discretionary accrual ) atau non kebijakan manajemen ( non discretionary accrual ). Menurut Subramanyam (1996) dalam Siregar dan Utama (2006) dengan adanya fleksibilitas yang senantiasa terbuka dalam implementasi prinsip akuntansi yang berlaku umum, menyebabkan manajemen dapat memilih kebijakan akuntansi dari berbagai pilihan kebijakan yang ada, sehingga pada gilirannya fleksibilitas tersebut memungkinkan dilakukannya pengelolaan laba ( earning management ) oleh manajemen perusahaan.
Fenomena adanya skandal keuangan menunjukkan bahwa laporan keuangan telah gagal dalam memenuhi kebutuhan informasi kepada para pengguna laporan tersebut. Laba, sebagai bagian dari laporan keuangan yang banyak
dipertimbangkan oleh para pengguna laporan, tidak menyajikan fakta yang sebenarnya tentang kondisi ekonomis dari perusahaan tersebut, sehingga informasi laba yang disajikan dapat menyesatkan para pengguna laporan. Di Indonesia, skandal keuangan juga pernah menimpa beberapa perusahaan diantaranya PT Telkom Tbk., PT Indofarma Tbk., PT Lippo, PT Kimia Farma Tbk. dan PT KAI. Pos yang seharusnya dicatatkan dalam kerugian, oleh perusahaan dibukukan sebagai pos yang dapat menggelembungkan pendapatan.
Menurut laporan keuangan tahun 2005, PT KAI mencatat laba sebesar Rp. 6,9 miliar. Padahal perusahaan tersebut seharusnya menderita kerugian sebesar RP 63 miliar (Suara Karya online, 2006).
Dengan banyaknya skandal keuangan yang terjadi, menimbulkan krisis
kepercayaan para investor terhadap pasar modal. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan tindakan penanggulangan terhadap sejumlah skandal keuangan yang terjadi. Perkembangan regulasi di Indonesia tentang Good Corporate Governance juga mengalami penyempurnaan pasca terjadinya skandal keuangan.
Pedoman umum Good Corporate Governance Indonesia yang dibuat oleh KNKG
(Komite Nasional Kebijakan Governance) dimaksudkan untuk mendorong terciptanya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan (KNKG, 2006). Selain itu juga mendorong
pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu dewan komisaris, direksi dan rapat umum pemegang saham. Sehingga dengan diterapkannya GCG serta pelaporan penerapan GCG pada perusahaan-perusahaan publik dapat lebih melindungi kepentingan para pemegang saham, khususnya pemegang saham minoritas.
Kualitas laba dipengaruhi dengan adanya pengawasan dari dewan komisaris terhadap apa yang dilakukan oleh pihak eksekutif atau direksi. Fungsi utama Dewan komisaris menurut Indonesian Code For Corporate Governance adalah memberikan supervisi kepada direksi dalam menjalankan tugasnya dan
berkewajiban memberikan pendapat serta saran apabila diminta direksi. Dalam menjalankan tugasnya anggota dewan komisaris harus bersikap independen.
Karena itu, dalam keanggotaan dewan komisaris harus terdapat anggota dari luar perusahaan yang independen. Penelitian yang dilakukan Dechow et al (1996), Klein (2002), Peasnell et al (2001), Chtourou et al (2001), Puspa dan Mahfoedz (2003) dan Xie et al (2003) (dalam Boediono, 2005), memberikan kesimpulan bahwa perusahaan yang memiliki komposisi dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan atau outside director dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Park dan Sin (2004) menemukan bukti yang sebaliknya, penelitian ini tidak menemukan bukti yang dapat
mendukung adanya hubungan antara manajemen laba dengan dewan komisaris yang independen pada perusahaan sampel di Canada, dimana Canada juga memiliki konsentrasi kepemilikan yang cukup tinggi dan pengendalian yang cukup besar dari blockholder. Penelitian yang dilakukan oleh Abdullah dan Nasir (2004) dan Rahman and Ali (2006) juga gagal menemukan bukti yang signifikan antara dewan komisaris yang independen dengan manajemen laba di Malaysia.
Perbedaan konflik kepentingan yang terjadi di Amerika dan United Kingdom yaitu antara outside shareholders dan manajer akan berbeda dengan konflik kepentingan yang terjadi di Indonesia, yang termasuk dalam Negara dengan kepemilikan terkonsentrasi (La Porta et al , 1999). Konflik yang terjadi dalam kepemilikan terkonsentrasi adalah konflik antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas, dimana pemegang saham mayoritas
cenderung memiliki kendali lebih besar dibandingkan pemegang saham minoritas dalam mempengaruhi keputusan pelaporan keuangan perusahaan (Shleifer dan Vishny, 1997). Menurut La Porta et al (1999) salah satu bentuk ekspropriasi yang dilakukan pemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas adalah menggunakan hak pemegang saham minoritas untuk kepentingannya sendiri dengan cara menjual aset atau saham ke perusahaan lain yang mereka miliki dibawah harga pasar.
Rumusan Masalah
Yang menjadi masalah pokok pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bagaimana pengaruh dewan komisaris yang independen terhadap kualitas laba 1.
(manajemen laba).
Bagaimana pengaruh antara independen dewan komisaris perusahaan dan 2.
kualitas laba yang dimoderasi dengan konsentrasi kepemilikan keluarga.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh dan menganalisis bukti empiris pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia mengenai :
Dewan komisaris independen yang meningkatkan kualitas laba 1.
Pengaruh independen dewan komisaris perusahaan terhadap kualitas laba 2.
yang diperlemah dengan konsentrasi kepemilikan keluarga.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Keagenan (Agency Theory) dan Konsentrasi Kepemilikan
Masalah keagenan akan dipengaruhi oleh sifat dari struktur kepemilikan suatu Negara. Masalah keagenan yang terjadi di Negara dengan kepemilikan perusahaan yang tersebar akan berbeda dengan Negara dimana kepemilikan perusahaan terkonsentrasi. Ketika kepemilikan tersebar, seperti pada perusahaan di AS dan UK, konflik kepentingan akan terjadi antara manajer dengan
pemegang saham sebagai masalah utama (Jensen dan Meckling, 1976).
Sedangkan untuk kepemilikan terkonsentrasi, seperti perusahaan di Asia, konflik kepentingan akan terjadi antara pemegang saham minoritas dengan pemegang saham pengendali.
Penelitian tentang konsentrasi kepemilikan yang dilakukan oleh Claessens et al.,(2000) menunjukkan bahwa perusahaan di Asia Timur termasuk Indonesia diketemukan cenderung terkonsentrasi. Hasil dari penelitian menyebutkan bahwa lebih dari 2/3 perusahaan publik di Indonesia dimiliki oleh beberapa family.
Ketika perusahaan keluarga mengeluarkan saham untuk dimiliki oleh publik, maka konflik kepentingan yang terjadi adalah konflik kepentingan antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas (Claessens dan Fan, 2002). Dan biasanya mereka akan memilih kerabat mereka sendiri untuk menempati posisi manajemen pada level yang tertinggi untuk mengelola perusahaan. Pemegang saham mayoritas atau pengendali memiliki kesempatan untuk memaksimalkan keuntungan mereka dengan mengambil alih hak pemegang saham minoritas (Fan dan Wong, 2002).
Perusahaan dengan kepemilikan yang terkonsentrasi memiliki kekuatan yang signifikan untuk memperturutkan kepentingannya dengan mengorbankan kepentingan pemegang saham minoritas, kreditor dan pemangku kepentingan lainnya (Achmad, T., 2007). Pemegang saham mayoritas tidak hanya dapat menentukan jalannya perusahaan tetapi juga bagaimana laba dibagikan kepada
pemegang saham lainnya. Jadi, meskipun pemegang saham minoritas memiliki hak arus kas yang proporsional dengan kepemilikan mereka, mereka menghadapi ketidakpastian tindakan oportunis dari pemegang saham mayoritas yang dapat menjauhkan dari hak-hak mereka (Morck et al, 1988).
Di Indonesia, mayoritas kepemilikan pada perusahaan publik adalah
terkonsentrasi dan didominasi oleh keluarga atau kelompok keluarga. Menurut hasil survey ADB di dalam Sutojo dan Aldridge (2005), disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan besar swasta di Indonesia kepemilikannya didominasi keluarga atau kelompok keluarga (perusahaan konglomerat). Jumlah konglomerat di Indonesia pada akhir dekade 1990-an sekitar 300 perusahaan. Pada tahun 1997 kelompok konglomerat memiliki 9,766 perusahaan swasta. Jumlah harta
perusahaan yang mereka kuasai pada tahun itu berkisar sekitar Rp 234 trilyun.
Menurut Siregar dan Utama (2006) sebagian besar perusahaan Indonesia
merupakan perusahaan konglomerasi. Untuk perusahaan konglomerasi, biasanya sebagian besar kekayaan pemilik tidak berada dalam satu perusahaan, tetapi tersebar diberbagai perusahaan.
Dewan Komisaris
Keberadaan dewan komisaris independen sangat diperlukan dalam mendorong diterapkannya prinsip dan praktek tata kelola perusahaan yang baik pada perusahaan. Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 40/ 2007 tentang “Perseroan Terbatas” pasal 108, komisaris bertugas mengawasi kebijaksaan direksi dalam menjalankan perusahaan serta memberikan nasehat yang diperlukan. Fungsi utama dewan komisaris menurut Indonesian Code For Corporate Governance adalah memberikan supervisi kepada direksi dalam menjalankan tugasnya. Dewan komisaris juga berkewajiban memberikan pendapat dan saran apabila diminta direksi. Dalam menjalankan tugasnya tersebut para anggota dewan komisaris wajib bersikap independen. Dewan komisaris yang independen merupakan pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang daham utama, anggota direksi dan atau anggota dewan komisaris lainnya.
Menurut aturan yang dikeluarkan oleh PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) didalam Pencatatan Efek No 1-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek yang bersifat Ekuitas di bursa dalam angka 1-a menyebutkan tentang rasio komisaris
independen yaitu komisaris independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan ketentuan jumlah saham komisaris independen sekurang- kurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota dewan komisaris wajib diisi oleh anggota komisaris yang berasal dari luar perusahaan, yaitu mereka yang tidak ikut serta secara langsung dalam pengelolaan kegiatan perusahaan sehari-hari (dalam angka 2 aturan BEI, menentukan persyaratan komisaris independen yang melarang adanya hubungan terafiliasi baik dengan pemegang saham pengendali, direktur atau komisaris lainnya, bekerja rangkap dengan perusahaan terafiliasi dan memahami peraturan per-undang-undangan di bidang Pasar Modal).
Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali dalam Rapat Umum
Pemegang Saham.
Komposisi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas (Boediono, 2005). Dalam Pedoman Umum GCG Indonesia (KNKG, 2006), fungsi monitoring dewan komisaris diharapkan lebih efektif dalam melindungi kepentingan pemegang saham minoritas, dengan adanya peraturan mengenai komposisi dewan komisaris yang berasal dari luar (independen).
Kualitas Laba
Manajemen laba dapat menjadi salah satu proksi dari kualitas laba. Manajemen laba dapat dideteksi dengan beberapa cara, diantaranya adalah dengan melihat pilihan metode akuntansi dan timing, akrual diskresioner, classification shifting dan manipulasi aktivitas real. Untuk metode akrual diskresioner, tidak dapat diobservasi langsung dari laporan keuangan, maka harus diestimasi melalui beberapa model. Dalam model tersebut akan dipisahkan antara discretionary accrual dan non discretionary accrual . Menurut Na'im dan Hartono (1996) menemukan bahwa model estimasi discretionary accruals yang berlaku pada perusahaan manufaktur, tidak berlaku pada perusahaan non manufaktur. Dalam perusahaan manufaktur tingkat akrual antar industri berbeda tergantung pada karakteristik industri.
Kualitas laba yang diukur dengan menggunakan ukuran perubahan akrual total, dikatakan sebagai laba berkualitas jika laba tersebut mempunyai perubahan akrual total yang kecil. Pengukuran ini mengasumsikan bahwa perubahan total akrual disebabkan oleh perubahan discretionary accruals. Estimasi discretionary accrual dapat diukur secara langsung untuk menentukan kualitas laba. Semakin kecil discretionary accruals maka akan semakin tinggi kualitas laba yang dilaporkan dan sebaliknya (Sutopo, B., 2009).
HIPOTESIS
Pengaruh Independensi Dewan terhadap Kualitas Laba ( discretionary accruals)
Dampak independensi dewan perusahaan terhadap efektifitas pengawasan telah diteliti dalam studi sebelumnya. Sebagian besar dari studi ini menekankan pentingnya dewan perusahaan yang independen, diproksikan dengan proporsi yang lebih tinggi dari direktur non-eksekutif independen, untuk memonitor aktivitias manajerial. Fama dan Jensen (1983) menekankan pentingnya independensi dewan perusahaan untuk menyediakan monitoring yang efektif terhadap kegiatan manajerial dan inisiatif. Williamson (dalam Jaggi et al 2010) berpendapat bahwa independensi dewan perusahaan diperlukan untuk melindungi kepentingan investor. Roe (dalam Jaggi et al , 2009) mendukung peran
pemantauan dewan komisaris bahwa kegiatan manajerial tidak dapat ditargetkan oleh tindakan legislatif, dan berpendapat bahwa pemantauan yang efektif oleh dewan perusahaan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh para manajer.
Dalam studi lain, Beasley (2006) menyimpulkan bahwa dimasukkannya proporsi yang lebih besar direksi di luar pada dewan mengurangi kemungkinan penipuan laporan keuangan. Dalam studi yang berdasarkan sampel kecil dari perusahaan AS, Xie et al . (dalam Jaggi et al , 2009) menemukan hubungan negatif antara independensi dewan dan akrual discretionary. Peasnell et al. (2000) menemukan hasil serupa menggunakan sampel perusahaan Inggris untuk pra- dan pasca- Cadbury. Temuan mereka menunjukkan bahwa pada periode pasca-Cadbury, perusahaan meningkatkan manajemen akrual untuk menghindari kerugian laba atau penurunan ketika proporsi direktur non-eksekutif tinggi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Klein (2002), Chtourou et al (2001), Midiastuty dan Mahfoedz (2003) (dalam Boediono, 2005) menemukan bahwa perusahaan yang memiliki anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan atau outside directors dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba.
Indikator yang digunakan untuk mengukur komposisi dewan komisaris adalah presentase jumlah anggota dewan yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh jumlah anggota dewan komisaris perusahaan. Hal ini juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Vafeas (2002) dan Anderson et al (2003) yang memberikan kesimpulan bahwa komposisi dewan komisaris diperusahaan dapat mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Dan indikator yang digunakan adalah jumlah anggota dewan yang berasal dari luar perusahaan terhadap seluruh jumlah anggota dewan komisaris perusahaan.
Di Indonesia juga terdapat peraturan yang mengatur tentang komposisi dewan komisaris. Dimana dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa anggota dewan komisaris setidaknya 30% terdiri dari dewan komisaris yang berasal dari luar atau independen dewan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan proporsi dewan yang berasal dari luar akan dapat meningkatkan peran pengawasan dari dewan komisaris. Dengan adanya pengawasan yang baik dari dewan komisaris, maka hasil laporan keuangan yang dihasilkan perusahaan akan lebih berkualitas, sehingga dapat dipergunakan oleh pihak yang berkepentingan untuk mengambil keputusan. Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis yang pertama sebagai berikut :
H1: Dewan komisaris yang indepeden berpengaruh negatif terhadap discretionary accrual.
Dampak konsentrasi kepemilikan keluarga pada pengaruh Dewan Komisaris independen terhadap kualitas laba (discretionary accruals)
Independensi dewan komisaris dapat dipengaruhi oleh struktur kepemilikan suatu negara. Struktur kepemilikan yang terkonsentrasi pada keluarga, seperti di Indonesia, akan semakin memperlemah keefektifan monitoring dari dewan komisaris. Indonesia termasuk salah satu negara yang mempunyai kepemilikan yang terkonsentrasi (Claessens et al ., 2000 dan 2001). Di Indonesia porsi
kepemilikan yang dimiliki oleh keluarga sangat dominan. Dan kepemilikan tersebut biasanya dimiliki oleh pemegang saham mayoritas yang biasanya sebagai pemilik dan pendiri perusahaan. Selain itu, biasanya dalam memilih manajer yang berfungsi untuk menjalankan operasional perusahaan, mereka akan memilih yang masih mempunyai hubungan dengan para pemilik atau pendiri perusahaan. Sehingga, manajemen juga mempunyai kepemilikan dalam perusahaan tersebut.
Masalah keagenan tipe II (konflik kepentingan antara pemegang saham mayoritas dan minoritas) lebih banyak di negara Asia Timur, dimana kepemilikan yang dikendalikan keluarga tersebar luas, perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas lebih lemah, dan pelaporan keuangan kurang transparan (Fan dan Wong, 2002; Ball et al , 2003.). Studi empiris juga mendokumentasikan earning management yang lebih tinggi di negara-negara dengan perlindungan investor yang lebih rendah (Faccio et al , 2001;. Leuz et al , 2003.). Penelitian- penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen laba mungkin digunakan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi shareholders mayoritas.
Banyaknya penelitian yang telah dilakukan terhadap kepemilikan terkonsentrasi dan permasalahan agensi yang timbul, maka terdapat kemungkinan konsentrasi kepemilikan akan memoderasi keefektifan pemantauan oleh dewan komisaris yang independen karena beberapa alasan berikut. Pertama, pemegang saham mayoritas yang memegang kendali dalam perusahaan akan menunjuk dewan komisaris dari luar perusahaan hanya untuk mencari nasihat mereka daripada memberikan mereka tanggung jawab untuk memantau kegiatan manajerial (Anderson dan Reeb, 2004). Kedua, konsisten dengan masalah keagenan tipe II, pemegang saham mayoritas akan memiliki motivasi untuk mengambil alih hak pemegang saham minoritas, dan dengan demikian mereka akan memiliki insentif untuk membatasi pemantauan oleh dewan komisaris dari luar yang mereka tunjuk. Ketiga, independensi dewan komisaris dari luar juga dapat
dikompromikan karena kedekatan mereka dan kesetiaan kepada pemegang saham mayoritas yang mengangkat atau mengangkat kembali mereka dalam dewan perusahaan. Oleh karena itu, penelitian ini mengembangkan hipotesis berikut :
H2 : Pengaruh negatif antara Dewan Komisaris yang independen dan discretionary accrual akan diperlemah konsentrasi kepemilikan.
METODE PENELITIAN
Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur go public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), dan sampel yang digunakan adalah perusahaan manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) per tanggal 1 Januari 2006 sampai dengan 31 Desember 2009.
Metode pemilihan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang representative sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Kriteria tersebut ditentukan sebagai berikut :
Perusahaan yang mempublikasikan laporan keuangan auditan pada 1)
www.idx.co.id.
Perusahaan terdaftar di BEI yang memiliki tahun buku yang berakhir 31 2)
Desember selama periode pengamatan 2006, 2007, 2008 dan 2009.
Perusahaan yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang akan 3)
diteliti yaitu terkait dengan dewan komisaris independen, komite audit, KAP, aset, piutang, laibilitas, penjualan, laba bersih serta arus kas operasi.
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
Pengukuran variabel independen dan dependen adalah sebagai berikut : Variabel Dependen
a.
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kualitas laba akuntansi. Kualitas laba akuntansi diproksikan dengan manajemen laba yang menggunakan
discretionary accrual . Dalam penelitian ini, akan digunakan pengukuran berdasarkan besarnya discretionary accrual . Untuk pengukuran besarnya discretionary accrual, penelitian ini menghitung baik total discretionary accrual (TDA) maupun current discretionary accrual.
Ukuran manajemen laba pada penelitian ini adalah menggunakan nilai absolute discretionary accruals ( DA ). Total discretionary accrual (TDA) dihitung menggunakan model cross-sectional discretionary accrual yang disarankan oleh Jones (1991) dan dimodifikasi oleh Dechow et al (1995). Alasan pemilihan model Jones yang dimodifikasi ini karena model ini dianggap sebagai model yang paling baik dalam mendeteksi manajemen laba dibandingkan dengan model lain serta memberikan hasil paling kuat (Dechow et al., 1995).
Untuk menghitung total discretionary accrual (DA), berdasarkan model Jones, dihitung dari perbedaan antara total akrual dan non discretionary accruals , diskalakan dengan total asset untuk periode awal, dimana total accrual (TA) adalah perbedaan antara net income dan cash flow dari kegiatan operasi yang diformulasikan sebagai berikut :
Discretionary accruals (DA) = TAit - NDAit
ATit-1
Dimana :
DA : Total diskresionari akrual
TAit : Total akrual perusahaan i pada tahun t
NDAit : Non diskresionari akrual perusahaan i pada tahun t ATit-1 : Total asset perusahaan i pada tahun t-1
Nilai total accrual (TA) diestimasi dengan persamaan regresi OLS sebagai berikut :
Dengan menggunakan koefisien regresi di atas, nilai non discretionary accrual (NDA) dapat dihitung dengan rumus :
Dimana :
TAit : Total akrual, diukur sebagai perbedaan antara net income (laba sebelum extraordinary items dan discontinued operation ) dan operating cash flow untuk perusahaan i pada tahun t
∆REVit : Perubahan pendapatan perusahaan i pada tahun t
∆ARit : Perubahan piutang dagang perusahaan i pada tahun t PPEit : Aktiva tetap perusahaan i pada tahun t
ATit : Total asset perusahaan i pada tahun t εit : error perusahaan i pada tahun t
Variabel Independen b.
Dewan Komisaris Independen
Dewan Komisaris yang independen diukur oleh PINED ( Proportion Independent Director) pada dewan perusahaan. Dewan komisaris dikatakan sebagai dewan komisaris yang independen jika mereka tidak memiliki hubungan dengan
perusahaan dan tidak memiliki transaksi dengan pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan.
Variabel Moderating c.
Konsentrasi Kepemilikan Keluarga
Klasifikasi konsentrasi kepemilikan keluarga didasarkan pada pengukuran perusahaan keluarga pada penelitian Giovannini (2009). F-PEC score digunakan untuk membedakan perusahaan keluarga dan perusahaan yang bukan keluarga.
Komponen power dari skala F-PEC mengukur pengaruh keluarga pemilik dalam hal kepemilikan perusahaan (saham) dan pengelolaan (direksi dan komisaris).
Metode ini diformulasikan oleh Astrachan et al (2002); Caselli dan Gatti (2006) dan Jaskiewicz et al (2005). Family business (FB) didefinisikan sebagai berikut :
FB ≥ 0.5
dimana FB adalah F-PEC score, yang didefinisikan sebagai berikut : FB = (EQfam/ EQtot) + (BoDfam/ BoDtot) + (SBfam/ SBtot) Dimana :
FB : Family business
EQfam : equity share yang dimiliki oleh keluarga EQtot : total equity share
BoDfam : Jumlah anggota keluarga pada dewan komisaris
BoDtot : total anggota dewan komisaris
SBfam : jumlah anggota keluarga pada supervisory board SBtot : total anggota supervisory board
F-PEC score digunakan untuk mengklasifikasikan perusahaan kedalam kelompok. Jika skor F-PEC antara 0-0.5 mengindikasikan perusahaan non keluarga. Jika skor F-PEC 0.5-1 diklasifikasikan perusahaan keluarga (lemah).
Skor F-PEC 1-1.5 merupakan perusahaan keluarga (normal) dan untuk > 1.5 merupakan perusahaan keluarga (kuat).
Variabel Kontrol d.
Komite Audit
Salah satu cara komisaris mempertahankan independensinya adalah dengan membentuk komite audit. Fungsi komite audit dalam perusahaan dapat mempengaruhi kualitas dan integritas laporan keuangan yang dihasilkan.
Keefektifan kegiatan komite audit dapat diukur dengan berapa jumlah rapat yang telah dilakukan oleh komite audit. Menon dan Williams (1994) dalam Pamudji dan Trihartati, 2007) berpendapat bahwa komite audit yang tidak aktif tidak memungkinkan untuk memonitori manajemen secara efektif. Beasly et al (2004) juga menemukan bahwa komite audit perusahaan yang melakukan kesalahan dalam pelaporan keuangan memiliki frekuensi pertemuan lebih sedikit daripada komite audit perusahaan yang tidak melakukan kesalahan dalam pelaporan keuangan.
Ukuran Dewan Komisaris
Komisaris independen merupakan pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, dan perusahaan itu sendiri baik dalam bentuk hubungan bisnis maupun kekeluargaan yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (KNKG, 2004). Fungsi utama dari komisaris adalah menjalankan fungsinya yang bersifat independen terhadap kinerja manajemen perusahaan. Ukuran dewan terkait dengan tingkat manajemen laba. Variabel ukuran dewan komisaris diukur dengan Dummy variabel , 1 jika jumlah anggota dewan lebih besar daripada nilai mean atau rata-rata dari sample, 0 jika sebaliknya.
Besaran Perusahaan
Besaran perusahaan diproksikan ke dalam asset perusahaan pada tiap akhir tahun pengamatan. ukuran perusahaan diwakili dengan nilai logaritma dari asset.
Logaritma atau eksponen dari total asset perusahaan dapat menunjukkan bahwa semakin besar ukuran atau asset perusahaan berarti semakin besar juga angka eksponensial atau angka logaritmanya.
Kualitas audit
Kualitas audit yang lebih baik ditunjukkan oleh Kantor Akuntan Publik yang berafiliasi dengan KAP Big 4. Literatur penelitian menunjukkan bahwa kantor auditor Big 4 kecil kemungkinannya untuk mengijinkan adanya manajemen laba dibandingkan dengan kantor audit yang bukan Big 4. Oleh karena itu,
pengawasan yang dilakukan oleh kantor audit Big 4 lebih ketat dibandingkan perusahaan audit yang non big 4.
Kantor Akuntan Publik yang berafiliasi dengan KAP Big 4 sebagai variabel dummy, dimana 1 jika perusahaan auditor yang terafiliasi dari big 4, dan 0 jika sebaliknya.
Perumusan Model Penelitian
Model yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah model umum persamaan regresi berganda serta pengolahannya menggunakan alat bantu statistic SPSS. Model dalam penelitian ini adalah :
DAit = α + β1PINEDit + β2FAM_OWNit + β3(FAM_OWNit* PINEDit) + β4BDSIZEit + β5 BIG4it + β6 FSIZEit + β7KOMAUDIT + εit
Dimana :
DAit = Discretionary accrual (manajemen laba) dari perusahaan i untuk periode t
α = konstanta β1 - β7 = koefisien regresi
PINED = Proporsi keanggotaan yang berasal dari luar perusahaan (independent non executive directors ) terhadap keseluruhan jumlah anggota dewan.
FAM_OWN = Konsentrasi kepemilikan keluarga
BDSIZE = Ukuran dewan ( Dummy variabel , 1 jika jumlah anggota dewan lebih besar daripada nilai median dari sample, 0 jika sebaliknya)
BIG4 = Dummy variabel, 1 jika perusahaan auditor yang terafiliasi big 4, 0 jika sebaliknya
FSIZE = Ukuran perusahaan (natural log dari total asset) KOMAUDIT = Jumlah rapat komite audit
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Data
1.
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang secara konsisten melaporkan laporan keuangan pada tahun 2006 sampai dengan 2009. Dari 152 perusahaan yang listing di BEI, terdapat 7 perusahaan yang mempunyai data tidak lengkap dan perusahaan yang outlier sebanyak 31 perusahaan. Berdasarkan metode purposive sampling, maka jumlah
sampel yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 118
perusahaan sampel. Periode pengamatan untuk pengujian hipotesis adalah tahun 2007-2009, sehingga pooled data untuk 3 periode sebesar 354 sampel. Adapun alasan digunakan periode 2006-2009 adalah untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dari beberapa periode.
Statistik Deskriptif 2.
Dari data yang diperoleh sebanyak 354 sampel seperti yang telah dikemukakan di atas diperoleh statistic deskriptif yang tercantum dalam tabel 1 di bawah ini :
Tabel 1 Statistik Deskriptif Nilai
Minimu m
Nilai Maksimu
m
Nilai Mea n
Nilai Media
n
Std.
Deviation Dewan komisaris
independen (PINED) 0,167 1,00 0,38
7 0,333 0,1154
Kepemilikan Keluarga
(FAM_OWN) 0,000 1,85 0,58
0 0,570 0,5330
Besaran perusahaan
(FSIZE) 23,347 33,144 27,5
48 27,492 1,5677 Keefektifan komite audit
(KOMAUDIT) 2,000 43,00 5,67
8 4,00 4,4247
Kualitas laba
(DA) 0,0004 0,801 0,11
6 0,081 0,1252
Proporsi Dummy =1 Proporsi Dummy =0
Ukuran dewan komisaris 37.9 % 62.1 %
Kualitas audit 41,5 % 58,5 %
Sumber : Data Sekunder yang Diolah, 2011
Tabel diatas menunjukkan bahwa dari 118 perusahaan sampel dengan 354 objek pengamatan nilai minimum DA adalah sebesar 0,00043, nilai maksimum sebesar 0,80144, nilai rata-rata ( mean) sebesar 0,1159178, serta nilai standar deviasi sebesar 0,62694090. Dari data tersebut, dapat kita lihat bahwa terdapat
perusahaan yang melakukan manajemen laba hampir 80 % terhadap total asset tahun t-1. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi aktivitas laba yang cukup besar pada perusahaan tersebut. Sedangkan rata-rata perusahaan sampel melakukan aktivitas manajemen laba sebesar 11,59 % dari total asset tahun t-1 dengan sebaran dari rata-rata sebesar 0,6269.
Data diatas juga menunjukkan menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan sampel yang listing di BEI mempunyai dewan komisaris independen sebesar 38,6% dari total anggota dewan komisaris. Sedangkan untuk kepemilikan keluarga dengan rata-rata sebesar 0,579, banyak keluarga sampel yang memiliki kepemilikan keluarga lemah karena berada pada range 0,5-1, menurut pengklasifikasian F- PEC score.
Dari tabel frekuensi ukuran dewan komisaris di atas dapat ditunjukkan bahwa
134 perusahaan sampel (37,9%) dari keseluruhan perusahaan sampel mempunyai ukuran dewan komisaris yang lebih besar dari nilai rata-ratanya. Dan dari 147 perusahaan (41,5%) diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang berafiliasi dengan Big 4 dan sisanya sebesar 207 perusahaan atau 58,5% diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang tidak berafiliasi dengan Big 4.
UJI KELAYAKAN MODEL (UJI ASUMSI KLASIK)
Model regresi akan dinyatakan baik dan dapat dilakukan jika memenuhi uji asumsi klasik yaitu uji normalitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi dan uji heteroskesastisitas. Dan penelitian ini telah memenuhi uji asumsi klasik, seperti terlihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 2
Ringkasan Uji Asumsi Klasik Atas Pengujian Hipotesis Pengaruh Dewan Komisaris Independen Terhadap Kualitas Laba Dengan Konsentrasi
Kepemilikan Sebagai Variabel Pemoderasi Variabel bebas, moderasi dan kontrol
Pengujian Multikolonieritas Tolerance VIF
Dewan komisaris independen
Kepemilikan keluarga
besaran perusahaan
ukuran dewan komisaris
keefektifan komite audit
kualitas audit
dewan komisaris independen*kepemilikan keluarga
0,555 0,158 0,666 0,733 0,952 0,805 0,160
1,801 6,326 1,502 1,365 1,050 1,243 6,261 Pengujian Heteroskedastisitas (Glejser test) Sig. t-test
Dewan komisaris independen
Kepemilikan keluarga
besaran perusahaan
ukuran dewan komisaris
keefektifan komite audit
kualitas audit
dewan komisaris independen*kepemilikan keluarga
0,254 0,973 0,559 0,552 0,067 0,395 0,414
Durbin-Watson test 1,974
Pengujian Normalitas Residual kolmogorov- Smirnov test
0,062
N = 354
Tabel 3
Ringkasan Pengujian Hipotesis Pengaruh Dewan Komisaris Independen Terhadap Kualitas Laba Dengan Konsentrasi Kepemilikan Sebagai Variabel
Pemoderasi Variabel control, bebas dan moderasi
Pengujian hipotesis Coefficient t value Sign
Constant
Dewan komisaris independen
Kepemilikan keluarga
besaran perusahaan
ukuran dewan komisaris
keefektifan komite audit
1,497 -1,435 -0,348 -0,132 -0,358 0,009
1,139 -0,915 -1,144 -2,617 -2,307 0,578
0,255 0,056*
0,253 0,009**
0,022**
0,564
kualitas audit
dewan komisaris independen*kepemilikan
keluarga
0,319
0,608 2,191
0,823 0,029 0,411 R square
Adjusted R square F statistik
Signifikansi F statistik
0,094 0,065 3,215 0,000**
Variabel terikat : Manajemen Laba (discretionary accrual) N = 354
*) tingkat signifikansi 10 %
**) tingkat signifikansi 5 %
Sumber : data sekunder yang diolah (2011) PENGUJIAN HIPOTESIS
Setelah dilakukan uji asumsi klasik dan goodness of fit , maka tahap selanjutnya yaitu pengujian hipotesis.
Pengujian Hipotesis 1 1.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai t hitung sebesar -1,915 dengan signifikansi 0,056 pada tingkat alpha 10%. dan besarnya koefisien dewan komisaris independen sebesar -1,435. Dengan hasil tersebut, maka membuktikan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh dan signifikan pada tingkat 10
% terhadap manajemen laba, yang berarti bahwa jika dewan komisaris
independen bertambah maka akan dapat mengurangi discretionary accrual. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hipotesis kedua (H2) yang menyatakan dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap discretionary accrual (manajemen laba), diterima.
Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar proporsi dewan komisaris independen maka akan menyebabkan menurunnya manajemen laba, sehingga kualitas laba menjadi lebih tinggi. Hal ini dikarenakan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dapat menurunkan tindakan manajemen dalam melakukan manajemen laba. Dengan proporsi dewan komisaris independen yang telah sesuai dengan peraturan yang berlaku dimana setiap perusahaan go public harus memiliki dewan komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah total dewan komisaris, hal ini menunjukkan bahwa peran dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dapat meningkatkan fungsi pengawasan dari dewan komisaris. Hal ini juga di dukung statistik deskriptif yang menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan sampel telah memiliki dewan komisaris independen sebesar 38%, yang telah melebihi jumlah yang telah ditetapkan oleh BAPEPAM. Dewan komisaris yang berasal dari luar akan memberikan independensi yang lebih tinggi, karena mereka tidak ikut serta baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan kegiatan perusahaan sehari-hari dan tidak adanya hubungan terafiliasi baik dengan pemegang saham pengendali, direktur atau komisaris lainnya, sehingga mereka akan memberikan pengawasan yang lebih efektif. Dengan adanya pengawasan yang baik dari dewan komisaris, maka hasil laporan keuangan yang dihasilkan perusahaan akan lebih berkualitas, sehingga dapat dipergunakan oleh
pihak yang berkepentingan untuk mengambil keputusan.
Penelitian ini juga mendukung penelitian-penelitian sebelumnya yang meneliti tentang pengaruh dewan komisaris independen yang dihubungkan dengan manajemen laba, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Boediono (2005), Anderson et al (2005), Beasly (2006) dan Jaggi B., et al (2009) yang menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki anggota dewan komisaris yang berasal dari luar (outside director ) dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba dan
mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan.
Pengujian Hipotesis 2 2.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ini, diperoleh t hitung 0,823 dengan p- value 0,411, dengan nilai koefisien sebesar 0,0608. Dengan signifikansi yang jauh di atas 0,05, maka hipotesis ini tidak dapat diterima atau hipotesis ditolak.
Tanda positif pada koefisiennya berarti interaksi antara dewan komisaris
independen dengan kepemilikan keluarga dapat memperlemah hubungan negatif antara dewan komisaris independen dengan manajemen laba, namun interaksi tersebut tidak signifikan. Hal ini berarti kepemilikan keluarga tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hubungan antara dewan komisaris independen dan manajemen laba.
Hasil ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Jaggi, et al (2009), yang melakukan penelitian pada perusahaan di Hong Kong. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jaggi, kepemilikan keluarga dapat memoderasi atau akan memperlemah pengaruh dewan komisaris independen terhadap manajemen laba.
Nilai positif pada koefisien moderating 2, menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan keluarga dapat memperlemah pengaruh dewan komisaris
independen terhadap discretionary accruals, namun dalam penelitian ini variabel moderasi tidak dapat memoderasi secara signifikan pengaruh antara dewan komisaris independen dengan manajemen laba.
Penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun berada pada perusahaan dengan tingkat kepemilikan keluarga yang tinggi, fungsi pengawasan dewan komisaris indepeden tetap dapat efektif. Hal ini juga didukung dengan aturan yang dikeluarkan oleh PT. Bursa Efek Indonesia didalam Pencatatan Efek No I-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek yang bersifat Ekuitas yang
menyatakan bahwa jumlah dewan komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota dewan komisaris dan harus diisi oleh anggota komisaris yang berasal dari luar perusahaan, dan tidak mempunyai hubungan terafiliasi baik dengan pemegang saham pengendali, direktur atau komisaris lainnya. Dewan komisaris independen juga dipilih oleh pemegang saham minoritas dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Sehingga, dengan aturan yang ketat dari BEI diharapkan fungsi pengawasan oleh dewan komisaris independen dapat berjalan dengan lebih baik. Hal ini juga ditunjukkan dengan data yang ada dimana hampir 90,7% perusahaan yang listing telah memenuhi peraturan dari BEI, yaitu memiliki anggota dewan komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota dewan komisaris.
Selain alasan tersebut di atas, konsentrasi kepemilikan keluarga tidak dapat mempengaruhi hubungan negatif antara dewan komisaris independen terhadap manajemen laba dapat juga disebabkan karena telah meningkatnya kesadaran perusahaan untuk menerapkan aturan yang telah disyaratkan oleh BEI, bukan hanya sekedar untuk mentaati aturan. Informasi dari BEI, mengatakan bahwa kepatuhan perusahaan tercatat dalam memiliki komisaris independen dan komite audit hampir 100%, dan kepatuhan tersebut telah diwujudkan tanpa ada ancaman pengenaan sanksi (Kaihatu, 2006). Didalam aturan Good Corporate Governance juga disarankan untuk membentuk komite nominasi,dimana komite ini
berpotensi untuk meningkatkan independensi dewan komisaris. Komite nominasi dipimpin oleh komisaris independen (KNKG, 2006). Dengan demikian komite nominasi juga akan mengutamakan profesionalitas dalam menyusun daftar usulan anggota dewan direksi untuk dipilih dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sehingga, dengan demikian dewan komisaris independen akan lebih efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai monitoring perusahaan meskipun berada pada Negara dengan konsentrasi kepemilikan keluarga seperti di Indonesia.
Pengaruh variabel-variabel kontrol 3.
Dalam penelitian ini besaran perusahaan (FSIZE) merupakan variabel kontrol.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa t hitung sebesar -2,617 dengan signifikansi 0,009 dan nilai koefisien sebesar -0,132. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh besaran perusahaan terhadap manajemen laba. Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa jika besaran perusahaan semakin besar maka manajemen laba akan semakin kecil.
Variabel kontrol yang kedua adalah Ukuran dewan komisaris (BDSIZE).
Berdasarkan hasil pengujian, dapat dilihat nilai t hitung adalah sebesar -2,307 dengan signifikansi 0,022 dan nilai koefisien sebesar -0,358. Hasil ini
mengindikasikan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap
manajemen laba. Tanda negatif pada koefisien variabel ini menunjukkan bahwa semakin besar ukuran dewan komisaris maka discretionary accrual atau manajemen laba akan semakin kecil.
Variabel kontrol ketiga adalah komite audit (KOMAUDIT). Dari hasil pengujian, dapat dilihat hasil t hitung sebesar 0,578 dengan signifikansi 0,564 dan nilai koefisien sebesar 0,009. Hasil ini mengindikasikan bahwa komite audit yang diukur dari jumlah rapat yang diadakan komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, karena tingkat signifikansinya jauh di atas 0,05.
Variabel kontrol yang terakhir adalah perusahaan Kantor Akuntan Publik yang berafiliasi dengan Big 4 (BIG4). Hasil pengujian menunjukkan bahwa BIG4 dengan t hitung sebesar 2,191 dan nilai koefisien sebesar 0,319.berpengaruh terhadap manajemen laba dengan nilai p- value sebesar 0,029 yang berada dibawah 0,05. Dengan melihat tanda positif pada nilai koefisiennya, maka hal ini menunjukkan bahwa KAP yang berafiliasi dengan BIG 4 tidak berpengaruh terhadap discretionary accrual.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai Pengaruh Independensi Dewan Komisaris terhadap Kualitas Laba yang dimoderasi oleh Konsentrasi Kepemilikan, dapat disimpulkan bahwa variabel dewan komisaris independen juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba. Dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh dewan
komisaris yang berasal dari luar perusahaan dapat membatasi manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen. Variabel kepemilikan keluarga tidak dapat menjadi variabel moderating pada hubungan antara dewan komisaris independen terhadap manajemen laba. Hal ini menunjukkan fungsi pengawasan dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dapat berfungsi efektif, meskipun berada pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga. Hasil ini juga mengindikasikan bahwa peraturan yang dibuat oleh BEI mengenai ketentuan jumlah anggota dewan komisaris independen sekurang-kurangnya 30 % dari total jumlah dewan komisaris, dapat berfungsi sebagai fungsi monitoring. Dan hal ini mengindikasikan juga bahwa adanya peningkatan kesadaran perusahaan yang listing di BEI untuk menciptakan Good Corporate Governance, dan bukan hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, diantaranya adalah Proksi yang digunakan dalam penelitian ini untuk variabel kepemilikan keluarga hanya mendasarkan pada kesamaan nama belakang untuk menentukan adanya
hubungan kekeluargaan. Hal ini memiliki kelemahan karena di Indonesia, kesamaan nama belakang belum berarti menandakan adanya hubungan keluarga.
Dan hasil penelitian yang menunjukkan Adjusted R Square yang rendah,yaitu sebesar 6,5%. Hal ini berarti masih ada faktor lain yang lebih besar dalam mempengaruhi manajemen laba selain kepemilikan manajerial dan dewan komisaris yang independen.
Untuk penelitian selanjutnya dapat dipertimbangkan dalam mengukur kepemilikan keluarga disarankan menggunakan konsep kepemilikan ultimat (ultimate ownership ) dimana rangkaian kepemilikan harus ditelusuri sampai dengan pemilik ultimat yang dapat diidentifikasi, agar hasil lebih akurat. Selain itu disarankan untuk menambah variabel lain yang berkaitan erat dengan fungsi pengawasan dan manajemen laba, sebagai contoh pengawasan internal yang dapat dilakukan oleh komite audit dan pengawasan yang berasal dari luar oleh kepemilikan institusional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah S.N., and Mohd. Nasir N. 2004. Accrual Management and The
Independence of The Boards of Directors and Audit Committees. Journal of Economics and Management. Vol. 12, No 1.
Abdul Rahman R., dan F.H Mohamed Ali. 2006. “Board, Audit Committee, Culture and Earnings Management : Malaysian Evidence.” Managerial Auditing Journal. Vol. 21. No 7. pp. 783-804.
Achmad ,Tarmidzi., 2007. “Corporate Governance of Family Firms and Voluntary Disclosure : The Case of Indonesian Manufacturing Firms.”
Disertasi, Business School Accounting & Finance, University of Western Australia
_________2008. “Concentrated Family Ownership Structures Weakening Corporate Governance : A Developing Country Story The Case of Indonesian Companies.” Jurnal Maksi, Vol.8, No 2, Hal. 118-134.
Achmad T., et al,. “The Iniquitous Influence of Family Ownership Structures on Corporate Performance.” The Journal of Global Business Issues , Vol.3, Issue 1.
Anderson, R. and D.M. Reeb. 2004. Board Composition : Balancing Family Influence in S&P 500. Administrative Science Quarterly 49 (2), 209-237.
Beasley, M. S. 1996. “An Empirical Analysis of the relation Between the Board of Director Composition and Financial Statement Fraud.” The Accounting Review. Vol. 71, No. 4, pp. 443-465.
Boediono, Gideon SB. 2005. “Kualitas Laba : Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak Manajemen Laba Dengan Menggunakan Analisis Jalur”, Simposium Nasional Akuntansi VIII. Solo.
Cascino S., A. Pugliese, D. Mussolino and C. Sansone. 2010. “The Influence of Family Ownership on the Quality of Accounting Information.” Family Business Review. Vol. 23, No 3, pp. 246-265
Cespedes, J., M. Gonzalez and C.A. Molina. 2008. “Ownership Concentration and the Determinants of Capital Structure in Latin America .”
http://papers.ssrn.com/, diakses tanggal 5 Juli 2011.
Claessens S., and J.P.H Fan. 2002. “Corporate Governance in Asia : A Survey.”International Review of Finance. pp. 71-103
Dechow, P.M., R.G. Sloan and A.P. Sweeney. 1995. “Detecting Earning Management”. The Accounting Review.Vol. 70, No 2 pp. 193-225.
Fama E.F and M.C Jensen., 1983. “Separation Ownership And Control”. Journal of Law and Economics.Vol. 26, No 2, pp. 301-325.
Fan, J.P.H and T.J. Wong. 2002. “Corporate Ownership Structure and The Informativeness of accounting Earnings in East Asia ”. Journal of accounting and Economics.Vol. 33, pp. 401-425.
Hendriksen, E.S. and Michael F. Van Breda. 2001. “Accounting Theory.” 5th Edition. Herman Wibowo (penterjemah). Interaksara. Jakarta.
Jaggi, B., S. Leung, F. Gul. 2009. “Family Control, Board Independence ang Earning Management : Evidence based on Hong Kong Firms”, Journal Accounting Public Policy, doi : 10.1016/j.jaccpubpol.06.002.
Jensen, M.C and Meckling W.H. 1976. “Theory of the Firm : Managerial
Behavior, Agency Costs and Ownership Structure.” Journal of Financial Economics, Vol 3, Issue. 4, pp.305-360
Kieso D.E, J.J.Weygandt, dan T.D. Warfield. 2007. Intermediate Accounting.12 ed. Jakarta : Penerbit Erlangga.
KNKG. 2006. Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia.
La Porta, R., F.L. Silanes., A. Ahleifer and R. Vishny. 1999. “Investor Protection and Corporate Governance.”Journal of Financial Economics 58. pp. 3-27.
Park, Y.W. and Shin, H. 2002. “Board Composition and Earning Management in Canada.” Journal of Corporate Finance. pp. 431-457.
Peasnell, K. V., P.F. Pope and S. Young. 1999. “Accrual Management to Meet Earnings Targets : U.K. Evidence Pre- and Post- Cadbury.”Working Paper, Lancaster University
Schipper, K. and L.,Vincent. 2003. “Earning Quality”. Accounting Horizons. pp.
97-110.
Shleifer, A. and Vishny, R.W. 2007. “A Survey of Corporate Governance.” The Journal of Finance. 52.737-785
Siregar, S.V., dan Utama, S. 2006. “Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earning Management ).” Jurnal Riset Akuntansi Indonesia . Vol.9. No 3.
Hal 307-326.
Sugiarto, 2009. “Komparasi Dominasi Kontrol Keluarga pada Perusahaan- Perusahaan terbuka di Berbagai Negara.” Akuntabilitas. Vol. 9, No. 1, hal.
17-25
Sutojo, S. dan Aldridge, E.J. 2005. Good Corporate Governance Tata Kelola Perusahaan yang Sehat. Damar Mulia Pustaka.