43
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Pada penelitian ini, penulis menggunakan data primer yang diperoleh dari
hasil pengamatan dan pengambilan data langsung di lapangan. Penulis juga
menggunakan data sekunder yang informasinya diperoleh dari buku-buku
referensi dan juga engine manual yang didukung dengan data di lapangan tentang
proses overhaul engine dan juga proses pengujian engine.
Penulis melakukan pengumpulan data yang bersifat spesifik ataupun secara
standarisasi sesuai dengan yang dipersyaratkan di buku manual, berdasarkan data-
data yang benar-benar akurat, yang bermaksud agar hasil data yang diperoleh
benar-benar dapat dijadikan acuan untuk dituangkan dalam menyelesaikan tugas
akhir ini.
Penelitian diawali dengan melakukan studi pustaka. Dari hasil studi pustaka
dipilih topik permasalahan yang akan diteliti dan dilakukan analisa hasil dari
penelitian yang telah dilakukan.
44 Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian
3.2. Simulasi Kerja Engine Pada Proses Pengujian
Engine akan mengalami beberapa kondisi kerja yang berbeda ketika dioperasikan di pesawat terbang. Untuk mengakomodasi hal ini, dirancang berbagai prosedur simulasi untuk menguji kelayakan engine pada setiap kondisi kerja tersebut.Untuk setiap kondisi kerja terdapat besaran tertentu yang harus diukur besarta toleransi nilai untuk masing-masing besaran tersebut.
Terdapat 6 kondisi kerja yang disimulasikan, kondisi tersebut adalah :
Mul
Proses Overhaul
Pengujian Engine
Parameter : 1. Thrust
2. Exhaust Gas Temperature 3. Core Speed
4. Fuel Flow
5. Engine Pressure Ratio
Analisa Data Sesuai?
Seles ai
TIDAK
YA
45 1. Start up
Kondisi ini merupakan simulasi dari keadaan aircraft pada awal mesin dinyalakan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa untuk menjalankan mesin pertama kali dibutuhkan bantuan dari Auxilary Power Unit (APU) untuk menghasilkan putaran sehingga pada akhirnya ruang bakar dapat melakukan proses pembakaran. Proses awal pengujian ini dilakukan untuk melihat nilai Exhaust Gas Temperature (EGT) yang tidak boleh lebih dari 1200 K. Dalam proses ini, tidak diikutsertakan dalam perhitungan karena seluruh komponen masin belum berjalan sepenuhnya.
2. Acceleration
Merupakan kondisi ketika power lever didorong secara cepat hingga posisi maksimum dan terjadi akselerasi kecepatan rotasi poros engine hingga nilai maksimum. Kondisi ini terjadi ketika pesawat melakukan akselerasi menjelang take off di landasan pacu. Waktu akselerasi yang terlalu lama berisiko menyebabkan pesawat gagal take off karena ada kemungkinan engine belum menghasilkan gaya dorong yang cukup ketika pesawat telah berada di ujung landasan pacu.
3. Take off
Merupakan kondisi ketika power lever berada pada posisi maksimum dan engine menghasilkan gaya dorong maksimum. Kondisi kerja ini terjadi ketika pesawat melakukan lepas landas. Engine hanya diperbolehkan berada pada kondisi ini selama kurang lebih 5 menit.
46 4. Maximum continuous
Merupakan kondisi ketika engine menghasilkan gaya dorong maksimum yang diperbolehkan saat engine bekerja secara terus-menerus tanpa batasan durasi. Posisi power lever dan gaya dorong yang dihasilkan berada sedikit di bawah nilai maksimum. Kondisi ini terjadi ketika pesawat melakukan penjelajahan dengan kecepatan maksimum atau ketika terjadi kerusakan pada salah satu engine.
5. Approach idle
Merupakan kondisi ketika engine menghasilkan gaya dorong minimum yang diperbolehkan sebelum pesawat kehilangan gaya angkatnya.
Kondisi kerja ini terjadi ketika pesawat melakukan pendaratan.
6. Minimum idle
Merupakan kondisi ketika power lever berada pada posisi minimum dan engine menghasilkan gaya dorong minimum. Gaya dorong minimum dimanfaatkan ketika pesawat melakukan taxi.
3.3. Prosedur Pengujian Engine
Pengujian engine dilakukan berdasarkan prosedur yang direkomendasikan oleh produsen engine. Prosedur pengujian engine CFM56-3 dibagi menjadi 2 yaitu Engine Functional Test dan Engine Acceptance Test. Sebelum melaksanakan kedua prosedur tersebut, terlebih dahulu dilakukan proses persiapan seperti pemasangan instrumen, pengisian pelumas, pemasangan engine di thrust stand (penyangga engine ketika proses pengujian).
47 3.3.1. Engine Functional Test
Functional test meliputi pengecekan fungsi utama engine, kebocoran engine (kebocoran udara, bahan bakar, atau pelumas), pengecekan getaran engine, penyesuaian kecepatan rotasi poros pada kondisi idle, pegecekan fungsi VSV dan VBV, dan kondisi mekanis lainnya.
Prosedur pertama pada functional test yaitu prosedur motoring. Motoring merupakan proses memutar poros engine tanpa adanya proses pembakaran. Proses motoring dilakukan dengan mengalirkan udara starter ke dalam core engine.
Tujuan prosedur motoring adalah untuk mengecek kebocoran bahan bakar dan pelumas dan mengecek apakah poros engine dapat berputar dengan baik atau tidak.
Motoring terbagi 2, yaitu dry motoring dan wet motoring. Wet motoring merupakan proses motoring dengan kondisi saluran bahan bakar terbuka dan sistem pengapian tidak diaktifkan. Dry motoring merupakan proses motoring dengan kondisi saluran bahan bakar tertutup.
Prosedur berikutnya adalah prosedur penyalaan engine (start up). Penyalaan engine dilakukan dengan cara mengalirkan udara starter ke dalam core engine dalam kondisi saluran bahan bakar terbuka dan sistem pengapian diaktifkan.
Proses penyalaan dianggap berhasil ketika terjadi light up (disebut juga sebagai light off), yaitu peningkatan EGT (Exhaust Gas Temperature) sebesar 100C setelah bahan bakar mengalir dan pengapian diaktifkan. Setelah terjadi light up, turbin pada engine telah menghasilkan daya poros dan aliran udara starter dapat dihentikan.
48 Setelah prosedur penyalaan, prosedur berikutnya adalah pengujian dan pengambilan data pada kondisi minimum idle dan approach idle secara berurutan.
Pengaturan setiap kondisi tersebut dilakukan dengan mengatur posisi power lever hingga diperoleh nilai N1 (kecepatan rotasi poros fan) yang sesuai dengan power setting masing-masing kondisi. Power setting merupakan nilai N1 yang menjadi karakter dari setiap kondisi kerja engine. Power setting ditentukan berdasarkan temperatur udara lingkungan dan nilainya telah ditetapkan oleh produsen engine.
Setelah semua prosedur diatas telah dilaksanakan dan tidak ditemukan masalah, prosedur berikutnya adalah deselerasi engine hingga kondisi minimum idle untuk persiapan pengujian berikutnya. Proses deselerasi ini harus dilaksanakan dengan lambat, yaitu selama 2 menit.
3.3.2. Engine Acceptance Test
Acceptance test meliputi pengujian dan pengambilan data pada kondisi acceleration, maximum continuous, dan take off, kemudian membandingkan data pengujian dengan data rekomendasi dari produsen engine. Apabila data pengujian berada pada toleransi yang direkomendasikan oleh produsen engine, maka engine tersebut dianggap layak untuk dioperasikan.
Prosedur acceptance test dimulai dengan uji akselerasi. Sebelum melaksanakan prosedur ini, engine harus berada pada kondisi idle selama minimum 5 menit. Hal ini bertujuan agar engine telah beroperasi dengan stabil dan mencegah terjadinya kerusakan engine pada kondisi beban penuh. Uji akselerasi dilakukan dengan mendorong power lever dari posisi minimum idle hingga posisi take off dengan cepat (1 detik atau kurang). Besaran penting yang
49 diukur adalah waktu yang dibutuhkan engine dari nilai N1 minimum idle hingga mencapai nilai N1 100 rpm dibawah nilai N1 take off. Setelah engine mencapai nilai N1 idle, power lever harus segera ditarik hingga posisi maximum continuous.
Prosedur berikutnya adalah pengujian kondisi take off dan maximum continuous secara berurutan. Pengaturan kondisi tersebut dilakukan dengan mengubah posisi power lever hingga mencapai nilai N1 yang sesuai dengan power setting tiap kondisi. Pada kedua kondisi tersebut, pengumpulan data dilakukan setelah engine berada pada kondisi masing-masing selama sekitar 5 menit.
Setelah pengujian kondisi take off dan maximum continuous, engine diperlambat hingga kondisi minimum idle. Deselerasi engine hingga minimum idle harus berlangsung selama minimal 2 menit. Setelah engine berada pada kondisi minimum idle selama 5 menit, dilakukan pengukuran volume pelumas pada engine. Pengukuran ini berguna untuk memastikan konsumsi pelumas tidak berlebihan. Setelah itu engine dimatikan dengan menutup fuel shut off lever dan proses pengujian selesai.
3.4. Test Cell
Test cell merupakan bangunan yang dirancang khusus untuk keperluan pengujian engine pesawat terbang. Bangunan test cell membutuhkan rancangan khusus karena test cell disyaratkan untuk dapat menahan gaya dorong (thrust) dari engine dan dapat memfasilitasi pengukuran yang baik dari berbagai besaran yang berhubungan dengan kerja engine. Gambar 3.2. menunjukkan skema fasilitas test cell yang dimiliki PT. GMF AeroAsia.
50 Gambar 3.2. Skema test cell PT.GMF AeroAsia
Seperti yang terlihat pada gambar 3.2., bangunan test cell terdiri dari 4 bagian utama yaitu :
1. Intake area
Merupakan tempat masuknya udara yang digunakan sebagai udara pembakaran engine. Lubang intake area menghadap ke atas untuk menghindari terhisapnya benda-benda yang berada di samping bangunan.
Pada intake area terdapat screen yang berguna untuk mencegah masuknya benda asing ke dalam test cell chamber. Pada intake area juga terdapat acoustic panel yang berfungsi untuk meredam suara bising yang dihasilkan engine.
2. Test cell chamber
Merupakan ruangan tempat pengujian engine. Engine dipasang pada
sebuah adapter untuk menghubungkan sensor, instrumen kontrol, dan
51 saluran bahan bakar pada engine dan test cell. Setiap tipe engine memiliki
adapter yang unik untuk menyesuaikan bentuk, fungsi, dan posisi instrumen
pada engine tersebut. Engine yang telah dipasang pada adapeter kemudian
dipasang pada dudukan yang bernama thrust stand. Pada test cell chamber
juga terdapat working platform yang berfungsi sebagai alat bantu ketika
mekanik melakukan berbagai penanganan pada engine.
3. Detuner
Aliran gas buang berkecepatan tinggi dari engine diarahkan ke
detuner. Detuner merupakan saluran yang berfungsi untuk menurunkan
kecepatan gas buang engine sebelum dibuang ke udara bebas. Pada saluran
detuner terdapat kisi-kisi penghambat yang berfungsi untuk menurunkan
kecepatan gas buang. Kecepatan aliran gas buang perlu diperlambat untuk
mencegah terjadinya kerusakan pada exhaust area.
4. Exhaust area
Merupakan tempat keluarnya gas buang engine dari test cell. Seperti
pada intake area, lubang exhaust area menghadap ke atas dan dilengkapi
dengan acoustic panel dan screen.
52 Gambar 3.3. Test Cell PT.GMF AeroAsia
Pengukuran dan pengamatan proses pengujian dilakukan dari ruang kontrol yang terletak pada salah satu sisi test cell chamber. Pada ruang kontrol terdapat berbagai instrumen yang berguna untuk mengatur proses pengujian dan tampilan untuk melihat nilai dari besaran-besaran yang diukur.
53 Agar data pengujian yang diperoleh dari pengukuran pada sebuah test cell dapat dianggap benar, dibutuhkan penyesuaian pada sistem test cell secara keseluruhan. Penyesuaian tersebut meliputi kalibrasi instrumen pengukuran (sensor tekanan, temperatur, getaran, laju massa udara) dan proses korelasi.
Proses korelasi adalah proses koreksi data pengukuran agar data yang dihasilkan dapat dibandingkan dengan data referensi dari produsen engine. Proses korelasi dibutuhkan karena dimensi bangunan dan kondisi udara (temperatur, kelembaban, tekanan) pada sebuah test cell kemungkinan besar berbeda dengan dimensi bangunan dan kondisi udara pada test cell milik pihak produsen engine.
Proses korelasi dilakukan dengan membandingkan hasil pengujian sebuah engine yang dilakukan pada test cell yang akan dikorelasi dengan hasil pengujian engine yang sama yang dilakukan pada test cell yang telah terkorelasi. Dari perbandingan tersebut dapat dibuat berbagai faktor koreksi untuk mengoreksi hasil pengukuran pada test cell yang sedang dikorelasi.
Gambar 3.4. Control Room Test Cell PT.GMF AeroAsia
54 3.5. Prosedur Operasional Pengujian Engine
Langkah-langkah yang dilakukan sebelum pengetesan engine pesawat di test cell berdasarkan prosedur standar operasional, yaitu:
1. Incoming
Pada proses ini, engine yang masuk ke test cell dari engine shop dilakukan pemeriksaan visual (visual check) dan pemeriksaan dokumen (Document Check).
a. Visual Check.
Adalah pemeriksaan secara kasat mata terhadap kelengkapan terhadap komponen-komponen atau part yang terpasang pada engine, minimum part yang terpasang untuk melakukan pengetesan.
b. Document Check.
Adalah pemeriksaan/ pengecekan dukumen untuk kelengkapan pengetesan, yaitu :
1. Release to Test Document.
Adalah dokumen yang berisi izin untuk melakukan test. Dokumen ini dikeluarkan oleh Quality Control (QC).
2. Job Card.
Adalah dokumen untuk melakukan perintah kerja (Work Order).
2. Pre Run Activity
Adalah kegiatan untuk mempersiapkan mesin untuk ditest. Pada tahap ini dilakukan pemasangan atau instalasi alat-alat seperti : sensor-sensor, mounting engine (dudukan engine) ke adaptor, electrical connector.
55 3. Test Bench Activity
Kegiatan ini terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Pre-Run Check
Adalah kegiatan untuk memasukan oli ke sistem dan melakukan proses rigging, yaitu proses menyesuaikan sistem mekanik dari sistem engine terhadap kontrol-kontrol yang ada pada test cell room.
b. Engine Motoring
Kegiatan ini berfungsi untuk menyalurkan oli ke sistem dan membuang udara yang ada pada saluran-saluran. Gelembung udara ini dapat mengakibatkan getaran (vibrasi) dan dapat menyebabkan proses pitting.
Engine motoring terbagi menjadi dua bagian, yaitu : 1. Wet Motoring
Adalah proses memutar mesin dengan pemberian fuel atau bahan bakar dengan menggunakan motor stater yang dilakukan oleh udara bertekanan dari APU tanpa melakukan ignition atau penyalaan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui initial fuel pressure, oil pressure yang telah mengalir pada sistem sesuai dengan yang diinginkan.
2. Dry Motoring.
Adalah proses memutar engine tanpa pemberian fuel atau bahan bakar dengan menggunakan motor starter yang dilakukan oleh udara bertekanan dari APU tanpa melakukan ignition. Hal ini dilakukan untuk membuang sisa-sisa fuel yang ada diluar sistem dan yang tersisa di combustion chamber.
56 4. Engine test
Adalah kegiatan melakukan test dengan menjalankan engine. Proses ini dilakukan dalam beberapa tahap, yang masing-masing tahap memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
5. Result atau hasil
Adalah kegiatan melihat hasil test. Apabila hasil test telah memenuhi standar kelulusan engine test, maka engine sudah dapat diberikan kepada costumer. Dan apabila tidak, maka akan dilakukan perbaikan. Jika kerusakan hanya dibagian eksternal, perbaikan dapat dilakukan di test cell. Dan apabila kerusakan terjadi pada bagian dalam engine, maka engine dikirim kembali ke engine shop untuk diperbaiki.
3.6. Proses Pengambilan Data
Dalam perhitungan ini yang dilakukan dengan beberapa faktor koreksi ini hanya dilakukan pada saat kondisi take off dan maximum continuous (MCO) saja, karena performance engine yang sangat baik (sempurna) adalah pada saat take off dan maximum continuous, dimana kemampuan fan dapat mempercepat jumlah massa udara yang besar pada keceatan ground dan flight speed yang relatif rendah.
. Data perhitungan diperoleh dari hasil pengetesan engine CFM56-3C1 yang dilakukan di test cell PT.GMF AeroAsia, yaitu:
57 No Parameter TAKE OFF MAX.CONT Satuan
1 N1 5023 4882 Rpm
2 N2 14629 14457 Rpm
3 HUM 92,6 91,9 Grains/Lb
4 Rel Hum 77,8 76,4 %
5 WF 9297 8593 Lb/hr
6 T495 855,2 830,2 oC
7 T2 22,4 22,6 oC
8 T3 370,2 357,2 oC
9 TCCV 356,1 349,0 oC
10 PT2 14,583 14,586 PSIA
11 PT495 61,733 58,302 PSIA
12 PS3 327,6 326,8 PSIA
13 FN 22643 21006 Lbs
14 LHV 18650 18650 BTU/lb
15 CSD Oil c. NO INSTALLED Dimana :
N1 = Fan Speed (rpm)
N2 = Core Speed (rpm)
T459 (EGT) = Exhaust Gas Temperatur (0F) WF = Fuel Flow (LB/HR)
HUM = Moisture Content of Air (Grains/LB)
Rel.Hum = Real Hum (%)
T2 = Inlet Temperatur (0F)
T3 = Compressor Discharge Temperature (0F)
PT2 = Inlet Total Pressure (PSIA)
PT495 = HPT Discharge Temperatur (PSIA)
PS3 = Compressor Discharge Static Pressure (PSIA)
FN = Thrust (Lbs)
LHV = Lower Heating Value of Fuel (Btu/Lbs) TCCV = Turbine Clearance Temperatur (0F)
58 3.7. Batas Pengujian
Batasan pengujian berpedoman batasan-batasan yang di keluarkan pabrik, seperti pada tabel berikut :
POWE R SETTIN G N1K
FLAT RATE TEMP
EXPTD BAND
STANDARD DAY CORE
HOT DAY CORE
THRUST EGT SPEED EGT* SPEED
(RPM) F (0C)
LBS (DAN )
F (0C)
RPM F
(0C)
RPM
TAKE 86 MAX 24673 1571 14436 1666 14769
OFF (30) (10975) (855) (908)
(4942) MIN 23498
(10452) 14034
MAX 77 MAX 22768 1526 14266 1589 14487
CONT (25) (10128) (830) (865)
(4804) MIN 21684
(9646) 13864
*: maximum EGT Hot Day.
Tabel 3.1. Engine CFM56-3C Requirement.