BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala sesuatu yang berada di masyarakat ditentukan oleh lingkungan dan juga kebudayaan setempat. Indonesia merupakan negara multikultural yang memiliki banyak suku, etnis, budaya, agama, kepercayaan, dan juga tradisi. Tradisi merupakan suatu hal yang terus berulang-berulang dilakukan oleh masyarakat sehingga diketahui dan juga diakui oleh banyak orang.1 Setiap tradisi pasti memiliki latar belakang sendiri dan juga mengandung makna bagi orang yang ikut serta dalam tradisi tersebut.
Berbicara tentang tradisi, tidak semua tradisi bertahan dalam perkembangan zaman. Ada yang masih dilestarikan sampai saat ini, dan ada juga yang hanya bisa diingat melalui beberapa catatan yang hanya beberapa orang yang tahu. Diantara tradisi-tradisi di Indonesia yang masih dilestarikan sampai saat ini adalah tradisi keagamaan seperti, tradisi tahlilan, haul, maulidan, dan lain sebagainya.
Demikian juga dengan tardisi tartilan al-Qur‟an bin-nadzor di desa Kalianyar, Kedung, Jepara.
Tartilan atau membaca al-Qur‟an secara tartil merupakan suatu hal yang diperintahkan Allah untuk umat Islam dan perintah ini juga sudah dijelaskan dalam surat al-Alaq ayat 1-5.
ََۚقَلَخ ْيِذَّلا َكِ بَر ِمْسِبِ ْأَرْ قِا َۚ قَلَع ْنِم َناَسْنِْلْا َقَلَخ ١
َْلْا َكبُّبَرَو ْأَرْ قِا ٢ ُۙ مَرْك
ُِۙمَلَقْلِبِ َمَّلَع ْيِذَّلا ٣ ْْۗمَلْعَ ي َْلَ اَم َناَسْنِْلْا َمَّلَع ٤
٥
Artinya: “1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, 3. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha mulia, 4. Yang mengajar (manusia) dengan pena, 5.
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”
(QS. al-Alaq: 1-5).2
Bukan hanya membaca saja yang diharuskan, namun juga pembacaan al-Qur‟an dengan tartil diwajibkan bagi setiap muslim yang membacanya. Perintah untuk membaca al-Qur‟an dengan tartil
1 Rhoni Rodin, “Tradisi Tahlilan dan Yasinan,” Jurnal Kebudayaan Islam 11, no. 1 (2013): 81-82.
2 Al-Qur'an, al-Alaq ayat 1-5, Al-Qur‟an Terjemah dan Tajwid (Bandung:
Departemen Agama RI, Sygma, 2014), 597.
pun sudah dijelaskan dalam al-Qur‟an pada surat al-Muzzammil ayat 4 yang berbunyi,
ْۗ الًْيِتْرَ ت َنٰاْر قْلا ِلِ تَرَو ِوْيَلَع ْدِز ْوَا ٤
Artinya: “Atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan” (QS. al-Muzzammil: 4).3
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa umat Islam diperintahkan oleh Allah untuk membaca al-Qur‟an dengan fasih dan tartil, dalam artian harus memperhatikan hukum bacaan dan juga hak- hak huruf atau biasa disebut dengan makhorijul huruf, untuk memenuhi hukum bacaan dan juga hak-hak huruf kita bisa belajar melalui ilmu tajwid, belajar ilmu tajwid itu hukumnya fardlu kifayah dan mengamalkan ilmu tajwid itu hukumnya fadlu „ain. Dengan kita belajar ilmu tajwid kita akan tahu bagaimana cara membaca al- Qur‟an dengan benar, mana yang dibaca panjang, mana yang dibaca pendek, mana yang harus dibaca jelas, dan juga mana yang harus dibaca dengung. Dengan mengamalkan ilmu tajwid bacaan al-Qur‟an akan lebih indah dan enak didengar, dan bisa membacanya dengan tartil pula seperti yang diperintahkan oleh Allah.
K.H. Salim sebagaimana dikutip oleh Agus Nur Qowim menyatakan bahwasanya tartil adalah pembacaan al-Qur‟an secara perlahan-lahan, tenang, disertai dengan perenungan. Memenuhi hak- hak huruf seperti menebalkan huruf-huruf yang harus dibaca tebal dan menipiskan huruf-huruf yang harusnya dibaca tipis, membaca huruf sesuai dengan tempat keluarnya makhroj, tidak mencampurkan sifat-sifat huruf dengan sifat- sifat yang lain dan juga menggunakan ilmu tajwid yang benar seperti panjang pendek bacaan dan juga bacaan yang dibaca dengung maupun jelas. Dan pada surat al- Muzzammil ayat 4 kalimat tartil diulang sebanyak 2 kali, dan hal tersebut bisa dibilang pen-taukid-an atau penguatan makna yang menandakan bahwa pembacaan al-Qur‟an secara tartil merupakan sebuah keharusan dan tidak bisa disepelekan.4
Sedangkan Muhammad Amri Amir dalam bukunya Ilmu Tajwid Praktis menjelaskan bahwa perintah membaca al-Qur‟an itu bukan hanya tartil, namun dengan tartil yang optimal dan berkualitas, seperti pendapat Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu pernah ditanya mengenai tartil yang terkait dengan surat al-Muzzammil ayat 4 : “dan
3 Al-Qur'an, al-Muzzamil ayat 4, Al-Qur‟an Terjemah dan Tajwid, 574.
4Agus Nur Qowim, “Internalisasi Karakter Qur'ani dengan Tartil al- Qur‟an,” Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 1 (2019): 20.
bacalah al-Qur‟an itu dengan tartil”. Dan beliau pun menanggapi bahwasanya tartil ialah membaguskan bacaan huruf-huruf al-Qur‟an dan disertai dengan pemahaman tanda-tanda waqaf atau tempat berhenti maupun memulai bacaan.5 Al-Qur‟an merupakan bacaan yang mulia sampai Allah begitu peduli dan tidak membiarkan seseorang membacanya dengan asal-asalan, namun Allah memerintahkan untuk membacanya dengan tartil.
Sebelumnya peneliti sudah melaksanakan pra penelitian di Desa Kalianyar selama satu bulan, dari sana didapatkan data bahwasanya masyarakat desa tersebut memang bisa dikatakan masih minim pendidikan agama dan abangan. Namun, di sisi lain masyarakat yang dengan keadaan seperti demikian mereka masih memiliki kesadaran keberagamaan dan juga upaya untuk me-living- kan al-Qur‟an seperti dengan diadakannya tradisi membaca al-Qur‟an bin-nadzor secara tartil.
Berdasarkan pra penelitian tersebut, peneliti memperoleh data bahwa masyarakat yang bisa membaca al-Qur‟an dengan fasih dan tartil hanya 20% saja, sedangkan yang bisa membaca al-Qur‟an, namun masih belum fasih dan tartil yaitu 60% dan untuk yang belum bisa memebaca al-Qur‟an sama sekali yaitu 20%. Melihat data dan kondisi di lapangan kemudian peneliti tertarik untuk mengkaji tentang “Tradisi Tartilan Al-Qur’an Bin-Nadzor di Desa Kalianyar Kedung Jepara (Kajian Living Qur’an)”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan judul tersebut, supaya memudahkan pemahaman dan juga terhindar dari kesalahpahaman guna memperoleh data yang sesuai dengan yang diharapkan maka peneliti memfokuskan pembahasan supaya menemui titik temu. Dalam fokus penelitian ini yang dimaksud adalah batasan permasalahan yang berisi pokok masalah yang masih bersifat universal.6
Dari judul yang terkait, yaitu: Tradisi Tartilan Al-Qur‟an Bin-Nadzor di Desa Kalianyar Kedung Jepara (Kajian Living Qur‟an ) maka peneliti akan memfokuskan pada latar belakang tradisi tartilan al-Qur‟an bin-nadzor, pelaksanaan tartilan al-Qur‟an bin-nadzor, dan manfaat mengikuti tartilan al-Qur‟an bin-nadzor di desa Kalianyar, Kedung, Jepara.
5 Muhammad Amri Amir, Ilmu Tajwid Praktis (Batam: Pustaka Baitul Hikmah Harun Ar-Rasyid, 2019), 6.
6 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2015), 285.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diperoleh rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang tradisi tartilan al-Qur‟an bin-nadzor di desa Kalianyar, Kedung, Jepara?
2. Bagaimana praktik pelaksanaan tradisi tartilan al-Qur‟an bin- nadzor di desa Kalianyar, Kedung, Jepara?
3. Bagaimana manfaat tradisi tartilan al-Qur‟an bin-nadzor di desa Kalianyar, Kedung, Jepara?
D. Tujuan penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang tradisi tartilan al-Qur‟an bin- nadzor di desa Kalianyar, Kedung, Jepara
2. Untuk mengetahui praktik pelaksanaan tradisi tartilan al-Qur‟an bin-nadzor di desa Kalianyar, Kedung, Jepara
3. Untuk mengetahui manfaat tradisi tartilan al-Qur‟an bin-nadzor di desa Kalianyar, Kedung, Jepara.
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Dalam dunia akademik, penelitian ini dapat memberi masukan dan menambah pengetahuan dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya di desa Kalianyar, Kedung, Jepara.
b. Dalam wacana ilmu Islam, penelitian ini dapat berkembang dalam dunia akademik dan khazanah keilmuan di bidang Living Qur‟an.
c. Secara sosial, diharapkan supaya dapat dijadikan salah satu bahan untuk pertimbangan bagi semua pihak yang membutuhkan pengetahuan mengenai tradisi tartilan al- Qur‟an bin-nadzor dengan menggunakan prespektif di desa Kalianyar, Kedung, jepara.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S1) pada fakultas Ushuluddin program studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Institut Agama Islam Negeri Kudus.
b. Hasil dari Penelitian ini diharapkan supaya dapat menjadi sumber informsi bagi masyarakat khususnya masyarakat desa
Kalianyar, Kedung, Jepara supaya menambah kecintaannya terhadap al-Qur‟an.
F. Sistematika penulisan Skripsi
Secara garis besar skripsi ini terdiri atas beberapa bagian, dengan itu peneliti membagi dalam lima bab, masing-masing bab terbagi menjadi beberapa sub bab. Adapun pembagiannya sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan. Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian yang bersifat teoritis dan praktis dan sistematika penulisan.
Bab II berisi landasan teori. Landasan teori memuat teori- teori dari variabel judul dan teori untuk menganalisis data. Isi teorinya merupakan teori tradisi, teori tartilan bin-nadzor, teori living Qur‟an, penelitian terdahulu, dan kerangka berfikir.
Bab III berisi metode penelitian yang mencakup jenis dan pendekatan penelitian, setting penelitian, subyek penelitian, sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, pengujian keabsahan data, dan teknik analisis data.
Bab IV merupakan analisis dari berbagai pokok masalah mengenai tradisi tartilan al-Qur‟an bin-nadzor di desa Kalianyar, Kedung, Jepara dan manfaat adanya tradisi tartilan al-Qur‟an bin- nadzor terhadap partisipan jam‟iyyah. Pada bab ini peneliti berusaha memaparkan hasil penelitian dengan kajian teori yang ada agar dapat dipahami banyak khalayak secara mudah.
Bab V merupakan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah dijelaskan secara jelas, disertakan lampiran-lampiran pendukung kelengkapan data hasil penelitian.