Ilman Fakih, 2012
DAFTAR TABEL
NO – Tabel Halaman
3.1 Informan Penelitian ... 58
Ilman Fakih, 2012
DAFTAR BAGAN
NO – Bagan Halaman
2.1 Paradigma Penelitian ... 52
Ilman Fakih, 2012
DAFTAR GAMBAR
NO – Gambar Halaman
Ilman Fakih, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
NO – Lampiran Halaman
1 Pedoman Observasi ... 125
2 Pedoman Wawancara ... 126
3 Hasil Wawancara ... 130
4 Kisi-kisi Instrumen Penelitian ... 168
5 Photo-photo Penelitian ... 170
6 Surat Keputusan Pembimbing Penyusunan Tesis ... 178
7 Surat Permohonan Izin Melakukan Studi Lapangan ... 180
8 Surat Izin Penelitian dari DINAS ... 181
9 Surat Keterangan Telah Melaksanakan Observasi Lapangan di SMP 1 Rangkasbitung ... 182
10 Surat Keterangan Telah Melaksanakan Observasi Lapangan di SMP 2 Rangkasbitung ... 183
11 Surat Keterangan Telah Melaksanakan Observasi Lapangan di SMP 3 Rangkasbitung ... 184
12 Surat Keterangan Telah Melaksanakan Observasi Lapangan di SMP 4 Rangkasbitung ... 185
13 Surat Keterangan Telah Melaksanakan Observasi Lapangan di SMP 5 Rangkasbitung ... 186
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, selain memberi
keuntungan berlipat, di sisi lain juga membawa pengaruh negatif bagi tatanan
kehidupan manusia. Teknologi informasi dan komunikasi yang begitu
memudahkan pelayanan kebutuhan manusia pada sisi lain juga mempercepat
tersebarnya pengaruh negatif bagi eksistensi nilai-nilai yang telah berkembang di
suatu masyarakat. Masyarakat sering dibuat miris melihat berbagai kasus yang
dilakukan kalangan pelajar akhir-akhir ini, berbagai fenomena yang pada masa
lalu tabu, kini menjadi biasa. Pernyataan ini dibuktikan dengan banyaknya berita,
baik melalui media cetak maupun elektronik seperti kekerasan yang dilakukan
anak-anak usia sekolah, lunturnya kesopanan anak pada orang tua, free sex dan
kasus aborsi pada remaja yang terang-terangan diberitakan di media tanpa ada
perasaan bersalah.
Sebagian besar kesalahan yang dilakukan para remaja dan pelajar pada
dasarnya disadari oleh mereka sebagai sesuatu yang melanggar nilai dan norma,
akan tetapi mengapa mereka tetap melakukannya. Hal inilah yang perlu kita
renungkan. Pembelajaran di kelas sangat berpengaruh terhadap cara pandang dan
bagaimana bersikap seorang remaja atau pelajar. Pembelajaran idealnya tidak
hanya mengembangkan aspek kognitif, tetapi juga harus menekankan proses
guru agama dan pendidikan kewarganegaraan semata, tetapi semua bidang studi
memiliki tanggung jawab yang sama.
Pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam
melahirkan warga negara Indonesia yang memiliki karakter kuat sebagai modal
dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat
merupakan produk dari pendidikan yang baik dan mengembangkan karakter.
Ketika mayoritas karakter masyarakat kuat, positif, tangguh peradaban yang tinggi
dapat dibangun dengan baik dan sukses. Sebaliknya, jika mayoritas karakter
masyarakat negatif, karakter negatif dan lemah mengakibatkan peradaban yang
dibangun pun menjadi lemah sebab peradaban tersebut dibangun dalam fondasi
yang amat lemah.
Pendidikan pada dasarnya merupakan proses untuk membantu manusia
dalam mengembangkan potensi dirinya sehingga mampu menghadapi setiap
perubahan yang terjadi. Melalui pendidikan, manusia dapat meningkatkan
pengetahuan, kemampuan dan kreatifitas terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Fungsi lain dari pendidikan adalah mengurangi
kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan karena ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh dapat menjadikan seseorang mampu mengatasi
problematika.
Ilmu Pengetahuan Sosial adalah mata pelajaran di sekolah yang didesain
atas dasar fenomena, masalah dan realitas sosial dengan pendekatan interdisipliner
yang melibatkan berbagai cabang Ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti
kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, pendidikan.
ilmu-ilmu dalam rumpun Ilmu-ilmu-ilmu sosial dan juga humaniora untuk melahirkan
pelaku-pelaku sosial yang dapat berpartisipasi dalam memecahkan
masalah-masalah sosio-kebangsaan. Bahan kajiannya menyangkut peristiwa, seperangkat
fakta, konsep dan generalisasi yang berkait dengan isu-isu aktual, gejala dan
masalah-masalah atau realitas sosial serta potensi daerah.
Sebutan IPS di Indonesia adalah sebuah kesepakatan untuk menunjuk
istilah lain dari social studies. Sebagaimana dikemukakan oleh Zamroni (2010:7)
bahwa sebutan social studies ini untuk menunjuk sifat keterpaduan dari ilmu-ilmu
sosial atau integrated social sciences. Jadi sifat keterpaduan itu mestinya menjadi
ciri pokok mata kajian yang disebut IPS. Karena itu Hasan (2010:16) menegaskan
bahwa IPS adalah studi integratif tentang kehidupan manusia dalam berbagai
dimensi ruang dan waktu dengan segala aktivitasnya. Dalam rumusan yang lain,
IPS merupakan kajian yang terkait dengan kehidupan sosial kemasyarakatan
berserta lingkungannya untuk kepentingan pendidikan dan pembentukan para
pelaku sosial. Selanjutnya dalam UU Sisdiknas, dijelaskan bahwa IPS merupakan
bahan kajian yang wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah
yang antara lain mencakup ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan dan lain
sebagainya yang dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman,
dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat.
Proses pembelajaran IPS sebagaimana pembelajaran pada umumnya, harus
dibangun sebagai sebuah proses transaksi kultural yang harus mengembangkan
karakter sebagai bagian tak terpisahkan dari pengembangan Iptek pada umumnya.
Pelaksanaan pendidikan saat ini yang lebih didominasi oleh praktek pendidikan di
kembali sebagai wahana pengembangan pendidikan karakter bangsa, sebagai
proses pembangunan kecerdasan, akhlak dan kepribadian peserta didik secara
utuh sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Hamalik (2002: 3) mengemukakan bahwa IPS masih bersifat elementer
bersifat dasar dan fundamental belaka. Pada tingkat yang lebih tinggi ilmu ini
sudah berkembang sedemikian rupa, karena itu IPS yang dipelajari pada
perguruan tinggi disebut dengan istilah lain yaitu social science. Menurut
Soemantri (2001:74), pendidikan IPS adalah suatu penyederhanaan disiplin
ilmu-ilmu sosial, ideologi negara dan disiplin ilmu-ilmu lainnya serta masalah-masalah sosial
terkait yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk
tujuan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
IPS dalam pendidikan merupakan suatu konsep yang mengembangkan
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan sosial dalam rangka membentuk dan
mengembangkan pribadi warga negara yang baik, juga telah menjadi bagian dari
wacana kurikulum dan sistem pendidikan di Indonesia, dan merupakan program
pendidikan sosial pada jalur pendidikan sekolah. Sebagaimana diungkapkan oleh
Suraatmaja (2001: 20) bahwa Mata pelajaran IPS bertujuan mengembangkan
potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di
masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan
yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik
yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa kehidupan masyarakat.
Mencermati uraian tentang pengertian dan tujuan IPS, maka pendidikan
IPS sebenarnya sangat erat kaitannya dengan pendidikan karakter. Menurut
nilai, pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti. makna ini memiliki arah dan
tujuan yang sama dengan tujuan pembelajaran IPS, yakni sama-sama bertujuan
agar peserta didik dapat menjadi warga negara yang baik.
Secara konseptual, istilah pendidikan nilai ini sering disamakan dengan
pendidikan religius, pendidikan budi pekerti, pendidikan akhlak mulia, pendidikan
moral atau pendidikan karakter itu sendiri (Samsuri, 2009; Zuchdi, 2008).
Pendidikan karakter, pendidikan moral, atau pendidikan budi pekerti itu dapat
dikatakan sebagai upaya untuk mempromosikan dan menginternalisasikan
nilai-nilai utama, atau nilai-nilai-nilai-nilai positif kepada warga masyarakat agar menjadi warga
bangsa yang percaya diri, tahan uji dan bermoral tinggi, demokratis dan
bertanggung jawab serta survive dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan
demikian, pendidikan karakter merupakan proses pembudayaan dan
pemanusiaan.
Dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah, institusi pendidikan
atau sekolah harus menjadi lingkungan yang kondusif. Sekolah harus menjadi
sebuah komunitas dan wahana persaudaraan tempat berkembangnya nilai-nilai
kebaikan atau nilai-nilai utama. Sebagaimana dikemukakan oleh Lewis (2003: 8)
bahwa Pendidikan karakter akan senantiasa mengembangkan akhlak mulia dan
kebiasaan yang baik bagi para peserta didik. Dalam pengembangan pendidikan
karakter, guru harus juga bekerja sama dengan keluarga atau orang tua/wali
peserta didik. Dalam kaitan ini, Lickona (2000: 48) menyebutkan beberapa nilai
kebaikan yang perlu dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan peserta didik agar
nilai itu antara lain kejujuran, kasih sayang, pengendalian diri, saling menghargai
atau menghormati, kerjasama, tanggung jawab, dan ketekunan.
Pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam arti
mengukuhkan moral intelektual peserta didik atas dasar nilai-nilai kebaikan,
sehingga menjadi pribadi yang mantap dan tahan uji, pribadi-pribadi yang
cendekia, mandiri dan bernurani, tetapi juga bersifat kuratif secara personal
maupun sosial. Sebagaimana di kemukakan oleh Kusuma (2007: 116) Dengan
demikian bahwa pendidikan karakter sebenarnya dapat menjadi salah satu langkah
untuk menyembuhkan penyakit sosial. Pendidikan karakter adalah proses
pemberian bimbingan dan fasilitasi kepada peserta didik agar menjadi manusia
seutuhnya, manusia yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, karsa serta
rasa.
Karakter merupakan keseluruhan disposisi kodrati dan disposisi yang telah
dikuasai secara stabil yang mendefinisikan seorang individu dalam keseluruhan
tata perilaku psikisnya yang menjadikannya tipikal dalam cara berpikir dan
bertindak. Hal tersebut telah menarik perhatian serius para pendidik dan
pedagogis untuk dipikirkan dalam kerangka proses pendidikan karakter.
Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan
substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong, dan
memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan
sehari-hari. Kebiasaan ini timbul dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran,
keyakinan, kepekaan, dan sikap orang yang bersangkutan. Dengan demikian,
inside-out, dalam arti bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik terjadi
karena adanya dorongan dari dalam, bukan karena adanya paksaan dari luar.
Proses pembangunan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh
faktor-faktor khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang sering juga disebut
faktor bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) di mana orang yang
bersangkutan tumbuh dan berkembang. Namun demikian, perlu diingat bahwa
faktor bawaan boleh dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat untuk
mempengaruhinya. Hal yang berada dalam pengaruh kita, sebagai individu
maupun bagian dari masyarakat, adalah faktor lingkungan. Jadi, dalam usaha
pengembangan atau pembangunan karakter pada tataran individu dan masyarakat,
fokus perhatian kita adalah pada faktor yang bisa kita pengaruhi atau lingkungan,
yaitu pada pembentukan lingkungan. Dalam pembentukan lingkungan inilah
menurut Raka (2007: 7) peran lingkungan pendidikan menjadi sangat penting,
bahkan sangat sentral karena pada dasarnya karakter adalah kualitas pribadi
seseorang yang terbentuk melalui proses belajar, baik belajar secara formal
maupun informal.
Masalah yang dihadapi dalam mengembangkan karakter adalah
kemampuan untuk tetap menjaga identitas permanen dalam diri manusia yaitu
semakin menjadi sempurna dalam proses penyempurnaan dirinya sebagai
manusia. Karena itu, karakter bukanlah kekuasaan hidup. Karakter dengan
demikian tidak dapat dimaknai sekedar sebagai keinginan untuk mencapai
kebahagiaan, ketentraman, kesenangan, dan lain-lain yang lebih merupakan
perpanjangan kebutuhan psikologis manusia. Karakter merupakan ciri dasar
penuh sebagai manusia apapun pengalaman psikologi yang dimilikinya. Dalam
hal ini, pengembangan karakter merupakan proses yang terjadi secara
terus-menerus, karakter bukan kenyataan melainkan keutuhan perilaku.
Karakter bukanlah hasil atau produk melainkan usaha hidup. Menurut
Koesoema (2004: 103) usaha ini akan semakin efektif, ketika manusia melakukan
apa yang menjadi kemampuan yang dimiliki oleh individu. Kekuatan dalam
proses pembentukan karakter sangat ditentukan oleh realitas sosial yang bersifat
subjektif yang dimiliki oleh individu dan realitas obyektif di luar individu yang
mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk pribadi yang
berkarakter.
Salah satu poin penting dari tugas pendidikan adalah membangun karakter
(character building) anak didik. Karakter merupakan standar-standar batin yang
terimplementasi dalam berbagai bentuk kualitas diri. Karakter diri dilandasi
nilai-nilai serta cara berpikir berdasarkan nilai-nilai-nilai-nilai tersebut dan terwujud di dalam
perilaku. Bentuk-bentuk karakter yang dikembangkan telah dirumuskan secara
berbeda.
Perilaku sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi orang
lain dengan cara-cara yang berbeda-beda. Misalnya dalam melakukan kerja sama,
ada orang yang melakukannya dengan tekun, sabar dan selalu mementingkan
kepentingan bersama diatas kepentingan pribadinya. Sementara di pihak lain, ada
orang yang bermalas-malasan, tidak sabaran dan hanya ingin mencari untung
sendiri.
Menurut Ibrahim (2001: 76) Perilaku sosial adalah suasana saling
Sebagai bukti bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sebagai diri
pribadi tidak dapat melakukannya sendiri melainkan memerlukan bantuan dari
orang lain. Ada ikatan saling ketergantungan diantara satu orang dengan yang
lainnya. Artinya bahwa kelangsungan hidup manusia berlangsung dalam suasana
saling mendukung dalam kebersamaan. Untuk itu manusia dituntut mampu
bekerja sama, saling menghormati, tidak menggangu hak orang lain, toleran dalam
hidup bermasyarakat.
Menurut Ibrahim (2001: 78), perilaku sosial seseorang itu tampak dalam
pola respon antar orang yang dinyatakan dengan hubungan timbal balik antar
pribadi. Perilaku sosial juga identik dengan reaksi seseorang terhadap orang lain.
Perilaku itu ditunjukkan dengan perasaan, tindakan, sikap keyakinan, kenangan,
atau rasa hormat terhadap orang lain.
Pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 37
dijelaskan bahwa IPS antara lain meliputi : ekonomi, sejarah, geografi, kesehatan
dan sebagainya. Pendidikan IPS bertugas untuk mengembangkan pengetahuan,
pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial
masyarakat, untuk kemudian secara bertahap ikut mengurangi dan mengatasi
problem-problem sosial yang ada. Pada pelaksanaan dan penerapan IPS perlu
memperhatikan visi yang terpadu yakni visi filosofis, akademis dan pedagogis
yang menjadi jati diri pendidikan IPS. Visi filosofis terkait dengan nilai-nilai
Pancasila dan Visi akademis bertumpu pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora
untuk dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta
kepentingan pembelajaran. Sementara itu, visi pedagogis bertumpu pada peserta
kerangka pengembangan materi atas dasar ilmu-ilmu sosial dan humaniora, untuk
kemudian mengajarkannya kepada para peserta didik di sekolah sesuai dengan
kondisi peserta didik dan tuntutan zaman.
Pada kenyataannya, pendidikan IPS di sekolah menengah pertama (SMP)
di Indonesia, proses pembelajaran IPS masih dilakukan secara parsial dengan
model program terpisah (disciplinary model). Ilmu Pengetahuan Sosial dalam
model ini terdiri dari pelajaran yang terpusat berdasarkan satu disiplin ilmu
tertentu. Tekanan yang diajarkan cenderung kepada materi faktual dan konseptual
yang berpusat pada satu ilmu sosial tertentu (misalnya sejarah saja). Model ini
bersifat textbook centered dengan tekanan utama pada kemampuan mengingat.
Akibat model program terpisah dalam pembelajaran IPS inilah hasil
pendidikan generasi muda tak mampu melihat, memahami, dan mengaplikasikan
pengetahuannya dalam memecahkan masalah-masalah sosial di dalam kehidupan
dan lingkungan sosial di sekitarnya. Kondisi itu nampak dalam cara pandang,
sikap dan perilaku mereka dalam interaksinya dengan lingkungan fisik dan
sosialnya yang menyangkut hubungan kemanusiaan. Sebagian besar di antara
mereka yang tidak tahu bagaimana cara hidup dan bekerjasama, cara
mempergunakan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia, cara
melestarikan adat istiadat, mematuhi pranata sosial, memelihara nilai-nilai
kejuangan dan patriotisme, dan mengembangkan warisan kebudayaannya.
Cara pandang, sikap, dan perilaku sosial menyimpang seperti korupsi,
pelecehan seksual, kejahatan dengan pemberatan, anarkisme, perusakan
lingkungan dan upaya-upaya separatisme merupakan contoh riil kehidupan
menyimpang tersebut sedikit banyak disebabkan oleh hasil pembelajaran IPS
khususnya yang tak mampu memberikan bekal menjadikan masyarakat menjadi
warga negara yang baik. Sebagai contoh kasus, misalnya pada kondisi krisis
bahan bakar minyak, seorang warga tega menyelundupkan BBM hanya untuk
meneguk keuntungan ekonomi pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan
orang lain. Sebagai warga negara yang baik semestinya mereka memiliki
tenggang rasa yang tinggi terhadap kepentingan sosial demi kehidupan bersama
yang saling menolong dan menghormati. Begitu pula perilaku korupsi yang
merajalela di negara ini juga disebabkan ketidakmampuan IPS dalam memberikan
kemampuan understanding, attitudes dan skill yang terpadu dan komprehensif
kepada generasi muda kita.
Pada umumnya realitas yang terjadi pada siswa SMP di Rangkasbitung
Kabupaten Lebak Banten, dimana pengajaran IPS yang diberikan guru kepada
siswa tersebut berkaitan dengan pendidikan karakter belum dapat diaplikasikan
oleh para siswa dengan baik di dalam lingkungan kehidupannya. Sikap para siswa
SMP di Rangkasbitung Kabupaten Lebak Banten belum sepenuhnya
menunjukkan apa yang diajarkan oleh para guru, sehingga akibatnya para siswa
memiliki perilaku yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh guru. Dari
hal tersebut maka terjadinya kesenjangan antara apa yang diajarkan oleh guru
dengan implementasi sikap dan perilaku sosial di dalam kehidupan masyarakat.
Atas dasar fenomena degradasi moral dan keterpurukan sosial inilah maka
diperlukan pengkajian kembali secara arif, seksama dan komprehensif terhadap
penyelenggaraan pendidikan, khususnya dalam pengajaran IPS atau social studies
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Peran Pendidikan IPS dalam Mengembangkan
Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Pembinaan Perilaku Sosial Siswa SMP
di Rangkasbitung Kabupaten Lebak Banten”.
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada bagaimana peran Guru IPS dalam
mengembangkan pendidikan karakter sebagai upaya pembinaan perilaku sosial
siswa SMP di Rangkasbitung Kab. Lebak Banten. Berdasarkan situasi sosial
masyarakat yang terdapat di Rangkasbitung, peneliti menetapkan obyek dalam
penelitian ini berdasarkan letak geografis sekolah. Hal ini dikarenakan adanya
indikasi perbedaan kultur yang terdapat di setiap sekolah masing-masing. Maka,
situasi sosial yang ditetapkan sebagai tempat penelitian adalah SMPN 1, 2, 4 yang
terletak di pusat kota Rangkasbitung dan SMPN 3, 5 terletak di pinggir kota
Rangkasbitung hal ini dimaksudkan dengan tujuan untuk membandingkan sampai
sejauh mana peran pendidikan IPS dalam mengembangkan pendidikan karakter
sebagai upaya pembinaan perilaku sosial siswa SMP di Rangkasbitung.
Pendidikan karakter yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk kepada konsep
pendidikan karakter yang disampaikan oleh Licona ( Good character ).
Lebih rinci penelitian ini difokuskan pada tiga pertanyaan mendasar
sebagai berikut :
1. Peran Guru IPS dalam mengembangkan Pendidikan Karakter.
2. Pada materi pelajaran IPS yang bertemakan pembinaan Perilaku sosial siswa
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa
pendidikan IPS di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)
harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal
tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu
bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
Pendidikan IPS merupakan suatu konsep yang mengembangkan
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan sosial dalam rangka membentuk dan
mengembangkan pribadi warga negara yang baik, juga telah menjadi bagian dari
wacana kurikulum dan sistem pendidikan di Indonesia, dan merupakan program
pendidikan sosial pada jalur pendidikan sekolah. IPS merupakan pengetahuan
terapan yang dilakukan di sekolah untuk mengembangkan kepekaan anak didik
terhadap kehidupan sosial di sekitarnya. IPS tidak menemukan pengetahuan,
melainkan memanfaatkan pengetahuan untuk memecahkan permasalahan sosial
dalam kehidupannya sehari-hari.
Secara konseptual, istilah pendidikan ini sering disamakan dengan
pendidikan religius, pendidikan budi pekerti, pendidikan akhlak mulia, pendidikan
moral, pendidikan nilai atau pendidikan karakter itu sendiri (Samsuri, 2009;
Zuchdi, 2008). Pendidikan karakter, pendidikan moral, atau pendidikan budi
pekerti itu dapat dikatakan sebagai upaya untuk mempromosikan dan
menginternalisasikan nilai-nilai utama, atau nilai-nilai positif kepada warga
masyarakat agar menjadi warga bangsa yang percaya diri, tahan uji dan bermoral
bermasyarakat. Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan proses
pembudayaan dan pemanusiaan.
Perilaku sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi orang
lain dengan cara-cara yang berbeda-beda. Menurut Ibrahim (2001: 82) bahwa
perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang merupakan keharusan
untuk menjamin keberadaan manusia. Perilaku itu ditunjukkan dengan perasaan,
tindakan, sikap keyakinan, kenangan, atau rasa hormat terhadap orang lain.
Cara pandang, sikap, dan perilaku sosial menyimpang seperti korupsi,
pelecehan seksual, kejahatan dengan pemberatan, anarkisme, perusakan
lingkungan dan upaya-upaya separatisme merupakan contoh riil kehidupan
masyarakat yang membikin terpuruknya negara kita. Perilaku sosial yang
menyimpang tersebut sedikit banyak disebabkan oleh hasil pembelajaran IPS
khususnya yang tidak mampu memberikan bekal menjadikan masyarakat
menjadi warga negara yang baik.
Berdasarkan fokus penelitian yang telah ditetapkan tersebut di atas, maka
masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut. :
1. Bagaimanakah peran guru IPS dalam mengembangkan pendidikan karakter
sebagai upaya pembinaan perilaku sosial siswa SMP di Rangkasbitung ?
2. Bagaimanakah pengembangan pendidikan karakter dalam upaya pembinaan
perilaku sosial siswa SMP di Rangkasbitung ?
3. Bagaimanakah tanggapan siswa mengenai pelajaran IPS dalam pengembangan
pendidikan karakter sebagai upaya pembinaan perilaku sosial di SMP
Dari fokus dan rumusan masalah pertama diatas, maka perlu di kaji
kebijakan terkait mengenai hal tersebut. Bagaimana unsur dinas dalam hal ini
Pengawas sekolah Wilayah Binaan (WILBI) dan kepala sekola mengevaluasi
implementasi kebijakan tersebut. rumusan masalah pertama ditujukan kepada
Pengawas Sekolah Wilayah Binaan (WILBI) di Dinas Pendidikan Kab. Lebak dan
kepala sekolah bersangkutan dalam mengembangkan pendidikan karakter sebagai
upaya pembinaan perilaku sosial siswa SMP di Rangkasbitung. Untuk rumusan
masalah yang kedua mengkroscek Pengawas Sekolah Wilayah Binaan dan kepala
sekolah ditujukan kepada para pendidik khususnya peranan kepala sekolah dan
guru mengenai apa saja materi pelajaran IPS yang diajarkan dalam
mengembangkan pendidikan karakter yang mengacu pada peraturan yang berlaku,
dan rumusan masalah yang ketiga ditujukan kepada para siswa itu sendiri
mengenai hal-hal apa saja yang terkait dalam pelajaran IPS dan pengembangan
pendidikan karakter sebagai upaya pembinaan perilaku sosialnya.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran
secara deskriptif analisis tentang bagaimana peran Guru IPS dalam
mengembangkan pendidikan karakter dalam upaya pembinaan perilaku sosial
siswa SMP di Kecamatan Rangkasbitung Kab. Lebak Banten. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui peran guru IPS dalam mengembangkan pendidikan
karakter sebagai upaya pembinaan perilaku sosial siswa SMP di
2. Untuk mengetahui materi pelajaran IPS yang diajarkan dalam
mengembangkan pendidikan karakter sebagai upaya pembinaan perilaku
sosial siswa SMP di Rangkasbitung.
3. Untuk mengetahui tanggapan siswa mengenai pelajaran IPS dalam
pengembangan pendidikan karakter sebagai upaya pembinaan perilaku sosial
di SMP Rangkasbitung.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah:
1.Manfaat Teoritis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat menambah dan
memperdalam pengetahuan penulis, terutama dalam hal menganalisa
pembelajaran IPS.
b. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi
dan referensi untuk memungkinkan penelitian selanjutnya mengenai
topik-topik yang berkaitan, baik yang bersifat melanjutkan maupun
melengkapi.
2.Manfaat Praktis
a. Bagi Pihak Sekolah
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi praktisi
pendidikan dan pembuat kebijakan dalam kurikulum pendidikan SMP
b. Bagi Pendidikan IPS
Penelitian ini sebagai bahan masukan untuk peningkatan mutu
pembelajaran IPS
F. Struktur Organisasi Tesis
Penulisan laporan penelitian disusun dalam lima bab secara sistematika
menjelaskan tentang:
BAB I Pendahuluan menguraikan tentang latar belakang dilakukannya
penelitian ini, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan struktur organisasi tesis. BAB II menguraikan tentang tinjauan
pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini, yang digunakan sebagai acuan
dalam melakukan penelitian, penelitian terdahulu, dan kerangka pemikiran. BAB
III menguraikan metode penelitian, desain penelitian, lokasi dan subjek penelitian,
keabsahan data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data. BAB IV
menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan. BAB V menguraikan
tentang kesimpulan dan saran atas hasil analisis dan pembahasan secara
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian Peran Pendidikan IPS dalam mengembangkan pendidikan
karakter sebagai upaya pembinaan perilaku sosial siwa SMP di Rangkasbitung
Kabupaten Lebak Banten ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut
Muhajir (2002:29) pendekatan kualitatif adalah strategi dan teknik penelitian yang
digunakan untuk memahami masyarakat, masalah atau gejala dalam masyarakat
dengan mengumpulkan sebanyak mungkin fakta secara detail dan mendalam.
Data yang disajikan pun dalam bentuk verbal dan bukan dalam bentuk angka.
Dalam penelitian yang akan dilakukan, peneliti berfungsi sebagai
instrumen kunci. Data yang diperoleh berbentuk kata-kata, analisis data bersifat
induktif, disajikan secara deskriptif dan hasil penelitian lebih menekankan makna
di balik fenomena yang terjadi. Pola ini dilakukan melalui pengumpulan informasi
dengan cara penelitian naturalistik, pengamatan terlibat, wawancara mendalam
(indepth interview), catatan lapangan, analisis dokumen, dan semacamnya.
Adapun pendekatan yang digunakan merupakan penelitian deskriptif
kualitatif, yang bertujuan menggali atau membangun suatu proporsi atau
menjelaskan makna di balik realita. Peneliti berpijak dari realita atau peristiwa
yang berlangsung di lapangan. Selanjutnya, peneliti akan mendalami lebih jauh
Melalui pendekatan ini, permasalahan dalam penelitian ini ingin
menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya, dan diharapkan dapat
memberikan informasi penting dalam bentuk deskripsi ilmiah bagi peran
Pendidikan IPS dalam mengembangkan pendidikan karakter sebagai upaya
pembinaan perilaku sosial siwa SMP di Rangkasbitung Kabupaten Lebak Banten.
B. Desain Penelitian
Sesuai dengan pendekatan yang dipilih, penelitian ini akan didesain sesuai
dengan tata kerja pendekatan deskriptif kualitatif. Di dalamnya sangat
dipentingkan adanya lokasi penelitian dan tahapan-tahapan pelaksanaan
penelitian, sehingga didapatkan hasil penelitian sesuai yang diharapkan.
Penelitian ini tidak dapat dilakukan sekaligus, tetapi melalui
tahapan-tahapan ilmiah yang sudah terbukti kebenarannya. Tahapan-tahapan-tahapan tersebut
dilakukan untuk memperoleh hasil penelitian sebagaimana yang diharapkan,
sehingga hasil penelitian dapat diterapkan untuk pengambilan kebijakan dalam
menentukan peran pendidikan IPS dalam mengembangkan pendidikan karakter
sebagai upaya pembinaan perilaku sosial siswa SMP di Rangkasbitung Kabupaten
Lebak-Banten.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini juga dilakukan melalui
serangkaian langkah metodis. Langkah-langkah tersebut disesuaikan dengan
langkah-langkah dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Menurut Bungin, (2001:171) pelaksanaan penelitian harus melalui
1. Pertama adalah Orientasi
Pada tahap ini dilakukan upaya mengenal lebih dalam objek penelitian,
yaitu para aktor yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan IPS di SMP
Rangkasbitung Kabupaten Lebak Banten. Tujuannya untuk memperoleh informasi
tentang background atau latar belakang objek penelitian. Setelah mengetahui latar
belakang objek penelitian, selanjutnya dilakukan langkah berikutnya, yaitu
observasi lapangan yang dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama observasi
untuk menentukan setting penelitian dan cara yang kedua adalah proses pencarian
data.
2. Tahap Kedua adalah Pencarian Data
Dalam tahap ini dilakukan pencarian data di lapangan. Proses
pengumpulan data (field research) harus terkait dengan situasi dan kondisi aktual
tentang peran Pendidikan IPS dalam mengembangkan pendidikan karakter
sebagai upaya pembinaan perilaku sosial siswa SMP di Rangkasbitung Kabupaten
Lebak Banten. Apa saja yang memungkinkan mempengaruhi peran Pendidikan
IPS tersebut di masa yang akan datang haruslah dicatat dan dicermati agar dapat
diperoleh kesimpulan yang mewakili keberadaan asli dan nyatanya di lapangan.
Pencarian data pada hakikatnya adalah pengumpulan data. Di dalam proses
observasi, hasil yang akan diperoleh peneliti adalah perasaan terlibat dalam subjek
penelitian. Peneliti harus tetap memiliki garis batas yang tegas, yaitu tidak larut
tanpa arah di dalam keseluruhan peristiwa subjek yang diteliti. Dengan kata lain
peneliti ikut terjun mengikuti situasi pemikiran aktor, tetapi tidak terbawa pusaran
3. Tahap Ketiga adalah Klasifikasi Data
Pada tahap ini data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan dengan
memilah, menjelaskan, dan menafsirkan secara mendalam (hermeunetik),
kemudian dihubungkan dalam satu rangkaian logis berdasarkan teori-teori yang
digunakan. Pada saat ini juga dilakukan pengecekan dan pemeriksaan keabsahan
data. Pada tahap ini dilakukan penghalusan data berupa konfirmasi terhadap
subjek atau informan, serta perbandingan keabsahan data pada sumber-sumber
literatur yang digunakan.
4. Tahap Keempat adalah Analisis Data
Pada tahap ini diakhiri dengan proses analisis dengan metode pemahaman
terhadap fenomena dan interpretasi yang diperoleh dari penelitian. Semua data
tersebut akan dideskripsikan dengan menggunakan teknik analisis dan metode
deskriptif kualitatif secara sistematis dalam laporan penelitian, serta dapat
menggambarkan fenomena yang ada sejelas mungkin disertai dengan analisis dan
interpretasi yang dibantu dengan penggunaan data-data lapangan yang relevan
C. Lokasi dan Subjek Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Rangkasbitung Kabupaten Lebak Banten.
Pemilihan lokasi ini berdasarkan alasan bahwa di wilayah tersebut, pendidikan
sekolah, khususnya pendidikan IPS sebagai pendidikan karakter dalam upaya
pembinaan perilaku sosial, disinyalir masih adanya perbedaan pandangan dan pola
pikir antara masyarakat kota dengan masyarakat pedesaan setempat. Perbedaan
pandangan dan pola pikir yang dimaksudkan adalah pada umumnya masyarakat
pedesaan masih ada yang memegang teguh adat “kaum jawara” di mana anak
yang jago berkelahi bukan dianggap sebagai berperilaku sosial menyimpang,
malah dipuji-puji sebagai “jagoan” di kalangan mereka. Sedangkan situasi sosial
masyarakat perkotaan kebalikannya lebih condong mengikuti perkembangan
jaman moderen yang kebanyakannya telah meninggalkan kebiasaan seperti itu.
2. Subjek Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, istilah sampel tidak lazim digunakan. Sebagai
subjek penelitian. Setiap subjek adalah informan yang akan dilihat sebagai kasus
dalam suatu kejadian (event) tertentu, sehingga pendekatan kualitatif menyebutnya
sebagai narasumber atau informan sebagai subjek penelitian. Sesuai karakter pendekatan
kualitatif yang lebih investigatif, maka pemilihan narasumber lebih ditekankan pada
kualitas narasumber dan bukan pada banyaknya atau kuantitasnya.
Narasumber tidak digunakan dalam usaha untuk melakukan generalisasi
generalisasi dari hasil penelitian ini pada akhirnya. Menurut Bunguin, (2001: 108)
informan penelitian adalah orang diperkirakan menguasai dan memahami data,
informasi, ataupun fakta objek penelitian.
Kriteria narasumber yang dapat dipilih dan dianggap mewakili informasi
dalam penelitian ini adalah unsur dari Dinas Pendidikan yang diwakili oleh
Pengawas Sekolah Wilayah Binaan (WILBI) beserta Kepala Sekolah sebagai
informan pangkal dan unsur dari sekolah yang diwakili oleh, Guru IPS itu sendiri
dan Siswa SMP di Rangkasbitung Kabupaten Lebak Banten sebagai informan
[image:27.595.114.523.296.756.2]pokok atau kunci.
Tabel 3.1 Informan Penelitian
No Informan Pangkal Informan Pokok/Kunci
1. Dinas Pendidikan yaitu Pengawas Sekolah WILBI. Pengawas Sekolah WILBI merupakan organisasi di bawah departemen pendidikan dalam mengawasi aspek-aspek yang berhubungan dengan pendidikan termasuk pengawasan pendidikan karakter. Alasan pemilihan informan ini yaitu:
a. Untuk mengetahui sejauhmana pengawasan khususnya pengawasan mengenai pendidikan IPS dalam mengembangkan pendidikan karakter. b. Untuk mengetahui
sejauhmana proses pengawasan khususnya mengenai upaya pembinaan perilaku oleh kepala sekolah dan guru.
1. Guru IPS. Guru IPS merupakan aktor/implementor dalam pengembangan pendidikan karakter, dengan begitu akan di ketahui:
a. Peranan guru dalam pengembangan karakter b. Permasalahan yang dihadapi
guru dalam pengembangan karakter
c. Cara mengatasi permasalahan yang dihadapi guru
c. Untuk mengetahui
sejauhmana hambatan dan upaya pengawasan
pendidikan karakter oleh guru IPS.
2. Pihak Sekolah yaitu Kepala Sekolah. Kepala sekolah merupakan tenaga fungsional guru yang diberikan tugas
tambahan untuk memimpin suatu sekolah di mana diselenggarakan proses pendidikan karakter kepada siswa, adapun alasan pemilihan informan ini untuk mengetahui:
a. Peran kepala sekolah dalam sistem pengembangan karakter kepada guru b. Peran kepala sekolah dalam
pengembangan karakter kepada siswa.
c. Penilaian kepala sekolah terhadap guru IPS dalam pengembangan karakter. d. Evaluasi kepala sekolah
dalam pengembangan karakter siswa oleh guru.
2. Siswa. Siswa merupakan objek dalam pengembangan karakter, pemilihan informan siswa ini untuk mengetahui:
a. Penilaian siswa terhadap pendidikan karakter b. Penilaian siswa terhadap
peranan guru dalam pendidikan karakter c. Penilaian siswa terhadap
peranan kepala sekolah dalam pendidikan karakter
d. Efektivitas pendidikan karakter yang diberikan oleh guru
e. Hambatan dan upaya siswa dalam menyelesaikan
hambatan dalam implementasi pendidikan karakter
D. Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan (trustworthiness) data sangatlah penting dalam
penelitian kualitatif. Di mana data yang telah berhasil digali, dikumpulkan dan
dicatat dalam kegiatan penelitian, harus diusahakan kemantapan dan
kebenarannya. Dalam epistemologi naturalistik, keterandalan penelitian bertumpu
pada empat elemen: kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan
konfirmabilitas. Menurut Muhajir, (2002:78). Menggunakan keempat elemen itu
kita bisa menguji keabsahan penelitian terhadap kualitas instrumen termasuk
data-data yang diperoleh.
1. Kredibilitas (credibility) atau derajat kepercayaan.
Konsep ini merupakan pengganti konsep validitas internal dalam penelitian
kuantitatif. Kriteria kredibilitas ini berfungsi untuk menggali data dengan tingkat
akurasi yang tinggi agar tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai. Adapun
teknik untuk menetukan kredibilitas ini meliputi: (a) perpanjangan keikutsertaan,
(b) ketekunan dalam observasi, (c) triangulasi atau konfirmasi, (d) pengecekan
sejawat dan (e) kecukupan referensial.
2. Transferabilitas (transferability) atau keteralihan
Konsep ini berguna untuk generalisasi, dalam penelitian kuantitatif dikenal
sebagai validitas eksternal. Namun, dalam penelitian kualitatatif generalisasi tidak
dipastikan. Transferability hanya melihat faktor ”kemiripan” sebagai
kemungkinan terhadap situasi-situasi yang berbeda. Untuk menerapkan penelitian
dengan tingkat transferability yang memadai, teknik yang ditempuh adalah lewat
”deskripsi yang mendalam” (thick description).
3. Dependabilitas (dependability) atau kebergantungan
Konsep ini merupakan pengganti konsep reliabilitas dalam penelitian
kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif, alat ukur bukan benda, melainkan manusia
atau si peneliti sendiri. Karena itu, rancangan penelitian terus berkembang saat
penelitian. Selama penelitian berlangsung, peneliti dituntut mengumpulkan
mengukur dependabilitas adalah auditing, yaitu sebagai teknik pemeriksaan data
yang sudah dipolakan.
4. Konfirmabilitas (confirmability) atau kepastian
Kalau dalam penelitian kuantitatif dipakai konsep objektivitas, maka sebagai
pengganti konsep ini, dalam penelitian kualitatif diterapkan konsep
konfirmabilitas. Dalam kacamata kualitatif persoalan objektivitas dan
subjektivitas sangat ditentukan oleh seseorang. Si peneliti diakui memiliki
pengalaman subjektif. Namun, bila pengalaman tersebut juga disepakati beberapa
orang, maka pengalaman peneliti bisa dipandang objektif. Teknik untuk mengukur
konfirmabilitas ini dilakukan dengan cara audit kepastian.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan, sebagaimana lazim dalam
penelitian kualitatif adalah studi dokumentasi, wawancara dan observasi. Data dalam
penelitian kualitatif lebih berupa kata-kata, maka wawancara menjadi perangkat yang sangat
penting. Selain itu juga dikatakan dalam penelitian kualitatif peneliti sekaligus
berfungsi sebagai instrumen utama (key instrument) yang terjun ke lapangan serta
berusaha untuk mengumpulkan data melalui teknik dokumentasi, wawancara, dan
observasi. Ketiga teknik ini digunakan secara bertahap, terintegritas atau dapat
dilaksanakan pada saat wawancara dan observasi yang dilakukan secara
Secara lebih terperinci teknik pengumpulan data ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Studi Dokumentasi
Studi Dokumen, dengan memanfaatkan berbagai bahan dokumen baik
dokumen tertulis, gambar, hasil karya, maupun elektronik. Di mana dokumen
yang telah diperoleh kemudian dianalisis, dibandingkan, dan dipadukan
membentuk suatu kajian yang sistematis, padu dan utuh. Kegiatan ini disebut
sebagai content analysis, di mana diharuskan seorang peneliti bersikap kritis dan
teliti. Studi dokumen merupakan salah satu metode pengumpulan data yang
digunakan dalam metodologi penelitian sosial untuk menelusuri data historis
(Bungin, 2001:48).
2. Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap informan yang telah ditentukan untuk
mendapatkan informasi yang lebih jelas dan mendalam tentang berbagai hal yang
diperlukan dan berhubungan dengan penelitian. Menurut Bungin, (2001:50) dalam
penelitian ini digunakan metode pengambilan sampel sifatnya tidak acak, di mana
sampel dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Wawancara
dilakukan secara mendalam (indepth interview). Dalam teknik ini biasanya digali
apa yang tersembunyi dari seseorang, kelompok atau masyarakat baik di masa
kini, masa lampau dan masa yang akan datang. Ada dua bentuk wawancara yang
a. Wawancara Terstruktur; Wawancara terstruktur adalah wawancara yang
dilakukan dengan didasarkan pada suatu daftar pertanyaan yang telah
direncanakan dan disusun sebelumnya, dengan cara terjun ke lapangan dengan
berpedoman pada sebuah interview guide sebagai alat bantu.
b. Wawancara Tidak Terstruktur; Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara
yang dilakukan dengan tak mempunyai suatu persiapan sebelumnya dengan
suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata dan tata urut tetap yang harus
dipatuhi oleh peneliti secara ketat, atau dengan kata lain, proses wawancara
dibiarkan mangalir asalkan memenuhi tujuan penelitian.
Peneliti memilih jenis wawancara terstruktur pada rancangan awal dan tidak
terstruktur pada pelaksanaan di lapangan. Pilihan tersebut diambil karena peneliti
telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh, yaitu apa
pandangan dan persepsi para narasumber yang telah dipilih. Dalam wawancara ini,
peneliti menghindari ketatnya struktur pertanyaan, agar bisa mengekplorasi alur
pikiran aktor secara lebih luas. Pokok-pokok pertanyaan yang dirancang berbentuk
pertanyaan terbuka, mudah dimengerti, bersifat netral, dan tidak diwarnai nilai-nilai
tertentu atau bersifat mengarahkan.
3. Observasi Partisipatori
Observasi ini dilaksanakan dengan melakukan pengamatan secara
langsung terhadap objek penelitian, dengan maksud memperoleh gambaran
empirik pada hasil temuan. Hasil dari observasi ini dapat mempermudah dalam
(2001:52). Dengan metode pengamatan ini juga diharapkan dapat memberikan
gambaran interaksi yang terjadi secara langsung tanpa harus berkomunikasi
dengan informan.
F. Teknik Analisis Data
Sebagaimana umumnya dalam penelitian kualitatif, proses analisis data
berlangsung selama proses pengumpulan data dan setelah masa pengumpulan
data. Proses analisis mengalir dari tahap awal hingga tahap penarikan
kesimpulan hasil penelitian. Model analisis dalam penelitian kualitatif ini disebut
sebagai model interaktif, seperti yang dinyatakan oleh Miles dan Huberman
(2002:72). Dalam analisis data model interaktif ini, komponen-komponen analisis
data; yang mencakup reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan; secara
interaktif saling berhubungan selama dan sesudah pengumpulan data. Analisis data
dalam penelitian dilakukan melalui tiga tahapan, yang meliputi hal-hal berikut ini:
1. Reduksi Data
Dalam reduksi data dilakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian dan
penyederhanaan data. Data yang diperoleh dari lapangan mungkin jumlahnya
cukup banyak dan kompleks. Untuk itulah diperlukan reduksi data. Dalam hal ini
hanya data-data yang relevan dengan tujuan penelitian saja yang diambil,
sedangkan yang tidak relevan dibuang. Data dirangkum dan dipilih hal-hal yang
pokok saja, difokuskan pada data-data yang penting, kemudian dicari tema dan
Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang
lebih jelas, sehingga mempermudah peneliti dalam mengumpulkan dan
menambah data-data yang relevan selanjutnya. Reduksi data dilakukan
bersamaan dengan proses pengumpulan data sampai dengan selesai.
2. Penyajian Data
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah penyajian data.
Melalui penyajian data, maka data akan terorganisir dengan baik, tersusun dalam
pola hubungan sehingga mudah dipahami. Penyajian data disajikan dalam bentuk
teks yang bersifat naratif. Penyajian berbentuk teks dan bersifat naratif ini juga
salah satu ciri penelitian kualitatif.
3. Pembuatan Kesimpulan, Verifikasi, dan Refleksi
Pada proses ini peneliti melakukan interpretasi terhadap makna dari data
empiris yang telah dikumpulkan dan dikategorikan sebelumnya secara sistematis.
Proses verifikasi berlangsung berulang dan dinamis dalam berbagai situasi praktis
di lapangan. Verifikasi dilakukan atas informasi lisan maupun dokumentasi.
Proses refleksi dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan
utuh atas ucapan dan makna di balik ucapan tersebut. Kesimpulan dalam
penelitian kualitatif ini merupakan temuan hubungan kausal atau interaksi yang
disajikan dalam bentuk deskripsi.
Untuk menjaga kebenaran dan kehandalan data dalam penelitian ini, peneliti
penting dalam penelitian sosial secara kualitatif. Indeksikalitas berhubungan
dengan upaya mengkaitkan makna kata, perilaku, dan hal lainnya sesuai dengan
konteksnya. Sementara refleksikalitas berkaitan dengan upaya penataan hubungan
antar suatu peristiwa atau fenomena dengan peristiwa atau fenomena lainnya.
Analisis data penelitian ini, bila dinyatakan dalam bentuk gambar adalah sebagai
berikut:
Bagan 3.1 Analisis Data Model Interaktif (Miles dan Huberman, 2002: 72) Reduksi Data
Verifikasi/ Trianggulasi
Sajian Data Pengumpulan
Data
Analisis Data
Peran Pendidikan IPS dalam Mengembangkan Pendidikan Karakter
sebagai Upaya Pembinaan Perilaku Sosial Siswa SMP di Rangkasbitung
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Secara umum peranan guru dalam pengembangan pendidikan karakter di
sekolah berkedudukan sebagai katalisator atau teladan, inspirator, motivator,
dinamisator, dan evaluator. Dalam peranannya sebagai katalisator, maka
keteladanan seorang guru merupakan faktor mutlak dalam pengembangan
pendidikan karakter peserta didik yang efektif, mengingat kedudukannya sebagai
figur atau idola yang digugu dan ditiru oleh peserta didik. Peran sebagai
inspirator, berarti seorang guru harus mampu membangkitkan semangat peserta
didik untuk maju dan mengembangkan potensinya. Peran sebagai motivator,
mengandung makna bahwa setiap guru harus mampu membangkitkan semangat,
etos kerja dan potensi yang luar biasa pada diri peserta didik. Peran sebagai
dinamisator, bermakna setiap guru memiliki kemampuan untuk mendorong
peserta didik ke arah pencapaian tujuan dengan penuh kearifan, kesabaran,
cekatan, cerdas dan menjunjung tinggi spiritualitas. Sedangkan peran guru
sebagai evaluator, berarti setiap guru dituntut untuk mampu dan selalu
mengevaluasi sikap atau prilaku diri, dan metode pembelajaran yang dipakai
dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik, sehingga dapat diketahui
tingkat efektivitas, efisiensi, dan produktivitas programnya. Guru IPS memiliki
peranan penting dalam memberikan pendidikan karakter di sekolah. Peran guru
dan tindakan, dalam merancang pembelajaran berusaha memikirkan
pengembangan nilai-nilai karakter yang akan diterapkan sesuai dengan
karakteristik materi pembelajaran tersebut, mengembangkan kedisiplinan anak,
menerapkan pembiasan-pembiasan pada siswa. Selain itu, guru memiliki peran
dalam memberi contoh secara pribadi atau kelompok, menanamkan kepercayaan
kepada siswa sesuai dengan keilmuan, menciptakan rasa senang dan
mengembangkan komitmen antara guru dan anak.
Materi pelajaran IPS yang diberikan kepada siswa dalam mengembangkan
pendidikan karakter ialah berisi materi-materi tentang tanggung jawab,
ketekunan, kepedulian, kedisiplinan, kewarganegaraan, kejujuran, keberanian,
keadilan, rasa hormat dan integritas. Materi-materi tersebut diharapkan agar para
siswa memiliki perilaku sosial yang baik di lingkungannya. Dalam menyajikan
setiap mata pelajaran para guru menekankan pada sikap-sikap yang memiliki
nilai-nilai kebaikan, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan
karakter pada pembelajaran IPS dapat melembaga dalam diri siswa. Nilai-nilai
yang dimaksud adalah nilai kejujuran, nilai kedisiplinan dan nilai kreativitas yang
harus dimiliki oleh siswa. Adapun tujuan yang akan dicapai para guru IPS dalam
pembentukan karakter para siswa dari pembelajaran IPS tersebut ialah siswa
memiliki kemampuan berpikir tentang pribadi terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara dan siswa dapat menerapkan perilaku-perilaku ekonomi dalam
kehidupan sehari-hari serta mengerti perilaku mana yang baik dan buruk. Tujuan
lain yang akan dicapai dalam pembelajaran IPS ialah munculnya patriotisme,
Tanggapan siswa mengenai pelajaran IPS dalam pengembangan
pendidikan karakter secara umum bernilai positif artinya para siswa di SMP
Rangkasbitung menyambut baik terhadap pengembangan pendidikan karakter.
Hal tersebut diindikasikan dari beberapa keterangan yang diungkapkan oleh siswa
SMP Rangkasbitung Kabupaten Lebak Banten bahwa respon siswa mengenai
pelajaran IPS sangat positif, dalam memberikan pengajaran IPS, guru selalu
menciptakan suasana kondusif yang memungkinkan para siswa untuk berperan
aktif dalam proses pembelajaran sehingga para siswa sangat merespon terhadap
materi pendidikan karakter yang disampaikan oleh para guru IPS. Selain itu,
dalam memberikan materi pendidikan karakter para guru IPS melakukan
pendekatan personal kepada para siswa dan memberikan pengarahan khusus
kepada anak didik untuk berbuat baik di lingkungan sosialnya.sehingga siswa
dapat diarahkan untuk memiliki perilaku sosial yang baik. Ditinjau dari perilaku
sosial para siswa setelah mendapatkan pelajaran IPS maka secara umum terdapat
perubahan yang signifikan terhadap perilaku sosial siswa setelah mendapatkan
pembelajaran IPS. Hal tersebut ditunjukkan perilaku siswa yang lebih baik, siswa
cenderung lebih peka terhadap lingkungan sosial yang ada di sekitarnya seperti
mudah bergaul, siswa dapat mengetahui manfaat menabung, menerapkan sistem
kebersamaan dan mencintai lingkungan sosialnya serta keberanian untuk
mengungkapkan pendapat dan mengekpresikan dirinya. Di samping itu, ada juga
yang menunjukkan perilaku siswa cenderung biasa-biasa saja, tidak menunjukkan
perubahan perilaku ke arah yang lebih baik misalnya ada siswa yang bolos
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain siswa kurang memahami makna dari
pengajaran IPS yang diberikan oleh para guru IPS dan juga perilaku atau watak
siswa yang tidak mau berubah.
B.Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis menyadari masih terdapat
keterbatasan yang ada, oleh karena itu hasil penelitian ini belum dapat dikatakan
sempurna, namun demikian diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi praktisi
pendidikan dalam rangka pembelajaran. Adapun rekomendasi yang diajukan oleh
penulis secara umum yaitu hendaknya kepada seluruh pihak yang terkait
(pengawas, kepala sekolah dan guru) dapat mengembangkan sistem
pengembangan karakter yang lebih baik lagi, kepala sekolah melakukan evaluasi
secara objektif kepada para guru IPS dalam upaya pengembangan karakter siswa,
dan hendaknya melakukan pengawasan terhadap perilaku siswa di sekolah.
Guru hendaknya dapat meningkatkan lagi pemahaman materi pendidikan
karakter terhadap siswa melalui contoh-contoh nyata berupa sikap dan perilaku
yang dapat dijadikan teladan bagi para siswa, melakukan pengawasan terhadap
perilaku sosial di lingkungan sekolah, lebih menekankan pembentukan karakter
peserta didik melalui berbagai metode atau pendekatan pembelajaran agar siswa
memiliki karakter yang baik, memberikan sanksi yang tegas kepada siswa yang
melanggar tata tertib sekolah, sehingga siswa merasa jera dan dapat menjadi
contoh bagi siswa lain untuk tidak melakukan pelanggaran atau bentuk perilaku
Orang tua diharapkan dapat meningkatkan peran dan tanggung jawabnya
dalam pembentukan karakter anak, baik di sekolah maupun di rumah dengan
meningkatkan pemantauan anak, memberi keteladanan yang baik, dan penciptaan
lingkungan yang edukatif dalam keluarga, memberikan pendidikan karakter sedini
mungkin agar anak terbiasa melakukan hal-hal baik saat dewasa kelak, karena
kedamaian dan kesejahteraan bangsa di masa yang akan datang ada digenggaman
tangan mereka.
Siswa hendaknya selektif dalam memilih teman atau dalam berinteraksi
dengan teman sebaya, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi sosial
dengan kelompok teman sebaya berpengaruh terhadap perilaku siswa. Sekalipun
berteman dengan mereka yang sering melakukan perilaku menyimpang itu tidak
dapat dihindarkan, maka alangkah baiknya jika siswa lebih selektif dalam
memilah perilaku yang dapat dijadikan teladan. Siswa hendaknya menghindarkan
diri dari segala bentuk perilaku menyimpang baik yang termasuk dalam deviasi
primer seperti berbohong, membolos, suka menentang orang tua, tidak disiplin,
maupun penyimpangan yang termasuk dalam deviasi sekunder seperti
pemerkosaan, perzinahan, homoseksual, pencurian, pemakaian narkoba. Pihak
pengawas sekolah hendaknya melakukan pengawasan secara ekstra mengenai
upaya pembinaan perilaku oleh kepala sekolah dan guru.
Menyadari bahwa penyelenggaraan pendidikan karakter memiliki peranan
yang sangat penting untuk mengatasi demoralisasi yang melanda bangsa Indnesia,
maka sebaiknya pemerintah dan lembaga pendidikan lainnya mengambil
untuk rekomendasi untuk penelitian berikutnya yaitu agar dapat lebih difokuskan
pada model pengembangan manajemen pendidikan karakter dalam upaya untuk
membentuk salah satu karakter dasar anak agar dapat menghasilkan temuan yang
lebih mendalam, sebagai contoh, mengenai manajemen pengembangan karakter
cinta Allah dan Rasul, orang tua dan cinta kepada guru serta sesama manusia.
Juga dapat difokuskan pada penelitian tentang faktor-faktor yang mendorong dan
meningkakan partisipasi orang tua dalam pengembangan pembentukan karaker
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, J.M. (2011). Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di
Sekolah. Jogjakarta: DIVA Press
Azhari, A. (2004). Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta: Teraju.
Buchori, M. (2007). Evolusi Pendidikan di Indonesia. Dari Kweekschool sampai ke IKIP: 1852-1998. Yogyakarta: Insist Press.
Bungin, B. (2007). Analisa Data Pendekatan Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Djahari, K dan Ma’mun, F. (2006). Pengajaran Studi Sosial / IPS (Dasar-Dasar
Pengertian, Metodologi, model Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial). Bandung; LPPP – IPS, FKIS –IKIP.
Elkind, D.H. dan Sweet, F. (2004). How to Do Character Education. Artikel.
Gerungan, W.A.. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.
Hamalik, O. (2002). Psikologi Belajar Mengajar, Bandung:Sinar Baru.
Hasan, H. (2010). Pendidikan IPS (Definisi,Tujuan, SKL, Konten, Proses dan
Asesmen)” Panduan. Yogyakarta: HISPISI.
Koesoema, A.D. (2007). Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo.
Lewis, K. (2003). Character Education Manifesto. News. Boston University.
Lickona, T. (2000). Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter. Jakarta: BPMIGAS
Miles, M. dan Huberman, M. (2002). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Muhadjir, N. (2001). Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Suatu Teori
Pendidikan. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Rohman, N. (2000). Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdikbud.
Sairin, W. (2001). Pendidikan yang Mendidik. Jakarta: Yudhistira.
Samsuri. (2009). Mengapa Perlu Pendidikan Karakter. Makalah, disajikan pada
workshop tentang Pendidikan Karakter oleh FISE UNY. Yogyakarta.
Somantri, M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Rosda Karya.
Sudjana, N. dan Ibrahim. (2001). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar baru Algesindo
Sugiyono, (2006). Metode Penelitian Bisnis. Cetakan kesembilan, CV Alvabeta: Bandung.
Sumaatmaja, N. (2001). Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Bandung: Alumni
Zamroni. (2010). Peran Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Karakter Bangsa.
Makalah, disampaikan pada Seminar Internasional oleh HISPISI dan
UNM di UNM Makasar, 13-14 Juli 2010.
Zuchdi, D. (2008). Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan