BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh manusia pada zaman sekaran ini,
dapat memicu perkembangan di dalam segala aspek kehidupan tersebut. Hal ini dapat kita
buktikan dengan ditemukannya bahan-bahan yang dapat mengobati dan/atau menyembuhkan
suatu penyakit melalui ilmu kedokteran, salah satu bahan-bahan tersebut adalah narkotika.
Narkotika awalnya ditemukan berdasarkan penelitian adalah untuk pengobatan, seperti di
bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain sebagainya. Pemakaian narkotika yang
tidak diawasi secara medis juga akan berdampak pada kecanduan karena narkotika memiliki
daya pecanduan yang kuat. Hal ini semakin ditegaskan dalam dasar menimbang Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bahwa narkotika1
1
Lihat, Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
di satu sisi
merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan disisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang
sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan
yang ketat dan seksama. Agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia, maka peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan
narkotika;
c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekusor narkotika; dan
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan
pecandu narkotika.2
Perkembangan zaman yang terjadi saat ini memicu segelintir orang yang tidak
bertanggung-jawab untuk menggunakan narkotika ini untuk hal-hal negatif.3
Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika
dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
Sehingga saat ini
tidak dapat kita pungkiri bahwa permasalahan penyalahgunaan narkotika ini menjadi suatu
permasalahan yang besar baik itu di dalam lingkup masyarakat Indonesia maupun internasional.
Secara khusus di wilayah Indonesia penyebaran narkotika ini telah sampai di daerah pelosok
yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh kita. Akibat dari penyalahgunaan narkotika ini bukan
saja memberi dampak bagi penggunanya saja melainkan orang disekitar juga menjadi korban
dari penyalahgunaan narkotika ini, dapat kita ambil contoh dari kejadian kecelakaan maut yang
dilakukan Afriani yang mengakibatkan sembilan orang tewas seketika dalam kecelakaan
tersebut, tertangkapnya pilot mengkonsumsi sabu-sabu dan yang paling tragis bahkan oknum
aparat hukum kita juga ada yang terbukti menyalahgunakan narkotika. Kondisi ini sudah pasti
sangat meprihatinkan, dan hendaknya segenap lapisan masyarakat dan semua jajaran
pemerintahan menyadari bahwa narkotika ini adalah “musuh bersama” (the common enemy)
yang harus diperangi bersama.
4
2
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal 4.
3
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta-PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 100.
4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 ayat 13.
Dari
korban dari penggunaan atau penyalahgunaan narkotika itu sendiri. Dan bila ditinjau dari sudut
Victimologi posisi hukum dari pecandu narkotika ini adalah Self Victimization Victims yaitu
korban dari kejahatan yang dilakukannya sendiri.5 Merujuk perspektif tanggung jawab korban,
Stephen Schafer menyatakan adanya Self Victimization Victims memiliki dasar pemikiran bahwa
tidak ada kejahatan tanpa korban.6
Menurut Sellin dan Wolfgang, korban penyalahgunaan narkotika merupakan mutual
victimization, yaitu pelaku kejahatan itu sendirilah yang menjadi korban kejahatan. Sementara
dalam kategori kejahatan, suatu perbuatan jahat haruslah menimbulkan korban dan korban itu
adalah orang lain (an act must take place that involves harm inflicted on someone by the actor).
Artinya apabila hanya diri sendiri yang menjadi korban, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai kejahatan.
Semua tahu setiap kejahatan melibatkan dua hal yaitu
penjahat dan korban.
7
Pecandu narkotika ini juga bila kita lihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya
adalah pesakitan atau dengan kata lain orang-orang yang menderita sakit, oleh sebab itu
memenjarakan yang bersangkutan bukanlah solusi yang tepat, maka Mahkamah Agung dengan
tolak ukur ketentuan pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 20098
5
Ediwarman, Victimologi (Monograf), (Medan: 2009), hlm 12.
tentang Narkotika telah
mengambil langkah maju di dalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau
dekriminalisasi terhadap pencandu narkotika dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah
6
diakses tanggal 7 Pebruari 2013.
7
Loc.Cit
8
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 pasal 103 berbunyi: (1)Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. (2)Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang penetapan penyalahguna, dan Pecandu Narkotika
ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.9
a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi
tertangkap tangan;
Dimana SEMA Nomor 4 Tahun
2010 ini dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan atau acuan hakim dalam menjatuhkan
sanksi rehabilitasi. Adapun yang menjadi pokok pertimbangan adalah ruh atau semangat dari
Undang-Undang Narkotika yakni mengakui pecandu narkoba sebagai pesakitan dan melindungi
pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkoba tersebut dengan menempatkannya di
lembaga medis dan sosial. Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010 ditentukan klasifikasi tindak
pidana penentuan penetapan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan dan pecandu narkotika ke
dalam lembaga rehabilitasi yaitu sebagai berikut:
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir (a) diatas ditemukan barang bukti pemakaian
satu hari;
c. Surat uji laboratorim positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan
penyidik;
d. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim;
e. Tidak terdapat bukti yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Dikeluarkannya SEMA Nomor 4 Tahun 2010 ini juga karena pada umumnya
pengambilan kebijakan di Indonesia saat ini masih menganut sistem public security dan belum
ada pada tahap public health. Artinya, upaya yang dilakukan di Indonesia saat ini masih dominan
terhadap bidang pemberantasan penyalahgunaan narkotika belum ada upaya untuk fokus pada
9
upaya rehabilitasi pecandu dari aspek medis dan sosial. Keberadaan SEMA ini juga menjadi
rujukan bagi hakim untuk membedakan penyalahguna atau pecandu narkotika dengan pengedar.
Ketentuan hukum lain yang menempatkan pecandu narkotika ditempatkan di rehabilitasi
medis dan sosial juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut
memberikan jaminan kepada pecandu dan/atau korban penyalahgunaan narkotika untuk
mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan sosial. Dengan
adanya ketentuan ini tentu dunia peradilan kita telah membuka mata tentang hakikat dari
pecandu narkoba dalam konteks victimologi. Ini pasti menjadi suatu tantangan besar bagi hakim
untuk berani memutus atau menetapkan vonis rehabilitasi terhadap pecandu dan melakukan
terobosan hukum serta penemuan hukum yang tidak hanya mengacu pada undang-undang saja,
tetapi lebih pada nilai sosial dan kemanusian.
Dengan adanya aturan mengenai rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 54, Pasal 55, Pasal
56, Pasal 57, Pasal 58 dan pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
serta pelaksanaan ketentuannya lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, dengan memperhatikan dan merujuk
SEMA Nomor 4 Tahun 2010, dinyatakan bahwa setiap penyalahguna atau pecandu narkotika
berhak memperoleh rehabilitasi apabila pecandu narkoba tersebut terbukti atau tidak terbukti
bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Penerapan rehabilitasi (treatment) merupakan bentuk dari pemidanaan.10
10
Harsono H. S, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm 45. Pemidanaan berarti upaya Negara untuk memelihara kebutuhan dan kepentingan para warga Negara secara bersam-sama atau sendiri-sendiri yang tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh warga Negara itu sendiri. Jadi jika seorang warga Negara
Aliaran positif
perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksud adalah memberikan tindakan berupa perbaikan atau
perawatan kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari sanksi atau penghukuman atas
perbuatannya. Pendapat tentang aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku
kejahatan adalah orang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan
perbaikan (rehabilitation).11
Proses pemidanaan telah menjadi hal yang substansial. Disamping sebagai salah satu
pokok permasalahan dalam hukum pidana, masalah pidana dan pemidanaan baik dalam bentuk
teori-teori pembenaran pidana maupun dalam bentuk kebijakan dipandang sangat penting. Sebab
melalui pemidanaan akan tercermin sistem nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa terhadap
hak-hak asasi manusia.12
Untuk dapat dilakukan rehabilitasi bagi pecandu narkotika tentunya melalui proses
pemeriksaan di pengadilan (tahap) ajudikasi merupakan salah satu dari sistem peradilan pidana.
Proses pemeriksaan di pengadilan (tahap) ajudikasi ini merupakan suatu kegiatan yang paling
dominan, dimana hakim akan memeriksa dan menentukan putusan secara objektif berdasarkan
bahan-bahan pemeriksaan di muka pengadilan yang didasari keyakinannya. Dalam tahap ini juga
diharapkan hakim dapat bertindak arif dan bijaksana demi untuk mendapatkan kebenaran materil
yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana sebagaimana yang tertuang dalam pasal demi pasal yang ada di
dalam KUHAP guna menentukan apakah seorang terdakwa terbukti melakukan suatu tindak
pidana atau tidak dan apabila terbukti bersalah maka seorang terdakwa tersebut dapat dijatuhi
pidana atau sebaliknya bila tidak terbukti bersalah maka seorang terdakwa harus diputus bebas
dirugikan oleh orang lain atau dia sendiri tidak boleh melakukan pembalasan, maka kebutuhan dan kepentingan tadi diwakili atau dijalankan oleh negara.
11
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, (Medan: Pustaka Buangsa Press, 2008), hlm 79.
12
sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari
aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri serta demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.13
1. Hakim akan memeriksa mengenai peristiwanya ialah apakah terdakwa telah melakukan
perbuatan yang didakwakan;
Dalam konteks pemeriksaan perkara pidana di muka pengadilan hakim akan melakukan
beberapa tahap tindakan. Adapun tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
2. Hakim akan menentukan keputusannya ialah apakah perbuatan yang didakwakan itu
merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau
bersalah; dan
3. Hakim menentukan pidananya apabila memang terdakwa terbukti melakukan tindak pidana
dan dapat dipidana.14
Agar putusan hakim dapat memperoleh kebenaran materil maka hakim dalam
mengemban tugas harus dijamin kemandiriannya guna menegakkan keadilan sebagaimana yang
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal
1 bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia. Di pihak lain dalam diri hakim bersangkutan juga dituntut adanya
13
Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus), (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 15.
14
integritas moral yang baik sehingga dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak merugikan
“justiabelen” (para pencari keadilan).15
Berdasarkan hal tersebut peranan dan tugas hakim bukan hanya sebagai pembaca deretan
huruf dalam undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Tetapi dalam putusannya memikul
tanggung jawab menjadi suara akal sehat dan mengartikulasikan sukma keadilan dalam
kompleksitas dan dinamika kehidupan masyarakat. Untuk menghasilkan putusan yang progresif
tentunya didapat dari hakim yang progresif juga. Hakim progresif akan mempergunakan hukum
yang terbaik dalam keadaan yang paling buruk.16
Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting yang diperlukan untuk
menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya
putusan hakim disatu pihak berguna bagi terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum (recht
zekerheids) tentang statusnya. Sedangkan dilain pihak hakim yang mengadili perkara diharapkan
dapat memberikan putusan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dengan memperhatikan sifat
baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal sesuai dengan
kesalahannya.
17
a. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrijspraak) sebagaimana yang diatur
dalam pasal 191 ayat (1) KUHAP yaitu pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.
Dalam KUHAP, terdapat bermacam-macam bentuk putusan yang akan dijatuhkan oleh
hakim dalam sidang pengadilan dapat dibagi atas tiga macam, yaitu:
15
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan Peradilan), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 33-34.
16
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm.56.
17
b. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van
rechtvervolging) sebagaimana diatur dalam pasal 191 ayat (2) KUHAP yaitu jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan
itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
c. Putusan yang mengandung suatu penghukuman terdakwa, Pasal 193 KUHAP yaitu jika
pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dari macam-mcam bentuk putusan yang dijatuhkan oleh hakim di sidang pengadilan
tersebut, maka yang menjadi objek penelitian penulis adalah putusan yang mengandung suatu
penghukuman yaitu dari putusan dari Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor
766/Pid.B/2012/PN-MDN atas nama terdakwa Rusli Wijaya dan Indri Resyana yang telah
terbukti melakukan tindak pidana tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan I bagi diri sendiri dan dijatuhi hukuman penjara dan hakim memerintahkan agar
terdakwa menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan sosial dengan
penetapan masa rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Berdasarkan uraian diatas, melihat pentingnya dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan rehabilitasi maka penulis merasa tertarik untuk menganalisis kasus tersebut
dan menetapkan judul untuk diteliti “Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika Sebagai
Alternatif Pemidanaan (Studi Putusan Nomor: 766/Pid.B/2012/PN-MDN)”
B.Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka dapat
1. Mengapa rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika perlu sebagai dasar alternatif dari
pemidanaan?
2. Apa latar belakang pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan
rehabilitasi terkait dengan tujuan pemidanaan?
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa yang menjadi tujuan dalam penulisan tesis ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis rehabilitasi terhadap pecandu narkotika sebagai
dasar alternatif dari pemidanaan.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang pertimbangan hukum hakim
dalam menjatuhkan putusan rehabilitasi terkait dengan tujuan pemidanaan.
D.Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian memiliki dua manfaat penelitian. Adapun
kedua manfaat penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut:
a. Memberi masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka mengembangkan disiplin
ilmu hukum umumnya dan khususnya perkembangan ilmu hukum pidana serta
permasalahan yang dihadapkan pada kasus penyalahgunaan narkotika.
b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada
pendidikan ilmu hukum mengenai permasalahan penyalahgunaan narkotika yang terjadi di
masyarakat kita.
a. Dari segi praktis penulisan ini diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan
oleh pengambil kebijakan untuk dapat menerapkan pemidanaan berupa rehabilitasi itu
secara tepat langsung kepada objeknya terutama bagi pecandu narkotika dalam kasus
penyalahgunaan narkotika ini.
b. Penulisan ini juga diharapkan memberi masukan kepada para pelaksana hukum untuk
menangani pecandu narkotika yang merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika itu
sendiri.
c. Penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada praktisi, civitas,
akedemika dan pihak pemerintahan sendiri dalam upaya penerapan rehabilitasi sebagai
pengganti pemidanaan terhadap pecandu narkotika.
E.Keaslian Penelitian
Penelitian ini berdasarkan pemikiran dari penulis sendiri dan belum pernah diteliti orang
lain sebelumnya baik judul dan permasalahan yang sama, sehingga penelitian ini dapat
dikategorikan sebagai penelitian baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis dan ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan objektif dalam
menemukan kebenaran.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Adanya teori yang dipergunakan atau yang dijadikan pisau analis dalam penelitan
tentunya bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan gejala spesifik tertentu terjadi,18
18
Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Azas-Azas, Penyunting: M. Hisyam, (Jakarta: FE UI, 1996), hlm. 203.
suatu kerangka teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat
menunjukkan ketidakbenarannya.19 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau
butiran-butiran pendapat, teori tesis dari penulis dan ahli hukum dibidangnya menjadi pertimbangan,
pegangan teoritas yang mungkin disetujui atau tidak butir-butir pendapat tersebut setelah
dihadapkan pada fakta-fakta tertentu yang dapat dijadikan masukan eksternal bagi penulis.20
Fungsi dari teori dalam penelitian ini adalah untuk menyususn dan mengklasifikasikan
atau mengelompokkan penemuan-penemuan dalam sebuah penelitian, membuat ramalan atau
prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab
pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang sesuai dengan objek yang
harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.21
Teori yang dijadikan menjadi pisau analisis adalah teori dasar yang mana teori ini juga
merupakan teori hukum. Dalam pengantarnya ketika membahas tentang teori hukum, Satjipto
Raharjo22
Menurut Bruggink,
mengemukakan bahwa:
Dalam dunia ilmu teori menempati kedudukan yang penting. Ia memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistimatisasikan masalah yang dibicarakan.
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80.
21
Ibid, hlm. 17.
22
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 224.
23
J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999), hlm. 159-160.
teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling
berkaitan denga sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan sistem
Bertolak dari uraian diatas maka hal-hal yang perlu dijelaskan sebagai pisau analisis
adalah teori integratif atau juga dapat dikatakan teori paduan yang pernah dikenalkan oleh R.A.
Duff.24 Teori ini bercorak ganda, pemidanaan mengandung karakter retributis sejauh pemidanaan
dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter
theologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau
perubahan perilaku si terpidana di kemudian hari. Sedangkan teori integratif menurut H.L.A.
Hart menekankan otonomi dan kebebasan sifat terpidana sambil mengingatkan pentingnya
pemahaman yang tepat tentang peranan pemidanaan secara kontekstual dalam perspektif hakikat
dan fungsi suatu sistem hukum.25
Teori integratif sebagai pisau analisis juga memerlukan teori pendukung, adapun teori
pendukung adalah teori treatment (rehabilitasi) yang merupakan bagian dari teori pemidanaan.
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa
pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya.
Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk member tindakan perawatan
(treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagi pengganti dari
penghukuman. Argumen aliaran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan Teori integratif ini memiliki tujuan pidana dan pemidanaannya yang tidaklah tunggal,
misalnya untuk pembalasan semata atau untuk pencegahan saja. Dengan kata lain, terdapat
sistem dua jalur (double track system) yang memuat sanksi pidana dan sanksi tindakan yang
penerapannya harus sejajar atau setara dalam kebijakan legislasi.
24
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 50. Lihat dalam Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997).
25 Ibid
adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan
(rehabilitation).26
Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah
untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan.
Aliaran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan
kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempuyai kehendak bebas dan
dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan.
Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus
diberikan perlakuan (treatment) untuk re-sosialisasi dan perbaikan si pelaku.27
Selain teori treatment teori Sosial Defence juga sebagai pendukung. Social Defence
adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah
Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan sosial defence ini (setelah kongres ke-2 tahun
1949) terpecah menjadi dua aliran, ayitu aliran yang radikal (ekstrim) dan aliran yang moderat
(reformis).
Pendapat Utrecht hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechszekerheid)
dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin
keadilan serta hukum tetap berguna.
28
Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatica, yang salah satu
tulisannya berjudul “The fight against punishment” (La Lotta Contra La Pena). Gramatica
berpendapat bahwa: ”Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada
sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu
kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.”29
2. Kerangka Konsepsi
Dalam penerapapan teori hukum tidak dapat hanya satu teori saja tetapi harus gabungan
dari berbagai teori. Berdasarkan teori hukum yang ada maka tujuan hukum yang utama adalah
untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum.
Konsep merupakan defenisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam
tulisan ini. Konsep juga merupakan defenisi dari sesuatu yang diamati, konsep menentukan
hubungan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya gejala empiris.30
Putusan Hakim atau Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum dalam hal ini serta merta menurut cara yang diatur dalam ini.31
Putusan Pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang pengadilan yang
meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan barang bukti,
ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, maka ini merupakan saat bagi hakim
mengambil keputusan.32
Rehabilitasi secara etimologi mempunyai arti yaitu usaha untuk memulihkan seseorang
untuk hidup sehat jasmaniah dan atau rohaniah sehingga dapat menyesuaikan dan meningkatkan
kembali keterampilannya, pengetahuannya serta kepandaiannya dalam lingkungan hidup.
Rehabilitasi ini juga dapat dibagi menjadi dua bagian yakni rehabilitasi medis dan rehabilitasi
29Ibid
.
30
Koentjorodiningrat, Metode-metode Penelitian Masyrakat, (Jakarta, Gramedia Pustaka, 1997), hlm.21.
31
Lihat Undang-Undang Reoublik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1 ayat 11.
32
sosial. Rehabilitasi medis biasanya dilaksanakan di rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh
pemerintah maupun swasta yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan, meskipun demikian
undang-undang juga memberi kesempatan kepada lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan
oleh masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis. Sedangkan rehabilitasi sosial dilaksanakan
melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.33
Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika
dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.34
1. Terhadap mereka yang menjadi pengguna atau pecandu narkotika akibat dari
kesalahannya sendiri, maka pengadilan dapat memtus/vonis untuk menjalani
pengobatan dan/atau perawatan yang diperhitungkan sebagai masa menjalani
hukuman (pasal 103 ayat 1 sub a), sedangkan biaya pengobatan dan perawatan
sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab Negara sebab pengobatan dan
perawatan tersebut merupakan bagian dari masa menjalani hukuman.
Berdasarkan Pasal 103 dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentan Narkotika, pengguna
atau pecandu narkotika mempunyai status hukum yang diproses sampai ke pengadilan, maka
menurut ketentuan pasal 103 tersebut dikategorikan menjadi dua macam kemingkinan yaitu:
2. Terhadap mereka yang menjadi pengguna atau pecandu narkotika bukan akibat
kesalahannya, misalnya dipaksa, dibujuk atau hal lain diluar kemampuannya maka
penetapan untuk menjalani pengobatan dan rehabilitasi bukan merupakan vonis atau
hukuman dan dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa pecandu
narkotika tersebut walaupun tidah terbukti bersalah tetapi wajib menjalani
33
34
pengobatan dan perawatan yang biayanya selama dalam status tahanan menjadi beban
Negara terkecuali tahanan kota dan tahanan rumah (pasal 103 ayat 1 sub b).
Pemidanaan adalah sebuah persoalan yang murni hukum (purely legal matter).35
G. Metode Penelitian
Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah adalah
penalaran yang mengikuti suatu alur berfikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan
metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian
empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.36 Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga
sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis
hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang
diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial
process).37 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada
langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.38
Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian
kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan
berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya ilmiah, bahan kuliah,
putusan pengadilan, serta sumber-sumber data sekunder lainnya yang dibahas oleh penulis.
35
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.73.
36
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, ( Bandung : Rineka Cipta, 1994 ), hal. 105.
37
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta : Grafitti Press, 2006 ), hal. 118.
38
Pendekatan yuridis normatif digunakan oleh penulis karena masalah yang diteliti oleh penulis
berkisar mengenai adanya keterkaitan peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur
penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya.39
1. Spesifikasi Penelitian
Logika kelimuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun
berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang
objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah
sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal.
Ditelaah secara vertikal berarti akan dilihat bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal
adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu
mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Tujuan penelitian deskriptif adalah
menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, kedaan atau kelompok tertentu.40
2. Metode Pendekatan
penelitian ini tidak hanya bertujuan untuk mendeskriptifkan tentang fenomena hukum yang
berkaitan dengan tujuan hukum dalam putusan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika akan
tetapi lebih ditujukan untuk menganalisis fenomena hukum tersebut dan
mendeskripsikannya secara sistematis sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan.
Dalam penelitian ini digunakan beberapa pendekatan masalah. Adapun pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (sta-tute approach). Penelitian ini
39
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007 ), hal. 57.
40
mengunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum
yang menjadi focus sekaligus tema sentral dari penelitian.41
3. Sumber Data
Analisis hukum yang dihasilkan
oleh suatu penelitian hukum normatif yang mengunakan pendekatan perundang-undangan
akan menghasilkan suatu penelitian yang akuratdan pendekatan kasus (case ap-proach).
Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder.
Untuk memecah isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang
seyogianya diperlukan sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer,
sekunder dan tersier.42
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981.
2. Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
3. Peraturan Pemerintah 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu
Narkotika.
4. Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 Tahun 2010.
5. Surat Edaran Mahkamah Agung No.03 Tahun 2011.
6. Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
7. Putusan-putusan pengadilan yang berkaitan tentang tindak pidana narkoba yang
terdakwanya adalah korban penyalahguna narkotika atau pecandu narkotika.
8. Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Bahan hukum sekunder
41
Johnny Ibrahim, Op.Cit., hlm. 302.
42
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Buku-buku hukum.
2. Bahan-bahan kuliah
3. Artikel jurnal hukum.
4. Tesis, disertasi hukum.
5. Karya dari kalangan hukum.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang pada penelitian ini adalah:
1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia
2. Majalah-majalah
3. Koran
4. Internet
4. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data meliputi metode kepustakaan (Library Reaserch) untuk
mendapatkan teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian
terdahulu yang berhubungan dengan objek penelitian. Selain metode kepustakaan dilakukan
juga metode dokumentasi dimana pada metode ini dilakukan penginventarisasian seluruh
data dan dokumen yang sesuai dengan topik pembahasan. Data selajutnya akan
dikategorikan dan dilanjutkan untuk dianalisis sesuai dengan metode yang dipilih.
5. Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hakikatnya kegiatan untuk
mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti
pekerjaan analisis dan konstruksi. Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara utuh
dan menyeluruh dengan mengunakan jenis interprestasi, grammatical, sistematis dan