SKRIPSI
URGENSI PENERBITAN
SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN
(SP3) OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA
NI MADE DESIKA ERMAWATI PUTRI
NIM.1203005094
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
SKRIPSI
URGENSI PENERBITAN
SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN
(SP3) OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA
NI MADE DESIKA ERMAWATI PUTRI
NIM.1203005094
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
URGENSI PENERBITAN
SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN
(SP3) OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
NI MADE DESIKA ERMAWATI PUTRI
NIM.1203005094
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “URGENSI
PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3)
OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERKARA TINDAK
PIDANA KORUPSI DI INDONESIA.” Penulisan skripsi ini dilakukan dalam
rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata
Satu (S1) Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
Penyusunan skripsi ini telah banyak mendapat bimbingan dan arahan dari
berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati
kami menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besar nya kepada pihak yang
terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H.,Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak I Ketut Sudiarta,S.H.,M.H.,Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang,S.H.,M.H.,Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak I Wayan Suardana,S.H.,M.H.,Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
5. Bapak Nyoman A. Martana,S.H.,M.H.,Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas
6. Bapak Dr. I Gede Artha,S.H.,M.H.,Dosen Pembimbing I yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis selama ini sehingga
banyak ilmu pengetahuan dan nalar hukum yang penulis dapatkan dari
beliau.
7. Bapak I Ketut Sudjana, S.H.,M.H., Dosen Pembimbing II yang telah banyak
memberikan petunjuk dan pertimbangan dalam penulisan skripsi ini.
8. Bapak I Made Tjatrayasa, S.H.,M.H, Pembimbing Akademik penulis yang
telah banyak memberikan petunjuk dan arahan selama penulis menjadi
mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
9. Bapak / Ibu Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Udayana yang
telah mengajar dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.
10. Bapak / Ibu Pegawai Administrasi, Tata Usaha dan Perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu penulis selama
menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
11. Kepada kedua orang tua penulis, yaitu Bapak I Nengah Nasthi dan Ibu Ni
Wayan Suwarti yang senantiasa memberikan doa, dukungan, bimbingan
kepada penulis sehingga penulis dapat segera menyelesaikan studi di
Fakultas Hukum Universitas Udayana, serta kepada kakak-kakak penulis I
Made Artawan, Iluh Sumiartini,S.Pd, I Nengah Ariyatna, I Nengah
Armawan dan keluarga besar yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu
yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis sehingga
penulis dapat segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.
12. Kepada sahabat-sahabat angkatan 2012 : I G.A Dwi Andarijati, Wulan
viii
lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan dukungan dan semangat kepada penulis selama menjalani
kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
13. Kepada sahabat-sahabat organisasi Fakultas Hukum Universitas Udayana
yaitu ALSA dan UMCC yang telah banyak memberikan pengalaman baik
akademik maupun non akademik kepada penulis selama menjalani kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi
perkembangan ilmu hukum pada khususnya dan juga pada umumnya. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik
dari penyajiannya maupun dalam penyusunannya. Oleh karena itu, penulis
senantiasa mengharapkan bantuan berupa kritik dan saran yang bersifat
membangun demi penyempurnaan skripsi ini.
Denpasar, 29 Januari 2016
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DEPAN ... i
SAMPUL DALAM ... ii
PRASYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... xiv
ABSTRACT ... xv
ABSTRAK ... xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 9
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 10
1.5 Tujuan Penelitian ... 11
1.5.1. Tujuan Penelitian Umum… ... 11
1.5.2. Tujuan Penelitian Khusus ... 12
1.6 Manfaat Penelitian ... 12
1.6.1 Manfaat Teoritis ... 12
x
1.7 Landasan Teoritis ... 13
1.8 Metode Penelitian ... 18
1.8.1 Jenis Penelitian ... 18
1.8.2 Jenis Pendekatan ... 19
1.8.3 Bahan Hukum ... 19
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 21
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 22
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENYIDIKAN, PENGHENTIAN PENYIDIKAN, KOORDINASI, TINDAK PIDANA KORUPSI SERTA KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2002 2.1. Pengertian Penyidikan ... 23
2.2. Pengertian Penghentian Penyidikan dan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) ... 26
2.3. Pengertian Koordinasi ... 28
2.4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi ... 29
BAB III KOORDINASI PENYIDIKAN DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN
PENEGAK HUKUM
3.1. Dasar Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Yang Pernah Berlaku Di Indonesia ... 42
3.1.1 Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1971 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 42
3.1.2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rebuplik
Indonesia Nomor XI/MPR/1998 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas
Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme ... 44
3.1.3 Undang-Undang RI No. 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas
Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme ... 44
3.1.4 Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 Juncto
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ... 45
3.1.5 Undang-Undang RI No. 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 47
3.1.6 Instruksi Presiden RI No. 5 Tahun 2004 Tentang
Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 49
3.2. Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Kepolisian,
xii
3.3. Koordinasi Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) ... 61
BAB IV PENGATURAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
(KPK) DALAM PENERBITAN SURAT PERINTAH
PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3)
4.1. Dasar Hukum Dan Alasan Penerbitan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) ... 67
4.2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sebagai Lembaga
Superbody Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 71
4.3. Kewenangan Penerbitan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan(SP3) ... 73
4.3.1 Kewenangan Penerbitan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) Oleh Polri ... 71
4.3.2 Kewenangan Penerbitan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan(SP3) Oleh Kejaksaan ... 75
4.3.3 Kewenangan Penerbitan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) Oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) ... 76
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan ... 83
5.2. Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 85
ABSTRACT
The crime of corruption is already an extraordinary crime (extraordinary
crime), so that the handling requires tremendous effort, be it of the proceedings
and of the law enforcement, in Indonesia authorized to investigate corruption is
owned by three law enforcement agencies, namely the Police , AGO and the KPK.
In this case problems arise: (1) What is the process of coordination between
investigators from the police, judiciary and the Corruption Eradication
Commission in the handling of corruption in Indonesia? (2) Why is the
Corruption Eradication Commission has no authority to issue a Warrant
Termination of Investigation in the handling of corruption?
This type of research used in this paper is a normative legal research,
approach used is the approach of legislation and conceptual approaches.
The Corruption Eradication Commission is not competent issuing Warrant
Termination of Investigation as to improve the performance of corruption
eradication commission so that the eradication of corruption can be performed
optimally, intensive, effective, professional and continuously, so as to restore
public confidence in Indonesia on law and law enforcement in Indonesia.
Keywords: Warrant Termination of Investigation, the Corruption Eradication
xvi
ABSTRAK
Kejahatan tindak pidana korupsi sudah merupakan kejahatan yang luar
biasa ( extra ordinary crime ), sehingga penanganannya pun memerlukan upaya
yang luar biasa, baik itu dari proses peradilannya maupun dari penegak
hukumnya, di Indonesia kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi dimiliki
oleh 3 instansi penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi
Pemberantasan Korupsi. Dalam hal ini timbul permasalahan : (1) Bagaimanakah
koordinasi antara penyidik dari Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia? (2) Mengapa
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang untuk menerbitkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi?
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
hukum normatif, Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual.
Tidak berwenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi menerbitkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan karena untuk meningkatkan kinerja komisi
pemberantasan korupsi sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi dapat
dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan,
sehingga dapat memulihkan kepercayaan masyarakat Indonesia pada hukum serta
penegak hukum di Indonesia.
Kata kunci : Surat Perintah Penghentian Penyidikan, Komisi Pemberantasan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Korupsi sudah lama melanda Negara Indonesia dan sudah menyentuh
semua aspek kehidupan masyarakat, baik dari aspek ekonomi, sosial dan budaya.
Fenomena ini semakin berkembang karena selama ini masyarakat dalam
berinteraksi, selalu memikirkan untuk mendapat keuntungan bagi dirinya. Hal ini
yang menyebabkan sebagaian besar warga masyarakat malas untuk melaporkan
oknum pejabat negara, birokrat, konglomerat dan oknum aparat hukum yang
melakukan korupsi.1
Tindak pidana korupsi termasuk ke dalam tindak pidana khusus karena
bersumber pada peraturan perundang-undangan di luar KUHP.2 Di Indonesia
tindak pidana korupsi dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Selain tindak pidana khusus, tindak
pidana korupsi juga digolongkan sebagai Extra ordinary Crime atau kejahatan
luar biasa yang juga membutuhkan penanganan luar biasa.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam
pemberantasan korupsi dengan menetapkan berbagai strategi nasional, lebih-lebih
di era reformasi ini, pemerintah telah membentuk suatu lembaga yaitu lembaga
1.
Marwan Effendy, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Referensi, Jakarta, hlm. 3.
2.
2
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pembentukan Komisi Pemberantasan
Korupsi ini dibentuk agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat ditangani
secara profesional, intensif dan berkesinambungan, sehingga apa yang menjadi
tujuan KPK dapat tercapai, yakni untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dibentuknya Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) ini didasari oleh ketentuan Pasal 43
ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jucto Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan
bahwa “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai
berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Sejak berdirinya lembaga KPK maka institusi yang memiliki kewenangan
dalam melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi adalah Kepolisian,
Kejaksaan dan KPK. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan “KPK adalah Lembaga Negara
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun”. Kekuasaan manapun yang dimaksud yakni
semua aspek yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota
Komisi secara individu baik dari pihak legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun
pihak lain yang berkaitan dengan kasus korupsi yang sedang atau akan ditangani.
Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 menyatakan
bahwa “Penyidik tindak pidana korupsi adalah penyidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi
3
dahulu telah dilakukan proses penyelidikan oleh penyelidik pada suatu perkara
tindak pidana yang terjadi.
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP merumuskan yang dimaksud
dengan Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang
untuk melakukan penyidikan. Namun, dalam hal tertentu Jaksa juga memiliki
kewenangan sebagai penyidik terhadap perkara atau tindak pidana khusus, seperti
perkara Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi, hal ini tercantum dalam
Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa “Kejaksaan mempunyai
wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu.”
Pasal 1 angka 5 KUHAP menyatakan pengertian penyelidikan adalah
“Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.”
Pengertian tersebut terlihat bahwa penyelidikan merupakan tindakan
tahap pertama permulaan penyidikan, namun pada tahap penyelidikan
penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang dianggap atau diduga sebagai suatu tindak pidana.3 Sedangkan pada
penyidikan, titik beratnya tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta
3.
4
mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang
serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.
Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana sangat mempengaruhi tahap
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dan bila suatu penyidikan
berhenti di tengah jalan karena suatu hal, misalkan tidak ditemukannya alat bukti
yang cukup atau peristiwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana maka
dalam hal ini KUHAP memberikan kewenangan penghentian penyidikan kepada
penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang
telah dimulainya. Hal ini tercantum dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang
menyatakan bahwa : “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu
kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya.” Berdasarkan Pasal 109 ayat
(2) KUHAP tersebut setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak
penyidik secara resmi harus menerbitkan Suatu Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3).4
Berbeda dengan Kejaksaan dan Kepolisian sebagai penyidik suatu
tindak pidana, KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) dalam setiap penyidikan yang dilakukannya. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang menyebutkan “Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.”
4.
5
Kewenangan KPK yang tidak dapat mengeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) dan penuntutan ini menimbulkan pro dan kontra
dalam masyarakat5, karena sebagian besar masyarakat menganggap bahwa tidak
berwenangnya KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) sebagai hukum dasar tertinggi di Indonesia,
hal tersebut dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.” Dan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Serta
hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP.
Pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada tindak
pidana korupsi ini juga menciptakan pencitraan negatif terhadap kinerja aparat
penegak hukum, karena dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) oleh penyidik selalu menjadi bahan pembicaraan di masyarakat
bahwa penegak hukum tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak
pidana korupsi yang terjadi di negara ini, sehingga masyarakat menghendaki agar
pelaku tindak pidana korupsi dapat diproses secara hukum sehingga mendapatkan
sanksi hukuman yang seadil-adilnya, pemberian Surat Perintah Penghentian
5.
Taufiqurrohman, “Pro-Kontra Ide KPK Bisa Menerbitkan SP3 “, Kompas Rabu, 17 Juni 2015, hlm. 1.
6
Penyidikan (SP3) pada pelaku tindak pidana korupsi dinilai dapat menghancurkan
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka tidak berwenangnya KPK
mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dapat dilihat dari dua
sudut pandang yang berbeda, yang pertama ditinjau dari sudut pandang hak-hak
yang dimiliki oleh seorang tersangka pada tindak pidana korupsi sekilas,
ketentuan dalam Pasal tersebut dinilai melanggar hak asasi tersangka yang juga
merupakan warga negara, sebab tanpa adanya Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3), maka seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh
KPK seolah-olah tidak lagi memiliki kesempatan untuk dipulihkan kehormatan
dan martabatnya, padahal filosofi adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3) adalah sebagai bahan koreksi bagi instrumen penegak hukum untuk
memulihkan kehormatan dan martabat tersangka, bila penyidik ternyata tidak
memiliki cukup bukti untuk meneruskan kasus ke tingkat penuntutan. Maka tanpa
adanya mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), KPK akan
memaksakan setiap kasus yang ditanganinya untuk diteruskan ke tahapan yang
lebih tinggi yaitu tahap penuntutan dan persidangan.
Berbeda halnya jika kita melihat dari sudut pandang lain, yaitu dari sudut
pandang yang kedua bahwa latar belakang dibentuknya KPK adalah sebagai
salah satu lembaga untuk menegakan hukum di Indonesia dalam usaha
pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini tercantum dan tercermin dalam
Undang-Undang No.30 Tahun 2002 bahwa wewenang yang dimiliki KPK berada
7
konvensional. Contoh tindakan yang tergolong non-konvensional dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 adalah kewenangan untuk : Melakukan penyadapan
dan merekam pembicaraan (Pasal 12 ayat (1) huruf a), Supervisi terhadap instansi
lain (Pasal 6 huruf b), Mengambil alih penyidikan yang dilakukan oleh instansi
lain (Pasal 8), Melakukan penyelidikan, penyidikan dan sekaligus penuntutan
(Pasal 6 huruf c), sehingga dengan adanya kewenangan yang sangat luas tersebut
KPK disebut sebagai lembaga superbody.
Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan juga mengungkapkan bahwa
“Awalnya KPK dibentuk oleh DPR RI karena melihat situasi pemberantasan
korupsi yang perlu dikuatkan, kewenangan penyidikan bukan hanya dari
Kejaksaan Agung ataupun Polri, Dalam posisi itulah kita awalnya menyusun
dalam Undang-Undang KPK yang isinya menyatakan bahwa KPK tidak bisa
melakukan SP3.”6
Oleh karena itu semuanya dikembalikan lagi kepada landasan
sosiologis, yuridis dan filosofis Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jucto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi itu sendiri yang berusaha mewujudkan clean government dan menegakan
keadilan bagi mereka yang melakukan perbuatan menyimpang.
Terjadinya beberapa kasus pada tahun 2014-2015 belakangan ini
menimbulkan pandangan negatif masyarakat pada KPK, mereka menilai bahwa
dengan tidak berwenangnya KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
8
Penyidikan (SP3) maka kinerja KPK dianggap tidak maksimal serta kurang teliti
dalam melaksanakan tugasnya dan memaksakan suatu kasus untuk diteruskan ke
tahapan yang lebih tinggi yaitu tahap penuntutan dan persidangan, contoh kasus
yang terjadi yaitu dikabulkannya pengajuan praperadilan penetapan tersangka
oleh Pengadilan Negeri yang berwenang, terkait kasus korupsi yang dilakukan
oleh Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, Mantan Wali Kota Makassar
Ilham Arief Sirajuddin, Dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi
Poernomo, Hakim menyatakan penetapan status tersangka pada kasus tindak
pidana korupsi tidak sah karena KPK tidak memiliki cukup alat bukti serta tidak
mengikuti prosedur yang berlaku.
Contoh Kasus Komisaris Jenderal Pol. Budi Gunawan misalnya, Hakim
Sarpin menyebutkan bahwa “KPK, dalam persidangan, menyebut penetapan
tersangka sudah melalui dua alat bukti kuat. Namun, dalam persidangan KPK
hanya menyerahkan nomor register sprindik. Penetapan tersangka Budi Gunawan,
harus dibatalkan karena tidak memiliki alat bukti kuat.”7
Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat independen dan
bukan merupakan lembaga inti penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia, mempunyai prosedur khusus yang digunakan untuk menegakan
hukum, salah satunya adalah KPK tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sehingga akibatnya setiap kasus
7. Imam Sukamto ,” Lima Dalil Hakim Sarpin Menangkan Budi Gunawan” Kompas
9
korupsi yang ditangani oleh KPK harus betul-betul sesuai dengan qualifikasi yang
menjadi kewenangan KPK dan kasus tersebut harus dilanjutkan sampai proses
persidangan dipengadilan. Menurut penulis hal ini perlu dikaji lebih dalam lagi
dan dicarikan solusi yang tepat sehingga mekanisme proses penangganan tindak
pidana korupsi tetap menjujung tinggi nilai-nilai keadilan serta tetap menghormati
hak asasi setiap warga negara, sehingga tidak ada lagi persepsi penilaian negatif
masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dan KPK dalam menanggani
kasus korupsi di Indonesia. berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis
membuat penelitian ilmiah yang berjudul “URGENSI PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) OLEH KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA
KORUPSI DI INDONESIA” 1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka
dari itu ada dua rumusan masalah yang akan penulis angkat sebagai rumusan
masalah dari skripsi ini, yaitu :
1. Bagaimanakah koordinasi antara penyidik dari Kepolisian, Kejaksaan dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan tindak pidana
korupsi di Indonesia ?
2. Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berwenang untuk
menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam
10
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Agar suatu masalah tidak keluar dari pokok permasalahan, maka dalam
penulisan skripsi ini ruang lingkup masalahnya hanya dibatasi pada :
1. Untuk rumusan masalah yang pertama akan di bahas tentang koordinasi
terkait tugas, wewenang dan fungsi dari Kepolisian, Kejaksaan dan KPK,
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk penanganan tindak
pidana korupsi.
2. Untuk rumusan masalah yang kedua akan di bahas tentang tidak
berwenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menerbitkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam perkara korupsi.
1.4.Orisinalitas Penelitian
Penulis menyatakan bahwa sesungguhnya penelitian yang berjudul “Urgensi
Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia” ini
merupakan pemikiran asli penulis. Beberapa penelitian terdahulu dengan jenis
yang sama ada dalam perpustakaan skripsi dan internet diantaranya :
1. Pluralisme Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Tesis
Tahun 2006) Oleh I Ketut Sudjana, Universitas Udayana. Dengan rumusan
masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana sinkronisasi dan koordinasi penyidikan dalam penyidikan
tindak pidana korupsi yang dilakukan Polisi, Jaksa dan KPK di
11
b. Bagaimana cara penyelesaian/proses penyidikan tindak pidana korupsi ?
2. Ketidakwenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Untuk
Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)(Analisis
Hukum Islam Terhadap Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)) Skripsi Tahun 2009, Oleh
Ahmad Muzamil, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang.
Dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah latar belakang lahirnya ketententuan ketidakwenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengeluarkan surat
perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam Pasal 40 Undang-undang
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ?
b. Bagaimanakah tinjauan hukum pidana Islam terhadap ketidakwenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengeluarkan surat
perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam Pasal 40 Undang-undang
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ?
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pembelajaran,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
2. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu hukum dalam bidang
peradilan tentang Urgensi Penerbitan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Perkara
12
masyarakat dapat mengetahui pentingnya penerbitan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
3. Untuk dapat mengembangkan diri pribadi mahasiswi ke dalam kehidupan
bermasyarakat.
1.5.2 Tujuan Khusus
Disamping tujuan umum tersebut diatas, penelitian ini secara spesifik
diharapkan mampu :
1. Agar kita dapat mengetahui tentang koordinasi terkait tugas, wewenang
dan fungsi dari Kepolisian, Kejaksaan dan KPK dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia untuk penanganan tindak pidana korupsi.
2. Agar kita dapat mengetahui alasan tidak berwenangnya KPK menerbitkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia.
1.6. Manfaat Penelitian
1.6.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum, terutama tentang
koordinasi terkait tugas, wewenang dan fungsi dari KPK, Kepolisian, dan
Kejaksaan tersebut, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk penanganan
tindak pidana korupsi dan alasan tidak berwenangnya KPK menerbitkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam sistem peradilan pidana di
13
1.6.2.Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi hukum
positif dan memberikan pemikiran untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi
pemerintah dan seluruh aparat penegak hukum seperti Jaksa, Hakim, Polisi,
Advokat, Lembaga Pemasyarakatan serta lembaga lain yang terkait permasalahan
ini seperti KPK ataupun lembaga lainnya yang dalam menanggani serta
menyelesaikan permasalahan tentang koordinasi tugas,wewenang dan fungsi dari
KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi serta
Kewenangan Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
1.7. Landasan Teoritis
Pengertian atau asal kata korupsi menurut Fockema Andrea dalam Andi
Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang
berarti penyuapan. Kata corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpore yang
berarti merusak, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun
kebanyak bahasa Eropa seperti dalam bahasa Inggris : corruption, corrupt,
Perancis : corruption dan Belanda : corruptie.8
Menurut Subekti, korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya
diri yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi,
unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri
8.
14
dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang negara untuk
kepentingannya.9
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyimpulkan
bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya. Soedarsono menyimpulkan bahwa korupsi adalah
penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat
seseorang bekerja untuk kepentingan pribadi atau orang lain.10
Berdasarkan hal tersebut maka, pemerintah telah membentuk suatu
lembaga yaitu lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tujuan
pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ini adalah agar pemberantasan
tindak pidana korupsi dapat ditangani secara profesional, intensif dan
berkesinambungan, sehingga apa yang menjadi tujuan KPK dapat tercapai, yakni
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) ini didasari oleh ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jucto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa “Dalam waktu
paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
9.
Muzadi, 2004, Menuju Indonesia Baru, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bayumedia Publishing, Malang, hlm.22.
10.
15
Sejak berdirinya lembaga KPK maka institusi yang memiliki kewenangan
dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi
adalah Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 menyebutkan bahwa “KPK adalah Lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun”. Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang No. 30
Tahun 2002 menyatakan bahwa “Penyidik tindak pidana korupsi adalah penyidik
pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Pengertian penyidik menurut Pasal 1 butir 1 KUHAP Penyidik adalah
“Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan
penyidikan”. Namun, dalam hal tertentu Jaksa juga memiliki kewenangan
sebagai penyidik terhadap perkara atau tindak pidana khusus, seperti perkara Hak
Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi, hal ini tercantum dalam Pasal 30 ayat
(1) huruf d Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
“Kejaksaan mempunyai wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu”.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga yang berfungsi
sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan
korupsi (trigger mechanism) KPK memiliki tugas dan wewenang yang cukup
berbeda, diantaranya melakukan kordinasi dan supervisi, termasuk melakukan
16
dengan kewenangan yang dimiliki oleh komisi-komisi anti korupsi yang pernah di
bentuk sebelumnya. Selain itu dalam pelaksanaan tugasnya, KPK bertanggung
jawab hanya kepada publik atau kepada masyarakat, KPK hanya memberi laporan
secara berkala saja kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) hal ini tercantum dalam Pasal 20 Undang-Undang
No.30 Tahun 2002.
Setiap penyidikan perkara pidana, tidak tertutup kemungkinan menemukan
jalan buntu sehingga tidak mungkin lagi melanjutkan penyidikan. Dalam situasi
demikian, penyidik diberi kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan,
Hal ini tercantum dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa :
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut
Umum, tersangka atau keluarganya”. Berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP
tersebut setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak penyidik secara
resmi harus menerbitkan suatu Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).11
Penghentian penyidikan adalah tindakan penyidik menghentikan
penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana karena untuk
membuat suatu terang peristiwa yang diduga dan menentukan pelaku sebagai
tersangkanya tidak terdapat cukup bukti atau dari hasil penyidikan diketahui
bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
11.
17
dihentikan demi hukum.12 Sedangkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3) adalah merupakan surat pemberitahuan dari penyidik pada Penuntut Umum
bahwa perkara dihentikan penyidikannya.
Penghentian penyidikan dapat dilakukan dengan alasan-alasan
sebagaimana berikut:13
a) Karena tidak cukup bukti
Tindakan penyidik menghentikan penyidikan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana karena untuk membuat suatu terang peristiwa itu dan
menentukan pelaku-pelaku sebagai tersangkanya tidak terdapat cukup bukti atau
dari hasil penyidikan diketahui bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
b) Karena bukan merupakan tindak pidana
Penyidikan telah dilakukan dan ternyata terungkap fakta-fakta yang
tadinya dipersangkakan perbuatan pidana namun ternyata bukan perbuatan pidana,
maka penyidik harus menghentikan penyidikan. Terhadap penghentian penyidikan
dengan alasan bukan merupakan perkara pidana, penyidik tidak dapat
mengadakan penyidikan ulang karena perkara tersebut bukan merupakan lingkup
hukum pidana. Kecuali bila ditemukan indikasi yang kuat membuktikan
sebaliknya.
c) Penyidikan dihentikan demi hukum
12.
Harun M. Husein, Penyidikan Dan Penentuan Dalam Proses Pidana, 1991, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.311.
13.
18
Penghentian penyidikan demi hukum ini dikaitkan dengan alasan-alasan
hukum yang mengakibatkan penyidikan tidak dapat dilanjutkan, yaitu:
1. Hapusnya hak menuntut pidana karena nebis in idem (Pasal 76 KUHP)
2. Tersangka pelaku tindak pidana meninggal dunia (Pasal 77 KUHP)
3. Kadaluwarsa (lewat waktu) Hal ini juga kadang berkaitan dengan
kepentingan pribadi korban yang merasa keberatan jika perkaranya
diketahui orang banyak (Pasal 78 KUHP)
Berbeda dengan Kejaksaan dan Kepolisian sebagai penyidik suatu
tindak pidana, KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) dalam setiap penyidikan yang dilakukannya14. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 yang
menyatakan “Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan
surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak
pidana korupsi”.
1.8. Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini, merupakan penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif ialah metode penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka,15 yang diteliti dan dikaji dalam
penulisan ini adalah Pasal-Pasal dan proses penerapan Pasal terkait dengan
14.
Emerson Yuntho, Tanpa Tahun, "Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi", URL : Http://Www.Hukumonline.Com/Detail.Asp?Id=11608&Cl=Kolom, Diakses Pada Rabu, 16 September 2015, Pukul 22:10:21 WITA.
15.
19
koordinasi tugas, wewenang dan fungsi KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam
penanganan tindak pidana korupsi serta Penerbitan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, serta
literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang hendak diteliti.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa jenis pendekatan,
yaitu : pendekatan kasus (case approach), pendekatan Fakta (fact approach),
pendekatan frasa (words & pharase approach), pendekatan sejarah (historical
approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
perbandingan (comparative approach), pendekatan konsep (conseptual
approach), pendekatan analisis (analytical approach), pendekatan filasafat
(philosophical approach).16 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian untuk
skripsi ini digunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konsep (conseptual approach).
1.8.3 Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian
kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah menggunakan
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Dalam penelitian ini sumber bahan hukum yang dimaksudkan adalah
sebagai berikut :
16.
20
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat
karena dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4168).
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi ((Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4168).
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
21
Tahun 2004 Nomor 67,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4401).
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer yang meliputi antara lain : buku-buku hukum
(literatur), artikel, makalah, thesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum seperti
dokumen dan surat-surat perjanjian yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian.
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu
berupa kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan
sebagainya.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan-bahan hukum diawali dengan kegiatan inventarisasi,
dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hukum ke dalam suatu
sistem informasi, sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan
hukum tersebut. Bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan dengan studi
dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap sumber-sumber bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, selanjutnya dilakukan inventarisasi
bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara pencatatan atau pengutipan dengan
menggunakan sistem kartu. Masing-Masing kartu diberikan identitas sumber
bahan hukum yang dikutip dan halaman dari sumber kutipan. Di samping itu,
diklasifikasikan menurut sistematika rencana skripsi, sehingga ada kartu untuk
22
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan-bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan secara
analisis Kualitatif deskriptif, artinya, analisa dilakukan dengan menguraikan dan
menjelaskan masalah terkait secara detail dari berbagai aspek sesuai dengan
lingkup penelitian, selanjutnya dilakukan penilaian berdasarkan pada
alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum, yakni dengan mengemukakan doktrin dan
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENYIDIKAN, PENGHENTIAN
PENYIDIKAN, KOORDINASI, TINDAK PIDANA KORUPSI DAN
KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM
UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
2.1 Pengertian Penyidikan
Kamus Besar Indonesia, terbitan Balai Pustaka cetakan kedua tahun 1989,
halaman 837, menyatakan yang di maksud penyidikan adalah serangkaian
tindakan yang diatur oleh undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan
bukti pelaku tindak pidana.17 Penyidikan suatu istilah yang di maksudkan sejajar
dengan pengertian opsporing atau onderzoek (Belanda) dan investigation (Inggris)
atau penyiasatan atau siasat (Malaysia ).18
Menurut R.Tresna, menyidik (opsporing) berarti Pemeriksaan permulaan
oleh pejabat-pejabat untuk itu ditunjuk oleh Undang-Undang segera setelah
mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada
terjadi sesuatu pelanggaran hukum.19
Pasal 1 butir 2 KUHAP merumuskan pengertian penyidikan sebagai
berikut : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
Andi Hamzah , 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 118. (selanjutnya disingkat Andi Hamzah II).
19.
24
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 2 KUHAP tersebut, menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah “setiap tindakan penyidik untuk
mencari bukti-bukti yang dapat meyakinkan atau mendukung keyakinan bahwa
perbuatan pidana itu benar-benar telah terjadi”20
Menurut Adami Chazawi dalam bukunya hukum pidana materiil dan
formil korupsi di Indonesia, dari rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP dapat diperinci
unsur-unsur pengertian penyidikan itu sebagai berikut :
1. Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang mengandung berbagai kegiatan atau pekerjaan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan atau yang satu merupakan lanjutan dari yang lainnya. Misalnya kegiatan memanggil saksi untuk menghadap penyidik yang didahului oleh membuat surat panggilan, dilanjutkan memeriksa saksi, kemudian memanggil tersangka atau menghadap secara paksa dengan menangkap, selanjutnya memeriksa tersangka, memberkas hasil pemeriksaan dan seterusnya.
2. Pekerjaan penyidikan dilakukan oleh penjabat publik yang disebut dengan penyidik menurut Pasal 1 angka 1 didefinisikan sebagai “ Penjabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Penjabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyelidikan.
3. Pekerjaan-pekerjaan dalam penyidikan itu didasarkan dan diatur menurut Undang-undang.
4. Tujuan dari penyidikan ialah untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya. Jadi, tujuan terakhir dari penyidikan adalah terangnya tindak pidana yang terjadi dan diketahui siapa pelakunya.21
Sebelum suatu penyidikan dimulai terlebih dahulu perlu di tentukan secara
cermat berdasarkan segala data dan fakta yang di peroleh dari hasil penyelidikan
20.
Hartono, 2010, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.hlm. 32.
21
Adami Chazawi, 2003, Hukum Pidana Materiil Dan Formil Korupsi Di Indonesia,
25
bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai suatu tindak pidana adalah
benar-benar merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi. Dengan demikian
penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan.22 Pada tindakan
peyelidikan, penekanan di letakkan pada tindakan mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang di anggap atau diduga sebagai tindak pidana.
Penyidikan dititik beratkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan
bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat
menemukan dan menentukan pelakunya.23 Hampir tidak ada perbedaan antara
penyelidikan dan penyidikan, namun di tinjau dari beberapa segi, menurut M.
Yahya Harahap terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut yaitu :24
1. Dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari semua anggota Polri, dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik
2. Penyelidik memiliki kewenangan yang sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP tentang perintah penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya.
Tugas pokok Kepolisian diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian ditentukan bahwa tugas pokok Kepolisian
adalah:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
2. Menegakkan hukum, dan
3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
26
Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun
2002 ditentukan bahwa “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Dalam
penjelasan Pasal 14 ini dijelaskan, ketentuan KUHAP yang memberikan peranan
utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan
penyidikan sehingga Kepolisian secara umum diberi kewenangan untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Pasal 14
ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 adalah dasar hukum Polri
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana,
termasuk tindak pidana korupsi.
2.2Pengertian Penghentian Penyidikan dan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3)
Terdapat kemungkinan pada setiap penyidikan perkara pidana penyidik
menemukan jalan buntu sehingga tidak mungkin lagi melanjutkan penyidikan,
dalam situasi demikian, penyidik diberi kewenangan untuk melakukan
penghentian penyidikan, kewenangan tentang penghentian penyidikan ini diatur
dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP namun, KUHAP tidak merumuskan dengan
jelas apa yang dimaksud dengan penghentian penyidikan melainkan hanya
memberikan perumusan tentang penyidikan saja. Selain itu pengaturan tentang
tata cara penghentian penuntutan diatur dengan lebih rinci dan jelas, sedangkan
27
Menurut Harun. M. Husein penghentian penyidikan adalah :
Tindakan penyidik menghentikan penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana karena untuk membuat suatu terang peristiwa yang diduga dan menentukan pelaku sebagai tersangkanya tidak terdapat cukup bukti atau dari hasil penyidikan diketahui bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.25
Setiap proses dalam penyidikan, penyidik memiliki kewajiban untuk
memberitahukannya kepada penuntut umum. Begitu pula ketika dilakukan
penghentian penyidikan, penyidik wajib memberikan pemberitahuan kepada
penuntut umum. Hal ini tercantum dalam KUHAP Pasal 109 ayat (2) menyatakan
bahwa “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti
atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut
Umum, tersangka atau keluarganya.” Untuk itu, setiap penghentian penyidikan
yang dilakukan pihak penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).26
Penyidik wajib memberikan pemberitahuan penghentian penyidikan
kepada pihak yang berwenang seperti :27
a. Jika yang melakukan penghentian itu penyidik Polri pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan kepada Penuntut Umum dan atau keluarganya.
28
Bahkan jika bertitik tolak pada angka 11 Lampiran Kep. Menkeh No.
M.14PW.03/1983, pemberitahuan penghentian penyidikan juga meliputi
pemberitahuan kepada Penasehat Hukum dan saksi pelapor atau korban.28 Untuk
setiap penghentian penyidikan yang dilakukannya, penyidik yang berwenang
wajib mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Jadi yang
dimaksud dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) adalah surat
perintah yang dikeluarkan oleh penyidik sebagai bukti telah dihentikannya
penyidikan suatu tindak pidana.
2.3Pengertian Koordinasi
Malayu S.P Hasibuan berpendapat bahwa : “Koordinasi adalah kegiatan
mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen
dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi.”29
Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan
kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang
fungsional) pada suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien dan
efektif.30
Menurut James AF Stoner “Koordinasi adalah proses pemaduan sasaran
dan kegiatan dari unit-unit kerja yang terpisah untuk dapat mencapai tujuan
organisasi secara efektif.” Sedangkan menurut G. R. Terry dalam bukunya,
Principle of Management yang dikutip Handayaningrat, “Koordinasi adalah suatu
usaha yang sinkron atau teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat
28. Ibid. 29.
Malayu S.P Hasibunan, 2006, Manajemen Dasar, Pengertian, Dan Masalah, Edisi Revisi, Bumi Aksara, Jakarta, hlm.85.
30.
29
dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam
dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan.”31
Selanjutnya menurut Handayaningrat koordinasi memiliki sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Koordinasi adalah dinamis, bukan statis.
2. Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang manajer dalam kerangka mencapai sasaran.
3. Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan. Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa koordinasi adalah tindakan seorang pimpinan untuk mengusahakan terjadinya keselarasan, antara tugas dan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang atau bagian yang satu dengan bagian yang lain. Dengan koordinasi ini diartikan sebagai suatu usaha ke arah keselarasan kerja antara anggota organisasi sehingga tidak terjadi kesimpang siuran, tumpang tindih.32
Berdasarkan penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, maka dapat disimpulkan yang dimaksud
dengan koordinasi adalah bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
KPK memberikan pengarahan, pedoman, petunjuk, atau melakukan kerjasama
dengan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik berpotensi korupsi.
2.4Pengertian Tindak Pidana Korupsi Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Korupsi
a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Pengertian tindak pidana korupsi berasal dari kata “tindak pidana” dan
“korupsi”. Pembentuk undang-undang menggunakan istilah straafbaarfeit untuk
menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan secara rinci mengenai
31.
Soewarno Handayaningrat, 2002 Pengantar Studi Administrasi Dan Management, Gunung Agung, Jakarta, hlm.54.
30
strafbaarfeit tersebut. Dalam bahasa Belanda Straafbaarfeit terdapat dua unsur
pembentuk kata, yaitu strafbaar dan feit.33
Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan “sebagai dari kenyataan”,
sedangkan straafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan
straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah
tentu tidak tepat. Oleh karena itu bahwa yang dapat dihukum adalah manusia
sebagai pribadi bukan kenyataan, perbuatan, atau tindakan.34
Menurut Sudarto, istilah strafbaarfeit diterjemahkan dengan perbuatan
pidana, perbuatan itu adalah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang
sesuatu yang dilakukan.35 Perbuatan tersebut menunjuk kepada akibat maupun
yang menimbulkan akibat. Jadi mempunyai makna abstrak yakni menunjukkan
dua keadaan konkrit yaitu adanya kejadian tertentu dan adanya orang yang
berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.
Menurut R. Tresna sebagaimana dikutip oleh Guse Prayudi, menggunakan
istilah peristiwa pidana sebagai terjemahan dari strafbaarfeit dan
mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia,
yang bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan
lainnya terhadap perbuatan mana diadakan penghukuman.36
33.
Osman Simajuntak, 1995, Teknik Penuntutan Dan Upaya Hukum, Gramedia Widiasarana, Jakarta, hlm. 29.
34.
Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 5.
35.
Sudarto, 1990, Hukum Pidana Jilid I A Dan I B, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hlm 35.
36.
31
Istilah “Tindak Pidana” juga yang dipakai dalam Undang-Undang No.31
Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, hal ini terlihat dari judul Undang-undang tersebut yakni
Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dilihat dari
rumusan Pasal yang mengatur tentang bentuk-bentuk atau kualifikasi dari
perbuatan korupsi yang dinyatakan sebagai tindak pidana. Dengan demikian
tindak pidana korupsi merupakan istilah yang digunakan dalam Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk
mengkualifikasikan berbagai bentuk perbuatan terlarangnya yang bersifat
koruptif.37
Menurut Fockema Andrea dalam Andi Hamzah, kata korupsi berasal dari
bahasa Latin corruptio atau corruptus yang berarti penyuapan. Kata corruptio itu
berasal pula dari kata asal corrumpore yang berarti merusak, suatu kata latin yang
lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti dalam
bahasa Inggris (corruption, corrupt) Perancis (corruption) dan Belanda
(corruptie).38 Arti harfiah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.39
Definisi lain yang menurut A.S Hornby mengartikan istilah korupsi
sebagai suatu pemberian atau penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap (the
32
offering and accepting of bribes), serta kebusukan atau keburukan
(decay).40sedangkan David M. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam
berbagai bidang, antara lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan
dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan menyangkut bidang kepentingan
umum.41
Definisi korupsi yang berkaitan dengan konsep jabatan dalam
pemerintahan terlihat di dalam karya tiga pengarang sebagai berikut yaitu :42
1. Menurut Barley, perkataan “korupsi“ dikaitkan dengan perbuatan penyuapan
yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.
2. Menurut M.Mc.Mullan, seseorang pejabat pemerintah dikatakan “ korup “ apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya, padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian.
3. Menurut J.S.Nye, korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peranan jawatan pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan akrab), demi mengejar status dan gengsi atau pencari pengaruh bagi kepentingan pribadi.
Menurut Subekti, korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya
diri yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi,
unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri
dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang negara untuk
kepentingannya.43
40.
A.S. Hornby, et.al., 1963, The Advanced Leaner’s Dictionary Of Current English,
Oxford University Press, London, hlm.218.
41.
David M. Chalmers, 1975, Encyclopedia Americana, Americana Corporation,New York, hlm.22.
42.
Mochtar Lubis Dan James C.Scott, 1977, Bunga Rampai Karangan-Karangan Etika Pegawai Negeri, Bharata Karya Aksara, Jakarta, hlm.52
43.
33
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyimpulkan
bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya. Soedarsono menyimpulkan bahwa korupsi adalah
penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat
seseorang bekerja untuk kepentingan pribadi atau orang lain.44
Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 adalah
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara…” dan Korupsi menurut Pasal 3
Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 adalah “Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara…” Berdasarkan penjelasan tersebut, apabila pengertian
tindak pidana dihubungkan dengan pengertian korupsi, maka Tindak Pidana
Korupsi dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana oleh Undang-udang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana itu merupakan
perbuatan-perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak
bermoral, dan lain-lain.
a. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
44.
34
Unsur-unsur tindak pidana korupsi tidak akan terlepas dari unsur-unsur
yang terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999
juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menentukan :
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Unsur-unsur tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 di atas adalah
sebagai berikut :
a. Unsur setiap orang
b. Unsur perbuatan melawan hukum
c. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
d. Unsur yang (dapat) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 menentukan bahwa :
35
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Unsur-unsur tindak pidana korupsi menurut Pasal 3 Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 di atas adalah
sebagai berikut :
a. Unsur setiap orang
b. Unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
c. Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan
d. Unsur yang (dapat) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Penjelasan dari masing-masing unsur-unsur tersebut adalah :
a. Unsur setiap orang
Adapun yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah menunjuk kepada
subyek atau pelaku pada tindak pidana korupsi.Subyek atau pelaku pada tindak
pidana korupsi adalah orang perseorangan atau korporasi.
b. unsur perbuatan melawan hukum
Dalam perundang-undangan unsur melawan hukum ini disebut dengan
bermacam-macam istilah, seperti yang dijelaskan oleh Jonkers bahwa unsur sifat
melawan hukum biasanya disebut dengan perkataan “melawan hukum”
(wederechtelijke), tetapi disana sini Undang-undang mempergunakan