Agusty, Inge Prima, 2012, Penggunaan Zeolit Terimpregnasi TiO2 untuk Mendegradasi Zat Warna Congo Red, SKRIPSI, di bawah bimbingan Drs. Yusuf Syah, M. S, dan Alfa Akustia Widati, S. Si, M. Si, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang degradasi fotokatalitik congo red menggunakan zeolit terimpregnasi TiO2 (TiO2/zeolit). TiO2/zeolit dibuat melalui
pencampuran antara zeolit alam dan TiO2 menggunakan media etanol absolut.
Karakterisasi hasil impregnasi dilakukan dengan difraksi sinar-X dan spektrofotometri infra red untuk mengetahui distribusi TiO2 pada permukaan
zeolit. TiO2/zeolit digunakan untuk mendegradasi zat warna congo red secara
fotokatalitik pada kondisi optimum yaitu pH 4 dan waktu degradasi 120 menit. Degradasi congo red menggunakan katalis TiO2/zeolit (81,66%) menunjukkan
hasil yang lebih baik dibanding degradasi congo red menggunakan zeolit (80,69%), TiO2 (78,87%) dan tanpa menggunakan katalis (57,63%).
Agusty, Inge Prima, 2012, The Use of Zeolite Impregnated TiO2 for Degradation Congo Red Dyes, SKRIPSI, under Guidance Drs. Yusuf Syah, M. S, and Alfa Akustia Widati, S. Si, M. Si, Departement of Chemistry, Sains and Technology Faculty, Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRACT
Research on photocatalytic degradation of congo red using the zeolite impregnated TiO2 (TiO2/zeolite) has been developed. TiO2/zeolite made by
mixing the natural zeolite and TiO2 using absolute ethanol media.
Characterization of the impregnation was done using X-ray diffraction and infra red spectrophotometry to determine the distribution of TiO2 on the surface of
zeolite. TiO2/zeolite used for degradation congo red dyes in photocatalytic on the
optimum conditions were pH 4 and degradation time 120 minutes. Degradation of congo red using TiO2/zeolite catalyst (81,66%) showed better result than the
degradation of congo red using zeolite (80,69%), TiO2 (78,87%) and without
using a catalyst (57,63%).
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL ... i
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN NASKAH SKRIPSI ... iii
LEMBAR PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Difraksi Sinar-X ... 6
2.2 Fotodegradasi ... 7
2.3 Fotokatalisis ... 8
2.4 Semikonduktor ... 9
2.5 Spektrofotometri UV-Vis ... 12
2.6 Spektroskopi Infra Merah ... 14
2.7 Tahapan Reaksi Fotokatalisis TiO2 ... 15
2.8 TiO2 ... 15
2.9 Zat Warna ... 18
2.9.1 Senyawa azo ... 19
2.9.2 Zat warna congo red ... 20
2.10 Zeolit ... 21
2.10.1 Komposisi zeolit ... 22
2.10.2 Struktur zeolit ... 24
2.10.3 Sifat-sifat zeolit ... 25
BAB III METODE PENELITIAN ... 28
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 28
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 28
3.2.1 Alat penelitian ... 28
3.2.2 Bahan penelitian ... 29
3.4.2 Pembuatan larutan NaOH 0,1 M ... 31
3.4.3 Pembuatan larutan H2O2 15% ... 31
3.4.4 Pembuatan larutan induk congo red 1000 ppm ... 31
3.4.5 Pembuatan larutan standar congo red ... 31
3.4.6 Pembuatan larutan sampel congo red ... 32
3.4.7 Penentuan panjang gelombang maksimum congo red ... 32
3.4.8 Pembuatan kurva standar congo red ... 32
3.4.9 Pembuatan katalis untuk degradasi congo red ... 33
3.4.9.1 Preparasi zeolit ... 33
3.4.9.2 Impregnasi TiO2 ke dalam zeolit ... 33
3.4.10 Penentuan waktu degradasi optimum ... 34
3.4.11 Penentuan pH optimum ... 34
3.4.12 Degradasi larutan sampel congo red ... 35
3.4.13 Degradasi larutan sampel congo red dengan TiO2/zeolit pada kondisi optimum ... 36
3.4.14 Penentuan pengaruh TiO2 terhadap degradasi congo red .... 36
3.4.15 Penentuan pengaruh zeolit terhadap degradasi congo red ... 37
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38
4.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Congo Red ... 38
4.2 Pembuatan Kurva Standar Congo Red ... 39
4.3 Pembuatan Katalis untuk Degradasi Congo Red ... 41
4.3.1 Preparasi zeolit ... 41
4.3.2 Impregnasi TiO2 ke dalam zeolit ... 43
4.4 Penentuan Waktu Degradasi Optimum ... 46
4.5 Penentuan pH Optimum ... 48
4.6 Degradasi Larutan Sampel Congo Red ... 50
4.7 Degradasi Larutan Sampel Congo Red dengan TiO2/zeolit pada Kondisi Optimum ... 50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 53
5.1 Kesimpulan ... 53
5.2 Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 54 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Tabel Halaman
2.1 Perbandingan sifat rutile dan anatase ... 18
2.2 Nama mineral zeolit dan rumus kimianya ... 23
2.3 Komposisi unsur zeolit alam Turen Malang ... 24
4.1 Data pengukuran larutan standar congo red ... 40
4.2 Data penentuan waktu optimum degradasi congo red ... 47
4.3 Data pengukuran pH optimum degradasi congo red... 48
4.4 Data pengukuran degradasi congo red dengan TiO2/zeolit, TiO2, zeolit dan tanpa katalis pada waktu dan kondisi pH optimum ... 51
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Tabel Halaman
2.1 Perbandingan sifat rutile dan anatase ... 18
2.2 Nama mineral zeolit dan rumus kimianya ... 23
2.3 Komposisi unsur zeolit alam Turen Malang ... 24
4.1 Data pengukuran larutan standar congo red ... 40
4.2 Data penentuan waktu optimum degradasi congo red ... 47
4.3 Data pengukuran pH optimum degradasi congo red... 48
4.4 Data pengukuran degradasi congo red dengan TiO2/zeolit, TiO2, zeolit dan tanpa katalis pada waktu dan kondisi pH optimum ... 51
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul
1 Kurva Panjang Gelombang Maksimum Congo Red
2 Data Hasil Pengamatan pada Penentuan Kurva Standar Congo Red 3 Data dan Kurva Optimasi Waktu Degradasi Congo Red
4 Data dan Kurva Optimasi pH Degradasi Congo Red
5 Data Perhitungan Optimasi Waktu dan Optimasi pH pada Degradasi Larutan Congo Red
6 Data dan Kurva Perbandingan Degradasi Congo Red pada Kondisi Optimum dengan Perlakuan Katalis yang Berbeda
7 Spektra Infra Red Zeolit Setelah Kalsinasi dan TiO2/zeolit serta
Difraktogram Zeolit Sebelum Kalsinasi, Zeolit Setelah Kalsinasi, TiO2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, industri tekstil termasuk penyumbang devisa terbesar selain pariwisata dan minyak bumi. Namun, kemajuan dalam bidang industri tidak diiringi dengan kesadaran dalam pengelolaan lingkungan. Industri tekstil merupakan salah satu kontributor terbesar dalam pencemaran lingkungan terutama pencemaran oleh limbah zat warna tekstil. Limbah zat warna yang dihasilkan dari industri tekstil umumnya adalah senyawa organik yang sulit didegradasi secara alami. Saat ini, berbagai teknik dan metode penanggulangan limbah zat warna tekstil telah dikembangkan di antaranya adalah metode koagulasi, oksidasi, elektrokimia, biodegradasi, klorinasi, ozonisasi, adsorpsi, pengendapan dan penyerapan dengan karbon aktif, serta metode fotodegradasi.
Metode koagulasi, oksidasi, dan elektrokimia dirasa kurang memadai untuk mengatasi masalah pencemaran zat warna. Hal ini dikarenakan metode-metode tersebut akan menghasilkan polutan yang lebih terkonsentrasi. Metode biodegradasi, klorinasi, dan ozonisasi memberikan hasil yang cukup memuaskan, tetapi membutuhkan biaya operasional yang cukup mahal sehingga kurang efektif diterapkan di Indonesia (Fatimah, et al., 2006). Metode adsorpsi kurang efektif karena limbah zat warna yang diadsorpsi masih terakumulasi di dalam adsorben. Metode pengendapan dan penyerapan dengan karbon aktif juga kurang efektif karena karbon aktif hanya dapat menyerap polutan senyawa dengan berat molekul
yang kecil dan bersifat non polar. Dari beberapa metode di atas, metode fotodegradasi adalah metode yang paling efektif karena relatif murah dan mudah diterapkan (Lachheb, et al., 2002; Ekimov, et al., 1985; Rao, et al., 2000).
Metode fotodegradasi (fotokatalisis-degradasi) memerlukan bahan katalis semikonduktor dan radiasi sinar ultraviolet (UV). Panjang gelombang sinar UV disesuaikan dengan energi celah yang dimiliki bahan semikonduktor tersebut. Katalis yang umum digunakan untuk proses fotokatalisis adalah TiO2, Fe2O3,
SnO2, ZnO, ZnS, CuS, CeO2 ZrO2 dan WO3 (Hermann, 1999). TiO2 merupakan
bahan semikonduktor yang ketersediaannya banyak di pasaran serta tergolong yang paling unggul (Fatimah, et al., 2006). TiO2 lebih sering digunakan dalam
fotokatalisis khususnya pengolahan limbah karena mempunyai celah pita yang besar (3,2 eV), stabil terhadap cahaya, tidak beracun, dan kemampuan mengoksidasi tinggi (Linsebigler, 1995).
TiO2 merupakan katalis yang sering digunakan baik dalam industri
maupun dalam penelitian-penelitian yang sedang berkembang saat ini. Hal ini disebabkan karena TiO2 mempunyai beberapa keunggulan yaitu harganya
ekonomis, non toksik dan yang paling penting adalah kestabilan dan keaktifannya ketika dikenai cahaya. Jadi dapat disimpulkan bahwa TiO2 adalah fotokatalis yang
ramah lingkungan. Akan tetapi, terdapat kendala yaitu TiO2 yang tersedia secara
komersil memiliki aktivitas fotokatalis yang masih rendah dan tidak selektif dalam menguraikan zat warna.
adalah dengan mengimpregnasikannya pada karbon aktif. Dari hasil penelitian, TiO2/karbon aktif dapat mendegradasi zat warna indigo carmine (4 x 10-4 M)
hingga 91,06 % (Subramani, et al., 2007). Cara lain yaitu dengan mengimpregnasikannya pada bentonit. Dari hasil penelitian, bentonit yang didukung katalis anatase lebih aktif daripada TiO2 komersil. Dalam waktu 1 jam
dengan konsentrasi zat warna metilen biru 40 mg/L, bentonit yang didukung katalis anatase dapat mendegradasi zat warna metilen biru hingga konsentrasi yang tersisa 1 mg/L sedangkan TiO2 komersil 25 mg/L (Rossetto, et al., 2010).
Penelitian lain menyebutkan bahwa untuk memaksimalkan kerja TiO2 adalah
dengan mengimpregnasikannya ke dalam zeolit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TiO2/zeolit dapat mendegradasi zat warna alizarin s (10-4 M) hingga 99%
dalam waktu 60 menit (Wijaya, et al., 2006).
Zeolit mempunyai struktur berongga. Rongga berisi air dan kation yang dapat dipertukarkan. Sejauh ini, banyak penelitian yang telah memanfaatkan zeolit sebagai adsorben gas dan cairan (Sunara, 1987), adsorben logam berat (Harjanto, 1993), dan sebagai media pendukung (Sumartono dan Andayani, 2007; Slamet, et
al., 2008; Wijaya, et al., 2006).
Dalam penelitian ini akan digunakan metode fotodegradasi untuk mendegradasi zat warna congo red. Zat warna congo red dipilih karena dipandang cukup mewakili zat warna industri tekstil. Zat warna ini sebenarnya dapat mengalami fotodegradasi secara alami oleh adanya sinar matahari. Namun, reaksinya berjalan sangat lambat karena intensitas sinar UV yang sampai ke permukaan bumi relatif rendah. Hal ini mengakibatkan akumulasi zat warna
congo red ke dasar perairan dan tanah lebih cepat daripada proses
fotodegradasinya (Wijaya, et al., 2006)
Dari berbagai penjelasan di atas maka pada penelitian ini akan diteliti kemampuan TiO2/zeolit untuk mendegradasi zat warna congo red. Selain itu,
penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui potensi TiO2/zeolit jika
dibandingkan dengan TiO2 dan zeolit saja dalam mendegradasi zat warna congo red. Penelitian ini menggunakan metode adsorpsi dan fotodegradasi dengan
variasi waktu penyinaran oleh UV dan pH pada proses degradasi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut
1. Berapa waktu dan pH optimum proses degradasi congo red menggunakan TiO2/zeolit?
2. Apakah TiO2/zeolit memiliki keaktifan lebih tinggi dibandingkan TiO2 dan
zeolit saja dalam mendegradasi zat warna congo red?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menentukan waktu dan pH optimum pada proses degradasi congo red menggunakan TiO2/zeolit.
2. Mengetahui keaktifan TiO2/zeolit dibandingkan dengan TiO2 dan zeolit saja
1.4 Manfaat Penelitian
Pada penelitian ini, diharapkan dapat memberi informasi ilmiah tentang metode alternatif dalam pengolahan limbah industri tekstil menjadi zat yang ramah lingkungan. Selain itu, diharapkan hasil penelitian dapat mendukung pengembangan metode adsorpsi dan fotodegradasi, serta mengaplikasikan metode tersebut untuk mendegradasi limbah zat warna tekstil khususnya zat warna congo
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Difraksi Sinar-X
Sinar-X adalah bentuk dari radiasi gelombang elektromagnetik. Panjang gelombang sinar-X yaitu 10-10 sampai 10-8 m (1-100 Å), dan yang digunakan
untuk difraksi sinar-X hanya 0,3-0,25 Å. Apabila sinar-X diarahkan pada material yang kristalin, maka atom yang berada di dalam kristal akan menyerap energi, kemudian atom akan menghamburkan sinar-X ke segala arah. Berkas sinar-X yang dihamburkan oleh atom akan saling menguatkan jika sefasa dan saling meniadakan apabila tidak sefasa.
Metode difraksi sinar-X biasnya digunakan untuk pemeriksaan bahan kristalin. Pola sinar-X dari bahan-bahan kristalin dapat disebut sebagai sidik jari (finger print). Dengan menggunakan metode difraksi ini, parameter yang diukur lebar lebar dari kisi-kisi mineral yang diketahui daripada menentukan struktur dari mineral tersebut. Hukum yang digunakan pada difraksi sinar-X adalah Hukum Bragg :
2 d sin = n
dengan n adalah bilangan bulat (1,2,3,...dst) yang disebut orde hamburan/ refleksi. Persamaan tersebut dikenal sebagai persamaan Bragg.
Hukum Bragg dapat diamati melalui dua metode. Pertama, menggunakan sinar-X dengan panjang gelombang tertentu dan mengukur λ, sehingga dapat
struktur. Kedua, menggunakan kristal dengan lebar (d) bidang kristal diketahui, kemudian mengukur θ sehingga dapat ditentukan panjang gelombang dari radiasi yang digunakan. Metode ini disebut dengan X-ray spectroscopy.
Pada gambar 2.1 ditunjukkan suatu berkas sinar monokromatis dari sinar-X yang bertumbukan dengan permukaan suatu kristal.
Gambar 2.1 Kondisi Bragg untuk difraksi sinar X
2.2 Fotodegradasi
Fotodegradasi (fotokatalisis-degradasi) adalah suatu proses peruraian suatu senyawa dengan bantuan energi foton atau cahaya. Senyawa yang diurai biasanya adalah senyawa organik. Proses fotodegradasi membutuhkan suatu fotokatalis yang umumnya merupakan bahan semikonduktor. Prinsip fotodegradasi yaitu adanya loncatan elektron dari pita valensi ke pita konduksi pada bahan semikonduktor ketika dikenai suatu energi foton. Loncatan elektron tersebut menyebabkan terbentuknya hole (lubang elektron) yang dapat berinteraksi dengan pelarut air membentuk radikal •OH. Radikal •OH bersifat aktif dan dapat
menguraikan senyawa organik yang diinginkan (Fatimah dan Wijaya, 2005). Proses fotodegradasi secara alamiah dengan cahaya matahari biasanya
berlangsung lambat. Oleh karena itu telah dikembangkan berbagai macam fotokatalis untuk mempercepat proses fotodegradasi.
2.3 Fotokatalisis
Fotokatalisis berasal dari kata fotokimia dan katalis yang dapat diartikan sebagai suatu reaksi kimia yang memerlukan cahaya dan katalis. Efek fotokatalisis terjadi pada permukaan semikonduktor, dalam hal ini bahan semikonduktor disebut fotokatalis. Bahan semikonduktor yang umum digunakan adalah TiO2. Beberapa aplikasi fotokatalisis adalah dapat menguraikan (dekomposisi) zat-zat organik beracun dan juga dapat membunuh (inaktivasi) mikroorganisme di dalam media cair maupun udara (Maddu, et al., 2003). Reaksi fotokatalis melibatkan pasangan
electron-hole (e- dan h+). Jika suatu semikonduktor tipe n dikenai cahaya (hv)
dengan energi yang sesuai, maka elektron (e-) pada pita valensi akan pindah ke
pita konduksi, dan meninggalkan lubang positif (hole) pada pita valensi.
Katalis adalah zat yang mempengaruhi suatu proses kimia tanpa ikut berubah secara kimia. Katalis dapat mempercepat suatu reaksi. Perubahan kimia yang disebabkan oleh cahaya terjadi pada permukaan suatu katalis. Suatu reaksi tanpa katalis akan berjalan lambat kecuali dengan suhu yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan timbulnya kesulitan lain yaitu kesulitan mengatur suhu yang lebih tinggi dan terjadi reaksi lain yang tidak diinginkan (Suspeno, 2009)
2.4 Semikonduktor
Menurut Kittel dan Charles (1979), zat padat dikelompokkan menjadi tiga macam berdasarkan daya hantar listriknya (σ) :
1. Konduktor, suatu bahan yang mudah menghantarkan arus listrik dengan nilai σ = 104-106 ohm-1cm-1.
2. Isolator, suatu bahan yang mempunyai daya hantar arus listrik lemah atau tidak mempunyai daya hantar arus listrik sama sekali dengan nilai σ = 10-15 -10-3 ohm-1cm-1.
3. Semikonduktor, suatu bahan yang daya hantar arus listriknya berada di antara konduktor dan isolator dengan nilai σ = 105-103 ohm-1cm-1.
Semikonduktor dapat bersifat sebagai isolator pada temperatur rendah, sedangkan pada temperatur kamar atau lebih tinggi dapat bersifat sebagai konduktor. Bahan semikonduktor yang biasa digunakan adalah silikon, germanium, dan gallium arsenit.
Semikonduktor memiliki pita valensi yang terisi penuh dan pita konduksi yang kosong. Celah yang terdapat di antara pita valensi dan pita konduksi disebut
energi gap. Energi gap pada semikonduktor bernilai (0,5 - 3,0) eV, nilai ini lebih
kecil dibandingkan dengan isolator yang memiliki nilai energi gap 6,0 eV, sehingga memungkinkan elektron berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Perpindahan elektron ini disebabkan adanya energi luar yang memenuhi (biasanya energi panas). Konduktor tidak mempunyai celah energi gap, sedangkan pada isolator tidak terjadi perpindahan elektron karena celah energi gap besar.
Gambar 2.2 Pita valensi dan pita konduksi semikonduktor
Gambar 2.3 Pita energi pada zat padat
Semikonduktor ada dua macam yaitu semikonduktor intrinsik dan ekstrinsik. Semikonduktor intrinsik adalah semikonduktor murni atau semikonduktor yang tidak ditambah dengan doping, sedangkan semikonduktor ekstrinsik adalah semikonduktor yang ditambahkan pengotor doping dalam suatu
Penentuan tipe semikonduktor didasarkan pada doping yang diberikan kepada suatu semikonduktor. Misal pada bahan silikon diberi doping phosphorus atau arsenic yang pentavalen yaitu bahan kristal dengan inti atom yang memiliki 5 elektron valensi, karena ion silikon memiliki 4 elektron maka doping ini menyebabkan silikon memiliki kelebihan elektron, sehingga membentuk semikonduktor tipe-n. Semikonduktor tipe-n disebut juga donor yang siap
melepaskan elektron.
Gambar 2.4 Semikonduktor tipe-n
Apabila silikon diberi doping boron, gallium atau indium, akan didapat
semikonduktor tipe-p. Hal ini disebabkan karena doping tersebut adalah bahan trivalen yaitu unsur dengan ion yang memiliki 3 elektron pada pita valensi, sehingga ada ikatan kovalen yang berlubang (hole). Lubang ini sebagai akseptor
yang siap menerima elektron.
2.5 Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometer adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur transmisi atau absorbansi suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang (λ). Spektrofotometri UV-Vis yaitu suatu metode analisis spektroskopi yang menggunakan sumber radiasi elektromagnetik ultra violet dekat dan sinar tampak (visible) menggunakan alat spektrofotometer. Panjang gelombang ultra violet berada antara 190-380 nm dan panjang gelombang sinar tampak antara 380-780 nm (Mulya dan Suharman, 1995). Semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis karena molekul mempunyai elektron yang dapat dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis sehingga lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan dengan kualitatif (Mulya dan Suharman, 1995). Spektrum UV-Vis biasanya diambil dari larutan encer, jika radiasi atau cahaya putih dilewatkan melalui larutan berwarna maka radiasi dengan panjang gelombang tertentu akan diserap (absorpsi) sedangkan radiasi lainnya akan diteruskan (transmisi). Panjang gelombang dimana absorbansi itu terjadi bergantung pada kekuatan elektron yang terikat dalam molekul tersebut.
Suatu molekul sederhana jika dikenakan radiasi elektromagnetik akan mengabsorpsi radiasi elektromagnetik dengan energi yang sesuai. Hal ini akan meningkatkan energi potensial elektron pada tingkat keadaan eksitasi. Jika pada molekul sederhana hanya terjadi transisi elektronik pada satu macam gugus, maka
akan terjadi satu absorpsi yang merupakan garis spektrum (Mulya dan Suharman, 1995).
Ada beberapa transisi serapan elektronik pada pengukuran dengan spektrofotometer UV-Vis diantaranya adalah pergeseran batokromik dan pergeseran hipokromik. Pergeseran batokromik adalah pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih tinggi sedangkan pergeseran hipokromik adalah pergeseran serapan ke arah panjang gelombang yang lebih pendek Baik pergeseran batokromik atau hipokromik dapat disebabkan oleh substitusi atau pengaruh pelarut.
Pengukuran spektroskopi melibatkan penggunaan kombinasi sumber, perangkat dispersif dan detektor untuk menganalisis spektrum absorpsi atau emisi dari suatu sampel. Pengukuran ini berdasarkan pada panjang gelombang atau frekuensi radiasi diukur.
Jika suatu reaksi elektromagnetik dikenakan pada larutan dengan intensitas radiasi semula (Io) sebagian radiasi tersebut akan diteruskan (It), dipantulkan (Ir),
dan diabsorpsi (Ia) yang dirumuskan sebagai berikut :
Io = Ia + It + Ir (2.1)
Dengan ketentuan : Io = Intensitas cahaya masuk
Ir = Intensitas cahaya yang dipantulkan
It = intensitas cahaya yang diteruskan
Ia = intensitas cahaya yang diserap
Pada Spektrofotometer UV-Vis menggunakan hukum Lambert Beer, dengan menggunakan persamaan.
It = Io.10 –ε b c (2.2)
(2.3)
Atau
A = ε b c (2.4)
Dengan A = absorbansi
ε = koefisien ekstinsi molar ( L mol-1 cm-1 )
c = konsentrasi senyawa yang mengabsorbsi ( mol/L ) b = tebal medium yang dilalui REM
Pada umumnya konfigurasi dasar Spektrofotometer UV-Vis berupa susunan peralatan optik dengan urutan:
Sumber Radiasi → monokromator → Sampel → Detektor → Amplifier atau Penguat → Visual display/ meter (Mulya dan Suharman, 1995).
2.6 Spektroskopi Infra Merah
Spektrofotometer infra merah (IR) adalah suatu alat untuk menganalisis serta mengidentifikasi senyawa organik maupun anorganik berdasarkan absorbsinya terhadap radiasi inframerah. Inframerah digunakan untuk menentukan gugus fungsi yang terdapat dalam suatu molekul. Sampel yang digunakan untuk alat ini dapat berupa cairan, padatan, atau gas. Identifikasi gugus-gugus fungsi dari suatu senyawa didasarkan pada daerah bilangan gelombang 4000-1600 cm-1
yang disebut dengan daerah gugus fungsi. Sedangkan pada daerah bilangan gelombang 1600-670 cm-1 dapat disebut dengan daerah sidik jari (finger print).
Setiap molekul yang dianalisis menyerap radiasi yang berbeda, hal ini tergantung dari gugus fungsi yang terdapat di dalamnya. Apabila mengandung gugus C=O maka akan menghasilkan puncak pada bilangan gelombang 1600-1750 cm-1, gugus OH menghasilkan spektra dengan puncak yang melebar pada
bilangan gelombang 3000-3700 cm-1, C-H aromatis menghasilkan puncak pada bilangan gelombang 3000-3100 cm-1.
2.7 Tahapan Reaksi Fotokatalisis TiO2
Fotokatalis berupa oksida logam seperti TiO2 dapat menyerap radiasi
antara fotokatalis dengan air. Peran fotokatalis ini adalah menyediakan lubang pada pita valensi (hvb+) dan radikal hidroksil yang berfungsi meningkatkan
efektivitas. Radikal hidroksil adalah oksidator kuat (Hoffmann et al., 1995). Tahap reaksi kimia yang terjadi pada fotokatalisis :
TiO2 hv TiO2 (hvb++ ecb-) hvb+ + H2O •OH + H+ hvb+ + OH- •OH ecb- + O2 •O2 -ecb- + 2 H2O 2 •OH + 2 OH- + O2 2.8 TiO2
Titanium dioksida (TiO2) atau disebut juga titania adalah bentuk oksida
yang paling umum untuk logam titanium. Titanium dioksida memiliki bentuk kristal berwarna putih, mempunyai berat molekul 79,886 g/mol, massa jenis 4,23
g/cc, titik leleh 18430C tanpa adanya oksigen dan 18920C dengan adanya oksigen,
serta mempunyai titik didih 29720C. Kristal TiO2 bersifat asam yang tidak larut
dalam air, asam klorida, asam sulfat encer, dan alkohol. Namun kristal ini larut dalam asam sulfat pekat dan asam flourida. Titanium dioksida cukup melimpah dalam kulit bumi yaitu sekitar 0,6% dengan mineral utama FeTiO3 (ilmenite) dan
CaTiO3 (perovskite).
Titanium dioksida berwarna putih dan mempunyai sifat tidak beracun dan tahan karat menyebabkan TiO2 banyak dimanfaatkan sebagai pigmen (warna)
putih pada makanan maupun kosmetik. Konfigurasi elektron atom titanium (22Ti)
adalah 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 4s2 3d2, dan atom oksigen (
8O) adalah 1s2 2s2 2p4.
Dengan demikian orbital molekul TiO2 terbentuk antara ikatan kulit 3d pada Ti
dan kulit 2p pada O, tingkat energi pada kulit 3d menjadi daerah konduktif molekul sedangkan kulit 2p menjadi daerah valensi molekul.
Titanium dioksida mempunyai pita valensi yang terisi penuh dan pita konduksi yang kosong dengan celah pita pada sekitar 3,2 eV. Energi foton dari cahaya memiliki panjang gelombang 400 nm, di luar daerah visibel mendekati ultraviolet. Bagian ultraviolet dari cahaya matahari dapat mengeksitasi elektron dari pita valensi TiO2 ke dalam pita konduksi sehingga meninggalkan lubang
positif pada pita valensi. Dengan cara ini, TiO2 dengan adanya sinar matahari
dapat menyediakan elektron yang berenergi tinggi dari pita konduksi. Energi pasangan elektron donor 3,2 eV (309 kJ/mol) lebih dari cukup untuk menguraikan air menjadi hidrogen dan oksigen (Suspeno, 2009).
Gambar 2.6 Kristal TiO2
Titanium dioksida memiliki bentuk kristal dan amorf. Dalam bentuk amorf susunan atom pada TiO2 tidak teratur sehingga bentuk ini juga memiliki pita
valensi dan pita konduksi yang tidak teratur. Dalam bentuk kristal TiO2 memiliki
tiga fase, yaitu anatase, rutile dan brookite.
Anatase adalah kristal yang paling reaktif terhadap cahaya dan mempunyai nilai Eg 3.2 eV. Hal ini menyebabkan eksitasi elektron dari pita valensi menuju pita konduksi mudah terjadi. Anatase dapat diperoleh melalui pemanasan TiO2
amorf pada temperatur 4000C sampai 6000C. Anatase dapat bertranformasi menjadi rutile apabila dipanaskan hingga 7000C. Brookite merupakan jenis kristal
yang sulit diamati karena sifatnya yang tidak mudah dimurnikan.
Rutile adalah bentuk kristal yang banyak dihasilkan di alam dan diproduksi secara komersil di pasaran. Rutile dan anatase mempunyai struktur sama yaitu struktur tetragonal, sedangkan brookite mempunyai struktur ortorombik yang jarang dijumpai.
A B C Gambar 2.7 Struktur kristal rutile (A), anatase (B), dan brookite (C)
Tabel 2.1 Perbandingan sifat rutile dan anatase (Fujishima et al., 1999)
Titanium dioksida banyak digunakan sebagai fotokatalis karena stabil, tahan korosi, aman, memiliki sifat ampifilik, dan murah. Titanium hidroksida stabil pada pH 4,5-8. Sifat ampifilik adalah sifat yang awalnya superhidrofobik menjadi superhidrofilik pada permukaan TiO2 setelah disinari UV. Sifat yang
dimiliki TiO2 ini dapat dimanfaatkan sebagai sistem desinfeksi, antifogging, dan
self cleaning.
2.9 Zat Warna
Suatu zat dapat dikatakan berwarna apabila zat tersebut melakukan
Sifat Rutile Anatase
Bentuk Kristal Tetragonal Tetragonal
Tetapan kisi-kisi a 4,58 Ǻ 3,78 Ǻ Tetapan kisi-kisi c 2,95 Ǻ 9,49 Ǻ Berat jenis 4,2 3,9 Indeks bias 2,71 2,52 Kekerasan 6,0-7,0 5,5-6,0 Permivitas 114 31
sebagian dari sinar yang tidak diabsorbsi. Sinar yang diteruskan ini nampak pada indera penglihatan. Panjang gelombang warna yang terlihat oleh mata manusia atau daerah tampak berkisar antara 380-780 nanometer.
Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tak jenuh, kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat antara zat warna dengan serat. Contoh dari gugus kromofor adalah N=N, C=O dan benzena
sedangkan contoh dari gugus auksokrom adalah –OH, -OR dan -NH2. Zat organik
tak jenuh yang biasa dijumpai dalam pembentukan molekul zat warna adalah senyawa aromatik. Golongan senyawa hidrokarbon aromatik yang digunakan biasanya diperoleh dari reaksi suatu amino aromatik primer yang disuspensi dari suatu larutan asam mineral dalam air, kemudian direaksikan dengan natriun nitrit. Untuk menghasilkan suatu zat warna, senyawa hidrokarbon aromatik tersebut harus mengandung senyawa azo.
2.9.1 Senyawa azo
Senyawa azo adalah senyawa yang paling banyak terdapat dalam limbah tekstil, yaitu sekitar 60 % - 70 %. Senyawa azo memiliki struktur umum R─N═N─R’. Senyawa ini memiliki gugus ─N═N─ yang dinamakan struktur azo. Senyawa azo dapat berupa senyawa aromatik atau alifatik. Senyawa azo aromatik bersifat stabil dan mempunyai warna menyala. Senyawa azo alifatik seperti dimetildiazin lebih tidak stabil. Senyawa azo digunakan sebagai bahan celup, yang biasa disebut dengan nama azo dyes (Christina, et al., 2007).
Dari segi strukturnya, senyawa azo sangat bervariasi hingga diketahui sedikitnya terdapat 3000 jenis (Chung dan Stevens, 1993). Zat warna azo adalah
kelompok bahan aromatik yang sukar terdegradasi secara alami karena adanya ikatan azo dan pada senyawa tertentu, mengandung gugus sulfat pada cincin aromatiknya. Zat warna yang berkromofor azo ini yang paling banyak adalah zat warna reaktif. Zat warna reaktif adalah suatu zat warna yang dapat membentuk ikatan kovalen dengan substratnya (serat tekstil) (Heanton, 1994). Ikatan kovalen ini sifatnya lebih kuat daripada ikatan lainnya sehingga sukar dilunturkan.
Lingkungan zat warna azo sangat luas, dari warna kuning, merah, jingga, biru AL (Navy Blue), violet dan hitam. Jenis yang paling banyak digunakan saat ini adalah zat warna reaktif dan zat warna dispersi. Hal ini disebabkan produksi bahan tekstil dewasa ini adalah serat sintetik seperti serat poliamida, poliester dan poliakrilat. Bahan tekstil sintetik ini, terutama serat poliester, kebanyakan hanya dapat dicelup dengan zat warna dispersi (Manurung, et al., 2004).
2.9.2 Zat warna congo red
Congo red merupakan bahan kimia yang berbahaya terhadap kesehatan
tubuh manusia. Bahaya yang ditimbulkan diantaranya bila tertelan dapat mengakibatkan rasa mual pada lambung, muntah dan diare. Selain itu, apabila bahan ini terkena mata dan teradsorpsi pada kulit dapat menyebabkan iritasi, dapat mengakibatkan kerusakan sistem pernapasan, menyebabkan kanker serta menyebabkan gangguan reproduksi dan janin.
Congo red memiliki rumus molekul C32H22N6O6S2Na2 (natrium
difenil-bis-alfa-naftilamin sulfonat). Congo red berbentuk bubuk berwarna merah kecoklatan, di dalam air akan berwarna merah kekuningan, sedangkan jika
dan pHnya sekitar 6,7 pada temperatur 20oC. Pada konsentrasi rendah, spektrum
adsorpsi UV-Vis menunjukkan intensitas puncak sekitar 498 nm dalam larutan air. Selain dapat larut dalam air, congo red juga dapat larut dalam alkohol dan sedikit larut dalam aseton tetapi tidak larut dalam eter. Selain digunakan sebagai zat warna atau pencelup, congo red juga biasa digunakan sebagai indikator, zat warna biologis dan bahkan untuk keperluan diagnostik.
Gambar 2.8 Struktur congo red
2.10 Zeolit
Zeolit adalah kristal berongga yang terbentuk dari tetrahedral alumina dan silika. Rongga zeolit berisi ion-ion logam, biasanya golongan logam alkali, dan molekul air yang bergerak bebas. Zeolit merupakan kelompok mineral yang dihasilkan dari proses hidrotermal pada batuan beku basa. Mineral zeolit biasanya mengisi celah-celah batuan tersebut. Selain itu zeolit juga merupakan endapan dari aktivitas vulkanik yang banyak mengandung unsur silika (Harjanto, 1993).
Keberadaan atom aluminium pada zeolit secara keseluruhan dapat menyebabkan zeolit memiliki muatan negatif. Muatan negatif ini dapat menyebabkan zeolit mampu mengikat kation seperti besi (Fe), aluminium (Al) atau magnesium (Mg). Di samping itu, zeolit juga mudah melepas kation dan
SO3Na NH2 N N SO3Na NH2 N N
diganti dengan kation lain, misal zeolit melepas natrium mengikat kalsium atau magnesium. Dengan demikian, zeolit berfungsi sebagai penukar ion dan adsorben (Kusnaedi, 2010).
Zeolit juga sering disebut sebagai saringan molekuler karena memiliki pori yang berukuran molekuler sehingga mampu memisahkan/menyaring molekul dengan ukuran tertentu. Zeolit mempunyai beberapa sifat, salah satunya yaitu mudah melepas air akibat pemanasan, tetapi juga mudah mengikat kembali molekul air dalam udara lembab. Oleh karena sifat tersebut, zeolit banyak digunakan sebagai bahan pengering. Sifat ini pula yang menyebabkan zeolit dimanfaatkan untuk melunakkan air. Zeolit dengan ukuran rongga tertentu digunakan sebagai katalis untuk mengubah alkohol menjadi hidrokarbon sehingga alkohol dapat digunakan sebagai bensin (Kusnaedi, 2010).
2.10.1 Komposisi zeolit
Secara umum zeolit mempunyai rumus kimia Mx/n.(AlO2)x.(SiO2)y. wH2O
Dimana M = kation alkali/alkali tanah n = valensi dari kation logam
w = jumlah molekul air per unit sel zeolit
x dan y = bilangan total tetrahedral per unit sel biasanya x /y bernilai 1 sampai 5.
Berdasarkan hasil analisa kimia total, kandungan unsur-unsur zeolit dinyatakan sebagai oksida SiO2, Al2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O dan Fe2O3.
Parameter kimia yang penting dari zeolit yaitu perbandingan Si/Al, yang menunjukkan persentase Si yang mengisi di dalam tetrahedral, jumlah kation monovalen dan divalen, serta molekul air yang terdapat di dalam celah kristal. Perbedaan kandungan atau perbandingan Si/Al berpengaruh terhadap ketahanan zeolit terhadap asam atau pemanasan. Ikatan ion Al-Si-O adalah pembentuk struktur kristal sedangkan logam alkali adalah kation yang mudah tertukar. Jumlah molekul air menunjukkan jumlah pori-pori atau volume rongga yang terbentuk apabila unit sel kristal zeolit dipanaskan.
Hingga saat ini sudah 40 jenis (spesies) mineral zeolit yang telah diketahui. Dari jumlah tersebut, hanya 20 jenis yang diketahui terdapat dalam bentuk sedimen, terutama dalam bentuk piroklastik. Nama dan rumus kimia zeolit yang terdapat dalam bentuk piroklastik yaitu:
Tabel 2.2 Nama mineral zeolit dan rumus kimianya (Krauss, et al., 1959).
No Nama Mineral Rumus Kimia Unit Sel
1 Analsim Na16(Al16Si16O96).16H2O
2 Kabasit (Na2Ca)6(Al12Si24O72).40H2O
3 Klinoptilolit (Na4K4)(Al8Si40O96).24H2O
4 Erionit (Na7Ca5K)9(Al9Si27O72).27H2O
5 Paujasit Na58(Al58Si134O384).18H2O
6 Perrierit (Na2Mg2)(Al6Si30O72).18H2O
7 Wairakit Ca(Al2Si4O12).2H2O
8 Yugawaralit Ca(Al2Si4O12).6H2O
9 Pillipsit (Na,K)10(Al10Si22O64).20H2O
10 Epistilbit (Ca,Na2)3(Al6Si18O48).16H2O
11 Gismondin (Na,Ca2,K2)4(Al8Si8O48).16H2O
12 Connardit (Na2Ca)(Al4Si6O20).5H2O
13 Harmotom (Ba,Na2)2(Al4Si12O32).12H2O
14 Natrolit Na4(Al4Si6O20).4H2O
Komposisi unsur zeolit alam Turen Malang dari hasil XRF pada penelitian Ismuyanto (2008) dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Komposisi unsur zeolit alam Turen Malang
No. Nama Unsur % (b/b)
1 Al 14 2 Si 48 3 Na 0 4 Ca 2.76 5 Cr 0.054 6 Mn 1.93 7 Fe 25.1 8 Ni 0 9 Sr 0 10 Zr 0 11 Ag 0 12 Yb 0 13 P 0 14 S 0.74 15 K 4.93 16 Ti 1.28 17 V 0.04 18 Cu 0.12 19 Zn 0.795 2.10.2 Struktur zeolit
Zeolit mempunyai struktur kristal tiga dimensi tetrahedral silikat (SiO4-4)
yang biasa disebut tectosilicate. Dalam struktur ini, sebagian silikon (tidak bermuatan atau netral) kadang-kadang diganti oleh aluminium bermuatan listrik, sehingga muatan listrik kristal zeolit tersebut bertambah. Kelebihan muatan ini biasanya diimbangi oleh kation-kation logam K, Na, dan Ca yang menduduki
mudah terlepas. Volume ruang hampa dalam struktur zeolit cukup besar kadang mencapai 50 Å.
Gambar 2.9 Kerangka utama zeolit
Dalam struktur tiga dimensi zeolit, masing-masing atom oksigen terdapat diantara atom silikon dan aluminium. Setiap atom terikat oleh dua struktur yang tetrahedral. Struktur yang hanya terdiri dari silikon dan oksigen bersifat netral. Dalam struktur zeolit terdapat pergantian silikon bervalensi empat dengan aluminium bervalensi tiga. Sebagian silikon (tidak bermuatan listrik atau netral) dapat diganti oleh aluminium (bermuatan listrik) sehingga muatan listrik zeolit tersebut bertambah. Kelebihan muatan ini biasanya diimbangi oleh kation logam, seperti K, Na, Ca, yang menduduki tempat-tempat tersebar dalam struktur kristal zeolit.
2.10.3 Sifat-sifat zeolit
Zeolit mempunyai sifat di antaranya: 1. Dehidrasi
Dehidrasi yaitu suatu proses yang bertujuan untuk melepaskan molekul air dari kisi kristal sehingga terbentuk rongga dengan permukaan yang lebih besar. Preses dehidrasi pada zeolit dapat mempertinggi keaktivannya. Bila zeolit
dipanaskan maka jumlah pori-pori atau rongga akan terbentuk sesuai dengan jumlah molekul air. Pemanasan dapat dilakukan hingga suhu 3500C.
2. Adsorpsi
Pada keadaan normal, rongga dalam kristal zeolit terisi oleh molekul air bebas yang berada di sekitar kation. Bila zeolit dipanaskan pada suhu 300-4000C, molekul air akan keluar sehingga zeolit dapat berfungsi sebagai adsorben. Zeolit dapat mengadsorpsi sejumlah besar substansi selain air dan dapat memisahkan molekul zat berdasarkan ukuran molekul dan kepolarannya.
Apabila ada dua molekul atau lebih yang dapat melintasi saluran rongga zeolit, maka hanya satu molekul saja yang diserap, yang lain ditahan atau ditolak. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh kutub atau hubungan antara molekul-molekul zeolit dengan zat-zat yang diserap, hal ini merupakan suatu sifat yang tidak dimiliki oleh bahan jenis lain dalam penyerapan. Molekul yang tidak jenuh lebih lebih mudah diserap zeolit daripada molekul jenuh (Zussman, et al., 1996). 3. Penukar Ion
Penukar ion di dalam zeolit adalah proses ketika ion yang berada di dalam zeolit diganti dengan kation lain dari larutan. Zeolit mempunyai struktur tiga dimensi yang terdiri dari tetrahedral SiO2 dan AlO4, trivalent Al3+ dalam posisi
tetrahedralnya memerlukan adanya penambahan muatan listrik, biasanya Na+, K+, Mg2+, atau Ca2+. Dalam struktur rangka zeolit, kation-kation tersebut tidak terikat
4. Katalisator
Zeolit adalah katalisator yang baik karena mempunyai pori-pori yang besar dengan permukaan yang luas serta memiliki sisi aktif. Dengan adanya rongga, zeolit dapat digunakan sebagai katalis. Reaksi katalitik dipengaruhi oleh ukuran dan struktur rongga pada zeolit, karena hal ini tergantung pada difusi dan hasil reaksi.
5. Penyaring/Pemisah
Zeolit dapat memisahkan suatu zat berdasarkan perbedaan ukuran, bentuk dan polaritas. Hal ini disebabkan karena zeolit mempunyai rongga yang cukup besar dengan ukuran yang bermacam-macam (antara 2-3 Å). Volume dan ukuran rongga zeolit menjadi dasar kemampuan zeolit untuk menyaring molekul. Molekul yang berukuran lebih kecil dapat masuk ke dalam pori zeolit sedangkan molekul yang lebih besar akan tertahan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium Kimia Analitik dan laboratorium penelitian Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari sampai dengan bulan Juni 2012.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat penelitian
Peralatan laboratorium yang digunakan pada penelitian ini adalah reaktor fotokatalitik, timbangan analitik, pengaduk magnetik, pH meter, spektrofotometer UV-Vis Shimadzu tipe UV-1201, spektroskopi infra red Shimadzu, difraksi sinar-X Philips Analitycal, mortar, centrifuge model 228, oven, furnace, dan peralatan gelas yang biasa dipakai dalam laboratorium.
Reaktor fotokatalitik terdiri dari :
a) kotak pelindung reaktor yang terbuat dari kayu berukuran 50x50x50 cm. b) sumber sinar UV yaitu lampu dengan daya 24 watt yang diletakkan di
tengah-tengah kotak reaktor.
Gambar 3.1 Reaktor fotokatalitik
3.2.2 Bahan penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian adalah congo red, asam klorida (HCl) 37% (Merck), natrium hidroksida (NaOH) p.a (Merck), H2O2 30%,
TiO2, etanol absolut 99,9% dan zeolit alam dari daerah Turen Malang. Air yang
digunakan dalam penelitian ini adalah akuadem untuk melarutkan bahan dan sebagai blangko pada pengukuran dengan spektrofotometer UV-Vis.
Lampu UV Kotak Kayu Gelas Piala
Stirer Magnetik
3.3 Diagram Alir Penelitian
P
Menggunakan larutan standar
congo red 25 ppm
Penentuan panjang gelombang maksimum
Kurva dibuat dari larutan standar
congo red pada panjang
gelombang maksimum Pembuatan kurva
standar congo red
Optimasi
Preparasi zeolit Analisis dengan XRD
Optimasi waktu yaitu pada menit ke- 5, 10, 20, 30, 45, 60, 120,
dan 180
Optimasi pH yaitu pada pH 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 Menggunakan TiO2 Impregnasi TiO2 ke dalam zeolit Pembuatan larutan congo red
Membuat larutan induk 1000 ppm, larutan sampel 25 ppm, serta larutan
standar 5, 10, 15, 20, & 25 ppm
Analisis dengan XRD dan IR
Degradasi larutan sampel congo red 25
ppm pada kondisi optimum
Menggunakan TiO2/zeolit
Menggunakan zeolit Tanpa katalis
3.4 Prosedur Kerja
3.4.1 Pembuatan larutan HCl 0,05 M
Sebanyak 0,40 mL larutan HCl 37% diambil dengan pipet volume dan dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan dengan akuadem sampai tanda batas.
3.4.2 Pembuatan larutan NaOH 0,1 M
Sebanyak 0,40 g NaOH ditimbang dengan teliti dan dilarutkan dengan akuadem dalam gelas piala, kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 100 mL serta ditambahkan akuadem sampai tanda batas.
3.4.3 Pembuatan larutan H2O2 15%
Sebanyak 5,00 mL larutan H2O2 30% diambil dan dipindah ke dalam labu
ukur 10 mL, kemudian ditambahkan dengan akuadem sampai tanda batas.
3.4.4 Pembuatan larutan induk congo red 1000 ppm
Sebanyak 1,000 g congo red ditimbang dengan teliti dan dilarutkan dengan akuadem dalam gelas piala, kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 1000 mL serta ditambahkan akuadem sampai tanda batas.
3.4.5 Pembuatan larutan standar congo red
Sebanyak 0,50; 1,00; 1,50; 2,00 dan 2,50 mL diambil dari larutan induk
congo red 1000 ppm dengan menggunakan buret. Masing-masing larutan
dimasukkan dalam labu ukur 100 mL dan ditambahkan akuadem sampai tanda batas, sehingga diperoleh larutan standar congo red dengan konsentrasi berturut-turut 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm.
3.4.6 Pembuatan larutan sampel congo red
Sebanyak 12,50 mL larutan induk congo red 1000 ppm diambil menggunakan buret. Larutan dimasukkan dalam labu ukur 500 mL dan ditambahkan akuadem sampai tanda batas, sehingga diperoleh larutan sampel
congo red dengan konsentrasi 25 ppm.
3.4.7 Penentuan panjang gelombang maksimum congo red
Larutan standar congo red 25 ppm diukur absorbansinya dengan alat spektrofotometer UV-Vis untuk mendapatkan panjang gelombang maksimum dari larutan congo red. Panjang gelombang maksimum diperoleh dari absorbansi tertinggi yang dibaca alat pada larutan congo red. Sebelum dilakukan pengukuran absorbansi larutan standar congo red 25 ppm, dilakukan pengukuran absorbansi larutan blangko terlebih dahulu pada spektrofotometer UV-Vis. Larutan blangko yang digunakan adalah akuadem.
3.4.8 Pembuatan kurva standar congo red
Kurva standar congo red diperoleh dari pengukuran absorbansi larutan standar congo red dengan konsentrasi 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm. Masing-masing konsentrasi diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum dengan blangko akuadem. Dari pengukuran tersebut diperoleh absorbansi dari masing-masing konsentrasi larutan standar. Dari data tersebut dibuat kurva standar hubungan antara absorbansi terhadap konsentrasi yang kemudian ditentukan persamaan garis regresi liniernya. Persamaan regresi linier secara umum: y = a + bx , dengan sumbu x sebagai
3.4.9 Pembuatan katalis untuk degradasi congo red
Pada penelitian ini, katalis yang digunakan untuk mendegradasi congo red adalah TiO2/zeolit. Katalis TiO2/zeolit disintesis melalui impregnasi TiO2 ke
dalam zeolit alam. Zeolit alam diperoleh dari daerah Turen Malang.
3.4.9.1 Preparasi zeolit
Sebanyak 100 g zeolit alam ditimbang, digerus sampai halus, lalu diayak dengan ayakan 200 mesh. Zeolit alam hasil ayakan ditambah 2 L akuadem sambil diaduk selama 5 jam. Zeolit dipisahkan dan dikeringkan dalam oven kemudian dikalsinasi pada temperatur 4000C selama 5 jam (Fatimah, et al., 2006). Hasil
yang diperoleh dianalisis dengan XRD (X-ray diffraction) untuk mengetahui struktur kristal dari zeolit alam tersebut.
3.4.9.2 Impregnasi TiO2 ke dalam zeolit
Fotokatalis TiO2/zeolit dibuat dengan cara mencampurkan 20 g zeolit yang
telah disiapkan pada butir 3.4.9.1 dengan 1 g TiO2 dan ditambah dengan 20 mL
etanol absolut. Campuran diaduk dengan pengaduk magnet selama 5 jam. Setelah itu campuran dikeringkan dalam oven pada temperatur 1200C selama 5 jam. Hal
ini dilakukan untuk membersihkan pori-pori zeolit dari partikel TiO2 yang tidak terikat dengan baik pada permukaan zeolit tersebut. Setelah kering TiO2/zeolit
digerus sampai halus dan dikalsinasi pada temperatur 4000C selama 5 jam
(Fatimah, et al., 2006). Hasil yang diperoleh dianalisis dengan XRD (X-ray
diffraction) dan spektroskopi infra red (IR). Analisis dengan XRD dilakukan
sedangkan analisis dengan IR untuk mengetahui ikatan yang terbentuk antara TiO2 dan zeolit.
3.4.10 Penentuan waktu degradasi optimum
Penentuan waktu degradasi optimum dilakukan dengan menggunakan larutan sampel congo red 25 ppm sebanyak 500 mL dalam gelas piala 1000 mL. Larutan ditambah dengan 0,50 g TiO2/zeolit dan 100 µL H2O2 15%. Larutan
dihomogenkan selama 15 menit dan diirradiasi menggunakan sinar UV (3x8 watt) selama 3 jam. Selang menit ke 5, 10, 20, 30, 45, 60, 120, dan 180 menit, larutan hasil degradasi diambil sebanyak 5 mL, lalu diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimumnya dengan blangko akuadem. Selama proses irradiasi larutan tetap dalam keadaan dihomogenkan dengan pengaduk magnetik. Setelah itu dilakukan perhitungan konsentrasi dengan memasukkan absorbansi yang terbaca ke dalam persamaan kurva standar congo red. Waktu yang menunjukkan degradasi terbesar merupakan waktu degradasi optimum.
3.4.11 Penentuan pH optimum
Penentuan pH optimum untuk degradasi congo red dilakukan dengan menggunakan larutan sampel congo red 25 ppm sebanyak 500 mL dalam gelas piala 1000 mL. Larutan diatur pH-nya kemudian ditambah 0,50 g TiO2/zeolit dan
100 µL H2O2 15%, lalu dihomogenkan selama 15 menit. Pengaturan pH dilakukan
pada kondisi pH 4, 5, 6 dengan penambahan HCl 0,05 M dan pH 7, 8, 9 dengan penambahan NaOH 0,1 M.
Pada masing-masing kondisi pH, larutan diirradiasi menggunakan sinar UV (3x8 watt) dalam reaktor selama waktu optimum (butir 3.4.10) sambil dihomogenkan dengan pengaduk magnetik. Larutan hasil degradasi diambil sebanyak 5 mL, lalu diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimumnya. Blangko yang digunakan adalah akuadem ditambah HCl atau NaOH. Absorbansi yang terbaca dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar untuk mengetahui konsentrasi congo red sisa. Kondisi pH yang menunjukkan degradasi terbesar pada larutan congo red digunakan sebagai pH optimum.
3.4.12 Degradasi larutan sampel congo red
Sebanyak 500 mL larutan sampel congo red 25 ppm dalam gelas piala 1000 mL diatur pH-nya pada pH optimum (butir 3.4.11). Larutan ditambah 100 µL H2O2 15%, dihomogenkan selama 15 menit dan diirradiasi menggunakan sinar
UV (3x8 watt) dalam reaktor selama waktu optimum (butir 3.4.10). Selama proses irradiasi larutan tetap dalam keadaan dihomogenkan dengan pengaduk magnetik. Larutan yang telah didegradasi diambil sebanyak 5 mL, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimumnya. Blangko yang digunakan adalah akuadem ditambah HCl atau NaOH. Absorbansi yang terukur dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar untuk mengetahui konsentrasi congo red sisa.
3.4.13 Degradasi larutan sampel congo red dengan TiO2/zeolit pada kondisi optimum
Sebanyak 500 mL larutan sampel congo red 25 ppm dalam gelas piala 1000 mL diatur pH-nya pada pH optimum. Larutan ditambah 0,5 g TiO2/zeolit
dan 100 µL H2O2 15%, dihomogenkan selama 15 menit dan diirradiasi
menggunakan sinar UV (3x8 watt) dalam reaktor selama waktu optimum. Selama proses irradiasi larutan tetap dalam keadaan dihomogenkan dengan pengaduk magnetik Larutan yang telah didegradasi diambil sebanyak 5 mL, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimumnya. Blangko yang digunakan adalah akuadem ditambah HCl atau NaOH. Absorbansi yang terukur dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar untuk mengetahui konsentrasi congo red sisa.
3.4.14 Penentuan pengaruh TiO2 terhadap degradasi congo red
Sebanyak 500 mL larutan sampel congo red 25 ppm dalam gelas piala 1000 mL diatur pH-nya pada pH optimum. Larutan ditambah dengan 0,5 g TiO2
dan 100 µL H2O2 15%, dihomogenkan selama 15 menit dan diirradiasi
menggunakan sinar UV (3x8 watt) dalam reaktor selama waktu optimum. Selama proses irradiasi larutan tetap dalam keadaan dihomogenkan dengan pengaduk magnetik Larutan yang telah didegradasi diambil sebanyak 5 mL, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimumnya. Blangko yang digunakan adalah akuadem ditambah HCl atau NaOH. Absorbansi yang terukur dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar
3.4.15 Penentuan pengaruh zeolit terhadap degradasi congo red
Sebanyak 500 mL larutan sampel congo red 25 ppm dalam gelas piala 1000 mL diatur pH-nya pada pH optimum. Larutan ditambah dengan 0,5 g zeolit dan 100 µL H2O2 15%, dihomogenkan selama 15 menit dan diirradiasi
menggunakan sinar UV (3x8 watt) dalam reaktor selama waktu optimum. Selama proses irradiasi larutan tetap dalam keadaan dihomogenkan dengan pengaduk magnetik Larutan yang telah didegradasi diambil sebanyak 5 mL, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimumnya. Blangko yang digunakan adalah akuadem ditambah HCl atau NaOH. Absorbansi yang terukur dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar untuk mengetahui konsentrasi congo red sisa.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dilakukan proses degradasi zat warna congo red secara fotokatalitik menggunakan zeolit alam terimpregnasi TiO2 (TiO2/zeolit) ditambah
hidrogen peroksida serta penyinaran dengan lampu UV dengan daya 3x8 watt sebagai sumber radiasi. Penelitian ini juga mempelajari kondisi degradasi optimum melalui parameter waktu reaksi dan pH larutan.
4.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Congo Red
Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang yang memberikan nilai absorbansi maksimal dari senyawa yang diukur. Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan untuk mendapatkan kondisi analisis dengan kepekaan tinggi dan kesalahan yang kecil sehingga dapat digunakan untuk analisis larutan dalam konsentrasi rendah.
Penentuan kadar congo red yang telah terdegradasi dilakukan dengan mengukur absorbansi pada panjang gelombang maksimumnya. Nilai panjang gelombang maksimum diperoleh dari pengukuran absorbansi maksimum larutan standar congo red pada konsentrasi 25 ppm menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada daerah visibel (380-780 nm). Dari hasil pengukuran, panjang gelombang maksimum yang didapat adalah 498 nm. Selanjutnya panjang gelombang ini digunakan untuk pembuatan kurva standar dan penentuan kadar congo red sisa.
Gambar 4.1 Kurva panjang gelombang maksimum congo red
4.2 Pembuatan Kurva Standar Congo Red
Kurva standar congo red adalah hubungan antara konsentrasi congo red dan absorbansi congo red yang diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. Pembuatan kurva standar congo red dilakukan dengan melakukan variasi konsentrasi larutan standar congo red yaitu 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm. Larutan standar diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum (498 nm). Nilai absorbansi tersebut digunakan untuk menentukan persamaan linier dalam bentuk persamaan y = a + bx. Data pengukuran larutan standar congo red dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data pengukuran larutan standar congo red
No. Konsentrasi (ppm) Absorbansi
1. 5 0,1426
2. 10 0,2838
3. 15 0,4088
4. 20 0,5604
5. 25 0,6972
Kurva standar congo red dibuat berdasarkan data pada Tabel 4.1 dengan konsentrasi sebagai sumbu x dan absorbansi sebagai sumbu y. Dari penelitian ini didapatkan persamaan y = 0,0277x + 0,0028 dengan R2 sebesar 0,9994.
Persamaan regresi ini digunakan untuk menentukan konsentrasi sisa larutan congo
red setelah proses degradasi dengan cara memasukkan nilai absorbansi pada
fungsi y. Gambar 4.2 merupakan kurva standar congo red.
Gambar 4.2 Kurva standar congo red
y = 0.0277x + 0.0028 R² = 0.9994 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0 5 10 15 20 25 30 A b so rb an si Konsentrasi (ppm)
Kurva Standar Congo Red
4.3 Pembuatan Katalis untuk Degradasi Congo Red
Pada penelitian ini, katalis yang digunakan untuk mendegradasi congo red adalah TiO2/zeolit. Katalis TiO2/zeolit disintesis melalui impregnasi TiO2 ke
dalam zeolit alam. Zeolit alam diperoleh dari daerah Turen Malang.
4.3.1 Preparasi zeolit
Zeolit alam ditimbang 100 g kemudian digerus sampai halus dan diayak dengan pengayak 200 mesh. Penggerusan zeolit berfungsi untuk memperluas permukaan zeolit dan pengayakan zeolit dilakukan agar partikel zeolit berukuran sama besar. Pengayak 200 mesh adalah pengayak yang mempunyai 200 lubang pada tiap 1 cm2. Zeolit alam hasil ayakan ditambah 2 L akuadem sambil diaduk
selama 5 jam menggunakan pengaduk magnetik. Fungsi akuadem adalah sebagai pencuci yaitu menghilangkan pengotor yang larut akuadem. Zeolit dipisahkan dan dikeringkan dalam oven kemudian dikalsinasi pada temperatur ± 4000C selama 5
jam (Fatimah, et al., 2006). Pengeringan dalam oven berfungsi untuk menguapkan air yang masih tersisa pada zeolit sedangkan fungsi kalsinasi adalah membersihkan pori zeolit dari pengotor oksida logam. Kalsinasi zeolit dilakukan pada suhu ± 4000C agar struktur zeolit tidak rusak.
Zeolit alam yang telah dikalsinasi dianalisis menggunakan XRD untuk mengetahui struktur kristalnya dan dibandingkan dengan zeolit sebelum kalsinasi. Hasil XRD dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Difraktogram zeolit alam sebelum kalsinasi dan setelah kalsinasi
Pada difraktogram zeolit sebelum kalsinasi terdapat puncak pada 2 Theta: 9,82; 13,42; 19,69; 22,33; 25,66; 26,27; dan 27,69º dan pada difraktogram zeolit setelah kalsinasi terdapat puncak pada 2 Theta: 9,92; 13,45; 19,67; 22,32; 25,70; 26,31; dan 27,72º. Puncak-puncak tersebut merupakan puncak karakteristik mineral modernit alam sehingga dapat disimpulkan bahwa zeolit alam yang digunakan pada penelitian ini adalah zeolit alam jenis modernit.
Gambar 4.3 menunjukkan puncak difraktogram zeolit alam sebelum dan setelah kalsinasi tidak mengalami perubahan. Dengan kata lain, proses kalsinasi pada zeolit tidak menyebabkan perubahan difraktogram yang mengindikasikan bahwa tidak ada perubahan struktur zeolit.
10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Zeolit Sebelum Preparasi
10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 Coun ts *2 Theta
Zeolit Setelah Preparasi
Zeolit sebelum kalsinasi
Zeolit setelah kalsinasi
* 2 Theta Intensitas
4.3.2 Impregnasi TiO2 ke dalam zeolit
Fotokatalis TiO2/zeolit dibuat dengan cara mencampurkan 20 g zeolit yang
telah disiapkan dengan 1 g TiO2 dan ditambah dengan 20 mL etanol absolut.
Etanol absolut berfungsi sebagai media pendispersi. Campuran diaduk dengan pengaduk magnet selama 5 jam dan dikeringkan dalam oven pada temperatur 1200C selama 5 jam. Pengadukan dilakukan untuk membantu proses distribusi
TiO2 ke dalam zeolit. Pengeringan dalam oven dilakukan untuk membersihkan
pori-pori zeolit dari partikel TiO2 yang tidak terikat dengan baik pada permukaan zeolit tersebut. Setelah kering TiO2/zeolit digerus sampai halus dan dikalsinasi
pada temperatur ± 4000C selama 5 jam (Fatimah, et al., 2006).
Hasil impregnasi dianalisis menggunakan XRD dan dibandingkan dengan zeolit alam setelah kalsinasi untuk mengetahui ada tidaknya perubahan struktur zeolit akibat impregnasi dengan TiO2, kemudian dianalisis dengan IR untuk
mengetahui ikatan yang terbentuk antara TiO2 dan zeolit. Hasil XRD dapat dilihat
Gambar 4.4 Difraktogram TiO2, zeolit setelah kalsinasi dan TiO2/zeolit
Pada difraktogram TiO2 terdapat puncak pada 2 Theta 27,45 dan 36,10º
yang merupakan puncak karakteristik rutile sehingga dapat disimpulkan bahwa TiO2 yang digunakan pada penelitian ini adalah TiO2 dalam bentuk rutile.
Pada Gambar 4.4 terlihat bahwa puncak difraktogram zeolit setelah kalsinasi dan zeolit yang telah terimpregnasi TiO2 (TiO2/zeolit) tidak jauh
berbeda. Hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya impregnasi TiO2 tidak merubah
struktur zeolit. Akan tetapi, adanya penambahan TiO2 pada zeolit tidak
menyebabkan munculnya puncak khas TiO2 pada difraktogram TiO2/zeolit. Hal
10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 TiO2 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Zeolit Setelah Preparasi
10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 Coun ts *2 Theta TiO2/Zeolit
Zeolit setelah kalsinasi
TiO2/zeolit
TiO2
Intensitas
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 10 20 30 40 Tr an sm itt an (% ) Bilangan Gelombang (1/cm) TiO2/zeolit
Zeolit setelah kalsinasi
(Ulfa dan Prasetyoko, 2009). Impregnasi TiO2 kurang dari 10% mengakibatkan
puncak khas TiO2 tidak dapat diamati melalui analisis XRD, sehingga perlu
dilakukan analisis dengan IR. Spektra IR dari TiO2/zeolit dan zeolit setelah
kalsinasi dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Gambar 4.5 Perbandingan spektra IR TiO2/zeolit dan zeolit setelah kalsinasi
Pada spektra IR zeolit setelah kalsinasi muncul puncak pada bilangan gelombang 3417,86 cm-1 yang merupakanpuncak karakteristik OH. Puncak lain yaitu pada bilangan gelombang 2337,72 cm-1 yang merupakan serapan Ti-O dan
pada bilangan gelombang 1635,64 cm-1 yang merupakanpuncak khas zeolit. Pada
439.77 470.63 586.36 1635.64
2337.72
Serapan Ti – O Khas Zeolit Karakter TiO2 OH
spektra IR zeolit setelah kalsinasi juga muncul puncak pada bilangan gelombang 594,08 dan 478,35 cm-1 yang merupakan puncak khas TiO2.
Pada spektra IR TiO2/zeolit muncul puncak pada bilangan gelombang
3448,72 cm-1 yang merupakan puncak karakteristik OH. Puncak yang lain yaitu
pada bilangan gelombang 2337,72 cm-1 dan 1635,64 cm-1 yang masing-masing adalah puncak serapan Ti-O danpuncak khas zeolit. Pada spektra IR TiO2/zeolit
juga muncul puncak pada bilangan gelombang 586,36; 470,63; dan 439,77 cm-1 yang merupakan puncak khas TiO2.
Untuk membuktikan bahwa TiO2 telah terdistribusi pada permukaan zeolit
dilakukan pengamatan spektra khas TiO2 pada bilangan gelombang 690,5 - 420,5
cm-1. Luas area spektra khas TiO
2 pada TiO2/zeolit lebih besar dibanding spektra
zeolit, perbedaan luas ini menunjukkan adanya perbedaan jumlah vibrasi molekul. Luas area yang lebih besar pada TiO2/zeolit mengindikasikan bahwa jumlah
vibrasi TiO2 pada TiO2/zeolit lebih besar daripada zeolit, sehingga dapat
dipastikan bahwa telah terjadi penempelan TiO2 pada zeolit akibat proses
impregnasi.
4.4 Penentuan Waktu Degradasi Optimum
Pada penelitian ini, waktu optimum ditentukan berdasarkan nilai persen degradasi terbesar dari larutan congo red. Optimasi waktu dilakukan dengan cara melakukan variasi waktu pada proses degradasi larutan congo red yaitu pada 5, 10, 20, 30, 45, 60, 120 dan 180 menit. Larutan congo red ditambah dengan
fotokatalitik. Larutan diambil pada setiap menit ke 5, 10, 20, 30, 45, 60, 120, dan 180 untuk analisis kadar congo red sisa. Data penentuan waktu optimum degradasi congo red dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Data penentuan waktu optimum degradasi congo red
No. Waktu degradasi (menit) Absorbansi Persen degradasi
1. 5 0,5331 23,42 2. 10 0,5293 23,97 3. 20 0,4961 28,77 4. 30 0,4435 36,36 5. 45 0,4253 38,99 6. 60 0,3893 44,19 7. 120 0,3372 51,71 8. 180 0,4044 42,01
Dari Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa pada waktu 5 sampai 120 menit terjadi kenaikan persen degradasi dari 23,42% hingga 51,71%, sedangkan pada waktu 180 menit terjadi penurunan persen degradasi yaitu 42,01%. Persen degradasi menunjukkan banyaknya larutan congo red yang terdegradasi, sehingga semakin besar nilai persen degradasi maka larutan congo red yang terdegradasi semakin banyak. Persen degradasi terbesar berada pada menit ke 120, sehingga dapat disimpulkan bahwa waktu optimum degradasi larutan congo red pada penelitian ini berada pada waktu 120 menit. Kurva optimasi waktu degradasi
congo red dibuat berdasarkan data pada Tabel 4.2 dengan waktu sebagai sumbu x
dan persen degradasi sebagai sumbu y. Kurva optimasi waktu degradasi congo red dapat dilihat pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Kurva optimasi waktu degradasi congo red
4.5 Penentuan pH Optimum
Pada penelitian ini, pH optimum ditentukan berdasarkan persen degradasi terbesar dari larutan congo red. Optimasi pH dilakukan dengan cara melakukan variasi pH larutan congo red pada pH 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Larutan congo red dengan pH yang telah ditentukan ditambah dengan TiO2/zeolit dan H2O2
kemudian didegradasi selama 120 menit dalam reaktor fotokatalitik. Data pengukuran pH optimum degradasi congo red dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Data pengukuran pH optimum degradasi congo red
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 0 50 100 150 200 % D e gr ad asi Waktu (menit)
Kurva Optimasi Waktu
No. pH Absorbansi Persen Degradasi
1. 4 0,1259 82,18 2. 5 0,2382 65,98 3. 6 0,2495 64,37 4. 7 0,2564 63,36 5. 8 0,3491 49,95 6. 9 0,3590 48,42
Dari Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa semakin asam pH larutan congo red maka persen degradasi congo red semakin besar. Pada pH 9 larutan congo red yang terdegradasi hanya 48,42% sedangkan pada pH 4 terdegradasi hingga 82,18%. TiO2 pada pH asam bermuatan positif, sedangkan congo red merupakan
zat warna anionik yang dapat melepas muatan negatif. Adanya muatan positif dari TiO2 dan muatan negatif dari congo red menyebabkan terjadinya tarik-menarik
antara muatan congo red dan TiO2 sehingga degradasi semakin besar (Fangbai, et al., 2001).
Dari Tabel 4.3 dapat disimpulkan, hasil analisis pH optimum pada penelitian ini berada pada pH 4 yang ditandai dengan hasil persen degradasi
congo red terbesar. Kurva optimasi pH degradasi congo red dibuat berdasarkan
data pada Tabel 4.3 dengan pH sebagai sumbu x dan persen degradasi sebagai sumbu y. Kurva optimasi pH degradasi congo red dapat dilihat pada Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Kurva optimasi pH degradasi congo red
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 4 5 6 7 8 9 % D eg ra da si pH