• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT PENGETAHUAN DOKTER DI FK USU TERHADAP PENTINGNYA KOMUNIKASI DOKTER-PASIEN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINGKAT PENGETAHUAN DOKTER DI FK USU TERHADAP PENTINGNYA KOMUNIKASI DOKTER-PASIEN SKRIPSI"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh :

ANDRE CHAILES 170100130

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

TINGKAT PENGETAHUAN DOKTER DI FK USU TERHADAP PENTINGNYA KOMUNIKASI

DOKTER-PASIEN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

ANDRE CHAILES 170100130

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Tingkat Pengetahuan Dokter di FK USU Terhadap Pentingnya Komunikasi Dokter-Pasien

Nama Mahasiswa : Andre Chailes

NIM : 170100130

Program Studi : Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Komisi Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara Pembimbing

Dr. dr. T. Ibnu Alferraly, M.Ked(PA), Sp.PA, D. Bioeth.

NIP : 196202121989111001

Ketua Penguji Anggota Penguji

dr. Iman Helmi Effendi, M.Ked(OG), Sp.OG(K) dr. Bambang Prayugo, Sp.B., FICS NIP : 196804171998031001 NIP : 198002282005011003

Medan, 2020

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) NIP : 196605241992031002

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tingkat Pengetahuan Dokter di FK USU Terhadap Pentingnya Komunikasi Dokter-Pasien” tepat pada waktunya.

Dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. dr. T. Ibnu Alferraly, M.Ked(PA), Sp.PA, D. Bioeth, selaku Dosen Pembimbing yang dengan sepenuh hati telah banyak membantu, meluangkan waktu, memberikan arahan, ilmu serta motivasi sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan.

3. dr. Iman Helmi Effendi, M.Ked(OG)., Sp.OG(K), dan dr. Bambang Prayugo, Sp.B., FICS, selaku Ketua Penguji dan Anggota Penguji yang telah bersedia menguji, memberikan masukan dan saran yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini.

4. dr. Refli Hasan, Sp.PD, KKV, FINASIM, Sp.JP(K), selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memberikan motivasi selama masa perkuliahan.

5. Seluruh responden dokter yang telah berjasa dan sukarela meluangkan waktunya demi mengisi kuesioner sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar.

6. Kedua Orangtua serta saudara-saudara penulis yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan dan semangat yang tidak pernah berhenti hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

7. Rekan satu tim bimbingan penelitian Khairil Azmi, rekan-rekan senior khususnya Veronica, S.ked dan Tifanny Tantoso, S.ked yang telah

(5)

membantu dan membimbing penulis serta memberikan motivasi dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh teman seperjuangan angkatan 2017, yang telah memberikan berbagai bantuan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi penelitian ini masih belum sempurna. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca baik untuk dokter, mahasiswa maupun masyarakat.

Medan, 10 Desember 2020 Penulis,

Andre Chailes NIM 170100130

(6)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi... iv

Daftar Gambar ... vii

Daftar Tabel ... viii

Daftar Singkatan... ix

Abstrak ... x

Abstract ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Hakikat Pengetahuan ... 5

2.1.1 Pengertian Pengetahuan ... 5

2.1.2 Tingkat Pengetahuan ... 5

2.1.3 Cara Pengukuran Pengetahuan ... 8

2.2 Komunikasi ... 8

2.2.1 Pengertian Komunikasi ... 8

2.2.2 Jenis-Jenis Komunikasi ... 9 Halaman

(7)

2.2.3 Tingkat Komunikasi ... 10

2.3 Komunikasi Dokter-Pasien ... 12

2.3.1 Dasar Komunikasi Dokter-Pasien ... 12

2.3.2 Teknik Komunikasi Dokter-Pasien ... 15

2.3.3 Tujuan Dan Manfaat Komunikasi Dokter-Pasien ... 22

2.4 Profesionalisme ... 23

2.5 Kerangka Teori ... 26

2.6 Kerangka Konsep ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

3.1 Rancangan Penelitian ... 28

3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian ... 28

3.2.1 Tempat Penelitian... 28

3.2.2 Waktu Penelitian ... 28

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 28

3.3.1 Populasi Penelitian ... 28

3.3.2 Sampel Penelitian ... 29

3.3.3 Estimasi Besar Sampel ... 29

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 30

3.4.1 Jenis Data ... 30

3.4.2 Uji Validitas Dan Reliabilitas ... 30

3.5 Metode Analisis Data ... 31

3.5.1 Pengolahan Data... 31

3.5.2 Analisis Data ... 32

3.6 Definisi Operasional ... 33

(8)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34

4.1 Hasil Penelitian ... 34

4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... 34

4.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden ... 34

4.1.3 Tingkat Pengetahuan ... 37

4.2 Pembahasan ... 41

4.2.1 Tingkat Pengetahuan ... 41

4.2.2 Jawaban Responden Pada Tiap Item Pertanyaan ... 44

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

LAMPIRAN ... 53

Lampiran A. Daftar Riwayat Hidup Penulis ... 53

Lampiran B. Surat Pernyataan Orisinalitas ... 534

Lampiran C. Ethical Clearance Penelitian ... 566

Lampiran D. Surat Izin Penelitian ... 577

Lampiran E. Lembar Penjelasan Kepada Calon Responden ... 588

Lampiran F. Lembar Persetujuan Responden ... 599

Lampiran G. Kuesioner Penelitian ... 60

Lampiran H. Data Induk Penelitian ... 644

Lampiran I. Output SPSS ... 666

(9)

DAFTAR GAMBAR

2.1 Kerangka Teori Penelitian ... 26 2.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 27

Halaman Nomor

(10)

DAFTAR TABEL

3.1 Definisi Operasional………. ... 33 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 34 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 35 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat dan

Lama Praktik ... 35 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidkan

Terakhir Akademik ... 36 4.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

Terakhir Spesialis ... 36 4.6 Distribusi frekuensi responden terhadap tingkat

pengetahuan ... 37 4.7 Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan

Jenis Kelamin ... 37 4.8 Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan

Usia... 38 4.9 Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan

Pendidikan Terakhir Akademik ... 38 4.10 Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan

Pendidikan Terakhiar Spesialis ... 39 4.11 Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan

Lama Praktik ... 40 4.12 Distribusi frekuensi pengetahuan responden terhadap

komunikasi dokter-pasien ... 40 Halaman Nomor

(11)

DAFTAR SINGKATAN

FK : Fakultas Kedokteran

IDI : Ikatan Dokter Indonesia

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia KKI : Konsil Kedokteran Indonesia

RS : Rumah Sakit

RSU : Rumah Sakit Umum

SKDI : Standar Kompetensi Dokter Indonesia SPSS : Statistical Product and Service Solutions USU : Universitas Sumatera Utara

UU : Undang-Undang

WHO : World Health Organization

(12)

ABSTRAK

Latar Belakang: Dalam kehidupan sehari-hari, dokter tentunya tidak akan terlepas dari tindakan berkomunikasi dengan pasien. Komunikasi dokter-pasien diartikan sebagai komunikasi yang berlangsung antara dokter, sebagai ahli pengobatan, dengan pasien sebagai orang yang diobati.

Kompentensi berkomunikasi dengan pasien wajib dikuasai oleh dokter. Untuk dapat melakukan komunikasi ini dengan baik setiap dokter wajib memiliki pengetahuan cara berkomunikasi yang baik. Kelemahan dalam komunikasi ini merupakan masalah yang serius bagi dokter sehingga tidak boleh dibiarkan. Tujuan: Mengetahui tingkat pengetahuan dokter di FK USU terhadap pentingnya komunikasi dokter-pasien. Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan desain penelitian potong lintang (cross sectional), dan dilakukan di FK USU. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS. Hasil: Dari hasil penelitian diperoleh bahwa tingkat pengetahuan dokter terhadap komunikasi dokter-pasien di FK USU dari total 71 responden, 83.1% pada kategori baik, 14.1%

pada kategori cukup dan 2.8% pada kategori kurang. Kesimpulan: Dokter di FK USU secara kesuluruhan telah memiliki pengetahuan yang baik mengenai komunikasi dokter-pasien.

Kata Kunci : Pengetahuan, Komunikasi, Dokter-Pasien

(13)

ABSTRACT

Background: While carrying out its duties, doctors certainly cannot be separated from the act of communicating with patients. Doctor-patient communication is defined as ongoing communication between doctors, as a medic, with the patient as the treated person. This communication skills are important and therefore must be mastered by doctors. But before that, doctors must have adequate knowledge of how to communicate properly and effectively with patients. Lack of this communication skill will be a serious problem so it should not be ignored. Objective: To determine the doctors level of knowledge about doctor-patient communication. Methods: This study was conducted in descriptive with cross sectional approach. The data were collected by distributing the questionnaire of 15 questions to 71 doctors who were still actively teaching at Faculty of Medicine, University of North Sumatera. The collected data then analyzed using SPSS computer program.

Results: The results showed that most of the doctor that work on Faculty of Medicine, University of North Sumatera, 83.1% of the samples were in good category of knowledge, 14.1% of the samples were in adequate category of knowledge, the rest 2.8% of the samples were in lack category of knowledge. Conclusion: Majority of the doctor have a good level of knowledge about doctor-patient communication.

Keywords : Knowledge, Communication, Doctor-Patient

(14)

1.1 LATAR BELAKANG

Kesehatan merupakan aspek penting dan berharga bagi semua orang.

Mereka rela pergi ke luar negeri serta membayar harga tinggi demi mendapatkan pelayanan medis yang lebih baik. Penduduk Indonesia, pada kenyataannya, sering melakukan perjalanan ke luar Indonesia untuk mendapatkan perawatan medis.

Indonesia Services Dialog telah melaporkan bahwa jumlah turis kesehatan Indonesia mencapai 350.000 pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 600.000 pada tahun 2015 (Saragih dan Jonathan, 2019).

Berdasarkan data yang dikutip dari (Katadata, 2019), Dalam kurun waktu 9 tahun, jumlah pasien Indonesia yang berobat ke mancanegara melonjak hampir 100 persen. Pasien beralasan lebih percaya dengan hasil perawatan medis di luar negeri karena teknologinya yang lebih canggih, ketepatan diagnosis, mutu pelayanan dan pengawasan kesehatan yang baik serta jarang ditemukan adanya problem komunikasi pasien terhadap dokter dan tenaga medis dibandingkan di dalam negeri. Beberapa pasien juga merasa lebih nyaman berobat ke luar negeri karena dapat berkonsultasi dengan dokter hingga 1 jam (Ganiem, 2016).

Sebuah survei global pernah dilaksanakan dan diperoleh hasil dimana komunikasi antara dokter dan pasien yang berlangsung secara efektif merupakan kunci dalam perawatan sehingga penegakkan diagnosis menjadi lebih cepat dan akurat pada pasien nyeri saraf. Menurut American Society of Internal Medicine, komunikasi yang baik ternyata berhasil menurunkan angka keluhan dan tuntutan hukum terhadap dokter. Hal ini menunjukkan kebanyakan pasien mengeluh bukan karena kemampuan dokternya, tetapi merasa kurang diperhatikan (Wahyuni et al., 2013).

Penelitian yang selaras juga pernah dilakukan di RS Royal Perth Australia dan didapatkan kebanyakan keluhan pasien terhadap dokter terkait dengan komunikasi bukan kompetensi klinis (Ha dan Longnecker, 2010). Masalah

(15)

pentingnya komunikasi juga dialami di RS William Booth, Semarang, dengan adanya beberapa faktor yang menyebabkan penurunan jumlah pasien rawat jalan mata dan operasi katarak. Salah satu faktornya berhubungan dengan komunikasi dokter-pasien (Dewi et al., 2017).

Studi lain juga menemukan bahwa akhir-akhir ini konflik pasien terhadap dokter meningkat ditandai dengan maraknya kasus litigasi terhadap dokter. Insiden seperti itu tidak hanya mengerikan tetapi juga memalukan bagi profesi medis yang luhur. Ditemukan salah satu faktornya merupakan komunikasi yang buruk antara dokter dan pasien (Ranjan et al., 2015).

Masalah mengapa pasien berobat keluar negeri salah satunya dipicu komunikasi yang mengecewakan dari dokter. MKDKI juga mengonfirmasi hal ini.

Menurut MKDKI, sekitar 45 persen pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter berkaitan dengan kesalahan berkomunikasi (Kemenkes, 2018). Pada tahun 2019, Kane melakukan sebuah survei terhadap 4300 dokter dan hasilnya hampir 50 persen dokter berpendapat komunikasi yang baik dapat mencegah terjadinya gugatan pasien (Medscape, 2019).

Dari beberapa data tersebut maka faktor yang paling sering ditemukan bermasalah adalah komunikasi. Berkomunikasi dengan orang lain tampaknya merupakan hal yang sederhana, tetapi jika dipikir-pikir terkadang tidak mudah untuk dapat berkomunikasi dua arah secara lancar. Terkadang hal-hal yang ingin kita sampaikan diterima secara berbeda oleh orang lain. Perbedaan persepsi antara si pemberi pesan dan si penerima pesan sering kali membuat hubungan diantara keduanya menjadi “kurang harmonis”. Hal seperti ini juga sering terjadi dalam komunikasi antara dokter dengan pasien (Ismawati, 2009).

Dalam profesi kedokteran, komunikasi merupakan kompetensi yang harus dikuasai dimana komunikasi harus berlangsung dalam kedudukan setara (tidak superior-inferior) supaya pasien mau/dapat menceritakan sakit/keluhan yang dialaminya secara jujur dan jelas. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan komunikasi tidak efektif akan mengundang masalah (KKI, 2006).

(16)

Hubungan kerjasama pasien dengan keberhasilan atau kegagalan perawatan medis sangat tergantung pada kualitas komunikasi dokter-pasien. Kunci utama diagnosis dalam praktik kedokteran ialah melalui anamnesis. Seorang dokter melakukan hingga ±200.000 anamnesis dengan pasien dan keluarga mereka dalam perjalanan kariernya. Dalam praktiknya, sepertiga dari waktu dokter diambil untuk anamnesis dan hampir tujuh puluh persen dari semua diagnosis dapat dibuat berdasarkan anamnesis (Fritzsche et al., 2014).

Oleh karena itu, kita sebagai dokter baik dokter umum maupun dokter spesialis hingga mahasiswa kedokteran yang nantinya akan berinteraksi langsung dengan pasien wajib mempelajari cara berkomunikasi yang baik dan benar.

Berdasarkan pentingnya komunikasi dokter-pasien ini, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini dan diharapkan penelitian ini nantinya dijadikan upaya untuk peningkatan kualitas komunikasi dokter-pasien.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan peneliti sebagai berikut :

“Bagaimana Tingkat Pengetahuan Dokter di FK USU Terhadap Pentingnya Komunikasi Dokter-Pasien?”

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 TUJUAN UMUM

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dokter di Fakultas Kedokteran USU terhadap pentingnya komunikasi dokter-pasien.

1.3.2 TUJUAN KHUSUS

Yang menjadi tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dokter terhadap komunikasi dokter-pasien pada tingkat baik, cukup dan kurang.

(17)

2. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dokter terhadap komunikasi dokter-pasien berdasarkan jenis kelamin.

3. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dokter terhadap komunikasi dokter-pasien berdasarkan usia.

4. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dokter terhadap komunikasi dokter-pasien berdasarkan pendidikan.

5. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dokter terhadap komunikasi dokter-pasien berdasarkan lama praktik.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Bagi Dokter, Mahasiwa, dan Pembaca

Untuk menambah pengetahuan & informasi mengenai bagaimana cara berkomunikasi yang baik dan benar antara dokter dan pasien.

2. Bagi Pihak Fakultas Kedokteran USU

Untuk dapat menjadikan informasi ini sebagai acuan dalam mempertimbangkan perlunya mengadakan pelatihan terkait komunikasi kepada dokter untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.

3. Bagi Peneliti

Untuk mengembangkan kemampuan di bidang penelitian, memperoleh ilmu mengenai cara komunikasi yang baik untuk meningkatan keterampilan komunikasi peneliti saat berhubungan dengan pasien nantinya.

4. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian dengan tema yang sama.

(18)

2.1.1 PENGERTIAN PENGETAHUAN

Kita mungkin sudah sering mendengar kutipan “Knowledge is Power”

yang artinya dengan pengetahuan, akan memudahkan kita dalam memecahkan suatu masalah sehingga pengetahuan sangatlah penting. Pengertian pengetahuan menurut KBBI adalah segala sesuatu yg diketahui; kepandaian ataupun segala sesuatu yg diketahui berkenaan dengan hal mata pelajaran (KBBI, 2016).

Pengetahuan adalah sumber informasi dan erat kaitannya dengan ilmu.

Untuk memiliki satu pengetahuan individu perlu melakukan suatu proses yang disebut belajar. Belajar yang dimaksud tidak selalu harus dilakukan melalui proses belajar mengajar disekolah saja, tetapi dapat juga melalui pengamatan, membaca literatur, dan pengalaman. Pengetahuan diperoleh setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, melalui panca indra manusia, yakni:

indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba dimana sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

Maka dapat disimpulkan pengetahuan adalah suatu hasil dari keingintahuan kita terhadap sesuatu yang dilakukan melalui indra sensorik manusia dan pengetahuan sendiri tidak harus diperoleh melalui institusi pendidikan.

2.1.2 TINGKAT PENGETAHUAN

Tingkat pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007) mempunyai enam tingkatan yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang

(19)

telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan, menyimpulkan, memberikan contoh dan mampu menginterpretasikan suatu materi yang telah dipelajari secara benar.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih berkaitan satu sama lain seperti melakukan pengelompokkan, pemisahan, membuat suatu bagan, dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu bentuk kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang telah ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang menurut Mubarak (2007), yaitu:

1. Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi yaitu lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang. Bila ekonomi baik, tingkat pendidikan tinggi, tingkat pengetahuan akan tinggi juga. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang dilakukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

(20)

2. Pendidikan

Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin mudah dalam menerima informasi, sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.

Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru dikenal.

3. Usia

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambahnya usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada individu usia madya juga lebih sering menggunakan waktunya untuk membaca dan lebih aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial.

4. Pekerjaan

Pekerjaan merupakan serangkaian tugas atau kegiatan yang harus dilaksanakan atau diselesaikan oleh seseorang sesuai dengan jabatan atau profesi masing- masing. Status pekerjaan yang rendah sering mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Pekerjaan biasanya sebagai simbol status sosial di masyarakat. Masyarakat akan memandang seseorang dengan penuh penghormatan apabila pekerjaannya adalah pegawai negeri atau pejabat di pemerintahan.

5. Media Massa/Informasi

Informasi dapat diperoleh di rumah, di sekolah, lembaga organisasi, media cetak dan tempat pelayanan kesehatan.

Menurut Notoatmodjo (2007) terdapat beberapa cara untuk memperoleh pengetahuan, yaitu:

1. Cara kuno atau non modern

Cara kuno atau tradisional dipakai untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan statistik.

2. Cara modern

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan lebih sistematis, logis, dan alamiah. Cara ini disebut “metode penelitian ilmiah” atau lebih populer disebut metodologi penelitian.

(21)

2.1.3 CARA PENGUKURAN PENGETAHUAN

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket kemudian menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden ke dalam pengetahuan yang ingin diukur dan disesuaikan dengan tingkatannya (Arikunto, 2010).

Jenis pertanyaan yang dapat digunakan unuk pengukuran pengetahuan secara umum dibagi menjadi dua jenis yaitu :

1. Pertanyaan subjektif

Penggunaan pertanyaan subjektif dengan jenis pertanyaan essay digunakan dengan penilaian yang melibatkan faktor subjektif dari penilai, sehingga hasil nilai akan berbeda dari setiap penilai dari waktu ke waktu.

2. Pertanyaan objektif

Jenis pertanyaan objektif seperti benar salah, pilihan ganda (multiple choice), dan pertanyaan menjodohkan yang dapat dinilai secara pasti.

Menurut Arikunto (2010) pengukuran tingkat pengetahuan dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:

1. Pengetahuan baik bila responden dapat menjawab 76-100% dengan benar dari total jawaban pertanyaan.

2. Pengetahuan cukup bila responden dapat menjawab 56-75% dengan benar dari total jawaban pertanyaan.

3. Pengetahuan kurang bila responden dapat menjawab <56% dari total jawaban pertanyaan.

2.2 KOMUNIKASI

2.2.1 PENGERTIAN KOMUNIKASI

Dalam kehidupan sehari – hari, kita tidak dapat terlepas dari sebuah aktivitas komunikasi yang dapat terjadi dimana pun kita berada baik di rumah, di sekolah, di kampus, di rumah sakit, di kantor, hingga di lingkungan masyarakat.

Dapat dikatakan bahwa komunikasi juga memegang peran yang cukup penting

(22)

dalam dunia kesehatan. Mulai dari komunikasi antar tenaga medis hingga antara tenaga medis dengan pasien. Komunikasi yang dilakukan pun tidak semuanya dalam bentuk verbal, tak jarang pesan yang disampaikan dapat melalui mimik wajah ataupun gerak tubuh.

Secara umum, definisi komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pikiran-pikiran atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang lain tersebut mengerti apa yang dimaksud oleh penyampai pikiran-pikiran atau informasi (Koontz, 1988, pp. 461-465). Secara sederhana, Arti dari komunikasi menurut KBBI yaitu pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.

Menurut Potter dan Perry (1993) komunikasi terjadi pada tiga tingkatan yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik. Komunikasi juga dibagi menjadi tiga jenis yaitu verbal, tertulis dan non-verbal (Purba, 2003).

Dari beberapa pengertian tersebut maka pengertian komunikasi secara umum adalah proses pertukaran informasi antara pengirim dan penerima pesan yang dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung melalui media tertentu yang dapat menimbulkan efek tertentu.

2.2.2 JENIS-JENIS KOMUNIKASI

Jenis-jenis komunikasi terbagi menjadi 3 yaitu : 1. Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal ialah jenis komunikasi yang disampaikan secara lisan yang dilakukan secara langsung (tatap muka) atau tidak langsung, seperti melalui telepon. Komunikasi verbal merupakan komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit (Heri Zan Pieter, 2017).

2. Komunikasi Tertulis

Komunikasi tertulis merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan dalam bisnis, seperti komunikasi surat menyurat, pembuatan memo, laporan dan lain sebagainya. Fungsi komunikasi tertulis adalah :

a. Sebagai tanda bukti tertulis yang otentik, misalnya persetujuan operasi.

b. Alat pengingat/berpikir misalnya surat yang telah diarsipkan.

(23)

c. Dokumentasi historis misalnya surat dalam arsip yang digali kembali untuk mengetahui perkembangan masa lampau.

d. Jaminan keamanan seperti surat keterangan jalan.

e. Pedoman atau dasar bertindak, misalnya surat keputusan, maupun surat perintah (Alfitri, 2006).

3. Komunikasi Non-verbal

Komunikasi non-verbal menurut Mark L Knapp biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis (Mulyana, 2009). Hardjana juga mendefinisikan komunikasi non-verbal sebagai penciptaan dan pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata-kata seperti komunikasi yang menggunakan gerakan tubuh, sikap, kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak, dan sentuhan (Hardjana, 2003). Dengan demikian komunikasi non-verbal mencakup seluruh komunikasi yang dilakukan selain menggunakan bahasa lisan (Susanto, 2016).

2.2.3 TINGKAT KOMUNIKASI

2.2.3.1 KOMUNIKASI INTERPERSONAL

Menurut Joseph A. Devito sebagaimana mendefinisikan komunikasi antarpribadi dengan “The process of sending and receiving messages, between two persons, or among a small group of person, with some effect and some immediate feedback.” Yaitu proses pengiriman dan penerimaan informasi antara dua orang atau beberapa orang dalam kelompok kecil, yang menimbulkan efek serta umpan balik. Menurut Deddy Mulyana, komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non-verbal (Nurdin, 2013).

Dari pemahaman atas prinsip-prinsip pokok pikiran yang terkandung dalam berbagai pengertian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi adalah proses penyampaian informasi

(24)

dari satu individu ke individu lain baik secara langsung (tanpa perantara) maupun tidak langsung (melalui perantara).

Dikutip dari (Suranto, 2011) komunikasi interpersonal merupakan suatu action oriented, ialah suatu tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Tujuan komunikasi interpersonal bermacam-macam, beberapa di antaranya adalah : 1. Mengungkapkan Perhatian Kepada Orang Lain

Salah satu tujuan komunikasi interpersonal adalah untuk mengungkapkan perhatian kepada orang lain dengan cara menanyakan kabar, melambaikan tangan, tersenyum dan sebagainya.

2. Menemukan Dunia Luar

Dengan komunikasi interpersonal kita dapat memperoleh kesempatan untuk bertukar informasi dengan orang lain, seperti informasi yang penting dan aktual.

3. Membangun dan Memelihara Hubungan yang Harmonis

Sebagai makhluk sosial, salah satu kebutuhan setiap orang yang paling besar adalah membentuk dan memelihara hubungan baik dengan orang lain.

4. Mencari Kesenangan atau Sekedar Menghabiskan Waktu

Ada kalanya seseorang melakukan komunikasi interpersonal untuk bertukar cerita, canda tawa sebagai hiburan dan mengisi waktu luang.

5. Menghilangkan Kerugian Akibat Salah Komunikasi

Komunikasi interpersonal dapat mengurangi kejadian salah komunikasi (miss communication) dan salah interpretasi (miss interpretation) yang terjadi pada pihak pemberi dan penerima pesan.

6. Memberikan Bantuan (Konseling)

Komunikasi interpersonal dapat juga dipakai sebagai alat untuk memberikan bantuan (konseling) bagi orang yang memerlukan. Tanpa disadari setiap orang ternyata sering bertindak sebagai konselor maupun konseling dalam interaksi interpersonal sehari hari.

2.2.3.2 KOMUNIKASI INTRAPERSONAL

Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang terjadi dengan diri sendiri. Ini merupakan dialog internal dan bahkan dapat terjadi saat bersama

(25)

dengan orang lain sekalipun. Sebagai contoh ketika anda bersama seseorang, apa yang anda pikirkan termasuk dengan komunikasi intrapersonal. Pada komunikasi intrapersonal seringkali mempelajari peran kognisi dalam perilaku manusia. Dalam konteks ini biasanya dilakukan berulang-ulang daripada dengan komunikasi lainnya. Uniknya lagi, komunikasi intrapersonal mencakup dimana kita bisa membayangkan, melamun, mempersepsikan dan memecahkan masalah dalam pikiran kita (Turner, 2009). Contoh dari komunikasi intrapersonal yang kita lakukan dalam sehari-hari seperti melamun, berpikir, berimajinasi dan berdoa.

2.2.3.3 KOMUNIKASI MASSA

Komunikasi massa dalam tinjauan praktis adalah proses penyampaian pesan dari komunikator (pengirim) kepada komunikan (penerima) dengan menggunakan media massa sebagai perantaranya. Dalam komunikasi massa, penerimanya ditujukan kepada massa. Itu jelas perbedaannya dengan komunikasi antarpribadi yang pesannya hanya dikirim secara personal bukan massal. Dalam komunikasi massa ini, saluran komunikasi yang lazim digunakan dapat berupa media massa cetak, elektronik, atau media massa online (Romli, 2017).

2.3 KOMUNIKASI DOKTER-PASIEN

2.3.1 DASAR KOMUNIKASI DOKTER-PASIEN

Dalam masyarakat, dokter adalah sosok yang penting terutama dalam menangani berbagai keluhan terkait penyakit pasien. Dalam Undang-Undang No.

29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mendefinisikan pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter sedangkan dokter adalah suatu pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.

Dalam (KKI, 2006), dokter adalah dokter lulusan pendidikan kedokteran baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik

(26)

Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Profesi dokter dibagi menjadi dua yaitu dokter umum dan dokter spesialis. Definisi dokter umum menurut KBBI adalah dokter yang belum mendalami keahlian pada jenis penyakit tertentu sedangkan dokter spesialis adalah dokter yang mengkhususkan keahliannya dalam satu bidang penyakit tertentu.

Dalam kehidupan sehari-hari, dokter tentunya tidak akan terlepas dari tindakan berkomunikasi dengan pasien. Komunikasi dokter-pasien dapat diartikan sebagai hubungan yang berlangsung antara dokter dengan pasiennya selama proses pemeriksaan/pengobatan/perawatan yang terjadi di ruang praktik perorangan, poliklinik, rumah sakit, dan puskesmas dalam rangka membantu menyelesaikan masalah kesehatan pasien (KKI, 2006).

Dalam melakukan komunikasi dokter-pasien, setiap dokter memiliki caranya masing-masing sehingga waktu yang dibutuhkan bervariasi sesuai kondisi dan kebutuhan pasien. Waktu yang moderat berada pada kisaran 8-15 menit atau sekitar 4 pasien dalam satu jam (IDI, 2008).

Dalam (Ganiem, 2016), pada sebuah kegiatan ilmiah tahun 1990, dihasilkan Pernyataan Konsesus Toronto terkait komunikasi dokter-pasien yaitu : 1. Komunikasi efektif antara dokter dan pasien merupakan fungsi utama klinis

yang tidak dapat didelegasikan.

2. Informasi untuk menegakkan diagnosis kebanyakan muncul dari wawancara medis, dan keahlian komunikasi dokter juga sangat menentukan kepuasan, kepatuhan, dan memberi pengaruh positif pada kesehatan pasien.

3. Keahlian mendengarkan pasien secara aktif merupakan salah satu kualitas seorang dokter yang dibutuhkan pasien.

4. Meningkatnya ketidakpuasan masyarakat terhadap profesi medis berhubungan dengan kurangnya komunikasi klinis.

5. Studi di beberapa negara telah mengonfirmasi bahwa komunikasi merupakan masalah serius di praktik kedokteran.

Keterampilan komunikasi sangatlah penting bagi seorang dokter. Menurut (WHO) untuk menjadi 5 star doctor, dokter wajib menjadi seorang komunikator yang baik. Menurut Kurtz (1988), apabila dokter mengaplikasikan teknik

(27)

komunikasi dokter-pasien, waktu yang diperlukan tidak lebih lama bahkan lebih sedikit apabila dilakukan secara efektif (KKI, 2006). Dokter dituntut harus dapat berkomunikasi yang baik dengan pasiennya. Hal ini penting dikarenakan banyaknya keluhan dan ketidakpuasan pasien terkait komunikasi dokter. Namun, banyak dokter berpikiran bahwa komunikasi yang mereka lakukan sudah sangat baik. Hal ini sesuai dengan survei yang dilakukan oleh Tongue et al., dimana 75%

dokter bedah ortopedi menyatakan komunikasi yang mereka lakukan sangat memuaskan, namun hanya 21% pasien menyatakan mereka puas dengan komunikasi dokternya (Ha dan Longnecker, 2010).

Adapun penelitian oleh Delamothe (1998) dalam buku (Berry, 2006) :

“The top three categories for what most influences a patient’s choice of good doctor were ‘how well the doctor communicates with patients and shows a caring attitude’,

‘explaining medical or technical procedures in an easy-tounderstand way’ and

‘listening and taking the time to ask questions’. In contrast, the aspects most highly rated by doctors were ‘number of years of practice’ and ‘whether the doctor had attended a well known medical school’”. Dari hasil tersebut, pasien berpendapat bahwa seseorang dikatakan dokter yang baik apabila dalam berkomunikasi mampu menunjukkan sikap peduli, memberikan informasi dalam bahasa yang mudah dimengerti, mendengarkan serta meluangkan waktunya untuk pasien sedangkan para dokter berpendapat untuk menjadi dokter yang baik harus memiliki pengalaman yang cukup lama serta merupakan alumni universitas terkenal. Maka dapat dilihat betapa pentingnya keterampilan komunikasi ini bagi pasien namun sering diabaikan oleh dokter.

Di masa lalu, pasien selalu menganggap dokter mereka sebagai orang tua mereka, pasien datang dalam keadaan sakit, takut sehingga menempatkan diri mereka ke posisi yang lebih rendah. Akhirnya dokter pun terbiasa mengambil alih situasi dan mengambil tindakan apapun untuk menyelamatkan pasien. Namun zaman telah berubah, pasien sudah tidak mentoleransi perilaku seperti itu dari dokter mereka. Pasien memiliki hak untuk menerima penjelasan terlebih dahulu mengenai diagnosis dokter dan pilihan perawatan yang ada bahkan mereka dapat

(28)

menentukan keputusan mereka sendiri tanpa adanya paksaan dari dokter.

Perubahan yang cepat ini tentunya meresahkan dokter dan pasien (O’Dowd, 2004).

Hal ini selaras dengan pendapat Neo (2011) dimana akibat perkembangan teknologi yang cepat, pasien dapat dengan mudah memperoleh informasi mengenai masalah kesehatannya, sehingga yang pasien harapkan adalah seorang dokter yang dapat mengutamakan komunikasi dokter-pasien dalam praktiknya.

Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 35 Tentang Praktik Kedokteran, dicantumkan bahwa kemampuan mewawancarai pasien merupakan kompentensi dalam praktik kedokteran. Oleh karena itu, dokter harus meningkatkan keterampilan ini agar dapat membangun kepercayaan pasien yang tidak hanya membantu keberhasilan terapi tetapi juga meningkatkan kepuasan dokter. Tidak semua dokter memiliki kemampuan komunikasi yang baik dari lahir sehingga dibutuhkan latihan (Ranjan et al., 2015).

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keterampilan komunikasi. Salah satunya yaitu dengan mengikuti seminar atau workshop karena akan disimulasikan secara langsung sehingga berbagai tips dan strategi akan diperoleh dalam waktu singkat. Dengan demikian diharapkan akan menurunkan angka ketidakpuasan pasien (Elwyn et al., 2017).

Kualitas komunikasi dokter-pasien dapat diukur menggunakan indikator yang diungkapkan de Vito sebagai berikut (Suparyo, 2015) :

1. Keterbukaan 2. Empati 3. Dukungan 4. Sikap positif 5. Kebersamaan

2.3.2 TEKNIK KOMUNIKASI DOKTER-PASIEN

Interaksi antara dokter dan pasien dimulai saat anamnesis. Anamnesis bertujuan untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai penyakit pasien untuk membantu diagnosis dan merencanakan terapi. Namun hal ini bergantung pada kesiapan, kemauan dan kepercayaan pasien untuk dapat

(29)

bekerjasama dengan dokter. Oleh karena itu, pengetahuan dan keterampilan komunikasi sangat esensial bagi dokter (Budi Setyawan, 2019).

Dikutip dari (Fritzsche et al., 2019) ada beberapa kesalahan umum yang sering dilakukan dokter saat berkomunikasi dengan pasien :

1. Memotong pembicaraan pasien, rata-rata setelah 18 detik 2. Komunikasi yang tidak terstruktur

3. Menggunakan pertanyaan sugestif dan tertutup 4. Gagal memperhatikan kondisi emosional pasien

5. Penjelasan yang tidak jelas mengenai temuan pemeriksaan, diagnosis, dan terapi 6. Komunikasi berlangsung secara vertikal.

Menurut O’Dowd (2004), terdapat beberapa keterampilan dan strategi yang harus dikuasai oleh dokter dalam mewawancarai pasien :

1. Mendengar aktif (Active listening)

Paling (2004) melakukan sebuah penelitian :

“The doctors stated that ‘diagnostic ability’ was the most important quality of a good doctor, whereas the patients said that ‘listening’ was the most important aspect. This latter aspect was rated as being least important by the doctors.”

Hasilnya adalah kebanyakan dokter berpendapat kemampuan mendiagnosis merupakan aspek paling penting untuk menjadi dokter yang baik, sedangkan bagi pasien adalah kemampuan listening (Berry, 2006, p. 43).

Kemampuan mendengar aktif merupakan alat diagnostik yang lebih baik daripada memberikan pertanyaan standar. Pasien juga akan merasa dokternya peduli dan mempunyai banyak waktu mendengarkan keluhan mereka.

Dikutip dari buku (Soetjiningsih et al., 2008) Ada beberapa cara untuk menjadi pendengar aktif :

a. Terimalah pasien apa adanya.

b. Dengarlah hal-hal yang diucapkan pasien dan cara menyatakannya serta perhatikan nada suara, kata-kata yang dipergunakan, ekspresi wajah dan bahasa tubuh.

c. Tempatkan diri pada sudut pandang pasien (empati).

(30)

d. Sekali-kali berikan jeda waktu bicara untuk memberi kesempatan pada pasien untuk berpikir, menanyakan sesuatu dan berbicara.

e. Ulangi hal-hal yang telah didengar sehingga pasien tahu bahwa kita benar- benar memahaminya.

f. Duduklah dengan nyaman, sedikit condong ke depan, hindari gerakan- gerakan yang dapat mengganggu jalannya komunikasi dan pandanglah pasien ketika dia berbicara.

2. Komunikasi non-verbal (Non-verbal communication)

Saat berkomunikasi dengan pasien, komponen verbal memang penting dikarenakan mencakup informasi tentang sifat, perjalanan, prognosis penyakit;

berbagai pilihan perawatan yang tersedia; sifat, biaya dan risiko/ manfaat prosedur invasif. Namun komponen komunikasi non-verbal juga tidak kalah penting, literatur menunjukkan bahwa hal itu secara signifikan mempengaruhi kepuasan pasien, kepatuhan pasien dan hasil klinis (Ranjan et al., 2015).

Menurut Leo (2011), Isyarat non-verbal, seperti bahasa tubuh, postur, ekspresi wajah dan kontak mata sangat berkontribusi dalam komunikasi dokter-pasien.

Nada, volume dan kecepatan bicara juga penting untuk diperhatikan saat berkomunikasi (Stewart dan Ontario, 2014). Dokter yang enggan berkomunikasi dan menunjukkan raut wajah yang tegang dan ekspresi wajah yang marah dan tidak ada senyum akan berdampak negatif bagi pasien. Pasien akan merasa tidak nyaman bahkan terancam dan tentunya akan berpengaruh terhadap proses penyembuhan pasien (Alfitri, 2006). Oleh karena itu, dokter harus menggunakan komunikasi non-verbal secara efektif untuk mengembangkan suasana yang mendukung, kenyamanan, kepercayaan, dan keamanan pasien.

3. Tujuan (Agendas)

Dokter dan pasien dapat memiliki tujuan yang berbeda. Tujuan utama dokter adalah mendiagnosis dan memberikan perawatan sedangkan tujuan utama pasien adalah untuk mencari tahu apa penyakitnya, penyembuhan, atau meyakinkan mereka bahwa tidak ada penyakit yang serius. Oleh karena itu, dokter dapat memberikan pertanyaan seperti “Menurut anda apa yang sedang terjadi, apa yang anda khawatirkan, dan bagaimana saya bisa membantu anda?”.

(31)

4. Empati (Empathize)

Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter memiliki keterampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih (KKI, 2006). Dalam SKDI, lulusan dokter dituntut untuk mampu berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya melalui komunikasi verbal dan non-verbal dengan melibatkan empati. Empati adalah kemampuan untuk mengerti dan memahami pandangan, perasaan, pikiran dan keinginan seseorang dengan cara menempatkan diri ke posisi orang lain. Studi lain juga menunjukkan empati dapat mengurangi kecemasan pasien (Harahap dan Graharti, 2018).

Bylund dan Makoul (2002) mengembangkan empati menjadi enam tingkat yang dikodekan dalam suatu sistem (The Empathy Communication Coding System/ECCS Levels). Berikut tingkatan empati tersebut :

a. Level 0 : Dokter menolak sudut pandang pasien

 Berkata yang menyakitkan

 Mengacuhkan dan tidak menyetujui pendapat pasien

 Membuat keputusan tanpa meminta persetujuan atau pendapat pasien b. Level 1 : Dokter mengenali sudut pandang pasien secara sambil lalu

 Dokter berkata : “Oh begitu” sambil mengerjakan hal lain c. Level 2 : Dokter mengenali sudut pandang pasien secara implisit

 Pasien : “Pusing saya ini membuat saya sulit bekerja”

 Dokter : “Ya...? Bagaimana bisnis Anda akhir-akhir ini?”

d. Level 3 : Dokter menghargai pendapat pasien

 “Anda bilang Anda sangat stres datang ke sini? Apa Anda mau menceritakan lebih jauh apa yang membuat Anda stres?”

e. Level 4 : Dokter mengkonfirmasi kepada pasien

 “Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti seberapa besar usaha Anda untuk menyempatkan berolah raga”

f. Level 5 : Dokter berbagi perasaan dan pengalaman dengan pasien

(32)

 “Ya, saya mengerti hal ini dapat mengkhawatirkan Anda berdua. Beberapa pasien pernah mengalami aborsi spontan, kemudian setelah kehamilan berikutnya mereka sangat, sangat, khawatir.”

Empati pada level 3 sampai 5 merupakan pengenalan dokter secara eksplisit terhadap sudut pandang pasien tentang penyakitnya. Dalam hubungan dokter- pasien, empati merupakan kemampuan kognitif dokter untuk mengerti kebutuhan pasien dan memahami perasaan pasien. Dokter diharapkan dapat memperlihatkan empatinya kepada pasien (Budi Setyawan, 2019, p. 56).

5. Mengedukasi pasien (Educating patients)

Edukasi memiliki peran penting dalam hubungan dokter-pasien yang baik supaya pasien mengerti akan penyakitnya. Dengan demikian dapat meningkatkan kepuasan pasien, kepatuhan pasien, kesembuhan pasien dan menurunkan waktu dan biaya perawatan (Marcus, 2014).

6. Menenteramkan (Reassurance)

Reassurance membangun kepercayaan pasien. Dengan cara ini pasien akan merasa nyaman karena dokter memahami perasaan mereka.

7. Menyetujui rencana perawatan (Agreeing on a treatment plan)

Setelah selesai melakukan wawancara medis dan pemeriksaan, sangat penting bagi pasien dan dokter untuk berdiskusi dan sepakat terhadap suatu rencana perawatan. Dokter wajib memberikan pilihan perawatan sesuai keadaan pasien.

8. Bertanggung jawab (Taking responsibility)

Dalam hubungan dokter-pasien, pasien juga memiliki tanggung jawab. Pasien wajib memahami penyakitnya dan medikasi yang diberikan agar pengobatan dapat berjalan baik. Oleh karena itu, komunikasi adalah kuncinya (Harvard, 2007). Dokter dapat mencoba memberikan pertanyaan seperti “bagaimana cara anda mengonsumsi obat ini?” daripada “apakah anda sudah merasa baikan?”

sehingga pasien merasa diberi tanggung jawab.

9. Hindari reaksi berlebihan (Avoid overreacting)

Setiap orang baik dokter maupun pasien dapat mengalami hari yang buruk.

Karakteristik tiap pasien juga berbeda-beda. Apabila pasien marah, menangis,

(33)

takut, dan sebagainya maka dokter tetap menunjukkan raut wajah dan sikap yang tenang (KKI, 2006).

Dalam komunikasi dokter-pasien yang baik dan benar dikenal adanya GATHER, yang merupakan singkatan dari Greet-Ask-Tell-Help-Explain-Return dengan pengertian sebagai berikut (Syafitri, 2002) :

1. Greet (memberi salam)

Memberi salam kepada pasien saat dia datang untuk menciptakan hubungan yang baik. Tanyakan tujuan dan apa yang diharapkan pasien serta yakinkan bahwa segala informasi yang telah dia berikan akan dijaga kerahasiaannya.

2. Ask (bertanya)

Langkah berikutnya adalah bertanya, melalui pertanyaan tersebut dokter dapat membantu pasien untuk menyatakan keinginan dan kebutuhannya serta mengekspresikan perasaannya. Cara bertanya yang efektif yaitu:

a. Gunakan nada suara yang menunjukkan minat, perhatian dan keramahan.

b. Gunakan kata-kata yang mudah dipahami pasien.

c. Ajukan pertanyaan satu per satu dan tunggu jawabannya.

d. Gunakan kata-kata seperti “lalu?”, “dan”, “oh?”. Karena kata-kata tersebut dapat meningkatkan keinginan pasien untuk lebih banyak bicara.

e. Hindari pertanyaan “mengapa?” karena pasien akan merasa dokter mencari kesalahannya.

f. Gunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka, misalnya “Ceritakan..”,

“Bagaimana..” karena sangat bermanfaat untuk membina hubungan yang baik dengan pasien dan dapat mengorek hal-hal yang terkait dengan penyakitnya.

3. Tell (memberi informasi)

Setelah pasien selesai menyatakan keluhan akan masalahnya, berikanlah informasi dengan bahasa yang mudah dimengerti pasien agar dapat membantu pasien dalam mengambil keputusan.

4. Help (memberi bantuan)

(34)

Dokter kemudian memberikan bantuan apabila pasien kesulitan dalam mengambil keputusan terkait pengobatan sehingga pasien dapat memecahkan permasalahannya.

5. Explain (memberi penjelasan)

Dokter kemudian memberikan penjelasan terhadap pengobatan yang telah dipilih pasien. Misalnya mengenai efek samping tentang pilihannya tesebut.

6. Return (kontrol kembali)

Apabila perlu, berikan pasien kesempatan untuk datang kembali.

Menurut Bor dan Lloyrd (2004) dalam dunia kedokteran ada dua orientasi komunikasi dokter-pasien yang sering digunakan yang cenderung selaras dengan yang dikemukakan Kurtz (1998) :

1. Gaya komunikasi yang berorientasi pada dokter. Komunikasi ini berdasarkan kepentingan dokter untuk mendiagnosis penyakit dengan cara memberikan pertanyaan tertutup dengan jawaban “ya” atau “tidak” dan membatasi empati.

2. Gaya komunikasi yang berorientasi pada pasien. Komunikasi ini berdasarkan apa yang dirasakan pasien terhadap penyakitnya, pendapatnya, kekhawatirannya, harapannya serta apa yang dipikirkannya. Dalam komunikasi ini dokter menggunakan pertanyaan terbuka, melibatkan empati, dan pasien terlibat secara aktif. Dalam hal ini, pasien akan merasa terpuaskan karena diperhatikan oleh dokter.

Selama 20 tahun terakhir ini, telah terjadi pergeseran yang menonjol dari model paternalistic, dimana dokter membuat semua keputusan menjadi model yang berorientasi pada pasien, di mana pengambilan keputusan dibagi antara dokter dan pasien (Arianto, 2013). Dari hasil penelitian yang dilakukan Ismawati (2009) juga didapatkan gaya komunikasi ini dapat menimbulkan kepuasan pada pasien. Dengan pasien merasa puas maka secara tidak langsung akan terjalin kerjasama yang baik antara dokter dan pasien. Selanjutnya tujuan dari konsultasi tersebut tercapai yaitu pasien akan lebih patuh untuk mengikuti proses pengobatan. Dengan kemampuan dokter memahami harapan, kepentingan, kecemasan, serta kebutuhan pasien, patient centered communication style tidak memerlukan waktu lebih lama dari pada doctor centered communication style (KKI, 2006).

(35)

Dalam berkomunikasi, dokter dan pasien memiliki hak yang sama. Dokter dan pasien dapat bertindak sebagai pemberi informasi maupun penerima informasi.

Oleh karena itu, dokter tidak boleh membatasi hak pasien dalam mengutarakan maksud dan harapannya, tidak boleh adanya superior dan inferior di antaranya, agar terbina komunikasi yang baik (Hernoko, 2010).

2.3.3 TUJUAN DAN MANFAAT KOMUNIKASI DOKTER-PASIEN Menurut Larasati (2019), tujuan komunikasi dokter dan pasien yaitu : 1. Menciptakan hubungan interpersonal yang baik

Hubungan yang baik antara dokter-pasien akan berdampak positif bagi pasien.

Pasien akan puas dan paham akan penyakitnya, sehingga pasien patuh pada pengobatan yang diberikan. Untuk membangun hubungan interpersonal yang baik diperlukan elemen penting seperti keakraban, perhatian, dan aspek non- verbal dari dokter dan pasien.

2. Untuk pertukaran informasi

Proses dimana pasien memberikan informasi kepada dokter gejala penyakitnya untuk menegakkan diagnosis, kemudian dokter memberikan informasi yang diinginkan pasien mengenai penyakitnya.

3. Untuk membuat keputusan medis

Dimana pengambilan keputusan dilakukan bersama antara dokter dan pasien dengan cara mendiskusikan pilihan pengobatan yang ada dan menyetujui pilihan yang tepat bersama-sama (Ong et al., 1995).

Adapun tujuan komunikasi yang relevan dengan profesi dokter menurut (KKI, 2006) sebagai berikut :

1. Memfasilitasi terciptanya pencapaian tujuan kedua pihak (dokter dan pasien) 2. Membantu memberikan pilihan dalam upaya penyelesaian masalah kesehatan

pasien

3. Membantu mengendalikan kinerja dokter dengan acuan langkah-langkah atau hal-hal yang telah disetujui pasien.

4. Membimbing pasien sampai pada pengertian yang sebenarnya tentang penyakit/masalah yang dihadapinya.

(36)

5. Membantu pengembangan rencana perawatan bersama pasien, untuk kepentingan pasien dan atas dasar kemampuan pasien, termasuk kemampuan finansial.

Sama dengan tujuan, komunikasi dokter-pasien juga memiliki banyak manfaat. Manfaatnya dapat diperoleh apabila komunikasi dokter-pasien berjalan dengan baik. Manfaat tersebut tidak hanya dirasakan oleh pasien, melainkan dokter juga. Akurasi diagnosis pun meningkat sebab dokter memahami keseluruhan kondisi pasien. Selain itu, juga dapat membantu dokter menghadapi kondisi yang sulit misalnya pasien yang marah atau sedih dan juga terbukti mengurangi stress kerja dan meningkatkan kepuasan dokter (Ranjan et al., 2015). Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (KKI, 2006), manfaat komunikasi efektif dokter-pasien diantaranya :

1. Meningkatkan kerpercayaan pasien kepada dokter.

2. Meningkatkan keberhasilan diagnosis terapi dan tindakan medis.

3. Meningkatkan kepercayaan diri dan ketegaran pada pasien fase terminal dalam menghadapi penyakitnya.

4. Meningkatkan kepuasan pasien dalam menerima pelayanan medis dari dokter atau institusi pelayanan medis.

2.4 PROFESIONALISME

Sebelum membahas profesionalisme, ada baiknya diketahui terlebih dahulu makna dari profesional itu sendiri.Profesional artinya ahli dalam bidangnya.

Jika seorang dokter mengaku sebagai seorang yang profesional maka ia harus mempunyai kualitas dan skill yang tinggi dalam bidangnya.

Menurut KBBI, profesionalisme adalah mutu dan kualitas yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Profesionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang sesuai dengan profesi dan posisinya. Pengertian profesionalisme tidak hanya berkaitan dengan keahlian dan keterampilan seseorang dalam menjalankan profesi dan tanggung jawabnya, tetapi juga berkaitan dengan kepedulian orang tersebut dengan klien atau pasiennya. Orang yang memiliki keterampilan dan keahlian dalam

(37)

bidangnya belum bisa dikatakan profesional sebelum ia menunjukkan kepedulian terhadap klien atau pasiennya (Saputera et al., 2012).

Dalam (KKI, 2006) Sikap profesional seorang dokter sangat penting.

Dokter harus mampu menyelesaikan tugas sesuai perannya, mampu mengatur diri sendiri seperti ketepatan waktu, mampu bekerja sama dengan orang lain dan mampu menghadapi berbagai macam tipe pasien. Sikap profesional ini merupakan landasan bagi berlangsungnya komunikasi yang efektif sehingga dapat membangun suasana yang nyaman, aman, serta membangun kepercayaan pasien terhadap dokter (Silverman, 1998).

Dikutip dari (Saputera et al., 2012) Profesionalisme kedokteran dalam klinik meliputi beberapa hal diantaranya:

1. Mencapai kesuksesan dan keberhasilan klinik secara prima

Seorang dokter dikatakan profesional apabila memiliki keahlian yang prima.

Prima artinya dokter memiliki keahlian lebih dari yang telah ditentukan standar kompetensi. Oleh karena itu diharapkan dokter terus mempelajari dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran secara berkesinambungan.

2. Berprikemanusiaan

Dokter juga harus bersikap berprikemanusiaan dalam menjalankan praktiknya.

Dokter wajib memperlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya seperti memberikan perhatian kepada pasien dengan cara menunjukkan rasa empati.

3. Bertanggung jawab

Dokter yang profesional adalah dokter yang mampu bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah ia ambil dan ia lakukan. Sikap tanggung jawab tidak hanya dilakukan ketika terdapat kekeliruan dalam tindakan, tetapi menggunakan prosedur yang tepat dalam pengobatan juga termasuk sikap tanggung jawab yang harus dimiliki oleh dokter yang profesional.

4. Mementingkan kepentingan orang lain

Dokter adalah profesi yang paling humanis. Oleh sebab itu, seorang dokter harus mampu mendahulukan kepentingan pasien daripada kepentingan dirinya sendiri, mengutamakan kesembuhan pasien dan tidak menjadikan imbalan sebagai patokan dalam memberikan pelayanan kesehatan.

(38)

Menurut WHO, untuk menjadi seorang dokter yang baik diperlukan sikap profesionalisme seorang dokter, yaitu:

1. Terbuka

Dokter harus mempunyai sikap terbuka pada pasiennya. Dokter wajib memberikan informasi yang dibutuhkan pasien, menjelaskan dengan baik tanpa menyembunyikannya agar pasien paham terhadap penyakit yang dideritanya.

2. Bersedia mendengarkan pasien

Dokter juga hendaknya mau mendengarkan keluhan dan menanggapi pertanyaan pasiennya. Komunikasi harus berlangsung secara dua arah. Dokter tidak hanya memberikan instruksi, tapi alangkah baiknya menampung dan memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi pasien.

3. Punya waktu cukup

Pasien memiliki hak untuk menentukan pengobatan yang akan dilakukan. Agar dapat mengambil keputusan yang tepat, dokter sebaiknya meluangkan waktu yang cukup untuk menjelaskan kondisi medis dan strategi pengobatan secara menyeluruh kepada pasien dan keluarganya (Budi Setyawan, 2019, p. 68).

(39)

2.5 KERANGKA TEORI

Gambar 2.1 Kerangka Teori Pentingnya Komunikasi Dokter-Pasien Usia

Tingkat Pengetahuan Dokter

Jenis Kelamin Pendidikan Terakhir

Pasien Dokter

 Kesembuhan Pasien

 Menurunkan Waktu Perawatan

 Menurunkan Biaya Perawatan

 Meningkatkan Kepatuhan Pasien

 Meningkatkan Akurasi Diagnosis

 Mencegah Terjadinya Litigasi

Profesionalisme Kompetensi Dokter Teknik Berkomunikasi

Yang Baik

UU Tentang Praktik

Kedokteran SKDI

Lama Praktik

(40)

2.6 KERANGKA KONSEP

Karakteristik Dokter di Fakultas Kedokteran USU

1. Jenis Kelamin 2. Usia

3. Pendidikan 4. Lama Praktik

Tingkat Pengetahuan Terhadap Pentingnya Komunikasi Dokter-Pasien

1. Baik 2. Cukup 3. Kurang

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

(41)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dokter terhadap pentingnya komunikasi dokter- pasien dengan pendekatan cross-sectional. Pendekatan cross-sectional adalah rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada objek yang dilakukan bersamaan atau sekali waktu.

3.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 3.2.1 TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang berlokasi di Jl. Dr. Mansyur No.5, Padang Bulan, Medan. Lokasi ini dipilih karena belum pernah dilakukan penelitian yang sama.

3.2.2 WAKTU PENELITIAN

Proposal penelitian dimulai peneliti sejak Maret 2020 untuk menyusun proposal penelitian kemudian akan dilanjutkan dengan pengumpulan data, analisa data sampai seminar hasil penelitian dengan perkiraan hingga Desember 2020.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1 POPULASI PENELITIAN

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2018).Populasi dalam penelitian ini adalah dosen/tenaga pengajar di FK USU yang berjumlah 287. Subjek penelitian ini adalah dokter spesialis yang menjadi dosen/tenaga pengajar di FK USU yang berjumlah 242.

(42)

3.3.2 SAMPEL PENELITIAN

Sampel adalah bagian dari populasi yang di anggap mewakili populasi yang akan di teliti atau sebagian jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi.

Sampel penelitian yang digunakan adalah sampel yang memenuhi kriteria dari inklusi dengan menggunakan teknik consecutive sampling.

3.3.3 ESTIMASI BESAR SAMPEL

Untuk menghitung estimasi besar sampel dari populasi tertentu, maka akan digunakan rumus slovin menurut sebagai berikut :

n = N 1+N(e)2 n = 242

1+242(0,1)2 n = 70,76 Dimana :

n = Ukuran sampel N = Ukuran populasi

e = Batas toleransi kesalahan (error tolerance)

Berdasarkan hasil perhitungan sampel minimal di atas, maka peneliti menetapkan sampel sebanyak 71 dengan kriteria sebagai berikut :

1. Kriteria Inklusi

a. Subjek merupakan lulusan program pendidikan dokter spesialis b. Subjek merupakan dosen/tenaga pengajar aktif di FK USU c. Subjek memiliki STR dan SIP yang masih berlaku

d. Subjek bersedia menjadi responden 2. Kriteria Eksklusi

a. Pengisian kuesioner tidak lengkap b. Subjek sudah pernah menjadi responden

(43)

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA 3.4.1 JENIS DATA

Jenis data yang digunakan berasal dari data primer. Data primer didapatkan langsung dari responden yang setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian. Cara pemilihan responden sesuai dengan kriteria inklusi. Responden kemudian diminta untuk menjawab pertanyaan pada kuesioner baik secara offline apabila bertemu langsung dengan peneliti atau secara online melalui Google form.

3.4.2 UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS

Uji validitas digunakan untuk menunjukkan tingkat kesahihan suatu instrumen penelitian (Arikunto, 2010). Uji validitas kuesioner dilaksanakan pada bulan Mei 2020. Kuesioner terdiri dari 26 pertanyaan, dan setelah dilakukan uji validitas didapatkan sebanyak 15 soal yang valid. Kuesioner dibagikan kepada 20 orang responden yang merupakan dokter spesialis serta aktif sebagai tenaga pengajar di Fakultas Kedokteran yang diambil dari beberapa Universitas diantaranya Universitas Methodist Indonesia, Universitas Prima Indonesia, dan Universitas Sumatera Utara. Uji validitas dilakukan dengan Pearson Product Moment (r), dimana skor tiap pertanyaan dikorelasikan dengan skor total setiap variabel, dasar pengambilan keputusan adalah suatu pertanyaan dikatakan valid jika r hitung > r tabel dan sebaliknya. Taraf signifikan yang digunakan adalah 5%

sehingga nilai r tabel untuk responden yang berjumlah 20 orang pada uji validitas kuesioner ini adalah 0,444.

Uji reliabilitas adalah uji untuk memastikan alat ukur yang digunakan reliabel. Dikatakan reliabel apabila data yang dihasilkan sama jika dilakukan pengukuran berulang terhadap objek yang sama. Uji reliabilitas dilakukan pada seluruh pertanyaan yang telah valid dengan menggunakan perangkat lunak uji statistik.

(44)

Tabel 3.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Variabel Nomor Pertanyaan

Total Pearson Correlation

Status Cronbach’s Alpha

Status

Pengetahuan 1 0,516 Valid 0,768 Reliabel

2 0,516 Valid Reliabel

3 0,510 Valid Reliabel

4 0,456 Valid Reliabel

5 0,446 Valid Reliabel

6 0,447 Valid Reliabel

7 0,516 Valid Reliabel

8 0,491 Valid Reliabel

9 0,753 Valid Reliabel

10 0,475 Valid Reliabel

11 0,446 Valid Reliabel

12 0,499 Valid Reliabel

13 0,467 Valid Reliabel

14 0,516 Valid Reliabel

15 0,516 Valid Reliabel

3.5 METODE ANALISIS DATA 3.5.1 PENGOLAHAN DATA

Pengolahan data adalah suatu proses untuk memperoleh angka atau data ringkasan dengan menggunakan cara atau rumus tertentu. Data mengenai tingkat pengetahuan dokter terhadap pentingnya komunikasi dokter-pasien yang diperoleh dari kuesioner kemudian akan diolah melalui beberapa tahap :

1. Proses editing

Melakukan pengecekan dan perbaikan data yang telah dikumpulkan dan memastikan jawaban diisi dengan lengkap.

(45)

2. Proses coding

Setiap data atau jawaban responden yang sudah terkumpul diberikan kode atau simbol tertentu untuk memudahkan analisa data.

3. Proses entry

Selanjutnya data dimasukkan ke dalam program atau software komputer.

4. Proses cleaning data

Data yang sudah dimasukkan kemudian diperiksa kembali untuk melihat apakah terdapat kesalahan atau tidak.

5. Proses saving

Data kemudian disimpan dan siap untuk dianalisis.

3.5.2 ANALISIS DATA

Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan program komputer yakni SPSS 24.0 (Statistical Product and Service Solution). Data kemudian dianalisis secara statistik dan disajikan ke dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentasi.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori Pentingnya Komunikasi Dokter-Pasien Usia
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Tabel 3.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner  Variabel  Nomor  Pertanyaan  Total  Pearson  Correlation  Status  Cronbach’s Alpha  Status
Tabel 3.1 Definisi Operasional  Variabel  Definisi Operasional  Alat

Referensi

Dokumen terkait

Memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan (Pengadaan Seragam) sebagai Penyedia Barang/Jasa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik dilingkungan pemerintah

[r]

Lampiran 12.Spektrum 1 H-NMR Senyawa Flavonoida Pembanding untuk Senyawa Hasil Isolasi (Mabry, 1970).. Senyawa Hasil Isolasi

2009, Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan. Jakarta: PT

KETERKAITAN MAKNA SEMBAH DAN BUDI LUHUR MENURUT MANGKUNAGARA IV DENGAN HADIS NABI Makna Sembah yang diajarkan oleh Mangkunagara IV kepada rakyatnya dituangkan dalam Serat Wedhatama

Berdasarkan latar belakang tersebut, dibangunlah sebuah aplikasi mobile yang dapat membantu umat Muslim melaksanakan dengan baik dan benar maka dibuatlah

Mesin gergaji pita bermeja dorong digunakan untuk menggergaji kayu yang bentuk log, dimana perletakan gelondong kayu dijepit pada perlengkapan jepit meja sehingga

Hasil pengujian menunjukkan bahwa Hedonic Shopping Value dan Fashion Involvement tidak berpengaruh terhadap perilaku Impulse Buying pada Matahari Department Store di