BAB II Kajian Pustaka
A. Tinjauan Umum Tentang Kumulasi Objektif Gugatan
A.1. Definisi Kumulasi Gugatan
Kumulasi Gugatan adalah menggabungan beberapa tuntutan ke dalam satu bentuk gugatan.1 Mukti Arto berpendapat, kumulasi merupakan gabungan bebrapa gugatan atau beberapa subjek hukum memeiliki keterkaitan hubungan hukum.2Artinya bahwa sebuah perkara atau pihak yang berperkara dapat dilakukan kumulasi dengan proses peradilan sekali jalan.
A.2. Dasar Hukum kumulasi gugatan a. UU No 7 Thn 1989 Tntg PA
Psl 66 (5) yang menerangkan : “Beberapa perkara dapat dilakukan penggabungan dengan perkara peceraian talak seperti penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama.”3 Dan psl 86 (1) yang intinya sama dengan psl 66 (5) hanya saja dalam psl 86 ayat 1 dikhususkan untuk cerai gugat.”4
b. Buku Pedoman Peradilan Agama :5
1 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta:2007) 102
2 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka:
2008), 44.
3 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 66 ayat (5)
4 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 86 ayat (1).
5 MA dan Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, (rev, ed.; Jakarta, 2010), 90
1. Menggabungkan Gugatan dibedakan menjadi 2 yaitu menggabungkan secara subjektif dan menggabungkan secara objektif. Kumulasi subjektif adalah penggabungan beberapa subjek hukum ke dalam satu gugatan. Menggabungkan secara objektif adalah mengkumulasi 2 perkara atau lebih ke dalam satu surat gugatan.
2. Menggabungan beberapa perkara menjadi satu gugatan diperbolehkan jika penggabungan itu memiliki keuntungan, yakni, ketika kumulasi perkara tersebut memiliki keterkaitan hukum dan subjek hukum.
3. Tunduk dalam hukum acara yang sama
4. Hakim memiliki kewenangan menangani perkara tersebut A.3. Syarat dan tujuan kumulasi gugatan.
Syarat6 :
1. Adanya hubungan yang erat dari perkara yang satu dengan yang lainnya atau koneksitas;
Hubungan yang erat ditujukan kepada objek perkara yang menjadi kumulasi berada pada rezim hukum yang sama, secara terminology diartikan bahwa hubungan yang erat adalah kesesuain
6 R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, (Bandung:2005), 101.
hukum dalam penyelesaian perkara kumulasi tunduk pada hukum acara yang sama serta berada pada kompetensi abosulut yang sama.
2. Adanya hubungan hukum antara penggugat dan tergugat;
Hubungan hukum ditujukan pada subjektifitas para penggugat yang memiliki koneksitas antara para pihak dan juga koneksitas para pihak dengan objek yang menjadi sengketa. Keduanya adalah satu kesatuan yang secara doctrinal tidak boleh terpisahkan sebab jika kedua komponen itu terpisah maka berakibat timbulnya cacat formil di dalam sebuah gugatan tersebut.
Tujuan7 :
1. Menjadikan peradilan lebih sederhana Melalui penerapan kumulasi dua perkara atau lebih ke dalam satu surat gugatan dengan sekali jalan.
Peradilan sederhana diartikan proses penyelesainnya mudah dimengerti dan tidak berbelit-belit dengan metode sekali jalan dapat menyelesaikan beberapa perkara.
2. Menghindari putusan yang saling bertentangan.
Menghindari putusan yang bertentangan ditujukan pada kumulasi subjektif yang diajukan oleh beberapa penggugat kepada mejelis hakim yang berbeda.
A.4. Perkara yang bisa dan tidak bisa dikumulasi
pasal 66 ayat 5 dan pasal 86 ayat 1 Tentang Peradilan Agama menjadi dasar bahwa perkara hak asuh anak, nafkah untuk istri, harta gono gini suami istri dan nafkah untuk anak dapat digabungkan dengan gugat cerai. Abdul Manan dalam bukunya menjelaskan jika dalam perkara wali adal, izin kawin dan dispensasi kawin dapat digabungkan dalam satu gugatan. Ada beberapa kumulasi yang tidak diperbolehkan oleh hukum, yaitu :8
7 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : 2007), 104
8 Ibid, h.108-109.
1. Penggugat melakukab gugatan kepada subjek hukum yang tidak ada kaitan dengan objek perkara. Hal ini didasarkan dengan putusan MA No. 201 K/Sip/1974.
2. Tidak boleh menggabungkan beberapa perkara hukum yang tunduk pada hukum acara yang berbeda. Permohonan tersebut dikukuhkan dalam putusan Mahkamah Agung no. 667 K/Sip 1972
3. Penggabungan tidak dapat dibenarkan jika Gugatan berlainan kewenangan absolut dalam pengadilan
B. Tinjauan Umum tentang Asas sederhana,cepat dan biaya ringan
B.1. Definisi Asas sederhana,cepat dan biaya murah a. Asas Sederhana
Asas secara bahasa artinya sesuatu yang mendasari penalaran atau penilaian, premis tujuan 9 Sederhana secara kebahasaan artinya sedang (berada di tengah-tengah).10 Dapat disimpulkan bahwa asas sederhana merupakan metode yang jelas, lugas dan sederhana. Yang penting di sini adalah bahwa para pihak dapat mengkomunikasikan keinginannya dengan jelas dan pasti (tidak berubah) dan penyelesaiannya dilakukan dengan jelas, lugas, sehat dan pasti.11
9 Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: PT Rineka Cipta), 36
10 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka), 163
11 A. Mukti Arto, Mencari Keadilan (Kritik Dan Solusi Terhadap Praktik Paradilan Perdata di Indonesia), (Yogyakarta:2001), 64
Sudikno Mertokusumo berpendapat, sederhana adalah prosedur yang jelas, lugas, dan sederhana. Semakin kompleks konvensi yang diperlukan atau diharapkan dalam prosedur pengadilan, semakin baik.12
b. Asas Cepat
Asas Cepat mengarah pada proses peradilan penyelesaian perkara di pengdilan dilakukan dengan cepat agar lebih efisen sehingga pihak yang mencari keadilan dapat sesegera mungkin mendapatkan putusan yang adil.13
MA mengeluarkan Surat Edaran No 2 thn 2014 sebagai bentuk batasan waktu pengadilan tingkat satu dalam proses penyelesaikan perkara dibatasi waktu maksimal 5 bulan.14
Ini berarti bahwa setiap kasus harus diselesaikan dalam waktu paling lama 5 bulan sejak kasus tersebut didaftarkan di pengadilan, dengan pengecualian jika menurut pengaturan yang sah penyelesaian dalam waktu sekitar lima bulan tidak dapat dimungkinkan. Dalam aturan ini, tidak berarti bahwa proses penyelesaian kasus selesai dalam waktu satu jam, tetapi penyelesaian kasus tidak membutuhkan banyak waktu hingga bertahun-tahun. Jadi apa yang diminta oleh
12 Sudikno Merto Kusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (rev. ed,;Yoyakarta, 1993), 27
13 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:2012), 53
14 Mahkama Agung,Surat Edaran Mahkama Agung, No: 02/Bua.6/Hs/SP/III/2014.
hakim pada proses peradilan tidak boleh terburu-buru agar tidak menghilangkan standar keadilan dan kemanusiaan. Penyelidikan tidak boleh lamban karena membutuhkan investasi yang lama.
Penilaian harus dilakukan secara hati-hati, adil, waras dan obyektif dengan memberikan pintu terbuka yang setara dan disesuaikan kepada para pihak.15
c. Asas biaya murah
Asas biaya ringan adalah biaya perkara yang rasional dan dapat dipikul oleh kalangan masyarakat secara umum .16 Biaya ringan dalam hal ini merupakan biaya yang timbul dari proses penyelesaian perkara sehingga terbebas dari biaya-biaya lain yang tidak berikaitan dengan proses penyelesain perkara. Biaya harus langsung dan ringan.
Semua biaya di pengadilan harus jelas digunakan dan diberikan tanda terima. Pengadilan harus bertanggung jawab atas pengeluaran biaya kepada orang yang bersangkutan dengan menyimpannya agar orang yang bersangkutan dapat melihatnya kapan saja.17
B.2. Penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan di Pengadilan Agama Asas sederhana, cepat dan biaya murah terdapat dalam Psl 2 ayat (4) UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sederhana memiliki
15 Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta:2004), 32
16 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:2012), h. 54
17 A. Mukti Arto, Mencari Keadilan (Kritik Dan Solusi Terhadap Praktik Paradilan Perdata di Indonesia), (Yogyakarta:2001), h. 67.
arti penilaian dan penyelesaian kasus diselesaikan dengan cara yang efektif. Asas cepat adalah standar inklusif, terkait dengan waktu penyelesaian yang tidak berlarut-larut. Asas biaya murah juga akan mengikuti efisensi dan efektivitas Asas cepat dan sederhana.
A. Tinjauan Tentang Efektivitas Hukum
Efektivitas diartikan sebagai keberhasilan penyelesaian sesuatu pekerjaan.
Membahas tentang Efektivitas hukum tentu tidak dapat dipisahkan dari penguraian sifat-sifat kedua faktor yang berkaitan, khususnya kualitas atau aspek dari objek tujuan yang digunakan..18
Anthony Allot berpendapat terkait efektivitas hukum, yaitu:19
“Hukum memiliki efektivitas jika kehadiran dan penerapannya dapat mencegah kegiatan-kegiatan yang tidak diinginkan dan dapat menghapuskan kekacauan”.
Ada tiga faktor teori efektivitas hukum menurut Anthony Allot yaitu : 1. Tujuan dari peraturan hukum yang dibuat
Sebuah peraturan tentu memiliki tujuannya masing-masing baik bersifat perintah,larangan,opsioanal atau sebuah penjelasan tentang sesuatu. Aspek penting dibentuknya sebuah peraturan difungsikan sebagai alat untuk mengatur masyarakat agar tidak terjadi kekacauan, jika pertauran tersebut berfungsi sebaliknya maka peraturan tersebut tidak bisa dikatakan efektif.
18 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : 2013) , 67
19 Salim,H.S dan Erlis Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan Disertasi, (Jakarta:2013), 303
2. Penerapan peraturan hukum tersebut
Efektivitas hukum juga dilihat dari sejauh mana subjek hukum mengetahui dan menjalankan peraturan yang telah dibentuk, jika dalam perjalanannya sebuah peraturan hukum banyak berkontribusi mencapai tujuan dari pembentukkannya maka bisa dikatakan peraturan tersebut sudah memenuhi aspek efektif.
3. Dampak dari peraturan hukum yang dibuat
Peraturan dapat dinilai efektiv jika peraturan tersebut memiliki banyak dampak positif mengikuti fleksibelitas subjek hukum dalam zona waktu tertentu.
Sedangkan teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :20
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
Faktor hukum berkaitan dengan tujuan dari hukum itu sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, jika suatu peraturan hukum tidak memenuhi ketiga unsur tujuan hukum maka dapat disimpulkan tidak efektif.
20 Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:2008), 8
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
Faktor penegak hukum ialah aparat penegak hukum yang memberikan rasa keadilan bagi pencari keadilan.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
Faktor sarana dan fasilitas adalah tempat yang difungsikan sebagai fasilitas penerapan dari peraturan hukum itu sendiri.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
Faktor masyarakat adalah faktor penting dalam penilaian efktivitas hukum sebab hukum dibentuk demi kepentingan masyarakat.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Faktor kebudayaan berbicara soal nilai dimasyarakat jika suatu peraturan tidak mencerminkan nilai-nilai di sau tu masyarakat maka peraturan tersebut di nilai kurang memperhatikan norma-norma yang ada di dalam budaya masyarakat.