• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PENYIDIK DALAM MENGAMANKAN BARANG BUKTI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS DI KEPOLISIAN KOTA BESAR MEDAN) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAN PENYIDIK DALAM MENGAMANKAN BARANG BUKTI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS DI KEPOLISIAN KOTA BESAR MEDAN) SKRIPSI"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN PENYIDIK DALAM MENGAMANKAN BARANG BUKTI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(STUDI KASUS DI KEPOLISIAN KOTA BESAR MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

RACHEL AGATHA CRISTY HUTABARAT NIM : 120200082

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

ABSTRAK

Rachel Hutabarat Syafrudin Kalo**

Nurmalawaty***

Tindak Pidana Narkotika merupakan salah satu kejahatan yang paling meresahkan di kalangan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika agar semua kejahatan yang berkaitan Narkotika dapat ditanggulangi dan juga proses pemeriksaan nya di kepolisian dapat berjalan dengan baik. Di dalam proses pemeriksaan Kasus Narkotika di kepolisian, penyidikan merupakan suatu proses yang sangat beperan vital, karena di dalam proses inilah kita dapat mengetahui bagaimana Tindak Pidana Narkotika itu dilakukan dan apa saja yang menjadi barang buktinya. Adapun permasalahan yang sering dihadapi adalah bagaimana pengaturan hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam penyidikan, serta bagaimana kendala-kendala yang di hadapi kepolisian dalam pengamanan barang bukti. Salah satu kendala yang paling menonjol adalah tentang pengamanan barang bukti dari Tindak Pidana Narkotika tersebut karena fasilitas untuk tempat mengamankan barang bukti belum terlalu memadai, dan disinilah perlu adanya pertanggungjawaban dari kepolisian selaku penyidik dalam hal mengamankan barang bukti tersebut.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan penelitian yang bersifat yuridis normatif dan bersifat yuridis empiris (studi lapangan). Penelitian yang bersifat Yuridis Normatif adalah penelitian yang dilakukan berdasarkan peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang berkaitan.

Penelitian yang bersifat Yuridis Empiris adalah penelitian yang melakukan pengumpulan data yang diperoleh dengan cara wawancara dari narasumber (informan) secara langsung yang dilakukan kepada pihak yang terkait dalam hal ini, pihak yang dimaksud adalah Satuan Kepolisian Kota Besar Medan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Polisi yang bertugas sebagai penyidik dalam proses penyidikan memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat vital, serta dalam menjalankan tugas-tugasnya penyidik memiliki beberapa kendala yang dapat menghambat proses penyidikan. Salah satunya adalah tentang pengamanan barang bukti Narkotika yang dimana fasilitas yang terdapat di Polsek ataupun Polres belum begitu memadai.

Mahasiswa Fakultas Hukum Sumatera Utara.

** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(3)

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat dan BerkatNya, sehingga penulis mampu menyusun skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan tugas wajib mahasiswa dalam rangka melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini diberi judul “Peran Penyidik dalam Mengamankan Barang Bukti Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi di Kepolisian Kota Besar Medan)”

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dorongan semangat maupun sumbangan pemikiran.

Oleh sebab itu, penulis dalam kesempatan ini ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang memberikan bantuan, yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Puspa Melati, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., M.H selaku ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberikan inspirasi beserta dorongan kepada saya dalam penyusunan skripsi ini.

6. Ibu Liza Erwina, S.H.,M.Hum selaku sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberikan inspirasi beserta dorongan kepada saya dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak Prof. Syafrudin Kalo, SH.,M.Hum selaku Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing I penulis, yang telah sabar dan ikhlas memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

8. Ibu Nurmalawaty S.H.,M.Hum selaku Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing II penulis, yang telah sabar dan ikhlas memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

9. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum sebagai Penasehat Akademik yang telah banyak membantu Penulis selama ini dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh Staf Dosen dan Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pembelajaran dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

11. Kepada Ayahanda Jonner Hutabarat S.H dan Ibunda Ratna Simangunsong, yang selalu memberikan motivasi, bimbingan moril, serta inspirasi kepada penulis, dan yang telah sabar dan ikhlas membesarkan penulis, sehingga penulis dapat menjadi seperti sekarang ini, dan orang yang selalu menjadi penyemangat bagi penulis.

12. Kepada abang dan adikku tercinta Joe Van Rajs Hutabarat S.H dan Grace Vone Pricillia Natali Hutabarat yang menjadi penyemangat penulis.

13. Kepada adik saya Jefri Eduardo yang juga menjadi pendukung dan penyemangat penulis.

14. Kepada tante saya Rosma Adelina Simangunsong S.Par yang juga menjadi penyemangat penulis.

15. Kepada seseorang yang sangat special buat saya, Ryan Ganesha, orang yang selalu menjadi penyemangat, dan orang yang selalu mendorong dan memberikan motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

16. Kepada Sahabat-sahabat terbaik saya dari grup Bertujuh Monica Ria Hutabarat S.H, Margaretha Aldila Fitri Sitohang S.H, Ruth Depari S.H, Jessica Lydia S.H, Julian Leonardo S.H, dan Marrisa Meinita S.H yang selalu memberikan dorongan kepada penulis.

17. Kepada Sahabat-sahabat terbaik saya dari grup Lordosis Sonya Evelin S.H, Chelsya Stepanie S.H, Gloria Tobing S.H, Gracia Tri Ignasia S.H, Yulia Resa S.H, Putri Hayati Berlian dan Stevani Sembiring yang selalu memberikan dorongan kepada penulis.

(6)

18. Kepada Sahabat-sahabat terbaik saya dari grup Elecastro Ander Meilani Kaban S.Ked, dan Stefany Alaya. S.Tr. yang selalu memberikan dorongan kepada penulis.

19. Kepada Sahabat-sahabat terbaik saya Faheera Imaniza, dan William Hutabarat S.H yang membantu dan memberikan dorongan kepada penulis.

20. Kepada Sahabat-sahabat terbaik saya Grup Tenda Fakultas Hukum USU yang juga membantu saya dan memberikan dorongan dalam menyelesaikan skripsi saya.

21. Kepada sahabat penulis di Grup A Stambuk 2012, yang sebagai teman seperjuangan dan grup terhebat sepanjang masa.

22. Kepada Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana (IMADANA).

23. Kepada Keluarga Besar Pemuda Pancasila Fakultas Hukum USU.

24. Kepada seluruh teman-teman stambuk 2012 dan teman-teman Jurusan Hukum Pidana 2012.

Akhir kata Penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi kemajuan ilmu pengetahuan ilmu hukum.

Medan, Oktober 2016 Hormat Penulis

Rachel Agatha Cristy Hutabarat NIM : 120200082

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..………...………

DAFTAR ISI………..………..

DAFTAR TABEL………..……….

ABSTRAK………..………..

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………..…....1

B. Rumusan Masalah……….……6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………..…6

D. Keaslian Penulisan………...8

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Narkotika………....9

2. Pengertian Penyidik………....12

3. Pengertian Barang Bukti………...14

F. Metode Penelitian………....18

G. Sistematika Penulisan………...21

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA. A. Latar belakang lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika………...……..………23

B. Berlakunya Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam hal penyidikan………..30

(8)

BAB III PERAN PENYIDIK DALAM MENGAMANKAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF INDONESIA.

A. Peran penyidik dalam mengamankan barang bukti tindak pidana Narkotika ditinjau dari Hukum Acara Pidana.

1. Peran Kepolisian sebagai penyidik……….………...37 2. Peran Kepolisian sebagai penyidik dalam mengamankan barang

bukti ditinjau dari Hukum Acara Pidana……….…42 B. Peran penyidik dalam mengamankan barang bukti Tindak Pidana

Narkotika ditinjau dari Undang-Undang No 35 Tahun 2009……….46 BAB IV PENGAMANAN BARANG BUKTI DALAM PENYIDIKAN

YANG DILAKUKAN KEPOLISIAN SELAKU PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA KHUSUSNYA DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN KOTA BESAR MEDAN.

A. Pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam hal mengamankan barang bukti tindak pidana Narkotika khususnya di wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan………56 B. Proses penyidikan yang dilakukan kepolisian selaku penyidik dalam

mengamankan barang bukti tindak pidana Narkotika khususnya di wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan………...60 C. Kendala – kendala yang dihadapi Kepolisian selaku penyidik dalam mengamankan barang bukti tindak pidana narkotika khususnya di wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan………...65

(9)

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN………72 B. SARAN………....73 DAFTAR PUSTAKA………...75 LAMPIRAN

(10)

DAFTAR TABEL

1. TABEL 1

Daftar Nama Penyidik Kepolisian Kota Besar Medan 2016………59 2. TABEL 2

Waktu dalam proses penyidikan………65 3. TABEL 3

Data kasus narkotika Poltabes Medan 2016………..…67 4. TABEL 4

Data transportasi dinas Poltabes Medan………68

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk dalam hal kesehatan manusianya, peningkatan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesehjateraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika dan obat- obatan jenis tertentu yang dibutuhkan sebagai obat-obatan juga untuk kesehatan.

Narkotika dan obat-obatan jenis tertentu digunakan untuk percobaan dan penelitian yang diselenggarakan pemerintah dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan dan mendapat ijin menteri kesehatan.

Penegakan hukum di Negara Indonesia sendiri dalam masyarakat selalu di bebankan kepada aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum yang mempunyai peran penting menjalankan penegakan hukum acara pidana salah satunya adalah Kepolisian. Institusi Kepolisian merupakan suatu intitusi yang di bentuk negara guna menciptakan ketertiban, ketentraman, dan keamanan di tengah

(12)

masyarakat baik dalam hal pencegahan, pemberantasan, dan penindakan tindak pidana1.

Jika ditinjau dari perundang-undangan Indonesia dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni dalam Pasal 1 butir 1 mengatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, sedangkan dalam Pasal 1 butir 4 kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatakan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk melakukan penyelidikan. Dari penjelasan kedua Pasal tersebut dapat dikatakan bahwa intitusi kepolisian merupakan suatu lembaga yang diberi wewenang oleh negara yang diharapkan mampu membantu proses penyelesaian terhadap kasus kejahatan dan pelanggaran tindak pidana.

Pelaksanaan tugas kepolisian juga telah disusun dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun yang menjadi tugas kepolisian yaitu :2

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. Menegakan hukum; dan

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam tindakan Kepolisian selaku pengatur keamanan terhadap masyarakat maka kepolisian mempunyai kewenangan yang diatur di dalam Pasal

1Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, (Malang : UMM PRES, 2009), hlm 112.

2Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tugas dan Kewenangan Aparat Kepolisian, Pasal 13.

(13)

15 ayat (1) huruf (a) sampai dengan (j), serta Pasal 16 ayat (1) huruf (a) sampai dengan (1) dan ayat (2).

Masyarakat pun banyak sekali menaruh harapan pada polisi agar polisi dapat menyelesaikan atau menanggulangi masalah yang di hadapi tanpa memperhitungkan apakah polisi tersebut adalah polisi yang berpengalaman atau tidak. Begitu banyak jenis kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat, perilaku yang menyimpang atau tidak sesuai dengan dengan norma atau yang di sebut sebagai penyimpangan terhadap norma-norma yang telah disepakati yang mengakibatkan terganggunya keamanan, ketertiban dan ketentraman kehidupan bermasyarakat.

Kejahatan yang ada dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu di hadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan Negara . Kejahatan pada masa sekarang ini sudah tidak mengenal usia, baik muda, tua, dewasa dan kenyataan membuktikan bahwa kejahatan hanya dapat di cegah dan dikurangi tapi sangat sulit untuk di berantas sampai tuntas. Jenis kejahatan tersebut dapat berupa pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, penyalahgunaan narkotika dan lain sebagainya.

Khusus untuk penggunaan narkotika, meskipun narkotika dianggap berbahaya oleh banyak orang namun pada dasarnya sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia khususnya dalam bidang medis (kesehatan). Dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika) disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan

(14)

pemgembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila di salah gunakan atau dipergunakan tanpa pengendalian dan dosis yang sesuai serta pengawasan yang ketat dan seksama. Apabila pemakaian narkotika tersebut sudah melampaui batas atau disalahgunakan maka narkotika akan berbahaya bagi si pengguna, karena narkotika mempunyai sifat yang membuat si pemakai merasa kecanduan dan ketergantungan sehingga si pengguna bisa menjadi tidak terkendali dan akhirnya bisa melakukan tindak-tindak pidana yang lain yang dapat merugikan siapa saja.

Saat ini tindak pidana narkotika dipandang sebagai tindak pidana yang menjadi musuh semua umat manusia dan karena itu negara-negara di dunia termasuk Indonesia berjuang keras untuk memberantas tindak pidana ini, Tindak Pidana Narkotika ini sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup suatu bangsa dan negara karena banyak menimbulkan kerugian dan juga melibatkan kaum putra- putri Indonesia sebagai korban dan pelakunya.

Maka dari itu, untuk menangulanggi penyalahgunaan narkotika maka pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang telah dicabut karena Tindak Pidana Narkotika sudah bersifat transnasional3 dengan modus dan teknologi serta adanya perluasan si pelaku dan korban penyalahgunaan narkotika ini yakni kalangan anak-anak, remaja dan generasi muda pada umumnya. Saat ini pengaturan mengenai Tindak Pidana

3Tindak Pidana Narkotika bersifat Transnasional karena kejahatan narkotika merupakan kejahatan terorganisasi yang terjadi lintas perbatasan negara dan melibatkan kelompok atau jaringan yang bekerja di lebih dari satu negara untuk merencanakan dan melaksanakan bisnis ilegal

(15)

Narkotika telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Demikian pula dalam hal penyidikan kasus tindak pidana Narkotika di daerah hukum Kepolisian Kota Besar Medan (Poltabes Kota Medan) sering mendapatkan kasus mengenai narkotika, baik yang tertangkap tangan, adanya razia sarang peredaran narkotika seperti di tempat hiburan malam, razia gabungan di jalan raya bahkan di dalam Rumah Tahanan ( RUTAN).

Karena maraknya kasus Tindak Pidana Narkotika yang ditangani oleh pihak Kepolisian maka tidak menutup kemungkinan juga adanya resiko kehilangan barang bukti pada saat terjadinya penyidikan, yang menyebabkan proses penyidikan tertunda, serta tidak menutup kemungkinan terjadinya penyalahgunaan barang bukti tindak pidana Narkotika tersebut oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Betapa pentingnya hal ini untuk di sadari oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat karena itu pentingnya masalah ini untuk dikaji lebih jauh. Untuk itu penulis membuat penulisan skripsi yang berjudul “Peran Penyidik Dalam Mengamankan Barang Bukti Pelaku Tindak Pidana Narkotika Khususnya Di Wilayah Kepolisian Kota Besar Medan”

(16)

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang permasalahan diatas maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang penyidikan dalam tindak pidana narkotika?

2. Bagaimana peran penyidik dalam mengamankan barang bukti pelaku Tindak Pidana Narkotika?

3. Bagaimana pertanggung jawaban serta kendala kepolisian selaku penyidik dalam hal mengamankan barang bukti Tindak Pidana Narkotika di wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan (POLTABES MEDAN)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan

Tujuan penulisan hakekatnya mencari jawab atas masalah yang diteliti dan memberikan pedoman agar penelitian dapat berlangsung sesuai apa yang dikehendaki. Karena itu dalam penyusunan skripsi, tujuan penelitian ini adalah:

a. Tujuan objektif :

1) Untuk mengetahui tentang perkembangan penyalahgunaan narkotika pada masa sekarang ini dan mengetahui hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika.

(17)

2) Untuk mengetahui kebijakan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian yang bertugas sebagai penyidik dalam mengamankan barang bukti narkotika.

3) Untuk mengetahui kendala yang di hadapi oleh aparat penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian selaku penyidik dalam mengamankan barang bukti narkotika di wilayah Kepolisian Kota Besar Medan (Poltabes Medan).

b. Tujuan subjektif :

1) Untuk memperoleh data bahan penyusunan skripsi guna memenuhi salah satu syarat akademis untuk mencapai gelar sarjana dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2) Untuk meningkatkan dan menambah pengetahuan penulis dalam ilmu hukum khususnya dalam hukum dan kebijakan publik dalam kaitan nya dengan tugas dan wewenang polisi dalam mengamankan barang bukti Narkotika di wilayah hukum Kepolisiaan Kota Besar Medan (POLTABES MEDAN)

2. Manfaat penulisan

Selain tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang dikemukakan diatas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk :

a. Manfaat teoritis :

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya hukum pidana , mengenai pengamananan barang bukti Narkotika serta

(18)

kinerja aparat hukum yaitu aparat kepolisian selaku penyidik dalam hal penyidikan kasus Tindak Pidana Narkotika dan hambatan yang dihadapi kepolisian dalam mengamankan barang bukti Tindak Pidana Narkotika.

b. Manfaat Praktis :

1) Bagi Penulis : penelitian ini dapat memperluas pengetahuan tentang penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan dilapangan, serta menambah wacana ilmu hukum pidana tentang peran penyidik dalam hal ini kepolisian terkait pengamanan barang bukti Tindak Pidana Narkotika.

2) Bagi aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian : penelitian ini dapat diharapkan membantu para aparat penegak hukum dalam mengoptimalisasi kinerja aparat Kepolisian dalam menanggulangi Tindak Pidana Narkotika di masyarakat.

3) Bagi Masyarakat : penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat agar dapat berperan serta dan membantu kepolisian dalam menangulangi penyalahgunaan narkotika.

D. Keaslian Penulisan

Setelah ditelusuri daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana belum ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan permasalahan yang akan di angkat yaitu tentang “Peran Penyidik Dalam Mengamankan Barang Bukti Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Di

(19)

Kepolisian Kota Besar Medan)” penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, pemikiran, gagasan dan usaha penulis sendiri tanpa adanya penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, namun apabila terdapat kesamaan maka penulis siap bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini.

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Pengertian Narkotika

Di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, tindak pidana Narkotika digolongkan kedalam tindak pidana khusus karena tidak disebutkan di dalam KUHP, pengaturannya pun bersifat khusus. Istilah Narkotika bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya berita baik dari media cetak maupun elektronik yang memberitakan tentang kasus-kasus mengenai Narkotika.

Narkotika atau nama lazim yang diketahui oleh orang awam berupa narkoba tidak selalu diartikan negatif, didalam ilmu kedokteran Narkotika dengan dosis yang tepat digunakan sebagai obat bagi pasien. Selain narkoba, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif.

Jika kita mengambil dari sudut bahasa, maka kata Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Narkan” atau “Narke” yang berarti menjadi kaku, lumpuh, dan dungu. Di dalam dunia kedokteran dikenal dengan Narcose atau Narcosis

(20)

yang berarti dibiuskan terutama dalam peristiwa pembedahan (Narcoticum/obat bius dalam bahasa latin).4

Secara umum,yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakan nya, yaitu dengan cara memasukan kedalam tubuh. Istilah narkotika yang digunakan disini bukanlah “Narcotics” pada farmacologie (Farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug” yaitu sejenisnya yang apabila di pergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu dalam tubuh si pemakai, yaitu :

a. Mempengaruhi kesadaran;

b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh dalam perilaku manusia;

c. Pengaruh-pengaruh tersebut berupa:

1) penenang;

2) perangsang (bukan rangsangan sex);

3) menimbulkan halusinasi (pemakai tidak mampu membedakan membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangn kesadaran akan waktu dan tempat).

Smith Kline dan Frech Clinical Staff mendefinisikan bahwa:5

“Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam defenisi Narkotika ini sudah

4Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika (Jakarta: Erlangga,2005) , hal. 17.

5Ibid.,hal.18.

(21)

termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, dan methadone).”

Didalam bukunya, Ridha Ma‟roef mengatakan bahwa Narkotika ialah Candu, Ganja, Cocaine, dan Zat-Zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda termasuk yakni Morphine, Heroin, Codein Hashisch, Cocaine. Dan termasuk juga Narkotika sintetis yang menghasilkan zat-zat, obat yang tergolong dalam Hallucinogen dan Stimulan6. Sedangkan menurut farmacologie (farmasi) medis, yaitu “Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah Visceral dan dapat menimbulkan efek stupor 7 serta adiksi.”8

Menurut Undang – undang Nomor. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyebutkan yaitu narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan – golongan sebagaimana terlampir dalam Undang – undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan.9 Sedangkan menurut Bunyi UU Narkotika Pasal 1 ayat 1 dapat dipahami bahwa narkotika merupakan zat atau obat

6Ridha Ma’roef, Narkotika, Masalah dan Bahayanya (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal.

15.

7Lihat : Efek Stupor adalah bengong masih sadar namun masi harus digertak.

8Wijaya A.W, Masalah Kenakan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung : Armico, 1985), hal. 145.

9Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak,(Malang : UMM PRES, 2009), hal. 12.

(22)

yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa sakit, mengurangi sampai menghilangkan rasa ngeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini. Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika.10

Narkotika mengacu pada sekelompok senyawa kimia yang berbahaya apabila digunakan tidak pada dosis yang tepat. Bahaya itu berupa candu dan ketagihan yang tidak bisa berhenti. Hal ini dikarenakan di dalam Narkotika terkandung senyawa adiktif yang bersifat adiksi11 bagi pemakainya. Penggunaan Narkotika dapat menyebabkan hilangnya kesadaran dan si pengguna dapat dengan mudah melupakan segala permasalahan yang dihadapi. Pemakai dibuat seperti berada diatas awan dan selalu merasa bahagia. Inilah yang kemudian mendorong banyak orang yang sedang diliputi masalah beralih mencari kesenangan dengan mengonsumsi obat-obatan terlarang ini.

2. Pengertian penyidik

Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan oleh karena kewajibannnya tersebut.12 Adapun yang menjadi wewenang dari penyidik adalah :13

10 F Asya, Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta : Asa Mandiri, 2009), hal. 3.

11Lihat : Adiksi adalah ketergantungan terhadap narkoba merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami ketergantungan secara fisik dan psikologis terhadap suatu zat adiktif.

12Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir (1).

13Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 7 ayat (1).

(23)

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. Mendatangkan seorang ahli yang di perlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. Mendatangkan seorang ahli yang di perlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

j. Mengadakan penghentian penyidikan.

Selanjutnya menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam haldan menurut cara-cara yang di atur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.

Penyidik yaitu pejabat Polisi Negarai Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang di beri wewenang khusus oleh

(24)

Undang-Undang, maka seseorang yang ditunjuk sebagai penyidik haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan yang mendukung tugas tersebut, seperti misalnya mempunyai pengetahuan dan keahlian disamping syarat kepangkatan. Namun demikian KUHAP tidak mengatur masalah tersebut secara khusus. Menurut Pasal 6 ayat (2) KUHP, syarat kepangkatan pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) yang berwenang menyidik akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

3. Pengertian barang bukti

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

(25)

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti.14

Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:

a. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti).

b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti).

c. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti).

d. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti).

Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang- undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang

14.Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana (Jakarta: Sinar Grafika,1989), hal. 13-14

(26)

dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik.15 Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :

a. Merupakan objek materiil.

b. Berbicara untuk diri sendiri.

c. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya.

d. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa.

Terdapat beberapa definisi mengenai barang bukti sebagai berikut :

a. Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan Penyidik dalam penyitaan dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.16

b. Barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan (kejahatan dan sebagainya).17

c. Barang bukti adalah benda atau barang yang digunakan untuk meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang dituntutkan kepadanya.18

Jadi, dari pendapat beberapa sarjana hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :

a. Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.

15 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana (Jakarta: Sinar Grafika,2004),hal. 254.

16 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana: Untuk Mahasiswa dan praktisi (Bandung:Mandar Maju,2003), hal. 99-100.

17 Koesparmono Irsan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta:Erlangga,2007), hal. 90.

18 Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 47.

(27)

b. Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana.

c. Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana.

d. Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana.

e. Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara.

f. Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan.

Sedangkan Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

(28)

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:19

a. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat 1 KUHAP).

b. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani.

c. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas : 1. Jenis Penelitian

Dalam tulisan skripsi ini penelitian yang dipergunakan adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif dan bersifat yuridis empiris (studi lapangan).

Penelitian yang bersifat Yuridis Normatif adalah penelitian yang dilakukan berdasarkan peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang berkaitan. Penelitian yang bersifat Yuridis Empiris adalah penelitian yang melakukan pengumpulan data yang diperoleh dengan cara wawancara dari narasumber (informan) secara langsung yang dilakukan kepada pihak yang terkait dalam hal ini, pihak yang dimaksud adalah Satuan Kepolisian Kota Besar Medan.

2. Sumber data dan bahan hukum

19 Apa perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti?, http://www.hukumonline.com/k linik/detail/lt4e8ec99e4 d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti(diakses pada tanggal 29 agustus 2016).

(29)

Adapun juga jenis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah bersumber dari data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah data yang didapat peneliti dari hasil wawancara serta seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dalam permasalahan di dalam skripsi ini.20 Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti melalui penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-pendapat, tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi yang ada.

berupa bacaan yang relevan dengan materi yang sedang diteliti.

Adapun sumber data sekunder dapat dikelompokkan sebagai berikut : a. Bahan Hukum Primer, dalam Penelitian ini dipakai :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

4. Undang – Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

b. Bahan Hukum Sekunder berupa buku-buku yang berupa tulisan-tulisan atau karya-karya akademisi, ilmuwan atau praktisi hukum dan disiplin hukum lain yang relevan serta berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Selain itu juga dapat berupa artikel hukum yang telah diseminarkan dan berkaitan dalam penulisan.

20 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta, Rineka Cipta, 2010 ), hal.123.

(30)

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus umum dalam hal ini yang dipergunakan adalah KBBI, ensiklopedi,21 dan ditambahi dari website.

3. Teknik pengumpulan data atau bahan hukum

Dalam penulisan skripsi ini data yang dipakai adalah data yang didapatkan melalui langkah wawancara dengan pihak Satuan Kepolisian Kota Besar Medan.

Langkah tersebut diatas dilakukan untuk mendapat data yang akurat dan mendukung untuk pemecahan masalah dalam penyelesaian penelitian ini. Selain itu, teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini juga dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran hukum tersebut dengan melalui media internet.

4. Analisis data

Dalam pengolahan data yang didapat dari pencarian data kepustakaan, maka dapat dikatakan hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif yang artinya penelitian ini dilakukan dengan menggunakan nalar si peneliti, dimana di dalam menganalisis masalah hukum. Hal ini dapat dikatakan menggunakan analisa kualitatif karena pada tulisan ini dilakukan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, yang mengakibatkan dari teori-teori tersebut dapat ditarik

21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : UI Press, 1986), hal 52.

(31)

beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan akhir untuk kepentingan pembahasan tulisan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika pennulisan ini dibagi dalam beberapa bab, dalam bab tersebut terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian :

Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini akan diuraikan tentang penjelasan umum, seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar belakang masalah, Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan keputakaan, Metode Penulisan serta sistematika Penulisan.

Bab II adalah mengenai pengaturan hukum tentang tindak pidana narkotika dalam penyidikan. Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai latar belakang lahirnya Undang-Undang Hukum Tindak Pidana Narkotika, Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dalam hal penyidikan.

Bab III adalah peran penyidik dalam mengamankan barang bukti tindak pidana Narkotika ditinjau dari Hukum Positif Indonesia. Dalam bab ini akan di jelaskan menegenai peran penyidik dalam mengamankan barang bukti Tindak Pidana Narkotika ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, peran penyidik dalam mengamankan barang bukti Tindak Pidana Narkotika ditinjau dari Hukum Acara Pidana, serta peran penyidik dalam mengamankan barang bukti Tindak Pidana Narkotika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

(32)

Bab IV adalah pengamanan barang bukti dalam penyidikan yang dilakukan kepolisian selaku penyidik dalam tindak pidana narkotika khususnya di wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan. Dalam bab ini akan dibahas mengenai pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam hal mengamankan barang bukti Tindak Pidana Narkotika khususnya di wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan, proses penyidikan yang dilakukan kepolisian selaku penyidik dalam mengamankan barang bukti Tindak Pidana Narkotika khususnya di wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan, serta mengenai kendala-kendala yang dihadapi kepolisian selaku penyidik dalam mengamankan barang bukti tindak pidana Narkotika khususnya di wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Medan.

Bab V adalah Kesimpulan dan Saran. Bab ini adalah penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan disajikan kesimpulan dari seluruh hasil penelitian dan sertai saran atas permasalahan yang menjadi pokok pembahasan.

(33)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Latar belakang lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika . Kurang lebih tahun 2000 SM di Samaria dikenal sari bunga opion atau kemudian dikenal opium (candu = papavor somniferitum). Bunga ini tumbuh subur di daerah dataran tinggi di atas ketinggian 500 meter di atas permukaan laut.

Penyebaran selanjutnya adalah ke arah India, Cina dan wilayah-wilayah Asia lainnya.

Cina kemudian menjadi tempat yang sangat subur dalam penyebaran candu ini (dimungkinkan karena iklim dan keadaan negeri). Memasuki abad ke XVII masalah candu ini bagi Cina telah menjadi masalah nasional, bahkan di abad XIX terjadi perang candu dimana akhirnya Cina ditaklukan Inggris dengan harus merelakan Hong Kong. Pada zaman ini, narkotika bernama Gil artinya bahan yang menggembirakan. Gil digunakan sebagai obat sakit perut. Gil menyebar di dunia Barat sampai Asia dan Amerika.22

Di Tiongkok Gil dikenal dengan nama Candu yang dikenal sejak tahun 2735 sebelum Masehi. Candu pernah menghancurkan Tiongkok pada tahun 1840- an yaitu dipergunakan sebagai alat subversif23 oleh Inggris dan menimbulkan perang yang dikenal dengan perang Candu (The Opium War) pada tahun 1839-

22Zakky A.S, Menanggulangi Bahaya Narkotika (Jakarta: Redaksi Badan Penerbit Alda,2003), hal. 31.

23Lihat: subversif adalah Subversif merujuk kepada salah satu upaya pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara. Dalam bahasa Latin berarti, asal, awalnya tersebut berlaku untuk beragam aktivitas sebagai kemenangan secara militer dalam perebutan kekuasaan negara.

(34)

1842.24 Terdapat bahan lain yang menyerupai Candu yang berkembang di dunia Arab bernama Jadam. Jadam bukan tergolong obat bius seperti candu yang termasuk dalam V.M.O (Verdoovende Middelen Ordonantie), tetapi merupakan obat keras yang termasuk dalam SWGO (Strek Werkende Geneesmiddelen Ordonantie) 1949.25

Candu maupun Jadam berkembang penggunaannya oleh masyarakat dunia sampai sekarang. Berbagai macam bentuk Narkotika telah bermunculan baik yang tergolong alami maupun sintetis (buatan). Perkembangan peredaran narkotika yang cepat sehingga menimbulkan kasus-kasus kejahatan narkotika muncul di masyarakat.

Peredaran dan penggunaan narkoba di Indonesia dimulai sejak penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, narkoba banyak digunakan oleh masyarakat golongan menengah (khususnya keturunan Cina) sejak tahun 1617. Demikian membahayakan penggunaan narkoba sehingga pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan VMO Staatblad 1927 Nomor 278 jo Nomor 536 yaitu peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.26

Pemerintah Hindia Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang. Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia.

24Zakky A.S, Op.Cit., hal. 30.

25Moh. Taufik Makarao, dkk, Tindak Pidana Narkotika (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal. 10.

26Ibid, hal. 10.

(35)

Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan undang-undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).

PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) melalui dominasi negara-negara sekutu yang ada didalamnya, membuat suatu kesepakatan Internasional untuk mengawasi dan menegendalikan perdagangan opium. 27 Pengembangan kesepakatan tersebut menjadikan Amerika dan negara-negara Eropa merupakan pasar potensial obat-obatan berbahan dasar tumbuhan.

Pada tahun 1961 dibuat Kesepakatan Tunggal Obat-obatan Narkotika dengan memasukan Candu, Ganja dan Koka, meskipun secara ilmu farmasi Ganja dan Koka bukan merupakan narkotika. Pada tahun 1971 PBB membuat kesepakatan Internasional untuk obat-obatan Psikotropika, bahan-bahan yang bukan berasal dari tumbuhan namun berpotensi menjadi obat yang dikonsumsi secara meluas di Amerika dan Eropa.

Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan narkotika sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala tersebut berpengaruh di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia pada awal tahun 1970 sudah meluas di masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar sudah semakin banyak. Masyarakat dan pemerintah serta DPR memandang perlu

27Lihat : Opium adalah getah bahan baku narkotika yang diperoleh dari buah candu (Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum) yang belum matang.

(36)

segera dibentuk suatu undang-undang yang dapat menjangkau setiap bentuk penyalahgunaan narkotika.

Lebih lanjut Soedjono Dirdjosisworo berpendapat bahwa kecenderungan kecanduan dan ketagihan narkotika yang membutuhkan terapi dan perbedaannya dengan mereka yang mengadakan serta mengedarkan secara gelap tidak diatur secara tegas. Dari segi ketentuan-ketentuan pidana dan acara peradilan pidana telah pula mencerminkan kenyataan bahwa V.M.O telah tidak memenuhi syarat lagi sebagai undang-undang narkotika disamping tidak cocok lagi dengan kenyataan administrasi peradilan pidana pada saat ini.28

Selain penyalahgunaan narkotika terdapat jenis kejahatan yang muncul pada tahun 1970 dan menggangu stabilitas politik serta keamanan dalam rangka menjamin suksesnya pembangunan nasional. Pada tanggal 8 September 1971 Presiden mengeluarkan Intruksi Nomor 6 tahun 1971 kepada Kepala Bakin untuk memberantas masalah-masalah yang mengahambat pelaksanaan pembangunan nasional.

Terdapat 6 (enam) permasalahan pokok yang harus diberantas berdasarkan Inpres Nomor 6 tahun 1971, yaitu:

1. Kenakalan remaja.

2. Penyalahgunaan narkotika.

3. Penyelundupan.

4. Uang palsu.

5. Subversif.

28Soedjono Dirdjosiswor, Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia (Jakarta: Penerbit Alda,2003), hal. 14.

(37)

6. Pengawasan orang asing.

Inpres Nomor 6 tahun 1971 belum mampu menjangkau masalah penyalahgunaan narkotika. Ketentuan-ketentuan yang bersumber dari ketentuan lama yang memiliki kelemahan dinilai sebagai penyebabnya. Kelemahan tersebut adalah:

1. Tidak adanya keseragaman didalam pengertian narkotika.

2. Sanksi terlalu ringan bila dibanding dengan akibat penyalahgunaan narkotika.

3. Ketidaktegasan pembatasan pertanggung jawaban terhadap penjual, pemilik, pemakai, pengedar dan penyimpan narkotika.

4. Ketidakserasian antara ketentuan hukum pidana mengenai narkotika.

5. Belum ada badan bertingkat nasional yang khusus menangani masalah penyalahgunaan narkotika.

6. Belum adanya ketentuan khusus wajib lapor terhadap penyalahgunaan narkotika oleh masyarakat.

7. Belum adanya hal-hal yang khusus bagi yang berjasa dalam penyelidikan- penyelidikan perkara penyalahgunaan narkotika.

Adanya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan narkotika setelah badan koordinasi Inpres Nomor 6 tahun 1971 mulai bekerja. Kesadaran sosial yang timbul didalam masyarakat didukung oleh media komunikasi massa terutama dari kalangan pers. Partisipasi juga timbul dari kalangan ilmuwan termasuk ahli medis dan ahli hukum. Melalui partisipasi sosial ini terungkap bahwa salah satu kesukaran dalam memberantas para pengedar narkotika adalah

(38)

kesenjangan undang-undang yang berlaku saat itu. Undang-undang obat bius (V.M.O) sudah tidak cocok dan tidak mampu mengakomodasi pengaturan penggunaan maupun penindakan terhadap penyalahgunaan narkotika. 29

Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang Narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic).

Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (Pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.

Dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka Undang-Undang Anti Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang baru. Dalam undang-undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.

Untuk memberikan kepastian hukum dalam upaya penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika, maka sebagai dasar hukum undang-undang narkotika adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Dasar 1945.

2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan.

29 Sejarah Hukum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, https://cahwaras.wordpress.com/2010/04/25/sejarah-hukum-uu-no-22-tahun-1997-tentang-

narkotika/ (diakses pada tanggal 3 September 2016).

(39)

3. Intruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971.

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian.

5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesehatan.

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi.

7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa.

8. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

9. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1976 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

10. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta protokol yang mengubahnya.

11. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.

Dengan mengingat dasar-dasar ketentuan undang-undang tersebut diatas, maka pemerintah memutuskan:

1. Mencabut V.M.O (Verdoovende Middelen Ordonantie) tahun 1927 Nomor 278 jo. Nomor 536 sebagaimana telah diubah dan ditambah.

2. Memperbaharui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).

(40)

3. Menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3698).

Saat ini Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 huruf e dikemukakan:

“Bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara”.

Alasan inilah yang menyebabkan sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.

Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan 153 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, bahwa dengan berlakunya Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Undang-Undang No 35 Tahun 2009 disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif

(41)

maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, Undang-Undang Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan undang-undang terdahulu, 30 kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.

B. Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam hal Penyidikan

Lambat laun penyalahgunaan narkotika menjadi masalah yang serius, maka dari itu pada zaman Orde Baru pemerintah mengeluarkan regulasi berupa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Bahwa di dalam penanganan Tindak Pidana Narkotika sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika banyak mengalami perubahan dan perubahan yang paling menonjol adalah terbentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN) dibanding dengan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997.

Menghadapi permasalahan narkoba yang berkecenderungan terus miningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR- RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, Pemerintah membentuk Badan Koordinasi

30 http://ilmuhukum.umsb.ac.id/?id=177 (diakses pada 3 September 2016).

(42)

Narkotika Nasional (selanjutnya disebut BKNN),31 dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999.

BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personil dan menggunakan anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal karena keterbatasan biaya dan fasilitas.

BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional ( selanjutnya disebut BNN). BNN, sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengkoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi:

1. Mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba;

2. Mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba.

Mulai tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN) . Dengan alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama- sama dengan Badan Narkotika Provinsi (selanjutnya disebut BNP) dan Badan

31 Lihat : BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan Narkoba yang beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait.

(43)

Narkotika Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut BNK). Namun karena tanpa struktur kelembagaan yang memilki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja optimal dan tidak akan mampu menghadapi permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius. Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini segera menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota, yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan Anggota BNN terkait dalam satuan tugas, yang mana BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra kerja pada tingkat nasional, Provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota) tidak mempunyai hubungan struktural-vertikal dengan BNN.

Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan

(44)

Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Bahwa di dalam pencegahan dan pemberantasan narkotika dalam Pasal 64 UU Nomor 35 Tahun 2009, yaitu :

1. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dengan undang- undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disingkat BNN;

2. BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah non-kementerian yang berkedudukan di bawah presiden dan bertanggungjawab kepada presiden;

Berdasarkan undang-undang tersebut, status kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke Provinsi dan kabupaten/kota. Di Provinsi dibentuk BNN Provinsi, dan di Kabupaten/Kota dibentuk BNN Kabupaten/Kota. BNN dipimpin oleh seorang Kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.32 Maka dari itu tugas serta kewenangan BNN sesuai dengan bunyi Pasal 71 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Penyidik BNN sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 75 juga berwenang:

1. Mengajukan langsung berkas perkara, tersangka dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada Jaksa Penuntut Umum.

32 Sejarah BNN, http://www.bnn.go.id/read/page/8005/sejarah-bnn (diakses pada tanggal 4 september 2016).

(45)

2. Memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait.

3. Untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa.

Kemudian tata cara penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika maupun prekursor narkotika tetap mengacu pada Hukum Acara Pidana yang berlaku, namun apabila ditentukan lain maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut yang diberlakukan sesuai dengan Pasal 73 yang menyiratkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Undang-undang tersebut juga mengatur mengenai beberapa penyidik terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika:

1. Badan Narkotika Nasional;

2. Penyidik Kepolisian Negara RI;

3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil;

Adapun khususnya penyidik pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 82 yang berbunyi:

(46)

1. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam UU tentang hukum acara pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika;

2. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang narkotika dan prekursor narkotika berwenang:

a. Memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya dugaan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.

b. Memeriksa orang yang diduga melakukan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.

c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.

d. Memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.

e. Menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.

f. Memeriksa surat dan atau dokumen lain tentang adanya dugaan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.

g. Meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.

h. Menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.

(47)

Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika dan prekusor narkotika, penyidik Kepolisian Negara RI memberitahukan secara tertulis dimulainya penyelidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.33 Yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan ialah tiga institusi terkait yaitu penyidik kepolisian negara RI, BNN, dan penyidik pegawai negeri sipil tertentu namun dalam kewenangannya terjadi dualisme tata cara maupun kewenangan dalam melakukan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 UU Nomor 35 Tahun 2009 bahwa penyidik kepolisian negara RI dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ini.

Sedangkan bagi penyidik pegawai negeri sipil melakukan penyidikan mendasarkan sebagaimana Pasal 85 yang Berbunyi:

“Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara RI sesuai dengan UU tentang hukum acara pidana”.

Selain penyidik yang mempunyai wewenang sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tersebut, peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan. Bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas- luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.34

33 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,Pasal 84.

34Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 104.

Gambar

Tabel 1: DAFTAR NAMA PENYIDIK KEPOLISIAN KOTA BESAR  MEDAN 2016
TABEL 2: WAKTU DALAM PROSES PENYIDIKAN
TABEL 3 : DATA KASUS NARKOTIKA POLTABES MEDAN 2016  BULAN  TAHUN 2016  KETERANGAN
TABEL 4 : DATA TRANSPORTASI DINAS POLTABES MEDAN  JENIS KENDARAAN  KONDISI  JUMLAH

Referensi

Dokumen terkait

Where with houses you would get to know an area, type of property, and some of the people involved, with blog sales it is good to hang out at the popular blog sales sites and see

[r]

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengganalisis kinerja usahatani jagung pada penerapan inovasi varietas hibrida pada lahan kering di

Dengan melihat bahwa ada banyak aturan-aturan hukum yang menormakan bahwa sejatinya Negara Indonesia melindungi anak-anak beserta hak-haknya agar tidak dieksploitasi

Kalau seandainya tidak ada yang menanggung utangnya, Nabi berkata kepada kaum muslimin: S}alatkanlah kalian semua saudara kalian ini (jenazah yang mempunyai utang). Maka

Padahal Rhodamin B merupakan pewarna untuk kertas dan tekstil sehingga pewarna ini berbahaya bagi kesehatan (Salam, 2008). Permasalahan ini mendorong untuk

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Polresta Malang memiliki kendala dalam menertibkan pelaku usaha rental film yang menyewakan film tanpa lulus

Kelebihan metode yang digunakan pada penelitian ini dibanding dengan metode pihak lain dalam memberi solusi terhadap masalah yang ada adalah pada penelitian ini penulis