37 BAB V PEMBAHASAN
A. Hubungan antara Personality Traits dengan Burnout
Dari hasil penelitian terlihat bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan burnout (Sig. = .337) dengan nilai rerata burnout pada laki – laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Shrestha et al (2021), Hanifia (2018) dan Ling et al (2014) yang menyatakan bahwa terdapat nilai rerata burnout yang lebih tinggi pada laki – laki dibandingkan dengan perempuan dengan perbedaan yang tidak signifikan. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Hu et al (2014) menyatakan bahwa ada korelasi yang signifikan antara tingkat burnout dengan jenis kelamin.
Chunming et al (2017) menemukan bahwa mahasiswa laki – laki memiliki tingkat kelelahan emosional dan depersonalisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan tetapi memiliki tingkat penurunan pencapaian diri yang lebih rendah dibandingkan perempuan dan terlihat bahwa laki – laki mengalami tingkat burnout yang lebih tinggi secara keseluruhan dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan karena laki – laki cenderung hanya dapat melakukan satu hal tertentu dalam satu waktu sedangkan wanita melakukan berbagai tugas atau pekerjaan secara bersamaan dalam satu waktu (Hanifia, 2018) sehingga wanita dapat menyelesaikan beberapa masalah dalam satu waktu.
Berdasarkan uji korelasi koefisien eta yang telah dilakukan didapatkan bahwa personality traits memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan kejadian burnout (Sig. = 0.495). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al (2017) yang menyatakan bahwa ada korelasi yang signifikan antara big five personality traits dengan kejadian burnout. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yusoff et al (2021) mengatakan bahwa beberapa personality traits dapat berkontribusi secara tidak langsung dalam terjadinya stress dan penurunan wellbeing individu yang berperan dalam
38
perkembangan burnout itu sendiri dalam periode yang penuh tekanan.
Sebaliknya, dalam Kuczeroswma et al (2020) mengatakan beberapa pendapat menyatakan bahwa hubungan antara personality traits dan burnout tidak bisa ditunjukkan secara pasti.
Individu dengan personality trait agreeable dicirikan sebagai individu yang memiliki sifat mudah percaya, mudah terpengaruh, berhati lembut, suka menolong, peduli terhadap orang lain pemaaf, tidak egois serta kurang peduli dengan kekuasaan dan prestasi (Maylor, 2018). Tingginya rata-rata burnout pada personality trait agreeable (17.16) ini mungkin disebabkan karena individu dengan kepribadian ini memiliki ciri kepribadian diantaranya adalah mudah terpengaruh dan suka menolong, hal ini dapat mengakibatkan individu dengan kepribadian agreeable ini mengalami kelelahan ketika harus menyelesaikan masalahnya selagi membantu oranglain untuk menyelesaikan masalahnya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Maylor (2018) dan Morgan &
Bruin (2010) didapatkan adanya korelasi negatif antara agreeable dengan depersonalisasi dan korelasi positif dengan personal achievement. penelitian yang dilakukan oleh Magnano et al (2016) ditemukan bahwa agreeable tidak berhubungan secara signifikan terhadap ketiga dimensi dari burnout.
Rendahnya tingkat depersonalisasi dan tingginya personal achievement dapat mengindikasikan rendahnya kemungkinan seorang individu dengan kepribadian agreeable untuk mengalami burnout. Hal ini sesuai dengan penemuan hasil penelitian bahwa agreeable memiliki hubungan negatif dengan kekuatan cukup terhadap burnout.
Openness merupakan personality trait dengan ciri pribadi yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, kreatif, imajinatif, terbuka terhadap ide dan pengalaman baru serta mudah beradaptasi (Hardiyanti,2013).
Openness memiliki hubungan signifikan dengan pencapain diri (Maylor, 2018). Dalam Sharma et al (2017) dikatakan bahwa individu dengan kepribadian openness mudah menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan baru serta cenderung memiliki rasa penasaran yang tinggi untuk
39
bereksperimen dan mencari ide – ide baru untuk menghadapi masalah sehingga individu dengan kepribadian openness melihat suatu masalah bukan sebagai sesuatu yang mengancamnya. Di sisi lain, individu dengan kepribadian ini lebih mungkin untuk mengalami kelelahan emosional.
Ditemukan juga bahwa openness memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan depersonalisasi (Morgan & Bruin, 2010). Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa personality trait openness memiliki rata-rata burnout tertinggi dibandingkan dengan personality trait lainnya (18.50). Ini dapat disebabkan karena individu dengan kepribadian ini mudah untuk terdistraksi karena rasa keingintahuannya yang tinggi. Hal tersebut dapat mengakibatkan individu tersebut sulit untuk fokus pada satu masalah yang akhirnya dapat menyebabkan burnout.
Conscientious merupakan kepribadian dimana individu dapat diandalkan, bertanggung jawab, disiplin dan bersungguh – sungguh dalam melakukan suatu tugas sehingga kecil kemungkinannya untuk mengalami penurunan personal achievement (Maylor, 2018). Selain itu, individu dengan kepribdian conscientious dapat juga dicirikan sebagai individu yang perfeksionis. Tentunya hal ini bukan merupakan sesuatu yang merugikan, tetapi seseorang yang perfeksionis cenderung untuk bekerja terlalu keras dan tidak mudah puas terhadap hasil yang diterima. Usaha yang dilakukan untuk memenuhi kepuasan dan ekspektasi individu sendiri, lama kelamaan dapat mengakibatkan kelelahan pada individu yang dapat berakhir pada perkembangan burnout sehingga perlu diperhatikan bahwa individu dengan kepribadian ini tidak terlalu keras terhadap dirinya sendiri.
Namun, rendahnya nilai burnout pada personality trait conscientious pada penelitian ini (14.68) mungkin disebabkan karena individu dengan kepribadian ini disiplin, tepat waktu sehingga tugas ataupun masalah yang ada dapat diselesaikan dengan cepat yang mencegah penumpukkan dari tugas yang harus diselesaikan yang juga mencegah kelelahan fisik maupun emosi dari individu.
40
Dalam penelitian Sharma et al (2017) ditemukan bahwa conscientious memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan penurunan personal achievement. Hal ini disebabkan karena conscientious berhubungan dengan usaha yang persisten terhadap tujuan yang telah ditentukan sehingga individu dengan kepribadian ini memiliki motivasi yang tinggi serta rencana yang matang untuk menggapai tujuan tersebut. Selain itu juga ditemukan ada korelasi negatif antara conscientious dengan depersonalisasi (Morgan &
Bruin, 2010). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Magnano et al (2016) yang mengatakan bahwa conscientious tidak berhubungan secara signifikan terhadap ketiga dimensi dari burnout.
Extrovert dapat dicirikan sebagai pribadi yang optimis, energik, antusias, mudah bergaul dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi (Ramdhani, 2012). Pada penelitian yang dilakukan oleh Maylor (2018) ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kepribadian extrovert dengan personal achievement. Dengan kepribadian yang mudah bergaul, individu dengan personality trait extrovert ini lebih mudah untuk mencari bantuan jika diperlukan sehingga lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami penurunan personal achievement. Selain itu, ditemukan juga bahwa terdapat korelasi negatif antara extrovert dengan dimensi kelelahan emosional dari burnout (Morgan & Bruin, 2010). Hal ini disebabkan oleh, ciri kepribadian extrovert yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, penuh dengan hal – hal positif dan optimis sehingga individu cenderung untuk focus pada sisi baik dan sisi positif dari suatu situasi dibandingkan dengan sisi negatifnya (Sharma et al, 2017).
Pada penelitian ini ditemukan bahwa nilai rata-rata burnout dari personality trait extrovert ini cukup tinggi yaitu sebesar 17.54. Ini mungkin disebabkan karena individu dengan kepribadian extrovert ini cenderung lebih suka untuk bertemu dan berkumpul bersama orang lain yang dapat mempengaruhi urusan pribadinya, salah satunya adalah tugas ataupun masalah yang harus diselesaikan. Hal ini nantinya akan menyebabkan
41
individu untuk memberikan usaha lebih untuk menyelesaikan tugas tersebut ketika waktunya tugas tersebut sudah harus diselesaikan.
Neuroticism berhubungan dengan kurangnya stabilitas emosional individu (Maylor, 2018) dan identik dengan emosi negatif seperti sikap pesimis, cemas, gugup, tegang serta kurangnya kontrol diri dan mudah marah ketika menghadapi situasi yang tidak sesuai dengan ekspektasinya (Cervone
& Pervin, 2013). Individu dengan personality trait neuroticism cenderung memiliki tingkat kelelahan emosional dan depersonalisasi yang tinggi serta rasa pencapaian diri yang rendah yang akan berperan dalam perkembangan terjadinya burnout (Morgan & Bruin, 2010). Hal ini juga didukung oleh Magnano et al (2016) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa individu dengan stabilitas emosional yang rendah seperti kepribadian neuroticism lebih mudah untuk mengalami kelelahan emosi, depersonalisasi serta rendahnya pencapaian diri. Sesuai dengan hasil penelitian bahwa neuroticism memiliki korelasi positif yang signifikan dengan kekuatan hubungan yang sangat kuat.
Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Maylor (2018) menemukan bahwa personality trait Neuroticism memiliki pengaruh yang bermakna dengan kejadian burnout.
Rendahnya nilai rata-rata burnout pada personality trait neuroticism ini (15.50) dapat disebabkan karena individu dengan kepribadian ini cenderung memiliki ciri kepribadian yang realistis, intelijen serta dapat berpikir ke depan dan lebih siap terhadap keadaan yang negative. Hal ini dikarenakan individu ini lebih paham mengenai keadaan, lingkungan serta bahaya yang mereka hadapi sehingga individu lebih dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa individu dengan personality trait openness memiliki nilai rerata burnout yang paling tinggi dan sebaliknya neuroticism memiliki nilai rerata burnout yang cukup rendah berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Maylor (2018) yang mengatakan bahwa neuroticism memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap kejadian burnout. Perbedaan dari hasil penelitian ini mungkin
42
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya dalah faktor lingkungan dan perubahan metode pembelajaran dari pembelajaran luring menjadi pembelajaran daring selama pandemic Covid-19 ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Lee et al (2017) menyatakan bahwa individu dengan karakteristik kepribadian yang baik juga dapat mengalami burnout dikarenakan lingkungan sekolah yang kompetitif dan selalu memberikan tantangan pada mahasiswanya dalam jangka waktu yang lama.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian Kuczerowska (2020) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa efek dari faktor lingkungan juga sangat penting terhadap kejadian burnout. Lingkungan belajar yang kompetitif dapat mengakibatkan kelelahan secara fisik dan emosi pada mahasiswa yang dapat menyebabkan terjadinya burnout (Lee et al, 2017; Rehman et al, 2020).
Pembelajaran jarak jauh atau daring selama pandemik Covid juga memiliki pengaruh terhadap kejadian burnout. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rohmani & Andriani (2021) mengatakan bahwa siswa menganggap pembelajaran jarak jauh sebagai beban yang menyebabkan peningkatan dari tingkat kelelahan sehingga berdampak negatif pada pencapaian diri yang akhirnya dapat berujung mengalami burnout. Penelitian yang dilakukan oleh Febriani et al (2021) juga mengatakan bahwa pembelajaran jarak jauh ini merupakan kesulitan bagi siswa yang menyebabkan burnout.
Dari tabel 4.7 didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara angkatan dengan burnout. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ling et al (2014) dan Chunming et al (2017) mengatakan bahwa burnout ditemukan meningkat seiring dengan meningkatnya tingkatan mahasiswa dimana mahasiswa tahun pertama memiliki nilai burnout yang lebih rendah dibandingkan mahasiswa tahun kedua dan mahasiswa tahun kedua memiliki nilai burnout yang lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa tahun ketiga. Di sisi lain, studi yang dilakukan oleh Zhang et al (2013) dan Shrestha et al (2021) menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara burnout dengan tingkatan mahasiswa. Pada tabel 4.6 terlihat
43
bahwa angkatan 2019 memiliki nilai rerata burnout yang paling tinggi, kemudian diikuti dengan angkatan 2020 dan angkatan 2018 dengan nilai rerata burnout yang paling rendah.
Tingginya nilai rerata burnout pada mahasiswa angkatan 2019 disebabkan oleh transisi pembelajaran dari materi dasar ke materi klinis sesuai dengan kurikulum dimana tahun pertama mahasiswa mempelajari dasarnya terlebih dahulu dan materi klinis baru akan dipelajari mulai tahun kedua (Shrestha et al, 2021). Selain itu, mahasiswa tahun ketiga juga sudah harus mempersiapkan judul penelitian sebagai skripsi dan ujian bersama tahap satu sebagai persiapan memasuki dunia klinis sehingga hal tersebut dapat menambah beban akademik dari mahasiswa. Tidak berbeda jauh dengan nilai rerata burnout pada mahasiswa angkatan 2020, burnout pada mahasiswa tahun pertama bisa disebabkan karena mahasiswa memiliki tingkat tekanan yang tinggi dalam proses persiapan hingga penerimaan menjadi mahasiswa kedokteran dimana di dalam prosesnya tingginya tingkat persaingan serta banyaknya pelajar yang ingin menjadi mahasiswa kedokteran membuat peluang untuk diterimanya seseorang menjadi semakin sulit (Shrestha et al, 2021).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Boni et al (2018) dikatakan bahwa ketika pelajar berhasil menjadi mahasiswa kedokteran, kegembiraan saat memasuki perguruan tinggi ini akan segera tergantikan dengan rutinitas belajar yang intens, waktu istirahat yang berkurang, lingkungan belajar yang kompetitif, lingkungan baru yang jauh dari orangtua serta pengelolaan waktu dan keuangan pribadi. Hal-hal itulah yang kemudian akan berpengaruh pada terjadinya kelelahan fisik maupun emosional yang nantinya dapat berkembang menjadi burnout. Hal tersebut didukung oleh Chunming et al (2017) yang dalam studinya ditemukan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara tingkatan mahasiswa dengan salah satu dimensi dari burnout yaitu kelelahan emosional.
Di antara angkatan 2019, 2019 dan 2020, angkatan 2018 memiliki rerata burnout yang paling rendah Meskipun memiliki beban akademik yang lebih
44
berat serta harus mengikuti beberapa ujian lainnya seperti ujian tahap bersama sebagai persiapan memasuki dunia klinis, mahasiswa tahun ketiga telah terbiasa dan lebih memahami studi klinis sehingga hal tersebut dapat mengurangi kecemasan dari mahasiswa (Shrestha et al, 2021). Selain itu, waktu pengambilan data juga dapat berpengaruh pada tinggi atau rendahnya kejadian burnout pada mahasiswa. Tentunya data yang diambil pada periode yang penuh tekanan seperti periode ujian akan memberikan hasil yang berbeda dengan data yang diambil ketika baru memasuki tahun ajaran ataupun baru menyelesaikan tahun ajaran.
B. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini kurang dapat menggambarkan hubungan antara personality traits dengan burnout karena penelitian ini dilakukan dengan metode cross sectional sehingga tidak dapat menunjukkan hubungan sebab akibat karena pengukuran hanya dilakukan dalam satu waktu. Selain itu, pengambilan data dilakukan pada saat baru memulai semester baru sehingga kurang dapat menggambarkan kejadian burnout dalam periode waktu yang penuh tekanan. Pada penelitian ini, peneliti juga tidak meneliti lebih detail setiap dimensi dari burnout dan burnout hanya diukur secara kuantitatif bukan kualitatif.