1
1
1
ISSN : 2089 – 8193
Volume 8 | No.2 | Juli – Desember 2018
Diterbitkan Oleh :
Institut Kesehatan Medistra Lubuk Pakam www.medistra.ac.id
E-mail : [email protected]
ISSN: 2089-8193
KESTRA-NEWS
JURNAL ILMIAH INKES MEDISTRA LUBUK PAKAM
DAFTAR ISI
1. . Seminar Management Tekanan Intra Kranial (TIK) Untuk Perawatan ICU di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam
Grace Erlyn Damayanti Sitohang ... 1-8
2. . Workshop Fototerapi pada Neonatorum Ikterus Patalogis di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam
Dian Anggri Yanti ... 9-14
3. . Penyuluhan Penggunaan Kacamata Pelindung Terhadap Trauma Mata Pada Pekerja Bengkel Las Di Kecamatan Lubuk Pakam
Elfrida Simanjuntak ... 15-17
INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA LUBUK PAKAM
Volume: 8, No: 2 Juli – Desember 2018
1
SEMINAR MANAGEMENT TEKANAN INTRA KRANIAL (TIK) UNTUK
PERAWATAN ICU DI RUMAH SAKIT UMUM GRANDMED LUBUK PAKAM
GRACE ERLYN
INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA LUBUK PAKAM JALAN SUDIRMAN NOMOR 38 LUBUK PAKAM.
email korespondensi author:
@medistra.ac.id
DOI : https://doi.org/10.35451/jkf.v2i2.319 Abstract
Head injury is directly or indirectly mechanical injuries that resulted wound in the scalp, skull fracture, tear the lining of the brain, and brain damage, and neurological disorders. The basic method for brain protection of head injury patients are freeing the airway and giving adequate oxygenation. Giving oxygen and head elevation 30° of head are the appropriate action for the moderate head injury classification to launch the cerebral oxygen perfusion and to increase consciousness level. The purpose of this research were to determine the GCS before and after giving oxygenation with and position 30° of head and to analyze the effect of giving oxygen and headv elevation 30 °of head to change the levels of consciousness of moderate head injury patients. This research was an Quasi-Experimental study with 10 respondents. The test were used Paired Sample T-test Test. The results showed that there was an effect of giving oxygen and headv elevation 30 °of head toward to change the level of consciousness of moderate head injury patients. GCS average value before was 10.10 and GCS average after 12.90 value was with p value was 0.000. then it can be concluded that the hypothesis is accepted that there is an effect of giving oxygen and head elevation of 30º to the level of awareness in patients with moderate head injury at Grandmed Lubuk Pakam Hospital in 2019.
Keywords: Levels of Consciousness GCS, Moderate Head Injury, Position 30° of the Head
PENDAHULUAN
Prevalensi angka kejadian cedera otak traumatika di Negara berkembang seperti Amerika Serikat terjadi peningkatan sebesar 1,7 juta penduduk/tahun, dari peningkatan jumlah tersebut sebanyak lebih kurang 50.000 penduduk/tahun mengalami kematian, dan sebanyak 5 juta
penduduk/tahun mengalami
ketidakmampuan/ disabilitas akibat cedera kepala. Pada umumnya Cedera kepala lebih identik mengenai usia muda (15-19 tahun). Angka kejadian cidera kepala pada laki-laki 2 kali lebih sering terjadi dibandingkan pada anak
perempuan. Hal ini disebabkan karena anak laki-laki lebih sering mengendarai sepeda motor. Prevalensi cedera kepala di Negara Amerika Serikat adalah akibat terjatuh 35,2%, kecelakaan kendaraan bermotor 34,1%, perkelahian 10%, dan penyebab lain yang tidak diketahui 21%
(Iwan A et al,2015). Data World Health Organization (WHO) tentang cedera kepala menunjukkan 40-50% mengalami kecacatan permanen atau disabilitas.
Oleh karena itu, seseorang yang datang kerumah sakit dengan cedera kepala membutuhkan penangan yang cepat dan tepat agarpasien terhindar dari kecacatan
2 dan kematian. Oleh karena itu, seseorang yang datang ke rumah sakit dengan cedera kepala membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat agar pasien terhindar dari kecacatan dan kematian.
Cedera kepala akibat trauma lebih sering dijumpai di lapangan. Setiap tahunnya kejadian cedera kepala di Dunia diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala (Kemenkes RI, 2013).
Salah satu penyebab kematian terbesar di Dunia adalah trauma. Setiap tahunnya orang meninggal akibat trauma. Trauma sangat banyak terjadi di Negara berkembang dan atau negara dengan pendapatan rendah. Survei yang dilakukan menunjukkan sebesar 90%
trauma terjadi di negara berkembang.
Peningkatan kematian akibat kecelakaan lalu lintas diperkirakan meningkat 83%
di Negara berkembang pada tahun 2000- 2020, kasus yang paling banyak adalah cedera kepala. Kasus cedera kepala menjadi kasus cedera yang paling beresiko menyebabkan kematian dan kecacatan permanen pada pasien (Salim, 2015; Qureshi et al, 2013).
Cedera kepala termasuk gangguan pada otak yang bukan diakibatkan oleh suatu proses degeneratif ataupun kongenital, melainkan suatu kekuatan mekanis dari luar tubuh yang bisa saja menyebabkan kelainan pada aspek kognitif, fisik, dan fungsi psikososial seseorang secara sementara ataupun permanen dan berasosiasi dengan hilangnya ataupun terganggunya status kesadaran seseorang. Cedera kepala dapat disebut juga dengan head injury ataupun traumatic brain injury (Dawodu, 2016; Manley dkk , 2016).
Cedera Kepala yang didefinisikan sebagai sebuah proses patofisiologis kompleks yang mempengaruhi otak, yang disebabkan oleh kekuatan biomekanik.
Seseorang didiagnosis menderita Cedera Kepala umumnya mengalami setidaknya
satu dari efek samping berikut: somatik (mis. Sakit kepala), kognitif (mis.
perasaan dalam kabut, vertigo), emosional (mis. labilitas), fisik (mis. LOC, amnesia, kelelahan), perilaku (mis. lekas marah), kognitif (mis. merasa dalam kabut), atau tidur gangguan (mis.
insomnia). Berdasarkan gejala-gejala ini, beberapa alat diagnostik gegar otak telah dikembangkan (Ruff RM dkk, 2016;
McCrory P, Meeuwisse HM dkk, 2013).
Cedera kepala akan terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya pengguna kendaraan bermotor roda dua dan diperkirakan 39% kenaikan per tahun.
Kejadian cedera kepala di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Penderita cidera kepala meninggal sebelum tiba di rumah sakit sejumlah 10 % dan pasien yang sampai di rumah sakit, 80% di kelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10%
termasuk cedera kepala sedang, dan 10%
termasuk cedera kepala berat.
Pada tahun 2016, di RS Fatmawati yang bekerja sama dengan Korps Lalu Lintas (Korlantas) menerangkan bahwa penyebab kematian langsung terbanyak pada kecelakaan adalah cedera kepala.
Cedera kepala mempunyai persentase terbesar jenis cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada tahun 2010–2014.
Persentase tertinggi (75,4%) ada pada tahun 2011 dan terendah pada tahun 2014 (47,4%) (Lumban toruan, 2015;
Nasution, 2014; Djaja, dkk, 2016).
Pada kecelakaan lalu lintas, cedera kepala biasanya terjadi karena kepala yang sedang bergerak membetur sesuatu. Kepala yang sedang bergerak mendadak terhenti atau terpantul kembali. Apa yang terjadi pada kepala bergantung pada kekuatan benturan, tempat benturan dan faktor-faktor pada kepala itu sendiri. Serangan anoksik- iskemik yang fokal atau total, gangguan traumatik, peradangan, kelainan metabolik, perdarahan atau neoplasma, dapat mengakibatkan edema dan menurunkan aliran darah otak (ADO).
Menimbulkan gangguan neurologik dan kesadaran,menyebabkan kerusakan otak
3 yang menetap (Muhardi dkk , 2018).
Kasus kelompok Cedera Kepala Sedang menunjukkan pemulihan yang relatif lebih lambat, kompliksi neurologis.
Godoyet al, sangat menekankan pentingnya neuro imaging, penting untuk manajemen cedera kepala sedang yang tepat. Godoy et al mengusulkan skema baru kategorisasi kasus cedera kepala menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah cedera kepala yang berpotensi parah, dengan skor GCS 9- 10, sedangkan kelompok lain dengan GCS abnormal 11-13 (Godoy DA dkk,2016).
Masalah memori kronis sering dikaitkan dengan Cedera Kepala dan mungkin berkontribusi pada kesulitan dalam pemulihan. Yang paling umum, dan berpotensi masalah yang paling melemahkan, masalah memori pada korban Cedera Kepala adalah yang terkait dengan memori verbal episodik. Kronis gangguan fungsi tidak mudah diprediksi oleh tingkat keparahan cedera, cedera situs, atau respons akut terhadap perawatan seperti rehabilitasi kognitif terapi. Memahami mekanisme saraf yang mendasarinya variabilitas dalam kinerja memori setelah Cedera Kepala dapat membantu menjelaskan variabilitas dalam lintasan pemulihan, dan karenanya dapat menyebabkan perbaikan dalam strategi pengobatan (Vanderploeg RD dkk, 2016;
Curtiss G dkk, 2016; Cicerone KD dkk, 2016).
Cedera Kepala dapat diklasifikasikan menjadi cedera primer dan sekunder.
Cedera primer adalah cedera utama, terjadi pada saat cedera itu berlangsung, sedangkan cedera sekunder terjadi setelah momen tumbukan, sering menyebabkan kerusakan tambahan ke otak yang sudah terluka. Klasifikasi lain membagi Cedera Kepala menjadi cedera fokus (mis., memar atau laserasi) atau cedera difus (seperti dengan gegar otak atau cedera aksonal difus) Cedera Kepala juga dapat dinilai dengan keparahan: ringan, sedang dan berat, dengan Cedera Kepala Berat dapat didefinisikan pada Glasgow Coma Score dengan nilai score 8 atau kurang dengan perubahan status mental melebihi 6 jam.
Cedera kepala ringan didefinisikan sebagai
perubahan status mental yang berlangsung lamakurang dari 30 menit dari waktu cedera, Cedera Kepala Sedang memiliki perubahan status mental yang terkait berlangsung 30 menit hingga 6 jam (Freire MA, 2012).
Penilaian awal keparahan cedera biasanya dilakukan melalui penggunaan Glasgow Coma Scale (GCS), yang merupakan skala lima belas poin berdasarkan pada tiga ukuran bruto fungsi sistem saraf untuk memberikan tingkat koma yang cepat dan umum. GCS dengan cepat membedakan keparahan cedera otak sebagai "ringan", "sedang" atau
"berat", menggunakan tiga tes, yang mengukur respons mata, verbal, dan motorik. Umum nya yang menjadi titik pemisah yang memisahkan cidera kepala ringan pada kisaran 13 - 15, cidera kepala sedang pada kisaran 9 - 12, dan cidera kepala berat pada 8 atau di bawah.
Tingkat kesadaran atau skor GCS ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan pada pasien cedera kepala. Skor GCS awal yang rendah pada awal cedera akan memiliki outcome yang buruk (Reith FC, 2015;
Reihani, 2017; Okasha et al, 2014).
Masalah keperawatan yang muncul dengan cedera kepala sedang di antaranya adalah ketidakefektifan perfusi jaringan serebral pada pasien cedera kepala ringan ditandai dengan adanya penurunan sirkulasi jaringan otak, akibat situasi O2 di dalam otak dan nilai Gaslow Coma Scale menurun. Keadaan ini mengakibatkan disorientasi pada pasien cedera kepala. Ketidakefektifan perfusi apabila tidak di tangani dengan segera akan meningkatkan tekanan intrakranial.
Penanganan utama pada pasien cidera kepala dengan meningkatkan status O2 dan memposisikan pasien 15 - 30° (Soemarno Markam, 2018).
Hal yang harus diperhatikan untuk kasus cidera kepala kelancaran jalan napas (airway). Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha
4 untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis, yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam situasi ini dapat melakukan tindakan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Apabila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia (Ester, 2014).
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi Pernapasan pasien yang mengalami cedera kepala, diantaranya adalah usia, mekanisme terjadinya injuri, dan adanya penggunaan ventilasi mekanik. Perubahan frekuensi pernafasan menyebabkan saturasi oksigen dalam darah menurun yang diikuti perfusi jaringan yang menurun juga. Perfusi jaringan otak yang rendah pada otak dapat menyebabkan perburukan kondisi pasien cedera kepala, sehingga pasien memiliki outcome yang buruk. Semakin tinggi perfusi oksigen ke otak maka outcome pasien cedera kepala semakin baik (Bouzat et al, 2015; Kondo et al;
2011; Laytin et al, 2015; Safrizal et al, 2013).
Pemberian Oksigen 100% dalam jangka pendek untuk tujuan resusitasi otak dapat dilakukan, tetapi untuk pemberian dalam waktu lama, cara yang aman ialah pemberian oksigen sampai 50%. Bila dengan pemberian oksigen 50%
dalam udara inspirasi belum tercapai PaO2 yang diinginkan antara 80 – 100 mmHg, kalau dapat melebihi 100 mmHg, maka harus dipikirkan adanya peninggian
“shunting” dalam paru, dan untuk mengatasi hal ini adalah dengan menggunakan tekanan akhir ekspirasi positif (Weis, H.M, 2018).
Berdasarkan hasil Pengabdian Kepada Masyarakat March, dkk 2014, bahwa pemberian posisi kepala 30º pada pasien cedera kepala bertujuan memberikan keuntungan dalam meningkatkan oksigenasi. Suplai oksigen terpenuhi dapat meningkatkan rasa nyaman dan rileks sehingga mampu menurunkan intensitas nyeri kepala pasien dan mencegah terjadinya perfusi jaringan serebral. Elevasi 30 derajat yaitu memperbaiki drainase vena, perfusi
serebral, dan menurunkan tekanan intrakranial. Elevasi kepala dapat menurunkan tekanan intra kranial melalui beberapa cara, yaitu menurunkan tekanan darah, perubahan komplians dada, perubahan ventilasi, meningkatkan aliran vena melalui vena jugularis yang tak berkatup, sehingga menurunkan volume darah vena sentral yang menurunkan tekanan intra kranial. Perpindahan CCS dari kompartemen intra kranial ke rongga sub araknoid spinal1 dapat menurunkan tekanan intra kranial (March KS dkk, 2014;
Safar P dkk, 2018; Indra dan Reggy, 2016).
Hal pertama yang harus dinilai apabila bertemu dengan pasien cedera kepala adalah kelancaran jalan napas (airway). Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis, yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher . Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia(Ester, 2014).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam menunjukkan penderita cedera kepala pada tahun 2017 sebanyak 218 orang pasien sedangkan pada bulan September 2018 sampai bulan Maret 2019 sebanyak 80 orang pasien dan setiap bulannya terdapat 20 orang pasien yang mengalami cedera kepala. Dari kasus di atas dapat disimpulkan angka kejadian pasien cedera kepala terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, dan pasien tersebut sering mengalami penurunan kesadaran akibat hipoksia dan peningkatan tekanan intra kranial. Terjadinya penurunan ventilasi paru sehingga pemenuhan oksigen terganggu. Berdasarkan observasi yang dilakukan pada pasien cedera kepala membutuhkan oksigenasi dan elevasi kepala 30º dalam peningkatan kesadaran
5 dan mengurangi nyeri kepala. Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada sentral otak dan batang otak. Pemberian oksigenasi membantu otak mendapatkan oksigen. Oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target saturasi O2 > 92%.
Pemberian elevasi kepala 30º dapat mengurangi nyeri kepala sehingga menurunkan tekanan intra kranial pada pasien cedera kepala.
METODE PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
Jenis Pengabdian Kepada Masyarakat kuantitatif yang bersifat Quasy Eksperimen (eksperimen semu) dengan rancangan Pengabdian Kepada Masyarakat Cross Sectional. Desain Pengabdian Kepada Masyarakat adalah pra eksperimen (one group pretest postest design ) yaitu Pengabdian Kepada Masyarakat yang menggunakan satu kelompok subyek. Pengukuran dilakukan sebelum dan setelah perlakuan, yaitu menganalisa pengaruh pemberian oksigenasi dan posisi elevasi kepala 30º terhadap tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang.
Populasi dalam Pengabdian Kepada Masyarakat ini adalah seluruh pasien cedera kepala yang di rawat inap di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam pada bulan September 2018 sampai Maret 2019 berjumlah 80 orang. Tehnik Sampling yang digunakan purposive sampling, yaitu tehnik penentuan sample dengan pertimbangan tertentu yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria Pengabdian Kepada Masyarakat kemudian dimasukkan ke dalam Pengabdian Kepada Masyarakat sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah responden dapat terpenuhi.
Pengumpulan data melalui lembar observasi peningkatan kesadaran sebelum dan sesudah dilakukan tindakan pemberian oksigen 100 % dan elevasi kepala 30º pada pasien cedera kepala sedang. Sedangkan pengumpulan data untuk tingkat kesadaran dengan menggunakan lembar observasi penilaian GCS pada pasien cedera kepala sedang.
Untuk menganalisis adanya pengaruh
pemberian oksigen dan elevasi kepala 300 terhadap tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang dengan menggunakan uji Statistic Paired Sample T-test dengan tarif tingkat kepercayaan 95% (p Value ≤ α). Pembuktian ini dilakukan untuk membuktikan hipotesis ada pengaruh apabila p ≤ 0.05
HASIL
Rerata nilai tingkat kesadaran responden sebelum dilakukan pemberian oksigen dan elevasi kepala 300 pada pasien cedera kepala sedang sebanyak 10 orang yaitu 10.10 pada tingkat kesadaran sedang dengan Standar Deviasi (SD) 0,876.
Rerata nilai tingkat kesadaran responden sesudah dilakukan pemberian oksigen dan elevasi kepala 300 pada pasien cedera kepala sedang sebanyak 10 orang yaitu 12.90 pada tingkat kesadaran sedang dengan Standart Deviasi (SD) 1.190.
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Dependent Sample T- Test / Paired T-Test menunjukkan bahwa p Value yaitu 0.000 yang berarti p Value ≤ 0.05. Hal ini berarti ada pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang sebelum dan sesudah dilakukan pemberian oksigen dan elevasi kepala 300.
PEMBAHASAN
Tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang sebelum dilakukan pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam Tahun 2019. Hasil analisis tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang sebelum dilakukan pemberian oksigen dan elevasi kepala 300 yaitu 10.10 dengan Standart Deviasi 0,876.
Nilai rata-rata tingkat kesadaran didapatkan data yang homogen, dapat diartikan bahwa seluruh pasien cedera kepala mengalami gangguan tingkat kesadaran sebelum diberikan perlakuan.
Pasien cedera kepala sedang mengalami penurunan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam dan ditemukan kelainan pada CT scan
6 otak. Hal ini dapat menyebabkan tubuh secara fungsional akan mengalami kemunduran atau bahkan dapat menimbulkan kematian Oktavianus, 2014.
Nilai GCS cedera kepala sedang (9 - 12) dinilai seberapa besar gawat keadaan pasien tersebut dan penanganan yang dilakukan. Pasien cedera kepala cenderung mengalami penurunan kesadaran akibat perdarahan pada kepala disertai dengan kekurangan suplai oksigen, peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan nyeri kepala, tekanan darah meningkat, mual muntah dan perubahan perilaku.
Hasil Pengabdian Kepada Masyarakat ini didukung oleh pendapat (Oktavianus, 2014) yaitu penanganan cedera kepala harus dilakukan dengan benar dan tepat karena akan mempengaruhi keadaan pasien. Tindakan utama yang dilakukan mencegah kerusakan otak yang akan menyebabkan iskemik. Metode dasarnya dengan cara pemberian oksigen yang adekuat dan elevasi kepala 30º.
Skor rata-rata tingkat kesadaran sebelum dilakukan pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º banyak mengalami pemenuhan oksigen, nyeri kepala, dan peningkatan tekanan darah yang belum teratasi, hal ini disebabkan karena terjadinya hipoksia tidak terpenuhi secara maksimal oksigen ke otak dan trauma yang hebat yang menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Pada keadaan kritis pasien cedera kepala mengalami perubahan baik secara psikologis maupun fisiologis, oleh karena itu sangat penting peran seorang perawat kritis dalam posisi sentral untuk memahami semua perubahan yang akan terjadi pada pasien, mengidentifikasi masalah keperawatan dan tindakan yang akan diberikan pada pasien. Pengkajian tingkat kesadaran pasien cidera kepala dilakukan secara kuantitatif yang biasa digunakan pada kondisi emergensi atau kritis menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) (Oktavianus, 2014).
Menurut hasil Pengabdian Kepada Masyarakat para peneliti bahwa pada pasien cedera kepala sedang akan mengalami penurunan kesadaran akibat perdarahan pada kepala dan kemungkinan mengalami fraktur tengkorak. Keadaan
pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran memerlukan batuan pernafasan seperti oksigen dan elevasi kepala 30º.
Jika kegawatdaruratan bisa dengan membebaskan jalan nafas (airway). Untuk itu perlu dilakukan tindakan pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º.
Tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang sesudah dilakukan pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam Tahun 2019. Hasil analisis tingkat kesadaran pada pasien sesudah dilakukan pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º yaitu 12.90 dengan Standard Deviasi (SD) 1.190.
Pasien dengan cedera kepala sedang membutuhkan oksigen dan elevasi kepala 30º dalam peningkatan kesadaran.
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada sentral otak dan batang otak. Otak merupakan organ yang sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen.
Otak masih mampu menoleransi kekurangan oksigen berlangsung dari 5 menit, lebih dari 5 menit dapat terjadi kerusakan otak secara permanen. Oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target saturasi > 92%.
Nyeri kepala yang timbul akibat trauma pada kepala diakibatkan karena terjadinya peningkatan tekanan intra kranial. Nyeri kepala mengakibatkan rasa tidak nyaman pada pasien. Peningkatan tekanan intra kranial juga mengakibatkan penurunan kesadaran maka dari itu memberikan elevasi kepala 30º dapat menurunkan tekanan intra kranial.
Tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang harus dilakukan tindakan segera mungkin membebaskan jalan nafas, pemberian oksigen yang adekuat dan memberikan elevasi kepala 30º. Setelah dilakukan pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º maka hasil pengkajian pada pasien cedera kepala, responden yang diberikan oksigen dan elevasi kepala 30º dapat dilihat dari respon mata yang rentan terhadap suara, respon verbal dilihat dari cara pasien mengucapkan kata - kata benar, dan kalimat, respon motorik melokalisir nyeri, hal ini dapat dinilai dengan menggunakan instrument Glasgow Coma Scale (GCS).
Pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º
7 yang membantu peningkatan tingkat kesadaran dan memperbaiki sirkulasi oksigen ke otak, nyeri kepala akibat trauma menurun, tekanan darah stabil, sehingga pertukaran gas yang maksimal meningkatkan kesadaran. Dengan meningkatnya jumlah oksigen di dalam darah, homeostatis menjadi seimbang maka tubuh akan mengupayakan peningkatan kebutuhan oksigen dalam tubuh.
Penatalaksanaan pemberian oksigen pada pasien cedera kepala sedang menggunakan rebreathing mask dan simple mask yang diberikan 8 - 10 liter / menit dengan saturasi oksigen 95% - 100%. Indikasi pemberian oksigen disebabkan oleh hipoksia sedang dan berat. Konsentrasi oksigen yang lebih tinggi akan meningkatkan pemenuhan oksigen (Korzier, dkk 2010). Pemberian Oksigen adalah tehnik yang paling sering dilakukan medis untuk keberlangsungan hidup pasien.
Penatalaksanaa pemberian elevasi kepala 30º pada pasien cedera kepala sedang dengan mengatur bed pasien pada bagian kepala menjadi elevasi kepala 30º.
Indikasi pemberian elevasi kepala 30º disebabkan oleh terjadinya peningkatan tekanan intra kranial ditandai dengan nyeri kepala akibat trauma pada bagian otak, tekanan darah yang meningkat, mual muntah, perubahan perilaku. Elevasi kepala 30º akan meningkatkan aliran vena jugularis yang tak berkatup sehingga mampu menurunkan volume darah vena sentral yang menurunkan tekanan intrakraninal sehingga nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, mual muntah dan perubahan perilaku pada pasien cedera kepala sedang dapat teratasi.
Menurut asumsi peneliti pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º pada pasien cedera kepala ringan, sedang dan berat mampu meningkatkan aliran vena melalui vena jugular yang tak berkatup sehingga oksigen dapat adekuat sampai ke otak dan berdampak pada peningkata kesadaran pada pasien cedera kepala sedang menjadi ringan.
Pengaruh pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º sebelum dan sesudah terhadap tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang di Rumah sakit
Grandmed Lubuk Pakam Tahun2019.
Perbedaan rata-rata antara pengukuran pertama dan kedua yaitu 2.800 (95% C1: 3.457- 2.143) dengan standar deviasi (SD) 0.919. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rerata pengukuran pemenuhan kebutuhan oksigen dan elevasi kepala 30º pada pasien cedera kepala sedang pretest dan posttest adalah 0.919.
Dari Hasil uji statistik, bahwa nilai p Value = 0,000 < (α = 0,005) maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º terhadap tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam Tahun 2019.
Beberapa komplikasi terjadi pada pasien cedera kepala sedang seperti perdarahan, kejang, infeksi, edema dan herniasi melalui tontronium. Keadaan ini menyebabkan perdarahan di antara tulang tengkorak dan permukaan serebral.
Kompresi otak akan menghasilkan efek yang dapat menimbulkan kematian dengan cepat dan keadaan semakin memburuk, mengatasi komplikasi tersebut perlu dilakukan proteksi pada otak dengan membebaskan jalan nafas (airway) dan pemberian oksigen kotrasi tinggi.
Menurut asumsi peneliti bahwa responden setelah dilakukan pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º mengalami peningkatan tingkat kesadaran dan pada sebelum dilakukan pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º. Pemberian oksigen disesuaikan dengan kebutuhan oksigen dan ketika dilakukan pemberian oksigen sekaligus pasien di berikan posisi elevasi kepala 30º. Otak mempunyai tingkat metabolisme yang tinggi, aliran darah diotak juga harus terjaga agar metabolisme dengan bantuan oksigen dapat berlangsung dengan baik di otak.
Pemberian elevasi kepala 30º menurunkan tekanan intrakranial sehingga memberi kelancaran pada aliran darah vena di otak sehingga oksigen dapat adekuat, nyeri kepala teratasi, mual muntah teratasi dan tekanan darah stabil.
Pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º pada pasien cedera kepala sedang tersebut mempunyai kualitas peningkatan kesadaran yang cenderung meningkat
8 dimana ada perbedaan sebelum dilakukan penanganan dan sesudah dilakukan penanganan sehingga dapat meminilisir cedera kepala sedang ke keadaan yang lebih buruk.
KESIMPULAN
Tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang sebelum dilakukan pemeberian oksigen dan elevasi kepala 30º yang memiliki rata- rata 10.10 dengan Standart Deviasi (SD) 0.876.
Tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang sesudah dilakukan pemeberian oksigen dan elevasi kepala 30º yang memiliki rata-rata 12.90 dengan Standart Deviasi (SD) 1.197.
Tingkat kesadaran rata-rata sebelum dan sesudah dilakukan pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º 2.800 dengan Standart Deviasi (SD) 0,919.
Ada pengaruh pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º terhadap tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang dengan nilai p Value = 0,000.
DAFTAR PUSTAKA
AnnammaJacob. (2014). Clinical Nursing Procedures. Jakarta : EGC.
Badan Pengabdian Kepada Masyarakat dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2013).
Riset Kesehatan Dasar 2013.
Brunner & Suddart. (2018). Keperawatan Medikal –Bedah. Jakarta : EGC.
Curtiss G, Vanderploeg RD, Spencer J, Salazar AM (2016). Patterns of verbal learning and memory in traumaticbrain injury. See comment in PubMed Commons below J Int Neuropsychol Soc.
Dawodu ST. (2016). Traumatic brain injury- definiton and pathophysiology.www.
Emedicine.Medscape.Com Sept 2012.
Decuypere M, Klimo P Jr. (2012).
Spectrum of traumatic brain injury from mild to Severe : Turkey : Surg Clin North Am.
Ehsaei, M. R., Sarreshtedar, A., Ashraf, H., & Karimiani, E. G. (2014).
Trauma Mortality; Using Injury Severity Score (ISS) for Survival Predictionin East of Iran. Razavi International Journal Medicine.
Esther IM, Miranda, Maximillian Ch.O &
Limpeleh,Hilman (2014). Gambaran CT Scan Kepala Pada Penderita Cedera Kepala Ringan di BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Periode 2012 –2013. Jurnal e – Clinic Volume 2, Nomor 2, Juli 2014.
Frattalone AR, Ling GS. (2013). Moderate and severe traumatic brain injury:
pathophysiology and management.
New Delhi, India : Neurosurgery Clinic and Aim.
Freire MA. (2012). Pathophysiology of neuro degeneration following traumatic brain injury. Canada : West Indian Med J.
George Dewanto. (2013 ). Diagnosis &
Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta : EGC.
Godoy DA, Rubiano A, Rabinstein AA, Bullock R, Sahuquillo J. (2016).
Moderate traumatic brain injury : The grey zone of neurotrauma. New Delhi, India: Neurocrit Care.
Manley, T. (2016). Early Management of Severe Traumatic Brain Injury.
Journal of The Lancet.
Mc Crory P, Meeuwisse HM, Aubry M, Cantu B, DvorákJ, et.al. (2013).
Consensus statement on concussion in sport : The 4th international conference on concussion in sport held in Zurich, November 2012. Br J Sports : USA.
Nasution, S. H. (2014). Mild Head Injury.
Medula. Vol. 2 : 4. Lampung:
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Reihani H, Pirazghandi H, Bolvardi E, Ebrahimi M, Pishbin E, Ahmadi K, Safdarian M, SaadatS, Movaghar VR.(2017). Assessment of mechanism, type and severity of injury in multiple trauma patients : a cross sectional study of a trauma center in Iran, Chinese Journal of Traumatology.
Reith FC, Brennan PM, Maas AI, Teasdale GM.(2015).Lack of standardlization in the use of the glasgow coma scale. USA : Results of international
9 surveys. Journal of Neurotrauma.
Rogatzki MJ, Baker JS. (2016). Traumatic Brain Injury in Sport with Special Focus on Biomarkers of Concussion Injury. USA : J Neural Neurophysiology.
Ruff RM, Iverson GL, Barth JT, Bush SS, Broshek DK; NAN Policy and Planning Committee (2016).
Recommendations for diagnosing a mild traumatic brain injury : A
National Academy of
Neuropsychologyeducation paper.
Arch Clin Neuropsychol
PENGARUH FOTOTERAPI TERHADAP PENURUNAN TANDA IKTERUS
NEONATORUM PATOLOGIS DI RUMAH SAKIT GRANDMED
10
LUBUK PAKAM
DIAN ANGGRI YANTI1, ISKANDAR MARKUS SEMBIRING2, SYATRIAWATI2, INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA LUBUK PAKAM
JALAN SUDIRMAN NOMOR 38 LUBUK PAKAM.
email korespondensi author:
e-mail: [email protected]
DOI: 10.35451/jkf.v4i1.792
Abstract
Pathological neonatal jaundice is a liver or liver disease which causes yellowing of the baby’s skin and newborn’s eyes. The yellow color that occurs is caused by hight bilirubin in the blood because that baby’s liver is not yet mature enough. Objective : this study generally aims to determine whether there is an effect of phototerapy on the reduction in pathological neonatal care unit (NICU) room at the Grandmed Lubuk Pakam Hospital in 2020. Method : The type of ths research is expermental quantitative with One Group pre Test and post-test,namely research using comparison ( control ) groups, measurements are carried out before and after treatment.
Provision of phototerapy is beneficial iin reducing the pathological neonatal jaundice sign. The number of samples with male sex is 31 people ( 57.4%) and the sample of female gender is 23 people (42.6%). Results : The administration of phototeray for the reducton in pathological neonatal jaundice signs using statistical analysis paired t- test obtained a value of p 0,000 <c 0.05. Conclusion : There s significant effect on the administration of phototherapy on the decrease in pathological neonatal jaundice signs. Suggeston : The researcher recommends that the researcher recommends that the researcher recommends that the researcher recommends that the researcher further adds the number of samples and a longer time so that the results obtained are more optimal.
Keywords: pathological;neonatal jaundice;phototherapy 1. PENDAHULUAN
Ikterus neonatorum merupakan keadaan klinis pada bayi yang di tandai oleh pewarnaan kuning yang tampak di kulit, conjungtiva dan skelara mata yang disebabkan oleh akumulasi bilirubin bebas di dalam darah yang berlebihan. Dampak dari ikterus neonatorum dapat berbahaya jika bilirubin bebas masuk ke dalam sel- sel otak yang menyebabkan kerusakan sel- sel otak secara permanen. Ikterus neonatorum sering ditemukan pada bayi cukup bulan, lebih bulan dan terutama bayi kurang bulan. Ikterus atau dikenal dengan penyakit kuning terkait erat dengan bayi premature dan bayi cukup bulan. Dilaporkan, bahwa sekitar 15 juta bayi lahir premature di dunia setiap tahun, lebih dari satu dari 10 kelahiran. Kelahiran premature
meningkat setiap tahun dihampir semua Negara. 6 kelahiran premature adalah kelahiran hidup dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu, yang menyebabkab morbiditas dan mortalitas perinatal (Prasetyo, 2019).
World Health Organization ( WHO) tahun 2018 menyatakan kejadian Ikterus di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65%
menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya (Indriyani, 2019).
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas,2015) menunjukan angka bilirubin tinggi pada bayi baru lahir Indonesia sebesar 51,47%, di Sumatra barat 47,3% dengan faktor penyebabnya antara lain Asfeksia 51%, BBLR 42,9%
Section Cesaria 18,9% Prematur 33,3%, kelainan kongenital 2,8%, sepsis 12%. Insidensi ikterus di indonesia pada bayi cukup bulan di beberapa RS
11 pendidikan antara lain RSCM, RS Sardjito, RS Dr.Soetomo, semarang dari 13,7% (Triana, 2019). Tatalaksana bilirubin dapat dilakukan dengan pemberian fototerapi (Marnoto,2013).
Fototerapi adalah pengobatan utama pada neonatus dengan bilirubin tinggi dan digunakan pada bayi baru lahir (Judarwanto, 2012). Fototerapi dianggap lebih mudah dan murah sebagai langkah awal penurunan Kadar bilirubin. Peneliti terdahulu oleh Dewi,dkk (2017) dengan judul Efektivitas Fototerapi Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubin Neonatal di RSUP Sanglah. Hasil Pengabdian kepada masyarakat diketahui bahwa penurunan kadar bilirubin setelah dilakukan fototerapi selama 24 jam.
Fototerapi diberikan dengan jarak 10 – 20 cm, semakin dekat bayi dengan sinar fototerapi maka akan semakin efektif untuk menurunkan kadar bilirubin total pada nilai kelompok IV ( p20mg/dL) yang dilakukan fototerapi selama 24 jam. Pengabdian kepada masyarakat Bunyaniah (2013) dengan hasil terdapat pengaruh fototerapi terhadap derajat ikterus pada bayibaru lahir di RSUD Dr.Moewardi (Dewi, 2017).
Survey awal yang dilakukan ke Rumah Sakit Grandmed lubuk pakam sebanyak 220 bayi dengan diagnosa ikterus neonatorum. Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti ingin mengetahui pengaruh pemberian fototerapi terhadap penurunan tanda ikterus neonatorum Di ruang Neonatal Intervensi care unit (NICU) Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam.
2. METODE
Pengabdian kepada masyarakat ini adalah Kuantitatif bersifat eksperimen dengan rancangan One Group pre-post test, yaitu Pengabdian kepada masyarakat yang tidak menggunakan kelompok perbandingan (kontrol), pengukuran dilakukan sebelum dan
sesudah perlakuan (Nursalam, 2017).
Pada Pengabdian kepada masyarakat ini peneliti melakukan intervensi yaitu pengaruh fototerapi terhadap penurunan tanda ikterus neonatorum. pemberian fototerapi ini diberikan dengan sengaja terencana, kemudian dinilai pengaruhnya pada pengujian kedua.
3. HASIL
Analisa Univariat
Karakteristik Responden dalam Pengabdian kepada masyarakat ini berdasarkan jenis kelamin dan berat badan adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Responden di Rumah Grandmed Lubuk Pakam
NO JK F (%)
1 LAKI-LAKI 31 57,4
2 PEREMPUAN 23 42,6
TOTAL 54 100,0
BB F (%)
1 2000-3000 19 35,2
2 3001-4000 35 64,8
TOTAL 54 100,0
Karakteristik responden berdasarkan pada tabel 3.1 menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki 31 bayi (57,4%) dan perempuan 23 bayi (42,6%). Karakteristik berdasarkan berat badan 2000-3000 gram 19 bayi (35,2%) dan yang berat badannya 3001-4000 35 bayi (64,8%).
Tabel 3.2 Distribusi Frekuensi Dan Presentase Berdasarkan Tindakan Sebelum Pemberian Fototerapi Terhadap Penurunan Tanda Ikterus Neonatorum Patologis di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam
NO Kadar
Bilirubin f (%)
1 Normal 0 0
2 Tidak Normal 54 100
TOTAL 54 100,0
Berdasarkan hasil Pengabdian kepada masyarakat pada tabel 3.2 sebelum tindakan intervensi fototerapi diketahui bahwa responden yang memiliki kadar
billirubin normal 0 neonatus (0%) dan yang memiliki kadar billirubin yang tidak normal sebanyak 54 neonatus (100%).
12 Tabel 3.3 Distribusi Frekuensi Dan
Presentase Berdasarkan Tindakan Sesudah Pemberian Fototerapi Terhadap Penurunan Tanda Ikterus Neonatorum Patologis di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam.
NO Kadar
Bilirubin F (%)
1 Normal 46 85,2
2 Tidak Normal 8 14,8
TOTAL 54 100,0
Berdasarkan hasil Pengabdian kepada masyarakat pada tabel 3.3 sesudah dilakukannya tindakan intervensi fototerapi diketahui bahwa responden yang memiliki kadar billirubin normal 46 neonatus (85,2%) dan yang memiliki kadar billirubin yang tidak normal sebanyak 8 neonatus (14,8%).
Analisa Bivariat
Tabel 3.4 Distribusi Pengaruh Fototerapi Penurunan Tanda Ikterus Neonatorum Patologis di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam
Tinda kan
N Mea n
Std.
Dev
Min Ma x
Nilai P- Value Pre 54 2,0
0 ,000 2,00 1,0 0
,000 Post 54 1,1
5 ,359 1,00 2,0 0
Berdasarkan jumlah skor masing- masing dimensi pada tabel diatas kemudian dilakukan analisa uji Paired Sampel T-Test artinya Ho ditolak sehingga ada pengaruh fototerapi terhadap tanda ikterus neonatorum patologis di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam. Interprestasi data yang lebih muda yaitu dengan melihat indeks P Value sebesar = ,000<(0,05). Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Ho di tolak. Sehingga terdapat pengaruh fototerapi terhadap penurunan tanda ikterus neonatorum patologis di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam.
4. PEMBAHASAN
Pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan pada neonatus yang dirawat di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam sebanyak 54 neonatus dan pada Pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan pada 54 neonatus mengenai pengaruh fototerapi terhadap penurunan tanda inkterus neonatorum patologis di RS Grandmed Lubuk Pakam berdasarkan sosiodemografi yang meliputi jenis kelamin dan berat badan, didapat bahwa karakteistik responden berdasarkan jenis kelamin adalah laki- laki 31 bayi (57,4%) dan perempuan 23 bayi (42,6%). Karakteristik berdasarkan berat badan 2000-3000 gram 19 bayi (35,2%) dan yang berat badannya 3001-4000 35 bayi (64,8%).
Pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh Nurhayati (2018) menggunakan jenis Pengabdian kepada masyarakat pre eksperimental dengan pendekatan rancangan Pengabdian kepada masyarakat one group pretest – post test design.
Populasi Pengabdian kepada masyarakatnya adalah semua bayi ikterik yang dilakukan fototerapi dan dirawat di ruang kamar bayi resiko tinggi (KBRT) di RS Dr Moewardi Surakarta pada bulan April dan Mei 2013. Sampel pada Pengabdian kepada masyarakat nya sebanyak 35 orang responden dengan teknik accidental sampling.
Metode yang digunakan untuk analisis data univariate dengan deskriptif persentase dan analisis bivariat dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed Ranks Test dengan hasil pada fototerapi jam ke 24 diperoleh p = 0,000 dan pada fototerapi jam ke 36 diperoleh p = 0,000. Hasil Pengabdian kepada masyarakat nya yaitu derajat ikterik sebelum dilakukannya fototerapi sebagian besar adalah 5 (60%), derajat ikterik setelah dilakukan fototerapi pada jam ke 24 sejumlah 20 orang responden semuanya mengalami penurunan derajat ikterik dan sebagian besarnya lagi memiliki derajat ikterik 3 (55%),
selanjutnya derajat ikterik setelah dilakukan fototerapi pada jam ke 36 sejumlah 15 orang responden semuanya
mengalami penurunan derajat ikterik dan sebagian besarnya lagi memiliki derajat ikterik 3 (86,7%). Maka Terdapat
13 pengaruh pemberian tindakan fototerapi terhadap derajat ikterik pada bayi baru lahir.
4.1 Distribusi Frekuensi Dan Persentase Tindakan Fototerapi Terhadap Penurunan Tanda Ikterus Neonatorum Patologis di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam
Berdasarkan hasil Pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh peneliti sebelum tindakan intervensi fototerapi diketahui bahwa responden yang memiliki kadar billirubin normal 0 neonatus (0%) dan yang memiliki kadar billirubin yang tidak normal sebanyak 54 neonatus (100%).
Menurut asumsi Pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh Ratih (2015) hasil analisis tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa tindakan fototerapi bayi kuning dilakukan oleh instalasi kesehatan dan juga yang dilakukan pada Pengabdian kepada masyarakat ini merupakan hal yang bermanfaat bagi perbaikan kondisi penderita ikterus. Karena fototerapi yang dilakukan, berdasarkan aturan- aturan dari teori-teori yang pernah ada akan menimbulkan efek positif bagi penderita ikterus neonatorum fisiologis, yaitu dengan menurunkan nilai rerata tanda ikterus. Dan apabila kegiatan fototerapi bayi ini tetap dilanjutkan, terutama dengan cara-cara yang benar, pada akhirnya akan terjadi kesembuhan pada penderita tersebut, dengan semakin berkurangnya tanda ikterus dan level bilirubin bebas dalam darah. Sehingga pada akhirnya nanti kadar bilirubin bebas dalam darah tetap berada dalam batas normal dan warna kuning yang tampak pada kulit mapun selaput mukosa lain akan hilang.
4.2 Distribusi Frekuensi Dan Persentase Penurunan Tanda Ikterus Neonatorun Patologis di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam
Berdasarkan hasil Pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh peneliti didapat bahwa sebelum tindakan
intervensi fototerapi diketahui bahwa responden yang memiliki kadar billirubin normal 0 neonatus (0%) dan yang memiliki kadar billirubin yang tidak normal sebanyak 54 neonatus (100%).
Sedangkan sesudah dilakukannya tindakan fototerapi diketahui bahwa responden yang memiliki kadar billirubin normal 46 neonatus (85,2%) dan yang memiliki kadar billirubin yang tidak normal sebanyak 8 neonatus (14,8%).
Sementara itu Pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh Puspita (2018) menyatakan bahwa fototerapi pada rumah sakit merupakan suatu tindakan terapi yang efektif untuk mencegah dan mengobati kadar Total Bilirubin Serum (TSB) yang meningkat.
Uji klinis telah dilakukan validasi kemanjuran fototerapi untuk mengurangi hiperbilirubinemia yang tidak terkonjugasi dan yang berlebihan, dan implementasinya telah terbukti secara drastis untuk membatasi penggunaan transfusi tukar (Bhutani, 2011). Tujuan pada Pengabdian kepada masyarakat ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh fototerapi terhadap derajat ikterik pada bayi baru lahir. Jenis penelitian ini adalah pre eksperimental dengan pendekatan rancangan penelitian one group pretest – post test design.
4.3 Distribusi Frekuensi Dan Persentase Tindakan Fototerapi Terhadap Penurunan Tanda Ikterus Neonatorum Patologis di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan jumlah skor masing-masing dimensi pada tabel diatas kemudian dilakukan analisa uji Paired Sampel T-Test artinya Ho ditolak sehingga ada pengaruh fototerapi terhadap tanda ikterus neonatorum patologis di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam. Interprestasi data yang lebih muda yaitu dengan melihat indeks P Value sebesar = ,000<(0,05). Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Ho di tolak.
Sehingga terdapat
Pengaruh fototerapi terhadap penurunan tanda ikterus neonatorum
patologis di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam.
14 Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2017) hasil penelitiannya adalah untuk mengetahui derajat ikterik pada bayi baru lahir sebelum dilakukan tindakan fototerapi, untuk mengetahui derajat ikterik pada bayi baru lahir setelah dilakukan tindakan fototerapi, dan untuk mengetahui bagaimana pengaruh fototerapi terhadap derajat ikterik pada bayi baru lahir. Jenis penelitian adalahh pre eksperimental dengan pendekatan rancangan penelitian one group pretest – post test design. Sampel penelitian sebanyak 35 orang responden dengan teknik acsidental sampling. Metode analisis data univariate menggunakan deskriptif persentase dan analisis bivariat dengan uji Paired Simple T Test dengan hasil pada fototerapi jam ke 24 diperoleh p = 0,000 dan pada fototerapi jam ke 36 diperoleh p = 0,000.
Hasil penelitian menunjukkan derajat ikterik sebelum dilakukan fototerapi sebagian besar 5 (60%), derajat ikterik setelah dilakukan tindakan fototerapi pada jam ke 24 sejumlah 20 responden semuanya mengalami penurunan derajat ikterik dan sebagian besar memiliki derajat ikterik 3 (55%), derajat ikterik setelah dilakukan tindakan fototerapi pada jam ke 36 sejumlah 15 responden semua mengalami penurunan derajat ikterik dan sebagian besar memiliki derajat ikterik 3 (86,7%). Maka terdapat pengaruh fototerapi terhadap derajat ikterik pada bayi baru lahir.
Menurut asumsi penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2016) dengan menggunakan desain penelitian kuasi eksperimen dengan non equivalen pre test-post test design with control group. Sampel penelitian diambil secara consecutive yang terbagi menjadi kelompok intervensi (16 responden) dan kelompok kontrol (16 responden). Data dianalisis dengan menggunakan Dependen T-Test, Independen T-Test, dan Analysis of Covarians. Hasilnya menunjukkan rata- rata kadar bilirubin serum setelah tindakan pada kelompok intervensi
(8,09) sedangkan pada kellompok kontrol (10,05). Penurunan rata-rata kadar bilirubin serum pada kelompok intervensi (7,20), sedangkan pada kelompok kontrol (4,64), diantara kedua kelompok terdapat perbedaan penurunan yang berrmakna (p=0,001). Kontribusi variabel confounding tidak berpengaruh terhadap penurunnan rata-rata kadar bilirubin serum, setelah dikontrol variabel confounding pada kelompok intervensi memiliki nilai bersih (7,23), dan kelompok kontrol memiliki nilai bersih (4,61).
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terhadap 54 neonatus yang di rawat di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam dapat disimpulkan bahwa karakteristik responden terbanyak berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki 31 bayi (57,4%) dan karakteristik berdasarkan berat badan adalah yang berat badannya 3001-4000 35 bayi (64,8%).
Berdasarkan hasil analisa bivariat didapatkan hasil berdasarkan uji Paired Sampel T-Test artinya Ho ditolak sehingga ada pengaruh fototerapi terhadap tanda ikterus neonatorum patologis di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam.
Interprestasi data yang lebih muda yaitu dengan melihat indeks P Value sebesar = ,000<(0,05). Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Ho di tolak.
Sehingga terdapat pengaruh fototerapi terhadap penurunan tanda ikterus neonatorum patologis di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam.
DAFTAR PUSTAKA
Bhutani, V. (2011). Phototherapy to Prevent Severe Neonatal Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. Journal of the American Academy of Pediatrics Vol. 128 No.
4
Bunyaniah, D. (2013). Pengaruh
Fototerapi Terhadap Derajat Ikterik Pada Bayoi Baru Lahir Di RSUD Dr.
Moerwadi Surakarta. Surakarta :
15 Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Dewi, K. surya. (2017). Efektifitas Fototerapi Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin total pada Hiperbilirubinemia neonatas di rsud sangla. 18, 2. Retrieved from https://saripediatri.org
Judarwanto W. (2012) Perilaku Makan Anak Sekolah. Direktorat Bina Gizi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Serial Online
Nurhayati, M. anike. (2018). Asuhan kegawadaruratan dan penyulit pada neonatus. 107.
Nursalam. (2017). Metodologi Penelitian Ilmu Kpeerawtan. Pendekatan Praktis. Jakarta : Salemba Medika.
Prasetyo, denny. (2019). Deskripsi Ikterus Neonatorum di Rsud
Muhammadiyah Gresik
Pencegahan Ikterus Neonatorum Ditinjau Dari Pemahaman Proses Metabolisme Blirubin. (April).
https://doi.org/10.1080/00461520 .2018.1447384
Rini, K. (2013). Adln-perpustakaan universitas airlangga. Retrieved from repository.unair.ac.id
Riskesdas. (2015). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Triana, I. (2019). Hubungan Fototerapi dengan Penurunan Kadar Blirubin Total pada Bayi baru Lahir di RS Aulia Jagakarsa Jakarta Selatan. 18, 448.
https://doi.org/https://doi.org/10.
33859/dksn.v10i420
World Health Organization. (2018).
Global Status Report On Road Safety. Geneva. Retrieved from http://bit.ly/2Povl7C
16
PENYULUHAN PENGGUNAAN KACAMATA PELINDUNG TERHADAP TRAUMA MATA PADA PEKERJA BENGKEL LAS
DI KECAMATAN LUBUK PAKAM
Elfrida Simanjuntak
Institut Kesehatan Medistra Lubuk Pakam , Jln. Sudirman No.38 Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara – Indonesia
email korespondensi author: @medistra.ac.id Abstract
In four of oxy – acetylene welding companies in Tasikmadu area here companies there are exposure to visible light, infrared rays and ultraviolet light are effecting danger and iritation on workers eyes, wich can lead to coplaints of lack of vision in the eye of workers.
Most workers do not wear personal protective equipment (PPE) in the form of welding goggles during welding work process and complained of differences in the level of the eyes or visual acuity at the time of the welding job.This study is an observational cross sectional analytic approach. The study population was all workers in four welding companies are in the District Tasikmadu, Karanganyar District, amounting to 39 workers, and male. Samples taken in saturated samples as many as 39 people. Instruments used in the study is Optotype Snellen was aimed to determine visual complaints in workers welding carbide. Data were analyzed by Fisher's Exact Test test. The results of Fisher's Exact Test showed a highly significant association between the use of welding goggles to complaints of vision in workers of oxy – acytelene welding with the p value ≤ 0,01. Based on this study can be concluded there is no effect of the use of welding goggles to complaints of vision in workers welding Tasikmadu carbide in the subdistrict, district Karanganyar.
Key Words : Las Glasses; Sight Complaint; Las Carbide
PENDAHULUAN
Di era globalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di setiap tempat kerja termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita perlu mengembangkan dan meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka menekan serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efesiensi (Pusat Kesehatan Kerja, 2008).
Kesehatan kerja merupakan salah satu bidang kesehatan masyarakat yang memfokuskan perhatian pada masyarakat pekerja baik yang berada di sektor formal maupun yang berada di sektor informal (Depkes RI, 2003). Kesehatan kerja bertujuan agar pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan usaha preventif, kuratif dan rehabilitatif terhadap penyakit- penyakit atau gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pekerjaan, lingkungan kerja serta penyakit umum. Kesehatan kerja
dapat dicapai secara optimal jika tiga komponen kerja berupa kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja dapat berinteraksi secara baik dan serasi (Suma’mur, 2009).
Pada industri las, kondisi lingkungan kerja yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap pekerja salah satunya yaitu berupa sinar yang ditimbulkan pada proses pengelasan. Sinar tersebut meliputi sinar tampak, sinar infra merah dan sinar ultraviolet. Keluhan penglihatan pada mata, seolah-olah mata terisi oleh pasir, penglihatan kabur dan mata terasa sakit yang dirasakan pekerja menunjukkan bahwa pada proses pengelasan terdapat sinar yang membahayakan mata. Ketidakrutinan pekerja las dalam memakai kacamata las mengakibatkan mata pekerja las terpapar secara langsung oleh sinar tampak, sinar inframerah serta sinar ultraviolet. Akibat dari pemajanan secara langsung oleh sinar-sinar yang bersifat radiasi tersebut dapat mengakibatkan keluhan penglihatan pada pekerja las.
17 Berdasarkan observasi pada industri las
yang terdapat di wilayah Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar proses pengelasan dilakukan meliputi tiga tahap yaitu teknik menyalakan api las dengan menggunakan brander, teknik posisi pengelasan harus menyesuaikan dengan letak benda kerja, dan teknik mematikan nyala api las dengan menutup kran gas asetilin.
Dari tiga teknik proses mengelas tersebut keluhan para tenaga kerja dalam pekerjaan sehari-hari akibat dari proses pengelasan adalah timbulnya sinar tampak, sinar infra merah dan sinar ultraviolet yang sangat menyilaukan mata bagi para tenaga kerja, yang bisa menyebabkan keluhan penglihatan pada mata.
METODE
Jenis Penelitian ini merupakan observasional analitik yaitu penelitian yang menjelaskan adanya hubungan antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya (Suryabrata, 2001), merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui hubungan kausa sebab akibat dari suatu variabel (Sarwono, 2010).
Berdasarkan pendekatannya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan Cross Sectional karena variabel sebab dan akibat yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan dan dilakukan pada saat situasi yang sama (Notoatmojo, 2002).
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Subjek Penelitian 1. Lama Paparan
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa lama paparan yang diterima oleh tenaga kerja adalah 4 jam. Menurut Nurdin (1999), sinar ultra violet akan segera merusak epitel kornea. Pasien yang telah terkena sinar ultra violet akan memberikan keluhan 4-10 jam setelah trauma. Pasien akan merasa mata sangat sakit, mata seperti kelilipan atau
kemasukan pasir, fotofobia, blefarospasme, dan konjungtiva kemotik.
Dengan demikian lama paparan yang diterima subjek adalah batas minimal diperbolehkannya pada pekerjaan pengelasan sehingga lama paparan dapat dikendalikan karena berada pada rentang waktu yang sama.
2. Umur
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa umur subjek berkisar 18 – 35 tahun dengan frekuensi terbesar yaitu pada umur 18 – 20 sebanyak 8 orang (20,51 %) dan umur 24 – 26 tahun sebanyak 8 orang (20,51 %) . Menurut Suma’mur (1996), penglihatan seseorang berkurang menurut bertambahnya usia. Pada usia dini antara 20 – ≥ 40 tahun memilki kondisi tubuh yang sangat sehat. Tenaga kerja berusia lebih dari ≥ 40 tahun, visus jarang ditemukan 6/6, melainkan berkurang.
Maka dari itu, kontras dan ukuran benda perlu lebih besar untuk melihat dengan ketajaman yang sama. Makin banyak umur, lensa bertambah besar dan lebih pipih, berwarna kekuningan dan menjadi lebih keras. Hal ini mengakibatkan lensa kehilangan kekenyalannya, dan karena itu, kapasitasnya untuk melengkung juga berkurang. Akibatnya, titik-titik dekat menjauhi mata, sedang titik jauh pada umumnya tetap saja.
B. Analisa Univariat
1. Penggunaan Kacamata Las
Dari penelitian terhadap 39 orang diperoleh data pekerja yang menggunakan kacamata las sebanyak 10 orang (25,64
%), dan yang tidak menggunakan kacamata las sebanyak 29 orang (74,36
%). Menurut Budiono (2003), pencegahan paparan sinar-sinar berbahaya dari pengerjaan las dapat dilakukan dengan cara menghindari kemungkinan mata terpapar sinar ultra violet dan menggunakan kacamata yang tidak tembus sinar tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar tenaga kerja tidak mengalami paparan sinar berbahaya tersebut secara langsung.
2. Keluhan Penglihatan
Dari penelitian terhadap 39 orang diperoleh data pekerja yang ada keluhan
18 penglihatan sebanyak 26 orang (66,67 %),
dan yang tidak ada keluhan penglihatan sebanyak 13 orang (33,33 %). Menurut Direktorat Hilir Bidang Pemasaran dan Niaga (2002) pemaparan sinar ultra violet dengan intensitas tinggi dalam waktu singkat atau pemaparan sinar ultra violet intensitas rendah dalam waktu cukup lama akan merusak kornea mata. Pasien yang telah terkena sinar ultra violet akan memberikan keluhan seperti merasa mata sangat sakit, mata seperti kelilipan atau kemasukan pasir, fotofobia, blefarospasme, dan konjungtiva kemotik. Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan sebagian tenaga kerja mengalami keluhan penglihatan.
C. Analisa Bivariat
Analisis Bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kacamata las terhadap keluhan penglihatan pada pekerja las karbit di wilayah Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar. Dari hasil penelitian pada 39 orang pekerja diperoleh 10 orang (25,64
%) yang menggunakan kacamata las. Terdapat 8 orang (20,51 %) yang tidak mengalami keluhan penglihatan, hal tersebut sesuai dengan teori yang dinyatakan Budiono (2003), pencegahan paparan sinar-sinar berbahaya dari pengerjaan las dapat dilakukan dengan cara menghindari kemungkinan mata terpapar sinar ultra violet menggunakan kacamata yang tidak tembus sinar tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar tenaga kerja tidak mengalami paparan sinar berbahaya tersebut secara langsung.
Dari 10 orang (25,64 %) yang menggunakan kacamata las tersebut terdapat juga 2 orang (5,13 %) yang mengalami keluhan penglihatan. Keluhan penglihatan ini dapat disebabkan oleh faktor lain selain penggunaan kacamata las yaitu kuat penerangan atau pencahayaan dan kelainan refraksi yang merupakan faktor tidak terkendali. Hal ini sesuai dengan teori Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat (1990), yang menyatakan bahwa faktor penyebab keluhan penglihatan pada pekerja las antara lain kuat penerangan atau pencahayaan, kelainan refraksi, penyakit bawaan, teknik
pengelasan dan kedisiplinan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD).
Dari 39 orang pekerja, diperoleh 29 orang (74,36 %) yang tidak menggunakan kacamata las. Terdapat 24 orang (61,54 %) yang mengalami keluhan penglihatan. Pekerja yang tidak menggunakan kacamata las akan mengalami keluhan penglihatan karena cahaya las masuk secara langsung ke mata. Hal ini sesuai dengan teori Nurdin (1999), yang menyatakan bahwa cahaya yang terlalu kuat dalam proses pengelasan akan segera mampu menjadikan kelelahan pada mata.
Kelelahan pada mata berdampak pada berkurangnya daya akomodasi mata. Hal ini menyebabkan pekerja dalam melihat, mencoba mendekatkan matanya terhadap objek untuk memperbesar ukuran benda sehingga penglihatan rangkap dan kabur.
DAFTAR PUSTAKA
A, A. H. (2012). Pengaruh Pemakaian Kacamata Terhadap Keluhan Penglihatan pada Pekerja Las Karbit di Wilayah Kec.Tasikmadu Karanganyar. Dalam Skripsi.
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Kerja, P. K. (2008). Promosi Kesehatan di Tempat Kerja.
Permatasari, P., & Wulandari, J. (2018).
Hubungan Pemakaian Kacamata Las dengan Terjadinya Gangguan Mata pada Pekerja Bengkel Las.
15, 45-51.
S, I. (2004). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI .
S, N. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Diambil kembali dari http://www.kalbemed.com/Portals/
6/21.232Praktissistem%20Penilaia n%20Trauma.pdf
Salaswati, L. (2015). Analisis Penggunaan Alat Pelindung Mata pada Pekerja Las. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 15.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
T, A. (t.thn.). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemakaian
19 Kacamata Las Terhadap Ketajaman
Penglihatan pada Pekerja Las Karbit di Kecamatan Kuala Kabupaten Nagan Raya. Dalam
Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Teuku
Umar Meulaboh.