• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHAS AN. Analisis dampak positif ataupun negatif dari diberlakukannya Undang-

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV PEMBAHAS AN. Analisis dampak positif ataupun negatif dari diberlakukannya Undang-"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV PEMBAHAS AN

IV.1 Analisis dampak positif ataupun negatif dari diberlakukannya Undang- Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan PTKP dan tarif pajak orang pribadi terhadap penerimaan PPh Orang Pribadi pada KPP Pratama Jakarta Tebet

Pada tanggal 23 September 2008, DPR telah mengesahkan RUU PPh yang baru menjadi Undang-Undang PPh, yaitu Undang-Undang PPh No.36 tahun 2008 yang sudah diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2009. Dalam Undang-Undang PPh No.36 tahun 2008, pemerintah melakukan perubahan dalam dua hal, yaitu nilai PTKP dan tarif PPh Orang Pribadi. Pajak Penghasilan yang akan diterima oleh pemerintah atas pemberlakuan Undang-Undang PPh No.36 tahun 2008 sehubungan perubahan nilai PTKP dan tarif PPh OP dibedakan sesuai lingkup pembahasannya. Dalam lingkup perusahaan atau Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari pemberi kerja maka PPh yang akan diterima pemerintah adalah PPh pasal 21 terutang. Sedangkan dalam lingkup Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari luar perusahaan atau selain dari pemberi kerja maka PPh yang akan diterima pemerintah mencakup PPh pasal 21 terutang, dan PPh pasal 25 Orang Pribadi.

Perubahan nilai PTKP yang terdapat dalam Undang-Undang No.36 tahun 2008 mengalami kenaikan sebesar 20% atau menjadi Rp 15.840.000,- untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi, dan kenaikan sebesar 10% atau menjadi Rp 1.320.000,- untuk tanggungan istri dan keluarga bila dibandingkan dengan nilai

(2)

PTKP sebelumnya yang tercantum dalam Peraturan M enteri Keuangan RI No.137/PM K.03/2005 (yang sudah berlaku pada tanggal 1 januari 2006).

Sedangkan untuk tarif PPh Orang Pribadi, pemerintah menurunkan tarifnya dari tarif semula yang tertinggi adalah sebesar 35% menjadi 30% dan menghapus lapisan tarif 10%, sehingga lapisan tarif berkurang dari 5 menjadi 4. Sementara lapisan Penghasilan Kena Pajak atau Income Bracket yang semula lapisan tertingginya adalah sebesar Rp 200.000.000,- dinaikkan menjadi Rp 500.000.000,-.

Kemudian untuk tarif PPh Badan, pemerintah menerapkan tarif flat, yang artinya pemerintah hanya memberlakukan satu lapisan tarif saja. Pada Undang- Undang PPh yang baru ini tarif Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap disepakati menjadi 28% untuk tahun 2009, dan menjadi 25% di tahun 2010.

Sebenarnya dengan diberlakukannya Undang-Undang PPh No.36 tahun 2008 ini, pemerintah bermaksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menyesuaikan tingkat perekonomian yang ada pada saat ini. Jadi membuat masyarakat ataupun para Wajib Pajak tidak terlalu merasa terbebani dengan kewajiban pajak yang harus mereka penuhi. Tetapi di sisi lain, dampaknya terhadap penerimaan negara secara tidak langsung akan mengurangi jumlah penerimaan PPh untuk pengisian kas APBN dalam jangka pendek ini.

Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis akan menjabarkan mengenai dampak positif ataupun negatif dari diberlakukannya Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan PTKP dan tarif pajak orang pribadi terhadap penerimaan PPh Orang Pribadi pada KPP Pratama Jakarta Tebet.

(3)

IV.1.1 Analisis dampak positif dari diberlakukannya Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan PTKP dan tarif pajak orang pribadi terhadap penerimaan PPh Orang Pribadi pada KPP Pratama Jakarta Tebet

Dalam menganalisa dampak positif dari diberlakukannya Undang- Undang PPh No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan nilai PTKP dan tarif pajak orang pribadi terhadap penerimaan PPh Orang Pribadi pada KPP Pratama Jakarta Tebet ini sebenarnya tidak terdapat hal yang begitu signifikan terhadap penerimaannya. Bahkan sebenarnya yang terjadi adalah adanya penurunan penerimaan PPh pasal 21 yang disebabkan oleh naiknya nilai PTKP dan turunnya tarif PPh terhadap jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP) para Wajib Pajak. Tetapi disetiap perubahan itu pasti mengakibatkan efek yang positif maupun negatif, dan dalam perubahan Undang-Undang ini sebenarnya para Wajib Pajak lah yang merasakan dampak positifnya. Karena dengan naiknya nilai PTKP dan turunnya tarif PPh terhadap jumlah PKP mereka, maka jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah pun otomatis akan berkurang.

Jika dilihat dari sisi pemerintah, dimana dalam penelitian ini yang dimaksudkan adalah KPP Pratama jakarta Tebet, dampak positif yang dirasakan adalah dengan meningkatnya jumlah Wajib Pajak dari tahun ke tahun belakangan ini. Peningkatan tersebut bisa kita lihat pada tabel berikut:

(4)

Tabel 4.1

Daftar Jumlah Wajib Pajak di KPP Pratama Jakarta Tebet Pada Tahun 2007 s.d. 2009

Jenis Wajib Pajak Jumlah Wajib Pajak per T ahun 2007 2008 2009 Orang Pribadi 22.638 40.316 57.449 Badan 13.242 14.174 14.839

Bendaharawan 123 129 136

GRAND TO TAL 36.003 54.619 72.424

Sumber: KPP Pratama Jakarta Tebet

Dapat kita lihat pada tabel Daftar Jumlah Wajib Pajak KPP Pratama Jakarta Tebet Pada Tahun 2007 s.d. 2009 diatas, terdapat peningkatan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi pada tahun 2008 dan 2009. Diikuti juga dengan meningkatnya jumlah Wajib Pajak Badan dan Bendaharawan. M aksud dari Bendaharawan disini adalah Bendaharawan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah, Lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Luar Negeri, yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan.

Sesuai dengan tabel 4.1 diatas, terdapat peningkatan jumlah Wajib Pajak disetiap tahunnya. Peningkatan yang sangat drastis terjadi pada jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi di tahun 2008, kenaikan sekitar 78% dari tahun 2007 yang hanya terdapat 22.638 Wajib Pajak menjadi 40.316 Wajib Pajak di tahun 2008.

(5)

Dan kenaikan kembali terjadi di tahun 2009, yaitu sekitar 42% atau terdapat 57.449 Wajib Pajak jika dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak di tahun 2008.

Lalu untuk jumlah Wajib Pajak Badan, peningkatan juga terjadi walaupun tidak sedrastis kenaikan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi. Di tahun 2007 ke tahun 2008 terjadi kenaikan sebesar 7%, yaitu dari 13.242 Wajib Pajak menjadi 14.174 Wajib Pajak. Sedangkan pada tahun 2009 kenaikan jumlah Wajib Pajak Badan hanya terjadi sebesar 4% dari tahun 2008, yaitu 14.839 Wajib Pajak, yang artinya hanya terdapat 665 pendaftar baru untuk Wajib Pajak Badan di tahun 2009.

Angka yang tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan peningkatan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi. Sedangkan untuk Wajib Pajak Bendaharawan mengalami kenaikan sekitar hampir 5% dari tahun 2007 yang hanya terdapat 123 Wajib Pajak menjadi 129 Wajib pajak di tahun 2008. Kenaikan Wajib Pajak Bendaharawan terus terjadi di tahun 2009 walaupun tidak terlalu drastis, yaitu sekitar 5,4% dari tahun 2008 ke 2009, atau sebanyak 136 Wajib Pajak Bendaharawan. Dan untuk total keseluruhan jumlah Wajib Pajak atau grand total Wajib Pajak yang mendaftar di KPP Pratama jakarta Tebet terdapat kenaikan sebesar 52% di tahun 2008, yaitu 54.619 Wajib Pajak dari yang sebelumnya hanya 36.003 Wajib Pajak di tahun 2007. Lalu menjadi 72.424 Wajib Pajak di tahun 2009, atau mengalami kenaikan sebesar 33% jika dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak keseluruhan di tahun 2008.

Penulis akan menguraikan kembali angka kenaikan jumlah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama Jakarta Tebet dari tahun 2007 sampai tahun 2009.

Seperti yang disajikan di tabel berikut:

(6)

Tabel 4.2

Daftar Kenaikan Jumlah Wajib Pajak di KPP Pratama Jakarta Tebet Pada Tahun 2007 s.d. 2009

Jenis Wajib Pajak Jumlah kenaikan Wajib Pajak yang Mendaftar

2007 - 2008 Kenaikan 2008 - 2009 Kenaikan Orang Pribadi 17.678 78% 17.133 42%

Badan 932 7% 665 4%

Bendaharawan 6 5% 7 5,4%

Sumber: KPP Pratama Jakarta Tebet

Jika kita lihat tabel 4.2 kembali, kenaikan paling drastis memang terdapat pada jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi di tahun 2008, yaitu sebesar 78% dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh munculnya kebijakan baru di tahun 2008, yaitu Sunset Policy yang dirumuskan oleh Direktorat Jenderal Pajak selaku lembaga dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia. Didalam pasal 37A Undang-Undang No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, terdapat apa yang dinamakan Sunset Policy yang bertujuan untuk memberi kesempatan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk memperoleh fasilitas penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pembayaran pajak atau bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar di tahun-tahun pajak yang lalu.

Dalam Sunset Policy dijelaskan bahwa para Wajib Pajak Orang Pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada tahun 2008, akan diberikan penghapusan sanksi administrasi

(7)

berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang bayar. Wajib pajak orang pribadi tersebut dapat diberikan penghapusan sanksi administrasi jika memenuhi syarat- syarat dibawah ini:

1. Secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP) pada tahun 2008

2. Tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana perpajakan 3. M enyampaikan surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) 2007 dan

sebelumnya terhitung sejak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif paling lambat 31 M aret 2009

4. M elunasi seluruh pajak yang kurang bayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan pasal 29, pasal 4 ayat 2, dan pasal 15

Wajib pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan:

1. SPT tahunan PPh orang pribadi sebelum tahun 2007 2. SPT tahunan PPh badan sebelum tahun 2007

Yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:

1. Telah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) sebelum tahun 2008

(8)

2. Terhadap SPT tahunan pajak penghasilan yang dibetulkan belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak

3. Terhadap SPT tahunan pajak penghasilan yang dibetulkan belum dilakukan pemeriksaan atau dalam hal dilakukan pemeriksaan pemeriksa pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP)

4. Telah dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tetapi pemeriksaan bukti permulaan itu tidak dilanjutkan dengan tindakan penyidikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tentang adanya tindak pidana di bidang perpajakan

5. Tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana perpajakan 6. M enyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan tahun 2006 dan sebelumnya

paling lambat tanggal 31 Desember 2008

7. M elunasi seluruh pajak yang kurang bayar yang timbul sebagai akibat penyampaian pembetulan surat pemberitahuan tahunan tersebut sebelum surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan disampaikan.

Dengan adanya kebijakan Sunset Policy ini, antusiasme warga negara Indonesia yang belum memiliki NPWP menjadi sangat besar untuk memiliki NPWP. Dengan melihat tingginya antusiasme masyarakat yang hendak memanfaatkan Sunset Policy pada akhir Desember 2008, maka pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak memperpanjang pelaksanaan Sunset Policy yang seharusnya berakhir pada 31 Desember 2008 menjadi 28 Febuari 2009. Langkah pemerintah memperpanjang kebijakan penghapusan sanksi

(9)

administrasi pajak alias Sunset Policy selama dua bulan tidak sia-sia. Pasalnya, dari perpanjangan kebijakan tersebut, telah menambah perolehan jumlah nomor pokok wajib pajak (NPWP). Contohnya saja seperti yang terjadi di KPP Pratama Jakarta Tebet, yaitu kenaikan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi yang sungguh drastis dan hampir mendekati angka 100%.

Dengan meningkatnya jumlah penduduk yang telah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau mendaftar sebagai Wajib Pajak, maka penerimaan negara dalam sektor pajak pun akan bertambah, dan diharapkan kesejahteraan masyarakat pun akan meningkat. Hal ini adalah salah satu dampak positif yang diakibatkan dari diberlakukannya Undang-Undang PPh No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan nilai PTKP dan tarif pajak orang pribadi yang sudah diberlakukan semenjak tanggal 1 Januari 2009. Selain dengan adanya Sunset Policy, adanya perubahan dalam kenaikan jumlah nilai PTKP dan turunnya tarif PPh Orang Pribadi juga mengakibatkan masyarakat terdorong untuk mendaftarkan dirinya menjadi Wajib Pajak dan memiliki NPWP, karena jumlah pajak yang dibebankan kepada mereka menjadi tidak terlalu besar lagi.

Sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan Kepala seksi pengawasan dan konsultasi III (Bapak Hamdi Aniza Pertama, SE., Ak., M .Si) dan Kepala seksi pengolahan data dan informasi (Ibu Sri Hernowati) di KPP Pratama Jakarta Tebet, mereka juga setuju dengan terus bertambahnya jumlah Wajib Pajak yang memiliki NPWP, maka penerimaan negara dalam sektor pajak pun akan terus meningkat dalam jangka panjang.

(10)

Dampak positif yang lain adalah dengan bertambahnya penerimaan KPP Pratama Jakarta Tebet di jenis PPh pasal 25/29 Orang Pribadi. Seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.3

Penerimaan PPh Non M igas KPP Pratama Jakarta Tebet Pada Tahun 2007 s.d. 2009

Jenis Pajak

Penghasilan Netto per Tahun

(dalam Milyar Rupiah)

2007 2008 2009

PPh Pasal 21 120,81 93,39 89,93 PPh Pasal 22 18,77 13,08 19,82

PPh Pasal 22 Impor 32,87 23,79 24,15 PPh Pasal 23 100,01 74,73 49,05

PPh Pasal 25/29 OP 7,97 13,46 19,17

PPh Pasal 25/29 Badan 125,86 94,97 52,43 PPh Pasal 26 12,64 12,33 35,42

PPh Final dan FLN 43,12 47,12 85,81 PPh Non Migas Lainnya 0,044 0,035 0,072

Sumber: KPP Pratama Jakarta Tebet

Untuk pembahasan kali ini, penulis hanya akan menjabarkan mengenai perubahan yang terjadi pada penerimaan PPh pasal 25/29 Orang Pribadi di KPP Pratama Jakarta Tebet. Terdapat kenaikan jumlah penerimaan PPh pasal 25/29 OP yang cukup drastis di tahun 2008. Dimana sebelumnya penerimaan PPh pasal 25/29 OP hanya sebesar Rp 7,97 M ilyar di tahun 2007, lalu mengalami kenaikan sebesar 69% di tahun 2008, yaitu menjadi Rp 13,46 M ilyar. Sedangkan pada tahun 2009, dimana Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan

(11)

perubahan nilai PTKP dan tarif pajak orang pribadi sudah mulai diberlakukan, masih terdapat kenaikan jumlah penerimaan PPh pasal 25/29 OP walaupun tidak terlalu signifikan seperti yang terjadi pada tahun 2007 ke tahun 2008, yaitu menjadi sebesar Rp 19,17 M ilyar atau mengalami kenaikan sebesar 42% dari tahun sebelumnya.

Pungutan PPh pasal 25 terjadi apabila kita menerima atau memperoleh penghasilan lebih dari satu pemberi kerja atau mempunyai usaha bebas.

Sedangkan untuk PPh pasal 29, terjadi apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar dari pada kredit pajak, maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.

Jika melihat dari informasi yang disajikan pada tabel 4.3, khusus untuk penerimaan PPh pasal 25/29 OP mengalami kenaikan drastis pada tahun 2008, hal ini bisa saja terjadi akibat adanya Sunset Policy. Tetapi alasan lainnya adalah makin banyaknya masyarakat Indonesia yang memiliki usaha bebas (pengusaha) ataupun yang memperoleh penghasilan lebih dari satu pemberi kerja, yang bisa diartikan bahwa tingkat kemakmuran masyarakat Indonesia berangsur meningkat.

Jika melihat dampak positif dari diberlakukannya Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan nilai PTKP dan tarif pajak orang pribadi terhadap penerimaan PPh pasal 25/29 OP di KPP Pratama Jakarta Tebet, memang terdapat peningkatan jumlah penerimaan walaupun tidak terlalu signifikan, yaitu hanya meningkat sebesar 42% di tahun 2009. Tetapi jika dilihat dari sisi jumlah masyarakat yang menjadi antusias untuk menjadi Wajib Pajak dengan memiliki NPWP, maka perubahan Undang-Undang ini akan berdampak sangat positif di masa yang akan datang. Karena para Wajib Pajak menjadi tidak

(12)

terlalu terbebani lagi dengan pungutan pajak, dikarenakan naiknya nilai PTKP dan turunnya tarif PPh Orang Pribadi.

Dampak positif lainnya dengan telah berlakunya Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan nilai PTKP dan tarif pajak orang pribadi terhadap penerimaan PPh pasal 25/29 OP di KPP Pratama Jakarta Tebet adalah tercapainya target yang disusun oleh KPP Pratama Jakarta Tebet untuk tahun 2009. Tabel target dan realisasi penerimaan PPh pasal 25/29 OP dapat kita lihat dibawah ini:

Tabel 4.4

Target dan Realisasi Penerimaan PPh Pasal 25/29 OP KPP Pratama Jakarta Tebet Pada Tahun 2007 s.d. 2009

(dalam Milyar Rupiah)

T ahun T arget Realisasi % 2007 14,49 7,97 T urun 45%

2008 30,35 13,46 T urun 55%

2009 17,15 19,17 Naik 12%

Sumber: KPP Pratama Jakarta T ebet

Tidak tercapainya target selama dua tahun (tahun 2007 dan 2008), membuat KPP Pratama Jakarta Tebet menurunkan target penerimaan PPh pasal 25/29 OP mereka untuk tahun 2009. Ditambah lagi dengan adanya pemindahan Wajib Pajak dengan pembayaran pajak terbesar ke KPP M adya Jakarta Selatan di tahun 2007 dan 2008. Sehingga target-target yang sudah disusun tidak dapat dicapai. Tetapi untuk tahun 2009, dimana Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan nilai PTKP dan tarif pajak orang pribadi mulai

(13)

diberlakukan, KPP Pratama Jakarta Tebet memprediksikan bahwa penerimaan mereka akan turun. Sehingga target penerimaan mereka pun diturunkan menjadi Rp 17,15 M ilyar saja. Namun dalam realisasinya, penerimaan PPh pasal 25/29 OP KPP Pratama Jakarta Tebet mengalami kenaikan 12% dari apa yang sudah ditargetkan, yaitu menjadi sebesar Rp 19,17 M ilyar.

Dalam analisis pembahasan dampak positif dari diberlakukannya Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan nilai PTKP dan tarif pajak orang pribadi terhadap penerimaan PPh Orang Pribadi pada KPP Pratama Jakarta Tebet ini memang tidak terlihat hal yang terlalu signifikan untuk penerimaannya. Tetapi perubahan signifikan terjadi pada meningkatnya jumlah Wajib Pajak yang mendaftar di KPP Pratama Jakarta Tebet, yang artinya akan ada peningkatan penerimaan PPh dalam jangka panjang. Walaupun adanya unsur Sunset Policy juga cukup membantu kenaikan Wajib Pajak yang mendaftar di KPP Pratama Jakarta Tebet, tetapi efek dari perubahan nilai PTKP dan tarif pajak orang pribadi sesuai dengan Undang-Undang No.36 tahun 2008 juga tetap ada.

Karena KPP Pratama Jakarta Tebet memprediksikan dengan diberlakukannya Undang-Undang No.36 tahun 2008 ini, tingkat kesadaran masyarakat Indonesia untuk menjadi Wajib Pajak dengan memiliki NPWP akan meningkat, sehingga akan diikuti pula dengan meningkatnya jumlah penerimaan PPh KPP Pratama Jakarta Tebet.

(14)

IV.1.2 Analisis dampak negatif dari diberlakukannya Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan PTKP dan tarif pajak orang pribadi terhadap penerimaan PPh Orang Pribadi pada KPP Pratama Jakarta Tebet

Sebenarnya jika kita bicara mengenai dampak negatif dari diberlakukannya Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan nilai PTKP dan tarif pajak orang pribadi terhadap penerimaan PPh Orang Pribadi pada KPP Pratama Jakarta Tebet ini hanyalah bersifat sementara, atau hanya dalam jangka pendek saja efek negatifnya. Dikarenakan dengan seiring bertambahnya jumlah Wajib Pajak yang mendaftarkan diri, maka penerimaan PPh pun juga akan bertambah di kemudian hari.

Seperti yang telah kita ketahui, adanya perubahan keempat atas Undang- Undang No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan ini memang berpengaruh besar terhadap jumlah penerimaan PPh Orang Pribadi yang diterima oleh pemerintah, dalam penelitian ini yang dimaksudkan adalah KPP Pratama Jakarta Tebet. Adanya penurunan jumlah penerimaan PPh Orang Pribadi tidak semata- mata merugikan pihak fiskus. Karena sebenarnya ada rencana dibalik perubahan ini. Selain bertujuan untuk menyesuaikan dengan tingkat perekonomian dan/atau kesejahteraan masyarakat, dan juga memberikan rasa keadilan, pemerintah mempunyai rencana agar dengan berkurangnya beban pajak, dalam hal ini adalah meningkatnya nilai PTKP yang sebelumnya hanya Rp 13.200.000,- untuk Wajib Pajak diri sendiri, sekarang menjadi Rp 15.840.000,-, dan turunnya tarif PPh Orang Pribadi, maka diharapkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk

(15)

mendaftarkan diri menjadi Wajib Pajak juga menjadi tinggi, sehingga secara perlahan penerimaan PPh Orang Pribadi ini pun akan naik di masa mendatang.

Tetapi memang setiap perubahan itu mengakibatkan dua efek, yaitu positif dan negatif. Jika dampak positif dari diberlakukannya Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan nilai PTKP dan tarif pajak orang pribadi terhadap penerimaan PPh Orang Pribadi pada KPP Pratama Jakarta Tebet sudah dibahas sebelumnya, maka kali ini penulis akan menjelaskan mengenai dampak negatif dari adanya perubahan Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan ini.

Penurunan jumlah penerimaan PPh pasal 21 terjadi di laporan pembayaran pajak KPP Pratama jakarta Tebet. Walaupun angka realisasi penerimaan PPh pasal 21 telah melebihi apa yang ditargetkan oleh KPP Pratama Jakarta Tebet, tetapi penurunan penerimaan PPh pasal 21 terlihat jelas. Seperti yang bisa kita lihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.5

Target dan Realisasi Penerimaan PPh Pasal 21 KPP Pratama Jakarta Tebet pada Tahun 2007 s.d. 2009

(dalam Milyar Rupiah)

T ahun T arget Realisasi %

2007 131,19 120,81 T urun 8%

2008 66,53 93,39 Naik 40%

2009 81,23 89,93 Naik 11%

Sumber: KPP Pratama Jakarta T ebet

(16)

Jika kita melihat tabel Target dan Realisasi Penerimaan PPh Pasal 21 KPP Pratama Jakarta Tebet pada Tahun 2007 s.d. 2009 diatas, memang pada awalnya (tahun 2007) KPP Pratama Jakarta Tebet terlalu tinggi dalam menentukan target penerimaan PPh pasal 21 mereka. Sedangkan penerimaan yang diterima hanya Rp 120,81 M ilyar, turun sebesar 8% dari yang sudah ditargetkan yaitu Rp 131,19 M ilyar. Dan untuk tahun 2008, target penerimaan yang ingin dicapai adalah sebesar Rp 66,53 M ilyar, yang dapat direalisasikan oleh KPP Pratama Jakarta Tebet bahkan lebih besar 40% dari yang sudah ditargetkan yaitu dapat mencapai Rp 93,39 M ilyar. Sedangkan di tahun 2009, walaupun realisasi penerimaan PPh pasal 21 terus mengalami penurunan, tetapi jumlah penerimaan PPh pasal 21 KPP Pratama Jakarta tebet kembali dapat melebihi apa yang sudah ditargetkan. Terdapat jumlah penerimaan lebih besar 11% dari yang sebelumnya ditargetkan hanya akan mendapatkan penerimaan PPh pasal 21 sebesar Rp 81,23 M ilyar, ternyata dalam realisasinya penerimaan PPh pasal 21 yang didapat adalah sebesar Rp 89,93 M ilyar.

M eskipun KPP Pratama Jakarta Tebet dapat memenuhi target penerimaan PPh pasal 21-nya, tetapi tetap terdapat penurunan didalam penerimaan tersebut.

Seperti yang terlihat pada tabel berikut:

(17)

Tabel 4.6

Penerimaan PPh Pasal 21 KPP Pratama Jakarta Tebet Pada Tahun 2007 s.d. 2009

Jenis Pajak

Penghasilan Netto per Tahun

(dalam Milyar Rupiah)

2007 2008 2009

PPh Pasal 21 120,81 93,39 89,93

Penurunan 23% 4%

Terdapat penurunan jumlah penerimaan PPh pasal 21 yang cukup drastis jika dilihat dari tahun 2007 ke tahun 2009. Tetapi penurunan jumlah penerimaan itu terjadi secara bertahap dimulai dari tahun 2008. Dimana sebelumnya pada tahun 2007 penerimaan PPh pasal 21 KPP Pratama Jakarta Tebet mencapai angka Rp 120,81 M ilyar, kemudian terjadi penurunan sebesar 23% di tahun 2008 yaitu menjadi Rp 93,39 M ilyar. Yang artinya, terdapat kerugian sebesar Rp 27,42 M ilyar pada tahun 2008 jika dibandingkan dengan penerimaan di tahun 2007.

Sedangkan untuk tahun 2009 penurunan jumlah penerimaan tetap terjadi, tetapi kali ini hanya turun sebesar 4% jika dibandingkan dengan tahun 2008, yaitu menjadi Rp 89,93 M ilyar, dimana terdapat selisih Rp 3,46 M ilyar dari penerimaan yang didapat pada tahun 2008.

Salah satu alasan adanya penurunan jumlah penerimaan PPh pasal 21 KPP Pratama Jakarta Tebet pada tahun 2008 juga disebabkan oleh adanya pemindahan beberapa Wajib Pajak dengan pembayaran pajak terbesar ke KPP M adya Jakarta Selatan. Disamping itu, dengan telah berlakunya Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan nilai PTKP dan tarif pajak

(18)

orang pribadi di tahun 2009, juga mengakibatkan turunnya jumlah penerimaan PPh pasal 21 di KPP Pratama Jakarta Tebet.

Dampak negatif seperti turunnya jumlah penerimaan PPh di KPP Pratama Jakarta Tebet memang tidak bisa dihindari dalam jangka pendek ini. Tetapi KPP Pratama Jakarta Tebet selaku pemerintah ini bisa terus mengupayakan semacam sosialisasi rutin agar para Wajib Pajak yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar menjadi patuh akan administrasi perpajakan mereka. Sehingga dampak positif pun akan dirasakan dalam jangka panjang nanti, karena melonjaknya jumlah Wajib Pajak dan kepatuhan para Wajib Pajak itu sendiri.

IV.2 Analisis upaya lain dari KPP Pratama Jakarta Tebet untuk meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan selain dengan telah berlakunya Undang- Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan PTKP dan tarif pajak orang pribadi

Upaya lain yang dilakukan oleh KPP Pratama Jakarta Tebet yang juga merupakan bagian dari pemerintah ini sebenarnya adalah untuk hasil jangka panjang yang berhubungan dengan penerimaan pajak. Pajak yang selama ini diterima oleh pemerintah tidak lain berasal dari Wajib Pajak, karena jika jumlah Wajib Pajak meningkat maka jumlah PPh yang akan diterima pun juga akan meningkat. Tetapi permasalahannya adalah tidak semua orang pribadi yang memiliki penghasilan dari pekerjaannya mau menjadi seorang Wajib Pajak.

Tidak sedikit dari mereka lebih memilih untuk menghindar dari pungutan pajak.

Oleh karena itu, untuk menyadarkan masyarakat agar mau menjadi seorang Wajib Pajak, diperlukan upaya-upaya khusus yang perlu dipikirkan oleh

(19)

pemerintah. Upaya lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi selain dengan cara memberlakukan Undang-Undang PPh No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan PTKP dan tarif pajak Orang Pribadi adalah dengan mendorong seluruh masyarakat yang belum menjadi Wajib Pajak tetapi penghasilannya sudah melebihi nilai PTKP agar memiliki kesadaran penuh dan tinggi untuk segera memiliki NPWP, dan menghimbau mereka untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar sesuai aturan.

Beberapa upaya lain untuk meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan dapat ditempuh dengan cara-cara seperti di bawah ini:

1. M enganalisa SPT yang dilaporkan oleh para Wajib Pajak.

M enurut hasil wawancara penulis dengan Kepala seksi pengawasan dan konsultasi III KPP Pratama Jakarta Tebet, Bapak Hamdi Aniza Pertama, SE., Ak., M .Si, beliau mengatakan bahwa upaya yang KPP Pratama Jakarta Tebet lakukan untuk meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan adalah dengan membuat analisa terhadap SPT yang dilaporkan oleh para Wajib Pajak, kemudian akan dihitung kembali berapa jumlah pajak yang seharusnya para Wajib Pajak bayar. Jika hasil dari analisis yang KPP Pratama Jakarta Tebet lakukan terdapat selisih yang seharusnya para Wajib Pajak masih ada kewajiban untuk membayar, biasanya KPP Pratama Jakarta Tebet akan menghimbau mereka untuk membetulkan SPT-nya. Jika para Wajib Pajak tersebut tetap tidak mau melakukan pembetulan terhadap SPT-nya, padahal sudah jelas mereka melakukan kesalahan, maka KPP Pratama Jakarta Tebet akan melakukan tindakan pemeriksaan. Dan jika terbukti terdapat

(20)

kekurangan pembayaran pajak, langkah selanjutnya adalah dengan mengeluarkan Surat Tagihan.

2. Terbitnya peraturan PPh pasal 25 Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OP PT) yang lebih menyederhanakan dan memberikan kepastian hukum kepada WP OP PT.

M asih menurut Bapak Hamdi selaku Kepala seksi pengawasan dan konsultasi III KPP Pratama Jakarta Tebet, beliau berpendapat bahwa dengan berubahnya peraturan PPh pasal 25 Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OP PT) mulai 12 Juli 2010 ini, dapat memberikan kesederhanaan dan kepastian hukum kepada para WP OP PT. Sehingga mereka dapat lebih patuh dan tidak merasa terbebani lagi dalam membayar kewajiban pajaknya. Walaupun tarif PPh pasal 25 WP OP PT ini mengalami penurunan dari yang sebelumnya adalah sebesar 2% dan diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-171/PJ/2002, menjadi hanya 0,75% saja dan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER- 32/PJ/2010. Perubahan tarif ini memang sangat signifikan, tetapi dengan diberikannya kesederhanaan dan kepastian hukum dalam membayar pajak, diharapkan para WP OP PT menjadi lebih patuh dalam membayar pajak, agar dalam jangka panjang penerimaan Pajak Penghasilan KPP Pratama Jakarta Tebet akan mengalami peningkatan walaupun perlahan.

(21)

3. Ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.

M enurut hasil wawancara penulis dengan Ibu Sri Hernowati selaku Kepala seksi pengolahan data dan informasi, beliau berpendapat dan pendapat yang sama juga dilontarkan oleh Bapak Hamdi, bahwa KPP Pratama Jakarta Tebet melakukan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak untuk meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan. M aksud ekstensifikasi disini adalah menjaring orang pribadi yang penghasilannya sudah melebihi nilai PTKP, tetapi belum memiliki NPWP atau belum mendaftar menjadi Wajib Pajak untuk segera mendaftarkan dirinya sebagai Wajib Pajak dengan memiliki NPWP. Dan bagi para pengusaha yang sudah berkewajiban untuk memungut PPN tetapi belum mendaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka akan KPP Pratama Jakarta Tebet himbau kepada mereka untuk mendaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak. Sedangkan untuk upaya intensifikasi pajak dilakukan dengan mengoptimalkan penerimaan pajak dari Wajib Pajak yang sudah terdaftar di KPP Pratama Jakarta Tebet. Para Wajib Pajak digali lagi kepedulian dan pemahaman perpajakannya agar administrasi perpajakan mereka tepat. Cara intensifikasi pajak yang lain adalah dengan melakukan mapping atau pemetaan, profilling atau pembuatan profil dan benchmarking atau pembandingan. Ketiga kegiatan ini didukung dengan kegiatan pengumpulan data baik dari internal Direktorat Jenderal Pajak maupun dari eksternal Direktorat Jenderal Pajak.

(22)

4. Penerapan tarif pemotongan atau pemungutan PPh yang lebih tinggi bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP.

Bagi Wajib Pajak penerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemotongan 20% lebih tinggi dari tarif normal. Lalu bagi Wajib Pajak penerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 dan pemungutan PPh Pasal 22 yang tidak mempunyai NPWP, dikenai pemotongan 100% lebih tinggi dari tarif normal.

5. Bagi Wajib Pajak yang telah mempunyai NPWP dibebaskan dari kewajiban pembayaran fiskal luar negeri sejak tahun 2009, dan dihapuskan pada tahun 2011.

Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Sehubungan dengan pembebasan pembayaran fiskal luar negeri yang mulai berlaku dari 1 Januari 2009, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.80 tahun 2008 tentang pembayaran Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan ke luar negeri, yang aturan pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No.53/PJ/2008 tentang tata cara pembayaran, pengecualian pembayaran, dan pengelolaan administrasi Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang akan ke luar negeri, yang diterbitkan pada tanggal 31 Desember 2008. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP ini dimaksudkan untuk mendorong para Wajib Pajak agar memiliki NPWP sehingga dapat memperluas basis pajak. Tetapi pada tahun

(23)

2011 ini, bertepatan pada tanggal 1 Januari 2011 pukul 00.00 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun, kemudian ingin bertolak ke luar negeri, tidak akan dikenakan kewajiban membayar fiskal luar negeri lagi. Ketentuan ini ditegaskan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-141/PJ/2010 pada tanggal 17 Desember 2010. Jadi bagi Wajib Pajak dalam negeri yang akan ke luar negeri, dan bagi mereka yang memiliki NPWP maupun yang tidak memiliki NPWP, tidak akan dikenakan pembayaran fiskal luar negeri lagi.

6. Diberlakukannya peraturan dari Direktorat Jenderal Pajak yang mengatur kebijakan wajib memiliki NPWP untuk pengurusan paspor.

Namun rencana Direktorat Jenderal Pajak untuk mensyaratkan pencantuman Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada saat pembuatan paspor mulai awal tahun 2009 ini belum terealisasi karena penundaan.

Pemberlakuan kebijakan ini mundur lantaran Direktorat Jenderal Pajak telah sibuk melakukan sosialisasi kebijakan penghapusan sanksi pajak alias sunset policy pada tahun 2008. Usulan pencantuman NPWP ini merupakan salah satu upaya Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan ekstensifikasi di bidang perpajakan, yaitu dengan meningkatkan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi dalam hal kepemilikan NPWP. Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak juga bisa mengetahui mobilitas masyarakat yang akan pergi ke luar negeri.

Sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak sudah pernah menerapkan kewajiban ini pada 1980an lalu, namun karena persyaratan pembuatan paspor terlalu

(24)

banyak sehingga membebani masyarakat dan memperlambat pelayanan Direktorat Jenderal Imigrasi dalam pembuatan paspor, akhirnya pada saat itu ketentuan ini dihapuskan.

7. Transaksi valas jumlah tertentu wajib cantumkan NPWP.

Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.10/28/PBI/2008 tentang Pembelian Valuta Asing Terhadap Rupiah Kepada Bank, yang mulai diberlakukan pada tanggal 13 November 2008.

Ketentuan ini ditujukan untuk menjaga keseimbangan pasokan valas di pasar dan mengurangi tekanan yang berlebihan terhadap rupiah dan juga meminimalkan pembelian valas yang kurang bermanfaat. Bagi Warga Negara Asing (WNA), ketentuan tersebut hanya berlaku bagi pembeli asing melalui transaksi spot. Sedangkan, bagi Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia, termasuk perusahaan BUMN, juga dipersyaratkan untuk menunjukkan NPWP. Untuk transaksi pembelian valas yang melebihi nominal U S$ 100.000 per bulan hanya dapat dilakukan jika mempunyai underlying transaction. Underlying transaction adalah bukti tertulis yang harus diserahkan jika melakukan transaksi pembelian valas melebihi US$ 100.000, yang didalamnya dicantumkan kebutuhan pembeliannya.

Aturan baru ini ditujukan untuk meningkatkan kehati-hatian oleh Bank sehingga transaksi valas itu jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, serta bermanfaat untuk sektor riil. Bagi nasabah dan Bank yang lalai atau tidak dapat menunjukkan dokumen keperluannya, BI akan mengenakan sanksi berupa pengenaan penalti berupa persenan dari jumlah yang terjual.

(25)

M elalui upaya-upaya yang dilakukan KPP Pratama Jakarta Tebet yang juga merupakan bagian dari pemerintah ini, diharapkan nantinya dapat mendorong para Wajib Pajak agar memiliki kesadaran tinggi untuk segera memiliki NPWP, karena jika jumlah Wajib Pajak meningkat maka jumlah PPh yang akan diterima juga akan meningkat.

IV.3 Analisis upaya lain dari KPP Pratama Jakarta Tebet untuk mendorong tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam usaha meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan selain dengan telah berlakunya Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan PTKP dan tarif pajak orang pribadi

Walaupun jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi sudah mulai meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tetapi hal tersebut belum bisa menjamin bahwa Wajib Pajak tersebut akan selalu patuh untuk membayar pajak.

Oleh karena itu, masih diperlukan upaya-upaya lain dari pemerintah selain dengan telah memberlakukan Undang-Undang No.36 tahun 2008 sehubungan dengan perubahan PTKP dan tarif pajak orang pribadi untuk mengajak atau membujuk Wajib Pajak tersebut agar mau dan patuh untuk membayar pajak.

Upaya-upaya tersebut dapat berupa:

1. Proses sosialisasi kepada seluruh masyarakat.

Sosialisasi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah dengan cara lebih mengarah kepada sisi pembelajaran kepada seluruh masyarakat. Proses pembelajaran ini diberlakukan secara merata kepada seluruh masyarakat baik

(26)

dari golongan atas, menengah, sampai bawah. Target dari proses pembelajaran ini pun tidak dibatasi oleh faktor usia, jadi pajak sudah bisa mulai diperkenalkan pada tahap-tahap awal dalam jenjang pendidikan yaitu di sekolah-sekolah menengah pertama ataupun menengah atas. Karena diharapkan dengan dilakukannya proses pembelajaran yang sedini mungkin, maka dapat diprediksikan bahwa masyarakat akan lebih mengenal dan memahami pentingnya pajak.

Inti dari proses pembelajaran ini diterapkan sesuai dengan motto yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak yaitu “Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya”. Jadi tujuan dari proses sosialisasi ini sebenarnya adalah untuk lebih mengenalkan definisi dasar dari pajak itu sendiri. Sehingga nantinya masyarakat akan memahami lebih dalam yang dimaksud dengan pajak dalam arti sebenarnya. Dan diharapkan juga masyarakat akan memiliki tingkat kesadaran yang tinggi bahwa betapa pentingnya peran serta mereka dalam hal pembayaran pajak, karena pajak yang dibayarkan akan menjadi salah satu sumber dana utama dalam membiayai pembangunan negara.

Selama ini mungkin masyarakat kurang memiliki pembelajaran dan informasi yang cukup mengenai pajak, sehingga sering timbul kesalahpahaman atau asumsi negatif mengenai pajak itu sendiri, yang nantinya akan berakibat pada penurunan tingkat kepatuhan Wajib Pajak.

M asyarakat sering memiliki pandangan bahwa realisasi dari pajak yang telah mereka bayarkan ke pemerintah kurang dirasakan manfaatnya. Hal tersebut menjadi salah satu faktor kurangnya peran serta masyarakat dalam hal pemenuhan kewajiban pajak. Oleh karena itu, untuk mendorong tingkat

(27)

kepatuhan para Wajib Pajak, KPP Pratama Jakarta Tebet selaku pemerintah harus bisa mengubah cara pandang yang dimiliki masyarakat mengenai pajak.

Usaha tersebut dapat dilakukan dengan cara memperkenalkan pajak kepada masyarakat sedini mungkin. Dengan adanya proses pembelajaran tersebut, maka nantinya masyarakat akan dibekali pengetahuan dan informasi- informasi yang cukup mengenai pajak dalam arti yang sebenarnya.

Kurangnya pengetahuan tentang pajak yang diterima oleh masyarakat mengakibatkan mereka memiliki pandangan yang negatif terhadap pemerintah. Terlebih dengan maraknya kasus-kasus penyelewengan pajak belakangan ini. Dan masyarakat menganggap realisasi dari pajak yang seharusnya mereka terima itu sangat kurang dari sisi manfaat yang terlihat dan mereka rasakan dalam aktivitas setiap harinya. Pandangan negatif ini terjadi karena masyarakat hanya menilainya dari dampak jangka pendeknya saja. M asyarakat menganggap bahwa realisasi dari pajak itu dapat langsung mereka nikmati, padahal kesimpulan dari definisi pajak itu sendiri adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah dan dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi ataupun balas jasa secara langsung. Jadi manfaat pajak itu sendiri bisa masyarakat rasakan dalam kurun waktu jangka panjang.

M ungkin selama ini masyarakat tidak menyadari bahwa pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin untuk memprioritaskan tingkat kenyamanan sebagai hal yang utama. Hal ini bisa kita perhatikan dari segi keamanan, kenyamanan, kebersihan dan yang lainnya. Contohnya saja seperti pembangunan jembatan penyeberangan, jalan tol, flyover, underpass, taman kota, transportasi busway, dan lain-lain. Jika seluruh masyarakat memiliki

(28)

kesadaran tinggi dalam memenuhi kewajiban pajaknya, dan pendistribusian aliran dana pajak yang dilakukan oleh pemerintah dibuat secara transparan di hadapan publik, maka nantinya tidak akan terjadi lagi penyimpangan- penyimpangan di dalamnya. Dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun akan lebih tinggi dari sebelumnya.

Sosialisasi untuk memperkenalkan pajak kepada publik yang selama ini telah dilakukan oleh KPP Pratama Jakarta Tebet sebagai bagian dari Direktorat Jenderal Pajak dan pemerintah adalah seperti mengadakan seminar-seminar yang secara khusus akan dihadiri oleh para Wajib Pajak, membuat iklan komersial melalui media cetak maupun elektronik, poster atau spanduk, dan berbagai cara lainnya demi meningkatkan kepatuhan para Wajib Pajak dalam membayar pajak.

2. Pemberian kemudahan dan kenyamanan kepada para Wajib Pajak pada saat memenuhi kewajiban pajaknya, khususnya dalam hal pelayanan maupun fasilitas.

Berbagai macam pelayanan maupun fasilitas demi memberikan kemudahan dan kenyamanan kepada para Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya telah diberikan oleh KPP Pratama Jakarta Tebet dan juga pemerintah, contohnya adalah sebagai berikut:

a) Sistem Drop Box

M enurut hasil wawancara langsung penulis dengan Kepala seksi pengawasan dan konsultasi III KPP Pratama Jakarta Tebet, Bapak Hamdi Aniza Pertama, SE., Ak., M .Si, selama ini KPP Pratama Jakarta

(29)

Tebet telah melakukan sistem Drop Box. Dimana para Wajib Pajak dapat langsung menyampaikan SPT Tahunannya di fasilitas Drop Box mana saja, yang biasanya akan ditempatkan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), pusat perbelanjaan, pusat bisnis, atau tempat-tempat keramaian tertentu lainnya.

Fasilitas lain yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak demi meningkatkan kemudahan dan pelayanan bagi para Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT Tahunan atau e-SPT (SPT elektronik) Tahunannya yaitu dengan tersedianya Tempat Pelayanan Terpadu (TPT), Pojok Pajak, dan M obil Pajak.

Petugas TPT, Pojok Pajak, M obil Pajak, dan Drop Box akan menerima amplop tertutup yang berisi SPT Tahunan atau e-SPT Tahunan dari Wajib Pajak, termasuk dari Wajib Pajak yang tidak terdaftar di wilayah kerja KPP di mana TPT, Pojok Pajak, M obil Pajak, serta Drop Box tersebut berada, dan langsung memberikan tanda terima SPT kepada Wajib Pajak. Pegawai yang ditunjuk sebagai petugas penerima SPT pada TPT, Pojok Pajak, M obil Pajak, dan Drop Box wajib menggunakan tanda pengenal pegawai yang sah.

b) M odernisasi dalam sistem pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

M odernisasi telah diterapkan dalam pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dilakukan melalui Electronic Banking (e- banking). Peluncuran fasilitas pembayaran PBB ini diselenggarakan

(30)

pada tanggal 15 Juli 2008, yang bertempat di Departemen Keuangan, Jakarta. Peluncuran fasilitas pembayaran PBB untuk objek pajak di seluruh Indonesia melalui e-banking ini dapat dilakukan melalui ATM BNI, phonebanking BNI phoneplus, dan BNI Internet Banking.

Untuk sektor pedesaan dan perkotaan, pada tahun 2005 jumlah objek PBB melalui e-banking mencapai 841.358 dengan jumlah pembayaran Rp 135,17 M ilyar. Sementara pada awal Juli 2008, jumlah objek PBB adalah sebesar 737.413 dengan jumlah pembayaran Rp 423,28 M ilyar. Dengan adanya tambahan program e-banking oleh BNI ini, diharapkan akan dapat menambah jumlah objek PBB.

Fasilitas ini diberikan untuk memberi kemudahan, kepraktisan, dan kenyamanan pembayaran PBB bagi nasabah BNI dan BNI Syariah tanpa terkendala lokasi dan waktu pembayaran. Fasilitas ini juga merupakan dukungan bagi pemerintah dalam meningkatkan kualitas layanan pembayaran pajak, sehingga dapat membantu meningkatkan pajak yang sampai saat ini menjadi sumber utama pendapatan negara.

c) Account Representative

Fungsi Account Representative (AR) adalah sebagai partner Wajib Pajak, khususnya Wajib Pajak yang menempati 200 besar di masing-masing Kantor Pelayanan Pajak. Account Representative (AR) bisa memberikan informasi dan konseling kepada Wajib Pajak. Setiap Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP akan dilayani dan harus mengenal Account Representative (AR) nya, karena dialah yang akan

(31)

menjadi konsultan pajak pribadi si Wajib Pajak. Wajib Pajak dapat memeriksa ke KPP setempat untuk mengetahui siapa yang menjadi Account Representative (AR) nya dan meminta nomor Account Representative (AR) yang bisa dihubungi tanpa dipungut biaya tambahan.

Account Representative (AR) dilarang memeras dan menipu Wajib Pajak. Jika ternyata ada Account Representative (AR) yang melakukan pelanggaran, maka Wajib Pajak dapat melakukan komplain ke pusat pengaduan pajak. Dengan adanya pelayanan dalam bentuk Account Representative (AR) ini, diharapkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak dapat terus meningkat.

d) Elektronik SPT (e-SPT)

Elektronik SPT (e-SPT) adalah aplikasi software yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk digunakan oleh para Wajib Pajak untuk menambah kemudahan dalam menyampaikan SPT.

Adapun kelebihan dari e-SPT, antara lain penyampaian SPT dapat dilakukan secara cepat dan aman, karena lampirannya dapat disampaikan dalam bentuk media CD atau flashdisk, sehingga data perpajakan terorganisasi dengan baik. Sistem aplikasi e-SPT ini dapat mengorganisasikan data perpajakan perusahaan dengan baik dan sistematis.

(32)

e) Elektronik NPWP (e-NPWP)

Elektronik NPWP (e-NPWP) merupakan program aplikasi yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Pemberi Kerja atau Bendaharawan Pemerintah untuk merekam nama dan identitas pengurus, komisaris, pemegang saham atau pemilik, dan pegawai yang berpenghasilan diatas PTKP tetapi belum memiliki NPWP.

Dengan adanya pelayanan dalam bentuk e-NPWP diharapkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak akan terus meningkat, dan dapat menambah jumlah Wajib Pajak dengan menjaring para pegawai yang berpenghasilan diatas PTKP tetapi belum memiliki NPWP.

f) Beberapa fasilitas pelayanan baru di Kantor Pajak

Ada beberapa fasilitas pelayanan baru yang diterapkan di Kantor Pelayanan Pajak, antara lain:

• Kode Etik Pegawai

Kode etik adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang mengikat pegawai dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi serta dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kode etik bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan para pegawai, menjamin terpeliharanya tata tertib, serta menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan iklim kerja yang kondusif. Sejak pertama kali diatur dengan Keputusan M enteri Keuangan No.222/KM K.03/2002, Kode Etik Pegawai sudah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan

(33)

terakhir adalah dengan keluarnya Peraturan M enteri Keuangan No.1/PM K.3/2007. Kode etik yang berisi kewajiban dan larangan ini wajib dipatuhi setiap pegawai dalam menjalankan tugasnya serta dalam pergaulan hidupnya sehari-hari. Pegawai yang melakukan pelanggaran kode etik akan dikenakan sanksi moral dan/atau hukuman disiplin.

• Intranet

Intranet adalah jaringan komputer yang dikhususkan untuk penggunaan pada lingkungan didalam batasan suatu organisasi.

Dilihat dari sudut tekhnisinya, intranet didefinisikan sebagai penggunaan tekhnologi internet dan WWW (World Wide Web) didalam sebuah jaringan komputer lokal (LAN). Local Area Network (LAN) adalah sekumpulan komputer yang saling dihubungkan pada suatu daerah atau lokasi tertentu. Intranet memaksimalkan penggunaan LAN tersebut dengan menambah kemampuan-kemampuan internet kedalamnya.

• Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP)

SIDJP adalah sistem informasi dalam administrasi perpajakan di lingkungan kantor modern Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak yang dihubungkan dengan suatu jaringan kerja di kantor pusat.

Penerapan sistem informasi ini di Direktorat Jenderal Pajak memberikan cukup banyak manfaat. Salah satunya adalah

(34)

peringatan dini (early warning) mengenai Wajib Pajak yang belum memenuhi kewajibannya. Kemudian sistem peringatan ini juga akan disampaikan ke Wajib Pajak yang bersangkutan. Sebuah surat teguran akan secara otomatis dikirimkan ke Wajib Pajak jika yang bersangkutan belum mengirimkan Surat Pemberitahuan Pembayaran Pajak melewati tanggal tertentu.

• Mesin Antrian – Grade-Q

M esin antrian yang dalam istilah asing disebut juga Queueing System merupakan suatu perangkat sistem antrian yang penting dengan fungsi sederhana yaitu mengatur antrian yang terjadi akibat semakin banyaknya pelanggan di suatu perusahaan sebagai dampak meningkatnya kinerja perusahaan tersebut. Perangkat ini merupakan perangkat yang penting karena saat berada dalam antrian, pelanggan akan menunggu untuk dipanggil, dan menunggu adalah hal yang paling membosankan. Oleh karena itu, mesin antrian sangat diperlukan agar tidak terjadi keluhan dari para pelanggan.

M esin antrian (Queueing System) Grade Q-Vision merupakan mesin antrian atau sistem antrian dengan jumlah maksimal 8 (delapan) layanan dan 32 (tiga puluh dua) loket, dilengkapi dengan display antrian, dan printer termal autocutter untuk nomor antrian.

g) Electronic Filling (e-Filling)

Electronic Filling (e-Filling) merupakan suatu cara penyampaian Surat Pemberitahuan yang dilakukan melalui sistem online dan real

(35)

time. Aplikasi yang digunakan dalam melaksanakan e-filling sering disebut dengan Application Service Provider (ASP). Application Service Provider (ASP) adalah perusahaan penyedia jasa aplikasi yang telah ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai perusahaan yang dapat menyalurkan Surat Pemberitahuan secara elektronik ke Direktorat Jenderal Pajak.

h) Electronic Registration (e-Registration)

Sistem pendaftaran Wajib Pajak secara online atau biasa disebut dengan e-Registration adalah sistem aplikasi sebagai bagian dari sistem informasi perpajakan di lingkungan kantor Direktorat Jenderal Pajak dengan berbasis perangkat keras dan perangkat lunak yang dihubungkan oleh perangkat komunikasi data yang digunakan untuk mengelola proses pendaftaran Wajib Pajak. Sistem ini terbagi dalam dua bagian, yaitu sistem yang dipergunakan oleh Wajib Pajak yang berfungsi sebagai sarana pendaftaran Wajib Pajak secara online, dan sistem yang dipergunakan oleh petugas pajak yang berfungsi untuk memproses pendaftaran Wajib Pajak.

3. M emberlakukan Law Enforcement.

Ketika seseorang atau badan hukum telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka kewajiban selanjutnya adalah memenuhi segala kewajiban perpajakannya. M enurut catatan Direktorat Jenderal Pajak, tingkat kepatuhan (compliance) Wajib

(36)

Pajak masih sangat rendah. Untuk itulah, Direktorat Jenderal Pajak menegakkan hukum (Law Enforcement) dengan memberikan denda yang besar atau sanksi yang berat bagi Wajib Pajak yang tidak atau terlambat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dengan adanya sanksi berupa denda yang cukup tinggi, diharapkan para Wajib Pajak akan lebih patuh terhadap administrasi perpajakan Indonesia.

Law Enforcement dalam bidang pajak yang diberikan oleh pemerintah, antara lain adalah:

Pada tahun-tahun sebelumnya, bagi Wajib Pajak yang dalam batas waktu yang telah ditentukan tidak menyampaikan SPT-nya akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk SPT M asa dan Rp 100.000,- untuk SPT Tahunan. Selama ini, denda atas tidak memasukkan SPT hanya berkisar Rp 50.000,- sampai dengan Rp 100.000,- saja. Artinya, Wajib Pajak yang tidak patuh akan memilih membayar denda saja, ketimbang harus melaporkan SPT-nya. Alhasil, efek jera atas denda ini gagal. Untuk itulah Direktorat Jenderal Pajak mengamandemen pasal 7 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan, sehingga bagi Wajib pajak yang terlambat melaporkan SPT, atau tidak menyampaikan SPT, atau sudah menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar, akan dikenakan denda dan/atau sanksi yang cukup berat. Jika di tahun-tahun sebelumnya terlambat memasukkan SPT Tahunan bagi Wajib Pajak Badan hanya dikenakan denda Rp 100.000,-, maka dengan Undang-Undang yang baru ini denda akan dinaikkan menjadi 10 (sepuluh) kali lipatnya, yaitu menjadi Rp 1.000.000,- untuk SPT Tahunan dan Rp 500.000,- untuk SPT M asa.

(37)

Selanjutnya, bagi Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT dalam batas waktu yang telah ditentukan, maka akan diberikan teguran berupa Surat Tagihan Pajak (STP), yang fungsinya adalah untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Apabila setelah Surat Tagihan Pajak (STP) diterbitkan, tetapi Wajib Pajak masih belum memenuhi kewajiban perpajakannya, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Dan apabila setelah Surat Ketetapan Pajak (SKP) diterbitkan tetapi Wajib Pajak masih bersikeras dengan tidak mau memenuhi kewajiban pajaknya, maka menteri keuangan berwenang untuk menunjuk pejabat yang nantinya akan diberikan wewenang juga untuk mengangkat seorang jurusita pajak yang berkewajiban untuk melaksanakan tindakan penagihan pajak. Selama ini, upaya yang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajaknya, hanya berhenti pada tahap penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) saja, alhasil efek jera atas upaya ini gagal. Untuk itulah, pada akhirnya pihak Direktorat Jenderal Pajak menerapkan Law Enforcement bagi Wajib Pajak yang setelah Surat Ketetepan Pajak (SKP) diterbitkan, tetapi masih bersikeras dengan tidak mau memenuhi kewajiban pajaknya, maka akan dilakukan tindakan penyitaan, pelelangan, dan penyanderaan.

Diharapkan dengan diberlakukannya Law Enforcement ini maka para Wajib Pajak yang tidak patuh untuk memenuhi kewajiban pajaknya akan jera dan sadar akan kewajiban utamanya sebagai seorang Wajib Pajak yang baik adalah membayar pajak, karena nantinya iuran pajak yang dibayarkan tersebut juga akan dinikmati kembali oleh para Wajib Pajak.

(38)

4. Rencana modernisasi perpajakan tahap kedua – PINTAR (Project for Indonesian Tax Administration Reform).

PINTAR (Project for Indonesian Tax Administration Reform) adalah suatu proyek berskala besar untuk meningkatkan dan menyempurnakan sistem administrasi perpajakan berbasis teknologi terkini. Selain itu, PINTAR juga mengembangkan manajemen dan sistem sumber daya manusia yang berbasis kinerja dan kompetensi dengan memaksimalkan pemanfaatan sistem teknologi informasi. Hal ini sejalan dengan keputusan organisasi bahwa Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan Sumber Daya M anusia (SDM ) merupakan fokus utama dalam modernisasi tahap dua yang telah dicanangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Pada prinsipnya, PINTAR akan memperbaiki dan menyempurnakan proses bisnis dari sistem administrasi perpajakan yang kita miliki.

Pendekatan yang dipakai adalah top down with bottom up contribution, yaitu merancang dan menerapkan sistem dan proses bisnis yang lebih baik berdasarkan best practice yang ada di dunia internasional. Pengalaman dari berbagai negara maju ini akan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di Indonesia, baik itu internal maupun eksternal Direktorat Jenderal Pajak. Input dan usulan dari segenap lini organisasi, baik itu pelaksana di lapangan sampai dengan pembuat kebijakan di kantor pusat berperan besar untuk dapat membangun sistem administrasi perpajakan yang applicable dan handal. Hal ini sejalan dengan upaya Direktorat Jenderal Pajak untuk dapat

(39)

mewujudkan visinya, yaitu menjadi Institusi pemerintah yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi.

Berdasarkan proses bisnis yang telah disempurnakan, kebutuhan TIK perlu disesuaikan, baik itu hardware, software, infrastruktur, dan juga manusianya. Perlu digaris bawahi bahwa PINTAR bukanlah membangun suatu sistem yang sama sekali baru, tetapi merupakan pengembangan serta penyempurnaan dari sistem dan manajemen informasi yang telah ada di Direktorat Jenderal Pajak saat ini. Tetapi melihat besarnya perubahan yang ada, maka skala proyek penyempurnaan di bidang TIK yang akan dilakukan dalam PINTAR inipun jumlahnya cukup signifikan.

Segenap unit kerja di Direktorat Jenderal Pajak diharapkan dapat mendukung sistem yang akan dikembangkan ini. Sistem informasi berbasis teknologi pada Direktorat Jenderal Pajak tidak hanya dimiliki dan menjadi tanggung jawab oleh unit kerja yang berhubungan langsung dengan TIK atau unit yang menangani transformasi, tetapi oleh seluruh unit kerja di Direktorat Jenderal Pajak. Dengan adanya rasa memiliki yang tinggi, sebuah sistem akan terlaksana serta terjaga dengan baik dalam penyelenggaraannya.

PINTAR dipecah dalam 4 (empat) komponen utama, yaitu: sistem perpajakan inti (Core Tax System), sumber daya manusia (Human Resources

(40)

Management), peningkatan kepatuhan Wajib Pajak (Compliance) serta manajemen perubahan (Project and Change Management).

Proyek pengembangan sistem perpajakan inti terbagi dalam lima sub komponen yang terdiri dari: registrasi WP (Registration), proses pengolahan SPT (Returns Processing), rekening WP (Taxpayers Account), manajemen dokumen (Document Management) serta infrastruktur TIK (Information System Architecture). Lima sub komponen pada sistem perpajakan inti ini dibuat berdasarkan fungsi utama yang ada dalam proses bisnis Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban administrasi perpajakannya.

Upaya-upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah dan juga KPP Pratama Jakarta Tebet untuk mendorong tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam usaha meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan diatas, yaitu proses sosialisasi kepada seluruh masyarakat, pemberian kemudahan kepada Wajib Pajak pada saat memenuhi kewajiban pajaknya khususnya dalam hal pelayanan atau fasilitas, pemberlakuan Law Enforcement, dan Rencana modernisasi perpajakan tahap kedua – PINTAR (Project for Indonesian Tax Administration Reform), maka diharapkan para Wajib Pajak menjadi tergerak dan tertarik untuk lebih patuh dalam menjalankan administrasi perpajakannya. Dengan adanya kemudahan, fasilitas atau sarana memadai dalam proses pembayaran pajak yang dilakukan oleh pemerintah, diharapkan nantinya para Wajib Pajak merasa lebih nyaman, efisien, dan fleksibel pada saat melakukan pembayaran pajak. Jika dalam sarana pembayaran

(41)

pajaknya saja Wajib Pajak sudah merasa terbebani, maka dapat dipastikan para Wajib Pajak juga akan enggan dan tidak akan terdorong untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Oleh karena itu, kemudahan dalam hal administrasi maupun pembayaran, dan fasilitas atau sarana pembayaran pajak yang memadai menjadi tugas pertama dan utama yang harus diperbaiki dan senantiasa diperbaharui oleh KPP Pratama Jakarta Tebet selaku pemerintah untuk mendorong dan meningkatkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam usaha meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan.

Referensi

Dokumen terkait

 Bantuan pengembangan usaha ekonomi bagi ODHA juga memiliki cakupan yang sangat kecil baik dari jumlah ODHA yang memanfaatkan, kualitas pelayanan yang rendah. karena tidak

Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mendenga rkan” b isikan emosi, dan menjadikannya sebagai alat untuk memahami diri sendiri dan orang lain sebagai dasar

Berdasarkan identifikasi masalah yang ada, maka penelitian ini dibatasi pada pengaruh Prosentase Perubahan Biaya Promosi dan Prosentase Perubahan Biaya Distribusi terhadap

Setiap suatu kegiatan pergerakan mempunyai zona asal dan tujuan, dimana asal merupakan zona yang menghasilkan perilaku pergerakan, sedangkan tujuan adalah zona yang

kamu telah mempelajari benda langit pada siang hari kamu juga telah mempelajari benda langit pada malam hari apa saja benda langit itu. apakah kamu menemukan kesulitan

Kandungan sia yang relatif tinggi pada kolostrum (susu yang diperoleh pada awal masa laktasi, ≈1,415 mg/mL) dibandingkan dengan susu yang diperoleh pada 7 bulan masa laktasi

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Pokja PKLK pendidikan inklusif, dinas pendidikan Kota Padang (2013: 3) yang menjadi sasaran dalam layanan identifikasi dan asesmen

All rights reserved Kata kunci: Kerentanan, Anopheles barbirostris, permethrin puriala Article History: Received: 11 Maret 2017 Revised: 7 April 2017 Accepted: 29 Mei 2017