• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Indeks Pembangunan Manusia Indeks pembangunan manusia (IPM) pertama kalinya diperkenalkan oleh United

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Indeks Pembangunan Manusia Indeks pembangunan manusia (IPM) pertama kalinya diperkenalkan oleh United"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

8 2. KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Indeks Pembangunan Manusia

Indeks pembangunan manusia (IPM) pertama kalinya diperkenalkan oleh United Nations Development Programe (UNDP) pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala melalui laporan tahunan Human Development Report (HDR). Menurut UNDP (2007) IPM merupakan suatu proses dalam memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (“a process of enlarging people’s choices”). Pada dasarnya konsep dari indeks pembangunan manusia yaitu meningkatkan kualitas hidup masyarakat menjadi lebih baik lagi baik dari segi fisik, mental, maupun secara spiritual.

Indeks pembangunan manusia memiliki nilai antara 0-100, dan memiliki tiga dimensi pengukuran IPM yaitu dimensi umur panjang dan hidup sehat, dimensi pengetahuan dan standar hidup yang layak. Dimensi kesehatan diukur melalui umur harapan hidup saat lahir (UHH). Dimensi pengetahuan diukur melalui harapan lama sekolah (HLS) dan rata-rata lama sekolah (RLS). Dimensi standar hidup yang layak diukur melalui pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan (PPP rupiah) (BPS, 2021a).

Menurut BPS (2021b), indeks pembangunan manusia menggambarkan kekayaan sesungguhnya suatu negara yang terletak pada manusia dan manusialah merupakan tujuan akhir dari sebuah pembangunan bukan menjadi alat dari pembangunan. Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut mengadopsi Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Dukungan pelaksanaan TPB di Indonesia diwujudkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2017 mengenai Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Dari 17 tujuan SDGs terdapat tiga target yang menyinggung mengenai pembangunan manusia, yaitu: (1) menjamin kehidupan yang sehat dan meningakatkan kesejahteraan di segala usia, (2) menjamin kualitas pendidikan yang adil dan inklusif serta meningkatkan kesempatan belajar seumur hidup untuk semua dan (3) meningkaktkan pertumbuhan ekonomi yang merata dan bekelanjutan, tenaga kerja yang optimal dan produktif, serta pekerjaan yang layak untuk semua. Ketiga tujuan yang ada dalam SDGs yang berkaitan dengan pembangunan manusia selaras dengan tiga dimensi dari IPM.

Sejak diperkenalkan oleh UNDP pada tahun 1990, pengukuran IPM telah mengalami perubahan metode perhitungan dan perubahan komponen perhitungan. Mulai tahun 2010, BPS menggunakan empat indikator, yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk mengukur dimensi- dimensi dari IPM. IPM dihitung dengan formula sebagai berikut (BPS, 2021a):

(2)

9

IPM = √I3 UHH× Ipengetahuan× Ipengeluaran× 100 (1) di mana:

IUHH = UHH−UHHmin

UHHmax−UHHmin (2)

Ipengetahuan =IHLS−IRLS

2 (3)

Ipengeluaran = In (pengeluaran)−In (pengeluaran)min

In (pengeluaran)max−In (pengeluaran)min (4) dengan:

IHLS = HLS−HLSmin

HLSmax−HLSmin (5)

dan

IRLS =RLSRLS−RLSmin

max−RLSmin (6)

2.1.2. Belanja Daerah

Menurut UU No. 17 Tahun 2003 (BPK, 2021) tentang Keuangan Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan merupakan wujud dari pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah. Pengelolaan APBD diatur oleh UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Lebih lanjut menurut peraturan pemerintah tersebut, belanja daerah adalah semua kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran berkenaan dan diklasifikasikan menurut fungsinya, yaitu: untuk pelayanan umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, perlindungan lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, pendidikan dan perlindungan sosial.

Belanja daerah digunakan untuk keperluan segala pelaksanaan fungsi pemerintah baik urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan yang dilaksanakan bersamaan antar pemerintah pusat dan pemeritah daerah, atau antar pemerintah daerah disuatu provinsi atau kabupaten/kota (Syamsuri & Bandiyono, 2018).

Di dalam pengelolaan keuangan, terdapat mandatory spending, yaitu belanja pemerintah yang sudah diatur oleh undang-undang, yang tujuannya adalah untuk memperkecil ketimpangan sosial dan ekonomi antar daerah (DJPK Kemenkeu, 2020). Dalam pengelolaan keuangan daerah, terdapat empat mandator spending, yaitu (DJPK Kemenkeu, 2020): (1) alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD untuk memenuhi UUD 1945 pasal 31

(3)

10

ayat 4 dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 49 ayat 1, (2) alokasi anggaran kesehatan minimal 10% dari APBD di luar gaji untuk memenuhi UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, (3) alokasi Dana Transfer Umum (DTU) minimal 25% untuk belanja infrastruktur daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar daerah guna memenuhi UU tentang APBN dan (4) Alokasi Dana desa (ADD) minimal 10% dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk memenuhi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

2.1.3. Kemiskinan

Konsep yang digunakan (BPS, 2020e) terkait kemampuan memenuhi kebutuhan hidup dasar (basic needs approach). Pendekatan tersebut menyatakan bahwa kemiskinan berarti ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan atau penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan dibawah garis kemiskinan (BPS, 2020e).

Terdapat perbedaan tingkat kemiskinan antara daerah satu dengan daerah lainnya.

Hal itu dipengaruhi oleh kebiasaan atau adat dan budaya, kondisi geografis dan standar kebutuhan hidup di suatu daerah (Butar, 2008). Kemiskinan, yang merupakan masalah di seluruh negara di dunia terutama pada negara yang sedang berkembang, terjadi akibat berbagai faktor ekonomi, sosial, politik, dan demografi (Bahar & Djaja, 2014).

Tingginya tingkat kemiskinan di suatu wilayah menunjukkan ketidaksejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan rendahnya tingkat IPM di wilayah tersebut. Oleh karena itu, dimensi-dimensi dalam IPM terkait dengan kemiskinan absolut, yaitu ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan minimum seperti kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan karena pendapatan yang dihasilkan berada di bawah garis kemiskinan dan merefleksikan. Kemiskinan absolut dapat disebabkan karena kemiskinan struktural, yaitu rendahnya akses seseorang terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan politik sehingga tidak mendukung pembebasannya dari kemiskinan atau kemiskinan realtif, yaitu kemiskinan yang terjadi karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga meyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan (Arifin, 2017).

Upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi kemiskinan adalah melalui pembangunan SDM dengan menciptakan manusia yang sejahtera melalui peningkatan kualitas

(4)

11

layanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan gizi. Manusia merupakan kekayaan utama bagi suatu negara karena semakin berkualitasnya manusia maka manusia tersebut akan memiliki produktivitas yang baik dan semakin memiliki kemampuang yang tinggi untuk mengelola suatu pekerjaan atau sumber daya alam.

Untuk mendukung upaya pengurangan kemiskinan, diperlukan pula campur tangan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik yang baik seperti sekolah, rumah sakit, lapangan kerja, perumahan, jalan, jembatan, jaringan komunikasi, dan lain sebagainya. Dengan adanya infrastruktur yang memadai maka masyarakat miskin akan semakin mudah untuk mengakses layanan publik dalam meningkatkan kualitas SDM serta produktivitasnya.

Dalam mengukur kemiskinan di suatu wilayah, World Bank menggunakan perkiraan konsumsi yang dikonversikan ke dolar Amerika dengan menggunakan paritas (kesetaraan) daya beli (purchasing power parity, PPP2) per hari. Sedangkan (BPS, 2020a) mengukur kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan yang dihitung berdasarkan garis kemiskinan makanan, yaitu pengeluaran minimum kebutuhan akan makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita perhari, dan garis kemiskinan non-makanan, yaitu kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 komoditi seperti padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain.

Sedangkan paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan, dan 47 di pedesaan.

2.1.4. Pengangguran

BPS (2020d) menyatakan bahwa pengangguran merupakan sekelompok penduduk usia kerja selama periode waktu tertentu yang tidak bekerja namun bersedia menerima pekerjaan dan sedang mencari pekrjaan atau sudah memiliki pekerjaan yang kurang 35 jam per minggu namun masih bersedia menerima pekerjaan lain. Sementara tingkat pengangguran menurut (BPS, 2020d) dapat diartikan sebagai banyaknya jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja dan aktif mencari pekerjaan.

Pengangguran merupakan masalah makroekonomi yang sudah menjadi masalah umum di berbagai negara terutama di negara berkembang seperti di Indoensia. Dampak adanya

2 Angka konversi PPP adalah banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli sebesar US$ 1 di Amerika Serikat.

(5)

12

pengangguran akan mengurangi pendapatan masyarakat sehingga kemakmuran yang akan dicapai juga akan berkurang (Baeti, 2013).

Sukirno (2005) menyatakan bahwa timbulnya pengangguran pada teori Keynes disebabkan karena rendahnya permintaan agregat. Permintaan agregat merupakan seluruh permintaan barang dan jasa pada suatu perekonomian. Jika permintaan agregat menurun maka akan menyebabkan perusahaan mengurangi produksinya akan barang dan jasa, sehingga akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja dan jumlah pengagguran akan meningkat.

Banyakanya jumlah pengangguran akan berakibat pada tingginya penawaran tenaga kerja.

Dengan meningkatnya penawaran tenaga kerja maka upah yang diberikan kepada tenaga kerja akan turun dan penurunan upah tersebut akan berdampak kerugian bagi tenaga kerja.

Menurutnya, upah yang diberikan tersebut menggambarkan daya beli masyarakat terhadap suatu barang. Daya beli masyarakat merupakan salah satu indikator IPM yang apabila rendah maka berakibat pada perusahaan yang akan menurunkan jumlah produksinya serta tidak terserapnya kelebihan tenaga kerja sehingga permintaan dan pnawaran tenaga kerja tidak pernah seimbang dan pengangguran akan terus terjadi. Sementara Mahroji dan Nurkhasanah (2019) menyatakan bahwa pengagguran terjadi disebabkan tingginya tingkat angkatan kerja yang tidak diimbangi oleh ketersediaan lapangan pekerjaan yang luas dan rendahnya penyerapan tenaga kerja.

2.1.5. Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Maulana dan Bowo (2013), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan output agregat dari keseluruhan barang dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan perekonoian atau Produk Domestik Bruto (PDB). Todaro dan Smith (2006) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi merupakan naiknya kapasitas dalam jangka panjang dari suatu negara dalam menyediakan berbagai barang dan jasa kepada penduduknya. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu kondisi ekonomi di suatu negara secara berkelanjutan menuju keadaan perekonomian yang lebih baik selama periode waktu tertentu (Lumbantoruan & Hidayat, 2014).

Chalid (2015) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan output per kapita, dan harus memperhatikan dua sisi yaitu PDB dan sisi jumlah penduduk. Jadi proses kenaikan output per kapita tidak bisa dilihat melalui satu sisi saja karena outpur per kapita adalah output total dibagi jumlah penduduk. Lebih lanjut, jika kenaikan output per kapita terjadi hanya satu hingga dua tahun kemudian terjadi penurunan kembali, maka hal itu akan menyebabkan tidak terjadi pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

(6)

13

Teori pertumbuhan merupakan teori yang menjelaskan fenomena perubahan sosial yang khususnya terjadi pada masyarakat berkembang yang dikemukakan oleh beberapa ahli ekonom yang mengacu pada pemikiran untuk memperbaiki kondisi ekonomi di masyarakat berkembang (Chalid, 2015). Ahli teori pertumbuhan seperti Romer (1986) menjelaskan bahwa munculnya teori pertumbuhan baru (new growth theory) atau biasa dikenal dengan endogenous growth theory karena tidak puasnya dengan model neo-klasik yang tidak cukup menjelaskan pertumbuhan jangka panjang.

Prijambodo (1995) menyebutkan terdapat beberapa ciri teori neo-klasik terhadap teknologi yang dianggap gagal dalam menjelaskan pola pertumbuhan jangka panjang. Ciri-ciri tersebut yaitu bahwa teknologi hanya bersifat barang publik yang mudah didapatkan tanpa perlu adanya persaingan dan tidak dikhususkan untuk sekelompok pengguna saja serta hanya dianggap barang yang biasa saja. Sehingga teknologi tidak dimanfaatkan secara maksimal bahwa teknologi tersebut dapat memproduksi barang dengan biaya yang rendah. Kurangnya memperhatikan aspek pengalaman kerja (learning by doing) yang terus berjalan dengan masuknya pengetahuan ide baru.

Pada teori ini pertumbuhan ekonomi terjadi karena adanya jumlah modal, jumlah tenaga kerja yang mendukung, memanfaatkan dan memaksimalkan adanya teknologi, investasi pada human capital berupa ilmu pengetahuan dan keterampilan serta memperhatikan pengalaman kerja (learning by doing). Menurut Mankiw (2020) fungsi produksi yang menggambarkan hubungan antara jumlah input yang digunakan dalam produksi dan kuantitas output dari produksi dapat dirumuskan melalui rumus berikut:

Y = AF(L,K,H,N) (7)

Dimana Y menunjukkan jumlah output, L adalah jumlah tenaga kerja, K adalah kuantitas fisik modal, H adalah jumlah modal manusia, dan N adalah sumber daya alam. F merupakan notasi untuk fungsi yang menunjukkan bagaimana gabungan input menghasilkan output. Variabel A mencerminkan faktor produksi yang tersedia yaitu teknologi. Ketika teknologi meningkat (A naik) sehigga ekonomi berproduksi lebih banyak menghasilkan output lebih banyak dari jumlah input yang digunakan.

Dengan memasukan semua unsur-unsur seeprti pentingnya teknologi sebagai alat produksi yang dapat menekan biaya, jumlah modal, jumlah tenaga kerja, human capital dalam bentuk investasi berupa ilmu pengetahuan dan ketermapilan serta memperhatikan pengalaman kerja (learning by doing) maka pertumbuhan ekonomi akan berlangsung dalam jangka panjang.

(7)

14 2.1.6. Upah Minimum

Hariandja (2002) menyatakan bahwa upah atau gaji merupakan imbalan atau balas jasa kepada tenaga kerja berupa uang sebagai akibat dari posisinya sebagai tenaga kerja dalam memberikan sumbangannya dalam mencapai tujuan organisasi. Pemberian upah yang dilandasi keadilan yang bersifat dinamis akan meningkatkan produktivitas, loyalitas dan kepuasan karyawan. Tingkat upah minimum regional yang tinggi dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, tingkat upah minimum regional yang terlalu tinggi dapat menjadi beban bagi perusahaan dan mendorong perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menurut David Ricardo, pemberian upah kepada tenaga kerja tergantung pada keperluan yang sebenarnya yaitu keperluan dalam kebutuhan minimum yang diperlukan tenaga kerja untuk dapat bertahan hidup dan bergantung pada lingkungan sekitar (Mahihody et al., 2018). Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 15 Tahun 2018 Tentang Upah Minimum tentang Upah Minimum (JDIH Kemnaker, 2021), upah minimum merupakan upah terendah yang diberikan setiap bulan kepada tenaga kerja sebagai imbalan kerja dari pengusaha yang meliputi gaji pokok dan tunjangan tetap. Dalam pemberian upah kepada tenaga kerja, pengusaha harus memperhatikan golongan jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi seperti tertuang pada Pasal 92 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 15 Tahun 2018 Tentang Upah Minimum, upah minimum ditentukan berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Dalam penentuan upah minimum didasarkan pada KHL periode yang sama dimana dihitung dengan kebutuhan hidup pekerja dalam memenuhi kebutuhan dasar pangan 2100 kilokalori per hari, perumahan, pakaian, pendidikan, dan lainnya.

Terpenuhinya kebutuhan hidup layak tenaga kerja dapat meningkatkan produktifitas kerja, dan produktifitas perusahaan sehingga produktifitas nasional akan meningkat.

Selain KHL, indeks harga konsumen (IHK) dan tingkat partisipasi angkatan kerja juga merupakan faktor yang mempengaruhi penentuan upah minimum (Bersales & Lucagbo, 2014).

IHK yang mengukur peningkatan harga-harga secara umum dari barang/jasa yang dikonsumsi oleh konsumen, menjadi dasar perhitungan biaya yang dibutuhkan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. IHK merupakan komponen penting dalam penentuan upah minimum karena jika biaya hidup masyarakat tinggi maka tingkat upah juga harus dinaikkan.

Penetapan batasan upah minimum ditetapkan pemerinah ketika tingkat upah atau harga tenaga kerja yang ditentukan melalui mekanisme dianggap terlalu rendah untuk dapat

(8)

15

memenuhi KHL. Karena itu, upah minimum selalu ditetapkan di atas ketika tingkat upah atau harga pasar tenaga kerja.

2.2. Hasil Penelitian Sebelumnya

Seperti telah disebutkan di bagian pendahuluan, studi mengenai IPM di Indonesia sudah banyak dilakukan dengan berbagai varisi data. Hampir semua studi mengenai IPM Indonesia yang pernah dilakukan menggunakan data panel, kecuali Fahmi dan Dalimunthe (2018) serta Pradana (2018) yang menggunakan cross section data dan Iqbal dan Farlian (2018), Primandari (2019), Si’lang et al., (2019) menggunakan time series data. Mayoritas studi IPM di Indonesia menggunakan data IPM dari seluruh provinsi dan mayoritas studi IPM untuk provinsi-provinsi di Indonesia menggunakan data IPM seluruh kabupaten/kota di provinsi yang diteliti. Tetapi Zamharir (2016) secara khusus hanya meneliti IPM dari 12 provinsi yang IPM- nya tergolong lower-medium dan Putra (2017) secara khusus hanya meneliti IPM dari kabupanten-kabupaten di Kalimantan Barat yang terletak di perbatasan Indonesia dengan Malaysia.

Studi yang menggunakan cross section dan time series data menggunakan model regresi yang diestimasi dengan regresi dengan metode kuadrat terkecil (ordinary least square regression). Sedangkan meskipun hampir semua studi tersebut menggunakan data panel, tetapi metode pemodelan yang dipilih bervariasi. Ada yang menggunakan common effect model (pooled least square model) (Astri et al., 2013; Chalid & Yusuf, 2014; Adelfina & Jember, 2016; Putra, 2017; Ramadona et al., 2019), metode generalized least square (Ginting et al., 2008) dengan model efek tetap atau fixed effect model (Sasana, 2012; Baeti, 2013; Maulana &

Bowo, 2013; Bhakti et al., 2014; Ariza, 2016; Kamilia & Widiastuti, 2016; Zamharir, 2016;

Meydiasari & Soejoto, 2017; Mirza, 2012; Rakhmawati et al., 2017; Umiyati et al., 2017;

Ningrum et al., 2020; Zakaria, 2018), model efek random atau random effect model (Diba et al., 2018; Muliza et al., 2017; Khikmah et al., 2020) dan ada yang menggunakan analisis tipologi Klassen dan uji kointegrasi (Lumbantoruan & Hidayat, 2014).

Hasil studi untuk variabel belanja atau pengeluaran pemerintah daerah, tidak semua seragam. Hampir semua studi tersebut menemukan belanja atau pengeluaran pemerintah daerah pengaruhnya positif dan signifikan (Sasana, 2012; Baeti, 2013; Adelfina & Jember, 2016; Ariza, 2016; Iqbal & Farlian, 2018; Kamilia & Widiastuti, 2016; Mirza, 2012; Si’lang et al., 2019; Umiyati et al., 2017; Khikmah et al., 2020; Zakaria, 2018) tetapi Ningrum et al.

(2020) dan Rakhmawati et al. (2017) menemukan pengaruhnya tidak signifikan. Beberapa

(9)

16

studi membedakan jenis belanja pemerintah. Ada yang menemukan pengaruh belanja pemerintah untuk pendidikan signifikan positif (Ginting et al., 2008; Astri et al.. 2013; Fahmi

& Dalimunthe, 2018) tetapi ada pula yang menemukan pengaruhnya signifikan negatif (Bhakti et al., 2014) dan tidak signifikan (Meydiasari & Soejoto, 2017). Ada yang menemukan pengaruh belanja pemerintah untuk kesehatan tidak signifikan (Astri et al.. 2013), signifikan negatif (Fahmi & Dalimunthe, 2018) dan signifikan positif (Bhakti et al., 2014). Putra (2017) menemukan pengeluaran pemerintah daerah untuk infrastruktur berpengaruh signifikan positif terhadap IPM. Pradana (2018) menemukan pengaruh belanja pemerintah daerah untuk operasional signifikan positif tetapi pengaruh belanja pemerintah daerah untuk modal atau tak terduga signifikan negatif.

Hasil penelitian untuk variabel pertumbuhan ekonomi, juga beragam. Mayoritas studi menemukan pertumbuhan ekonomi memiliki hasil yang positif dan signifikan terhadap IPM (Adelfina & Jember, 2016; Ariza, 2016; Baeti, 2013; Chalid & Yusuf, 2014; Maulana & Bowo, 2013; Mirza, 2012; Primandari, 2019; Rakhmawati et al., 2017; Ramadona et al., 2019;

Zamharir, 2016). Tetapi Ningrum et al. (2020), dan Zakaria, (2018) menemukan pengaruh pertumbuhan ekonomi tidak signifikan, Khikmah et al., (2020) menemukan pengaruh pertumbuhan ekonomi signifikan negatif, sementara Lumbantoruan dan Hidayat (2014) menyimpulkan dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi dan IPM akan mencapai keseimbangan.

Ada dua macam indikator yang biasa digunakan untuk mengukur kemiskinan, yaitu jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan (rasio penduduk miskin terhadap total populasi atau persentase penduduk miskin dari total populasi). Hampir semua hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kemiskinan memiliki pengaruh negatif dan siginifikan terhadap IPM (Adelfina & Jember, 2016; Chalid & Yusuf, 2014; Diba et al., 2018; Ginting et al., 2008;

Mirza, 2012; Muliza et al., 2017; Ramadona et al., 2019; Umiyati et al., 2017; Zakaria, 2018), kecuali hasil studi Ningrum et al. (2020) yang menemukan pengaruhnya signifikan positif sementara Zamharir (2016), dan Khikmah et al., (2020) yang menemukan pengaruhnya terhadap IPM negatif tetapi tidak signifikan.

Indikator untuk pendapatan daerah atau tingkat upah juga beragam, yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pendapatan Asli Daerah (PAD), pendapatan atau PDRB per kapita atau tingkat upah minimum regional. Baik studi yang menggunakan PDRB, PAD, PDRB per kapita maupun upah minimum regional sebagai indikator menunjukkan pendapatan atau upah berpengaruh signifikan positif terhadap IPM (Bhakti et al., 2014; Chalid & Yusuf, 2014; Diba et al., 2018; Zamharir, 2016; Muliza et al., 2017; Rakhmawati et al.; 2017; Fahmi

(10)

17

& Dalimunthe, 2018; Ramadona et al., 2019; Si’lang et al., 2019; Cahyanti & Fevriera, 2020).

Tetapi, Sasana (2012) menemukan pengaruh pendapatan per kapita tidak signifikan.

Sedangkan Meydiasari dan Soejoto (2017) menemukan bahwa distribusi pendapatan di Indonesia berpengaruh signifikn positif terhadap IPM.

Hasil penelitian Baeti (2013), Chalid dan Yusuf (2014), Meydiasari dan Soejoto (2017) Ningrum et al. (2020), serta Zakaria (2018) menemukan pengangguran berpengaruh negatif terhadap IPM. Tetapi Primandari (2019) menemukan tingkat pengangguran berpengaruh signifikan positif sementara penelitian yang dilakukan oleh Ramadona et al. (2019) menemukan pengangguran tidak berpengaruh terhadap IPM.

Selain variabel-variabel di atas, ada beberapa peneliti yang mempelajari pengaruh dari beberapa variabel yang berbeda. Ginting et al. (2008) menemukan pengeluaran rumah tangga untuk makanan dan krisis ekonomi di Indonesia berpengaruh signifikan negatif terhadap IPM dan pengeluaran rumah tangga untuk non makanan serta pendidikan berpengaruh signifikan positif terhadap IPM. Maulana dan Bowo (2013) menemukan angka melek huruf dewasa berpengaruh signifikan positif terhadap IPM tetapi teknologi tidak berpengaruh terhadap IPM dan Bhakti et al. (2014) menemukan rasio ketergantungan dan konsumsi rumah tangga untuk makanan berpengaruh signifikan negatif terhadap IPM sedangkan Si’lang et al. (2019) menemukan bahwa investasi swasta memiliki pengaruh signifikan positif terhadap IPM di Sulawesi Utara serta Cahyanti dan Fevriera (2020) menemukan inflasi berpengaruh signifikan positif terhadap IPM di Jawa Tengah.

2.3. Hubungan antara IPM dengan Belanja Daerah, Kemiskinan, Pengangguran, Pertumbuhan Ekonomi dan UMP

2.3.1. Hubungan Belanja Daerah dengan IPM

Belanja derah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat guna memenuhi kewajiban daerah. Kewajiban tersebut diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar dengan menyediakan fasilitas pendidikan, fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak. Fasilitas-fasilitas tersebut diwujudkan dengan fasilitas yang layak dan dapat mengembangkan jaminan sosial dengan mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolok ukur kinerja dan sumber pelayanan minimal yang telah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan (Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah) (JDIH BPK, 2015). Pada

(11)

18

dasarnya pembangunan di suatu negara yaitu pembangunan pada manusia itu sendiri sehingga perlu adanya prioritas alokasi belanja guna meningkatkan SDM (Christy & Adi, 2009).

Menurut Salem (2018) belanja daerah dapat dikelompokan menjadi dua yaitu; (1) pengeluaran untuk pemeliharaan atau penyelengaraan kegiatan pemerintah sehari-hari meliputi belanja pegawai, belanja barang, berbagai macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga), angsuran dan bunga pemerintah, serta jumlah pengeluaran lainnya, (2) pengeluaran yang sifatnya menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan baik sarana fisik dan non fisik. Dibedakan atas pengeluaran pembangunan yang dibiayai dengan dana rupiah dan bantuan proyek. Dalam mendukung pembangunan manusia pemerintah harus dapat mengalokasikan belanja daerah (APBD) melalui pengeluaran pembangunan di sektor-sektor pendukung guna meningkatkan IPM (Maryani, 2010).

Belanja di bidang pendidikan dan kesehatan merupakan komitmen pemeerintah dalam investasi pembangunan sumber daya manusia (human capital). Semakin tinggi investasi di bidang pendidikan dan kesehatan akan mmeberikan kesempatan dan pelayanan yang merata sehingga dapat meingkatkan kualitas sumber daya manusia yang tinggi pula. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia juga akan berdampak pada tingginya tingkat IPM pada dimensi pengetahuan dan kesehatan. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas maka dapat meningkatkan efesiensi dan produktivitas dalam menghasilkan output di suatu negara. Menurut sejarah yang telah tercatat bahwa negara yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah telah mampu berkembang karena suatu negara tersebut memiliki paradigma pembangunan berdimensi manusia (Atmanti, 2005).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dirumuskan hipotesis seperti berikut:

H1: Belanja daerah memiliki pengaruh positif terhadap IPM.

2.3.2. Hubungan Kemiskinan dengan IPM

Kemiskinan menurut Ramadona et al (2019) merupakan keadaan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti sandang, pangan dan papan atau dengan kata lain hilangnya kesejahteraan. Namun, saat ini pendidikan dan kesehatan mejadi kebutuhan yang penting bagi setiap manusia. Menurut Winarti (2014) didalam suatu lingkaran setan kemiskinan terdapat tiga penyebab utama seseorang menjadi miskin yaitu; (1) rendahnya tingkat kesehatan; (2) rendahnya pendapatan; dan (3) rendahnya tingkat pendidikan.

Tingkat kemiskinan disuatu daerah sangat berpengaruh pada besar kecilnya tingkat IPM disuatu daerah pada periode waktu tertentu, dimana didalam indikator IPM terdapat lingkaran setan kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks karena yang

(12)

19

sebenarnya bermula pada kemampuan daya beli masyarakat yang tidak mampu mmenuhi kebutuhan pokok seperti pendidikan dan kesehatan (Mirza, 2012). Tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah dapat menyebabkan menurunnya produktivitas seseorang. Dengan rendahnya produktivitas seseorang akan berakibat pada berkurangnya pendapatan sehingga terjadilan kemiskinan. Kemiskinan tersebut akan berakibat pada ketidakmampuan seseorang untuk mengakses pendidikan yang berkualitas serta membayar biaya pemeliharaan dan perawatan kesehatan (Winarti, 2014).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dirumuskan hipotesis seperti berikut:

H2: Tingkat kemiskinan memiliki pengaruh negatif terhadap IPM.

2.3.3. Hubungan Pengangguran dengan IPM

Secara umum menurut Ramadona et al. (2019) pengangguran merupakan seseorang yang digolongkan daam angkatan kerja yang tidak memiliki pekerjaan dan aktif sedang mencari pekerjaan. Umumnya seseorang yang menganggur tidak memiliki gaji atau pendapatan.

Menurut Baeti (2013) adanyaa pengangguran dapat menyebabkan kemakmuran seseorang yang tidak maksimal. Sedangkan tujuan dari pembangunan manusia yaitu menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tingginya pengangguran disuatu daerah akan menghambat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi.

Baeti (2013) menjelaskan bahwa tidak memilikinya upah pendapatan karena seseorang yang menganggur akan menurunkan daya beli masyarakat sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok. Kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia pun juga tidak dapat terpenuhi. Masyarakat tersebut juga tidak dapat menikmati kehidupan yang layak pula sehingga tidak terpenuhinya kesejahteraan. Dengan begitu rendahnya tingkat kesejahteraan yang diakibatkan oleh pengangguran dapat mempengaruhi tingkat IPM di suatu daerah.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dirumuskan hipotesis seperti berikut:

H3: Pengangguran memiliki pengaruh negatif terhadap IPM.

2.3.4. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan IPM

Menurut Sukirno (2005) pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai kenaikan PDB/PDRB baik kecil atau besar kenaikannya. Kenaikan PDB/PDRB tidak menjadi patokan pertumbuhan ekonomi suatu saja namun juga perlu memperhatikan sejauh mana distribusi pedapatan telah menyebar kelapisan semua masyarakat. Salem (2018) menyebutkan dengan menyebarkan distribusi jika PDRB suatu daerah menurun karena akan berdampak pada kualitas

(13)

20

konsumsi rumah tangga. Apabila tingkat pendapatan masyarakat sangat terbatas maka akan mempengaruhi berubahnya pola konsumsi rumah tangga yang terpaksa harus mengkonsumsi makanan pokok paling rendah dan dengan jumlah barang yang berkurang. Dari hal tersebut maka pertumbuhan ekonomi dapat berdampak pada salah satu indikator IPM yaitu daya beli masyarakat. Pertumbuhan ekonomi melalui distribusi pendapatan dapat mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa dalam pemenuhan kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat di suatu daerah.

Terdapat tiga komponen dalam pertumbuhan ekonomi menurut Todaro dan Smith (2006); (1) akumulasi modal; (2) pertumbuhan penduduk; (3) kemajuan teknologi. Proses pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan ekonomi. Bertambahnya jumlah penduduk yang terjadi secara terus-menerus maka juga perlunnya penambahan akan pendapatan setiap tahunnya. Hal tersebut dapat diperoleh melalui peningkatan output barang dan jasa atau PDB setiap tahunya. Dengan begitu secara ekonomi makro pengertian pertumbuhan ekonomi merupakan penambahan PDB yang berarti penambahan pendapatan nasional. Pertumbuhan ekonomi memiliki peranan mengerakan dan mendorong pembangunan manusia. Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia memiliki keterkaitan dan saling berkontribusi satu sama lain. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan diimbangi dengan pemerataan pendapatan akan meningkatakan kualitas pembangunan manusia secara efektif. Kontribusi pertumbuhan ekonomi untuk pembangunan manusia dengan meningkatkan pendapatan pemerintah kemudian dapat diinvestasikan untuk pembangunan manusia (Anggraini & Muta’ali, 2013).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dirumuskan hipotesis seperti berikut:

H4: Pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh positif terhadap IPM.

2.3.5. Hubungan UMP dengan IPM

Masalah ketenagakerjaan tidak terkepas dengan upah minimum regional (UMR). Salah satu pertimbangan investor yang ingin menanamkan modalnya pada suatu daerah untuk mendirikan industri atau pabrik yang banyak menyerap tenaga kerja yaitu upah minimum regional (Chalid & Yusuf, 2014). Tujuan adanya kebijakan dari upah minimum yaitu untuk menutupi kebutuhan hidup minimum untuk pekerja dan keluarganya. Terdapat tiga tujuan dan manfaat kebijakan upah minimum yang diterapkan menurut Sumarsono (2003) yaitu; (1) menjamin penghasilan pekerja sehingga tidak lebih rendah dari suatu tingkat tertentu; (2) meningkatkan produktivitas pekerja; (3) mengembangkan dan meningkatkan kualitas perusahaan dengan cara-cara produksi yang lebih efisien. Pemerintah daerah menetapkan upah

(14)

21

minimum berdasarkan kebuthan hidup layak dan memperhatikan produktivitas serta pertumbuhan ekonomi.

Upah atau pendapatan juga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya IPM di suatu wilayah karena upah merupakan cerminan standar hidup seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL). Meningkatnya upah minimum regional akan meningkatkan kebutuhan hidup layak sehingga standar hidup layak juga akan meningkat dan dapat berpnegaruh pada kesejahteran masyarakat. Jumlah upah minimum yang diberikan kepada para tenga kerja haruslah dapat memenuhi kebutuhan hidup para tenaga kerja secara minimum yaitu kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan keperluan rumah tangga. Peningkatan upah minimum yang diberikan akan berakibat pada naiknya daya beli masyarakat sehingga tingkat IPM juga akan naik (Zamharir, 2016).

Berdasarkan penjelasa diatas dapat dirumuskan hipotesis berikut:

H5: Upah Minimum memliki pengaruh positif terhadap IPM

2.3.6. Model Kerangka Penelitian

Berdasarkan penjelasan hubungan antara belanja daerah, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan UMP dengan IPM, disusun model kerangka pikir seperti berikut:

(15)

22

Gambar 3. Model Kerangka Penelitian Belanja Daerah

Upah Minimum Pertumbuhan

Ekonomi Tingkat

Kemiskinan Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) H2

Pengangguran

Gambar

Gambar 3. Model Kerangka Penelitian Belanja Daerah Upah Minimum Pertumbuhan Ekonomi Tingkat Kemiskinan  Indeks  Pembangunan  Manusia (IPM) H2 Pengangguran

Referensi

Dokumen terkait

filariasis malayi di pulau Buton, ditunjuk- kan bahwa di dalam sera kelompok trans- migran yang amikrofilaremik cenderung ditemukan IgG yang dapat mengenal protein

Inflasi, suku bunga, nilai tukar, dan jumlah uang yang beredar secara simultan berpengaruh terhadap IHSG Kewal (2012) Pengaruh Inflasi, Suku Bunga, Kurs, dan Pertumbuhan

Lebih dari itu, masyarakat yang telah memiliki budaya (madani) lebih hebat dalam hal perkembangan dirinya, karena itu semuanya tidak terlepas dari nilai-nilai budaya yang

Tanah yang digunakan untuk menutup lubang bekas penambangan pada TS 1.44 Mapur PT Timah (Persero) Tbk, berasal dari pekerjaan stripping (pengupasan tanah atas),

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pengembangan Bahan Ajar Berbasis

Sedangkan Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan Perundang-Undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan

Penyelenggaraan sistem informasi kesehatan masih belum efisien, terjadi redundant data dan duplikasi kegiatan, dan kualitas data yang dikumpulkan masih rendah, bahkan ada yang

Geologi Fisik dan Dinamik 21 Di lokasi ini, kita dapat melihat singkapan batuan kompleks yang terdiri dari batuan beku intrusi, konglomerat, batugamping, batupasir,