• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BIOGRAFI SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI DAN METODE ISTINBAṬ SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II BIOGRAFI SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI DAN METODE ISTINBAṬ SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

17

A. Riwayat Hidup Syaikh Nawawi al-Bantani

Terdapat perbedaan pendapat mengenai nama lengkap Syaikh Nawawi al-Bantani ini. Pertama Ensiklopedi Islam menyebut nama lengkap Syaikh Nawawi dengan Nawawi bin „Umar bin „Arabi. Kedua The Encyclopedia of Islam menyebutnya dengan Muhammad bin Umar bin „Arabi al-Jawi. Ketiga „Abduraḥman Mas'ud mengidentifikasikannya dengan Muḥammad Ibn „Umar al-Nawawi al-Bantani al-Jawi. Dan keempat Ma‟ruf Amin dan M. Naṣruddīn Anṣāry Ch.

Mengidentifikasikannya dengan Abu „Abdil Mu‟ṭi Muḥammad Nawawi Ibnu „Umar at-Tanari al-Bantani al-Jawi.1 Sedangkan nama lengkap Syaikh Nawawi, jika dilihat dalam kitab Nihāyah al-Zain, tertulis bahwa kitab tersebut identitas penulisnya ialah Abu „Abdil Mu‟ṭi Muḥammad Nawawi bin „Umar al-Bantani al-Jawi al-Syafi‟i.2

Untuk penyebutan Abu „Abdil Mu‟ṭi itu dikarenakan, beliau mempunyai anak yang bernama „Abdul Mu‟ṭi. Begitu juga mengenai penyebutan “bin „Umar bin „Arabi” merupakan tambahan yang menunjukkan bahwa beliau adalah putra dari „Umar dan kakeknya bernama „Arabi.

Bapaknya merupakan penghulu dan tokoh ulama yang disegani di Tanara yang bernama K.H. „Umar bin „Arabi. Sedangkan ibunya bernama Zubaidah yang merupakan penduduk asli Tanara. Beliau anak pertama dari tujuh bersaudara. Lima laki-laki dan dua perempuan. Empat saudara laki- lakinya bernama Aḥmad Syihabuddīn, Said, Tamim, „Abdullāh. Dan dua saudara perempuannya bernama Syakila dan Syahriya.

1 Ali Muqaddas, “ Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi Ilmuan Spesialis Ahli Syarah Kitab Kuning”, dalam Jurnal Tarbawi Vol. II, No. 1, 2004, 7

2 „Abdul Mu‟ṭi Muḥammad Nawawi bin „Umar al-Bantani al-Jawi al-Syafi‟i, Nihāyah al- Zain Fî Irsyād al-Mubtadi‟īn, 5

(2)

Dilihat dari silsilahnya, melalui Maulana Ḥasanuddīn, Sultan Banten I Syaikh Nawawi termasuk keturunan ke-12 Maulana Syarīf Hidāyatullāh atau yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati.3 Dan melalui Imam Ja‟far al-

adiq, Imam Muḥammad al-Baqir, Imam Ali Zainal „Abidin, Sayyidinā Ḥusaen, Fatimah az-Zahra nasabnya tersambung kepada Nabi Muḥammad SAW.4

Syaikh Nawawi al-Bantani lahir di desa Tanara wilayah Banten, Jawa Barat pada tahun 1230 H. bertepatan dengan 1813 M. Dalam suatu pendapat beliau lahir pada tahun 1815 M. bertepatan dengan 1230 H.5 Beliau dilahirkan di sebuah desa kecil yaitu di kampung Tanara kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang provinsi Banten sehingga beliau diberi gelar al-Bantani. Bahkan di kalangan Ulama Nusantara, ia dikenal dengan Syaikh Nawawi al-Bantani sebagaimana yang terdapat dalam buku biografi Ulama Nusantara yang dikutip dari bukunya Asep Muḥammad Iqbal yang berjudul “Yahudi dan Naṣrani dalam al-Qur‟an”.

Dalam buku “Jejak Syaikh Nawawi al-Bantani” yang ditulis oleh Ahmad Syaṭibi terdapat penjelasan mengenai nama kampung kelahiran Syaikh Nawawi tersebut. Beberapa Ulama berpendapat bahwa kata

“tanara” yang menjadi nama kampung kelahiran Syaikh Nawawi diambil dari bahasa arab yang mempunyai arti “menerangi”. Dan hal tersebut mempunyai keterkaitan.

Kata “al-Jawi” merupakan istilah yang digunakan orang Arab dan Mesir untuk menyebut pelajar Mekah dan Madinah yang berasal dari kepulauan Indonesia. Filipina, Malaysia, dan Thailand.6 Begitu panjang dan beraneka ragam julukan yang diberikan untuk diri Syaikh Nawawi tersebut, untuk itu dalam ulasan ini penulis menggunakan nama yang sudah lazim dan popular, yakni Syaikh Nawawi al-Bantani.

3 Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, (Yogyakarta: Diva Press, 2016), 144

4 Sudirman Teba, Mengenalkan Wajah Islam Yang Ramah, (Banten: Pustaka Irvan, 2007), 156

5 Ṣalaḥudddīn Waḥīd, Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, (Jakarta: PT. Intimedia Cipta Nusantara, 2003), 87

6 Solihin Salam, Sejarah Islam di Jawa, (Jakarta: Jaya Murni, 1964), 11

(3)

B. Gelar Syaikh Nawawi al-Bantani 1. Doktor Ketuhanan

Snouck Hourgronje seorang orientalis Barat memberikan gelar

“Doktor Ketuhanan” kepada Syaikh Nawawi al-Bantani. Sedangkan dalam kitab Mu‟jam al-Maṭbu‟ah al-„Arabiyyah Wa al-Mu‟arrabah, Yusuf Alan Sarkis menyebut beliau sebagai al-Imam al-Muhaqqiq al- Fahm al-Mudaqqiq (tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Gelar yang diberikan oleh Snouck dan Yusuf dikarenakan kiprah Syaikh Nawawi al-Bantani dalam bidang teologi yang sangat berpengaruh besar.7

2. Al-Sayyid al-Ulama al-Hijaz

Sayyid Ulama Hijaz yakni Ulama di kalangan Hijaz diberikan kepada beliau dikarenakan telah menulis kitab dalam bidang Tafsir.

Dan tafsirnya yang masih banyak dikaji sampai saat ini, menunjukkan relevansi pandangannya pada gerakan zaman yang masih kompleks.

Sebutan ini juga dikarenakan beliau tinggal di Hijaz. Hijaz merupakan Jazirah Arab atau Saudi Arabia.8

3. Min „Ayan Ulama al-Qarn al-„Arabi al- Aṣar Li al-Hijaz

Gelar ini doberikan kepada Syaikh Nawawi al-Bantani atas kiprahnya di dalam bidang fiqh, sebagai tokoh Ulama abad 14 hijrah dalam kitab Nihāyah al-Zain Fi Irsyād al-Mubtadi‟īn.

Selain gelar-gelar yang sudah disebutkan diatas, ada juga beberapa gelar yang disemayamkan pada beliau diantaranya ialah Imam Ulama al-ḥaramain, ḥukama al-Muta‟akhkhirīn, Maha Guru di Naṣrul Ma‟ārif Dīniyyah al-Makkah, Ulama besar di awal abad ke-19, Ulama besar di penghujung abad ke-13 atau awal abad ke-14 (yang memberikan gelar tersebut adalah Hamka), dan K.H. Idham Khalid menyebut beliau sebagai pujangga dunia.9

7 Rohimudin Nawawi al-Bantani, Syekh Nawawi al-Bantani Ulama Besar Yang Jadi Imam Besar di Masjidil Haram, (Depok: Mentari Media, 2017), 165

8 Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, 143

9 Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, 167

(4)

C. Perjalanan Pendidikan Syaikh Nawawi al-Bantani

Syaikh Nawawi al-Bantani merupakan tokoh ulama yang mempunyai semangat belajar yang tinggi, dan semua itu nampaknya memang sudah terbina dari suasana keluarganya yang terdidik. Apalagi silsilah keluarga ayahnya berasal dari keturunan Maulana Hasanudin (Sultan Ḥasanuddīn), yang merupakan putra Maulana Syarif Hidāyatullāh.

Ilmu keagamaan yang menjadi pondasi Syaikh Nawawi al-Bantani dibangun oleh ayah beliau sendiri melalui fokus pembelajaran dalam ilmu kalam, naḥwu, tafsīr dan fiqh. Pendidikan lanjutan yang ditempuh oleh beliau pada usia 8 tahun diperolehnya dari Kyai Sahal yang berada di daerah Banten dan Kyai Yusuf di Purwokerto.10 Pembelajaran dengan kedua Kyai tersebut dilakukannya bersama dengan saudaranya yang bernama Tamim dan Aḥmad.

Tahun 1828 M., ketika Syaikh Nawawi al-Bantani berumur 15 tahun, beliau bersama saudara-saudaranya tadi yang telah disebutkan menunaikan ibadah haji ke Makkah dan kemudian Syaikh Nawawi sendiri menetap di Makkah selama tiga tahun. Di makkah beliau menetap dirumah yang bersebelahan dengan rumah dua ulama besar Nusantara lainnya, yakni Syekh Arsyad dan Syaikh Syukur Alwan. Selama menetap disana, beliau memanfaatkan untuk menuntut ilmu yang dibimbing oleh ulama- ulama besar dan masyhur pada masa itu. Demikian beberapa ulama Makkah yang pernah menjadi guru beliau antara lain:

1. Syekh Khātib As-Sambasi 2. Abdul Ghāni Bima

3. Yusuf Sambulanewi 4. „Abdul Ḥamīd Dagestani 5. Syekh Sayyid Aḥmad Naḥrawi 6. Syekh Aḥmad Dimyati

7. Syekh Aḥmad Zaini Dahlan

10 Penjelasan tersebut sebagaimana yang tertulis dalam buku biografi Ulama Nusantara yang mengutip dari tulisan Nurul Huda di buku al-Kisah mengenai “Sekilas tentang: kiai Muhammad Nawawi al-Bantani”

(5)

8. Syekh Muḥammad Khātib ḥambali, dan 9. Syekh Junaid al-Betawi

Dari ulama-ulama tersebut, ada tiga ulama dari Makkah dan 2 ulama dari Madinah yang sangat berpengaruh bagi beliau, baik dari segi pemikiran maupun ajarannya yang berperan besar mengubah alam pikirannya. Melalui ketiga ulama Makkah dan dua ulama besar Madinah itulah karakter Syaikh Nawawi al-Bantani terbentuk. Ulama-ulama tersebut ialah:

1. Sayyid Aḥmad Ibn Sayyid „Abdr Al-Raḥmān al-Nawawi (Makkah) 2. Sayyid Aḥmad Dimyati (Makkah)

3. Sayyid Junaid al-Betawi (Makkah)

4. Syaikh Muḥammad Khātib Sumbas al-ambali (Madinah) 5. Syaikh Aḥmad Zaini Dahlan (Madinah)

Tokoh taṣawuf yang berhasil menggabungkan ṭariqat Qaḍīriyah dan Naqsabandiyah yang bernama Syaikh Muhammad Khātib Sambas al- Ḥambali merupakan guru spiritual Syaikh Nawawi. Melalui Syaikh Muḥammad Khātib Sambas inilah ijazah kemursyidannya diperoleh yang kemudian diturunkan kepada murid-muridnya seperti Syaikh Maḥfuż at- Tarmiẓi dan Syaikh Hasyim Asy‟ari.

Setelah tiga tahun Syaikh Nawawi al-Bantani pulang ke Negara asalnya. Namun ketika beliau pulang, kondisi kampung halamannya penuh dengan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan. Beliau pun prihatin dengan kondisi tanah kelahirannya. Maka tampillah beliau sebagai patriot untuk membela tanah airnya dari penjajahan-penjahan yang dilakukan oleh Belanda. Bahkan beliau pun dituduh sebagai pengikut pangeran diponegoro yang ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Pada tahun 1830 M., tepat ketika perlawanan pangeran diponegoro berhasil dipadamkan oleh Belanda beliau kembali lagi ke Makkah dan melanjutkan belajar yang sempat terhenti disana, yang saat itu beliau tidak memiliki ruang gerak yang bebas untuk terus melancarkan perlawanan

(6)

kepada Belanda. Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, beliau pun kembali ke Makkah untuk menetap disana. Dan dari waktu ke waktu menurut catatan sejarah beliau aktif menambah ilmunya di semua bidang ilmu Islam hingga mencapai usia 30 tahun. Di Makkah beliau berupaya mendalami ilmu agama dari para guru-gurunya yang namanya telah dipaparkan sebelumnya Sejak tahun 1869 M.11 beliau mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang dimilikinya dilingkungan Masjid al-Ḥaram hingga beliau memperoleh gelar Imam Ḥaramain. Beliau merupakan seorang pendidik yang gigih memberantas buta huruf dan kebodohan bagi generasi muda muslim, karena beliau sadar bahwa Negara tanah air kelahirannya sedang dijajah oleh kolonial Belanda. Beliau tidak ingin saudaranya sebangsa dan setanah airnya menjadi bodoh sehingga mudah diombang-ambing penjajah. Ilmu- ilmu yang diajarkan beliau meliputi hampir semua bidang, murid- muridnya pun bukan hanya penduduk lokal, tapi juga berasal dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Indonesia.

Beberapa murid Syaikh Nawawi yang berasal dari Nusantara antara lain:

1. KH. Khalil Bangkalan Madura

2. KH. Maḥfuẓ al-Tarmisy Termas Pacitan 3. KH. Asy‟ari Bawean Gresik

4. KH. Hasyim Asy‟ari Jombang Jawa Timur 5. KH. Najihun Kampung gunung, Mauk Tangerang 6. KH. Tubagus Muḥammad Asnawi Banten

7. KH. „Abdul Gaffār Banten

8. KH. Tubagus Bakri Sempur Purwakarta.

Syaikh Nawawi juga memiliki murid yang berasal dari Negeri Jiran Malaysia yaitu KH. Dawud Perak.12 Hingga usia senja beliau masih konsisten dengan profesinya sebagai pendidik, bahkan seluruh hidupnya

11 Rohimudin Nawawi al-Bantani, Syekh Nawawi al-Bantani Ulama Besar Yang Jadi Imam Besar di Masjidil Ḥarām, 25

12 Yasin, Melacak Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), 62

(7)

dihabiskan untuk mengajar dan menulis, tepatnya pada tahun 1870-an beliau telah mencurahkan waktunya untuk menulis (mengarang untuk membuat karya). Dengan bahasanya yang sederhana dan jelas, masalah sulit dapat dimengerti dengan sangat mudah sehingga beliau dikenal dengan guru yang disukai muridnya.

Meskipun Syaikh Nawawi al-Bantani kembali ke Makkah, namun kepergiannya tidak membuat perlawanannya terhadap belanda terhenti begitu saja. Justru dari Makkahlah beliau memulai mengumpulkan kekuatan-kekuatan dengan mengobarkan semangat nasionalisme dan patriotise dikalangan para muridnya yang biasa berkumpul diperkampungan Jawa, di Makkah.

Aktifitas yang dilakukan oleh Syaikh Nawawi ialah tetap membantu unsur politik dan sosial di Indonesia. Di sela-sela kesibukan mengajar, beliau tidak lupa menyampaikan gagasan serta ide untuk memerdekakan Indonesia. Ceramahnya yang berbobot mampu membangunkan masa yang selama ini tidur karena pengaruh Belanda yang begitu kuat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ma‟rūf dan Naṣruddīn bahwa kemampuan dalam memobilisasi massa yang dilakukan beliau membuat pihak Belanda ketakutan dan merasa perlu mengadakan cara atau siasat untuk menghalangi kontak antara Syaikh Nawawi dan pengikutnya.

Syaikh Nawawi memompa semangat serta memotivasi para muridnya untuk tidak ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan Belanda yang cenderung menyiksa rakyat. Motivasi yang beliau berikan mampu membangkitkan semangat juang murid-muridnya untuk melakukan pemberontakan yang sejatinya bertujuan untuk membebaskan rakyat dari malapetaka penjajahan.

Model perlawanan yang dilakukan Syaikh Nawawi al-Bantani membuat Belanda berang. Hingga akhirnya Belanda mengutus penasihat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Belanda yang bernama Snouck Hourgronje seorang sarjana Belanda budaya oriental dan bahasa untuk

(8)

menenui beliau. Ketika pergi ke Makkah utusan Belanda tersebut menyamar menjadi orang Arab dengan nama Abdul Gaffūr.13

Setelah bertemu dengan Syaikh Nawawi al-Bantani, Snouck Hourgronje sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Syaikh Nawawi adalah ulama yang memiliki ilmu yang sangat luas dan mendalam, rendah hati serta rela berkorban demi kepentingan agama dan bangsanya. Kerendahan hati beliau bisa dilihat pemaparannya dalam muqaddimah kitab Nihāyah al-Zain. Beliau menyatakan bahwa dengan kitab yang dikarangnya ini memberi harapan bisa memberi kemanfaatan kepada rekan-rekan yang baru pertama mempelajari ilmu seperti saya sendiri.14

Syaikh Nawawi al-Bantani mengabdikan dirinya selama 69 tahun untuk menjadi seorang pendidik. Pemikiran dan ajarannya telah memberikan sumbangan yang cukup signifikan perkembangan Islam di Nusantara. Dan dalam usia 84 tahun pada tanggal 25 Syawal tahun 1314 H. /1897 M. beliau pun wafat di Makkah. Beliau dimakamkan di pekuburan Ma‟la di Makkah, bersebelahan dengan makam Asma binti Abu Bakar aṣ-Ṣiddīq.15

D. Pemikiran Dan Ajaran Syaikh Nawawi al-Bantani

Ada empat hal yang mewarnai pemikiran pendidikan Syaikh Nawawi al-Bantani, yakni sebagai berikut:

1. Perkembangan pemikiran pendidikan Islam pada abad klasik, abad pertengahan, dan abad modern

2. Latar belakang pendidikan keagamaan dan penguasaannya, ilmu keagamaannya yang sangat mumpuni

3. Prinsip-prinsip ajaran madzhab Syafi‟i dan tarekat Qaḍīriyah- Naqsabandiyah yang dianutnya

13 Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, 147

14 „Abdul Mu‟ṭi Muhammad Nawawi bin „Umar al-Bantani al-Jawi al-Syafi‟i, Nihāyah al-Zain Fî Irsyād al-Mubtadi‟īn, 3

15 Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, 148

(9)

4. Para mu‟allīm, guru-guru yang mendidik dan membentuk kepribadiannya.

Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani yang dijelaskan oleh Maragustam Siregar dalam bukunya “Pemikiran pendidikan Syaikh Nawawi al-Bantani”, manusia pada prinsipnya terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi materi (fisiologis) dan dimensi imateri (psikologis). Dari kedua dimensi tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dimensi dengan dimensi lainnya, karena keduanya saling melengkapi.16

Dalam ilmu tauḥīd, Syaikh Nawawi memperkenalkan teori ada tidaknya Allah, dalam hal ini beliau menggunakan teori daur tasalsul (lingkaran yang berantai/lingkaran yang tidak ada ujungnya). Kemudian, dalam ilmu taṣawwuf, Syaikh Nawawi terkenal dengan posisi Allah dan manusia dengan manusia yang lainnya. Keṣufian beliau dapat dilihat dari pandangannya terhadap keterkaitan antara praktik tarekat, syariat, dan hakikat yang sangat erat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syaikh Nawawi tidak meolak praktik-praktik tarekat selama tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam hal toleransi keagamaan, Syaikh Nawawi al-Bantani sangat tegas dan berhati-hati dalam mengambil sebuah tindakan. Toleransi dalam pemahaman beliau ialah interaksi social yang satu dengan yang lainnya sama-sama menghargai dalam aktivitas yang dilakukan. Kosepsinya tentang pemahaman keyakinan sangatlah keras, karena pengaruh aktivitas sosial yang dilakukan Belanda pada saat masanya yang cenderung agresif memperlakukan rakyat Indonesia yang mayoritas muslim.

E. Karya-karya Syaikh Nawawi al-Bantani

Terdapat perbedaan penyebutan jumlah karya-karya Syaikh Nawawi al-Bantani, dan jumlah yang pasti dari karangan beliau tidak bisa diketahui dengan jelas. Menurut Nurkhalis Majid berjumlah 100 kitab

16 Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan Syaikh Nawawi al-Bantani, (Yogyakarta:

Data Media, 2007), 250

(10)

yang beredar, terutama di wilayah Timur Tengah, Snouck Hurgronje mengatakan bahwa karya beliau tidak kurang dari 22 karya. Ada juga yang menyatakan 115 judul kitab berada di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, Belanda, dan Negara-negara lainnya.17

Hasil dari penelitian Yusuf Alian Sarkis mengenai jumlah karya Syaikh Nawawi al-Bantani dikutip oleh Zamakh syari ḍafīr yang menyatakan bahwa karangan beliau berjumlah 34 buah. Dan semua penjelasan tersebut terdapat dalam buku karangan Ma‟rūf Amin dan M.

Naṣruddīn al-Anṣāri yang berjudul Pemikiran Syaikh Nawawi al- Bantani.18 Sumber lain menyatakan bahwa jumlah karya Syaikh Nawawi al-Bantani ada 99 buah kitab, yang terdiri atas berbagai disiplin ilmu agama.

Menurut Brockelman seperti yang dikutip Asep dari buku yahudi dan naṣrani dalam al-Qur‟an menyatakan bahwa kajian pembahasan karya- karya Syaikh Nawawi al-Bantani meliputi beberapa cabang ilmu keislaman, yaitu:

1. Tafsir 2. Fiqh 3. Uṣuluddīn 4. Taṣawuf 5. Biografi Nabi 6. Tata bahasa arab 7. Retorika

Berikut ini adalah beberapa karyanya dalam bidang fiqh serta penjelasan sekilas mengenai kitab tersebut:

1. Al-„Iqd at-Tamrin (1296 H./1878 M.)

17 Rohimudin Nawawi al-Bantani, Syekh Nawawi al-Bantani Ulama Besar Yang Jadi Imam Besar di Masjidil Ḥaram, 95

18 Ma‟ruf Amin dan M. Nashruddin al-Anshari, Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani, (Jakarta: Pesantren, 1989), 105

(11)

Kitab ini berisi jawaban atas 601 pertanyaan karya Aḥmad bin Muḥammad Zahid. Oleh Muṣṭāfa bin „Uṡman al-Jawi al-Qaruti (teman sejawatnya) kitab ini diubah namanya menjadi fath al-mubīn.

2. Fath al-Mujīb (1276 H./1859 M.)

Kitab ini berisi komentar atas kitab Manāqib al-ḥājj karya Muhammad bin Muhammad al-ṣirbini al-Khātib.

3. Kasyīfah al-Syaja‟ (1292 H./1875 M. )

Kitab ini berisi komentar atas kitab Safīnah al-Naja karya Salim bin Samir.

4. Maraqi al-„Ubudiyah (1287 H./1873 M.)

Kitab ini berisi komentar atas kitab Bidāyah al-Hidāyati karya al- Gazali.

5. Mirqat Su‟ud at-Taṣdiq (1292 H./1875 M.)

Kitab ini berisi komentar atas kitab Sulām at-Taufiq Ila Maḥabbah Allah at-Taḥqīq karya „Abdullah bin Husaen bin Ṭāhir Ba‟lawi.

6. Nihāyah al-Zain (1297 H./1897 M.)

Kitab ini berisi anotasi /syaraḥ atas kitab Qurrat al-„Aini bi Muhimmah ad-Dīn karya Zainuddīn bin „Abdul „Aziz al-Malībari.

7. Tausyih „ala Fatḥ al-Qarīb (1301 H./1875 M.)

Kitab ini berisi anotasi/syaraḥ atas Fatḥ al-Qarīb karya Muhammad bin Qasim al-Gazzi, karya komentar atas kitab Gāyah al- Taqrīb karangan Abu Syuja‟ al-Iṣfahani.

8. Sulām al-Munājah (1297 H./1897 M.)

Kitab ini berisi komentar atas kitab Safīnah al-Salah karya

„Abdullah bin „Umar al-Hadramy.

9. „Uqūd al-Lujaīn fī Bayān Huqūq al-Zaujaīn (1296 H./1878 M.)

Kitab ini berisi antonasi/syaraḥ atas kitab Risālaḥ tentang Huqūq al-Zaujaīn (hak-hak dan kewajiban suami istri).

Itulah beberapa karya Syaikh Nawawi al-Bantani dalam bidang fiqh. Sedangkan karya beliau dalam bidang tafsīr yang sangat monumental ialah kitab Tafsīr al-Munīr. Selain itu, Naṣāiḥul „Ibād juga merupakan

(12)

karya beliau yang paling terkenal, kitab ini merupakan kitab yang wajib dipelajari di kebanyakan pesantren Indonesia. Bahkan kepopuleran kitab ini tidak hanya di Negeri sendiri tapi di seluruh penjuru Negeri Islam, baik di Timur Tengah, Asia, dan juga Afrika.19

Kitab Naṣāiḥul „Ibād merupakan syarḥ dari kitab al-Munabbih „alā al-Isti‟dād Layaumi al-Ma‟ad karya Syihābuddīn Aḥmad bin „Alī bin Maḥmud bin Ahmad al-Syafi‟i yang lebih masyhur dengan nama Ibnu Hajar al-Aṣqālani al-Miṣri. Kitab ini memuat 208 makalah dan 1072 butir nasehat-nasehat agama bagi hamba Allah yang menginginkan kebaikan.

F. Metode Istinbaṭ Syaikh Nawawi al-Bantani

Istinbaṭ dilihat dari sudut etimologi berasal dari nabṭ atau nubūṭ, dengan kata kerja nabaṭa, yang jika dilihat dalam kamus al-Munawwir masuk dalam lafadz nabaṭa-yanbiṭu-nabṭan yang berarti mengeluarkan, menemukan, menciptakan, atau mengeluarkan dari sumbernya melalui ijtihad untuk menetapkan hukum.20 Dari kata kerja tersebut dirubah menjadi kata kerja muta‟addi (transitif), sehingga menjadi anbaṭa dan istanbaṭa. Kata istinbaṭ secara bahasa berasal dari kata istanbaṭa- yastanbiṭu-istinbāṭan. Lafadz tersebut merupakan fi‟il ruba‟i mujarrod yang berarti mengeluarkan air dari sumur. Jadi kata istinbaṭ pada asalnya berarti usaha mengeluakan air dari sumber tempat persembunyiannya.

Selanjutnya diadopsi dan dipakai sebagai istilah fiqh dan uṣul fiqh yang berarti upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya yaitu Naṣ al-Qur‟an dan Sunah .21

Istinbaṭ hukum secara istilah adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh fāqih untuk mengungkapkan suatu dalil hukum yang dijadikan dasar dalam mengeluarkan suatu produk hukum guna untuk

19 Rohimudin Nawawi al-Bantani, Syekh Nawawi al-Bantani Ulama Besar Yang Jadi Imam Besar di Masjidil Ḥaram, 94

20 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, 1379

21 Roibin, Sosiologi Hukum Islam, Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi‟i, (Malang; UIN-Malang Press, 2008), 88

(13)

menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi. Istinbaṭ merupakan sistem atau metode para mujtahīd dalam menentukan dan menetapkan suatu hukum. Istinbaṭ sangat erat kaitannya dengan fiqih, karena fiqih merupakan hasil ijtihād dari para mujtahīd dalam menentukan suatu hukum dari sumbernya.

Pembicaraan menyangkut dalil-dalil syara‟ dalam beberapa kitab uṣul fiqh slalu berkisar diseputar dalil-dalil syara‟ yang disepakati dan dalil-dalil syara‟ yang diperselisihkan. Sedangkan dalil/sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas Ulama (jumhur) ahl al-Sunnah ada empat:

yaitu al-Qur‟an, ḥadiṡ, ijmā‟dan qiyās. Dan selebihnya seperti istiḥsan, istisḥab, dan sebagainya merupakan dalil/sumber yang diperselisihkan oleh para ulama.22

Sedangkan menurut A. Djazuli dalam bukunya (Ilmu fiqh penggalian, perkembangan dan penerapan Hukum Islam) menyatakan bahwa sumber hukum yang disepakati oleh para Ulama hanya ada dua yaitu al-Qur‟an, dan Sunah Nabi saw. Adapun sumber lainnya yaitu ijmā‟, qiyās, istiḥsan, maslaḥah mursalah, „urf, istisḥab, hukum syariat umat sebelum kita, mażhab ṣaḥābi, ada yang menggunakannya dan ada juga yang tidak menggunakannya.23

Dari sumber hukum tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa menurut A. Djazuli urutan sumber Hukum itu sebagai berikut:

1. Al-Qur‟an 2. al-Sunnah 3. Ijtihād

Dalam beberapa literature uṣūl fiqh juga dirumuskan mengenai metode ijtihād yang ditempuh oleh Imam Syafi‟i, yaitu:24

1. Al-Qur‟an

22 Roibin, Sosiologi Hukum Islam Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi‟i, 90

23 A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), 61

24 Amir Syarifuddin, Uṣūl Fiqh 2, 306

(14)

2. Sunah Nabi yang shahih, meskipun menurut periwayatan perorangan (ahad)

3. Ijmā‟

4. Qiyas

Kalangan Syafi‟i membagi istilah dalil mejadi dua, yaitu dalil yang sah yang wajib diamalkan dan dalil yang sah tapi sebenarnya tidak sah.

Yang dimaksud dalil yang sah menurut Imam Syafi‟i dan memiliki kekuatan hukum adalah al-Qur‟an, sunah, ijmā‟. qiyās dan istisḥāb.

Sedangkan selain daripada itu merupakan dalil yang dikelompokkan pada dalil yang diperselisihkan, yaitu istiḥsan, maslaḥah mursalah, „urf, mażhab saḥābi, syar‟u man qablanā, adalah termasuk dalil-dalil yang tidak sah dan tidak wajib diamalkan menurut Imam Syafi‟i

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar syariat yang dipakai oleh Imam Syafi‟i ialah al-Qur‟an, hadiṡ, ijma‟ dan qiyās sebagaimana yang terdapat dalam Kitab al-Risālaḥ:

ف اذثا لٕقي ٌا ذحلا صين ةبتكنا يف رجخنا خٓجٔ ىهعنا خٓج ٍي لاا ورح ٔا مح ئش ي

شبيقنأ عبًجلاأ خُطنأ

.

Artinya: “tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum selamanya, ini ḥalāl, ini ḥarām, kecuali ada pengetahuan tentang itu.

Pengetahuan itu adalah al-Qur‟an, sunah, ijma‟ dan qiyās.“

ٌبكارا ّيهعٔ حدٕجٕي خنلاد ّيف قحنا ميجض ىهع ٔا وزلا ىكج ّيفف ىهطًث لسَ بي مك ىكح ُّيعث ّيف :

ّيف قحنا ميجض ىهع خنلاذنا تهط ُّيعث ّيف ٍكي ىنارأ ّعبجتا

شبيقنا دبٓتجلاأ دبٓتجلابث .

Artinya: “Setiap persoalan yang dihadapi oleh orang Islam, pasti ada ketetapan hukum yang mengikat atau ada indikasi yang menunjukkan terhadap ketetapan hukum itu. Apabila ada ketetapan hukum yang tesurat, maka ia wajib mengikutinya.

Namun apabila ketetapan itu tersirat, maka ia harus mencari kebenaran itu dengan berijtihād dan ijtihādnya itu menggunakan metode qiyās.“

(15)

Dalam kitab al-Umm juga disebutkan:

حصٔ الله لٕضر ٍع ثيذحنا مصتارأ بًٓيهع شبيقف ٍكي ىن ٌبف خُضٔ ٌارق مصلاا ىهتحارأ ِرْبظ ىهع ثيذحنأ درفًُنا رجخنا ٍي رجكا عبًجلاأ خُض ٕٓف دبُضلاا رْبظ بُٓي ّجشا بًف ىَبعي صينٔ بْلأاادبُضا بٓحصبف ثيدبحلااخئفبكتارأبْلأا ِ

ىن مصلان لبقي لأ مصا يهع مصا شبقي لأ تيطًنا ٍثا عطقُياذعبي ئشث عطقًُنا خجح ّث تيبقٔ حص مصلاا ىهع ّضبيق حصاربف ؟ ىن عٔرفهن لبقي بًَأ ؟ فيك ٔ .

Artinya: “Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur‟an dan sunah, jika tidak ada, maka dengan mengqiyāskannya kepada al-Quran dan sunah. apabila sanad hadiṡ bersambung sampai kepada Rasulullah dan saḥīḥ sanadnya, maka itulah yang dikehendaki. Ijma‟ sebagai dalīl adalah lebih kuat khabar aḥad dan ḥadīṡ menurut ẓāhirnya. Apabila suatu ḥadīṡ mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang ẓāhirlah yang utama. Kalau ḥadīṡ itu sama tingkatannya, maka yang lebih ṣaḥīḥlah yang lebih utama. Ḥadīṡ munqati‟ tidak bisa dijadikan dalīl kecuali jika diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyab. Suatu pokok tidak bisa diqiyāskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat dikatakan mengapa.

apabila ṣaḥ mengqiyāskan cabang kepada pokok, maka qiyās itu ṣaḥ dan dapat dijadikan ḥujjah.“

Syaikh Nawawi al-Bantani mendasarkan pandangannya sesuai dengan dasar-dasar syariat yang dipakai oleh Imam Syafi‟i, sebab dalam masalah ijtihād dan taqlīd, Syaikh Nawawi sebagaimana jumhur al- Syafī‟iyah berpendapat bahwa yang termasuk ahli ijtihād (mujtahīd) muṭlāq ialah Imam Ḥanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Ḥambali. Bagi mereka diḥaramkan untuk bertaqlīd, sedangkan bagi selain mereka, baik itu mujtahīd fi al-mażhab, mujtahīd al-mufṭi, maupaun orang awam, wajib taqlīd pada salah satu mażhab dari mujtahīd muṭlāq.25

Dalam bidang syariah, pedoman yang digunakan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani merujuk pada Imam Syafi‟i,26 empat dasar syariat itu ialah:

25 Sayid „Alwi bin Aḥmad al-Sagaf, Fawāid al-Makiyah, (Semarang: Toha Putra, 2004), 61

26 Arwansyah, „‟Peran Syaikh Nawawi al-Bantani Dalam Penyebaran Islam di Nusantara‟‟, dalam jurnal Kontekstualita Vol. 30, No. 1, 2015, 73

(16)

1. Al-Qur‟an

Al-Qur‟an ialah kumpulan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan dinuqilkan dengan jalan mutawatir dan dengan menggunakan bahasa Arab.

Pokok-pokok isi al-Qur‟an ada lima:

1. Tauḥid 2. „Ibādah

3. Janji dan ancaman

4. Peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang berisi jalan-jalan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat

5. Riwayat dan cerita

Secara garis besar hukum-hukum yang ada dalam al-Qur‟an ada dua:

1. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan 2. Hukum yang mengatur manusia dengan manusia

Jika dilhat dari garis besar tersebut mengenai rujuk bilfi‟li pembahasan dalam penelitian ini termasuk dalam hukum yang mengatur antara manusia dengan manusia yang masuk pada hubungan pengaturan dalam rumah tangga.27

2. Ḥadīṡ

Ḥadīṡ dapat menjadi ḥujjah karena ḥadīṡ merupakan sumber kedua hukum-hukum syariat Islam. Pengertian ḥadīṡ (sunah) menurut syariat ialah segala yang dinuqil atau diberitahukan dari Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan (taqrīr).

Kedudukan ḥadīṡ terhadap al-Qur‟an ialah:28

1. al-Qur‟an sudah maqtu‟ dari Allah baik secara ijmaly atupun tafṣily. Ḥadīṡ merupakan bentuk maẓnūn Rasulullah saw.

Kepastian bahwa ḥadīṡ itu adalah perkataan Rasul memang ada akan tetapi semua itu hanya secara garis besar bukan secara garis

27 A. Hanafi, Uṣūl Fiqh, (Jakarta: Bina Grafika, 2001), 105

28 A. Hanafi, Uṣūl Fiqh , 109

(17)

kecil. Dan apa yang sudah dipastikan (maqtu‟ ) lebih didahulukan daripada persangkaan (maẓnūn).

2. Apa yang dimaksudkan dalam ḥadīṡ sudah terkandung dalam al- Qur‟an. Ada kalanya ḥadīṡ didalamnya mengandung penjelasan mengenai apa yang masih global dalam al-Qur‟an (mujmāl).

Karena ḥadīṡ merupakan penjelasan terhadap al-Qur‟an, maka tidak ada suatu hal dalam ḥadīṡ kecuali sudah terdapat juga didalam al-Qur‟an. Dan sudah pasti bahwa sesuatu yang dijelaskan itu lebih dahulu (lebih tinggi) tingkatannya dari yang menjelaskan.

3. Ḥadīṡ mu‟aż yang menerangkan urutan dasar penetapan hukum, yaitu al-Qur‟an, ḥadīṡ, baru kemudian mengenai pendapat fikiran.

3. Ijmā‟

Ijma‟ ialah kebulatan semua pendapat ahli ijtihād pada suatu masa atas suatu hukum syara‟. Apabila sudah terjadi ijmā‟ maka ijmā‟ itu enjadi hujjah yang qaṭ‟i. Kesepakatan pendapat semua mujtahīd atas suatu hukum tertentu, meskipun berbeda lingkungan dan aliran tanpa diragukan lagi menunjukkan adanya suatu kebenaran yang telah membawa kebulatan kesepakatan pendapat mereka. Dan kebenaran tersebut dikarenakan cocoknya hukum itu dengan jiwa syariat dan dasar-dasarnya yang umum.

Keḥujjahan ijmā‟ tersebut juga diterangkan dalam al-Qur‟an dan ḥadīṭ.29 Dalam al-Qur‟annya terdapat dalam surat an-Nisā‟ ayat 59.

















































29 A. Hanafi, Uṣūl Fiqh , 127

(18)











Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah DAN hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.“

Ḥadīṡ:

ءبطخ ىهع يتيا عًتجتلا .

“Umatku tidak bersepakat atas kesalahan.“ (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

4. Qiyās

Qiyās ialah menetapkan suatu hukum yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.

Keḥujjahan qiyās terdapat dalam al-Qur‟an surat al-Ḥasyr ayat 2:



















































































Artinya: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat

(19)

pengusiran yang pertama.30 Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng- benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.“

I‟tibār yang terdapat dalam ayat tersebut diambil dari lafaẓ yang mempunyai arti melewati/melampaui.

Qiyās ialah melewati dari hukum asal (pokok) kepada hukum soal cabang (far‟un). Jadi Qiyās termasuk kedalam cakupan ayat tersebut.







































































































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan31, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua

30 Yang dimaksud dengan ahli kitab ialah orang-orang Yahudi Bani Nadhir, merekalah yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir keluar dari Madinah

31 Ialah: binatang buruan baik yang boleh dimakan atau tidak, kecuali burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing buas. dalam suatu riwayat Termasuk juga ular.

(20)

orang yang adil di antara kamu sebagai ḥad-yad32 yang dibawa sampai ke Ka'bah33 atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi Makan orang-orang miskin34 atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu35,supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya.

Allah telah memaafkan apa yang telah lalu36 dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.“

Bagian pertama dari ayat tersebut menerangkan bandingan sesuatu dengan yang seumpamanya/ yang menyamainya. Allah mewajibkan demikian, dan pelaksanaannya dilaksanakan pada fikiran kita.sebagaimana yang dikatakan dalam ayat tersebut. Dan bagian kedua demikianlah istidlāl imam Syafi‟i:































































Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.

dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri37 di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin

32 Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan burung elang, kalajengking, tikus dan anjing buas. dalam suatu riwayat Termasuk juga ular.

diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.

33 Yang dibawa sampai ke daerah Haram untuk disembelih di sana dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin

34 Seimbang dengan harga binatang ternak yang akan penggganti binatang yang dibunuhnya itu.

35 Yaitu puasa yang jumlah harinya sebanyak mud yang diberikan kepada fakir miskin, dengan catatan: seorang fakir miskin mendapat satu mud (lebih kurang 6,5 ons).

36 Maksudnya: membunuh binatang sebelum turun ayat yang mengharamkan ini.

37 Ialah: tokoh-tokoh sahabat dan Para cendekiawan di antara mereka.

(21)

mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).38 kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaiṭān, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).“

a. Unsur-unsur Qiyās39 1. Al-Aṣl (dasar pokok)

Al-Aṣl ialah sesuatu yang telah ditetapkan ketentuan hukumnya berdasarkan naṣ baik naṣ tersebut berupa al-Qur‟an maupun sunah. Al-aṣl juga disebut dengan maqis „alaih (yang diqiyāskan diatasnya) atau musyabbah bih (yang diserupakan dengannya).

2. Al-far‟u (cabang)

Al-far‟u ialah masalah yang hendak diqiyāskan yang tidak ada ketentuan naṣ yang menetapkan hukumnya. Al-far‟u juga disebut dengan maqis atau maḥal asy-syabah.

38 Menurut mufassirin yang lain Maksudnya Ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.

39 Abd. Rahman Dahlan, Uṣūl Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), 162

(22)

3. Hukum aṣl

Hukum aṣl ialah hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh naṣ tertentu, baik dari al-Qur‟an ataupun sunah.

4. „illah

„illah ialah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum , sebagaimana diyakini bahwa tujuan Allah dalam menetapkan suatu hukum adalah untuk mewujudkn kemaslaḥatan bagi hamba-hamba-Nya.

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Pengimplementasian Ultrasonic Terhadap

Jika produk ini mengandung komponen dengan batas pemaparan, atmosfir tempat kerja pribadi atau pemantauan biologis mungkin akan diperlukan untuk memutuskan keefektifan ventilasi atau

3.1 Menggali informasi dari teks laporan informatif hasil observasi tentang perubahan wujud benda, sumber energi, perubahan energi, energi alternatif, perubahan iklim

pengertian kontainer adalah suatu kemasan yang dirancang secara khusus dengan ukuran tertentu dan disamakan berdasarkan standar internasional, terbuat dari bahan

Waktu penelitian dilakukan se1ama 6 bulan yang terdiri dari tahap persiapan penelitian, desilasi tanaman eceng gondok, pembuatan reaktor, penanaman eceng gondok .dalam

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi sungai, mengembangkan produk ekowisata potensial non-arung jeram sepanjang Sungai Pekalen Atas,

Hasil yang ditunjukkan dengan melihat grafik penilaian responden berdasarkan latar belakang pekerjaan, dapat disimpulkan bahwa masing-masing gambar potensi wisata yaitu

Tabel 14 :Distribusi Frekuensi Cabang Olahraga yang Dijadikan Sampel di Sekolah Atlet Ragunan Jakarta Tahun 2017.... Tabel 17 :Distribusi Frekuensi Tingkat Kecukupan Lemak