• Tidak ada hasil yang ditemukan

Precision Medicine and Genetic Testing for Improved Treatment of Gastrointestinal Disease Murdani Abdullah 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Precision Medicine and Genetic Testing for Improved Treatment of Gastrointestinal Disease Murdani Abdullah 1"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Precision Medicine and Genetic Testing for Improved Treatment of Gastrointestinal Disease

Murdani Abdullah1

1. Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

Pendahuluan Farmakogenomik dan Precision Medicine

Respon antar individu terhadap agen - agen farmakologi dapat berbeda. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap variabilitas tersebut adalah faktor genetik, yaitu akibat adanya variasi genetik (polimorfisme) antar individu.1,2 Tidak jarang ditemukan seorang pasien tidak berespon dengan dosis pengobatan standar. Apabila pengobatan dikatakan tidak berhasil setelah diberikan beberapa minggu, seringkali dilakukan pendekatan “trial-and-error” yaitu mengganti regimen pengobatan dengan obat lainnya. Tentunya hal ini dapat berdampak buruk bagi pasien berupa munculnya efek samping obat, kepatuhan pasien terhadap obat berkurang, dan tingkat kepuasan pelayanan medis menurun.3

Farmakogenomik merupakan studi karakteristik DNA dan RNA yang dapat mempengaruhi respons individu terhadap suatu obat. Pengaruh farmakogenomik pada respon obat dibagi menjadi empat kategori berdasarkan dampak variabilitas genetik terhadap agen farmakologi tertentu, yaitu mengubah metabolisme obat dan mempengaruhi konsentrasi plasma (farmakodinamik), mengurangi pengikatan obat ke reseptornya sehingga mengurangi efikasi terapeutik (farmakokinetik), menimbulkan reaksi hipersensitivitas terhadap obat tertentu (reaksi idiosinkratik), dan memberikan efek pada patogenesis penyakit atau keparahan dan respons terhadap terapi tertentu. Informasi genom dan pemeriksaan farmakogenomik saat ini telah berhasil memperbaiki pemahaman berbagai ahli terkait terapi penyakit gastrointestinal, seperti tukak/ulkus peptikum, penyakit radang usus (IBD), hingga kanker usus besar, yang tidak berhasil dengan dosis pengobatan standar.1

Dengan memanfaatkan informasi dari pemeriksaan farmakogenomik, personalisasi terapi dapat diterapkan untuk mencapai pengobatan yang presisi (precision medicine) yaitu memberikan dosis yang tepat dari obat yang tepat untuk pasien yang tepat dan pada waktu yang tepat. Selain itu, pemeriksaan DNA non-invasif ini bertujuan untuk memaksimalkan efektivitas obat dan mengurangi reaksi obat yang merugikan. Precision medicine menjadi sebuah strategi yang dirancang untuk memberikan terapi yang paling sesuai berdasarkan fitur biologis dan molekuler masing-masing pasien.4

Penerapan precision medicine dalam bidang gastroenterologi

Polimorfisme pada Proton Pump Inhibitor (PPI) yang mempengaruhi respon individu PPI merupakan medikasi yang paling banyak digunakan untuk berbagai bentuk gangguan gastroesofageal seperti gastroesophageal reflux disease (GERD), ulkus peptikum, infeksi H.

pylori, esofagitis erosif, dan esofagitis eosinofilik. Diperkirakan terdapat 10-40% pasien dengan GERD gagal berespon dengan tatalaksana PPI.5 Laju respon simptomatik terhadap PPI

(2)

pada pasien dengan non-gastroesophageal reflux disease (NERD) yang diberikan satu kali sehari selama empat minggu hanya 37%, sedangkan pada pasien dengan esofagitis erosif hanya 56%. Perbedaan respon tersebut terjadi akibat adanya polimorfisme enzim yang memetabolisme PPI.6

PPI dimetabolisme oleh sitokrom P450 melalui isoenzim CYP2C19 dan CYP3A4. Isoenzim CYP2C19 diekspresikan di hati dan di usus dalam jumlah yang sedikit. Aktivitas CYP2C19 pada setiap individu dapat berbeda akibat adanya polimorfisme. Terdapat tiga tipe alel CYP2C19 yang telah diidentifikasi, yaitu enzim dengan aktivitas normal atau wild type allele yaitu CYP2C9*1, nonfungsional alel yaitu CYP2C19 *2, *3,*4, *5, *6, *7 and *8, dan alel fungsional yaitu CYP2C19*17 yang mampu meningkatkan klirens metabolisme obat. Variasi pada gen CYP tersebut menghasilkan lima fenotip, yaitu ultra-rapid metabolizer (UM), rapid metabolizer (RM), normal metabolizer (NM), intermediate metabolizer (IM), dan poor metabolizer (PM). Frekuensi PM lebih tinggi pada populasi Asia (20%) sedangkan frekuensi UM dan RM lebih tinggi ditemukan pada populasi Kaukasia dan Ethiopia (20%).2

Individu dengan UM sering tidak berespon terhadap dosis PPI standar karena obat dapat diinaktivasi lebih cepat. Begitu juga sebaliknya, seseorang dengan PM memiliki kemampuan menekan produksi asam lambung lebih baik. Sebuah studi farmakogenomik telah melaporkan adanya variabilitas genetik yang mempengaruhi respon PPI.2 Saito Y dkk melaporkan bahwa laju eradikasi infeksi H. pylori dengan esomeprazole-based triple therapy dipengaruhi oleh genotipe CYP2C19. Laju eradikasi secara signifikan lebih tinggi pada individu dengan fenotipe PM dibandingkan NM dan RM/UM, sehingga dosis PPI yang lebih tinggi dibutuhkan pada NM, RM, dan UM. Dengan demikian, pemeriksaan farmakogenomik menjadi hal yang penting dilakukan sebelum pengobatan PPI demi meningkatkan keberhasilan eradikasi H. pylori.7 Idealnya, semua pasien disarankan untuk dilakukan pemeriksaan farmakogenomik sebelum dimulainya pengobatan PPI, namun terdapat beberapa keterbatasan yang disebabkan oleh kurangnya ketersediaan tes, biaya, cakupan asuransi, dan keahlian praktisi.2 The Dutch Pharmacogenetics Working Group (DPWG) dan Clinical Pharmacogenetics Implementation Consortium (CPIC) memberikan rekomendasi pemberian dosis pada pasien dengan UM/RM untuk penatalaksanaan infeksi H. pylori dan esofagitis erosif yang disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.8,9

Tabel 1. Rekomendasi The Dutch Pharmacogenetics Working Group (DPWG)8

Pilihan PPI Peningkatan dosis untuk CYP2C19 Ultra-Rapid

Omeprazole 3 kali

Lansoprazole 4 kali

Pantoprazole 5 kali

Esomeprazole Tidak perlu ditingkatkan

Dexlansoprazole Tidak perlu ditingkatkan

(3)

Rabeprazole Tidak perlu ditingkatkan

Tabel 2. Rekomendasi Clinical Pharmacogenetics Implementation Consortium (CPIC)9

Fenotipe CYP2C19 Peningkatan dosis

Ultra-rapid metabolizer 100%

Rapid metabolizer pertimbangkan 50-100% pada infeksi H.pylori/esofagitis erosif Normal metabolizer pertimbangkan 50-100% pada infeksi H.pylori/esofagitis erosif

Saat ini, di Indonesia telah tersedia pemeriksaan farmakogenomik PPI yang menggunakan qRT-PCR dengan mendeteksi Single Nucleotide Polymorphism (SNP). Selain PPI, pemeriksaan farmakogenomik yang tersedia diantaranya antiplatelet, beta-blocker, non- steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), opioid, statin, dan tamoksifen.

Pendeteksiaan mutasi KRAS dan Implikasi terhadap Klinis

Saat ini, precision medicine sudah banyak diterapkan. Pada dasarnya, precision medicine merupakan strategi yang dirancang untuk menangani pasien-pasien secara individu dengan terapi yang paling sesuai dengan kondisi biologis dan molekulernya. Untuk mengetahui hal ini, dapat dilakukan dengan mendeteksi mutasi genetik yang spesifik. Dari sini, obat-obatan yang menargetkan molekul-molekul tertentu dapat dibuat secara secara spesifik sehingga efektif untuk satu mutasi gen atau bahkan lebih.4

Salah satu contoh yang paling banyak berkembang saat ini adalah pada terapi kanker kolorektal dan kanker gaster. Misalnya, jika ditemukan mutasi terkait HER2 pada kanker gaster, Herceptin dapat diberikan sebagai lini pertama pengobatan. Pada terapi kanker kolorektal, pendeteksian mutasi pada VEGF atau EGFR dilakukan untuk dapat menentukan terapi. Jika ditemukan adanya mutasi yang terkait dengan EGFR yang salah satunya adalah mutasi KRAS, pengobatan seperti Cetuximab dan Panitumumab dapat diberikan sebagai terapi lini pertama yang efektif. 10

Mutasi KRAS merupakan salah satu mutasi dari RAS onkogen. Mutasi KRAS ini merupakan salah satu mutasi yang paling sering ditemukan pada kasus kanker. Mutasi ini terjadi paling sering karena mutasi titik pada kodon 12 dan 13 pada exon 2. Akibat dari mutasi ini, KRAS- GTP akan tetap berada pada bentuk aktifnya yang menyebabkan pembentukan dan progresi dari tumor. Secara klinis, pendeteksian mutasi KRAS ini bermanfaat dalam memprediksi terjadinya dan progresi dari tumor.4,11

Studi-studi telah menunjukkan bahwa pasien dengan mutasi pada KRAS dapat memperburuk prognosis. Diez-Alonso dkk menemukan bahwa pada pasien dengan metastasis ke peritoneum, tingkat kesintasannya lebih baik pada pasien tanpa mutasi KRAS dibandingkan dengan pasien yang mengalami mutasi KRAS. Zacche dkk menemukan bahwa kesintasan bebas progresif pada pasien tanpa mutasi KRAS lebih lama (median 14 bulan) dibandingkan dengan yang

(4)

mengalami mutasi KRAS (median 11 bulan). Kesintasan secara umum pada pasien tanpa mutasi KRAS dapat mencapai median 27 bulan sementara pada pasien dengan mutasi KRAS mencapai median 24 bulan.12,13

Pemeriksaan Genetik pada Gangguan Gastrointestinal yang Tersedia

Pemeriksaan genetik dilakukan untuk menemukan variasi yang bermakna secara klinis. Selain itu, pemeriksaan juga digunakan untuk tujuan diagnostik baik untuk mengonfirmasi diagnosis atau memastikan diagnosis dari diagnosis banding yang sudah dipikirkan. Pada akhirnya, pemeriksaan genetik ini bertujuan dalam manajemen terapi pasien yang dapat diatur sedemikian rupa sehingga menyesuaikan dengan variasi yang ada pada pasien. Saat ini banyak kondisi medis yang terkait dengan genetik, maka dari itu pemeriksaan genetik sudah termasuk standar pelayanan. Pemeriksaan yang saat ini tersedia misalnya adalah pemeriksaan genetik untuk kanker kolorektal, kanker gaster, tumor pankreas, pankreatitis, penyakit radang usus, penyakit celiac, dan masih banyak lagi.14, 15

Pada kanker kolorektal, faktor keturunan menyubang setidaknya 5-10% kasus. Mutasi yang terjadi dapat akibat dari perubahan gen tunggal atau beberapa lokus yang menyebabkan efek aditif. Maka dari itu, penting untuk menanyakan riwayat kanker kolorektal pada keluarga.

Kanker kolorektal yang diturunkan melalui genetik yaitu sindroma poliposis (Familial Adenomatous Polyposis/FAP, poliposis hamartomatosa, dan Serrated Polyposis Syndrome) dan sindroma non-poliposis seperti Lynch Syndrome.16,17

FAP disebabkan oleh mutasi dari gen APC yang berlokasi pada lokus 5q21. Mutasi APC biasanya ditemukan pada 85% kasus melalui pemeriksaan genetik. Sindroma ini diturunkan secara autosomal dominan. Kanker kolorektal biasanya muncul pada dekade keempat dari kehidupan. Risiko dari terjadinya kanker kolorektal pada mutasi APC dapat mencapai 70–

100%. Mutasi lain yang dapat terjadi misalnya mutasi bialelik pada MUTYH yang menyebabkan terjadinya MUTYH-associated Adenomatous Polyposis (MAP). Risiko terjadinya MAP pada mutasi MUTYH sebesar 80%. Pemeriksaan mutasi MUTYH dilakukan jika tidak ditemukan mutasi APC pada kasus FAP. Sindroma poliposis yang lain adalah polip hamartomatosa atau lebih sering diketahui sebagai sindrom Peutz-Jeghers (PJS). PJS terjadi karena adanya mutasi STK11 yang ditandai dengan adanya polip multipel di saluran cerna dan adanya pigmentasi mukokutaneus. PJS dapat didiagnosis secara klinis dan genetik. Risiko PJS menjadi kanker kolorektal dapat mencapai 39%.16,17

Sementara itu, sindroma non-poliposis salah satunya adalah Lynch Syndrome. Lynch Syndrome dulu dikenal sebagai Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer (HNPCC). Lynch Syndrome diturunkan secara autosomal dominan. Pada Lynch Syndrome, terdapat mutasi yang mengatur mismatch repair misalnya gen MLH1, MSH2, MSH6, dan PMS2. Risiko terjadinya kanker kolorektal pada Lynch Syndrome adalah sebesar 25-70%.18,19

Selain kanker kolorektal, kanker gaster juga dapat dipengaruhi oleh genetik. Setidaknya 1-3%

kasus merupakan kasus yang diakibatkan oleh genetik. Salah satu gen yang berperan dalam perkembangan kanker gaster adalah gen CDH1. Mutasi pada CDH1 dapat menyebabkan

(5)

terjadinya Hereditary Diffuse Gastric Cancer Syndrome (HDGC) yang memiliki risiko terjadinya kanker gaster mencapai 70%.20

Penyakit lain yang mungkin dapat dilakukan pemeriksaan genetik adalah penyakit radang usus dan penyakit celiac. Pemeriksaan genetik pada penyakit radang usus sangat jarang dilakukan dan hanya dilakukan pada kasus yang awitannya sangat dini. Sementara itu, pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk penyakit celiac adalah pemeriksaan HLA-DQ2 dan HLA-DQ8 yang digunakan untuk mengeksklusi beberapa kondisi.14,21

Indikasi Pemeriksaan Genetik pada Kanker Kolorektal

Faktor genetik memiliki korelasi terhadap kanker kolorektal dan pemeriksaan genetik memberikan informasi dan pemahaman yang lebih jauh. Dikarenakan terdapat beberapa keterbatasan dalam melakukan pemeriksaan genetik, tidak semua kanker kolorektal dilakukan pemeriksaan tersebut. Terdapat beberapa indikasi yang direkomendasikan untuk pemeriksaan genetik yaitu apabila hasil skrining tumor (imunohistokimia atau microsatellite instability) abnormal, pasien didiagnosis kanker kolorektal, pasien dengan kanker endometrial sebelum usia 50 tahun, pasien dengan kanker primer multipel, dan pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan kanker kolorektal.22 Riwayat keluarga dengan kanker kolorektal dapat berupa Lynch syndrome, kanker yang berkaitan dengan Lynch syndrome, dan poliposis.23

Referensi:

1. Tantisira K. Overview of Pharmacogenomic [internet]. UpToDate (US); 2022 [updated 2022 Apr; cited 2022 June 14]. Available from: https://www.uptodate.com/contents/overview-of- pharmacogenomics

2. Harris DM, Stancampiano FF, Burton MC, Moyer AM, Schuh MJ, Valery JR, et al. Use of Pharmacogenomics to Guide Proton Pump Inhibitor Therapy in Clinical Practice. Dig Dis Sci.

2021 Dec;66(12):4120–7.

3. U.S. Food and Drug Administration. Paving the Way for Personalized Medicine: FDA’s Role in a New Era of Medical Product Development [Internet]. US; 2013 [cited 2022 June 15].

Available from:https://www.fdanews.com/ext/resources/files/10/10-28-13-Personalized- Medicine

4. Matsuoka T, Yashiro M. Precision medicine for gastrointestinal cancer: Recent progress and future perspective. World J Gastrointest Oncol. 2020 Jan 15;12(1):1–20.

5. Fass R. Therapeutic options for refractory gastroesophageal reflux disease. J Gastroenterol Hepatol. 2012:37(3):3-7

6. Dean BB, Gano AD Jr, Knight K, Ofman JJ, Fass R. Effectiveness of proton pump inhibitors in nonerosive reflux disease. Clin Gastroenterol Hepatol. 2004 Aug;2(8):656-64.

7. Saito Y, Serizawa H, Kato Y, Nakano M, Nakamura M, Saito H, Suzuki H, Kanai T. First-line eradication for Helicobacter pylori-positive gastritis by esomeprazole-based triple therapy is influenced by CYP2C19 genotype. World J Gastroenterol. 2015 Dec 28;21(48):13548-54.

8. PharmaGKB. Annotation of DPWG Guideline for omeprazole and CYP2C19 [Internet]. US:

PharmaGKB; 2018 [cited 2022 June 14]. Available from:

https://www.pharmgkb.org/guidelineAnnotation/PA166104957/annotation

(6)

9. PharmaGKB. Annotation of CPIC Guideline for lansoprazole, omeprazole, pantoprazole and CYP2C19 [Internet]. US: PharmaGKB; 2018 [cited 2022 June 14]. Available from:

https://www.pharmgkb.org/guidelineAnnotation/PA166219103

10. Rolfo C, Bronte G, Sortino G, Papadimitriou K, Passiglia F, Fiorentino E, et al. The role of targeted therapy for gastrointestinal tumors. Expert Rev Gastroenterol Hepatol. 2014 Nov;8(8):875–85.

11. Negri F, Bottarelli L, de’Angelis GL, Gnetti L. KRAS: A Druggable Target in Colon Cancer Patients [Internet]. Vol. 23, International Journal of Molecular Sciences. 2022. p. 4120.

Available from: http://dx.doi.org/10.3390/ijms23084120

12. Díez-Alonso M, Mendoza-Moreno F, Gómez-Sanz R, Matías-García B, Ovejero-Merino E, Molina R, Soto-Schütte S, San Juan A, Gutierrez-Calvo A. Prognostic Value of KRAS Gene Mutation on Survival of Patients with Peritoneal Metastases of Colorectal Adenocarcinoma. Int J Surg Oncol. 2021 Sep 13;2021:3946875.

13. Zocche DM, Ramirez C, Fontao FM, Costa LD, Redal MA. Global impact of KRAS mutation patterns in FOLFOX treated metastatic colorectal cancer. Front Genet. 2015 Mar 30;6:116.

14. Goodman RP, Chung DC. Clinical Genetic Testing in Gastroenterology. Clin Transl Gastroenterol. 2016 Apr 28;7(4):e167

15. Pereira F, Teixeira MR, Dinis Ribeiro M, Brandão C. Multi-Gene Panel Testing in Gastroenterology: Are We Ready for the Results? GE Port J Gastroenterol. 2021 Feb 4;28(6):403-9.

16. Jasperson KW, Tuohy TM, Neklason DW, Burt RW. Hereditary and familial colon cancer.

Gastroenterology. 2010 Jun;138(6):2044-58.

17. Patel R, Hyer W. Practical management of polyposis syndromes. Frontline Gastroenterol. 2019 Oct;10(4):379-87.

18. Tognetto A, Michelazzo MB, Calabró GE, Unim B, Di Marco M, Ricciardi W, Pastorino R, Boccia S. A Systematic Review on the Existing Screening Pathways for Lynch Syndrome Identification. Front Public Health. 2017 Sep 12;5:243.

19. Gallon R, Gawthorpe P, Phelps RL, Hayes C, Borthwick GM, Santibanez-Koref M, Jackson MS, Burn J. How Should We Test for Lynch Syndrome? A Review of Current Guidelines and Future Strategies. Cancers (Basel). 2021 Jan 22;13(3):406

20. Slavin TP, Weitzel JN, Neuhausen SL, Schrader KA, Oliveira C, Karam R. Genetics of gastric cancer: what do we know about the genetic risks? Transl Gastroenterol Hepatol. 2019 Jul 29;4:55.

21. Bianco AM, Girardelli M, Tommasini A. Genetics of inflammatory bowel disease from multifactorial to monogenic forms. World J Gastroenterol. 2015 Nov 21;21(43):12296-310.

22. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Hereditary colorectal (colon) cancer [Internet]. US: CDC; 2022 [cited 2022 June 14]. Available from:

https://www.cdc.gov/genomics/disease/colorectal_cancer

23. Monahan KJ, Bradshaw N, Dolwani S, Desouza B, Dunlop MG, East JE, et al. Guidelines for the management of hereditary colorectal cancer from the British Society of Gastroenterology (BSG)/Association of Coloproctology of Great Britain and Ireland (ACPGBI)/United Kingdom Cancer Genetics Group (UKCGG). Gut. 2020 Mar;69(3):411-44.

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Bupati Lombok Barat Nomor 31 A Tahun 2017 tentang Pendelegasian sebagian kewenangan Bupati di bidang perizinan dan non perizinan kepada Kepala Dinas Penanaman Modal

Begitu juga dengan fungsinya pada Pengantar Ilmu Hukum memiliki fungsi sebagai dasar bagi setiap orang yang akan mempelajari hukum secara luas beserta pelbagai hal

Pembe- lajaran berbasis nilai-nilai budaya adalah model pembelajaran yang digunakan guru untuk mem- fasilitasi peserta didik dalam menguasai seperang- kat rumusan kompetensi,

Tetapi siswa NH belum memahami prinsip-prinsi pada pengurangan bilangan bulat (NHSII07S). Selama pelaksanaan pembelajaran, segala aktivitas peneliti dan siswa diamati melalui lembar

Hasil yang didapat dari perhitungan menggunakan metode Section Technique adalah nilai indeks keandalan sistem penyulang berupa indeks SAIFI = 2.4982 kali/tahun, SAIDI =

JUDUL : AJAK PENELITI LEBIH BERGAIRAH KEMBANGKAN ILMU MEDIA : RADAR JOGJA. TANGGAL : 30

Morfologi yang telah diamati mengenai bunga anggrek Dendrobium sonia , Dendrobium valentine blue , Dendrobium woon leng memiliki karakter helaian daun yakni

Praktik jual beli pisang dan talas yang terjadi di Desa Gunung Batu merugikan pihak petani karena terjadi manipulasi timbangan pada saat penimbangan berlangsung,