• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANAN HUKUM TEORETIS DALAM PEMBANGUNAN ILMU HUKUM INDONESIA THEORETICAL LAW APPLICATION IN INDONESIA S LAW LEGAL DEVELOPMENT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGEMBANAN HUKUM TEORETIS DALAM PEMBANGUNAN ILMU HUKUM INDONESIA THEORETICAL LAW APPLICATION IN INDONESIA S LAW LEGAL DEVELOPMENT."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANAN HUKUM TEORETIS DALAM PEMBANGUNAN ILMU HUKUM INDONESIA

THEORETICAL LAW APPLICATION IN INDONESIA’S LAW LEGAL DEVELOPMENT

Oleh: Sulaiman *) ABSTRAK

Pada dasarnya, istilah pengembanan menggambarkan sebuah aktivitas yang sangat luas maksudnya. Dalam konteks hukum, pengembanan meliputi kegiatan membentuk, melaksanakan, menerapkan, menemukan, menafsirkan, meneliti, mempelajari, hingga mengajarkan hukum. Pengembanan hukum teoritikal adalah kegiatan akal budi untuk memperoleh penguasaan intelektual atas hukum atau pemaknaan tentang hukum secara ilmiah, yakni secara sistematik, logik dan rasional. Dalam konteks ilmu hukum Indonesia, pengembangan hukum terkait dengan kajian yang menempatkan cita hukum Pancasila sebagai bagian pentingnya. Dengan demikian, pembangunan ilmu hukum Indonesia pada dasarnya adalah pembangunan ilmu hukum berdasarkan cara berpikir bangsa Indonesia dengan Pancasila sebagai cita hukumnya. Jalan masuk ini untuk melihat pengembanan hukum teoritikal yang lebih terbuka seiring dengan tujuan pembangunan ilmu hukum nasional Indonesia.

Kata Kunci: Pengembanan hukum Teoritis, Ilmu Hukum Indonesia.

ABSTRACT

Basically, the term of application describes an activity very broad meaning. In the context of the law, it include forming, implement, deplay, discover, interpret, investigate, learn, to teach the law. Its theoretical law is an activity of reason to acquire intellectual mastery of the law or the meaning of the law scientifically, i.e in a systematic, logical and rational. In the context of Indonesia law science, development studies related to the law that puts ideals of Pancasila law as an important part. Thus, the development of Indonesian law is basically the development of jurisprudence based on the thinking of Indonesia with Pancasila as its legal ideals. The driveway to see it is more open theoritical law in line with the development goals of national jurisprudence Indonesia.

Keywords: Theoretical Law Application, Indonesian Law.

PENDAHULUAN

Pada dasarnya, istilah pengembanan menggambarkan sebuah aktivitas yang sangat luas maksudnya. Dalam konteks hukum, pengembanan meliputi kegiatan membentuk, melaksanakan, menerapkan, menemukan, menafsirkan, meneliti, mempelajari, hingga mengajarkan hukum.

*) Artikel ini diperbaiki dari Makalah Konferensi Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), kerjasama Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Epistema Institute, yang dilaksanakan di di Solo, 17-18 November 2015.Sulaiman adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. E-mail: [email protected].

(2)

Istilah pengembanan hukum sangat familiar bagi kalangan akademisi hukum, terutama berkat kajian B. Arief Sidharta (1999). Menurut Sidharta1 istilah “pengembanan” berarti “memikul atau menyandang tugas dan kewajiban untuk melaksanakan, menjalankan, mengurus, memelihara, mengolah, dan mengembangkan suatu jenis kegiatan tertentu, dan secara moral bertanggung jawab untuk itu”.

Secara khusus, ada tekanan Sidharta mengenai tanggung jawab secara moral atas berbagai tugas dan kewajiban sebagaimana dipikul. Dengan demikian tidak berhenti pada sejumlah aktivitas sebagaimana disebutkan di atas.

Dalam satu terjemahan lain dari B. Arief Sidharta, dari pendapat Meuwissen2, disebutkan secara lengkap mengenai pengembanan hukum tersebut, yakni:

Pengembanan hukum (rechtsbeoefening) adalah kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam masyarakat, yang meliputi kegiatan membentuk, melaksanakan, menerapkan, menemukan, menafsirkan, meneliti, dan secara sistematikal mempelajari dan mengajarkan hukum.

Oleh Shidarta3, pengembanan hukum di Indonesia disebutkan sebagai “kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di Indonesia, yang secara keseluruhan meliputi pengembanan hukum teoritis dan praktis”.

Pengembanan hukum tersebut, seterusnya terbagi ke dalam dua bantuk, yakni pengembanan hukum praktikal dan pengembanan hukum teoritikal. Pengembanan hukum praktikal terkait dengan

“pergaulan dengan hukum dalam kehidupan nyata”. Pengembanan hukum praktikal terdiri atas pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum. Pembentukan hukum sendiri terbagi lagi ke dalam peraturan perundang-undangan, putusan konkret, dan tindakan nyata.4

1 B. Arief Sidharta, “Struktur Ilmu Hukum”, dalam Esmi Warassih dkk (Ed.), Refleksi dan Reokonstruksi Ilmu Hukum di Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2012, hlm.

35.

2 CA. Van Peursen, Filsafat Ilmu-Ilmu, diterjemahkan Bernard Arief Sidharta, Pusat Kajian Humaniora Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2005, hlm. 1. Lihat juga, B. Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Cetakan Kedua, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 25.

3 Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Buku 1 Akar Filosofis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 13-14.

4 B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 24-25.

(3)

Sementara yang dimaksud dengan pengembanan hukum teoritikal adalah “sebagai kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum”. Menurut Meuwissen5, pengembanan hukum teoritikal atau refleksi tentang hukum adalah “kegiatan akal budi untuk memperoleh penguasaan intelektual atas hukum atau pemaknaan tentang hukum secara ilmiah, yakni secara sistematik, logik dan rasional”.

Istilah sistematik, logik, dan rasional, memperlihatkan posisi hukum dimaksud sebagai hukum modern, yang umumnya diorganisasikan dalam negara modern sekarang ini.6 Hukum modern tersebut terbentuk berdasarkan perkembangan sejarah hukum sendiri yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan masyarakat.7 Perkembangan itu sendiri berlangsung dari proses transfer hukum (modern) dari Belanda ke Hindia Belanda.8

Selain itu, terdapat sejumlah hal yang terkait dengan pengembanan hukum teoritikal ini, yakni disiplin hukum,upaya memahami dan menguasai hukum, dan bermetode logik sistematikal, rasional kritikal. Berdasarkan tataran analisis atau tingkat abstraksi, pengembanan hukum teoritikal terbagi ke dalam tiga tingkat, yakni ilmu-ilmu hukum (dengan objek tatanan hukum nasional dan internasional), teori hukum (dengan objek tatanan hukum positif), dan filsafat hukum. Ilmu-ilmu hukum sendiri terbagi ke dalam ilmu-ilmu hukum normatif (perilaku internal; ilmu hukum praktikal atau ilmu hukum dogmatik) dan ilmu-ilmu hukum empiris (perspektif eksternal; mempelajari hukum sebagai fakta yang tampak dalam sikap dan perilaku). Dalam konteks ilmu hukum normatif, yang dimaksud adalah ilmu hukum praktikal normologik. Ilmu hukum empiris terbagi ke dalam perbandingan hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum, antropologi hukum, dan psikologi hukum.9

Kemudian pada tataran kedua, terdapat teori hukum. Tataran teori hukum ini terbagi ke dalam ajaran hukum, hubungan hukum dan logika, serta metodologi. Metodologi ini sendiri terbagi lagi ke

5 CA. Van Peursen, Op. Cit., hlm. 1.

6 Sajipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, PT. Citra Adytia Bakti, Bandung, 2006, hlm. 213-215.

7 Suteki, Desain Hukum di Ruang Sosial, Satjipto Rahardjo Instutite, Semarang, 2013, hlm. 10-12.

8 Suteki, “Perkembangan Ilmu Hukum dan Implikasi Metodologisnya”, dalam Esmi Warassih, dkk (Ed.), Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum di Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2012, hlm. 107.

9 B. Arief Sidharta, “Struktur Ilmu Hukum”, hlm. 35-36.

(4)

dalam ajaran ilmu (mencakup epistemologi ilmu hukum, penelitian dan analisis hukum, serta struktur berpikir yuridik) dan ajaran metode praktik hukum (mencakup teori pembentukan hukum dan teori penemuan hukum).10

Sementara pada tataran ketiga, terdapat filsafat hukum. Dalam hal ini, hukum bukanlah gagasan empirikal murni, tetapi juga memperlihatkan juga ciri-ciri normatifnya. Ia tidak dapat memisahkan antara sein dan sollen. Menurut Meuwissen11, filsafat hukum adalah refleksi sistematikal tentang “kenyataan” dari hukum. “Kenyataan dari hukum” tersebut harus dipandang sebagai realisasi dari ide hukum (cita hukum). Dalil yang disebutkan adalah “semua kultur (hukum, seni, ilmu, agama) adalah perwujudan dari suatu ide”. Dalam wujud ini, asalnya adalah Neo Kantian. Sementara dalam konteks hukum, dalil ini dipertahankan Radbruch yang menjabar ide hukum dalam tiga aspek, yakni kepastian hukum, kegunaan, dan keadilan.12

Dengan berdasarkan pada tiga tataran abstraksi tersebut, menurut Sidharta, pengembanan ilmu hukum terarah pada upaya untuk menjawab pertanyaan dalam rangka menemukan dan menawarkan alternatif penyelesaian yuridik bagi masalah kemasyarakatan tertentu (baik mikro maupun makro) dengan mengacu dan dalam kerangka tata hukum positif yang berlaku. Dengan mengutip Ph. Visser’t Hooft, kegiatan pengembanan ilmu hukum itu adalah kegiatan mengantisipasi dan menawarkan penyelesaian masalah hukum konkret yang mungkin terjadi di dalam masyarakat, baik yang dihadapi individu perorangan maupun yang dihadapi masyarakat keseluruhan.13

PEMBAHASAN

1) Ilmu Hukum Indonesia

Konsep “ilmu hukum”, sangat terkait dengan berbagai pendapat dan perkembangannya.

Konsep “ilmu hukum” sendiri juga terkait dengan hal yang tidak kalah rumitnya, yakni menyangkut

10 Ibid, hlm. 35-36.

11 Ibid, hlm. 25.

12 Ibid, hlm. 43.

13 Ibid, hlm. 19-20.

(5)

pertanyaan apakah hukum itu sebagai ilmu? Menurut Lasiyo, untuk menjawab ilmu hukum sebagai ilmu tersebut tidak sekedar membuat pernyataan, tetapi harus dikaji dan dianalisis berdasarkan landasan pijak yang kuat dan jelas dari aspek keilmuan.14

Untuk menentukan ilmu, Comte sangat berperan terutama terkait dengan filsafat positif.15 Comte membuat gradasi ilmu dengan tolok ukur kerumitan objek formal, dari yang sederhana hingga rumit, mulai dari matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan fisika sosial. Tolok ukur tersebut (metode ilmu alam) yang langkahnya observasi, eksperimen, dan komparasi, adalah indikator sesuatu ilmu itu dapat disebut ilmu.16

Pendalaman ilmu pada dasarnya adalah salah satu ciri khas paling penting pada manusia adalah pada (selalu) rasa ingin tahu. Sepertinya ketika manusia tidak memiliki rasa ingin tahu, maka proses kehidupannya menjadi tidak normal.17 Salah satu saluran memuaskan ingin tahu adalah ilmu pengetahuan, oleh Setiardja18 disebutkan sejumlah ciri seperti: disusun sistematis, bercorak universal, menggunakan bahasa ilmiah, berdasarkan observasi ilmiah, objektivitas, dapat diverifikasi, ada sifat kritis, dan harus dapat dipergunakan.

Dengan ciri-ciri tersebut, kemudian ilmu digolongkan berdasarkan perspektif masing-masing.

United Nation Education, Social, and Cultural Organization (Unesco) membagi ilmu kepada Ilmu Eksakta Alam (Fisika, Kimia, Biologi, dll), Ilmu Sosial (Sosiologi, Politik, Ekonomi, dan Antropologi), Ilmu Humaniora (Ilmu Filsafat, Bahasa, dan Hukum). Menurut Marzuki, berdasarkan klasifikasi Unesco tersebut, Konsorsium Ilmu Hukum tahun 1980 membagi ke dalam Ilmu Alam, Ilmu Sosial, dan Ilmu Humaniora. Dalam pertemuan tersebut tidak ada kata sepakat mengenai posisi ilmu hukum, apakah ia masuk ke dalam ilmu alam, ilmu sosial, ataukah ilmu humaniora,

14 Titik Triwulan Tutik, “Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum Ditinjau dari Sudut Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24, No. 3. 2012, hlm. 446.

15 George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Cetakan Ketiga, diterjemahkan Alimandan, Prenada Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 16-20.

16 K. Wibisono Siswomihardjo, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Penerbit Lyberti, Yogyakarta, 2003, hlm. 14.

17 Fuad Hasan & Koentjaraningrat, “Beberapa Asas Metodologi Ilmiah”, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode- metode penelitian masyarakat, edisi ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 1.

18 A. Gunawan Setiardja, Filsafat Pancasila, Magister Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2007, hlm. 54-55.

(6)

karena dari peserta yang hadir, ada yang mengatakan ilmu hukum bagian dari ilmu sosial, ada pula yang menyebutkan bagian dari ilmu alam, bahkan ada yang mengatakan bagian dari ilmu humaniora.19

Bukti lain dari ketidaksepakatan tersebut adalah beragamnya gelar master dari ilmu hukum, ada yang memakai magister hukum (MH), magister humaniora (M.Hum), atau magister sains (MS).

Bahkan ada yang Sarjana Utama (SU).20

Pendapat lain adalah mengkategorikan hukum sebagai ilmu tersendiri, yang oleh Soekanto dan Mamudji21 menyamakan ilmu hukum dengan disiplin hukum, dan Hartono22 menyebut norma hukum sebagai materi ilmu hukum. Marzuki23 menyebut ilmu hukum (jurisprudence) sebagai suatu disiplin yang bersifat sui generis. Sidharta24 menyebut ilmu hukum memiliki objek berupa tata hukum positif.

Ilmu hukum sendiri berdasarkan substansinya dikelompokkan ke dalam kelompok ilmu-ilmu praktikal. Sidharta25 membagi kelompok ilmu tersebut, selain ilmu praktikal, juga ilmu formal dan ilmu empiris, sebagai komponen ilmu positif. Sebagai ilmu praktikal, objek telaah dan posisi penstudinya, ilmu hukum ini termasuk kedalam gugus disiplin hukum dalam kelompok ilmu-ilmu yang objek telaahnya hukum.

Berdasarkan penjelasan tersebut, secara prinsip hukum masuk dalam salah satu bidang ilmu.

Keberagaman penempatan hukum, tidak terlepas dari banyaknya pendapat dalam merumuskan makna hukum dan ilmu hukum. Salah satu tujuan mempelajari hukum dalam konteks perbincangan yang luas, disebutkan bahwa apabila ilmu hukum itu memang bisa disebut sebagai ilmu,

19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Keempat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 11-12.

20 Ibid, hlm. 11-12.

21 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, 1990, hlm. 2.

22 CFG. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Penerbit Alumni, Bandung, 1994, hlm. 118.

23 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hlm. 19-21.

24 B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, sebuah Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm. 148.

25 B. Arief Sidharta, “Struktur Ilmu Hukum”, hlm. 29-38.

(7)

bagaimanakah sifat-sifat atau karakteristik keilmuannya itu.26 Pertanyaan tersebut pada dasarnya sama sulitnya dengan menjawab apa hukum itu.27

Konteks di atas, ilmu hukum termasuk dalam jajaran ilmu praktis-normologis.28 Meski objek telaahnya adalah tata hukum positif, dalam perkembangannya, ilmu hukum harus terbuka dan mampu mengolah produk berbagai ilmu tanpa berubah menjadi ilmu lain tampa mengubah menjadi ilmu lain tersebut dengan kehilangan karakteristik khasnya sebagai ilmu normatif.29

Berangkat dari titik ini, pemosisian yang berhenti pada praktis-normologis, menurut Tanya, diyakini sudah tidak mumpuni lagi. Ilmu hukum membutuhkan paradigma yang melampaui normatif-dogmatis, agar bisa menangkap hakikat hukum sebagai upaya manusia menertibkan diri dan masyarakat berikut kemungkinan berfungsi atau tidaknya hukum dalam masyarakat. Dalam hal ini, ilmu hukum bagian dari ilmu humaniora, yang objek telaahnya hukum dengan sekalian keterkaitan dengan realitas empirik.30 Pendapat tersebut berbeda dengan apa yang disebut Marzuki yang sudah diungkap di atas. Menurutnya, ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan.31

Dua pemosisian tersebut membutuhkan jalan keluar. Rahardjo mnyarankan agar ilmu hukum menempatkan hukum sebagai realitas yang ada dan hadir dalam kehidupan manusia. Konsep mendudukkan ilmu hukum, dikaitkan dengan pemosisian hukum itu sendiri, yang secara konkret antara lain diterjemahkan dalam pendidikan hukum.32 Satjipto Rahardjo membedakan dua domain kajian: pendidikan hukum profesional sebagai ilmu praktis dan pendidikan hukum berbasis searching for truth (pencarian kebenaran) sebagai sebenar ilmu.33

26 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, hlm. 3-4.

27 HR. Otje Salman & Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 1.

28 CA. Van Peursen, Filsafat Ilmu-Ilmu, hlm. 39-42.

29 B. Arief Sidharta,1999, hlm. 114.

30 Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum dan Hukum Millenium Ketiga, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, Lumajang, 2008, hlm. 11-13)

31 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hlm. 19-20.

32 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum, Studi Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhammadyah University Press, Surakarta, 2005, hlm. 212-215.

33 HR. Otje Salman & Anton F. Susanto, Teori Hukum, hlm. 142.

(8)

Gambaran keberadaan ilmu hukum di atas, maka dengan berangkat dari tiga tataran analisis di atas, Shidarta34 memperjelas posisi ketiganya dalam konteks Indonesia –khususnya terkait dengan pengembanan hukum teoritis. Menurut Shidarta, dalam konteks kajian ilmu hukum, pada awal kemerdekaan akar ilmu hukum yang diajarkan adalah ilmu hukum (yang dikembangkan di) Belanda.35

Hingga sekarang sisa-sisa ilmu hukum Belanda masih terasa dalam ruang kuliah di Fakultas Hukum Indonesia. langkah-langkah mencari ilmu hukum khas Indonesia memang pernah diupayakan oleh ahli-ahli hukum Indonesia, khususnya mereka yang berkecimpung dalam hukum adat, tetapi kajian mereka pun tetap bersandar pada warisan Belanda, terutama 19 lingkungan hukum adat karya Van Vollenhoven tanpa ada keinginan untuk menelaah validitasnya di lapangan.

Yang lebih menarik menurut Shidarta adalah penggantian sistem hukum dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan lebih banyak bernuansa politis ketimbang akademis.36

Ilmu hukum pada dasarnya lebih banyak berbicara tentang hukum positif Indonesia, masih didominasi fondasi hukum pokok seperti perdata dan pidana. Keduanya masih berpegang erat pada kodifikasi produk jaman Belanda. Hanya bidang-bidang parsial saja yang terus berkembang secara tambal sulam, seiring dengan munculnya peraturan perundang-undangan yang baru. Satu-satunya lapangan hukum yang terlihat cukup signifikan adalah bidang hukum tata negara. Ditetapkannya Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) memberi landasan yang kuat bagi lahirnya sistem hukum yang khas Indonesia, sehingga diharapkan lahir ilmu hukum nasional Indonesia.

Kondisi yang disebutkan terakhir sebenarnya membuka jalan bagi ilmu hukum Indonesia – oleh Sidharta37 disebut sebagai ilmu hukum nasional Indonesia. Menurut Sidharta, ada tiga ciri khas ilmu hukum nasional Indonesia yang masih perlu dibangun itu, yakni:

(1) Paradigma Ilmu Hukum Nasional Indonesia mengacu cita hukum Pancasila, tujuan hukum Pengayoman, konsep negara Hukum Pancasila, Wawasan Kebangsaan, dan Wawasan Nusantara.

(2) Objek pengolahan sistematisasinya adalah Tatanan Hukum Nasional Indonesia, baik tertulis maupun tidak tertulis.

34 Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Buku 1 Akar Filosofis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 278-279.

35 Ibid, hlm. 278.

36 Ibid, hlm. 278-279.

37 Ibid. Hlm. 279.

(9)

(3) Kegunaan studi dan pengembangan (pembinaan) Ilmu Hukum Nasional Indonesia dewasa ini adalah untuk peningkatan mutu penyelenggara hukum sehari-hari dan pelaksanaan pembangunan Tata Hukum Nasional Indonesia dengan mengolah masukan dari berbagai ilmu lain dalam menganalisa dan mengarahkan perubahan sosial, serta mengantisipasi dan mengakomodasi dampak perkembangan di masa depan.

Selain tataran ilmu hukum, tataran teori hukum dalam konteks ilmu hukum Indonesia juga tidak mengalami banyak perkembangan. Ada kelemahan mendasar menurut Shidarta adalah sedikitnya penelitian-penelitian empiris hukum yang dapat digunakan dalam bentuk sumbangan dari disiplin nonhukum. Hal lain adalah kurangnya supply kasus dari pengadilan. Ragam kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan belum menjangkau optimalisasi tingkat abstraksi yang diharapkan untuk sebuah teori hukum yang berangkat dari ilmu hukum nasional Indonesia.38

Pada tataran terakhir, filsafat hukum, terutama kajian-kajian filsafat hukum yang terkait dengan Pancasila sepi peminat. Dalam hal ini filsafat hukum memberi landasan kefilsafatan bagi ilmu hukum dan setelah lahirnya teori hukum sebagai disiplin mandiri. Sebagai pemberi dasar, filsafat hukum menjadi rujukan ajaran nilai dan ajaran ilmu bagi teori hukum dan ilmu hukum.

Namun masa otoriter, kebebasan kajian hingga pada derajat ini sangat terbatas.39

2) Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia

Dalam Seminar Nasional Hukum Progresif, Sidharta menyebutkan bahwa sudah lebih 40 tahun yang lalu, Soediman Kartohadiprojo sudah berfikir bahwa kita selama ini menggunakan pola pikir yang keliru, yang berasal dari Barat. Dalam berbagai kesempatan, Soediman Kartohadiprojo memaparkan ciri khas cara berfikir Barat itu, dan juga memperlihatkan cacat-cacat yang terkandung di dalamnya. Ia berupaya untuk meyakinkan bahwa kita perlu kembali ke cara berfikir bangsa Indonesia sendiri, yakni cara berfikir sebagaimana yang diperkenalkan kembali kepada bangsa Indonesia oleh Ir. Soekarno melalui pidato “Lahirnya Pancasila” pada tanggal 1 Juni 1945 dalam

38 Ibid, hlm. 280-281.

39 Ibid, hlm. 282.

(10)

sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan.40 Apa yang telah pernah “digelisahkan”

Soediman Kartohadiprojo, kemudian dipertanyakan juga oleh Satjipto Rahardjo, dengan mengangkat hal yang sama, dengan situasi yang dapat saja berbeda. Menurutnya, dominan kultur liberal menyebabkan kita submisif terhadap hukum yang ada.41

Sidharta menjelaskan, di Indonesia, setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia yang merdeka, tampak jelas bahwa pengembanan hukumnya dijalankan di bawah pengaruh paham tentang hukum yang positivistik. Kemerdekaan Indonesia ternyata belum membebaskan cara berfikir dari dominasi cara berfikir Barat, termasuk cara berfikir bidang hukum.42

Seyogianya dominasi tersebut harus dikritisi. Pasalnya, proklamasi kemerdekaan dan pembentukan Negara Republik Indonesia yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 – sebagai grand design suatu masyarakat dan kehidupan baru di Indonesia—membawa perubahan besar dalam segala aspek kehidupan kemasyarakatan, termasuk hukumnya.43 Secara implisit sudah terjadi perubahan dalam isi cita-cita hukum sebagai basic guiding principles (asas-asas yang mempedomani) dalam penyelenggaraan hukum di Indonesia dan pengembangan ilmu hukum di Indonesia.44

Atas dasar tersebut, Ilmu Hukum Indonesia yang bertugas mendeskripsikan dan menjelaskan kehidupan hukum tidak boleh dipisahkan dari UUD 1945. Ilmu hukum Indonesia –atau tepatnya--- ilmu hukum yang berkembang di Indonesia, sejak zaman kolonial hingga zaman kemerdekaan sesungguhnya suatu cabang pemikiran epistemik-filsafati yang perkembangannya dapat dilacak

40 B. Arief Sidharta, “Hukum Progresif dari Sisi Filosofis: Persepsi Epistemologis, Hermeneutis, dan Metafisika”, Seminar Nasional Hukum Progresif, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 20 Juli 2009.

41 Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagad Ketertiban, UKI Press. Jakarta, 2006a, hlm. 119.

42 B. Arief Sidharta, “Hukum Progresif dari Sisi Filosofis: Persepsi Epistemologis, Hermeneutis, dan Metafisika”, Seminar Nasional Hukum Progresif, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 20 Juli 2009.

43 Rahardjo, Satjipto, “Paradigma Ilmu Hukum Indonesia, Makalah Simposium Nasional Ilmu Hukum

“Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia”, PDIH Undip, 10 Februari 1998, lihat juga, Sidharta, “Struktur Ilmu Hukum”, hlm. 60-61.

44 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum, hlm. 191-206.

(11)

kembali ke awal-awalnya pada tradisi pemikiran hukum Eropa Barat.45 Namun demikian paradigma yang dapat ditangkap dari UUD 1945 antara lain: (a) Ketuhanan Yang Maha Esa; (b) Kemanusiaan;

(c) Persatuan; (d) Kerakyatan; (e) Keadilan Sosial; (f) Kekeluargaan; (g) Harmoni; (h) Musyawarah.46

Dengan demikian mendudukkan pembangunan ilmu hukum Indonesia, pada dasarnya ingin membedakan dari corak berfikir Barat dalam hukum. Ilmu Hukum Indonesia menempatkan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai landasan kefilsafatan yang mendasari dan menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUD itu. Konsep ini mempertegas bahwa penyusunan dan penerapan tata hukum di Indonesia harus dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila.47

Menurut Setiardja (2007), Pancasila sebagai cita hukum yang berakar dalam pandangan hidup, yang dengan sendirinya akan mencerminkan tujuan menegara dan nilai dasar yang tercantum dalam Pembukaan, Batang Tubuh serta Penjelasan UUD 1945. Pandangan Pancasila bertolak dari keyakinan bahwa alam semesta dengan segala isinya, sebagai suatu keseluruhan terjalin secara harmonis, diciptakan oleh Tuhan. Kehadiran manusia di dunia dikodratkan dalam kebersamaan dengan sesamanya, namun tiap manusia memiliki kepribadian yang unik yang membedakan satu dari yang lain.48

Kodrat kepribadian tersebut tidak dapat disangkal tanpa meniadakan kodrat kemanusiaannya.

Tiap manusia dan masyarakat harus mengakui, menerima, memelihara dan melindungi kepribadian tiap manusia warga masyarakat. Namun hal ini tidak berarti bahwa kepentingan tiap manusia individual secara tersendiri harus didahulukan dari masyarakat. Sebab, terbawa oleh kodrat kebersamaan dengan sesamanya itu, tiap manusia individual hanya dapat mewujudkan

45 Soetandyo Wignjosoebroto, “Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum”, Makalah Simposium Nasional Ilmu Hukum “Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia”, PDIH Undip, 10 Februari 1998.

46 Satjipto Rahardjo, “Paradigma Ilmu Hukum Indonesia, Makalah Simposium Nasional Ilmu Hukum

“Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia”, PDIH Undip, 10 Februari 1998.

47 B. Arief Sidharta, “Filsafat Pancasila”, Makalah, tt.

48 Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, tanpa penerbit, Bandung/Jakarta, 2009, hlm. xvi-xvii.

(12)

kemanusiaannya di dalam masyarakat, dalam kebersamaan dengan sesama manusia. Jadi, dalam kehadiran dan kehidupannya, manusia itu tidak terlepas dari ketergantungan pada kebersamaan dengan sesamanya dalam masyarakat. Kebahagiaan dan upaya untuk mewujudkannya tidak terisolasi dari kabahagiaan masyarakat sebagai keseluruhan. Selain itu, manusia tidak terlepas dari ketergantungan pada lingkungan alam dan Tuhan. Kebersamaan tersebut adalah struktur dasar yang hakiki dari keberadaan manusia. Struktur dasar kebersamaan dengan sesamanya dan keterikatan pada alam dan Tuhan ini dirumuskan dalam bentuk sila-sila dari Pancasila.49

Pandangan hidup pancasila dirumuskan dalam kesatuan lima sila yang masing-masing mengungkapkan nilai fundamental dan sekaligus menjadi lima asas operasional dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam penyelenggaraan kegiatan menegara dan pengembanan hukum praktis. Kesatuan lima nilai fundamantal itu bersama-sama dengan berbagai nilai yang dijabarkan atau diderivikasi berdasarkannya, mewujudkan sebuah sistem nilai, dan diejawantahkan ke dalam berbagai asas hukum dan kaidah hukum yang keseluruhannya mewujudkan sebuah sistem hukum (tata hukum). Tiap kaidah hukum mencerminkan atau dijiwai sebuah nilai, dan tata hukum mencerminkan atau bermuatan sistem nilai. Berkaitan dengan sistem nilai ini, dapat dibedakan ke dalam nilai-dasar (base-values) sebagai landasan dan acuan untuk mencapai atau memperjuangkan sesuatu, dan nilai-tujuan (goal-values) sebagai sesuatu yang harus dan layak untuk diperjuangkan atau diwujudkan.

Sebagai sistem nilai, Pancasila merupakan “base-values” dan sekaligus juga merupakan

“goal-values”. Keseluruhan nilai dalam sistem nilai Pancasila dipersatukan oleh asas “Kesatuan dalam Perbedaan” dan “Perbedaan dalam Kesatuan” yang menjiwai struktur dasar keberadaan manusia dalam kebersamaan itu. Asas yang mempersatukan itu dalam lambang negara Republik dirumuskan dengan ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” (Yang beragam itu satu).50 Dalam ungkapan tersebut di atas, terkandung pengakuan serta penghormatan terhadap martabat manusia individual, kekhasan kelompok-kelompok etnis-kedaerahan yang ada dan keyakinan keagamaan dalam kesatuan berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks pembangunan ilmu hukum Indonesia, maka pengembanan hukum teoritikal dapat digunakan dalam konsep yang bergeser, khususnya ilmu hukum yang tidak berhenti dilihat

49 B. Arief Sidharta, “Hukum Progresif dari Sisi Filosofis: Persepsi Epistemologis, Hermeneutis, dan Metafisika”, Seminar Nasional Hukum Progresif, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 20 Juli 2009.

50 Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, hlm. Xvii.

(13)

sebagai sesuatu yang sudah final, melainkan sebagai “dalam proses menjadi” (science in the making).51

Menurut Susanto52, hal tersebut memungkinkan dengan mengkritis kembali paradigma Cartesian-Newtonian sebagai peradaban modern.

Paradigma Cartesian-Newtonian merupakan paradigma fondasi keilmuan seluruh cabang- cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu hukum. Paradigma ini dikritik oleh (salah satunya) Richard Tarnas, yang menyebut bahwa ada banyak persoalan yang muncul dalam fondasi filosofis modern, untuk kepentingan itu dan seyogianya kita memberi respon atau paling tidak ilmuwan hukum harus memiliki kepekaan terhadap perkembangan ini. Kekeliruan paradigma sains menurut Richard Tarnas menyangkut postulat dasar ilmu Barat (space, matter, causality, observation) yang keliru, deterministik Newton kehilangan dasar, partikel sub-atomik terbuka untuk interpretasi spritual, dan prinsip uncertainly dan kerusakan ekologi.

Atas dasar tersebut, tawaran fondasi agar memandang hukum dalam sosoknya yang utuh sehingga ilmu hukum dapat diambil sebagai genuine science.53 Apalagi dalam perbincangan ilmu pengetahuan, ilmu hukum bisa dijelaskan dalam dua kategori yang berbeda. Pertama, sebagai studi normatif yang objeknya adalah hukum yang dikonsepsikan sebagai sistem kumpulan norma-norma positif di dalam kehidupan masyarakat. Kedua, ilmu hukum bisa dilihat sebagai studi keilmuan yang bermaksud mengingkap dan mencari kebenaran (searching and revealing the truth), dimana hukum bermaksud untuk menjelaskan (explanation), mengkritik dan selanjutnya menyusun suatu ketentuan baru, atau membangun teori (theory building).54

Proses tersebut sering disebut Satjipto Rahardjo sebagai state of the art55 suatu ilmu selalu bergeser dari waktu ke waktu. Tidak ada suatu ilmu atau teori pun yang sudah selesai. Dari waktu ke waktu garis depan sains selalu berubah, bergerak dengan dinamis.56

51 Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum dan Hukum Millenium Ketiga, hlm. 1.

52 Anthon F. Susanto, “Menggugat Fondasi Filsafat Ilmu Hukum Indonesia”, dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (Ed.), Butir-butir Pemikiran dalam Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 8.

53 Yusriyadi, Tebaran Pemikiran Kritis Hukum dan Masyarakat, Surya Pena Gemilang Publishing, Malang, 2009, hlm. X.

54 FX. Adji Samekto, Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post-Modernisme, Indept Publishing. Lampung, 2012, hlm. V.

55 Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia”, dalam Ahmad Gunawan (Peny.), Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006b, hlm. 7. Lihat juga, Satjipto Rahardjo, “(Ilmu) Hukum dari Abad ke Abad”, dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (Ed.), Butir- butir Pemikiran dalam Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 29-41.

(14)

Alasan terakhir ini barangkali dapat menjadi jalan masuk untuk melihat pengembanan hukum teoritikal yang lebih terbuka seiring dengan tujuan pembangunan ilmu hukum nasional Indonesia.

KESIMPULAN

Secara prinsip hukum masuk dalam salah satu bidang ilmu. Keberagaman penempatan hukum, tidak terlepas dari banyaknya pendapat dalam merumuskan makna hukum dan ilmu hukum.

Setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia yang merdeka, tampak jelas bahwa pengembanan hukumnya dijalankan di bawah pengaruh paham tentang hukum yang positivistik.

Seyogianya dominasi tersebut harus dikritisi. Pasalnya, proklamasi kemerdekaan dan pembentukan Negara Republik Indonesia yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 termasuk membawa pengaruh dalam aspek hukum. Atas dasar itulah, Ilmu Hukum Indonesia yang bertugas mendeskripsikan dan menjelaskan kehidupan hukum tidak boleh dipisahkan dari UUD 1945.

Dengan demikian mendudukkan pembangunan ilmu hukum Indonesia, pada dasarnya ingin membedakan dari corak berfikir Barat dalam hukum. Ilmu Hukum Indonesia menempatkan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai landasan kefilsafatan yang mendasari dan menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUD itu.

DAFTAR PUSTAKA

A. Gunawan Setiardja, 2007, Filsafat Pancasila, Magister Ilmu Hukum Undip, Semarang.

Anis Ibrahim, 2008, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum dan Hukum Millenium Ketiga, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, Lumajang.

Anthon F. Susanto, 2008, “Menggugat Fondasi Filsafat Ilmu Hukum Indonesia”, dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (Ed.), Butir-butir Pemikiran dalam Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, Refika Aditama, Bandung.

56 Suteki, Desain Hukum di Ruang Sosial, Satjipto Rahardjo Instutite, Semarang, 2013, hlm. 19.

(15)

B. Arief Sidharta, 1999, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, sebuah Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

B. Arief Sidharta (Penerjemah), 2008, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Cetakan Kedua, Refika Aditama, Bandung.

B. Arief Sidharta, 2009, “Hukum Progresif dari Sisi Filosofis: Persepsi Epistemologis, Hermeneutis, dan Metafisika”, Seminar Nasional Hukum Progresif, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 20 Juli.

B. Arief Sidharta, 2012, “Struktur Ilmu Hukum”, dalam Esmi Warassih dkk (Ed.), Refleksi dan Reokonstruksi Ilmu Hukum di Indonesia, Semarang, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

CA. Van Peursen, 20015, Filsafat Ilmu-Ilmu, diterjemahkan Bernard Arief Sidharta, Pusat Kajian Humaniora Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

CFG. Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Penerbit Alumni, Bandung.

FX. Adji Samekto, 2012, Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post-Modernisme, Indept Publishing. Lampung.

Fuad Hasan & Koentjaraningrat, 1997, “Beberapa Asas Metodologi Ilmiah”, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode penelitian masyarakat, edisi ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

HR. Otje Salman & Anton F. Susanto, 2008, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung.

George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2008, Teori Sosiologi Modern, Cetakan Ketiga, diterjemahkan Alimandan, Prenada Kencana, Jakarta.

K. Wibisono Siswomihardjo, 2003, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Penerbit Lyberti, Yogyakarta.

(16)

Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum, Studi Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhammadyah University Press, Surakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan Keempat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 1998, “Paradigma Ilmu Hukum Indonesia, Makalah Simposium Nasional Ilmu Hukum “Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia”, PDIH Undip, 10 Februari.

Sajipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, PT. Citra Adytia Bakti, Bandung.

Satjipto Rahardjo, 2006a, Hukum dalam Jagad Ketertiban, UKI Press. Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2006b, “Hukum Progresif sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia”, dalam Ahmad Gunawan (Peny.), Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Satjipto Rahardjo, 2008, “(Ilmu) Hukum dari Abad ke Abad”, dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (Ed.), Butir-butir Pemikiran dalam Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof. Dr.

B. Arief Sidharta, SH, Refika Aditama, Bandung.

Shidarta, 2013, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Buku 1 Akar Filosofis, Genta Publishing, Yogyakarta.

Soediman Kartohadiprodjo, 2009, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, tanpa penerbit, Bandung/Jakarta.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta.

Soetandyo Wignjosoebroto, 1998, “Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum”, Makalah Simposium Nasional Ilmu Hukum “Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia”, PDIH Undip, 10 Februari.

Suteki, 2012, “Perkembangan Ilmu Hukum dan Implikasi Metodologisnya”, dalam Esmi Warassih, dkk (Ed.), Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum di Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat FH Universitas Diponegoro, Semarang.

Suteki, 2013, Desain Hukum di Ruang Sosial, Satjipto Rahardjo Instutite, Semarang.

(17)

Titik Triwulan Tutik, 2012, “Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum Ditinjau dari Sudut Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24, No. 3.

Yusriyadi, 2009, Tebaran Pemikiran Kritis Hukum dan Masyarakat, Surya Pena Gemilang Publishing, Malang.

Referensi

Dokumen terkait

Bahan baku yang digunakan oleh CV ASIATIK ATMOSFER seluruhnya berasal dari pemasok domestik, tidak ada yang berasal dari kayu impor. Verifier 2.1.2.(c) Packing List

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya kepada kita semua sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan

Pemilik nama yang meninggal itu ternyata adalah ayah dari pemimpin Harimau Nan Salapan, julukan untuk delapan pemimpin gerakan, yang juga bernama Tuanku Mensiangan.. Namanya

Maka dari itu disarankan untuk menerapkan konsep Livable Street yang merupakan konsep menyatakan bahwasanya jalan ideal itu harus aman, nyaman dan memberikan efek sehat,

Persaingan, merupakan suatu proses sosial yang ditandai dengan adanya persaingan antar individu maupun kelompok dalam mencari keuntungan

 Melalui penjelasan guru dan siswa melakukan percobaan, siswamenyebutkan manfaat energi panas dari matahari dan listrik..  TimAmengujianggotatimB,jikatimBtidak bisa

XBRL memungkinkan informasi keuangan akan disajikan dalam cara yang lebih interaktif dan user friendly dengan 'tag' item data individu sehingga mereka dapat diekstraksi

Matius kemudian menafsirkan untuk jemaat kristen perdana bahwa tanda paling nyata dalam diri Yesus yang menunjukkan atau memperkenalkan Allah yang berbelaskasih ialah