5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Film Sebagai Media Komunikasi Visual
Komunikasi visual adalah proses penyampaian informasi dan pesan dengan menggunakan media penggambaran yang hanya dapat dibaca secara visual. Bentuk komunikasi visual bersifat langsung (menggunakan bahasa isyarat) dan dapat menggunakan media perantara yang biasa disebut dengan media komunikasi visual.
Komunikasi Visual adalah istilah kolektif untuk berbagai kegiatan komunikasi yang menggunakan elemen visual dari berbagai media seperti cetak/grafik, luar ruang (papan reklame, marka grafis), internet televisi, dan Film.
Komunikasi visual merupakan kajian teoritis yang mencakup berbagai bidang seperti media, film dan sinematografi, serta seni. Gunakan komunikasi visual sebagai cara untuk melihat dan memahami orang lain. Komunikasi visual itu sendiri dapat dicirikan sebagai gambar atau pesan karena merupakan istilah yang menentukan pengiriman ide dan informasi dengan cara yang dapat terlihat oleh mata manusia (Kenney, 2004).
Komunikasi visual sering disebut sebagai proses komunikasi yang digunakan untuk mengirimkan pesan dari ruang lingkup yang diisi berbagai media sosial seperti handphone, spanduk, jam tangan, logo, buku, televisi, dan baliho. Maka dari itu, penggunaan televisi atau bermain handphone merupakan kegiatan yang berkaitan erat dari proses komunikasi visual. Contoh lain dalam komunikasi visual meliputi diantaranya ada desain grafis, warna, billboard, periklanan, animasi, dan media elektronik yang lain.
Media elektronik adalah salah satu contoh media massa yang memakai perangkat elektroronik modern. Media seperti ini bisa menarik khalayak luas menggunakan sangat hati-hati lantaran tidak mampu untuk melakukan penayangan ulang dari apa yang. Adapun media yang meliputi komunikasi visual dan dikategorikan sebagai media elektronik ialah seperti film, internet televisi, & radio.
6 2.1.1 Definisi Film
Film merupakan salah satu bentuk komunikasi massa elektronik berupa media audiovisual yang dapat merepresentasikan kata, suara, gambar, dan kombinasinya. Film juga digunakan sebagai salah satu bentuk komunikasi modern kedua yang muncul di dunia (Sobur, 2004: 126).
McQuail (2003: 13) dalam bukunya Teori Suatu Komunikasi Massa Suatu Pengantar menjelaskan film berfungsi sebagai cara baru untuk menyebarkan hiburan yang telah menjadi hal biasa di masa lalu dan untuk menyajikan peristiwa, cerita, musik, drama, komedi, dan penawaran teknis lainnya kepada khalayak umum.
Menurut Profesor Effendy, film merupakan media komunikasi yang sangat ampuh tidak hanya untuk hiburan tetapi juga untuk informasi dan pendidikan (Effendy, 2003: 209). Film juga dapat mempengaruhi penonton dengan memberikan efek berupa psikologis dan sosial.
2.2 Macam-Macam Genre Film
Genre merupakan istilah lain untuk model seni yang sesuai dengan standar dan format. Ada banyak macam-macam genre film, tetapi kita sering melihat dan menyaksikan berbentuk non-fiksi dan fiksi. Film non-fiksi yang sering kita kenal adalah film dokumenter, dimana film dengan mengutamakan konsep yang berdasarkan realitas sebenarnya deskripsinya adalah sebagai berikut:
2.2.1 Film Fiksi
Film fiksi adalah karya seni dalam bentuk film, yang dimana naskahnya ditulis oleh pengarang dan kemudian diperankan oleh seorang aktor atau aktris.
Pemilihan aktor film harus sesuai dengan kriteria teks atau skenario yang ditulis oleh pengarang. Sebagian besar film fiksi atau layar lebar bersifat komersial yang sering diputar di bioskop melalui pembelian tiket dan siaran televisi, dan dihiasi dengan sponsor untuk mendukung iklan dan film tersebut.
2.2.2 Film Non Fiksi
Film non fiksi atau yang sering disebut dengan film dokumenter adalah film yang memuat tokoh, pelaku, tempat, dan peristiwa yang benar-benar terjadi di dunia nyata dan tidak berdasarkan tulisan dari imajinasi pengarang.
7 2.3 Karakteristik Film Dokumenter
2.3.1 Definisi Film Dokumenter
Dalam pembuatan film dokumenter memiliki aturan konsep yang nyata atau fakta, cara kerja dalam film dokumenter adalah dapat merekam langsung saat peristiwa tersebut terjadi. Produksi film dokumenter dapat dibuat dalam waktu lama tergantung dengan hasil riset. film dokumenter juga dapat merekontruksi ulang sebuah peristiwa yang pernah terjadi. Hal utama dari film dokumenter adalah penyajian fakta film dokumenter berhubungan dengan tokoh, objek, momen, peristiwa, serta lokasi yang nyata. Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian, namun merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi (Prastista :2017).
Film dokumenter juga merupakan cerminan dari perubahan realita sosial budaya dan sebuah medium artistik yang kuat untuk megekspresikan sudut pandang dan kisah-kisah yang personal (Augustin:2012).
Menurut Hermansyah (2016) menjelaskan bahwa film dokumenter adalah film yang memanfaatkan rekaman audio visual yang bersifat berdasarkan fakta dan kebaruannya. Film dokumenter sering dikaitkan dengan dunia jurnalistik karena tujuan maupun ideologi nya, akan tetapi yang menjadi pembeda antara film dokumenter dengan media audio visual yang lain terletak di pembawaan penceritaan (storytelling) yang disampaikan.
Dari semua penjelasan diatas, penulis menyimpulkan bahwa film dokumenter berfokus pada bagaimana cara menceritakan kisah sebuah film kepada banyak orang. Adapun pengisahan film dokumenter juga diharuskan sesuai dengan keadaan aslinya tanpa mengubah isi keaslian dari ceritanya.
2.3.2 Bentuk Film Dokumenter
Tanzil menjelaskan bahwa film dokumenter adalah sebuah karya yang menyampaikan sesuatu atau peristiwa yang terjadi dalam situasi yang tepat.
Film dokumenter ini terdiri dari tiga bagian (Tanjir, 2010) : a.) Bentuk Dokumenter Expository
Dokumenter expository menampilkan pesannya kepada penonton dengan menggunakan presenter atau disampaikan dalam bentuk narasi, dari
8 dua bentuk tersebut akan menjadi penutur utama sebagai orang ketiga kepada penonton secara langsung (suatu kesadaran bahwa mereka sedang berhadapan langsung dengan penonton). penutur juga lebih sering terpisah dari cerita di dalam film dan cenderung memberikan komentar kepada apa yang telah terjadi daripada menjadi bagian darinya. Maka dari hal ini pesan yang disampaikan sering diutamakan melalui audio suara dibandingkan dengan visual/gambar.
Jika dalam film fiksi gambar yang dihasilkan disusun berdasarkan kontinuitas waktu, tempat yang dibuat berdasarkan aturan tata gambar, maka pada film dokumenter expository shot-shot yang disusun sebagai penunjang argumentasi yang disampaikan lewat narasi dari tokoh karakter.
Dalam film dokumenter tipe ini penggunaan voice over atau narasi yang diterapkan secara baik dan benar akan menghasilkan pesan yang efektif dan informatif. Selain itu penggunaan dari voice over juga dapat menambah kesan penasaran dari keingintahuan penonton.
b.) Bentuk Direct Cinema atau Observational
Tipe dokumenter observatif pada umumnya merekam kejadian secara spontan dan natural tanpa adanya rekayasa. Pada tipe ini pembuat film sering menekankan kegiatan merekam gambar yang bersifat informal, tanpa tata dirancang terlebih dahulu seperti adanya pencahayaan khusus yang dirancang sebelumnya. Kelebihan dari hasil dokumenter direct cinema takni kesabaran dan kekreatifan senias film untuk mengambil peristiwa atau kejadian yang signifikan di depan kamera (Sanutra, 2018). Para sineas film yang mengambil tipe direct cinema atau observational ini meyakini bahwa dengan melakukan pendekatan yang baik dengan subjek, maka sineas film beserta dengan tim produksinya juga akan bisa diterima sebagai bagian dari kehidupan subjeknya.
Dari pendekatan tersebut menunjukkan bahwa proses riset yang dilakukan terhadap subjek bisa memakan waktu yang cukup lama dan sangat intens. Pada intinya sineas film harus melakukan pendekatan sedetail dan seakrab mungkin demi membangun rasa kepercayaan dengan subjek yang akan menjadi tokoh di dalam film. Pembuat film cenderung tidak ingin
9 subjeknya berakting didepan kamera dan melakukan hal-hal yang tidak biasa mereka lakukan.
c.) Bentuk Cinema Verite
Menurut Tanzil di dalam bukunya yang berjudul “Pemula Dalam Film Dokumenter Gampang-Gampang Susah” menjelaskan bahwa tipe cinema verite memiliki tipe yang berbeda dengan direct cinema, yang dimana lebih menunggu krisis yang terjadi. Artinya para sineas film yang mengambil tipe cinema verite lebih sering menggunakan kamera sebagai alat pemicu untuk memunculkan sebuah permasalahan, dan cenderung untuk melakukan aksi provokatif untuk menarik dan memancing subjek yang akan menjadi tokoh di dalam film sehingga dapat memunculkan kejadian yang tak disangka-sangka.
Pada dokumenter tipe ini subjek secara sadar merasa aktivitasnya menjadi terganggu karena adanya kamera dan alat-alat lain. Maka dari itu daripada membuat objek lengah terhadap kehadiran sineas film, sehingga kamera dijadikan alat provokasi untuk memunculkan ide ataupun krisis yang lebih spontan tanpa merekayasa dari sudut pandang subjek.
2.3.3 Bentuk Film Dokumenter yang Digunakan
Pada pembuatan film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme tipe yang digunakan adalah dokumenter expository. Perkembangan gaya expository sering digunakan dalam film dokumenter. Pada gaya expository shot-shot yang disusun sebagai penunjang argumentasi yang disampaikan lewat narasi dari tokoh karakter. Produser dan sutradara memilih pendekatan expository agar dapat memudahkan kru film saat proses produksi berlangsung. Dalam film dokumenter ini kru film akan menggabungkan voice over atau narasi dari narasumber dan gambar visual sebagai pendukung untuk memperkuat jika penyampaian informasi dari aspek visual masih kurang mampu memberikan informasi secara keseluruhan.
2.4 Macam-macam Sifat Pesan Komunikasi Dalam Film Dokumenter
Film dipandang sebagai media hiburan daripada media persuasi. Namun yang jelas film ini sebenarnya punya kekuatan bujukan atau sangat persuasif. Kritik publik dan kehadiran lembaga sensor juga menunjukkan bahwa film ini tentu sangat berpengaruh.
10 Pada umumnya, pesan yang disampaikan lewat sebuah film dapat memberikan beberapa dampak yang signifikan. Penyampaian pesan dikatakan efektif jika pesan dari komunikator kepada komunikan dapat tersampaikan dengan tepat sasaran. Maka dari itu, pesan yang dikirim dari komunikator biasanya memiliki beberapa kondisi sebagai berikut:
a. Jelas
Penyampaian pesan yang disampaikan harus jelas dan serealistis mungkin saat dimaknai. Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran dari seorang komunikan.
b. Umum
Pesan yang disampaikan tidak hanya mudah dipahami oleh individu atau kelompok tertentu, tetapi juga bagi khalayak.
c. Bahasa Yang Jelas
Hindari kata-kata yang sulit dimengerti para komunikan. Utamakan menggunakan bahasa yang jelas dan sesuai dengan situasi bahasa lokal setempat dan kondisikan posisi pesan itu bisa disampaikan.
Sebuah pesan memiliki tiga komponen, termasuk makna dan simbol.
Dijelaskan bahwa, simbol yang terpenting adalah kata (bahasa), gagasan, bahasa ucapan (wawancara, diskusi, dll) yang berarti benda (barang). Selain itu, Pesan dapat disampaikan dengan komunikasi nonverbal, baik melalui tindakan atau bahasa isyarat (mengangguk, tersenyum, mengacungkan jempol, dll). Berbagai format dari pesan itu sendiri sebagai berikut:
a. Informatif
Pesan dapat memberikan beberapa informasi terbaru yang belum diketahui oleh komunikan dan dapat membimbing persepsi komunikan untuk menarik kesimpulannya.
b. Persuasif
Pesan cenderung berisi godaan dan keyakinan yang mempengaruhi kesadaran manusia, biasanya seperti perubahan perilaku dan sikap.
c. Koersif
Pesannya sering melibatkan pengiriman pesan wajib atau bersifat memaksa, yang cenderung seperti perintah, instruksi, dsb.
11 Pesan adalah bagian dari elemen komunikasi. Maka dari itu, film berperan sebagai media dalam proses penyampaian pesan untuk mempengaruhi penonton, yang tidak hanya dapat memperluas pengetahuan, tetapi juga mempengaruhi sikap, cara berpikir, dan pembentukan perilaku. Film juga dapat menjadi media komunikasi yang memadukan upaya menyampaikan pesan melalui audio visual dengan penggunaan kamera. Semua elemen tersebut didasari dari sebuah cerita yang memuat pesan dari apa yang ingin disampaikan oleh sutradara kepada khalayak atau target audiense.
2.5 Aspek Sinematografi Dalam Film Dokumenter
Film biasanya digunakan untuk merekam peristiwa tertentu dan juga dapat menyampaikan pesan dalam format audio dan visual. Penciptaan karya film sendiri mempunyai banyak aspek untuk mendukung terjadinya proses komunikasi. Film memiliki bidang keilmuan untuk pengambilan gambar yaitu sinematografi atau (cinematography). Dalam buku Prastita yang berjudul “Memahami Film” (Pratista, Memahami Film, 2008) cinematography terbentuk dari dua suku kata yaitu cinema dan graphy. Film berasal dari kata Yunani yaitu Kinema (artinya adalah gerakan) dan Graphos (artinya adalah melukis). Oleh karena itu, sinematografi dapat diartikan sebagai penggambaran sebuah film yang berarti adalah gambar bergerak.
Sinematografer atau Cameramen (seorang pengambil gambar pada film) yang bertugas merekam setiap adegan dan menyesuaikan dan mengontrol semua adegan yang direkam. (Pratista, Memahami Film, 2008). Dalam buku yang ini juga dijelaskan bahwa elemen sinematografi sebuah film secara umum dibagi menjadi tiga diantaranya: kamera, pembingkaian (framming), dan durasi pada gambar.
Dalam hal kamera, ada beberapa teknik yang dibutukan melalui kamera adalah pengoperasian lensa, warna, kecepatan gambar (frame rate), dll. Dalam framming ialah kesesuaian antara kamera dan objek yang difoto termasuk frame atau batas bingkai, jarak, pergerakan kamera, tinggi, ukuran gambar, dll. Adapun elemen penting dari framming ialah pergerakan kamera, yang hasilnya sangat berdampak pada susana dan situasi dalam scene film.
Pergerakan kamera atau camera movement secara umum dipakai untuk melacak pergerakan dari subjek maupun objek dalam film. Camera movement
12 memiliki efek diantaranya adalah jarak, ketinggian, dan sudut, yang terus berubah.
Representasi dari pemandangan juga ditentukan dari camera movement. (Pratista, Pemahaman Film Edisi 2, 2017). Pergerakan dinamis ialah gerakan yang bergerak secara cepat dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan. Gerakan dinamis atau gaya dynamic shot ini diterapkan yang bertujuan untuk memvisualisasikan dan mengekspresikan mood setiap adegan pada scene film.
2.5.1 Director of Photography (DOP)
DOP dapat diartikan sebagai seorang sinematografer (tampilan sinematik) dan bertanggung jawab atas pengawasan keseluruhan juru kamera.
DOP memiliki pengetahuan tentang teknik pencahayaan, lensa, kamera, emulsi film, dan ilusi digital untuk menciptakan kesan, suasana hati, dan gaya visual yang tepat pada setiap shot-shot yang membangkitkan emosi yang diinginkan sutradara.
Budi Santoso (2010: 56) menjelaskan dalam buku “Bekerja sebagai Fotografer” bahwa DOP bertugas dalam pembuatan karya sinematografi saat produksi film. Hampir sama seperti director atau sutradara ataupun art director, disini DOP menangani masalah teknis pada pengambilan gambar, sudut pengambilan gambar, sound dan pencahayaan.
Sudut pandang Direct of Photography saat pengambilan gambar tidak sembarangan, itu tidak semena-mena hanya keinginan DOP, tetapi DOP harus mengerti bagaimana cara untuk mengambil gambar yang sesuai dengan konsep yang diinginkan sutradara.
2.6 Teknik Dynamic Shot Film Dokumenter
Pembuatan film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme menerapkan penggunaan pergerakan kamera dengan teknik dynamic shot. Kunci utama dari teknik dynamic shot pada film ini adalah untuk meningkatkan penyampaian pesan pada film ini yang divisualisasi dengan membangun look anda mood. Hal ini akan dibuat oleh seorang DOP sehingga memberikan kesan pada film ini dapat menciptakan realitas yang benar-benar terjadi pada cerita aslinya.
Untuk mendukung terciptanya teknik dynamic shot sebagai konsep sinematografi, sehingga pengkaryaan film ini menggunakan berbagai teknik
13 kamera. Teknik kamera yang digunakan dalam pembuatan karya ini antara lain handheld, follow, zooming, panning, tracking, still, framing, long take dan dikombinasikan dengan posisi pengambilan angle, shot kamera lainnya. Teknik dinamis pada film ini berfungsi sebagai variasi agar film terlihat lebih menarik dan tidak membosankan, serta tidak terlihat monoton. Camera movement yang menggunakan teknik ini diwajibkan untuk memanfaatkan situasi agar berhasil menciptakan suasana dramatis. Parameter pergerakan kamera dikatakan berhasil jika dipadukan dengan teknik pengambilan gambar yang lain (Irkham Muzaki, 2020).
2.6.1 Pergerakan Kamera
Pergerakan kamera biasanya digunakan untuk mengikuti pergerakan karakter dan objek. Pergerakan kamera juga sering digunakan untuk menggambarkan lokasi dan situasi panorama dan suasana (Pratista, 2017:152).
Menurut Blain Brown, camera movement memiliki banyak motif, dan tidak hanya berfungsi untuk menambah dramatis film, tetapi camera movement juga sebagai representasi kegembiraan, energi, kesedihan, ancaman, dan kesan emosional. (Blain Brown, 2012: 211).
Berikut dibawah ini adalah berbagai teknik digunakan untuk menciptakan teknik dinamis atau dynamic shot sebagai berikut:
1. Handheld
Merupakan jenis pengambilan gambar menggunakan tangan atau kesimbangan tubuh dari kameramen. Pergerakan kamera ini digunakan secara flexible tanpa menggunakan bantuan tripod.
Pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme pergerakan kamera handheld dapat fleksible. Disini DOP mengunakan handheld untuk menambah mood serta emosi penonton untuk merasakan realitas dalam situasi dan kondisi yang diceritakan di dalam film. Dalam film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme sebagian besar scene menggunakan handheld kecuali saat adegan wawancara. Hal ini berujuannya untuk menciptakan kesan yang menegangkan dan sesuai dengan keadaan adegan yang terjadi. Oleh karena itu, teknik handheld cocok untuk digunakan dalam film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme.
14 2. Follow Shot
Menurut Zoebazary Follow shot adalah pergerakan kamera yang berfungsi untuk mengikuti pergerakan seorang karakter serta objek (Zoebazary, 2010:114).
Pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme movement follow digunakan dop untuk menunjukkan adegan objek yang bergerak, sehingga penonton seakan-akan merasakan suasana yang sebenarnya terjadi di dalam film. Pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme teknik follow ini digunakan pada scene aktivitas bombing dan polusi visual, seperti menggambar street art dan polusi visal di ruang publik (sedot wc, poster dll), DOP melihat follow shot sangat efektif karena bisa memperlihatkan semua aktivitas bombing dan polusi visual yang ada di ruang publik. Penggunaan movement follow diharapkan untuk membuat penonton dapat melihat berdasarkan dua perspektif yang berbeda. Maka dari itu, teknik follow cocok digunakan pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme.
3. Zoom
Merupakan pergerakan kamera yang fokuskan pada kerja lensa kamera. Lensa yang bergerak menciptakan gerakan yang dapat membuat suatu objek atau karakter mendekat dan menjauhkan. Gerakan ini bisa digunakan untuk mengejutkan penonton.
Dalam pergerakan kamera zoom digunakan untuk memperlihatkan gambar graffiti yang dibuat oleh pelaku street art saat melakukan aktivitas bombing.
4. Pan (Left/Right) dan Tilt (Up/Down)
Merupakan pergerakan kamera secara horizontal yang bergerak dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Sedangkan Tilt adalah pergerakan secara vertikal dari atas ke bawah atau sebaliknya. Keduanya bergerak melalui satu poros tetap, yaitu sumbu horizontal dan vertikal.
Pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme pergerakan kamera panning dan tilting untuk memperlihatkan aktivitas tertentu dari pemain film kepada mata penonton. Dalam film dokumenter Coretan Seni
15 Dibalik Vandalisme teknik panning dan tilting ini digunakan pada adegan yang memperlihatkan area tertentu seperti seperti lalu lintas kota, suasana jalan, suasana toko komunitas Malang Graffiti Movement, suasana kampus yang bertujuan agar penonton dapat melihat dengan jelas pemain film. Oleh karena itu, teknik panning dan tilting sangat berguna untuk pengkaryaan pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme.
5. Still
Still merupakan camera movement yang diam atau tidak bergerak tetap dan tetap stay di posisinya. Dalam film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme, pergerakan kamera still membantu menampilkan objek dalam frame pada saat wawancara. Movement still dalam pengkaryaan film ini akan banyak digunakan dalam adegan wawancara dengan narasumber diantaranya adalah wawancara dengan Jidoet dan Sidnatwo, Deni Junaedi, Aji Prasetyo. Hal ini dilakukan agar pesan dan tingkat emosi dari masing-masing narasumber semakin jelas. Adapun adegan lain yang menggunakan still adalah suasana kota Malang dan kegiatan penggiat street art untuk memperjelas makna dan pesan yang disampaikan. Apa yang dilakukan DOP, Maksimalkan 2 kamera, yakni kamera 1 mengambil gambar still dan kamera 2 mengambil gambar dari sisi yang berbeda agar gambar tidak terlihat mononton.
2.6.2 Teknik Long Take
Menurut Prastita, long take adalah teknik pengambilan gambar yang secara teknis membuat sebuah shot yang berdurasi lebih dari durasi shot rata- rata 9 sampai 10 detik (Prastita, 2008). Long take bertujuan untuk menekankan adegan-adegan penting yaitu seperti adegan dialog dan momen-momen penting dari suatu adegan kunci dalam plot cerita film yang berguna dialog dan pesan film tetap mengalir tanpa terputus.
Pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme teknik long take digunakan dibeberapa adegan, karena teknik ini memiliki shot yang dapat menjelaskan adegan tanpa ada cut serta pecahan shot. Pada teknik long take di film ini dikombinasikan dengan teknik handheld yang bertujuan menciptakan dan membangun realitas film dokumenter untuk mendukung konsep dari
16 sutradara dalam menciptakan dokumenter expository. Teknik ini menyajikan visual seolah-olah penonton terhubung langsung ke dalam cerita yang dirasakan dari subjek atau tokoh di lapangan.
2.7 Aspek Kamera
Unsur sinematografi memegang peranan yang sangat penting dalam produksi sebuah film. Sinematografi meliputi perlakuan DOP terhadap kamera, kontrol dan regulasi sinematografi yang berperan aktif dalam membantu sturktur naratif film.
Dalam pembuatan film ini, sebagai penulis DOP akan mengacu pada unsur-unsur sinematografi (Pratista, 2017). Berikut unsur-unsur sinematografi yang dijabarkan di bawah ini:
1. Jenis kamera
Jenis kamera dalam produksi film dibagi menjadi dua diantaranya:
kamera video dan kamera film. Di bioskop, sineas membuat film dengan menggunakan kedua jenis kamera ini. Sedangkan kamera video lebih banyak digunakan dalam produksi film dokumenter maupun film independen.
2. Warna
Dalam produksi film warna dapat dapat dihasilkan dari tiga elemen yang diantaranya adalah objek, cahaya, dan observer (mata atau alat ukur kita).
3. Efek Lensa
Lensa kamera dapat menghasilkan efek ukuran, kedalaman, dan dimensi dari suatu ruang ataupun objek. Namun kelebihan lensa dapat diubah-ubah sesuai dengan kebutuhannya kedalam ruang atau objek.
4. Framing
Framing adalah hubungan antara kamera dan objek yang direkam.
Seperti batasan area foto, jarak, ketinggian, pergerakan kamera, dll.
Tujuannya adalah untuk memandu dan membentuk pandangan audiens terhadap gambar yang disajikan.
2.7.1 Ukuran Gambar (Type of Shot)
Untuk menerapkan teknik dinamis pada film ini, DOP perlu menggunakan elemen pendukung lain dari teknik dynamic shot seperti elemen ukuran gambar atau type of shot. M. Bayu Widagdo dan Winastwan Gora
17 (2007:53) dalam buku Bikin Film Indie itu Mudah” memaparkan bahwa ukuran gambar dapat dibagi menjadi beberapa bagian ukuran yang standar tergantung pada jarak objek, yaitu:
a. MCU (Medium Close UP)
MCU ialah pengambilan gambar dengan menempatkan subjek lebih jauh dari close up yang diambil dari ujung kepala hingga dada, sehingga lebih dekat dari medium shot.
Pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme medium close up menjadi shot yang digunakan dop pada saat adegan wawancara narasumber Jidoet, Sidnatwo, Pak Deni dan Pak Aji. Adapun perbedaannya dengan medium shot terletak pada bidikannya lebih dekat ke subjek.
b. Medium Shot (MS)
MS ialah pengambilan gambar yang mangambil gambar subjek hanya setengah badan saja. Type of shot MS sering digunakan dalam kombinasi dengan teknik follow shot yang mengambil gambar subjek yang bergerak.
Pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme type of shot ms adalah shot yang sering digunakan dop khususnya pada adegan aktivitas pelaku street art dan wawancara, ms bertujuan untuk memperjelas objek dan menambah suasana dramatis dalam film.
c. FS (Full Shot)
FS ialah pengambilan gambar yang menempatkan seluruh gambar subjek yang diambil dari kepala hingga kaki. Type of shot ini secara teknis memberikan sedikit ruang di kepala atas untuk kebutuhan head room.
Pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme full shot digunakan pengkarya pada scene wawancara Jidoet dan Sidnatwo dan scene gambar graffiti oleh komunitas Malang Graffiti Movement dimana pengambilan kameranya diambil keseluruhan dari objek dari kepala sampai ujung kaki objek.
18 d. MLS (Medium Long Shot) (MLS)
MLS adalah type of shot dimana ruang pengambilan gambarnya sedikit lebih sempit dari LS. Frame kamera dengan mengikut sertakan setting sebagai pendukung suasana diperlukan karena ada kesinambungan cerita dan aksi tokoh dengan setting tersebut.
Pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme mls menjadi shot yang cukup sering digunakan. type of shot ini bertujuan untuk menunjukkan kesinambungan dari aksi yang dilakukan oleh objek denga setting latar, seperti scene aktivitas bombing dan situasi ruang publik.
e. LS (Long Shot)
LS adalah type of shot dimana ukuran framming-nya terletak di antara MLS dan ELS. Sehingga jangkauan pengambilan gambar lebih luas dari MLS dan jangkauan lebih sempit dari dari ELS. LS digunakan untuk memperlihatkan keadaan sekitar objek.
Pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme long shot sering digunakan dan kebanyakan adegan film ini menggunakan long shot.
Type of shot ini dimaksudkan untuk menunjukkan keadaan sekitar objek dan latar belakangnya agar realitas pada film ini terlihat nyata, dan jelas di mata penonton, adapun adegan seperti saat scene aktivitas bombing dan situasi ruang publik.
f. ELS (Extreme Long Shot)
ELS adalah pengambilan gambar yang menempatkan objek menjadi terlihat sangat kecil yang hampir membuat orang dalam frame tak terlihat dan tampak jauh. Dalam framming ini, setting ruangan ikut berperan besar dimana objek gambar terdiri dari tokoh dan interaksi karakter dengan ruangan mereka, type of shot ini sekaligus menekankan atau mendukung delusinasi ruang naratif dan fenomena yang terjadi kepada penonton.
Pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme extreme long shot digunakan pada saat pengambilan establish shot untuk memperlihatkan Tugu Kota Malang.
19 g. Two Shot
Two shot adalah pengambilan gambar dengan menempatkan dua orang dalam 1 frame. Type of shot ini digunakan untuk menunjukkan dan menekankan kecocokan.
Pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme two shot digunakan dop pada adegan wawancara narasumber utama yaitu Jidoet dan Sidnatwo, sehingga dalam satu frame pengambilan kameranya memasukkan dua objek sekaligus.
2.7.2 Sudut Pengambilan Gambar (Camera Angle)
Selain menerapkan type of shot pada film ini dop juga membuat sudut pengambilan gambar (camera angle) yang berbeda sebagai keperluan untuk meningkatkan visual gambar pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme. Janus Andi Purba (2013, 25) memaparkan bahwa camera angle adalah penempatan atau posisi kamera pada sudut tertentu. Dalam menentukan ukuran sudutnya tergantung dan menyesuaikan karakter yang diinginkan dalam gambar. Camera angle yang menarik berpeluang menghasilakan suatu shot yang menarik dari perspektif yang unik dan menciptakan gambar tertentu dari gambar yang ditampikan. Adapun sudut kamera yang digunakan dalam film ini adalah Eye Level, High Angle, dan Low Angle.
Dibawah ini merupakan penjelasan dari masing-masing camera angle:
1. Eye Level
Eye level adalah camera angle yang menempatkan kamera sejajar dengan objek. Posisi objek gambar tidak mempunyai kesan spesifik karena sudut pandang objek sejajar dengan ketinggian objek lain. adapun efek yang diciptakan kepada penonton terasa seakan-akan berada di lokasi yang sama dengan pemain atau karakter. Camera angle eye level sering digunakan dalam setiap adegan film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme. Hal ini untuk memberi kesan bahwa sudut ditempatkan sejajar dengan objek dan cocok dengan apa yang ingin disampaikan oleh objek.
20 2. High Angle
Adalah camera angle yang terlihat kecil karena mengambil gambar suatu objek dilihat dari atas. Posisi objek gambar tidak terlalu tinggi.
Adapun efek yang diciptakan untuk penonton terasa lebih dominan dibandingkan denga subjek di layar, sehingga subjek akan terlihat lemah, kecil, dan tak berdaya.
Dalam pengkaryaan film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme penerapan high angle tidak jauh berbeda dengan bird eye view. Dimana camera angle ini objeknya lebih rendah dari bird eye view.
Dalam film ini high angle digunakan untuk menunjukkan aktivitas penggiat street art menggambar graffiti dan mural, tujuannya untuk menunjukkan situasi dan kondisi di lingkungan komunitas Malang Graffiti.
3. Low Angle
Adalah camera angle yang menempatkan dari bagian bawah objek.
Adapun efek yang dihasilkan adalah kebalikan dari high angle. Pada sudut pandang yang rendah, subjek terlihat besar, kuat dan dominan. Dalam film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme camera angle low angle digunakan dalam scene pada saat Jidoet melakukan bombing dan membuat graffiti bersama Sidnatwo untuk memberikan kesan realitas aktivitas street art (bombing) di sekitaran kota Malang.
2.7.3 Pencahayaan
Darwanto Sastro Subroto (1994:384) menjelaskan dalam buku Produksi Acara Televisi bahwa “Penataan cahaya sangat membantu menciptakan pandangan khayalan tingkat tiga dimensi dalam arti mampu memperjelas adanya jarak, ruang, kepadatan dan unsur-unsur bentuk dari objeknya dan hal ini dapat membangun suasana mood atau style, demikian pula dapat memberikan dorongan atau menirukan suasana tertentu, misalnya memberikan kesan-kesan tertentu”.
Pada pengkaryaan film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme sebagian besar pencahayaan yang digunakan adalah konsep low-key dan high- key. Tujuan dari konsep pencahayaan ini adalah untuk mendapatkan cahaya
21 alami yakni memaksimalkan cahaya matahari. Pada saat shooting malam hari dan saat pengambilan gambar di dalam ruangan menggunakan pencahayaan buatan. Kemudian saat set pada siang hari menggunakan cahaya alami untuk memberikan kesan natural.
2.7.4 Komposisi
Komposisi merupakan bagian terpenting karena merupakan upaya untuk menempatkan semua elemen visual dalam bingkai. Komposisi juga dapat membuat gambar dalam film terlihat lebih menarik jika diciptakan dengan baik.
Komposisi yang baik adalah cara menata elemen-elemen yang berbeda dari sebuah gambar sehingga membentuk satu kesatuan yang serasi (harmonis) (Mascelli, 2010:383). Rule of thirds adalah komposisi yang menggunakan garis yang membagi area gambar menjadi tiga bagian yang sama secara vertikal dan horizontal. Garis imajiner yang membagi frame mempunyai empat titik persimpangan, dan ketika posisi objek utama ditempatkan dekat dengan salah satu titik ini, komposisi dinamis berhasil dicapai (Thompson, 2009:31).
Pada film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme aturan pada rule of thirds diterapkan dibeberapa adegan. Memanfaatkan garis-garis kesan dan gambaran emosional pada penonton. Scene kegiatan seniman street art yaitu kegiatan pelaku street art saat melakukan bombing dan event anak-anak komunitas Malang Graffiti Movement memakai komposisi dari Rule of Thirds.
Gambar 2.1 Rule of Thirds
(Sumber: https://www.capturelandscapes.com)
22 2.7.5 Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan film dokumenter Coretan Seni Dibalik vandalisme diantaranya adalah Kamera, Lensa, Sound, Lighting dan Tripod. Berikut deskripsinya adalah sebagai berikut:
1. Kamera
Kamera merupakan salah satu alat dalam produksi yang memegang peranan penting dalam unsur sinematografi pengkaryaan film. Kamera yang digunakan oleh DOP dalam film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme adalah kamera Sony A7 Mark II, pengkarya memilih kamera ini karena dapat menghasikan tampilan video Full HD dalam resolusi tinggi.
Kamera ini mampu menangkap kualitas tinggi, mampu menangkap cahaya rendah yang efektiv. Kamera pendukung yang kami gunakan adalah kamera DSLR Canon 70d sebagai backup dan kamera yang mengambil gambar detail saat proses wawancara.
2. Lensa
Lensa merupakan salah satu alat yang berperan penting dalam unsur sinematografi untuk menghasilkan gambar. Lensa yang digunakan oleh DOP dalam film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme lebih banyak menggunakan lensa standart lensa kit Sony 28-70mm F/3.5, sebagai backup-nya DOP menggunakan lensa Fix Sony 24mm dengan F/1.8. DOP melihat lensa ini sesuai dan cocok dengan kondisi dan situasi pada lokasi ruang publik yang sifatnya fleksibel dengan teknik zooming untuk menghasilkan gambar yang baik.
3. Sound
Sound merupakan alat yang berperan penting untuk menghasilkan suara dalam permbuatan film. Sound yang dipakai oleh DOP dalam film dokumenter ini adalah Clip-on Wireless, alat sound ini DOP pilih karena bisa meredam suara noise dan pemakaian alat nya yang sederhana dserta memiliki ukuran kecil. Penggunaan Clip-on Wireless ini pengkarya gunakan pada adegan wawancara narasumber yang membuat suara yang dihasilkan stabil, jernih dan mampu meredam suara noise.
23 4. Lighting
Lighting menjadi salah satu alat yang berperan penting dalam menghasilkan cahaya dalam pembuatan film. Lighting yang digunakan oleh pengkarya dalam film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme yaitu Godox dan LED, dipilih karena lighting ini bisa memberikan kecerahan tinggi dan akurasi warna yang seimbang. Penggunaan Godox dan LED ini digunakan pada scene wawancara narasumber dan detail ruangan yang minim cahaya agar cahaya dalam ruangan yang dihasilkan terlihat jelas di mata audiens.
5. Tripod
Tripod merupakan alat yang berfungsi sebagai penyangga kamera untuk tetap stabil. Dalam film dokumenter Coretan Seni Dibalik Vandalisme DOP menggunakan tripod standard pembuatan film, tripod film DOP dipilih karena dapat membantu mengambil gambar still dan mempermudah dop untuk membuat gambar yang bagus.
2.8 REVIEW KARYA SERUPA 2.8.1 Film Malang Graphium
Gambar 2.2 Adegan Film Malang Graphium
Malang Graphium adalah film dokumenter berdurasi 5 menit 28 detik yang di sutradari oleh Andhika Prayogo. Filim rilis pada tahun 2014 yang ditayangkan oleh Rancang Makaryo. Film ini mengangkat isu tentang salah satu kesenian jalanan atau biasa disebut street art yang mengambil sebagian kecil vandalis yang berasal dari kota Malang. Film ini menceritakan tiga orang
24 Bomber bernama Myst, Black (Joyo Klan Jok) dan Ari Art. Semuanya tergabung dalam kelompok graffiti di Malang dengan menggunakan nama bomber sebagai nama samaran. Narasumber lain pada film yaitu Myst juga mengatakan bahwa di kota Malang kelompok anak-anak vandal sudah mulai agak berkurang, hal ini terjadi dikarenakan sudah dibuatkan komunitas graffiti yang bernama Malang Graffiti Movement (MGM) yang dibuat sabagai wadah untuk kelompok-kelompok gambar di kota Malang.
Adegan dalam film ini mulanya diawali dengan scene dimana seorang bomber dengan sebutan Ari Art melakukan aksi vandalisme di kota Malang saat malam hari lengkap dengan cat semprotnya yang sudah mulai menggambar-gambari lingkungan pusat kota Malang seperti tembok-tembok, bangunan ruko, trotoar hingga kendaraan truck.
Scene opening di film ini cenderung mempunyai pergerakan still dan handheld karena menggunakan teknik pergerakan kamera panning dan follow shot dengan teknik dynamic shot, namun dengan adanya pergerakan dan blocking objek membuat visual menjadi lebih bergerak dinamis. Dengan pergerakan kamera dan blocking dapat menjadikan alur suasana film menjadi dramatis lewat pengaturan subjek yang masuk ke dalam frame untuk menyampaikan informasi.
DOP sebagai penanggung jawab sinematografi nantinya akan menggunakan movement kamera di atas sebagai acuan yang digunakan untuk menampilkan scene opening yaitu memperlihatkan anak-anak vandal (bomber) dijalanan kota Malang dan diiringi dengan persiapan sebelum beraksi melakukan vandal. Dalam hal ini, teknik dinamis di film ini bertujuan menyampaikan informasi geofrafis sebagai bentuk representasi kota Malang dan menambah kesan dramatis pada film ini.
Di pertengahan film ini juga menampilkan para bomber yang sedang melakukan aksi vandal tanpa merusak monumen-monemun dan ikon kota.
Artinya di dalam film ini menjelaskan bahwa anak-anak vandal di kota Malang tersebut memang sudah memiliki acuan untuk tidak merusak pemandangan kota, pengerusakan itu sendiri sudah diatur dalam undang-undang sebagai pengerusakan yang membuat pemandangan tidak nyaman. Dalam hal ini DOP
25 akan menjadikan rujukan adegan shot-shot dalam film ini untuk nantinya menggambarkan kondisi monumen dan ikon khas yang berada di Kota Malang.
Gambar 2.3 Adegan Film Malang Graphium
Pada adegan scene closing film ini memperlihatkan anak-anak vandal yang tidak memperdulikan dihapus atau tidaknya grafiti mereka setelah berhasil meguasai tembok-tembok di Malang. Mereka tidak hanya sekedar mencoret. anak-anak vandal mengekspresikan karyanya bermaksud untuk menolak, melawan, dan menjawab tentang apa yang mereka dan mungkin kita resahkan. Disini DOP melihat shot-shot ini dapat dijadikan rujukan karena dapat memberikan informasi yang akurat dari segi kondisi masalah anak-anak vandal tersebut. Oleh karena itu DOP mengambil referensi film Malang Graphium sebagai rujukan dalam pembuatan film ini, karena sangat mendukung penggunaan teknik dynamic shot.
2.8.2 Film Panas Kuping Akibat Mural Kritis
Gambar 2.4 Film Panas Kuping Akbibat Mural Kritis
26 Panas Kuping Akibat Mural Kritis merupakan film dokumenter TV yang buat oleh Detik.Com yang mengangkat isu penghapusan mural-mural krititis.
Dengan durasi 38 menit, film yang rilis pada tanggal 5 September 2021 ini mengisahkan tentang kehebohan antara pelaku street art dan aparat hukum, dimana pelaku street art menyuarakan opini mereka melalui mural dengan pesan yang bernada kritik, sedangkan pihak aparat berusaha menertibkan mural-mural tersebut dengan cara dihapus dan memburu pelaku street art.
Pada babak awal film ini bercerita mengenai sebuah seniman jalanan senior yaitu Edi Bonetski mengomentari yang tidak setuju dengan cara aparat untuk menghapus mural yang dianggap sebagai sampah visual yang mengungkapkan bahwa “Jangan dipaksa-paksa kalo warga untuk tanda tangan peraturan K3, kalo mau menerapkan itu seperti yang jualan di trotoar diterapin juga”.d
Pada babak kedua diceritakan mengenai argumen yang menentang dari sejarawan yaitu JJ Rizal dengan sangat menyayangkan tindakan yang dilakukan oleh aparat hukum dengan menghapus mural-mural di bulan Agustus, karena sejatinya mural-mural pada zaman dulu pernah menjadi alat bangsa Indonesia sebagai semangat untuk merdeka, sebagai alat komunikasi saat mengumumkan kemenangan atas Belanda. Pada babak ini Kepala Satpol PP Kota Bandung yaitu Resdian Setiadi berpendapat kebetulan mural-mural yang dihapus ini ditempatkan bukan pada tempatnya, dimana dalam Perda no 9 2019 terkait dengan tertib lingkungan di dalam pasal 19 mengotori atau menempeli iklan di tembok, halte di dinding itu dilarang dan sanksi denda maksimal 1 juta kurungan maksimal 3 bulan.
Di babak ketiga pada film ini menggambarkan klimaks dari film yaitu bagaimana Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memberikan ruang-ruang dan fasilitas untuk seniman mural dengan catatan memiliki batas-batas seperti memenuhi kearifan lokal, etika yang disepakati tidak menjadi masalah. Babak ini menjadi babak terakhir sekaligus klimak dari film Panas Kuping Akibat Mural Kritis.
27 Berdasarkan referensi film Panas Kuping Akibat Mural Kritis pengkarya mengambil referensi bagaimana seorang sutradara menyusun alur cerita dari setiap babak menjadi sebuah film dengan menggabungkan berbagai hasil wawancara dari tiap narasumber sehingga alurnya mudah dipahami oleh penonton.