1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Gonadotropin Releasing Hormon agonis (GnRH agonis) adalah deka peptida
yang disekresikan oleh neuron Hipotalamus secara pulsatil. Beberapa
neurotransmitter lainnya pada hipothalamus juga ikut mempengaruhi sekresinya.
GnRH juga mengatur sekresi dari hormon FSH dan LH dari sel-sel Gonadotropin
kelenjar Hipofise anterior. Aksi dari Hipofise sendiri bergantung pada keberadaan
dan frekuensi pulsatil GnRH.1
Beberapa indikasi pemberian GnRH agonis adalah endometriosis,
adenomiosis, mioma uteri, menorrhagia, pubertas prekoks dan lain lain.
Penggunaan GnRH agonis akan mengakibatkan keadaan hipoestrogen. Efek
samping yang berhubungan dengan kerja GnRH agonis dan timbulnya
hipoestrogenemia antara lain adalah amenore atau keadaan menopause yang dapat
mempengaruhi perubahan densitas tulang. Oleh karena itu, pada pasien-pasien
yang menjalani terapi pemberian GnRH agonis dalam jangka waktu lama dianjurkan
untuk menjalani pemeriksaan densitas tulang untuk melihat resiko osteoporosis.1
Pemberian GnRH agonis jangka panjang menginduksi penekanan persisten
dari sumbu hipotalamik-hipofise-gonad dan pengurangan hormon seksual ke kadar
prapubertas. Pemberian analog GnRH secara efektif menghentikan perkembangan
lebih lanjut dari karakteristik seks sekunder, dan memperlambat maturasi usia tulang
(bone age, BA).2
Salah satu jenis hormon seksual yang termasuk dalam sumbu
hipotalamik-hipofise-gonad adalah estrogen, telah lama diketahui bahwa estrogen memainkan
2 peranan penting dalam menentukan kesehatan tulang pada wanita, yaitu dalam
mempertahankan keseimbangan kerja osteoblas (formasi tulang) dan osteoklas
(resorpsi tulang). Penurunan kadar estrogen akan menyebabkan peningkatan
pembentukan osteoklas dan peningkatan turnover tulang. Keadaan hipoestrogen
akan meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis.3,4
Dewasa ini banyak penelitian yang berfokus pada berbagai penanda biokimia
formasi dan resorpsi tulang untuk menilai perubahan yang lebih cepat dalam
aktivitas formasi tulang dan tingkat resorpsi tulang selama masa keadaan
hipoestrogen. Pengukuran biokimia hidroksiprolin urin, aktivitas tartrat fosfatase
tahan asam plasma dan aktivitas isoenzim tulang alkali fosfatase serum telah
terbukti meningkat 30% sampai 100% selama keadaan hipoestrogen atau
menopause. Pada penelitian mengenai perubahan metabolisme tulang yang terjadi
akibat perburukan tuberculosis pada tulang belakang, dilaporkan bahwa
Deoxypyridinoline urin memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88% dan
95%).5,6
Resorpsi tulang dinilai dengan mengukur ikatan silang pyridinium kolagen
dalam urin. Asam amino ini menciptakan ikatan kovalen antara rantai kolagen yang
berdekatan dan menstabilkan matriks ekstraseluler di tulang dan tulang rawan.
Pyridinoline berlimpah di tulang dan tulang rawan dan Deoxypyridinoline ditemukan
dalam jumlah yang signifikan dalam kolagen tipe I yang mewakili 90% dari matriks
organik tulang. Dalam proses degradasi tulang, Pyridinoline dan Deoxypyridinoline
dilepaskan ke dalam sirkulasi dan diekskresikan dalam urin, dilepaskan dalam
bentuk bebas atau terikat peptida dan tidak terpengaruh oleh diet.5
3 Deoxypyridinoline diketahui merupakan penanda sensitif dan spesifik
terhadap resorpsi tulang. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Amama dkk,
dilakukan beberapa pemeriksaan penanda tulang pada populasi wanita reproduktif
di jepang yang mendapatkan pengobatan GnRH agonis karena endometriosis dan
leiomyoma. Dijumpai nilai Deoxypyridinoline pada pemberian 3 siklus (6,13 ± 4,5
nmol/mmol Cr) dan meningkat pada pemberian 6 siklus menjadi (8,67 ± 3,30
nmol/mmol Cr) dengan persentase perubahan 6 siklus dari sebelum pengobatan
adalah 54,3 ± 48,5 nmol/mmol Cr lebih tinggi dari penanda Hidroksiprolin dan
Pyridinoline yang masing-masing 32,8 ± 73,4 nmol/mmol Cr dan 17,6 ± 37,7
nmol/mmol Cr.5
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, terdapat permasalahan “Bagaimana perbedaan rerata
kadar Deoxypyridinoline urin pada wanita reproduksi pasca injeksi GnRH agonis 6
siklus dan wanita reproduksi yang tidak mendapatkan injeksi GnRH agonis”.
1.3. Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan kadar Deoxypyridinoline urin pada wanita reproduksi
pasca injeksi GnRH agonis 6 siklus dan wanita reproduksi yang tidak mendapatkan
injeksi GnRH agonis.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan kadar
Deoxypyridinoline urin pada wanita reproduksi pasca injeksi GnRH agonis 6 siklus
dan wanita reproduksi yang tidak mendapatkan injeksi GnRH agonis.
4 1.4.2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui frekuensi distribusi wanita reproduktif pasca injeksi GnRH
agonis 6 siklus dan yang tidak mendapatkan injeksi GnRH agonis berdasarkan
usia, Indeks massa tubuh, paritas dan densitas massa tulang.
Untuk mengetahui perbedaan kadar Deoxypyridinoline urin pada wanita
reproduktif pasca injeksi GnRH agonis 6 siklus dan yang tidak mendapatkan
injeksi GnRH agonis.
Untuk mengetahui perbedaan BMD pada wanita reproduktif pasca injeksi GnRH
agonis 6 siklus dan yang tidak mendapatkan injeksi GnRH agonis.
Untuk mengetahui korelasi usia dengan kadar Deoxypyridinoline urin pada
wanita reproduktif.
Untuk mengetahui korelasi Indeks Massa Tubuh dengan kadar Deoxypyridinoline
urin pada wanita reproduktif.
1.5. Manfaat Penelitian
Memberikan informasi dan mengenal resiko osteoporosis pada wanita reproduktif
pasca injeksi GnRH agonis 6 bulan di RSUP.H.Adam Malik Medan dan RS dr
Pirngadi Medan.
Pemeriksaan kadar Deoxypyridinoline urin pada wanita pasca injeksi GnRH agonis semoga dapat digunakan untuk menilai secara objektif resiko
osteoporosis yang mempengaruhi kualitas hidup, produktivitas kerja, sehingga ke
depan ada pertimbangan terapi tambahan untuk mengurangi dampak GnRH
agonis.
BAB II