BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau
hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban
manusia.1 Tujuan dari Hukum Humaniter adalah memberikan perlindungan dan
pertolongan kepada mereka yang menderita/menjadi korban perang, baik mereka
yang secara nyata/aktif turut dalam permusuhan (kombat), maupun mereka yang
tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil= civilian population).2
Hukum Humaniter tidak melarang perang. Ada ketentuan lain dalam Hukum
Internasional yang ditafsirkan melarang perang, yaitu : Pasal 2, ayat (4) Piagam
PBB dan Kellogg-Briand Pact, atau Paris Pact-1928.
Inti dari peperangan adalah menaklukkan lawan, dan lawan hanya akan
takluk ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu tindakan pembunuhan
besar-besaran yang merupakan perwujudan dari naluri mempertahankan diri.3
Jean-Jacques Rousseau memberikan inspirasi bagi perkembangan prinsip-prinsip perang. Dia mengatakan bahwa tujuan perang untuk menghancurkan
negara musuh adalah sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi
pertahanan terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata; tetapi segera setelah
mereka meletakan senjata dan menyerah, mereka bukan lagi musuh atau agen
1
Arlina Permansari, Aji Wibowo, Fadilah Agus, International Committe of the Red Cross, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, hlm 1.
2
Prof.KGPH. Haryomataram,S.H. , Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, 2005, hlm 3. 3
musuh, kini mereka kembali menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum
untuk mengambil hidup mereka. Peperangan dari masa ke masa senantiasa
mengambil korban dalam jumlah yang sangat banyak yang berujung pada
penderitaan, baik kepada pihak yang berperang maupun pihak yang tidak ikut
dalam perang (waraga sipil). Peperangan tanpa mengenal batas-batas yang ada
telah lazim dipraktekan dalam berbagai peperangan, pepatah kuno yang
mengatakan “segalanya sah dilakukan dalam peperangan” telah menjadi strategi
dan siasat yang muncul dengan sendirinya pada saat terjadinya peperangan,
penyerangan terhadap petani, lumbung gandum, saluran air, dan objek-objek
lainnya dianggap sebagai bagian dari suatu siasat yang lazim dilakukan sebelum
dikenalnya hukum humaniter, barulah kemudian setelah orang-orang mulai
merasakan kerugian dari perang tanpa batas tersebut, mereka mulai menetapkan
ketentuan-ketentuan yang mengatur peperangan, hal inilah yang menjadi cikal
bakal lahirnya hukum humaniter.4
Pada dasarnya, masyarakat internasional mengakui bahwa peperangan antar
negara atau dalam suatu negara dalam banyak kasus tidak dapat dihindari.
Kemudian sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan
jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan. Akan tetapi,
orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi
korban. Dengan demikian semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik
dalam keadaan damai maupun perang. Kelahiran Hukum Humaniter dapat
dikatakan dimulai dengan kepedulian dan keprihatinan, “Henry Dunant” Ia
adalah salah satu dari ribuan prajurit Prancis dan Austria yang terluka setelah
perang di Solferino (Italia Utara) pada tahun 1859. Dalam buku yang ditulisnya,
“Un Souvenir de solferino”. Dunant menghimbau dua hal, Pertama, agar
diciptakan suatu lembaga internasional yang khusus menangani orang-orang sakit
dan terluka, apapun kebangsaan, agama maupun rasnya. Kedua, negara-negara di
dunia dihimbau untuk membuat kesepakatan yang mengakui keberadaan lembaga
semacam ini, termasuk memberi jaminan agar orang-orang sakit dan luka lebih
diperhatikan. Hal yang paling menyenangkan adalah bahwa Dunant bukan
sekedar menghimbau belaka, ia bersama beberapa orang temannya juga beraksi
dengan mendirikan Internastional Committe for Aid to the Wounded- yang
kemudian diberi nama International Committe of the Red Cross. Komite ini pada
akhirnya mendapat tanggapan positif dari sejumlah Negara dan selanjutnya
menghasilkan konvensi Jenewa yang pertama, yang diadopsi oleh 16 Negara
Eropa melalui Konvensi Jenewa I pada tahun 18645, dan Konvensi ini dinamakan
Conventioan for the Amelioration of Condition of the Wounded in Armies in the
Field.
Oleh karena itu terdapat beberapa Prinsip-Prinsip yang terdapat dalam
Hukum Humaniter Internasional, diantaranya ;6
1) Prinsip kepentingan militer (military necessity). Berdasarkan prinsip ini
pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk
menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
5
Arlina Permansari, Aji Wibowo, Fadilah Agus, op.cit. 6
Dalam prakteknya, untuk menerapkan asas kepentingan militer dalam
rangka penggunaan kekerasan terhadap pihak lawan, suatu serangan harus
memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
a. Prinsip proporsionalitas (proportionality principle), yaitu: “prinsip yang
diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi
militer dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metoda
berperang yang digunakan tidak boleh tidak proporsional (harus
proporsional) dengan keuntungan militer yang diharapkan.
b. Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip yang membatasi
penggunaan alat-alat dan cara-cara berperang yang dapat menimbulkan
akibat yang luar biasa kepada pihak musuh.
2) Prinsip Perikemanusiaan (humanity). Berdasarkan prinsip ini maka pihak
yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di
mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat
menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. Oleh
karena itu prinsip ini sering juga disebut dengan “unnecessary suffering
principle”.
3) Prinsip Kesatriaan (chivalry). Prinsip ini mengandung arti bahwa di dalam
perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak
terhormat, perbuatan curang dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.
4) Prinsip pembedaan. Berdasarkan prinsip ini pada waktu terjadi
perang/konflik bersenjata harus dilakukan pembedaan antara penduduk sipil
pihak dengan objek militer di lain pihak. Berdasarkan prinsip ini hanya
kombatan dan objek militer yang boleh terlibat dalam perang dan dijadikan
sasaran. Banyak ahli yang berpendapat bahwa prinsip pembedaan ini adalah
yang paling penting dalam prinsip-prinsip hukum humaniter.
Akan tetapi ada satu Prinsip yang layak digunakan dalam situasi
Peperangan, yaiut Prinsip Martens Clause (Klausula Martens), dimana Prinsip ini
terdapat dalam Preambule Konvensi Den Haag IV 1907, Preambule Konvensi
Conventional Weapons 1980, Pasal 63 Konvesi Jenewa I 1949, Pasal 1 ayat (2)
Protokol Tambahan I 1977.
Konvensi Den Haag IV (Konvensi mengeni Hukum dan Kebiasaan Perang
di Darat) memuat ketentuan mengenai Prinsip Marten Clause tersebut secara
implicit, khususnya dalam lampiran atau Annex-nya yang berjudul Regulating
Respecting Laws and Customs of War atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Hague Regulations (HR). Bagi kalangan angkatan bersenjata, ketentuan dalam HR
ini sangatlah penting dan dijuluki sebagai The Soldier‟s Vadamecum.
Dimana Prinsip Martens Clause atau yang sering disebut “Klausula
Martens” ini mengatakan atau mempunyai isi sebagai berikut ;
” Until a more complete code of the laws of war is issued, the High Contracting
Parties think it right to declare that in cases not included in the Regulations
adopted by them, populations and belligerents remain under the protection and
empire of the principles of international law, as they result from the usages
established between civilized nations, from the laws of humanity and the
Dimana artinya adalah sebagai berikut ;
“Hingga undang-undang tentang hukum perang dikeluarkan, pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian memikirkan haknya untuk menyatakan bahwa perkara
yang tidak ada didalam peraturan yang telah mereka setujui, para penduduk dan
negara yang berperang tetap berada dibawah perlindungan atas prinsip-prinsip
hukum internasional, yang timbul dari kebiasaan antara negara yang beradab,
yang berprinsip pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani masyarakat.
Maksud dari isi klausul tersebut yakni menempatkan penduduk sipil combatan
maupun non-combatan, serta militer yang tidak dilindungi oleh Konvensi Den
Haag, tetap dalam perlindungan dari prinsip-prinsip hukum humaniter yang
berasal dari kebiasaan antar-negara yang beradab dan dari hati nurani masyarakat.
Meskipun Perlindungan Warga sipil sudah ada dalam peraturan yang telah
disetujui dan terdapat dalam hasil Perjanjian Konvensi Janewa 1949 (Perjanjian
ke-4) , yaitu Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Person in
Time of War. (Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang orang Sipil di
Waktu Perang) dan perlindungan Obyek sipil ada dalam suatu peraturan Protokol
Tambahan I tahun 1977 yang di setujui secara hukum Internasional. Namun
Prinsip Martens Clause ini mempunyai peran besar dalam mengatur setiap suatu
perbuatan yang ada dalam suatu perang atau konflik bersenjata, dimana dalam
paragraf 78 tahun 1996, pendapat dari Mahkamah Internasional atas legalitas
sebuah perjanjian atau penggunaan senjata nuklir, ICJ menyatakan bahwa Martens
Clause “has proved to be an effective means of addressing the rapid evolution of
menghadapi kemajuan teknologi militer. Sifat dari klausa ini begitu fleksibel dan
relevan seiring berkembangnya zaman disebabkan karena isi dari klausa ini
memiliki interpretasi/pemahaman yang luas. Jadi klausa ini seperti bukti jaminan
bagi yang berada dalam situasi perang untuk mendapatkan perlindungan atas
sebuah nilai kemanusiaan yang melekat pada setiap individu.
Dari Kenyataan di atas, maka perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut
bagaimana perlindungan terhadap warga sipil dan obyek sipil yang dapat
diberikan oleh Hukum Internasional, khususnya hukum humaniter, karena
berdasarkan kenyataan perang yang berlangsung di Negara Suriah tidak ada
berkesudahannya sehingga korban-koraban dan obyek-obyek sipil yang jatuh
(tewas) justru semakin banyak di kalangan Penduduk Sipil yang sebenarnya tidak
tahu dan tidak terlibat dalam konflik bersenjata/pertikaian yang timbul. Selain itu
korban-korban sipil yang jatuh (tewas) cenderung akibat adanya suatu kebiasaan
perang yang tidak mempunyai suatu dasar hukum yang mengaturnya (kurang
efektifnya hukum yang mengaturnya) dan tidak adanya suatu dasar prinsip
kemanusiaan yang melakukan pengawasan terhadap kebiasaan perang dengan
tidak menggunakan hati nurani, tidak adanya peserta perang mengerti bagaimana
cara menghindari jatuhnya warga sipil dan obyek sipil yang tidak tahu-menahu
mengenai konflik bersenjata/ perang sebagai korban dari perang yang ada di
Dengan demikian alasan pemilihan Judul ini untuk memberiakan suatu
penyegaran terhadap perlindungan warga sipil dan obyek sipil agar terhindarnya
dari sasaran perang yang menimbulkan penderitaan sampai kematian, bukan
hanya untuk perang di Suriah tetapi pada setiap negara yang ada di dunia yang
dalam situasi konflik bersenjata (Perang).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian latar belakang di atas, maka pokok-pokok
permasalahan yang dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut :
1. Bagaiman Kedudukan Prinsip Martens Clause atau Klausula Martens
dalam Hukum Humaniter Internasional ?
2. Bagaimana Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap
Perlindungan Warga Sipil dan Obyek Sipil di Suriah ?
3. Bagaimana implementasi Prinsip Martens Clause atau Klausula Martens
terhadap Perlindungan Warga sipil dan Obyek Sipil dari sasaran perang di
Suriah ?
C. Tujuan Penelitiaan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan Khusus penulisan ini adalah untuk memenuhi sebagian persyaratan
bagi kelulusan penulis di Fakultas Hukum-Universitas Sumatera Utara. Namun,
secara keseluruhan tujuan penulisan ini adalah untuk meberikan sedikitnya ikut
mendapatkan suatu perdamaian dunia, dengan cara memperjuangakan
Perlindungan terhadap Warga Sipil dan Obyek Sipil yang ada di suatu kondisi
wilayah konflik bersenjata/perang yang ada di dunia ini, karena apabila konflik ini
terus menjatuhkan korban-korban tewas maka konflik bersenjata di dunia ini tidak
akan pernah ada hentinya. Siklus kebenciaan yang ada pada orang terdekat dari
korban yang tewas akan terus berputar dan menciptakan suatu balas dendam yang
membuat konflik bersenjata tidak akan pernah berhenti.
Adapun yang menjadi tujuan teknis dari penelitian skripsi ini dilakukan
adalah membahas topik-topik yang diangkat pada bagian pokok permasalahaan
sebagai berikut :
1) Mengetahui sejauh mana kondisi Warga Sipil dan Obyek Sipil yang berada
di wilayah yang sedang mengalami konflik bersenjata di Suriah.
2) Mengetahui sejauh mana usaha perlindungan bagi Warga Sipil dan Obyek
Sipil yang ada dalam konflik bersenjata di Suriah.
3) Bagaimana upaya perlindungan Warga Sipil dan Obyek Sipil yang diberikan
oleh Organisasi Internasional dan secara Hukumnya.
2. Manfaat Penelitian
1) Secara Teoritis, yakni sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan
konsep ilmiah yang dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan
hukum internasional dan hukum humaniter internasional khususnya
terutama mengenai Perang atau konflik bersenjata dan perlindungan warga
sipil dan obyek sipil, yang merupakan suatu tindakan pencegahan terjadinya
penghancuran obyek sipil yang berkaitan dengan kebutuhan dasar dari
warga sipil.
2) Secara Realistis, yakni sebagai pedoman dan masukan bagi setiap peserta
perang agar dapat membedakan warga sipil dan obyek sipil dengan peserta
perang lainnya, dengan cara tanpa mengambil keputusan yang tergesa-gesa
dengan cara menyiksa, membunuh dan cara lainnya. Serta peserta perang
selalu menggunakan asas kemanusiaan dalam situasi konflik bersenjata
dengan hati nurani, apabila asas kemanusiaan dengan hati nurani ini di
abaikan dalam suatu kebiasaan perang, maka siklus kebencian dan rasa
dendam terhadap setiap orang yang terlibat tidak akan pernah ada hentinya
dan mengakibatkan tidak terciptanya suatu perdamaian dunia.
D. Keasilian Penulisan
Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan terhadap Warga Sipil
dan Obyek Sipil dari sasaran perang di Suriah ditinjau dari Prinsip Martens
Clause dalam Hague Regulations” adalah asli tulisan penulis sendiri, karena
menurut data yang ada pada adminsitrasi skripsi Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan, tulisan dengan judul yang sama belum pernah diangkat
dan dibahas oleh pihak lain. Apabila ada tulisan yang hampir sama, mungkin itu
hanya dari segi redaksi maupun materi umum saja, karena muatan/substansinya
E. Tinjauan Kepustakaan
Pada dasarnya negara harus saling berhubungan satu sama lainnya, hal ini
telah menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi masing-masing negara.
Hubungan baik biasanya berupa berbagai macam kerjasama-kerjasama dalam
berbagai bidang kehidupan manusia, sedangkan hubungan yang tidak baik dapat
berupa perang atau sengketa bersenjata yang timbul di antara masing-masing
negara.
Masalah Perang adalah masalah yang sudah sangat lama ada di dunia.
Sejarah perang itu sendiri bahkan sama tuanya dengan peradaban umat manusia
itu sendiri.7 Umumnya aturan-aturan tentang perang itu termuat dalam tingkah
laku, moral dan agama-agama yang ada di dunia. Bahkan dalam peradaban bangsa
Romawi dikenal suatu konsep perang yang adil (Just War). Hukum perang ini
kemudian telah mengalami banyak perkembangan, antara lain dalam hal nama,
ada yang menyebutnya hukum perang, hukum sengketa bersenjata dan sekarang
dikenal dengan hukum humaniter internasinal.
Jika telah terjadinya suatu konflik, pihak-pihak yang bersengketa tidak dapat
membedakan antara objek sipil dan objek militer serta terjadinya korban jiwa
yang bukan dari pihak yang berkonflik melainkan dari warga sipil. Obyek Sipil
merupakan semua objek yang bukan objek militer, dan oleh karena itu tidak dapat
dijadikan sasaran serangan pihak yang bersengketa. Warga Sipil merupakan orang
yang bukan termasuk ke dalam anggota angkatan bersenjata dari suatu milisi atau
suatu negara dan tidak ikut terlibat dalam situasi permusuhan konflik bersenjata
atau perang militer.
Hukum Humaniter ini merupakan salah satu hukum yang sangat penting
dipelajari dalam kerangaka hukum internasional. Sedemikian pentingnya hukum
humaniter internasional ini, menurut Haryomataram, adalah hal mutlak yang harus
dikuasai militer, tapi ironisnya di kalangan Militer sendiri, apalagi sipil, sedikit
orang mau melihat bidang yang dianggap “kering” ini.8
Hal ini dimaksudkan agar
tidak terjadi salah langkah dan strategi yang mungkin dapat menyudutkan suatu
negara dalam pergaulan internasional, karena seperti yang kita ketahui bahwa
perang tidak hanya melibatkan permasalahan dua negara bersengketa saja, namun
permasalahaan kemanusiaan yang menjadi koraban yang tidak tahu mengenai
peperangan yang terjadi di negara nya.
Oleh karena itu dalam Hukum Humaniter juga terdapat Prinsip-Prinsip dasar
yaitu :9
1) Prinsip kepentingan militer (military necessity). Berdasarkan prinsip ini
pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk
menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
Dalam prakteknya, untuk menerapkan asas kepentingan militer dalam
rangka penggunaan kekerasan terhadap pihak lawan, suatu serangan harus
memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
a. Prinsip proporsionalitas (proportionality principle), yaitu: “prinsip yang
diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer
8
dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metoda berperang yang
digunakan tidak boleh tidak proporsional (harus proporsional) dengan
keuntungan militer yang diharapkan.
b. Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip yang membatasi
penggunaan alat-alat dan cara-cara berperang yang dapat menimbulkan
akibat yang luar biasa kepada pihak musuh.
2) Prinsip Perikemanusiaan (humanity). Berdasarkan prinsip ini maka pihak
yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di
mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat
menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. Oleh
karena itu prinsip ini sering juga disebut dengan “unnecessary suffering
principle”.
3) Prinsip Kesatriaan (chivalry). Prinsip ini mengandung arti bahwa di dalam
perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak
terhormat, perbuatan curang dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.
4) Prinsip pembedaan. Berdasarkan prinsip ini pada waktu terjadi
perang/konflik bersenjata harus dilakukan pembedaan antara penduduk sipil
(“civilian”) di satu pihak dengan “combatant” serta antara objek sipil di satu
pihak dengan objek militer di lain pihak. Berdasarkan prinsip ini hanya
kombatan dan objek militer yang boleh terlibat dalam perang dan dijadikan
sasaran. Banyak ahli yang berpendapat bahwa prinsip pembedaan ini adalah
Namun terdapat suatu Prinsip Hukum Humaniter Internasional yaitu Prinsip
Martens Clasue atau yang sering disebut Klausula Martens yang diatur dalam
Preambule Konvensi Den Haag IV 1907, Preambule Konvensi Conventional
Weapons 1980, Pasal 63 Konvesi Jenewa I 1949, Pasal 1 ayat (2) Protokol
Tambahan I 1977 yang keberadaanya sangat amat penting perannya diterapkan
sebagai dasar untuk mengawasi kebiasaan-kebiasaan perang yang dimana topik
utamanya adalah mengutamakan perlindungan warga sipil dan obyek sipil dari
sasaran konflik bersenjata/perang dengan mengesakan pentingnya prinsip ini
sebagai pengawas dalam kebiasaan perang, dalam isinya yaitu ;
” Until a more complete code of the laws of war is issued, the High Contracting
Parties think it right to declare that in cases not included in the Regulations
adopted by them, populations and belligerents remain under the protection and
empire of the principles of international law, as they result from the usages
established between civilized nations, from the laws of humanity and the
requirements of the public conscience.”
Dimana artinya adalah sebagai berikut ;
“Hingga undang-undang tentang hukum perang dikeluarkan, pihak-pihak
yang mengadakan perjanjian memikirkan haknya untuk menyatakan bahwa
perkara yang tidak ada didalam peraturan yang telah mereka setujui, para
penduduk dan negara yang berperang tetap berada dibawah perlindungan atas
prinsip-prinsip hukum internasional, yang timbul dari kebiasaan antara negara
yang beradab, yang berprinsip pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani
Dimana Prinsip ini mengaskan bahwa prinsip ini “memberikan
perlindungan dalam setiap kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam konflik
bersenjata/perang dengan menggunakan prinsip-prinsip hukum
internasional,yang timbul dari kebiasaan antara negara yang beradab, yang
berprinsip pada hukum kemanusiaan dan hati nurani masyarkat”.
Sehingga prinsip ini dapat memberikan suatu kepastian perlindungan
terhadap Warga Sipil dan Obyek Sipil dalam suatu situasi konflik
bersenjata/perang yang menimbulkan penderitaan, sehingga sedikit demi sedikit
akan memberikan suatu perdamain dunia.
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu
cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian,
sebagai suatu upaya untuk menemukan jawaban yang dapat
dipertanggungjjawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya. Untuk
mendapatkan data yang relevan dengan tujuan penulisannya maka penulis
berusaha semaksimal mungkin untuk mengumpulkan dan memperoleh
bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini.
1. Jenis Penelitian
Untuk melengkapi penelitian ini agar terarah dan bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dipergunakan metode penelitian
hukum normatif (legal research). Yaitu jenis metode yang mengacu pada berbagai
sumber serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan kejahatan
terhadap kemanusiaan, perlindungan warga sipil dan obyek sipil, pengaturan
internasional mengenai hukum perang dan konflik bersenjata dalam kaitannya
untuk memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil.
2. Teknik Pengumpulan Data
Secara umum, ada dua teknik pengumpulan data yaitu :
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
Adalah teknik pengumpulan data melalui buku-buku baik karangan dalam
negeri maupun karangan luar negeri, karangan ilmiah, media massa, majalah,
serta jurnal-jurnal atau artikel-artikel yang diperoleh dari situs internet yang
berhubungan dengan judul skripsi ini.
b. Studi Lapangan (Field Research)
Adalah teknik pengumpulan data dengan cara wawancara,observasi dan
lain-lain. Pada penulis skripsi ini, penulis mengumpulkan data melalui metode
studi kepustakaan (Library Research).
3. Sumber Data Penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa data-data
sekunder yang terdiri atas :
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang merupakan landasan utama
yang digunakan dalam penelitian ini berupa konvensi-konvensi internasional
seperti Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan Warga Sipil saat terjadinya
1977 dan sumber-sumber hukum internasional lainnya yang berkaitan dengan
masalah-masalah yang akan dikaji.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang menunjang, yang memberi penjelasan tentang
bahan hukum primer seperti buku-buku yang membahas tentang konflik
bersenjata, buku-buku yang membahas tentang perlindungan Warga sipil dan
Obyek sipil, jurnal-jurnal, surat kabar dan media digital internet.
c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan dari bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI).
4. Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari berbagai sumber, selanjutnya dilakukan
pengolahan data dan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode
G. Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan pada hakekatnya adalah untuk membantu
mempermudah para pembaca dan penulis sendiri dalam menguraikan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi isi skripsi atas 5 (lima) Bab yang
sistematikanya adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab pendahuluan ini merupakan bab pengantar yang akan
mengantarkan penulis dalam pembahasan bab-bab berikutnya.
Dalam bab pendahuluan ini memuat beberapa sub bab yaitu ; Latar
Belakang, Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika
Penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PRINSIP MARTENS
CLAUSE DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Dalam Bab kedua ini penulis akan menguraikan tentang
ketentuan-ketentuan yang menjadi latar belakang suatu Prinsip Martens
Clause yang ada dalam Hukum Humaniter Internasional.
Bab kedua ini terdiri dari beberapa sub bab, antara lain ; Sejarah
dan Prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum humaniter
internasional, Penjelasan mengenai Prinsip Martens Clause,
BAB III KETENTUAN PENGATURAN PERLINDUNGAN WARGA
SIPIL DAN OBYEK SIPIL DALAM PERANG SURIAH
Dalam Bab ketiga ini penulis menjelaskan subjek yang menjadi
pembahasan di dalam skripsi ini secara sempit maupun luas.
Bab ketiga ini terdiri dari beberapa sub bab, anatara lain ;
Pengertian Warga Sipil dan Obyek Sipil, Pengaturan Hukum
Humaniter Internasional mengenai Perlindungan Warga Sipil dan
Obyek Sipil, Masalah-Masalah yang timbul terhadap Warga Sipil
dan Obyek Sipil akibat Perang di Suriah
BAB IV PERLINDUNGAN WARGA SIPIL DAN OBYEK SIPIL DARI
SASARAN PERANG SURIAH DITINJAU DARI PRINSIP
MARTENS CLAUSE
Dalam Bab keempat ini penulis menjelaskan bagaimana peran
prinsip martens clause ini dalam menangani perlindunga warga
sipil dan obyek sipil dalam perang suriah serta latar belakang
terjadinya perang di suriah dam peran Organisasi PBB dalam
melindungi warga sipil dan obyek sipil di Suriah.
Bab keempat ini terdiri dari beberapa sub bab, antara lain ; Latar
Belakang Penyebab timbulnya Perang di Suriah, Implementasi
Prinsip Martens Clause dalam Perlindungan Warga Sipil dan
Obyek Sipil dalam Perang Suriah, Upaya Perlindungan Warga Sipil
dan Obyek Sipil di Perang Suriah yang dilakukan Oleh Organisasi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai bab terakhir, penulis akan memberikan suatu kesimpulan
dari apa yang ditulis, dan disertai saran-saran yang dirasa perlu