• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Pendahuluan (Voor Overeenkomst) Pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 37 Pdt Plw 2012 Sim)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Pendahuluan (Voor Overeenkomst) Pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 37 Pdt Plw 2012 Sim)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

A.Latar Belakang

Kegiatan bisnis dalam pemasaran maupun penjualan rumah selalu didahului

dengan perbuatan perjanjian. Setelah isinya disepakati, maka perjanjian ini akan

mengikat para pihak. Artinya, para pihak harus melaksanakan apa yang telah mereka

sepakati dan tuangkan dalam perjanjian itu sebab kesepakatan mereka itu

menimbulkan hubungan hukum keduanya. Namun demikian, perjanjian yang telah

disepakati oleh dan mengikat para pihak itu seringkali menimbulkan permasalahan

dan hambatan di kemudian hari. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pihak

untuk mengerti dan memahami isi atau substansi perjanjian sebelum menyetujui

perjanjian tersebut.

Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari

bahasa Belanda yaitu overeenkomst.5

5

Istilah perjanjian dalam bahasa Inggris disebut contract atau agreement, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst atau contracten, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi perjanjian atau persetujuan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata, “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Rumusan dalam Pasal 1313 KUHPerdata menegaskan bahwa perjanjian

mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Hal ini berarti

(2)

orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan

yang harus dipenuhi.6

Perjanjian pendahuluan jual beli tersebut kemudian lebih dikenal dengan

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).

Tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia yang tinggi membuat kebutuhan

akan perumahan juga semakin meningkat, keterdesakan kebutuhan tersebut dengan

unit yang tersedia seringkali menimbulkan jual beli atas rumah dilakukan bahkan

pada saat rumah yang menjadi objek jual beli tersebut masih dalam tahap

perencanaan sehingga menimbulkan adanya jual beli secara pesan lebih dahulu dan

menyebabkan adanya perjanjian jual beli pendahuluan (preliminary purchase). Hasil

kesepakatan dalam perjanjian jual beli pendahuluan tersebut nantinya akan

dituangkan dalam perjanjian jual beli (PJB) untuk kemudian dilanjutkan dengan akta

jual beli rumah.

Pengertian mengenai perjanjian pendahuluan tidak diatur di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi terdapat dalam Pasal 42 ayat (1)

Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,

yang menyatakan bahwa:

“Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap

proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual

beli sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan”.

7

6

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2007), hlm. 249.

(3)

Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 09 Tahun 1995 tentang Pedoman

Pengikatan Jual Beli Rumah. Di dalam pertimbangan Keputusan Menteri Perumahan

Rakyat perlu adanya Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah untuk mengamankan

kepentingan pembeli dan penjual rumah, sehingga dengan dibuatnya PPJB

diharapkan kepentingan pembeli dan penjual rumah lebih terjamin.8

Menurut Mariam Darus, sebelum pihak-pihak melakukan penyerahan hak atas

tanah atau rumah yang diperjualbelikan, pihak-pihak mengadakan persetujuan yang

mengikat pihak-pihak untuk melakukan jual-beli. Perjanjian ini bersifat konsensuil,

obligatoir (pacta de contrahendo) dan merupakan causa (title) dari jual beli.9

Pada umumnya suatu perjanjian pengikatan jual beli mengandung

janji-janji yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh salah satu pihak atau para pihak

sebelum dapat dilakukannya perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir dari para Adapun

ketentuan tentang jual beli telah diatur dalam Pasal 1457 sampai Pasal 1549 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan jual beli dalam hal hak atas tanah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria serta Peraturan Pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun

1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian berubah menjadi Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

7

Penjelasan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman, yang menyatakan bahwa perjanjian pendahuluan jual beli adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang.

8

Samuel Christian

2015.

9

(4)

pihak.10 Perjanjian ini merupakan bentuk perjanjian pendahuluan yang dapat digunakan untuk meminimalisir sengketa dalam jual beli dengan pembayaran

angsuran. Prinsip yang terpenting adalah perjanjian tersebut berisi klausula-klausula

yang diperlukan sesuai dengan kepentingan dan kesepakatan para pihak, serta

hak-hak dan kewajiban (prestasi) yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh penjual dan

pembeli. 11

Menurut Munir Fuady, perjanjian pendahuluan merupakan perikatan yang

bersumber dari perjanjian sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 ayat

(1)), para pihak bebas melakukan perjanjian dan mengatur sendiri isi perjanjian

tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, sepanjang memenuhi syarat

sebagai suatu kontrak, tidak dilarang oleh Undang-Undang, sesuai dengan kebiasaan

yang berlaku, sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.12

Berdasarkan ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:

“suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang

telah dijanjikan”. Perjanjian jual beli yang dimaksud dalam Pasal 1457 KUHPerdata

tersebut diatas adalah salah satu perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaan

sebagai pelaksanaan dari perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian dengan mana hak

milik dari seseorang atas sesuatu, beralih kepada pihak lain. Berpindah atau

10

Boedi Harsono, 1997, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya Jilid I, (Jakarta: Djambatan, 1997), hlm.60.

11

Shinta Christie, Aspek Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagai Tahapan Jual Beli Hak Atas Tanah Secara Angsuran, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012), hlm.5.

12

(5)

beralihnya hak atas tanah beserta bangunan diatasnya setelah dilakukan

pelaksanaan/penyerahan (levering) dengan adanya perbuatan hukum yaitu balik

nama.13

Itikad baik dalam jual beli merupakan faktor yang penting sehingga pembeli

yang beriktikad baik akan mendapat perlindungan hukum secara wajar, sedangkan Selanjutnya dalam Pasal 1458 menyebutkan bahwa: “jual beli dianggap telah

terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai

kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum

diserahkan dan harganya belum dibayar”.

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus dibuat dengan memperhatikan

asas itikad baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang

menyebutkan bahwa: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Pasal

ini memberi makna bahwa perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak harus

dilaksanakan sesuai kepatutan dan keadilan.

Secara teoritis, asas itikad baik dibedakan menjadi 2, yaitu itikad baik

subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif yaitu sebelum perjanjian

dilaksanakan para pihak harus menunjukkan kejujuran. Biasanya itikad baik subjektif

ada pada tahap negosiasi, dimana para pihak secara terbuka memberikan informasi

yang sesungguhnya tentang siapa dirinya dan kejujuran terhadap kebendaan yang

dimilikinya. Itikad baik objektif yaitu pada saat pelaksanaan perjanjian harus sesuai

dengan kepatutan dan keadilan.

13

(6)

pihak yang tidak beritikad baik patut merasakan akibat dari ketidakjujurannya

tersebut. Itikad baik dapat dilihat pada waktu mulai berlakunya perbuatan hukum

tersebut atau pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang

termaktub dalam hubungan hukum itu.14

Hal tersebut diatas terjadi dalam kasus antara calon pembeli Griya S yang

melakukan perlawanan terhadap developer (pengembang/Michael SW selaku

Pimpinan PT SC) dan pemilik tanah (Ahli waris R. Hutabarat). Perselisihan tersebut

terjadi sejak adanya pengumuman/aanmaning yang dilakukan oleh VN selaku kuasa

hukum dari ahli waris pemilik tanah yang pada intinya menyatakan terhadap tanah Sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (3)

yang menetapkan bahwa, “semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”,

hal tersebut menunjukkan bahwa setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut

dibuat dan dilandasi dengan itikad baik, dalam hal ini termasuk perjanjian pengikatan

jual beli (PPJB) yang merupakan perjanjian pendahuluan.

PPJB merupakan perjanjian pendahuluan yang harus mempertimbangkan asas

keseimbangan dan itikad baik agar perjanjian tersebut dapat menjamin kepastian hak

para pihak dan meminimalisir sengketa yang timbul dikemudian hari. Namun dalam

pelaksanaanya, perjanjian tersebut tidak senantiasa mengalami perjalanan yang

lancar. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya perselisihan yang diajukan di hadapan

sidang pengadilan. Timbulnya perselisihan ini diakibatkan karena salah satu pihak

tidak memenuhi perjanjian yang telah disepakati dalam perjanjian yang mereka buat

atau wanprestasi.

14

(7)

dan bangunan pada Perumahan Griya S akan dilakukan eksekusi, aanmaning tersebut

sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No 24/Pdt/G/2007/PN-SIM jo

Putusan Pengadilan Tinggi Medan No 335/Pdt/2008/PT-MDN jo Putusan Mahkamah

Agung No 692 K/Pdt/2011 yang mengabulkan gugatan pemilik tanah dalam perkara

antara pemilik tanah dan developer (pengembang). Perselisihan keduanya baru terjadi

setelah calon pembeli melakukan penawaran dan membeli tanah berikut dengan

bangunan rumah yang akan dibangun diatasnya disertai dengan down payment (DP)

serta diikuti dengan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) Rumah.

Pada tanggal 11 April 2012, calon pembeli meminta perlindungan hukum

dengan mengajukan perlawanan ke Pengadilan Negeri Simalungun, adapun calon

pembeli tersebut yaitu: MLA Diana (perempuan), TS Eng (laki-laki), AL Tobing

(perempuan), TR Sihombing (laki-laki), GPTA Marjon (laki-laki), EY Siregar

(perempuan). Adapun yang dimohonkan oleh calon pembeli adalah meminta bahwa

PPJB atas tanah dan bangunan (rumah) sebagaimana yang dimaksud dalam PPJB

adalah sah menurut hukum, meminta cicilan yang dilakukan oleh calon pembeli

sebelum terjadinya sengketa antara pemilik tanah dengan developer adalah sah dan

berharga menurut hukum, meminta para calon pembeli yang sudah terikat sesuai

dengan PPJB dan telah membayar cicilan pembelian dengan itikad baik berhak untuk

memiliki atas tanah dan bangunan tersebut, meminta sita yang diletakkan sah dan

berharga menurut hukum, meminta untuk menunda pelaksanaan eksekusi atas

Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No 24/Pdt/G/2007/PN-SIM sampai putusan

(8)

Pada tanggal 11 Maret 2013, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun

mengeluarkan putusan, yaitu menolak perlawanan dari para calon pembeli serta

menyatakan bahwa calon pembeli merupakan pelawan yang tidak benar. Adapun

yang menjadi pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun bahwa

berdasarkan bukti yang diajukan oleh para calon pembeli berupa PPJB Rumah yang

masih merupakan perjanjian pendahuluan disertai dengan kwitansi pembayaran

cicilan yang dianggap belum sepenuhnya membayar lunas harga rumah dan tanah;

mempertimbangkan eksistensi hukum (sebab akibat) antara Perjanjian Pengikatan

Jual Beli (PPJB) Rumah tanah dan bangunan dihubungkan dengan pembatalan

perjanjian kerja sama antara pemilik tanah (ahli waris dari Alm. R. Hutabarat) dengan

pengembang yang telah dibatalkan berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum

tetap; menyatakan bahwa segala perjanjian dan tindakan hukum yang dilakukan oleh

pengembang yang didasarkan perjanjian kerja sama tanggal 17 Oktober 2003 tidak

mengikat pemilik tanah, oleh karena itu pemilik tanah tidak dapat dirugikan

karenanya; menyatakan bahwa calon pembeli merupakan pelawan yang tidak benar

sehingga perlawanannya ditolak.

Pada praktiknya, berdasarkan asas itikad baik hakim memang menggunakan

wewenang untuk mencampuri isi perjanjian, sehingga tampaknya itikad baik bukan

saja harus ada pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga pada saat dibuatnya atau di

(9)

tersebut merupakan ketentuan yang ditujukan kepada pengadilan.15 Dikatakan demikian karena sengketa mengenai itikad baik dalam praktiknya hampir selalu

dimintakan penyelesaiannya kepada pengadilan. Dengan demikian, perkembangan

doktrin itikad baik lebih merupakan hasil kerja pengadilan daripada legislatif yang

berkembang secara kasus demi kasus.16

B.Rumusan Masalah

Hakim memang memegang peranan penting

dalam menafsirkan atau memperluas ajaran itikad baik tersebut. Akibatnya, makna

dan standar itikad baik lebih disandarkan pada sikap dan pandangan hakim yang

berkembang secara kasus demi kasus.

Bertitik tolak dari uraian tersebut diatas, maka dianggap perlu untuk diteliti

lebih lanjut dan menyusunnya dalam tesis yang berjudul: Asas Itikad Baik dalam

Perjanjian Pendahuluan (Voor Overeenkomst) pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Rumah (studi putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor.

37/PDT/PLW/2012/PN. SIM).

Berdasarkan uraian di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan yang

ingin diteliti dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah akibat hukum dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Rumah

sebagai perjanjian pendahuluan bagi para pihak (calon pembeli dan

developer)?

15

J. Satrio, Op. Cit., hlm 166.

16

Werner F Ebke dan Bettina M Steinhauer, The Doctrine of Good Faith in German Contract Law, Jack Beatson dan Daniel Friedman, eds., Op.Cit., hlm.7. Dalam Ridwan Khairandy,

(10)

2. Bagaimanakah perjanjian pendahuluan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli

(PPJB) Rumah yang dibuat oleh PT Surya Cemerlang sebagai developer

dengan calon pembeli dalam perspektif itikad baik?

3. Bagaimanakah itikad baik dapat memberikan perlindungan hukum bagi calon

pembeli dalam putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor

37/PDT/PLW/2012/PN. SIM?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pokok permasalahan

sebelumnya, tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan akibat hukum dari Perjanjian Pengikatan

Jual Beli (PPJB) Rumah sebagai perjanjian pendahuluan.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan perjanjian pendahuluan dalam Perjanjian

Pengikatan Jual Beli (PPJB) Rumah yang dibuat oleh PT Surya cemerlang

sebagai developer dan calon pembeli dalam perspektif itikad baik.

3. Untuk menjelaskan itikad baik dapat memberikan perlindungan hukum bagi

calon pembeli terkait dengan perjanjian pendahuluan pada Perjanjian

Pengikatan Jual Beli (PPJB) Rumah.

D.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

(11)

1. Secara teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan literatur (bahan pustaka) yang

membahas tentang perjanjian pendahuluan berikut dampak hukum yang

ditimbulkan bagi para pihak yang terkait sesuai dengan norma-norma hukum

yang berlaku.

b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar bagi bahan penelitian

selanjutnya dalam bidang yang sama.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pihak sebagai

berikut:

a. Pemerintah

Menjadi bahan masukan bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan dan

melakukan pengawasan terhadap kegiatan pembangunan perumahan yang

banyak menggunakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Rumah sebagai

perjanjian pendahuluan.

b. Para Pihak dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah

Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah dapat memberi manfaat bagi para

pihak yang terkait di dalam perjanjian pendahuluan tersebut, yaitu developer

dan calon pembeli. Bagi developer, untuk lebih meningkatkan kualitas

perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) Rumah sebagai perjanjian pendahuluan

(meskipun berupa klausul baku), sesuai dengan Ketentuan Menteri Perumahan

(12)

pembeli, agar lebih teliti dan memahami isi atau substansi dari perjanjian

pengikatan jual beli sebelum memutuskan untuk menandatangani agar tidak

menimbulkan kerugian dikemudian hari.

c. Hakim

Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan bagi hakim dalam

memeriksa dan menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan Perjanjian

Pengikatan Jual Beli (PPJB) Rumah untuk mengkaji isi atau substansi dari

PPJB Rumah tersebut serta mengukur itikad baik dari para pihak yang

membuatnya untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang

beritikad baik. Selain itu, hakim berwenang untuk memasuki atau meneliti isi

perjanjian apabila diperlukan karena substansi dan pelaksanaan suatu kontrak

bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat.17Oleh karena itu,

diharapkan bagi para hakim di Indonesia untuk bisa menerapkan teori modern

dalam perjanjian, yaitu menghapuskan syarat-syarat formal bagi kepastian

hukum dan lebih menekankan pada terpenuhinya rasa keadilan.18

d. Masyarakat

Untuk lebih teliti dalam membeli rumah khususnya perumahan yang biasanya

menggunakan perjanjian pendahuluan berupa PPJB.

17

Asikin Kesuma Atmadja, Pembatasan Rentenir sebagai Perwujudan Pemerataan Keadilan, Varia Peradilan, Tahun II, No 27, Februari 1987, hlm.2.

18

(13)

E.Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap

hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di

lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara penelitian tentang “Asas Itikad

Baik dalam Perjanjian Pendahuluan (Voor Overeenkomst) pada Perjanjian Pengikatan

Jual Beli Rumah (Studi Putusan PN Nomor. 37/PDT/PLW/2012/PN. SIM) tidak

ditemukan judul penelitian yang sama, tetapi ditemukan penelitian karya ilmiah atau

tesis Linawaty (107011009) dengan judul “Perjanjian Jual Beli Kavling Oleh

Pengelola Perumahan”, permasalahan yang dianalisis dalam tesis ini adalah:

1. Bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian jual beli kavling tanah matang tanpa

rumah yang dibuat di bawah tangan antara pengembang perumahan dan

pembeli?

2. Apakah hambatan yuridis dalam pengalihan jual beli kavling tanah matang

tanpa rumah yang dilakukan oleh pengembang perumahan?

3. Bagaimana perbandingan hukum terhadap pembeli kavling tanah matang tanpa

rumah dari pengembang apabila dirugikan?

Tesis Henny Saida Flora, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap

Konsumen dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah Melalui Pengembang”.

Permasalahan yang dianalisis adalah:

1. Apakah dalam perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang dibuat oleh

(14)

2. Bagaimanakah tanggungjawab pengembang apabila konsumen dirugikan dalam

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut?

3. Bagaimana sikap konsumen terhadap isi Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

yang ditawarkan oleh pengembang?

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, maka penelitian ini berbeda dari

penelitian tersebut yang mana penelitian ini lebih memfokuskan pada asas itikad baik

dalam perjanjian pendahuluan (Voor Overeenkomst) dan kajian terhadap Putusan PN

Nomor. 37/PDT/PLW/2012/PN. SIM dalam menafsirkan perspektif itikad baik yang

dapat memberikan perlindungan hukum. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan

dalam penulisan ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keaslian

dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara keilmuan akademis berdasarkan

nilai objektivitas dan kejujuran.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara

teori-teori yang akan diteliti. Suatu konsep teori bukan merupakan gejala yang akan

diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu biasanya dinamakan

fakta, sedangkan konsep teori merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan

dalam fakta tersebut.19

19

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm.25.

Penyusunan kerangka teori menjadi keharusan, agar masalah

(15)

disusun untuk menjadi landasan berpikir yang menunjukkan sudut pandang

pemecahan masalah yang telah disusun.20

“Pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau

permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis, hal

mana dapat menjadi pegangan eksternal bagi penulis. Teori berfungsi untuk

menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifikasi atau proses tertentu

terjadi”.

Solly Lubis memberikan pengertian kerangka teori adalah:

21

Teori juga bermanfaat untuk memberi dukungan analisis atas topik yang

sedang dikaji,22

Teori menempati tempat yang terpenting dalam penelitian, sebab teori

memberikan sarana untuk merangkum dan memahami masalah yang dikaji secara

lebih baik. Hal-hal yang pada awalnya terlihat tersebar dan berdiri sendiri dapat

disatukan dan ditujukan kaitannya satu sama lain secara bermakna, sehingga teori serta bermanfaat sebagai pisau analisis dalam pembahasan terhadap

masalah penelitian, berupa fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sekaligus

berfungsi sebagai wacana yang memperkaya dan mempertajam argumentasi dalam

memahami masalah yang menjadi objek penelitian.

20

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 93.

21

M. Solly Lubis, Filsafat dan Penelitian, (Bandung: Bandar Maju, 1994), hlm. 80.

22

(16)

berfungsi memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan

mensistematisasikan masalah yang dikaji.23

Pemikiran teori hukum tidak terlepas dari keadaan lingkungan dan latar

belakang permasalahan hukum atau menggugat suatu pemikiran hukum yang

dominan pada saat itu. Pemikiran tentang teori hukum adalah akumulasi keresahan

maupun sebuah jawaban dari masalah kemasyarakatan yang dihadapi oleh generasi

saat itu.24

Teori ilmu hukum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang

dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai

aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam

konsepsi teoritisnya maupun dalam pengenjawantahan praktisnya, dengan tujuan

untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih

mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dari kegiatan yuridis dalam kenyataan

masyarakat. Objek telaahnya adalah gejala umum dalam tataran hukum positif yang

meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideological terhadap

hukum.25

23

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.53.

24

Satjipto Raharjo, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni,1986), hlm.4.

25

Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm.22.

Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum,

teori perjanjian dan teori perlindungan hukum. Teori perjanjian digunakan sebagai

(17)

Pertama, Teori kepastian hukum, sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum

adalah untuk mengayomi manusia. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum

karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat.26Hukum harus dilaksanakan dan

ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal

peristiwa konkrit. Undang-undang diciptakan untuk memberikan perlindungan

hukum kepada manusia dan memelihara ketertiban dalam masyarakat. Namun, dalam

perkembangannya, terjadi kontroversial antara materi hukum yang menunjukkan

adanya peningkatan. Sebaliknya, di pihak lain tidak diimbangi dengan adanya

kepastian hukum dalam pelaksanaannya.27

Undang-undang merupakan kumpulan norma-norma hukum yang dilandasi

oleh prinsip-prinsip hukum. Agar norma hukum itu dapat melindungi kepentingan

manusia dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat maka Undang-Undang itu

harus dilaksanakan. Melalui pelaksanaan Undang-undang, hukum dapat ditegakkan,28

meskipun dalam penegakannya mengalami hambatan. Salah satu tujuan dari

penegakan hukum adalah menciptakan kepastian hukum.29

26

Sudikno Mertukusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Yogyakarta: P.T Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.1.

27

Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004 Tap. MPR IV/MPR/1999, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hlm. 10. Lihat juga Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia (Suatu Kebutuhan Yang Didambakan), (Bandung: Alumni, 2014), hlm. 117.

28

Hal ini sesuai dengan adagium “fiat justitia et pereat mundus

29

Penegakan hukum meliputi 3 (tiga) elemen yakni kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan hukum.

Kepastian hukum

diperuntukkan bagi manusia bukan sebaliknya manusia diperuntukkan bagi kepastian

hukum. Tanpa ada kepastian hukum tidak mungkin kepentingan manusia terlindungi

(18)

kepastian hukum meliputi dua hal yaitu: Pertama, kepastian perumusan norma dan

prinsip hukum yang tidak bertentangan satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal

undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya

yang berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian dalam melaksanakan

norma-norma dan prinsip hukum undang-undang tersebut.30

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya

aturan hukum yang bersifat umum untuk membuat individu mengetahui perbuatan

apa saja yang boleh dilakukan atau perbuatan apa saja tidak boleh dilakukan, dan

kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena

dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa

saja yang boleh dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan

hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi

dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya

untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.31

Pada dasarnya putusan hakim merupakan bagian dari proses penegakan

hukum yang bertujuan salah satunya untuk mencapai kepastian hukum. Dalam upaya

menerapkan kepastian hukum, idealnya putusan hakim harus sesuai tujuan dasar dari

suatu pengadilan dan harus mengandung kepastian hukum sebagai berikut:32

30

Tan Kamello, Op. Cit, hlm. 118.

31

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2008) hlm.158.

32

(19)

a. Melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak

b. Efisiensi artinya dalam proses harus cepat, sederhana dan biaya ringan

c. Sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar dari putusan

hakim tersebut

d. Mengandung aspek stabilitas, yaitu dapat memberikan rasa tata tertib dan

rasa aman dalam masyarakat

e. Mengandung equality, yaitu memberi kesempatan yang sama bagi pihak

yang berperkara

Teori kepastian hukum ini dikemukakan dengan tujuan untuk menganalisis

akibat hukum dari perjanjian pendahuluan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli

(PPJB) rumah yang dibuat oleh developer dan calon pembeli sebagai persetujuan

yang mengikat pihak-pihak tersebut untuk melakukan jual-beli serta menganalisis

putusan hukum pengadilan PN No 37/PDT/PLW/2012/PN.SIM dalam pertimbangan

putusan yang salah satunya adalah membatalkan perjanjian kerjasama antara pemilik

tanah (R.M Hutabarat) dengan MS Widjaya (developer/ Pimpinan PT Surya

Cemerlang) yang dijadikan reasoning hakim dalam memberi putusan bahwa PPJB

yang dilakukan oleh developer batal demi hukum.

Kedua, teori perjanjian. Dalam Buku ke-III BW istilah perikatan disebut juga

dengan verbintenis yang mengandung makna lebih luas daripada perjanjian. Menurut

subekti suatu perikatan adalah hubungan hukum yang terletak dalam lapangan harta

kekayaan antara satu orang atau lebih dengan satu orang lain atau lebih, dimana pihak

(20)

tersebut banyak dilahirkan dari suatu peristiwa dimana dua orang atau pihak saling

menjanjikan sesuatu atau disebut juga dengan perikatan karena perjanjian.33

Perikatan yang lahir karena suatu perjanjian adalah perikatan yang

dikehendaki oleh dua orang atau lebih membuat suatu kesepakatan bersama untuk

memenuhi suatu prestasi.34

1. Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian;

Perikatan yang lahir karena perjanjian harus memenuhi

syarat-syarat perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata,

yaitu:

2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (perikatan);

3. Perjanjian yang diadakan harus mempunyai objek tertentu;

4. Yang diperjanjikan itu adalah suatu sebab yang halal.35

Terhadap saat-saat terjadinya perjanjian ada beberapa ajaran:36

1. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada

saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan mengirimkan surat;

2. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi

pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran;

3. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang

menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.

4. Teori kepercayaan (vertrouwwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan

itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

33

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXVI, (Jakarta: Intermassa, 1994), hlm.128-131.

34

Gunawan Widjaja, Op. Cit., hlm. 326.

35

R. Subekti Dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm.339.

36

(21)

Hardijan Rusli, memberikan pengertian dari perjanjian bahwa perjanjian

adalah:37

Berdasarkan definisi tersebut dalam teori-teori perjanjian terdapat didalamnya

asas-asas hukum perjanjian yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Asas-asas

tersebut antara lain: freedom of contract (asas kebebasan berkontrak), consensualism

(asas konsensualisme), pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), good faith (asas

itikad baik) dan personality (asas kepribadian), dan lain-lain.

“Suatu hubungan hukum dibidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati oleh para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum”.

38

Asas itikad baik termuat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang

menyebutkan, bahwa: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut, dasar dalam

pembuatan perjanjian itu adalah keharusan beritikad baik. Siti Ismijati Jenie

berpendapat bahwa, itikad baik dalam artian objektif disebut juga dengan istilah Asas-asas ini dapat

digunakan dalam penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian. Tanpa adanya

asas dan/atau prinsip, maka dalam penyelesaian sengketa perjanjian/kontrak akan

selalu menghasilkan pertentangan antar para pihak yang berkepentingan di dalamnya.

37

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. Kedua (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm .41.

38

(22)

kepatutan. Objektif disini menunjuk pada kenyataan bahwa perilaku para pihak itu

harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik dan tidak semata-mata

berdasarkan pada anggapan para pihak sendiri.39

Asas kepatutan yang terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata ini berkaitan

dengan isi perjanjian, melalui asas ini ukuran tentang hubungan antar pihak dalam

perjanjian ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. Isi perjanjian yang

dimaksudkan adalah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak

mengenai hak dan kewajiban mereka di dalam perjanjian tersebut. Kepatutan dalam

Pasal 1339 KUHPerdata, yang secara bersama-sama dengan kebiasaan dan

undang-undang harus di perhatikan para pihak dalam melaksanakan perjanjian.

Pelaksanaan perjanjian harus dilakukan dengan mengandalkan norma-norma

kepatutan dan kesusilaan. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata itu memberikan

kekuasaan hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian agar jangan sampai

pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Oleh karena itu, hakim berkuasa

untuk menyimpang dari isi perjanjian, manakala pelaksanaan perjanjian tersebut akan

bertentangan dengan kepatutan atau keadilan, sebagaimana ketentuan dalam Pasal

1339 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat

perjanjian diharuskan oleh kepatutan”.

39

(23)

Menurut Subekti, ketentuan ini mengandung pengertian bahwa hakim

diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan tujuan perjanjian, jangan sampai

pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan. Ini berarti hakim itu berkuasa

untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya, manakala pelaksanaan

menurut huruf itu bertentangan dengan itikad baik. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

dapat dipandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum (janji itu

mengikat), sedangkan ayat (3) nya mengejar dua tujuan yakni menjamin kepastian

(ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan. Kepastian hukum menghendaki supaya

apa yang dijanjikan harus dipenuhi (ditepati). Namun, dalam menuntut dipenuhinya

janji itu, tidak dibenarkan meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan.40

Tan Kamello dalam pandangan hukumnya menyatakan, bahwa:

Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata ini merupakan ketentuan yang

tidak dapat disimpangi oleh para pihak. Dengan kata lain bahwa sekalipun para pihak

telah bersepakat untuk dimuatnya suatu ketentuan dalam perjanjian yang sifatnya

demikian berat sebelahnya sehingga dirasakan tidak adil, namun tetap saja ketentuan

itu tidak dapat diberlakukan karena bertentangan dengan asas itikad baik.

41

“Dalam KUHPerdata, kepatutan adalah tiang hukum yang wajib ditegakkan.

Sebagai asas kepatutan memiliki peran dan fungsi antara lain menambah atau

mengenyampingkan isi perjanjian. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam

40

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermassa, 1990), hlm. 41. 41

(24)

Pasal 1339 KUHPerdata. Isi perjanjian yang dibuat berdasarkan asas

kebebasan berkontrak harus dijalankan dengan itikad baik”.

Menurut Ridwan Khairandy, dalam bukunya yang berjudul “Itikad Baik

dalam Kebebasan Berkontrak”, menjelaskan bahwa standar itikad baik sudah harus

ada mulai dalam tahap prakontrak sampai pada postkontrak, prakontrak didasarkan

pada kecermatan dalam berkontrak. Dengan asas ini para pihak masing-masing

memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta material yang berkaitan

dengan perjanjian tersebut. Dengan standar tersebut, perilaku para pihak dalam

melaksanakan perjanjian dan penilaian terhadap isi perjanjian harus didasarkan pada

prinsip kerasionalan dan kepatutan. Ajaran itikad baik pada tahap negosiasi maupun

prakontrak belum terlalu mengkristal dalam praktek pengadilan di Indonesia.

Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri urgensinya dalam perlindungan para

pihak dalam perjanjian di tengah perkembangan hukum perjanjian saat ini.

Teori perjanjian ini dikemukakan dengan tujuan untuk menganalisis isi atau

subtansi perjanjian pendahuluan dalam PPJB untuk melihat norma-norma hukum

yang diharuskan oleh KUHPerdata. Sistem hukum perjanjian mengandung sejumlah

asas-asas dan dibangun berdasarkan asas-asas hukum tersebut. Jika dilihat dari segi

substantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran dasar tentang kebenaran untuk

(25)

perjanjian.42

Ketiga, teori perlindungan hukum, konsep perlindungan hukum dari perspektif

keilmuan hukum. Menurut Harjono bahwa, “perlindungan hukum mempunyai makna

sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang

diberikan oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap

kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan-kepentingan yang perlu

dilindungi tersebut kedalam sebuah hak hukum.

Oleh karena itu, teori ini diperlukan untuk menganalisis perjanjian yang

dibuat oleh para pihak apakah sudah sesuai dengan norma-norma yang diatur dalam

KUHPerdata dan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan maupun

kepatutan.

43

42

Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antar Bank dengan Nasabah, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Perdata tanggal 2 September 2006, USU, Medan, 2006. hlm.27.

43

Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Penerbit Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm. 373.

Konsep umum dari perlindungan hukum adalah perlindungan dan hukum.

Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata, yaitu “perlindungan dan hukum” yang

artinya perlindungan menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Jadi,

perlindungan hukum terhadap calon pembeli yang dipergunakan adalah perlindungan

terhadap hak calon pembeli sebagai konsumen atau pembeli yang beritikad baik

dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan hukum terhadap calon

pembeli atas tindakan developer dan pemilik tanah dalam sengketa jual beli rumah

(26)

Perlindungan hukum terhadap calon pembeli di Indonesia dituangkan dalam

Undang-Undang No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Ketentuan Pasal

5 Undang-Undang Perlindungan konsumen (UUPK) menjelaskan bahwa konsumen

memiliki hak sebagai berikut:44

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

8. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Selain itu, perlindungan hukum bagi calon pembeli juga di tuangkan dalam

Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No 9/KPTS/M/1995 Tentang Pedoman

Pengikatan Jual Beli.

Berdasarkan uraian tersebut diatas bahwa konsep-konsep umum dari

perlindungan hukum adalah perlindungan dan hukum, yang artinya perlindungan

menurut hukum dan Undang-undang yang berlaku. Meski demikian, dalam

hubungannya dengan penelitian ini maka seyogyanya pembeli yang beritikad baik

44

(27)

mendapat perlindungan hukum sebagaimana Yurisprudensi Putusan Mahkamah

Agung RI No 251K/Sip/1958 Tanggal 26 Desember 1958.

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsep atau konsepsional perlu dirumuskan dalam penelitian

sebagai pegangan atau konsep yang digunakan dalam penelitian. Biasanya kerangka

konsepsional dirumuskan sekaligus dengan definisi-definisi tertentu, yang dapat

dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis

dan konstruksi data.45

Konsep yang dipergunakan dalam penelitian adalah konsep yang terkait

langsung dengan variable penelitian dan untuk menghindari penafsiran yang berbeda

terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu didalam penelitian ini

dirumuskan konsep dengan menggunakan model definisi operasional,46

a. Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan

dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk

membayar harga yang telah dijanjikan (Pasal 1457 KUH Perdata). yaitu:

b. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik

perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana,

dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak

huni.47

45

Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 137.

46

Pedoman Penulisan Tesis Program Study Ilmu Hukum SPS USU, Medan Universitas Sumatera utara, hlm. 5.

47

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman.

(28)

c. Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal

yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat

penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.48

d. Perjanjian Pendahuluan adalah kesepakatan untuk melakukan jual beli

rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah

dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang.49

Perjanjian ini bersifat konsensuil, obligatoir (pacta de contrahendo) dan

merupakan causa (title) dari jual beli.50

e. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah perjanjian jual beli secara

pesan lebih dahulu atau disebut dengan perjanjian jual beli pendahuluan.51

f. Akta Jual Beli (AJB) adalah akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT) untuk peralihan hak atas tanah dan bangunan. Dengan Perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian pendahuluan yang dibuat

oleh calon penjual dan calon pembeli atas dasar kesepakatan sebelum jual

beli dilakukan, dalam rangka untuk meminimalisir benih sengketa yang

mungkin muncul dikemudian hari. Perjanjian ini dilakukan sebelum

tejadinya peristiwa hukum jual beli, dan objek perjanjiannya dapat berupa

benda bergerak dan benda tidak bergerak.

48

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No 1Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman

49

Lihat Penjelasan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman

50

Mariam darus, Op. Cit, hlm. 107.

51

(29)

dibuatnya AJB oleh Notaris/PPAT, maka tanah sebagai objek jual beli

telah dapat dialihkan (balik nama) dari penjual kepada pembeli.

g. Asas itikad baik dalam bahasa hukumnya disebut de goedetrow. Asas ini

berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad baik

ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan

“persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad

baik dapat dibedakan dalam pengertian subjektif dan objektif. Itikad baik

dalam segi subjektif, berarti kejujuran. Hal ini berhubungan erat dengan

sikap batin seseorang pada saar dimulainya suatu perjanjian itu seharusnya

dapat membayangkan telah dipenuhhinya syarat-syarat yang diperlukan.

Itikad baik objektif, berarti kepatutan, yang berhubungan dengan

pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan

hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan.

h. Asas hukum adalah kaidah, yang memuat ukuran (kriteria) nilai.52 Asas

hukum mewujudkan kaidah hukum tertinggi dari suatu sistem hukum

positif, karena sifatnya yang terlalu umum maka untuk dapat berperan

kaidah hukum harus dikonkretisasikan baik dalam bentuk

peraturan-peraturan hukum maupun putusan-putusan hakim.53

52

Kaedah atau norma merupakan patokan atau pedoman untuk hidup. Lihat Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.7.

53

J.J.H Bruggink, Recht-Reflecties, Grondbergrippen uit de rechttheorie, terjemahan oleh B. Arief Shirdata, Refleksi tentang Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.123-132.

Asas hukum dapat

(30)

Yudha Hernoko bahwa “Asas hukum berfungsi sebagai pondasi yang

memberikan arah, tujuan, serta penilaian fundamental, mengandung

nilai-nilai dan tuntutan etis”.54

i. Konsensus adalah persamaan (kesatuan) pendapat, sepakat, yang menjadi

titik lahirnya perjanjian atau persetujuan.55

j. Doktrin adalah ajaran, asas-asas suatu aliran politik, keagamaan; pendirian

segolongan ahli ilmu pengetahuan, keagamaan, ketatanegaraan.56

G.Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang

menjadi sararan dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan, sedangkan cara penelitian

merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran

secara sistematis, metodologis dan konsisten. Metode penelitian hukum merupakan

suatu cara yang teratur (sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.57

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya,58

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa, hlm. 362.

57

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum , Cetakan ke-1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 57.

58

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm.6.

selain

(31)

kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam

gejala yang bersangkutan.59

Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian hukum

normatif (doctrinal) dan penelitian hukum empiris atau sosiologis (non doctrinal).60

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang

timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (doctrinal), sebagai

sebuah penelitian hukum normatif, titik berat penelitian adalah pada penelitian

kepustakaan untuk memperoleh data sekunder. Penelitian ini menggunakan penelitian

normatif yang bersifat kualitatif yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum

yang selalu berkaitan dengan filosofi hukum. Penelitian doctrinal atau penelitian

dogmatik (dogmatic research) merupakan penelitian yang menganalisis baik hukum

sebagai law as it is written in the books maupun hukum sebagai law as it is decided

by judge through judicial process.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dan eksplanatif, untuk

menggambarkan secara lengkap, menyeluruh dan mendalam aturan hukum yang

relevan dengan penelitian ini, yang didasarkan pada penjelasan-penjelasan maupun

argumen-argumen terkait dengan peran hakim dalam memberikan perlindungan

hukum sesuai dengan prinsip-prinsip yang dalam Negara hukum (rule of law).

59

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), hlm.14.

60

(32)

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (

statute-approach). Selain itu, untuk mendukung pendekatan perundang-undangan tersebut

digunakan pula pendekatan analitis (analytical approach). Pendekatan

perundang-undangan digunakan karena dasar asas itikad baik yang dijadikan pokok penelitian ini

adalah KUHPerdata. Asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian pertama kali

diperkenalkan oleh KUHPerdata, sebagaimana ketentuan Pasal 1338 ayat (3)

KUHPerdata. Namun, dalam kenyataannya dalam memutus suatu perkara hakim

hanya mengukur asas itikad baik para pihak dalam sebuah perjanjian dengan bertolak

dari ketentuan pasal ini. Pendekatan analitis dipakai untuk mengetahui perkembangan

makna asas itikad baik dalam praktek perjanjian di Indonesia, terutama terkait dengan

PPJB sebagai Perjanjian Pendahuluan. Melalui pendekatan ini diupayakan untuk

memperoleh penjelasan itikad baik perjanjian pendahuluan yang dibuat oleh PT

Surya cemerlang dan calon pembeli.

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data

yang diperoleh dari kepustakaan karena penelitian hukum yang dilakukan adalah

penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis dan eksplanatif. Penelitian

dalam hukum normatif menitik beratkan pada studi kepustakaan dan berdasarkan

pada data sekunder, bahan yang dipergunakan dapat dibagi kedalam beberapa

(33)

a. Bahan Hukum Primer (primary sources), yaitu bahan hukum yang mempunyai

otoritas (autoritatif),61

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain:

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan

Permukiman

3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

5. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995

Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli

6. Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 37/PDT/PLW/2012/PN.

SIM

7. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah dan Bangunan Proyek

Perumahan Griya Siantar No 020/PSC MDN/PPJB/GS/XI/2003

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary sources), yaitu bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang

terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan

hukum primer, terdiri dari: berbagai literatur tentang Perjanjian Pengikatan Jual

Beli (PPJB), literatur tentang asas itikad baik, berbagai bahan yang berasal dari

makalah, jurnal, majalah, surat kabar, dan website Internet yang berkaitan

61

(34)

dengan masalah Itikad baik dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) serta

hasil penelitian yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pembeli.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder antara lain:

Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Kamus Hukum dan Ensiklopedia.62

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber bahan hukum,

karena dengan pengumpulan data akan diperoleh bahan hukum yang diperlukan

untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal

tersebut, dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui

penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara

menginventarisir, mempelajari dan mendalami bahan hukum primer, sekunder dan

tersier yang terkait dengan penelitian ini.

Studi kepustakaan digunakan terutama untuk mengumpulkan bahan-bahan

hukum melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,

literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian

yang berkaitan dengan tulisan ini. Selain itu, dalam penelitian ini dilakukan

wawancara dengan informan, yaitu Hakim, Sekretaris Pengadilan Negeri

62

(35)

Simalungun, Notaris, dan salah seorang calon pembeli. Hasil wawancara akan

digunakan sebagai data sekunder.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke

dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja, seperti disarankan oleh data.63

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Analisis kualitatif

dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep, dan

data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep

yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan data

yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda satu dengan yang

lainnya. Bahan-bahan hukum tersebut dipilah untuk memberikan gambaran mengenai

asas itikad baik. Kemudian, hasilnya dikonstruksi untuk memberikan pemahaman

terhadap asas itikad baik dalam PPJB sebagai perjanjian pendahuluan. Kemudian,

data yang dianalisis adalah berupa putusan hakim, dianalisis secara menyeluruh dan Data (bahan hukum) yang

telah diperoleh dari penelitian kepustakaan dianalisis dengan metode kualitatif

berdasarkan logika berfikir induktif. Langkah pertama yang dilakukan dalam analisis

data adalah, menginventarisir seluruh norma hukum yang termuat dalam

KUHPerdata, Undang-Undang Perumahan, Keputusan Menteri Perumahan Rakyat.

63

(36)

merupakan suatu kesatuan holistic (integral) yang menuntut tersedianya informasi

yang mendalam (indepth information).

Data yang telah terkumpul dianalisis secara kualitatif untuk memberikan

gambaran (deskripsi) dengan kata-kata atas temuan. Analisis data kualitatif ini

dilakukan dengan mengadakan pengamatan data yang diperoleh dan menghubungkan

tiap-tiap data tersebut dengan berbagai ketentuan perundang-undangan, asas-asas

hukum dan tujuan hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Data juga

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa cronbach’s alpha yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebesar 0,786.Ketentuan untuk menentukan alat ukur tersebut

Pengguna akan memasukan url domain ke dalam form input kemudian sistem yang ada pada aplikasi akan melakukan analisis terhadap semua parameter dalam satu waktu,

Dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa jurnal tercetak merupakan terbitan berkala yang isinya bersifat informasi ilmiah mengenai penemuan suatu karya mutakhir dalam kajian

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1 Pelaksanaan Bimbingan belajar dilakukan setelah menghadapi UTS, pelaksnaanya di lakukan di luar jam pelajaran setelah pulang sekolah

memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter Adapun apa yang menjadi dasar hukum dalam pelayanan medik, menurut King bahwa

[r]

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif maka dari itu dalam penelitian ini akan menggambarkan secara rinci tentang Implementasi Peraturan

[r]